Tugas Hukum Pidana
Tugas Hukum Pidana
Tugas Hukum Pidana
Kapolsek tamansari AKBP Nasriadi menjaring 36 orang, yang terdiri dari 29 wanita
dan tujuh pria yang diduga tukang ojek Antar Jemput Lonte (Anjelo). AKBP Nasriadi
mengatakan, 36 orang tersebut ditangkap dalam rangka giat Operasi Cipta Kondisi
yang dikhususkan terhadap para pelaku prositusi gelap atau PSK yang mangkal dan
menjajakan diri di pinggir jalan.
“Ini dalam rangka menciptakan sikon kamtibmas yang mantap dan kondusif
sekaligus menjamin kekhusukan serta ketenangan umat muslim dalam menjalankan
Ibadah Puasa pada bulan suci Ramadhan ini,” kata Nasradi saat dikonfirmasi
Republika.co.id, Jumat.
Sumber: republika.co.id
Apakah para PSK dalam kasus tersebut dapat dipidana menurut KUHP sebelum
RKUHP disahkan? Berikan argumentasi Saudara berdasarkan asas hukum pidana !
Jawaban:
Pada mulanya dalam penanggulangan dan penindakan terhadap tindak prostitusi
dilakukan dengan penertiban terhadap PSK yang dilakukan oleh aparat dan
pembinaan. Hal ini dikarenakan belum adanya aturan yang dapat diterapkan
terhadap PSK Hukum Pidana positif di Indonesia atau Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana / Wetboek Van Straftrecht (KUHP) hanya mengatur kejahatan kesusilaan
sebagaimana tertuang dalam pasal 281-303 KUHP. Hal yang menarik yang dapat
dicermati adalah tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur tindakan dari Pekerja
Seks Komersial (PSK) sebagai tindak pidana yang dapat dijatuhkan hukuman.
Pengaturan terhadap tindak kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP pada
prinsipnya dibentuk dan dirancang guna melindungi nilai dan norma kesusilaan yang
hidup di masyarakat. Hanya saja dalam hal ini tidak didukung dengan kenyataan
bahwa pemerintah mau secara tegas menerapkan ketentuan terkait prostitusi.
Orientasi pengaturan hanya sebatas melarang seseorang untuk menyediakan dan
mempermudah orang lain mendapatkan jasa prostitusi. Namun realitasnya di
lapangan menunjukkan bahwa tindakan kejahatan terhadap kesusilaan seperti
prostitusi acapkali tidak memberikan perlindungan dan keadilan terhadap mereka
yang rentan.
Prostitusi atau yang lazim dikenal dengan pelacuran secara etimologis berasal dari
bahasa latin yaitu “pro-situare” yang berarti suatu tindakan yang membiarkan diri
melakukan perbuatan persundalan, berbuat zina, pencabulan dan pergendakan.
Sedangkan di Indonesia dikenal dengan istilah pelacuran yang didefinisikan sebagai
praktek hubungan seksual yang dilakukan sesaat, yang dapat dilakukan oleh dan
kepada siapa saja guna mendapatkan imbalan berupa uang. Kejelasan terhadap
pertanggungjawaban pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana
merupakan salah satu syarat tegaknya hukum, lebih spesifik pada kasus ini adalah
kejelasan teradap pertanggungjawaban Pidana para pihak yang terlibat dalam kasus
prostitusi baik online maupun konvensional. Menyoal tentang peraturan perundang-
undangan di Indonesia yang menyangkut prostitusi dapat dilihat dalam KUHP pada
pasal 296 dan 506 KUHP dimana kedua pasal tersebut pada dasarnya memberikan
ketentuan pidana terhadap tindakan seseorang yang menyediakan dan
mempermudah orang lain dalam melakukan perbuatan cabul dengan cara
menyediakan jasa PSK pada orang-orang tertentu, dan hal tersebut dijadikan
sumber pendapatan daripada seseorang (muncikari).
Apabila ditelaah lebih lanjut, dari berbagai bunyi dan ketentuan pasal yang
disebutkan diatas maka pada hakikatnya pemidanaan hanya dapat dilakukan
kepada muncikari atau germo, sedangkan pemidanaan terhadap PSK (prostitute)
dan pengguna jasa dari PSK tersebut tidak dapat dikenakan pidana. Maka dari itu
ketentuan pemidanaan lebih dititik beratkan pada germo/muncikari sebagai penyedia
jasa yang mempermudah orang lain melakukan tindakan yang melanggar
kesusilaan. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak orang yang menjadikan
pelacuran sebagai mata pencahariannya. Kriminalisasi terhadap pekerja seks
komersial hanya akan menjadi beban tambahan bagi aparat penegak hukum, sebab
adanya banyak alasan dan pertimbangan dibalik kehidupan seseorang sebelum
akhirnya memutuskan untuk melacurkan dirinya sendiri.
Mengacu pada ketentuan RKUHP pada pasal 486 yang menyatakan bahwa “Setiap
orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan
tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I”.
Ketentuan pasal diatas memberikan pidana denda Kategori I yang berjumlah
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) pada pelanggaran terhadap ketentuan pasal 486
RKUHP. Dapat dilihat bahwa orientasi pemidanaan terhadap PSK di masa
mendatang adalah pidana denda dan bukan pidana penjara. Dapat dipahami bahwa
ketentuan ini berdasarkan pada prinsip rehabilitasi dan pemulihan keadaan seperti
semula.1 Pada akhirnya, perbuatan PSK tidak dapat dibenarkan namun tidak juga
dapat dihakimi secara sepihak. Dalam negara berdaulat yang menjunjung tinggi
supremasi hukum dan melindungi segenap tumpah darah bangsanya, sudah
sepatutnya orientasi pemidanaan terhadap PSK adalah penjatuhan denda dan
rehabilitasi sosial, mengingat rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang
ditunjukan untuk mengintegerasikan kembali seseorang kedalam kehidupan
masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan tuntunan
keluarga, komunitas dan pemerintah. Mengacu pada asas legalitas maka Pekerja
Seks Komersial dalam konteks pertanggungjawaban Pidana tidak dapat
dipidanakan, sebab belum adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur bahwa
perbuatan yang dilakukan oleh PSK melanggar ketentuan hukum pidana. Meskipun
secara moral dan nilai kesusilaan perbuatan ini tidak dibenarkan.
1
I Made Agastia Wija Prawira, Made Subawa, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pekerja Seks Komersial
Dalam Prostitusi Online Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Udayana , hal. 13
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang berasal dari
Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, asas legalitas tersebut dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat 1 KUHP, yang bunyinya: "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali
atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan".
Berdasarkan asas legalitas tersebut, maka perlu pengujian terhadap baik itu
prostitusi langsung maupun prostitusi online yang marak pada dewasa ini terjadi.
Berdasarkan asas tersebut maka timbul pertanyaan; “apakah perbuatan tersebut
termasuk tindak pidana atau tidak”. Suatu perbuatan disebut sebagai tindak pidana,
delik, atau strafbaar feit harus merupakan suatu tindakan yang dilarang atau
diwajibkan oleh undang-undang. Pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
tersebut harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai tindak pidana oleh aturan
perundang-undangan. Kemudian agar suatu perbuatan itu dapat dihukum, harus
memenuhi semua unsur delik yang dirumuskan dalam undang-undang.
Merujuk pada asas legalitas dalam KUHP, prostitusi online dapat diperdebatkan dari
sisi hukum apakah dapat dijerat secara pidana atau tidak. Bila dilihat dari penyedia
jasa pelacuran melalui media online, sontak pikiran publik akan tertuju pada
ketentuan pidana di luar KUHP, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Masalahnya, Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak menyebut
kata prostitusi dalam semua pasalnya. Kecuali norma Pasal 27 yang berisikan
perbuatan yang dilarang yaitu mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi
elektronik yang melanggar kesusilaan.
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik tidak dapat digunakan untuk menjerat pelaku prostitusi online baik PSK
dan juga mucikarinya karena tidak berhubungan dengan kejahatan
"mendistribusikan atau membuat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar
kesusilaan", tetapi sehubungan dengan perbuatan penyediaan jasa pelacuran yang
dipesan melalui layanan online yang menjadikan dasar untuk menjerat seorang
pelaku mucikarinya karena memanfaatkan berbagai media sosial untuk
mendistrisbusikan atau menyediakan seorang pekerja seks komersial.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi yang tidak mengatur
sanksi pidana prostitusi online. Undang-Undang ini hanya membatasi pada ihwal
membuat kecabulan atau eksploitasi seksual melalui gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pesan lainnya yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Unda-Undang ini tidak dapat digunakan untuk menjerat artis dan mucikari dalam
kasus prostitusi online. Begitu juga dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tidak ada sanksi
pidana bagi pelaku prostitusi online bilamana perbuatan tersebut dilakukan secara
sukarela tanpa adanya rasa tereksploitasi dengan adanya unsur ancaman
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan dengan tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang dirinya
tereksploitasi. Karena Undang-Undang ini secara spesifik mengatur perdagangan
orang yang harus dilakukan dengan ancaman kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi atau
mengakibatkan orang tereksploitasi. Dengan begitu, Undang-Undang ini tidak dapat
menjerat artis dan mucikarinya karena tidak memenuhi unsur delik dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Satu-satunya ketentuan pidana yang barangkali dapat digunakan untuk menjerat
pelaku prostitusi online adalah KUHP. Namun, Buku Kedua KUHP tentang
Kejahatan tidak secara jelas dan tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku
prostitusi online. KUHP hanya mengatur beberapa jenis delik pelanggaran
kesopanan (zeden delicten), salah satunya adalah delik persundalan sebagaimana
diatur di dalam Pasal 296 KUHP: "barang siapa dengan sengaja menghubungkan
atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain sebagai
pencarian atau kebiasaan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah".
Bila dihubungkan dengan prostitusi online, Pasal 296 KUHP tidak dapat menjerat
kalangan artis yang terlibat dalam prostitusi online. Artis dengan tarif Rp. 80 juta
tidak dapat dipidana dengan Pasal 296 KUHP karena unsur tindak pidananya tidak
terpenuhi. Yang barangkali dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah
mucikari yang menjadi perantara dalam penyediaan jasa pelacuran dengan
menerima bayaran dari jasanya memudahkan perbuatan cabul. Namun, pasal ini
pun masih lemah untuk menjerat mucikari yang menyediakan jasa pelacuran melalui
media online.
Sumber:
Eddy O.S. Hiariej, Hukum Pidana, Edisi 2 Cetakan k-5 (Tangerang Selatan: Maret
2023)
Khoiruddin Manahan Siregar, Paradoks Pengaturan Hukum Prostitusi Di Indonesia,
Jurnal Al-Maqasid (Vol. 5 No. 1 Edisi Januari-Juni 2019) Dosen Pada Fakultas
Syariah dan Ilmu Hukum IAIN Padangsidimpuan
I Made Agastia Wija Prawira, Made Subawa, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap
Pekerja Seks Komersial Dalam Prostitusi Online Di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Udayana
https://www.hukumonline.com/berita/a/prostitusi-online-dan-hukum-pidana-
lt5c5abece7e335/?page=2