Setyaki
Volume 1 Nomor 1 Tahun 2023
Jurnal Studi Keagamaan Islam
DOI : 10.XXXXX/XXXXXX
E-ISSN : 2987-0747
Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
Karunia Hazyimara
UIN Alauddin Makassar
karuniahaz@gmail.com
Diserahkan tanggal 25 Januari 2023| Diterima tanggal 25 Februari 2023 | Diterbitkan tanggal 28 Februari 2023
Abstract:
The Qur'an as a guide of Muslims has a fairly high concern by scholars. There are
views that some verses in the Qur'an are contradictory, so that this leads to the study
of nasikh-mansukh. The study is not necessarily accepted by all scholars or
observers of Qur'anic science, because according to them there can be no revision in
the Qur'an. This research tries to discuss nasikh-mansukh studies both related to
understanding, differences of opinion, orientalist views to the wisdom of studying
them using qualitative methods from library data. This study found that differences of
opinion in the scholarly environment occurred due to differences in the roots of their
studies. With the nasikh-mansukh theory one can understand why there are verses
that textually seem contradictory.
Keywords: Qur'an, Nasikh-mansukh, Contradictory
Copyright © 2023, Author
This is an open-access article under the CC BY-NC-SA 4.0
63
E-ISSN : 2987-0747
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
PENDAHULUAN
Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS. Al-Isra: 9).
Ayat tersebut memberi pemahaman bahwa Allah telah menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk
bagi umatNya ke jalan yang benar sehingga dapat meraih kebahagiaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Menurut Quraish Shihab, agama Islam merupakan way of life yang akan menjamin
kebahagiaan hidup pemeluknya.(Shihab, 1994)
Selain itu, umat Islam meyakini dan menempatkan kitab suci ini sebagai sumber utama
ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup yang bersifat abadi dan universal. Abadi berarti terus
berlaku sampai akhir zaman dan kebenarannya tak akan berubah, sedangkan universal syari’atnya
berlaku untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis karena AlQur’an merupakan penyempurna dari kitab-kitab suci yang terdahulu. Dengan doktrin ini diyakini
bahwa kandungan-kandungannya baik yang berkenaan dengan akidah, ibadah, muamalah adalah
berlaku sepanjang masa.(Syaifulloh, 2018)
Prinsip umat muslim menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup bukan hanya pada
tahu dan paham tentang isi dari kandungan namun juga pada pengetahuan dan pemahaman cara
mengkaji Al-Qur’an tersebut. Dalam pembahasan Al-Qur’an ini banyak sekali yang harus dikupas
secara mendalam salah satunya yaitu nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Nasikh merupakan
menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain, dan mansukh merupakan hukum
yang dihapus.
Salah satu teori yang senantiasa banyak diperbincangkan baik oleh kalangan ahli hukum
Islam klasik maupun kontemporer adalah nasikh-mansuh. Tidak hanya diperbincangkan saja,
keberadaannya dianggap begitu penting dalam memahami dan menafsirkan hukum-hukum dalam
Al-Qur’an. Begitu pentingnya, bahkan teori abrogation ini juga digunakan oleh para ahli hermeneutic
dalam menghadapi ayat-ayat hukum yang tampak kontradiktif, dengan dasar keyakinan bahwa
tidak ada satupun pertentangan dalam al-Quran.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh-mansukh terjadi karena Al-Qur’an
diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu
untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh-mansukh dalam AlQur’an.
PEMBAHASAN
Pengertian Nasikh-Mansukh
Secara etimologis, kata nasikh merupakan bentuk isim fa’il dan mansukh merupakan bentuk
isim maf’ul. Nasikh dan mansukh berasal dari kata nasakha yang memiliki beberapa pengertian, yaitu
antara lain menghilangkan (izalah) sebagaimana QS. Al-Hajj: 52, mengganti (tabdil), mengubah
(tahwil), dan memindah (naql) sebagaimana QS. Al-Jatsiyah: 29.(Shihab, 1994) Jadi, nasikh dapat
diartikan dengan penghilang, pengganti, pengubah atau pemindah. Sedangkan mansukh diartikan
sebagai sesuatu yang dihilangkan, diganti, diubah atau dipindah.
Sedangkan secara terminologi, nasikh dan mansukh dapat dikemukakan dalam beberapa
definisi sebagai berikut:
a.
Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan naskh adalah:
“nasikh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang
datang kemudian.”
b.
Menurut Wahbah Zuhaili nasikh dapat diartikan sebagai berikut:
Pertama, nasikh adalah penjelasan tentang berakhirnya masa berlakunya suatu dalil dan
digantikan dengan dalil yang datang kemudian.
64
E-ISSN : 2987-0747
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
Kedua, nasikh adalah penghapusan terhadap suatu dalil karena sudah tidak relevan dengan
masanya.
c.
Abu Muslim al-Ashfahani berpendapat tentang nasikh dengan:
Nasikh bukan untuk membatalkan (menghapus) hukum yang telah ada, baik secara garis
besar maupun rinciannya tetapi nasikh adalah suatu pengkhususan.
d.
Menurut Az-Zarkasyi nasikh adalah:
Penangguhan terhadap hukum yang berlaku bukan pembatalan atas hukum
tersebut.(Almakki, 2018)
Sementara itu, para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh
sehingga mencakup beberapa hal sebagai berikut (Shihab, 1994):
a.
Pembatalan hukum yang ditetapkan terlebih dahulu terjadi oleh hukum yang ditetapkan
kemudian.
b.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang
kemudian.
c.
Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.
d.
Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Hal yang demikian luas dipersempit oleh ulama mutaakhirin. Menurut mereka naskh
terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum
yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.(Auliya & Gazali, 2018)
Kemunculan naskh dan mansukh tidak serta-merta diterima oleh para ulama, terkait hal ini
terdapat perbedaan diantara kalangan ulama. Jumhur ulama mengakui keberadaan nasikh dan
mansukh dalam Al-Qur’an dengan berpijak pada firman Allah QS. Al-Baqarah: 106, QS. Ar-Ra’ad:
39 dan QS. An-Nahl: 101. Dengan berpijak pada ayat tersebut, jumhur ulama memandang bahwa
syariat yang telah berlaku pada suatu waktu dapat berubah ketika keadaan telah berubah. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan manusia sebagaimana tujuan syariat (maqashid
syariah). Menurut Abdullah Saeed, nasikh dan mansukh merupakan suatu teori yang mungkin
terjadi dengan melihat diturunkannya Al-Qur’an dalam kurun kurang lebih 23 tahun. Hukum di
dalamnya bisa mengalami perubahan sebagai solusi meraih kemaslahatan dan memenuhi
kebutuhan sesuai masanya. Beliau menguatkan pendapatnya dengan menarik contoh proses
pengharaman khamr yang bertahap.(Nasrullah, 2020) Sedangkan Muhammad Abduh menolak
pemahaman pembatalan, ia lebih setuju dengan nasikh yang dimaknai sebagai penggantian.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalil syara’ yang berlaku
pada suatu masa dapat berubah ketika kondisi yang berbeda ditemui dan dipertegas dengan
riwayat yang menyebutkan penghapusan hukum tersebut. Hal tersebut mengantarkan
pemahaman bahwa Islam diterapkan secara hirarkis sebagaimana al-Qur’an yang diturunkan
secara bertahap.(Syaifulloh, 2018)
Kontroversi Nasikh dan Mansukh di Kalangan Ulama
Konsep nasikh dan mansukh di kalangan ulama mengalami kontroversi yang sangat alot,
beberapa dari mereka menganggap bahwa mustahil ayat Al-Qur’an dinasikh. Gamal Al-Bana,
seorang pemikir Islam berkebangsaan Mesir, menuturkan bahwa konsep nasikh adalah salah satu
malapetaka pemikiran terbesar (min akbar al-kawaris al-fikriyyah) yang dapat menjadikan ulama salaf
tertipu dan tergelincir.(Dzulhadi, 2009)
Ulama yang pro dengan konsep nasikh berpendapat bahwa dalam Al-Qur’an sudah ada
petunjuk atas konsep tersebut dalam QS. Al-Baqarah: 106; QS. An-Nahl: 101; QS. Al-Ra’d: 39;
QS. Al-Nisa: 160. Ayat-ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan tentang konsep nasikh. Selain
itu, ulama yang pro memberikan argument bahwa ayat yang berbicara mengenai kuantitas susah
apabila dikompromikan sehingga dapat menguatkan keberadaan konsep nasikh dalam Al-Qur’an.
Ulama yang masuk dalam kelompok pro adanya konsep nasikh adalah Abu Ja’far an-Nahhas,(Al65
E-ISSN : 2987-0747
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
Nahhas, 1988) Imam al-Suyuthi,(Al-Suyutii, 2012) Syaikh Manna’ al-Qattan,(Al-Qattan, 2016)
Sayyid Qutub,(Qutub, 1992) dan M. Quraish Shihab.(Shihab, 1999)
Ulama yang kontra atas konsep nasikh berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang
mutlak kebenaran dan keabadiannya. Teori nasikh menunjukkan atas kegagalan dalam
mengkompromikan ayat dalam Al-Qur’an. Mereka berpandangan bahwa ayat terdahulu yang
terhapus hukumnya oleh ayat selanjutnya seyogyanya ayat terdahulu tetap dianggap valid untuk
diterapkan pada kondisi yang sama pada penurunannya dulu. Kelompok ini menolak definisi
nasikh dengan ibthal bukan pada tabdil. Ulama yang terdapat pada kelompok kontra adalah Abu
Muslim al-Isfahani,(Al-Isfahani, n.d.) Muhammad Syahrur,(Muhammad, 2005) Taufik Adnan dan
Syamsu Rizal Pengabean,(Amal & Rizal, 1990) Abu Jamin Rohman,(Rohman, 1990) serta Nasr
Hamid Abu Zaid.(Zaid, 2005)
Melihat pandangan dari kelompok pro dan kontra menunjukkan bahwa terjadi perbedaan
pemahaman dalam menafsiri ayat yang menunjukkan adanya nasikh dan berbeda dalam
mengkompromikan ayat Al-Qur’an. Perbedaan ini merupakan hal yang wajar dari keberagaman
hasil berfikir para ulama.
Pandangan Orientalis Tentang Nasikh-Mansukh
Studi kritis Al-Qur’an merupakan kajian yang utama dan sensitif di kalangan orientalis.
Salah satu kajian mengenai Al-Qur’an pada materi nasikh-mansukh yang memang mengalami
banyak kontroversi di kalangan ulama muslim sendiri.
Richard Bell memiliki pandangan bahwa teori nasikh sama halnya dengan revisi.
Menurutnya ayat yang datang kemudian merupakan pengulangan wahyu yang sudah direvisi dan
ia menempatkan Muhammad Saw. sebagai revisor walaupun tetap dalam koridor inisiatif Allah
Swt. selain itu, Bell memberikan definisi nasikh atas Al-Qur’an dengan penggantian, penambahan,
koreksi dan salinan. Bell mengklasifikasikan nasikh dalam Al-Qur’an dengan adanya pemunculan
rima-rima yang tersembunyi, penjelasan kata dan frase yang ditambahkan perluasan bacaan,
tambahan dan sisipan pada surat pendek, perubahan rima yang sama disertai penggantian, dan
pengulangan pembahasan suatu ayat.(Nurmansyah, 2020)
Berbeda dengan William Montgomery Watt yang menolak pendapat bahwa Al-Qur’an
sudah direvisi dengan sadar oleh Muhammad Saw. Perubahan dan penambahan pada Al-Qur’an
tidak lain menyesuaikan dengan kondisi Muhammad Saw. dan umatnya. Menurutnya QS. AlBaqarah: 106 dan QS. Al-Hajj: 52 cenderung mengarah pada arti pembatalan yang berarti
penghapusan. Sehingga wajar bila ada ayat kemudian yang menghapus ayat sebelumnya karena
kondisi yang berbeda.(Jalaluddin, 2019)
John Burton mendefinisikan nasikh dengan replacement atau exchange (tabdil), suppression (ibthal),
dan abrogation yang selaras dengan QS. Al-Baqarah: 106; QS. Al-Nahl: 101, dan Al-Hajj: 52.(Saleh,
2019) Berdasarkan ayat-ayat yang mengindikasikan adanya nasikh dalam Al-Qur’an menunjukkan
bahwa revisi dalam Al-Qur’an memang terjadi, bukan hanya sebatas perubahan saja. Menurutnya,
nasikh dalam Al-Qur’an menandakan bahwa Tuhan lalai dalam penurunannya tetapi Tuhanlah
yang memiliki hak prerogative dalam menasikh ayat tersebut.(Hidayat, 2020)
Definisi dan pemahaman yang dilakukan oleh orientalis menggunakan kacamata keraguan
untuk mendapat kebenaran akan nasikh di dalam Al-Qur’an, berbeda dengan ulama muslim yang
mencari kebenaran nasikh dengan dilandasi oleh keyakinan beragamanya. Hal ini menunjukkan
bahwa pemahaman orientalis sangat berkembang dalam mengkaji ilmu Al-Qur’an.
Syarat-Syarat Nasikh
Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-syarat
nasakh.(Said, 2020) Abu Anwar memberikan batasan beberapa syarat yang diperlukan dalam
nasikh, yaitu(Anwar, 2009):
1.
Hukum yang mansukh adalah hukum syara`. Nasikh hanya terjadi pada perintah dan
larangan. Nasikh tidak terdapat dalam dalil yang menunjukkan akhlak, ibadah, akidah, dan
juga janji serta ancaman Allah.
66
E-ISSN : 2987-0747
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
2.
Dalil yang dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar`i yang
datang kemudian.
3.
Dalil yang mansukh hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu. Sebab, jika
demikian hukum akan berakhir dengan waktu tersebut.
Menurut Quraish Shihab, beliau menambahkan lagi syarat nasikh, bahwa nasikh baru
dilakukan bila(Ichwan, 2002):
1.
Terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, serta tidak dapat lagi
dikompromikan.
2.
Harus diketahui secara yakin urutan turunnya ayat-ayat tersebut. Yang lebih dahulu
dikatakan mansukh, dan yang datang kemudian disebut nasikh.
Sedangkan menurut ‘Abdul ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa syarat nasikh
sebagai berikut:
1.
Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan,
serta tidak dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2.
Ketentuan hukum syara’ yang berlaku datangnya belakangan daripada ketetapan hukum
syara’ yang diangkat atau dihapus.
3.
Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang
lebih dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya
sebagai nasikh.
Sedangkan Imam Muhammad Abu Zahrah mengemukakan syarat terkait nasikh dan
mansukh, yaitu(Abu Zahrah, 2008):
1.
Tidak ada uangkapan yang menunjukkan keabadian suatu syariat, seperti hukum persaksian
dalam kasus menuduh orang zina sebagaimana terdapat dalam QS. An-Nur: 4.
2.
Hukum yang dinasikh tidak tergolong persoalan yang telah disepakati kebaikan atau
kebenarannya, seperti: perihal beriman kepada Allah Swt. hal ini ditegaskan oleh Abdul
Wahab Khallaf yang berpendapat bahwa nash yang mengandung perintah keimanan dan
dasar akidah tidak akan berubah walaupun kondisi masyarakat telah mengalami perubahan.
3.
Nash yang menggantikan harus datang setelahnya, karena tidak mungkin apabila nash yang
terdahulu menghapus nash yang datang kemudian.
4.
Dapat dilakukan nasikh-mansukh apabila kedua nash tidak dapat dikompromikan.
Dari beberapa syarat di atas menunjukkan nasikh hanya terjadi apabila, (a) terdapat dua
hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat di kompromikan, dan (b) harus di ketahui
secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan
sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.(Shihab, 1999) Pedoman untuk mengetahui
nasikh dan mansukh ada beberapa cara berikut:
1.
Ada keterangan tegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW;
2.
Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat mansukh;
3.
Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan historis.
Pembagian Nasikh
Umumnya para ulama membagi nasikh dalam Al-Qur’an menjadi tiga bagian, yaitu(AlQattan, 2004):
a.
Nasikh pada tilawah dan hukumnya
Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Nasa’i dari Aisyah
“dari Aisyah, ia berkata bahwa Allah Swt. telah menurunkan ayat. Dan Al-Haris berkata: diantara
yang diturunkan dari ayat Al-Qur’an adalah sepuluh susuan yang maklum itu yang menyebabkan
muhrim. Kemudian ketentuan itu dinaskh oleh lima susuan yang maklum. Ketika Rasulullah wafat, lima
susuan ini termasuk ayat Al-Qur’an yang dibaca.”
Hadis di atas menunjukkan bahwa pada mulanya turun ayat yang menyatakan bahwa
sepuluh susuan menyebabkan seseorang menjadi mahram. Kemudian ayat tersebut dinaskh
67
E-ISSN : 2987-0747
b.
c.
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
dengan turunnya ayat yang menyatakan lima susuan menjadi penyebab seseorang menjadi
mahram.(Almakki, 2018)
Nasikh pada hukum dan tilawahnya tetap(Intizam, 2020)
Salah satu contohnya ayat ‘iddah satu tahun dalam QS. Al-Baqarah ayat 240:
“Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat
wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi
jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (mengenai apa) yang mereka lakukan
terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Dinaskh dengan ‘iddah 4 bulan 10 hari dalam QS. Al-Baqarah ayat 234:
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri)
menunggu empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak
ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Hikmah dibalik pengahapusan hukum tetapi tilawahnya tetap adalah agar umat Islam
mengetahui akan pensyari’atan tersebut dan tetap membaca ayatnya. Karena Al-Qur’an
adalah firman Allah, dan bagi siapa yang membaca berhak pahala baginya. Selain itu agar
umat Islam mengetahui nikmat yang Allah Swt. berikan padanya.
Nasikh pada bacaannya dan hukumnya tetap
Poin ini sebagaimana hukum rajm yang masih berlaku sampai saat ini walaupun ayatnya
sudah dinaskh. Tentang adanya ayat yang menyatakan hukum rajm telah diriwayatkan oleh
Umar.(Willya, 2021) Hikmah dibalik ketentuan nasikh yang seperti ini terletak pada
bagaiamana umat Islam meresponnya, apakah ia akan tetap patuh atau tidak karena nash
terkait tidak sudah tidak ada. Kepatuhan umat dalam menjalankan syariat bisa dilihat dalam
nasikh ini, dimana ketentuan diperoleh dari dalil dzanni saja.(Suryani, 2020)
Ruang Lingkup Nasikh
Nasikh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan
jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna amar (perintah)
atau nahy (larangan). Jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus
kepada Zat Allah, sifat-sifat-Nya, para rasul-Nya dari hari kemudian, serta tidak berkaitan pula
dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah. Hal ini karena semua
syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Nasikh tidak terjadi dalam berita atau kabar yang jelas-jelas tidak bermakna talab (tuntutan,
perintah atau larangan), seperti janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).(Al-Qattan, 2016) Penunjukan
adanya naskh dalam syariat, berdasarkan Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 101.
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain”.
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat al-Qur’an yang nasikh dan
mansukh, Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat
mansukh.
Hikmah Adanya Nasikh dalam Al-Qur’an
Hikmah nasikh secara umum ialah sebagai berikut(Rahmalia & Putra, 2022):
a.
Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna.
Karena itu, syari’at agama islam ini menasikh semua syari’at dari agama-agama sebelum
Islam. Sebab, syari’at islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari
segala periodenya, mulai dari Nabi Adam yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana
hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah
banyak dan kompleks.
b.
Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam
semua keadaan dan di sepanjang zaman.(Khatib, 2014)
68
E-ISSN : 2987-0747
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
c.
Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan
kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang
sempurna.
d.
Untuk menguji seorang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantianpenggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan,
atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.(Husni, 2018)
e.
Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukumhukum perubahan, walaupun dari yang mudah sampai yang sulit. Sebab, semakin sulit
menjalankan suatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya.
f.
Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi umat Islam, sebab dalam beberapa nasakh
banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati
kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.(Djalal, 2000)
SIMPULAN
Nasikh adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain,
mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Sedangkan Mansukh
ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan
dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Teori nasikh-mansukh mengalami kontroversi di kalangan ulama, terdapat kelompok pro dan
kontra. Kelompok pro berpendapat bahwa ayat-ayat dalam Al-Qur’an ada yang tidak dapat
dikompromikan da nada ayat yang menjadi petunjuk atas teori nasikh. Sedangkan kelompok
kontra berpendapat bahwa Al-Qur’an mutlak kebenaran dan keabadiannya serta ayat-ayat yang
kontradiktif tetap dapat dikompromikan. Selain menjadi fokus kajian di kalangan muslim, nasikhmansukh juga menjadi kajian di kalangan orientalis.
Syarat-syarat nasikh adalah hukum yang mansukh adalah hukum syara`; Dalil yang
dipergunakan untuk penghapusan hukum tersebut adalah khithab syar`i yang datang kemudian;
Harus diketahui secara meyakinkan urutan turunnya ayat-ayat tersebut.
Ruang lingkup nasikh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat khabar (berita) yang bermakna
amar (perintah) atau nahy (larangan) tidak berhubungan dengan soal akidah serta tidak berkaitan
pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah.
Demikian banyak hikmah yang dapat dipetik setelah mempelajari ilmu nasikh-mansukh ini,
sehingga setelah mengetahui lebih dalam lagi maka harapannya bahwa keimanan kita akan
semakin kuat, khususnya kepercayaan terhadap Allah, Kitab-Nya, dan Nabi-Nya yang berkaitan
penuh dengan pembelajaran kita ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, M. (2008). Ushul Fiqh (T. SaifullahMaksum (ed.)). Pustaka Firdaus.
Al-Isfahani, A. M. (n.d.). Al-Nasikh wa Al-Mansukh. Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyyah.
Al-Nahhas, A. J. (1988). I’rob al-Qur’an. ’Alam al-Kutub.
Al-Qattan, M. K. (2004). Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (M. A. S (ed.)). Lentera Antar Nusa.
Al-Qattan, M. K. (2016). Mabahis fi Ulumil Qur’an (T. M. AS (ed.)). Litera Antar Nusa.
Al-Suyutii, J. (2012). Al-Itqan fi ’Ulum al-Qur’an. Dar al-Fikr.
Almakki, M. A. (2018). Sejarah Al-Qur ’an dan Nasikh Mansukh. Jurnal STIT Ibnu Rusyd.
Amal, T. A., & Rizal, S. (1990). Tafsir Kontekstual Al-Qur’an. Mizan Publishing.
Anwar, A. (2009). Ulumul Qur’an (Sebuah Pengantar). Amzah Publisher.
Auliya, S., & Gazali, H. A. (2018). Urgensi Kajian Nasikh dan Mansukh dalam Bingkai Generasi
Kekinian (Upaya Membumikan Teori Klasik untuk Masa Kini). Islam Transformatif: Journal of
Islamic Studies, 02(02), 181–192.
Djalal, A. (2000). Ulumul Qur’an. Dunia Ilmu.
69
E-ISSN : 2987-0747
Setyaki: Jurnal Studi Keagamaan Islam
Dzulhadi, Q. N. (2009). Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an. Jurnal Tsaqafah, 5(2).
https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v5i2.128
Hidayat, H. (2020). Pengaruh Nasakh Mansukh Terhadap Kodifikasi Al-Qur’an Perspektif John
Burton. Cendekia: Jurnal Studi Keislaman, 6(2).
Husni, M. (2018). Teori Nasakh Mansukh Dalam Penetapan Hukum Syariat Islam. Annaba: Jurnal
Pendidikan Islam, 4(2).
Ichwan, M. N. (2002). Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Rasail Media Grup.
Intizam, I. (2020). Konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran sebagai kaidah penetapan hukum
islam. Jurnal Didaktika Islamika, 11(1), 20–41.
Jalaluddin, M. L. (2019). Teori Naskh dalam Pandangan William Montgomery Watt dan Richard
Bell.
Hermeneutik:
Jurnal
Ilmu
Al-Qur’an
Dan
Tafsir,
13(2).
https://doi.org/10.1234/hermeneutik.v13i2.6387
Khatib, S. (2014). Eksistensi Nasakh dalam Implementasi Elastisitas Hukum Islam. Jurnal
Madania, 18(1).
Muhammad, S. (2005). Metodologi Fikih Islam Kontemporer (Terj. Sahi). Elsaq Publisher.
Nasrullah, M. (2020). Pandangan Abdullah Saeed pada Konsep Naskh Mansukh (Analisis Surah
An-Nur ayat 2). Jurnal Al-Munir, 2(2).
Nurmansyah, I. (2020). Teori Nasikh Mansukh Richard Bell dan Implikasinya terhadap Diskursus
Studi Al-Qur’an. Jurnal Substantia, 4(1).
Qutub, S. (1992). Tafsir fi Zhilal Al-Qur’an. In Jilid 1. Dar Al-Syuruq.
Rahmalia, A., & Putra, R. P. (2022). Nasikh wa al-Mansukh. Jurnal El-Mu’jam, 2(1), 28–38.
Rohman, A. J. (1990). Pembicaraan di Sekitar Bibel dan Al-Qur’an. Bulan Bintang.
Said, M. U. (2020). Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an: Teori dan Implikasi dalam Hukum Islam.
Maghza: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 5(2). https://doi.org/10.24090/maghza.v5i2.4174
Saleh, M. A. (2019). Pemikiran John Burton atas Nasikh dalam Al-Qur’an dan Hadis. Ushuluna:
Jurnal Ilmu Ushuluddin, 5(2).
Shihab, M. Q. (1994). Membumikan Al-Quran. Mizan Publishing.
Shihab, M. Q. (1999). Membumikan Al-Qur’an. Mizan Publishing.
Suryani, K. (2020). Memahami Bahasa al- Qur’ an dalam Perspektif al-Nasikh wa al-Mansukh.
Jurnal Dar El-Ilmi, 7(2), 171–199. https://doi.org/https://doi.org/10.52166/dar%20elilmi.v7i2.2317
Syaifulloh, A. (2018). Nasikh dan Mansukh (Langkah Ulama dalam Memahami Al-Qur’an dan
Hadis). Iklila: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 1(1).
Willya, E. (2021). Konsep Nasikh Mansukh dan Implikasinya terhadap Istinbath Hukum. I’tisham:
Journal of Islamic Law and Economics, 1(1).
Zaid, N. H. A. (2005). Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an (Terj. Khoi). LKiS
Printing Cemerlang.
70