Kontroversi Nasikh-Mansukh
dalam Al-Qur’an
Qosim Nurseha Dzulhadi
Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo
Email: qosim_deedat@yahoo.com
Abstract
A theory on naskh which develops grantedly in the Islamic sciences,
naturally raises a controversy, which indicates that this concept is arguable and
discussable. On the other hand, contemporary muslim scholars have solved
significantly on this controversy. This article tries to present some problems of
naskh in relation with the Holy Al-Qur’an. Among the problems discussed in
this regard is a controversy on the meaning of naskh, particularly in the
development of Interpretation of Quranic verses in relation to the development
of Islamic jurisprudence. The view of muslim scholars and their argumentation
to approve the nasikh-mansukh in the Al-Qur’an is also another point to be
presented which argued by the view of contemporary Muslim scholars who
criticize this concept. Finally, it is concluded that a theory on naskh is
contemporary issue which is exaggerated and developed not on the basis of an
adequate scientific criticism, therefore, muslim ummah should consider this
problem as a logical consequence of the topic (al-tah}ayyuz al-mawdhû‘iy).
Keywords: Jumhur, tafsir, ijma’, fiqh, muhkamat
Pendahuluan
M
asalah nâsikh mansûkh dan korelasinya dengan Al-Qur’an
merupakan hal yang masih hangat untuk dibicarakan.
Pendapat seputar konsep ini dalam ushûl al-fiqh dan ‘ulûm
al-qur’ân (tafsir) masih diselimuti oleh kontroversi. Kontroversi
tentang ada tidaknya teori naskh akhirnya mencuat ke permukaan
dan menjadi isu yang tak kunjung berakhir. Oleh karena itu,
Muhammad Amin Suma menyatakan bahwa di antara kajian Islam
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
258 Qosim Nurseha Dzulhadi
tentang hukum (fiqh – usûl fiqh), yang sampai sekarang masih
debatable dan kontroversial adalah persoalan naskh, terutama jika
dihubungkan dengan kemungkinan adanya nâsîkh-mansûkh antar
ayat-ayat Al-Qur’an.1
Dengan nada yang cukup “provokatif”, pemikir muslim asal
Mesir, Gamal al-Banna menyatakan bahwa ide naskh adalah “min
akbar al-kawârits al-fikriyyah” (‘salah satu malapetaka pemikiran
terbesar’) yang menjadikan ulama salaf tergelincir dan tertipu. Akhirnya seluruh mereka membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma‘. Lebih dari itu, mereka menolak Imam Syafi‘i, yang menyatakan bahwa Sunnah tidak me-naskh
Al-Qur’an, berdasarkan klaim mereka bahwa kedua-duanya –AlQur’an dan Sunnah– adalah wahyu. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
bahwa beliau menafsirkan kata al-h}ikmah dalam firman Allah: (“Yu’tî
al-h}i kmah man yasyâ’ wa man yu’ta al-h}i kmah faqad ûtiya khayran
katsîran”) adalah: ‘ma‘rifat nâsikh al-Qur’an wa mansûkhihî’ (mengetahui nâsikh dan mansûkh dalam Al-Qur’an).2 Secara umum, jumhur
ulama telah berijma‘ bahwa naskh itu ‘boleh’ secara akal, dan ‘terjadi’
secara pendengaran (jâ’iz ‘aqlan wa wâqi‘ sam‘an). Dan, hanya Abu
Muslim al-Ashfahânî3 saja yang diriwayatkan menyatakan “boleh”,
namun tidak menjadi satu realita alias tidak terjadi.4
Tulisan ini mencoba untuk memaparkan dan mengulas naskh
yang berkenaan dengan Al-Qur’an. Penulis mencoba untuk memberikan uraian makna (pengertian) naskh, sikap para ulama
(jumhur), dan dalil-dalil yang mereka gunakan dalam mendukung
Muhammad Amin Suma, Nâsikh – Mansûkh dalam Tinjauan Historis, Fungsional,
dan Shar‘i, dalam Jurnal Al-Insan, Vol. I, No. I, Januari, 2005, p. 27. Bandingkan dengan: Prof.
Dr. ‘Abd al-Shabûr Syâhîn, Târîkh al-Qur’ân: Difâ‘un ‘an Hajamât al-Istisyrâq, (Cairo: Nahdhah
Mishr, cet. I, 2005), p. 32.
2
Gamal al-Banna, Tafnîd Da‘wâ al-Naskh fî al-Qur’ân al-Karîm, (Cairo: Dâr al-Fikr alIslâmî, ttp.), p. 3. Sayangnya, Gamal tidak men-takhrîj riwayat tersebut. Padahal, dalam satu
riwayat Ibnu ‘Abbas ra. menafsirkan kata “hikmah” dalam ayat tersebut adalah “sunnah”. Dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata: “Al-Kitâb wa al-h}ikmah”: al-kitâb wa al-sunnah. Sebagaimana Qatâdah
juga menafsirkannya dengan “al-sunnah”. Lihat Syeikh Abu Muh}ammad ‘Abd al-Muhdî ibn
‘Abd al-Qâdir ibn ‘Abd al-Hâdî, al-Madkhal ilâ al-Sunnah al-Nabawiyyah: Buh}ûtsun fî al-Qadhâyâ
al-Asâsiyah ‘an al-Sunnah al-Nabawiyah, (Cairo: Dâr al-I‘tishâm, cet. I, 1998), p. 50.
3
Beliau adalah Muhammad ibn Bah}r al-Ashfahânî: seorang ahli Nahwu, penulis yang
baik sekali, ahli Kalam, ahli tafsir dan pelbagai cabang ilmu lainnya (naql dan ‘aql), dan ia salah
seorang pentolan Muktazilan. Beliau dilahirkan pada tahun 254 H dan wafat tahun 322 H.
(Mu‘jam al-Udabâ’: 18/35 dan al-Fihrist karya Ibnu al-Nadîm, p. 202).
4
Lihat Sya‘bân Muhamad Isma‘il, Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, (Cairo: Dâr al-Kitâb alJâmi‘î, jilid 3 (3 jilid), cet. I, 1997), p. 163.
1
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
259
adanya nasikh-mansukh di dalam Al-Qur’an. Kemudian, penulis akan
memaparkan pendapat ulama kontemporer yang mengkritisi
konsep ini. Dan terakhir, penulis mencoba untuk mengambil sikap,
sebagai sebuah konsekuensi logis dari keberpihakan-objektif (altah}a yyuz al-mawdhû‘iy).
Konsep Naskh dalam Ilmu Tafsir dan Us}u>l Fiqh
Dalam hal ini, penulis akan mengutip pengertian naskh dari
dua cabang ilmu yang berbeda, namun sangat berkaitan: ‘ulûm alqur’ân dan ushûl al-fiqh.5 Pendapat pertama, diwakili oleh Abu Ja‘far
al-Nah}h}âs, Jalaluddin al-Suyûthî dan ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî.
Sedangkan, dari kelompok kedua, direpresentasikan oleh Imam Abu
Zahrah, Imam ‘Abd al-Wahhâb Khalâf dan Syeikh al-Khudharî.
Menurut Abu Ja‘far al-Nah}h}âs (w. 338 H), dasar makna naskh
adalah dua: Pertama, dari “nasakhat al-syams al-zhilla”, jika matahari
menghilangkan/menghapuskan bayangan dan menggantikannya.
Padanan makna naskh ini adalah firman Allah: fayansakhu Allâhu
mâ yulqiy al-syaithânu (...lalu Allah menghilangkan apa yang
dimasukkan oleh syaitan itu) [Qs. Al-H}âjj (22): 52]. Kedua, dari
“nasakhta al-kitâba idzâ anqaltahû min nuskhatihî” (engkau me-naskh
sebuah buku jika engkau memindahkan naskahnya). Dari makna
inilah dibangun konsep nâsikh-mansûkh.6
Imam al-Suyuthî merupakan tokoh ulama yang mendukung
adanya naskhmansûkh dalam Al-Qur’an. Ia memberikan definisi
naskh sebagai berikut: (a), naskh bermakna al-izâlah (menghapus/
Penulis sengaja tidak menggunakan kamus bahasa (seperti Maqâyis al-Lughah, alBah}r al-Muh}îth, Mukhtâr al-Shih}h }âh}, Lisân al-‘Arab atau al-Mu‘jam al-Wasîth), karena
pengertian naskh ini tidak keluar dari makna-makna berikut: (1) al-ibthâl (pembatalan), (2)
kedua al-raf‘u (pengangkatan atau penghapusan), (3) al-naql, dan (4) al-izâlah. Hujjat alIslâm, Abu H}amid al-Ghazli salah seorang yang memaknai naskh dengan al-raf‘u dan alizâlah. Lihat Imam Abu H}amid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali
(w. 505 H/1111 M), al-Mustas}fâ fî ‘Ilm al-Us}ûl, edisi Muhammad ‘Abd al-Salâm ‘Abd al-Syâfî,
(Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, ttp.), p. 86. Dan seluruh kamus tersebut tidak
berbeda dalam mengartikan kata naskh tersebut, dan sudah terwakili oleh pendapat ulama
yang kita kutip dalam makalah ini.
6
Al-Imam al-Ajall al-H}ujjah Abu Ja‘far Ahmad ibn Muhammad ibn Isma‘il al-Shaffâr alMurâdî (dikenal dengan Abu Ja‘far al-Nah}h}âs), al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur’ân alKarîm, tash}îh} dan komentar: Matba‘ah al-Anwâr al-Muh}ammadiyyah, Cairo, (Cairo: Matba‘ah
al-Anwâr al-Muh}ammadiyyah, ttp), p. 14. Penekanan dalam tanda kutip (“...”) berasal dari
penulis. Selanjutnya buku ini akan disingkat dengan al-Nâsikh wa al-Mansûkh.
5
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
260 Qosim Nurseha Dzulhadi
menghilangkan). Firman Allah: “...fayansakhu Allâhu mâ yulqiy alsyaithânu tsumma yuh}kimu Allâhu âyâtihî.” [Qs. Al-H}âjj (22): 52] (b),
naskh bermakna al-tabdîl (perubahan, pemindahan, dan pertukaran).
Firman Allah: “Wa idzâ baddalnâ âyatan makâna âyatin...” (Dan
apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat yang lain...) [Qs. AlNah}l (16): 101]. Ketiga, naskh bermakna al-tah}wîl (pemindahan),
seperti “tanâsukh al-mawârîts”, yang bermakna pemindahan harta
warisan dari satu orang kepada orang lain. Keempat, naskh bermakna
al-naql (pemindahan, pengopian, penyalinan): dari satu tempat ke
tempat yang lain. Contoh: nasakhta al-kitâba idzâ naqalta mâ fîhi:
mengikuti atau meniru lafaz dan tulisannya.7
Imam al-Zarqani dalam Manâhil al-‘Irfân memberikan definisi
yang sedikit agak luas. Secara etimologis, dalam bahasa Arab naskh
itu bermakna dua: (a), pertama, naskh bermakna izâlah al-sya’i wa
i‘dâmuhu (menghapuskan sesuatu dan menghilangkannya). Firman
Allah: “Wa mâ arsalnâka min qablika min rasûlin wa nabiyyin illâ
idzâ tamannâ alqâ al-syaithânu fî umniyyatihî fayansakhu Allâhu mâ
yulqiy al-syaithânu tsumma yuh}kimu Allâhu âyâtihî” [Qs. Al-H}âjj (22):
52]. Kedua, naskh bermakna naql al-syai’i wa tah}wîluhû ma‘a baqâ’ihi
fî nafsihi (menyalin sesuatu dan memindahkannya, dan aslinya masih
tetap ada). Berkenaan dengan ini, al-Sijistânî dari ulama ahli bahasa
menyatakan: “Naskh itu berpindahnya apa yang ada di dalam sel
lebah dan madu kepada bentuk yang lain. Contohnya, tanâsukh almawârîts, yakni berpindahnya harta warisan dari satu kaum kepada
kaum yang lain. Dan tanâsukh al-arwâh} (reinkarnasi) dengan cara
berpindah dari satu tubuh ke dalam tubuh yang lain, menurut orangorang yang menyatakan adanya reinkarnasi. Juga naskh al-kitâb,
memindahkan apa yang ada di dalamnya karena mirip dengan alnaql (pengopian). Inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah: “...innâ
kunna nastansikhu mâ kuntum ta‘malûn” (Sesungguhnya Kami
mencatat apa yang telah kalian kerjakan) [Qs. Al-Jâtsiyah (45): 29].
Maksudnya adalah: memindahkan amal kepada dalam lembaranlembaran (al-shuh}uf) dan dari lembaran-lembaran ke pada yang lain.8
Dan secara terminologi, imam al-Zarqani mendefinisikan naskh
dengan “mengangkat hukum syar‘i dengan satu dalil syar‘i” (raf‘u
‘Abd al-Rah}man Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 2 jilid, 4 juz
(Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp,), 3: 27.
8
Syeikh ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, 2 jilid (Cairo:
Dâr al-H}adîts, ttp., jilid 2), p.146.
7
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
261
al-hukmi al-syar‘î bidalîlin syar‘iyyin). 9
Dari ketiga definisi yang diberikan oleh Abu Ja‘far al-Nah}h}âs,
Imam al-Suyuthi dan Imam al-Zarqani, kita temukan kesamaan. Ayatayat yang digunakan oleh ketiga ulama untuk mendukung definisi
yang mereka paparkan ditolak oleh Makkî. Ia menyatakan: “Ini tidak
benar – tidak ada – di dalam Al-Qur’an.” Ia menolak pendapat alNah}h}âs yang membolehkan hal itu dengan alasan bahwa al-nâsikh
yang ada di dalam Al-Qur’an tidak lewat lafaz al-mansûkh, melainkan
dengan lafaz yang lain.
Al-Sa‘îdî, dengan mengutip firman Allah: “...innâ kunna nastansikhu mâ kuntum ta‘malûn [Qs. Al-Jâtsiyah (45): 29]. Dan firmanNya: “Wa innahû fi umm al-kitâb ladaynâ la‘aliyyun h}akîm” [Qs. AlZukhruf (43): 4] menyatakan bahwa sudah maklum bahwa apa yang
diturunkan dari wahyu itu secara gradual (nujûman) ada di dalam
Umm al-Kitab, yaitu Lauh} Mah}fûzh, seperti yang dijelaskan oleh Allah:
“Fî kitâbin maknûn. Lâ yamassuhû illâ al-muthahharûn” [Qs. AlWâqi‘ah (56): 78-79]10
Menurut Muhammad Abu Zahrah, naskh menurut para ushûliyyûn adalah “pengangkatan sang pembuat hukum (syâri‘) satu
hukum syariat dengan menggunakan dalil yang datang belakangan”.
Dengan demikian, menurut beliau, tampak beda antara naskh dengan takhshîsh. Naskh terdapat dua nash nâsikh dan mansûkh yang –
keduanya – tidak disertai satu zaman, tetapi nâsikh datang belakangan dari yang mansûkh.11
Syeikh ‘Abd al-Wahhâb Khallaf memberikan definisi bahwa
naskh menurut para ushûliyyûn adalah “membatalkan pengamalan
satu hukum syar‘i dengan menggunakan dalil yang datang kemudian”. Pembatalan tersebut bisa terjadi secara eksplisit (sharâhatan)
atau implisit (dhimnan); pembatalan secara global (ijmâl) atau parsial
(juz’iy) sesuai dengan maslahat yang ada. Atau, naskh itu adalah pemunculan dalil yang datang kemudian, yang secara implisit membatalkan operasi – atas satu hukum – yang berlaku dengan menggunakan dalil yang lebih dulu (dalîl sâbiq).12
Ibid., p. 147.
Lihat al-Itqân, loc. cit.
11
Imam Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, ttp.), p.
9
10
170.
‘Abd al-Wahhâb Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, (al-Dâr al-Kuwaitiyyah, cet. VIII, 1968),
12
p. 222.
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
262 Qosim Nurseha Dzulhadi
Secara sederhana, Syeikh al-Khudhari memberikan definisi
bahwa naskh adalah “pengangkatan sang pembuat hukum (syâri‘)
atas satu hukum syar‘i dengan menggunakan dalil syar‘i”. 13 Sedangkan dalam bukunya Târîkh al-Tasyrî‘ al-Islâmî, secara panjanglebar beliau menyatakan bahwa naskh menurut terminologi fuqaha’
dimaknai dengan dua pengertian. Pertama, pembatalan hukum yang
diambil dari nash awal (nash sâbiq) dengan menggunakan nash yang
datang kemudian (nash lâh} i q). Contohnya adalah hadits yang
berbunyi: “Kuntu nahaytukum ‘an ziyârat al-qubûr alâ fazûrûhâ.”
Nash pertama melarang untuk melakukan ziarah kubur, sedangkan
nash kedua mengangkat (menghapus) larangan tersebut lalu posisinya digantikan oleh pembolehan (al-ibâh}ah) atau permintaan (althalab) – untuk melakukan ziarah kubur.
Kedua, mengangkat keumuman nash awal atau men-taqyîd
(mengikat) nash yang mutlak. Contohnya adalah firman Allah s.w.t..
di dalam Qs. Al-Baqarah (2): 228, “Wa al-muthallaqâtu yatarabbashna
bi’anfusihinna tsalâsta qurû’in.” Kemudian, Allah berfirman di dalam
Qs. Al-A} z âb (33): 49, “Idzâ nakah} t um al-mu’minâti tsumma
thallaqtumûhunna min qabli an tamassûhunna famâ lakum ‘alayhinna
min ‘iddatin ta‘taddûnahâ.”
Nash pertama adalah umum (‘âmm) mencakup wanita yang
sudah digauli (al-madkhûl bihâ) dan yang tidak, dan nash kedua
memberikan wanita yang al-madkhûl bihâ satu hukum khusus.
Begitu juga dengan firman Allah dalam Qs. Al-Nûr (24): 4, “Wa alladzîna yarmûna al-muh} s hanâti tsumma lam ya’tû bi’arba‘ati
syuhadâ’a fajlidûhum tsamânîna jaldatan.” Setelah itu, Allah
berfirman dalam Qs. Al-Nûr (24): 6, “Wa al-ladzîna yarmûna azwâjahum wa lam yakun lahum syuhadâ’u illâ anfusuhum fasyahadâtu
ah}adihim arba‘u syahâdâtin billâhi innahû lamin al-shâdiqîn.” Nash
pertama merupakan nash umum (‘âmm) mencakup semua orang
yang menuduh zina (al-qâdzifîn), baik para istri, atau bukan.
Sedangkan nash kedua menjadikan satu hukum khusus bagi para
suami, dimana – nash tersebut – menjadikan lima sumpah mereka
menduduki posisi empat saksi. Juga, nash tersebut memberikan
kepada istri hak untuk melepaskan diri dari tuduhan zina, menurut
lima sumpah mereka.
Syeikh Muhammad al-Khudhari, Ushûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-H}adîts, ttp.), p. 247.
13
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
263
Contoh dari pen-taqyîd-an nash yang mutlak adalah firman
Allah di dalam Qs. Al-Mâ’idah (5): 3, “H}urrimat ‘alaykum al-maytatu
wa al-damu...” Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Qul lâ ajidu
fîmâ ûh}iya ilayya muh}arraman ‘alâ thâ‘min yath‘amuhu illâ an yakûna
maytatan aw daman masfûh}an” [Qs. Al-An‘âm (6): 145] Nash pertama
adalah mutlak, yakni berbicara tentang darah yang diharamkan (aldam al-muh}arram). Sedangkan nash kedua merupakan pengikatnya,
yakni darah yang mengalir (al-dam al-masfûh}).14
Dengan begitu, berarti ada ayat-ayat yang diklaim nasikhmansukh, ternyata bukan. Karena bisa jadi dia masuk ke dalam ayat
yang muthlaq dan harus diikat (taqyid). Atau ayat-ayat yang muncul
secara global (‘am) yang butuh di-takhsish. Ditambah lagi ada dalil
yang memang tidak valid dalam mengklaim adanya nasikh-mansukh
dalam Al-Qur’an. Ibnu Katsir, misalnya, menginformasikan satu
riwayat dari al-Thabrani sebagai berikut:
“Al-Thabrani menyatakan: Abu Syabil ‘Ubaydullah ibn ‘Abdirrahman
ibn Waqid mengabarkan kepada kami; ayahku mengabarkan kepada
kami; al-‘Abbas ibn al-Fadhl mengabarkan kepada kami; dari
Sulaiman ibn Arqam dari al-Zuhri dari Salim dari bapaknya, dia
berkata: ‘Dua orang laki-laki membaca satu surat yang dibacakan
kepada oleh Rasulullah s.a.w. kepada mereka berdua. Suatu malam
mereka mendirikan shalat dan tak dapat lagi membacanya satu huruf
pun. Pagi harinya, mereka datang menemui Rasulullah s.a.w. dan
mengabarkan apa yang mereka alami. Lalu Rasulullah s.a.w.
mengatakan: ‘Surat itu termasuk yang di-naskh dan dilupakan, maka
kalian acuhkan saja itu.” 15
Dan Sulaiman ibn Arqam ini menurut Ibnu Katsir adalah
“lemah” (dha’if).16 Artinya, riwayat tentang adanya dua surat dalam
Al-Qur’an di sini menjadi tidak jelas. Konon lagi jika disandarkan
kepada pendapat ulama yang menyatakan bahwa yang disebut
dengan Al-Qur’an adalah yang sampai kepada kita secara mutawatir.
14
Syeikh Muhammad al-Khudharî Bek, Târîkh al-Tasyrî‘ al-Islâmî, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Fikr, ttp.), p. 16-17.
15
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Damaskus-Syiria: Dar al-Khayr, cet. I,
2006), 1: 199-200.
16
Ibid.
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
264 Qosim Nurseha Dzulhadi
Respon Terhadap Ayat-Ayat Naskh
a. QS. Al-Baqarah [2]: 106
Jumhur ulama menyatakan bahwa QS. 2: 106, ‘Maa nanskah
min ayatin aw nunsiha na’ti bikhayrin minha aw mitsilah. Alam ta’lam
anna Allah ‘ala Kulli sya’in Qadir’, merupakan merupakan dalil
adanya nasikh-mansukh di dalam Al-Qur’an. al-Wah}idi dalam Asbab
al-Nuzul-nya melaporkan riwayat sebab turunnya ayat di atas bahwa
para mufassirun berkata:
“Tidakkah kalian saksikan Muhammad “tidak konsisten” dalam
memberikan perintah kepada para sahabatnya untuk melakukan sesuatu, kemudian dia melarangnya dan menyuruh mereka melakukan hal lain (berbeda). Hari ini Muhammad bilang begini, besok
mengatakan yang lain lagi?! Ini berarti bahwa Al-Qur’an itu adalah
ucapan Muhammad yang ia buat-buat menurut kehendaknya sendiri, dan Al-Qur ’an adalah perkataan yang saling bertentangan
antara satu dengan lainnya. Maka, Allah menurunkan: (Wa’idzâ
baddalnâ âyatan makâna âyatin) juga menurunkan: (Mâ nansakh min âyatin
aw nunsihâ na’ty bikhayrin minhâ aw mitslihâ).17
Para pendukung Teori Naskh menyatakan bahwa makna
“ayat” dalam ayat tersebut di atas adalah “ayat Al-Qur’an” itu sendiri.
Ibnu Katsir meriwayatkan riwayat yang berkenaan dengan ayat di
atas bahwa Ali ibn Abî Thalh}ah berkata dari Ibnu Abbas: (mâ nansakh
min âyatin aw nunsihâ), ia berkata: ‘mâ nubaddilu min âyatin aw
nantrukuhâ lâ nubaddiluhâ’ (apa yang kami naskh dari satu ayat atau
kami akhirkan, bukan kami tukar). Mujahid berkata: “Dari para
sahabat Ibnu Mas‘ud aw ninsi’ahâ nutsbitu khaththahâ wa nubaddilu
h}ukmahâ. ‘Abd ibn ‘Umayr, Mujahid, dan ‘Athâ’ berkata: nunsi’ahâ
nu’akhkhiruhâ wa nurji’uhâ (Kami akhirkan dan Kami tangguhkan).
‘Athiyyah al-‘Ufi berkata: “Aw nunsi’ahâ: nu’akhkhiruhâ falâ
17
Imam Abu al-H}asan ‘Ali ibn Ah}mad al-Wâh}idî, Asbâb Nuzûl al-Qur’ân, tahqîq dan
studi: Kamâl Basyûnî Zaghlûl, (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. III, 2004 M/
1424 H), p. 38. Imam al-Suyuthi menyebutkan satu riwayat – yang tentunya berbeda dengan
pendapat imam al-Wâh}idî – bahwa sebab turunnya surah al-Baqarah (2): 106 adalah karena
Nabi SAW. mungkin – menurut bahasa Ibnu ‘Abbas – rubamâ – turun wahyu kepada beliau
di malam hari, lalu di siang harinya beliau lupa, maka Allah menurunkan: (Mâ nansakh min
âyatin). Imam al-Suyuthi menyebutkan: “Akhraja Ibnu Abi H}âtim min tharîq ‘Ikrimah ‘an Ibni
‘Abbâs qâla: “Kâna rubamâ yanzilu ‘alâ al-nabiyyi – shalla Allâhu ‘alayhi wa sallama – alwah}yu billayli wa nasiyahu bi al-nahâri, fa’anzala (Mâ nansakh min âyatin aw nunsihâ).”
Lihat al-Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, takhrîj hadits dan komentar: Dr. Muh}ammad
Muh}ammad Tâmir, (Cairo: Maktabah al-Imân, cet. I, 2003 M/1424 H), p. 22-23.
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
265
nunsikhuhâ” (atau Kami lupakan: Kami akhirkan, tidak Kami hapuskan). Hal yang sama juga dikatakan oleh al-Sadî, begitu juga dengan
al-Rabî‘ ibn Anas. Al-Dhah}h}âk berkata: (“mâ nanskah min âyatin aw
nunsihâ”), artinya: al-nâsikh wa al-mansûkh.
Abu al-‘Aliyah berkata: (mâ nansakh min âyatin aw nunsihâ)
nu’akhkhiruhâ ‘indanâ (menurut kami adalah mengkahirkannya).
Ibnu Abi H}âtim berkata: ‘Ubayd ibn Isma‘il al-Baghdâdî mengabarkan kepada kami, Khalaf mengabarkan kepada kami, al-Khafâf
mengabarkan kepada kami dari Isma‘il; yakni Ibnu Aslam dari H}abîb
ibn Abî Tsâbit dari Sa‘id ibn Jubayr dari Ibnu Abbas ia berkata:
“Umar ra. berkhutbah kepada kami lalu ia berkata, “Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman: (mâ nanskah min âyatin aw nunsihâ) ay nu’akhkhiruhâ
(artinya: Kami akhirkan). Sedangkan jika dibaca dengan (“nunsihâ”),
berkata ‘Abd al-Râziq dari Ma‘mar dari Qatâdah dalam firman Allah
(mâ nansakh min âyatin aw nunsihâ), ia berkata: Allah ‘Azza wa Jalla
melupakan nabi-Nya saw. apa yang dia kehendaki dan menghapus
apa yang dia kehendaki.18
Abu Muslim al-Asfahani, penentang Teori Naskh ‘nomor
wah}id’, menolak jika kata “ayat” dalam Qs. 2: 106 dimaknai dengan
“ayat Al-Qur’an”. Kemudian, dia memberikan tiga pengertian “ayat”
di atas sebagai “ayat Al-Qur’an”. Dia memahaminya dengan tiga
pengertian. Pertama, bahwa ayat tersebut berarti “syariah” sehingga
terjadinya naskh merupakan penghapusan atas syari’ah dalam kitabkitab terdahulu oleh Al-Qur’an. Kedua, naskh berarti penukilan dari
al-Lauh} al-Mah}fuzh ke dalam seluruh kitab suci. Ketiga, ayat itu tidak
mengisyaratkan adanya keniscayaan naskh dalam Al-Qur ’an,
melainkan hanya pada pengandaian saja. Bahwa, apabila ada ayat
yang di-naskh maka Allah akan mendatangkan gantinya yang lebih
baik. Atau, setidaknya yang sepadan dengan yang me-naskh.19
Respon lain datang dari Imam Muhammad ‘Abduh. Dengan
keras ‘Abduh menolak makna ayat dalam Qs. 2: 106 sebagai ayat
Al-Qur’an. Yang benar menurutnya adalah ayat kawniyyah
(mukjizat). Dia menulis:
18
‘Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ’ Ismâ‘il ibn Katsîr al-Qurasyi al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân
al-‘Azhîm, tah}qîq: ‘al-‘Allâmah Muh}ammad Nâshir al-Dîn al-Albânî, takhrîj hadits: Mah}mûd
ibn al-Jamîl dan Walîd ibn Muh}ammad ibn Salâmah, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, jilid I, cet. I,
2004), p. 180-181. Setelah itu, beliau mengutip pendapat Ibnu Jarir al-Thabari.
19
Pendapat Abu Muslim ini dikutip oleh al-Razi dalam Mafatih} al-Ghaib-nya. Lihat
Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, (Bandung: Penerbit
Nuansa, 2005), p. 102-103.
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
266 Qosim Nurseha Dzulhadi
“Naskh yang ada di dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia maksudnya adalah naskh atas ayat-ayat kauniyah (perkara yang luar biasa),
bukan pada ayat-ayat hukum. Ketika menjelaskan firman Allah: (Mâ
nansakh min âyatin aw nunsihâ na’ty bikhayrin minhâ wa mitslihâ, alam ta‘lam
anna Allâha ‘alâ kulli syai’in qadîr) [Qs. Al-Baqarah (2): 106], setelah
memaparkan pendapat jumhur dan pandangan-pandangan mereka
dalam ayat tersebut beliau menyatakan: “Inilah pendapat para mufassir dalam ayat tersebut. Jika kita timbang (bandingkan) antara
redaksi (siyâq) ayat (mâ nansakh) dan ayat (Wa idzâ baddalnâ âyatan
makâna âyatin) [Qs. Al-Nah}l (16): 101] kita menemukan bahwa ayat
pertama ditutup oleh firman Allah: (...alam ta‘lam anna Allâha ‘ala kulli
syai’in qadîr) dan ayat kedua ditutup dengan: (...wa Allâhu a‘lamu bimâ
yunazzilu qâlû innamâ anta muftarin). Kita mengetahu bagaimana
kuatnya perhatian gaya bahasa (uslûb) Al-Qur’an dengan adanya
kesesuain (munâsabah) ini. Penyebutkan kata “al-‘ilm” dan “al-tanzîl”
dan klaim rekaan (da‘wâ al-iftirâ’) di dalam ayat kedua menerangkan
bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan hukum-hukum, sedangkan penyebutkan “al-qudrah” (kemampuan) dan afirmasinya (altaqrîr) terhadap “al-qudrah” di dalam ayat pertama tidak sesuai
dengan pembahasan hukum-hukum dan penghapusannya. 20
Lebih lanjut ‘Abduh menyatakan bahwa dua qirâ’ah yang
diriwayatkan oleh al-Thabari dan Ibnu Katsir mengindikasikan
adanya kebingungan (al-tah}ayyur) para ulama dalam memahami
ayat tersebut. Ini juga dikomentari oleh ‘Abduh.
Sebagian ulama, menurutnya, sampai ada yang menyatakan
bahwa (nunsihâ) artinya “natrukuhâ”. Padahal, ini tidak sesuai dengan
pernyataan mereka tentang naskh. Beliau kemudian berpendapat
bahwa makna yang benar, sesuai dengan redaksi ayat hingga akhirnya adalah: “ayat” di sini adalah apa yang dengannya Allah menguatkan para nabi dengan menggunakan dalil-dalil atas kenabian mereka.
Artinya, (mâ nansakh min âyatin) Kami memberikan satu dalil atas
kenabian seorang nabi, atau menghapuskan (nuzîluhâ) dan meninggalkan (tidak menguatkan) nabi yang lain atau menghapuskannya
dari manusia, karena jauhnya waktu (masa) dengan (nabi) yang membawa. Kami, dengan segala kemampuan yang sempurna dan menguasai kerajaan, mendatangkan apa yang lebih baik dari segi
kemampuan dalam memberikan kepuasan dan menguatkan
kenabian atau yang sepertinya. Siapa yang kemampuannya dan luas
20
Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-H}akim (Tafsir al-Manar), (BeirutLebanon: Dar al-Fikr, 2007), 1: 299-300.
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
267
kerajaannya seperti itu, maka tidak dapat di-taqyîd dengan satu ayat
khusus yang diberikannya kepada seluruh nabi-Nya.21
Lihatlah, menurut beliau, bagaimana ketinggian retorik (albalâqah) membuka wajahnya di sini. Tampak jelas, bahwa penyebutan “al-qudrah” dan keluasaan kekuasaan sesuai dengan ayatayat tersebut dalam arti dalil-dalil, bukan bermakna hukum-hukum
syar‘i. Perkataan-perkataan yang ada menunjukkan hal itu, bukan
perkataan-perkataan yang menunjukkan kepada kenabian. Hal ini
semakin jelas dalam ayat berikutnya: (Am turîdûna an tas’alû
rasûlakum kamâ su’ila Mûsâ min qablu) [Qs. Al-Baqarah (2): 107].
Bani Israil tidak merasa cukup dengan ayat-ayat (tanda-tanda kenabian) yang diberikan kepada Musa, sampai mereka berani untuk
meminta yang lain, dan berkata: “Wahai Musa, kami tidak akan
pernah beriman kepadamu, sampai kami melihat Allah dengan
nyata” [Qs. Al-Baqarah (2): 55]. Begitu juga halnya dengan Fir‘aun
dan kaumnya. Setiap kali mereka melihat satu tanda kenabian (ayat),
mereka meminta yang lain sampai mereka melihat sembilan ayat
yang nyata, tapi tidak juga beriman. Firman Allah: (...kamâ su’ila
Mûsâ min qablu) mencakup semuanya.22 Penafsiran ini, yang dengannya ayat-ayat tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya, yang
mengalir sesuai dengan balâghah merupakan penafsiran yang dapat
diterima oleh akal. Dan ini mustahil dapat dirasakan lewat cita rasa
bahasa (al-dzauq), karena dalam memahami susunan dan arah kosakatanya tidak harus bersusah payah (al-takalluf) dalam memahami
keserasian ayat dan bukan pada penyelarasan berbagai kosa-katanya,
seperti “manusia” dan “kemampuan” dan “kerajaan” (al-insan wa
al-qudrah wa al-mulk). 23
Tentang qirâ’ah yang membaca kata “nunsihâ” dengan nansa’hâ
imam Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa itu qirâ’ah Ibnu
Katsir dan Abu ‘Amrû, artinya “kami mengakhirkannya”. Beliau
menyatakan: “Hal ini tidak tampak mendukung naskh hukumhukum, sebagaimana tampak dalam naskh ayat-ayat dan mukjizat21
Pendapat ini pula yang dikutip oleh al-Maraghi. Lihat Ah}mad Musthafa al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 2006), 1: p. 106. Setelah mengutip pendapat
‘Abduh, al-Maraghi menyatakan: “Wa qad sabaqahi ila mitslihi Muh}y al-Din Ibn al-‘Arabi fi
Tafsirihi” (Muh}y al-Din ibn al-‘Arabi lebih dulu dari al-Ustadz al-Imam (Abduh) dalam
menafsirkan yang seperti itu).
22
Ridha, 1: 300-301.
23
Ridha, ibid., 1: 1: 301.
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
268 Qosim Nurseha Dzulhadi
mukjizat yang diajukan kepada para nabi. Ayat yang diajukan kepada
seorang nabi, karena ayat tersebut milik nabi yang sebelumnya bisa
jadi dihapus dengan ayat yang baru yang lebih baik darinya atau
yang sepertinya. Bisa jadi ia diakhirkan dengan ayat yang baru,
kemudian diberikan pada waktu yang lain setelah pengajuan. Tetapi,
pengakhiran ayat-ayat hukum tidak memiliki makna yang jelas.24
Pandangan lain tentang ragam bacaan (qira’ah) datang dari
Imam al-Badakhsyi. Beliau menyatakan bahwa ayat yang berbunyi:
“Mâ nansakh min âyatin aw nunsihâ” [Qs. Al-Baqarah (2): 106] artinya
“nu’akhkhiruhâ” “na’aty bikhayrin minhâ aw mitslihâ”. Wajhu aldilâlah dari ayat tersebut adalah: bahwa pengambilan dalil dari AlQur’an tergantung pada kenabian Nabi Muhammad SAW. dimana
kenabian beliau merupakan penghapus kenabian yang sebelumnya
atau mukhashshish. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat ulama. Kita
menyatakan bahwa kenabian Nabi SAW. jika berdasarkan pada
naskh, maka yang diklaim –naskh– telah terjadi. Jika tidak, maka
ayat tersebut yang dinukilnya menunjukkan bolehnya naskh. Imam
al-Razi di dalam tafsirnya menyatakan bahwa pengambilan dalil (alistidlâl) ini adalah lemah. Karena firman-Nya: “Mâ nansakh min
âyatin” adalah jumlah syarthiyah. Artinya, Kami me-naskh-mendatangkan (an nansakh na’ty), dan adanya keharusan antara dua hal
tidak mengharuskan salah satunya terjadi. Dan tidak benar bahwa
hal itu terjadi.25
Mengomentari Qs. 2: 106 di atas, Syeikh Muhammad alGhazali memulai dari ayat 105-107. Kemudian beliau menyatakan
bahwa pendapat yang menyatakan bahwa ayat ini mengindikasikan
adanya naskh lafadz dan hukumnya sekaligus, dan Rasul serta
sahabatnya dilupakan –akan ayat tersebut—seluruhnya adalah
perkataan yang tidak berbobot sama sekali (kalam la wazna lahu).26
Secara tegas beliau menyatakan bahwa: “Tidak pernah ada ayat yang
turun, tidak dalam fase Makkah juga tidak pada fase Madinah, satu
ayat yang “menghalalkan” (sesuatu) kemudian turun ayat lain
“mengharamkannya”. Maka dari itu, tidak ada satu ayat pun yang
Ibid., p. 302.
Imam Muh}ammad ibn al-H}asan al-Badakhsyî, Syarh} al-Badakhsyî, Manâhij al-‘Uqûl
bersama Syarh} al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl karya Imam Jamal al-Dîn ‘Abd al-Rah}îm al-Isnawî
(w. 772 H), (Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, ttp., jilid II [3 jilid]), p. 232.
26
Syeikh Muhammad al-Ghazali, Nazharat fi al-Qur’an, (Cairo: Nah}dhah Mishr,
2005), p.
24
25
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
269
turun untuk ‘menakut-nakuti’ seseorang untuk mengakui adanya
naskh.27 Karena naskh di ayat ini, tegasnya, bukan “pengantian”
hukum-hukum satu syariat secara parsial, melainkan pengubahan
(taghyir) dalil-dalil yang ada dalam satu agama, untuk difokuskan
di dalam jiwa. Setting pembicaraanya (dalam ayat tersebut) dimulai
bahwa kaum Ahli Kitab tidak berbuat baik kepada Islam dan tidak
mengakui keutamaannya. Lalu diikuti dengan satu pertanyaan yang
intinya menyeru orang-orang Yahud: ‘A turiduna an tas’alu
rasulakum kama su’ila Musa min Qabl?’28
Artinya, ayat itu tidak berbicara tentang adanya naskh dalam
Al-Qur ’an. Karena secara siyaq (konteks) lebih tepat dimaknai
dengan “mukjizat” (khawariq al-‘adat atau ayat takwiniyah).
b. QS. Al-Nah}l [16]: 101
Surah al-Nah} l [16]: 101 [Wa idza baddalna ayatan makana
ayatin, wa Allah a’lamu bima yunazzil, Qalu innama anta muftar
bal aktsaruhum la ya’lamun] juga menjadi landasan kuat kelompok
ulama yang mendukung Teori Naskh di dalam Al-Qur’an. Kata
“ayat” dalam surah tersebut dimaknai sebagai “ayat Al-Qur’an” juga.
Ibnu Jarir al-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya tentang
ayat di atas banyak mengutip banyak riwayat, tanpa merajihkannya.29 Salah satunya adalah riwayat dari Qatadah yang menyamakan
makna Qs. Al-Nah}l [16]: 101 dengan Qs. Al-Baqarah [2]: 106, yaitu
Ibid., p. 203.
Qs. Al-Baqarah [2]: 108. Lihat ibid., p. 204. Setelah itu, Syeikh al-Ghazali mengutip
pendapat Muhammad ‘Abduh tentang penafsiran dari ayat tersebut, seperti yang penulis
kutip sebelumnya.
29
Riwayat pertama: dari Muh}ammad ibn ‘Amru –Abu ‘Ashim – ‘Isa – al-H}arits – alH}asan – Warqa’ – al-Mutsanna – Abu H}udzaifah – Syibl – al-Mutsanna – Ish}aq – ‘Abdullah,
semuanya dari Warqa’ – dari Abi Najih} – dari Mujahid, tentang firman Allah (Wa idza
baddalna ayatan makana ayatin) artinya: Kami mengangkatnya, maka Kami turunkan ayat
yang lain.” Kedua, al-Qasim – al-H}asan – H}ajjaj – Ibn Juraij – Mujahid: (Wa idza baddalna
ayatan makana ayatin), dia berkata: ‘Jika Kami menghapuskannya, Kami menukarnya, Kami
mengangkatnya, dan Kami tetapkan ayat yang lain.’ Ketiga, Bisyr – Yazid – Sa’id – Qatadah,
firman-Nya (Waidza baddalna ayatan makana ayatin), adalah firman-Nya: (Ma nanskah min
ayatin aw nunsiha) [Qs. Al-Baqarah [2]: 106]. Keempat, Yunus – Ibn Wahb – Ibn Zaid, dalam
firman-Nya: (Wa idza baddalna ayatan makana ayatin), orang-orang musyrik berkata: ‘Engkau
merekayasa. Engkau datangkan keburukan lalu engkau membatalkannya, kemudian engkau
menggantinya dengan yang lain.” Ibn Zaid berkata: “Penggantian ini dalah nasikh. ‘Kami
tidak mengganti satu ayat dengan ayat yang lain kecuali lewat naskh.’ Lihat Ibnu Jarir alThabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 2005), 8: 206207.
27
28
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
270 Qosim Nurseha Dzulhadi
naskh. Menafsirkan Qs. Al-Nah} l [16]: 101 di atas, Ibnu Katsir
menyatakan:
“Allah ta’ala mengabarkan tentang lemahnya nalar orang-orang
musyrik dan minimnya ketegaran dan keyakinan mereka. Dimana
tak terbayangkan sedikitpun ciri keimanan dari mereka. Kesengsaran
telah diputuskan atas mereka. Hal itu dikarenakan, jika mereka mendapatkan perubahan hukum-hukum (taghyir al-ah}kam) penghapus dan
yang dihapus (nasikhuha wa mansukhuha), mereka berkata kepada
Rasulullah s.a.w.: ‘Engkau suka merekayasa’ (innama anta muftar), yakni:
“Pendusta” (kadzdzab). Padahal, Allah ta’ala dapat melakukan apa
saja menurut kehendak-Nya, menghukumi apa yang dia inginkan.
Mujahid berkata: [Baddalna ayatan makana ayatin] artinya: ‘Kami
mengangkatnya, dan Kami tetapkan ayat yang lain’. Qatadah
menyatakan: ‘Ayat ini seperti firman-Nya [Ma nansakh min ayatin aw
nunsiha] [Qs. Al-Baqarah [2]: 106]. Maka Allah menjawab mereka:
‘Katakanlah –Muhammad—Roh Kudus lah (Jibril) yang membawanya turun dari Tuhanmu dengan benar’, yaitu: dengan benar dan
adil. [Untuk memberi ketetapan hati orang-orang beriman], sehingga mereka
membenarkan apa yang turun pertama dan kedua, dan hati mereka
menjadi tunduk. [Sebagai petunjuk dan kabar gembira bagi orangorang Islam], yaitu: Allah menjadikannya sebagai pemberi petunjuk
dan kabar gembira bagi kaum Muslimin, yang beriman kepada Allah
dan rasul-rasulnya.” 30
Di sini Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir sepakat, bahwa makna tabdil
dalam Qs. Al-Nah}l [16]: 101 sama dengan Qs. Al-Baqarah [2]: 106,
yaitu naskh (mengangkat, menghapuskan). Meskipun riwayatnya
sama-sama mursal, karena hanya sampai kepada Mujahid atau
Qatadah, dimana keduanya adalah tabi’in. Jadi riwayatnya lemah,
tidak marfu’ kepada Rasulillah s.a.w.
Secara implisit, al-Maraghi menolak naskh dalam ayat di atas
sebagai naskh ayat Al-Qur’an. Al-Maraghi malah mengumpamakannya dengan “obat”, ketika menasirkan firman Allah ‘wallahu
a’lami bima yunazzil’. Dia menulis:
“Dan firman-Nya ‘wallahu a’lamu bima yunazzil’: ini adalah tawbikh
(celaan) keterangan bahwa penggantian itu (al-tabdil) bukan berdasarkan hawa nafsu (al-hawa), melainkan berdasarkan hikmah yang
mengharuskannya. Dikarenakan perubahan keadaan (situasa) dan
zaman. Tidakkah Anda saksikan, bahwa seorang dokter menyuruh
30
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Damaskus-Suriah: Dar al-Khayr, 2006), 2:
752. Di sini tampak bahwa Ibnu Katsir mengambil riwayat dari tafsir Ibnu Jarir al-Thabari.
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
271
seorang pasien meminum satu jenis obat. Namun ketika dia menemuinya pada waktu berbeda, dia melarangnya, malah menyuruh
meminum obat yang lain atau menggunakan obat yang tidak sama
jenisnya dengan obat yang diminumnya; sesuai dengan keadaan si
pasien? Demikian pula syari’at-syari’at itu. Ia disesuaikan dengan
zaman, tempat dan keadaan yang melatarinya. Jika muncul hal yang
harus mengubahnya dan mengharuskan diganti dengan yang lain,
yang lebih baik dengan keadaan-keadaan yang spontanitas itu. Dan
hal itu dapat dibuktikan dengan kasat mata. Kita senantiasa menyaksikan bahwa undang-undang konvensional diubah dari waktu
ke waktu, jika hal itu dibutuhkan.” 31
Respon keras juga datang dari Syeikh al-Ghazali. Beliau
menulis:
“Semua takwilan tersebut sangat jauh dari ayat. Surah al-Nah}l adalah Makkiyah. Tidak wahyu Tuhan yang turun pada periode Makkah
itu sesuatu yang menasakhkan hal yang lebih menyulitkan (al-asyaqq)
atau yang lebih mudah (al-ahwan), sehingga hal itu menjadi perselisihan diantara kaum musyrikin, atau rasa protes kepada Al-Qur’an
karena di dalamnya terdapat kontradikis (tanaqudh). Jadi dimana
“halal” yang “diharamkan” atau sesuatu yang dihalalkan sebelum
turunnya surah al-Nah}l? Tak sesuatu pun yang terjadi, apalagi jika
dikatakan banyak. Apalagi sampai kaum musyrikin mengolok-olok
sehingga mereka mengatakan Muhammad telah mereka-reka –ayat
Al-Qur ’an. 32
Penjelasan yang benar, menurut beliau, adalah:
“Kaum musyrikin tidak puas jika Al-Qur’an dianggap sebagai mukjizat yang menjadi saksi atas kenabian Muhammad. Mereka kemudian meneliti hal-hal yang luar biasa –dari Muhammad—seperti yang
pernah keluar dari para nabi sebelumnya; yang merupakan ayat,
dalam pandangan mereka, menundukkan leher-leher mereka.
Sedangkan Al-Qur’an, mungkin buatan Muhammad saja. Mungkin
juga dia mempelajarinya dari kalangan Ahli Kitab yang menguasai
Taurat dan Injil. Lalu, Allah membantah mereka. Bahwa Dia lebih
tahu tentang mukjizat yang sesuai untuk dunia: sekarang dan akan
datang. Dan ayat ini lebih bagus untuk manusia dan lebih kekal dalam
menumbuhkan keimanan dan menghujamkannya dibanding dengan
ayat yang lain. Sedangkan klaim yang mengatakan bahwa
Muhammad memanfaatkan ilmu-ilmu kaum Yahudi dan Nasrani,
kemudian menyusun Kalam Arab ini (baca: Al-Qur ’an) setelah
31
32
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 5: 177.
Ibid., p. 202.
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
272 Qosim Nurseha Dzulhadi
berhubungan dengan si fulan dan si fulan dari orang non-Arab yang
memeluk Kristen hanyalah adalah “kelemahan” yang menghibur
orang-orang berakal untuk terlalu dalam membahasnya.” 33
Pakar tafsir di Indonesia yang menolak keras adalah Hasbi asShiddieqy. Dia sangat mendukung pendapat Abu Muslim alAshfahaniy. Menurutnya:
“Jumhur ulama, sebelum Abu Muslim Ashfahany34 (yang wafat pada
tahun 322 H) mengatakan, bahwa adanya naskh di dalam Kitabullah
adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi yang
demikian itu. Abu Muslim, sebagai seorang ulama ahli tahqiq, tidak
membenarkan nasakh dalam arti umum. Abu Muslim membatalkan
beberapa nasakh, yang menurut pendapatnya, berlawanan dengan
firman Allah ayat 42 S. 41: Fushilat. Beliau mengatakan bahwa dimaksud dengan nasakh, ialah takhsis. Beliau mengatakan demikian, untuk
menghindari pendirian membatalkan suatu hukum yang Allah telah
turunkan.” 35
Demikian pemaparan seputar respon terhadap dua ayat AlQur’an yang dijadikan dalil oleh jumhur dalam mendukung adanya
Teori Naskh dalam Al-Qur ’an. Menurut Ah} mad H} a ssan, para
pendukung Teori Naskh telah melompat dalam penafsiran mereka
tanpa meninjau konteksnya. Padahal, menurutnya, bukti internal
dalam salah satu ayat yang mengikuti ayat tersebut di atas, secara
tak dapat ditentang (incontrovertibly) menempatkannya dalam
perspektif sejarah masa-masa awal di Madinah ketika kaum
Muslimin menghadapi tantangan dari suku-suku Yahudi dari orangorang yang baru memeluk Islam yang masih merasa tak yakin
apakah wahyu yang dikemukakaan oleh seorang ummi (buta huruf)
Ibid. Lihat juga kritiknya terhadap dalil jumhur yang menjadikan Qs. 2: 105-107
sebagai ayat naskh, ibid., p. 203-205.
34
Abu Muslim memang banyak dikecam oleh jumhur dalam masalah nasikh-mansukh
ini. Pendapatnya dianggap ‘menentang arus’ bahkan banyak yang mendiskreditkannya.
Sekelas Ibnu Katsir, misalnya, sampai menyatakan: “Kaum Muslimin seluruhnya sepakat,
bahwa boleh adanya naskh dalam hukum-hukum Allah, karena adanya hikmah yang amat
tinggi. Seluruh mereka menyatakan bahwa hal itu terjadi. Dan Abu Muslim al-Ashfahani
sang mufassir mengatakan: ‘Lam yaqa’ syai’un min dzalik fi al-Qur’an’ (hal itu tidak terjadi di
dalam Al-Qur’an). Pendapatnya ini lemah, tertolak dan rendah (dianggap rendah, mardzul)...”
(Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, op.cit., p. 202.
35
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Media-media Pokok dalam
Menafsirkan Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), p. 151. Buku ini pertama kali diterbitkan
oleh NV Bulan Bintang, Jakarta, tahun 1972.
33
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
273
dari kalangan mereka sendiri dapat menggantikan ajaran nabi-nabi
Yahudi yang telah dihormati sepanjang zaman.
Bahwa ayat di atas menunjukkan pada tuduhan mengada-ada
yang divoniskan orang-oang munafik tersebut bukan mengacu pada
penggantian satu ayat Al-Qur’an oleh ayat yang lain, karena mereka
menuduh bahwa Al-Qur’an seluruhnya tidak didiktekan oleh “Ruh}
al-Quds” (Qs. Al-Nah}l [16]: 102), tetapi oleh seorang budak Kristen.
Karena demikian, kata mereka, bagaimana mungkin Muhammad
sebagai orang Arab yang ummi dapat menerima wahyu yang merupakan satu-satunya hak istimewa bagi kaum Ahli Kitab.36
Na>sikh-Mansu>kh Menurut Jumhur
Secara rinci imam al-Suyuthi menyatakan bahwa sebagian
ulama (menurutnya qâla ba‘d}uhum) surat-surat Al-Qur’an menurut
nâsikh–mansûk terbagi kepada empat kelompok. Pertama, kelompok
yang tidak terdapat di dalamnya nâsikh–mansûkh, jumlahnya 43
surat: al-Fâtih}ah, Yûsuf, Yâsîn, al-H}ujurât, al-Rah}mân, al-H}adîd, alShaff, al-Jumu‘ah, al-Tah}rîm, al-Mulk, al-H}âqqah, Nûh}, al-Jinn, alMursalât, ‘Amma, al-Nâzi‘ât, al-Infithâr dan tiga surat setelahnya37,
al-Fajr, dan setelahnya sampai akhir Al-Qur’an, kecuali surat al-Tîn,
al-‘Ashr dan al-Kâfirûn.38
Kedua, kelompok yang di dalamnya terdapat nâsikh–mansûkh,
jumlahnya 25 surat: al-Baqarah dan tiga surat sesudahnya39, al-H}âjj,
al-Nûr dan surat berikutnya [Al-Furqân], al-Ah} z âb, Saba’, alMu’min, al-Syûrâ, al-Dzâriyât, al-Thûr, al-Wâqi‘ah, al-Mujâdilah, alMuzammil, al-Muddatsir, Kuwwirat, dan al-‘Ashr. Ketiga, kelompok
yang hanya mengandung nâsikh saja, jumlahnya 6 surat: al-Fath, alHasyr, al-Munâfiqûn, al-Taghâbun, al-Thalâq, dan al-A‘lâ. Dan
keempat, kelompok yang hanya mengandung mansûkh saja, yakni
empat puluh surat dari sisa yang tidak disebutkan.40
Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh Mansukh, p. 108-109.
Al-Muthaffifîn, al-Insyiqâq dan al-Burûj.
38
Al-Balad, al-Syams, al-Layl, al-Dhuh}â, al-Syarh}, al-‘Alaq, al-Qadar, al-Bayyinah, alZalzalah, al-‘Âdiyât, al-Qâri‘ah, al-Takâtsur, al-Humazah, al-Fîl, al-Quraysy, al-Mâ‘ûn, alKautsar, al-Nashr, al-Lahab, al-Ikhlâsh, al-Falaq dan al-Nâs.
39
Âli ‘Imrân, al-Nisâ’ dan al-Mâ’idah.
40
Ibid., p. 29-30. Lihat al-Nâsikh wa al-Mansûkh, op. cit., p. 19-20. Empat puluh surat
yang dimaksud oleh imam al-Suyuthi adalah: (1) al-An‘âm, (2) al-A‘râf, (3) al-Anfâl, (4), alTawbah, (5) Yûnus, (6) Hûd, (7) al-Ra‘du, (8) Ibrâhîm, (9) al-H}ijr, (10) al-Nah}l, (11) al-Isrâ’,
36
37
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
274 Qosim Nurseha Dzulhadi
Khusus berkenaan jenis nasikh–mansûkh, seperti pendapat
jumhur, membaginya ke dalam tiga bagian: Pertama, jenis yang dihapus bacaannya dan hukumnya secara bersamaan (mâ nusikha
tilâwatuhû wa h}ukmuhû ma‘an). Contoh, ‘Aisyah ra. berkata: “Kâna
fîmâ ’unzila: ‘Asyra radha‘âtin ma‘lûmâtin fanusikhna bikhamsi
ma‘lûmâtin , fatuwuffiya Rasûl Allâhi (shallâ Allâhu ‘alayhi wa
sallama) wa hunna mimmâ yuqra’u min al-qur’âni,” ‘Ayat yang pernah
diturunkan adalah: Sepuluh hisapan (susuan) lalu dihapuskan
dengan lima hisapan, kemudian wafatlah Rasulullah SAW. dan lima
hisapan tersebut bagian yang dibaca dari Al-Qur ’an.’ (HR. AlSyaikhânî).Kemudian para ulama “memperbincangkan” perkataan
‘Aisyah: (wa hunna mimmâ yuqra’u). Zahir ucapan tersebut adalah:
baqâ’u al-tilâwah (tetap ada bacaannya), namun tidak demikian.
Kemudian dijawab bahwa maksudnya: mendekati waktu wafat.
Atau: bacaannya di-naskh juga. Dan hal itu tidak sampai kepada orang
banyak, kecuali setelah Rasulullah wafat. Dan setelah beliau wafat,
sebagian manusia membacanya. Abu Musa al-‘Asy‘arî berkata:
“Nazalat tsumma rufi‘at.” (Ayat tersebut turun, lalu diangkat/
dihapus). Dan Makkî berkata: “Ini adalah contoh di dalamnya
terdapat mansûkh yang tidak terbaca (al-mansûkh ghayr matluww),
dan nâsikh juga tidak dibaca (ghayr matluww). Aku tidak mengetahui
(12) al-Kahfi, (13) Maryam, (14) Thâhâ, (15) al-Anbiyâ’, (16) al-Syu‘arâ’, (17) al-Naml, (18)
al-Qashash, (19) al-‘Ankabût, (20) al-Rûm, (21) Luqmân, (22) al-Sajadah, (23) Fâthir, (24)
Shâd, (25) al-Zumar, (26) Fushshilat, (27) al-Zukhruf, (28) al-Dukhân, (29) al-Jâtsiyah, (30) alAh}qâf, (31) Muh}ammad, (32) Qâf, (33) al-Najm, (34) al-Qamar, (35) al-Mumtah}anah, (36) alQalam, (37) al-Ma‘ârij, (38) al-Qiyâmah, (39) al-Insân, dan (40) ‘Abasa. Namun, ada satu surat
yang tidak termasuk ke dalam empat bagian di atas, yakni surat al-Ghâsyiah. Bisa jadi ini
karena kekhilafan imam al-Suyuthi, sehingga tidak terhitung. Berkenan dengan jumlah ayat
yang mansûkhakh dalam Al-Qur’an, mereka berselisih pendapat. Ada yang mengatakan 500
ayat, tetapi ada juga yang memperkirakan lebih sedikit dari itu. Setelah mencoba
mengkompromikan sejumlah ayat yang dianggap nâsikh – mansûkh oleh sebagian ulama, alSuyuthi memprediksi masih ada sekitar 20 hingga 21 ayat yang “terpaksa harus di-nâsikh—
mansûkh –kan”. Tetapi kemudian Shah Waliyullah al-Dahlawi (1114-1176 H/1703-1762 M),
mencoba mempertemukan ayat-ayat yang dianggap oleh al-Suyuthi dianggap nâsikh –
mansûkh itu hingga akhirnya tinggal 5 ayat saja yang dianggap belum bisa dikompromikan,
yakni surah al-Baqarah (2): 180 dengan al-Nisâ’ (4): 11, al-Baqarah (2): 240 dengan al-Baqarah
(2): 234, al-Anfâl (8): 65 dengan al-Anfâl (8): 66, al-Ah}zâb (33): 52 dengan 50 dan alMujâdilah (58): 12 dengan al-Mujâdilah (58): 13 Lihat Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, op.
cit., p. 32-33. Lebih rinci, Gamal al-Banna menyebutkan perbedaan pendapat ulama dalam
memprediksi ayat-ayat nâsikh – mansûkh. Beliau menyebutkan bahwa Ibnu al-Jauzi
menyebutkan sebanyak 247 ayat, Abu ‘Abdullah ibn H}azm sebanyak 210 ayat, Abu alQâsim Habahullâh ibn Salâmah sebanyak 212 ayat, Abu Ja‘far al-Nuh}âs sebanyak 134 ayat
dan ‘Abd al-Qâdir al-Baghdâdi sebanyak 66 ayat. Lihat Gamal al-Banna, op. cit., p. 9.
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
275
yang sepertinya (wa lâ a‘lamu lahû nazhîran).” Selesai.41
Kedua, jenis yang dihapus hukumnya tanpa bacaannya (mâ
nusikha h}ukmuhû dûna tilâwatihî). Jenis kedua inilah, menurutu
beliau, yang menjadikan ditulisnya banyak buku. Dan pada hakikatnya, jenis ini sangat sedikit sekali, meskipun banyak yang menghitung banyak ayat berkenaan dengan ini. Para muh}aqqiqîn, seperti
al-Qâdhî Abu Bakar ibn al-‘Arabî telah menjelaskan hal ini dan beliau
merupakan orang yang membahas secara tuntas (wa atqanahû).42
Untuk jenis yang kedua ini, beliau banyak menyebutkan sebanyak
20 ayat yang mansûkhah (dihapus) hukumnya tanpa bacaannya. Namun demikian, beliau banyak menggunakan kata-kata qîla (dikatakan), yang mengindikasikan riwayat yang lemah.43 Bahkan, masalah
ayat yang berbunyi: “wa al-ladhîna yatawaffauna minkûm”[Qs. AlBaqarah (2): 234] sampai firman Allah: “matâ‘an ilâ al-h}auli”[Qs.
Al-Baqarah (2): 240] di-naskh oleh ayat: “arba‘ata asyhurin wa
‘asyran” [Qs. Al-Baqarah (2): 234]. Wasiat di-naskh oleh al-mîrâts (ayat
tentang warisan). Tempat tinggal: tetap (harus diberikan) menurut
satu kaum, dan di-naskh menurut pendapat yang lain dengan hadits
yang berbunyi: “lâ saknâ.”44 Di sini tampak perbedaan pendapat.
Ketiga, jenis yang dihapus bacaan tanpa hukumnya (mâ nusikha
tilâwatuhû dûna h}ukmihî). Contohnya, riwayat dari ‘Umar ibn alKhaththab dan Ubayy ibn Ka‘ab, mereka berdua berkata: “Termasuk
yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: al-Syaiky wa al-syaikhatu
idzâ zanayâ farjumûhumâ albattah.”45 Berbeda dengan pendapat di
atas, Syeikh Muhammad Abu Zahrah membagi naskh ke dalam dua
bagian. Pertama, naskh eksplisit (naskh sharîh} ) dan kedua, naskh
implisit (naskh d}imniy). Untuk contoh jenis pertama, beliau mengutip
hadits Nabi SAW. yang berbunyi: “Kuntu nahaytukum ‘an ziyârah
al-qubûr, alâ fazûrûhâ.” Naskh dalam hadits ini jelas (sharîh).
41
Ibid.
Ibid., p. 31.
43
Ibid., p. 32-35.
44
Shah}îh} Bukhari: kitâb al-thalâq (hadits: 5015). Lihat ibid., 33.
45
Hadits shahîh: diriwayatkan oleh Abu Dawud (3835), al-Tirmidzi (1352), al-Nasa’i
dalam “al-Kubrâ” (7156), Ibnu Majah (2543), Malik (1295), al-Dârimî (2219), Ibnu H}ibban di
dalam “Shah}îh}-nya” (4428), al-Thabrani di dalam “al-Kabîr” (455) dan dalam “al-Awsath”
(4352), ‘Abd al-Razzâq dalam “al-Mushannaf” (5990), Ibnu Abi Syaibah dalam “al-Mushannaf”
(6/553), dan al-H}akim dalam “al-Mustadrak” (3554). Ibid., p. 39. Lihat juga: al-Zarqânî, op.
cit., p. 177-178, dan Yâsîm Rusydî, Min ‘Ulûm al-Qur’ân wa Balâghatihî, dalam serial alTharîq ilâ Allâh (13), (Cairo: Nahdhah Mishr, 1997), p. 64-66.
42
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
276 Qosim Nurseha Dzulhadi
Contohnya juga adalah naskh menghadap ke Bait al-Maqdis (alMuqaddas) yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 142 dan
144. Sedangkan tentang naskh implisit, beliau menyatakan bahwa
itu terjadi karena ada dua nash yang bertentangan dan tidak mungkin
untuk dikompromikan (al-tawfîq) antara keduanya. Sebagai contohnya, beliau mengutip pendapat fuqahâ’ tentang penghapusan ayatayat mawarits terhadap wasiat bagi ahli waris yang dikandung oleh
ayat wasiat.
Jenis naskh implisit ini terbagi kepada dua bagian. Pertama,
naskh seluruh hukum yang dicakup oleh nash terdahulu/awal (alnash al-mutaqaddim), contohnya adalah iddah wanita yang ditinggal
mati suaminya di dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang diklaim dinasakh oleh ayat 240.46 Dan kedua, naskh parsial (al-naskh al-juz’iyy).
Maksudnya adalah: kandungan ayat nash yang datang kemudian
(al-naskh al-muta’akhkhir) keluar dari keumuman nash yang awal
(al-nash al-mutaqaddim). Contohnya adalah ayat qadhaf – menuduh
wanita baik-baik melakukan perbuatan zina – dan ayat al-la‘ân (pelaknatan). Ayat al-qadzaf menjelaskan hukum qadzaf secara umum,
dan ayat al-la‘ân keluar dari ayat yang pertama, yaitu qadzaf seorang
suami terhadap istrinya. Ini juga menurut beliau bukan bagian dari
naskh, melainkan al-takhsîsh.47
Kritik terhadap Klaim Na<sikh-Mansu>kh Jumhur
Beberapa contoh nâsikh – mansûkh yang dipaparkan oleh
jumhur di atas, sejatinya memiliki kelemahan yang tidak kecil.
Dengan demikian, penulis mencoba memaparkan beberapa
pendapat ulama yang menolak konsep nâsikh–mansûkh di atas.
Pertama, tentang riwayat dari ‘Aisyah yang menyatakan bahwa
ayat yang pernah turun adalah: ‘Asyra radha‘âtin ma‘lûmâtin fanusikhna bikhamsi ma‘lûmâtin”, menurut jumhur hukum hadits ini dan
tiwalatnya adalah dihapus. Lafadz ini tidak memiliki hukum: tidak
dalam pengambilan dalil (al-istidlâl) tidak pula dalam hal yang lain.48
Tentang ayat iddah ini, beliau menolaknya sebagai naskh, karena dapat
dikompromikan (al-tawfîq). Ini akan kita bahas dalam bagian berikutnya, dalam sub penolakan
naskh.
47
Imam Muhammad Abu Zahrah, op. cit., p. 176-177, dengan reduksi redaksi
seperlunya. Bandingkan dengan: ‘Abd al-Wahhâb Khallaf, op. cit., p. 223-226.
48
Ali Jumu‘ah, al-Naskh ‘inda al-Ushuliyyin, (Cairo: Nahdhah Mishr, cet. I, 2004), p. 70.
46
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
277
‘Abd al-Muta‘âl al-Jabarî, dalam bukunya al-Naskh fî al-Syarî‘ah
al-Islâmiyah Kamâ Afhamuhû, seperti yang dikutip oleh Gamal alBanna, mengomentari hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah di atas.
Yang mengejutkan, meskipun hadits mutawatir (padahal tidak
demikian), hendaknya kita memahami pernyataan ‘Aisyah bahwa
yang pernah diturunkan, bisa jadi Al-Qur’an, bisa juga hadits kisah
(h}adîtsan qashashiyan) atau hadits hukum syar‘i (tasyrî‘iyan). Dan
selurunya berasal dari Allah.
Artinya, yang diturunkan tersebut merupakan wahyu berdasarkan sunnah (kâna wah}yan bisunnatin), bukan wahyu berdasarkan
Al-Qur ’an (wa laysa wah} y an biqur’ânin). Dan salah satu bentuk
kaidah ushuliyah adalah: satu lafadz selama tidak masuk dalam ranah
dalâlah (penunjukkan) yang memberikan keyakinan (yaqîniy aldalâlah), atau mengandung satu maksud yang lain, maka ia tidak
layak dijadikan dasar pengambilan dalil (al-istidlâl) terhadap perkara
yang fardh dan wajib. Artinya, hadits ‘Aisyah tersebut tidak tepat
untuk menetapkan satu hukum syar‘i, sehingga kita menyatakan
bahwa dalam Al-Qur’an ada yang di-naskh tilawat dan hukumnya
sekaligus.49
Para ulama juga tidak memiliki “kata sepakat” tentang riwayat
dari ‘Aisyah di atas. Imam al-Badakhsyî tidak menyebutkan riwayat
yang pasti. Beliau hanya menyatakan bahwa riwayat itu “nuqila”
(ditransmisikan) atau “ruwiya” (diriwayatkan).50 Kata-kata “nuqila”
atau “ruwiya” merupakan indikasi dari lemahnya satu riwayat,
sebagaimana yang biasa dipakai dalam tradisi para muhaddits.
Tentang hukum hadits tersebut, imam al-Isnawi menyebutkan
bahwa hukumnya dan tilawatnya sama-sama dihapus menurut jumhur, sementara sebagian yang lain menyatakan bahwa hukumnya
tetap ada.51
Kedua, jenis yang dihapus hukumnya tanpa bacaannya (mâ
nusikha h}ukmuhû dûna tilâwatihî). Salah satu contohnya adalah ayat
yang berbunyi: “Wa al-ladhîna yutawaffauna minkum wa yadharûna
azwâjan wasyiyatan li’azwâjihim matâ‘an ilâ al-h}auli ghayra ikhrâjin.
Fa’in kharajna falâ junâh}a ‘alaykum fîmâ fa‘alna fî anfusihinna min
ma‘rûfin” [Qs. Al-Baqarah (2): 240]. Ayat ini diklaim oleh jumhur
Gamal al-Banna, op. cit., p. 76.
Lihat Syarh} al-Badakhsyî, op. cit., p. 243 dan 245.
51
Ibid., p. 243.
49
50
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
278 Qosim Nurseha Dzulhadi
telah di-naskh oleh ayat yang berbunyi: “Wa al-ladhîna yutawaffauna
minkum wa yadharûna azwâjan yatarabbas}na bi’anfusihinna arba‘ata
asyhurin wa ‘asyran” [Qs. Al-Baqarah (2): 234].
Menurut Abu Zahrah, kedua ayat tersebut sangat mudah
untuk dikompromikan (al-tawfîq) dengan menggunakan contoh
takhshish. Bahkan terkadang, menurut beliau, hal itu tidak membutuhkan penakwilan dan taks}is}. Contohnya adalah ayat di atas.
Secara mutlak tidak ada pertentangan antara kedua ayat tersebut
hingga harus digambarkan adanya naskh antara keduanya.52
Karena, menurut beliau, kita berpendapat bahwa tidak ada
naskh antara keduanya, karena bisa dikompromikan (al-tawfîq). Jika
memungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak ada jalan untuk
naskh. Kompromi antara dua ayat tersebut adalah: ayat pertama
khusus tentang kewajiban atas seorang istri, yakni menunggu selama
4 bulan 10 hari. Dan ayat kedua objeknya adalah hak yang dimiliki
oleh seorang istri. Sang pembuat hukum (syâri‘, Allah) menjadikan
untuk seorang istri hak untuk tetap dalam rumah yang dimiliki oleh
suaminya selama setahun (dengan sempurna), tidak boleh dikeluarkan oleh para ahli waris. Namun, jika ia keluar berdasarkan pilihannya, maka para ahli waris tidak berdosa. Hal ini sangat jelas dari
nash di atas.53
Menurut Ali Jumu‘ah, Mufti Negara Mesir sekarang, kedua
ayat tersebut adalah sama-sama muh}kama>t – jelas hukumnya. Karena
ayat “h}aul” adalah menjelaskan wasiat yang dipesankan oleh Allah
kepada seorang istri yang meninggal suaminya dalam hal mut‘ah
(hak mendapatkan nafkah dari suaminya). Sedangkan ayat kedua,
merupakan penjelasan iddah (masa menunggu) bagi seorang istri
yang meninggal suaminya. Tidak dapat diragukan, bahwa pembahasan tentang mut‘ah berbeda dengan penjelasan iddah. Setiap
ayat, turun untuknya satu ayat yang muh}kama>t, tanpa harus saling
bertentangan. 54
Syeikh al-Khudharî, setelah menyebutkan kedua ayat di atas,
menyatakan bahwa orang yang melihat kedua ayat tersebut secara
kritis, ia akan menemukannya berbeda dalam objeknya. Ayat
pertama menerangkan hak bagi orang yang akan meninggalkan istriImam Muhammad Abu Zahrah, op. cit., p. 179.
Ibid., p. 177.
54
Prof. Dr. Ali Jumu‘ah, op. cit., p. 83.
52
53
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
279
istrinya. Oleh karena itu Allah berfirman: “wasyiyatan li’azwâjihim”.
Hak ini dijelaskan oleh firman-Nya: “matâ‘an ilâ al-h}auli ghayra
ikhrâjin”. Kemudian, Allah menjadikan untuknya – istri – kebebasan
untuk keluar jika menghendaki hal itu. Allah berfirman: “fa’idzâ
balaghna ajalahunna falâ junâh}a ‘alaykum fîmâ fa‘alna fî anfusihinna
bi al-ma‘rûf”. Ayat pertama menjelaskan kewajiban atas istri, yakni
agar menangguhkan dirinya (beriddah) selama 4 bulan 10 hari.
Mereka tidak menikah dalam masa iddah tersebut. Jika masa itu
selesai, maka mereka boleh menikah. Maka, tidak ada pertentangan
di antara dua hukum tersebut. Dengan demikian, tidak ada makna
naskh, kecuali jika disebutkan: ayat wasiat di-naskh oleh sesuatu yang
lain, selain ayat iddah, dan ia harus dijelaskan.55
Ketiga, jenis yang dihapus bacaan tanpa hukumnya (mâ nusikha
tilâwatuhû dûna h}ukmihî). Contohnya, riwayat dari ‘Umar ibn alKhaththáb dan Ubayy ibn Ka‘ab, mereka berdua berkata: “Termasuk
yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: al-Syaikhu wa al-syaikhatu
idhâ zanayâ farjumûhumâ albattah.”
Ayat yang diklaim sebagai ayat Al-Qur’an yang mansukh di atas
dikritik oleh Syeikh al-Ghumârî. Beliau menyatakan bahwa riwayat
di atas merupakan dalil naqlî yang dijadikan dalil oleh pihak yang
membolehkan – adanya – naskh tilawat dengan dua jenisnya. AlHafidz al-Suyuthi telah menukil riwayat yang banyak sekali di dalam
al-Itqân.56 Pendapatnya tersebut dikuatkan dengan riwayat-riwayat
Syeikh Muhammad al-Khudharî, Us}ûl al-Fiqh, op. cit., p. 249.
Lihat al-Itqân, op. cit., p. 39. Beberapa riwayat yang dinukil oleh imam al-Suyuthi
berkenaan dengan ayat al-Rajm ini memiliki bertentangan antara satu dengan lainnya.
Pertama, Abu ‘Ubayd berkata: “Ismâ‘îl ibn Ibrahim menceritakan kepada kami, dari Ayyub,
dari Nâfi‘, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: “Janganlah seorang di antara kalian mengatakan: “Aku
telah mengambil Al-Qur’an seluruhnya. Apa dia tahu apa itu keseluruhan Al-Qur’an! Telah
banyak yang hilang dari Al-Qur’an. Tetapi, hendaknya dia berkata: “Aku telah mengambil
dari Al-Qur’an apa yang tampak (zahir).” Kedua, Abu ‘Ubayd juga berkata: “Ibnu Abi Maryam
menceritakan kepada kami, dari Ibnu Luhay‘ah, dari Abu al-Aswad, dari ‘Urwah ibn alZubayr, dari ‘Aisyah, ia berkata: “Surat al-Ah}zâb di baca di zaman Nabi SAW. sebanyak 200
ayat. Ketika ‘Utsman menulis mushaf-mushaf, ia tidak dapat menuliskannya – secara
keseluruhan – kecuali yang ada sekarang ini.” Ketiga, ia juga berkata: “Isma‘il ibn Ja‘far
menceritakan kepada kami, dari al-Mubârak ibn Fadhâlah, dari ‘Âshim ibn Abi al-Nujwad,
dari Zirr ibn H}ubaysy, ia berkata: “Ubay ibn Ka‘ab berkata kepadaku: “Berapa ayat engkau
hitung surat al-Ah}zâb? Aku menjawab: “72 ayat atau 73 ayat.” Ia berkata: “Ia menyamai surah
al-Baqarah, dan kami membaca di dalamnya ayat Rajam.” Aku – Zirr – berkata: “Apa itu ayat
Rajam?” Ia menjawab: “Idhâ zanâ al-syaykhu wa al-syaykhatu farjumûhumâ albattata nakâlan
min Allâhi, wa Allâhu ‘Azîzun H}akîm.” Keempat, ia – Abu ‘Ubayd – berkata: “Abdullah ibn
Shâlih} menceritakan kepada kami, dari Khalid ibn Yazid, dari Sa‘ad ibn Abi Hilâl, dari Marwan
55
56
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
280 Qosim Nurseha Dzulhadi
yang isnad-nya dihapus (mah}dhûfah al-’asânîd). Karena, meskipun
riwayat tersebut shah}îh}, tetapi tidak bisa menjadi h}ujjah (dalil) dalam
masalah yang sangat riskan ini:
1. Diriwayatkan dari Dzarr, ia berkata: “Ubay ibn Ka‘ab berkata
kepadaku: “Bagaimana membaca surah al-Ah}zâb? Atau, berapa
ayat engkau menghitungnya? Ia berkata: “Aku menjawab, 73
ayat.” Ia bertanya: “Hanya segitu? Aku telah melihatnya menyamai surah al-Baqarah, dan kami telah membaca di dalmnya ayat
ini: “Al-Syaykhu wa al-syaykhatu idhâ zanayâ farjumûhumâ
albattata nakâlan min Allâhi, wa Allâhu ‘Azîzun H}akîm.”57 Ibnu
Katsir berkata: “Ini adalah isnad yang benar. Ini mengindikasikan
bahwa dahulu di dalamnya terdapat Al-Qur’an, kemudian dinaskh lafazhnya dan hukumnya.58
2. Abu ‘Ubayd meriwayatkan di dalam Fad}â’il al-Qur’ân (hadits
nomor: 700): “Ibnu Abi Maryam menceritakan – h}addatsana –
kepada kami, dari Ibnu Lahi‘ah Abu al-Aswad ‘Urwah ibn alZubayr ‘Aisyah, ia berkata: “Surah al-Ah}zâb pernah dibaca di
zaman Nabi SAW. sebanyak 200 ayat. Ketika ‘Utsman menulis
mushaf-mushaf, ia tidakmampu menuliskannya, kecuali yang
ada sekarang ini.”59 Syeikh al-Ghumârî berkata: “Diriwayatkan
secara “mu‘an-‘an” (‘an-‘anahu) oleh Ibnu Lahi‘ah, padahal dia
adalah seorang mudallis.60
ibn ‘Utsman, dari Abu ’Umâmah ibn Sahal, bahwa bibinya berkata: “Rasulullah telah
membacakan ayat Rajam kepada kami: “Al-Syaykhu wa al-syaykhatu farjumûhumâ albattata
bimâ qadhayâ min al-ladzdzah.” Itulah empat riwayat – dan semuanya dari Ibnu ‘Ubayd –
yang dinukil oleh imam al-Suyuthi berkenaan dengan ayat Rajam. Ibnu al-‘Arabî dalam alJâmi‘-nya menyatakan bahwa isnad riwayat terakhir adalah “lemah” (dha‘if), karena di
dalamnya terdapat Abu ’Umâmah ibn Sahal. Dan Abu ’Umâmah ini adalah “ “.
57
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad di dalam al-Zawâ’id (5/132), al-Nasa’i di
dalam al-Kubrâ (7150), Ibnu Hibban (4428), dan al-H}âkim (2/415).
58
Lihat Abu al-Fadhl ‘Abd Allah ibn Muh}ammad ibn al-Shadiq al-Ghumari, Dzawq alH}alawah bi Bayan Imtina’ Naskh al-Tilawah, (Cairo: Dar al-Anshar, cet. I, 1981), p. 11.
Takhrij hadits oleh Prof. Dr. Ali Jumu‘ah, op. cit., p. 60. Seluruh takrij hadits yang diberi tanda
(*) berasal dari foot-note buku beliau.
59
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad di dalam al-Zawâ’id (5/132), al-Nasa’i di
dalam al-Kubrâ (7150), Ibnu Hibban (4428), dan al-H}âkim (2/415).
60
Ibnu Abi Maryam adalah Sa‘îd ibn al-H}akam: tsiqah, tsabt dan faqîh. Ia termasuk
salah seorang guru (syeikh) Bukhari, dan banyak (jamâ‘ah) mengeluarkan riwayatnya. Abu
al-Aswad adalah anak Yatim dari ‘Urwah, Muhammad ibn Abd al-Rahman al-Naufalî: tsiqah,
dan banyak (jamâ‘ah) mengeluarkan riwayatnya. Lihat al-Taqrîb karya al-H}âfizh Ibnu Hajar,
1/293 dan 2/185.
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
281
Menurut Syeikh al-Ghumârî, sebab naskh kalimat al-Syaykhu
wa al-syaykhatu idhâ zanayâ... terdapat kabar-kabar yang munkar:
1. Di dalam Shah}îh} Bukhari (6829), bab “pengakuan melakukan
zina” disebutkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata: “‘Umar berkata:
“Aku takut zaman akan berpanjangan terhadap orang-orang,
sehingga seseorang berkata: “Kami tidak menemukan rajam di
dalam Kitabullah. Lalu mereka tersesat karena meninggalkan
kewajiban yang diturunkan oleh Allah. Ketahuilah, rajam itu hak
atas orang yang berzina, sedangkan dia telah menikah.” Syeikh
al-Ghumârî berkata: “Bukhari tidak meriwayatkan perkataan
‘Umar: “Kami telah membacanya (al-Syaykhu wa al-syaykhatu
idzâ zanayâ...). menurut al-H}âfizh Ibnu Hajar: “Kiranya Bukhari
sengaja meninggalkannya.” Kemudian Syeikh al-Ghumârî
menyatakan: “Al-H}âfizh benar.”
2. Menurut Syeikh al-Ghumârî: “Salah satu riwayat yang munkar
itu adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Nasa’î bahwa Marwân
ibn al-H}akam berkata kepada Zayd ibn Tsâbit: “Tidakkah engkau
menulisnya di dalam mushaf? Zayd menjawab: “Tidak, tidakkah
engkau melihat dua orang pemuda yang duda dirajam?61 Syeikh
61
Lihat al-Ghumari, op.cit., p. 12. Mudallis adalah isim fa‘il dari dallasa-yudallisutadlîs. Secara bahasa artinya “menyembunyikan aib (cacat) barang dagangan dari pembeli”.
Dalam tradisi muhadditsin dikenal dua bentuk tadlîs. Pertama, tadlîs al-isnâd: seorang perawi
meriwayatkan dari seseorang yang ditemuinya, apa yang tidak ia dengar darinya. Atau, dari
seorang yagn hidup sezaman dengannya, namun dia tidak mengatakan sesuatu. Ia hanya
berpura-pura bahwa ia telah mendengar darinya. Misalnya, ia berkata: “‘An fulân”, atau “Qâla
fulân”, atau yang sepertinya, sementara dia tidak menerangkan dengan jelas – jujur – bahwa
dia memperolehnya dengan mendengar langsung (al-simâ‘). Namun, jika menyatakan terangterangan bahwa dia memperolenya dengan mendengar (al-simâ‘) atau lewat narasi/pengabaran
(al-tah}dîts), dan dia tidak mendengarnya dari syeikhnya dan syeikhnya tidak membacakan
kepadanya. Maka, ia tidak disebut mudallis, melainkan seorang pendusta dan fasik. Kedua,
tadlîs al-taswiyah. Mengetahui tadlîs al-taswiyah adalah lewat tadlîs al-isnâd. Dinamakan
demikian oleh Abu al-H}asan ibn al-Qaththân, yaitu: riwayat seorang perawi dari seorang
syeikhnya, kemudian jatuh seorang rawi yang lemah (da‘îf) di antara dua orang perawi yang
tsiqah yang saling bertemu satu dengan lainnya, agar haditsnya tampaik baik (tah}sînan li alh}adîts). Gambarannya adalah demikian: seorang perawi meriwayatkan satu hadits dari syeikh
yang tsiqah. Syeikh tsiqah tersebut meriwayatkannya dari seorang perawi yang dha‘îf, dan
perawi yang dha‘îf ini meriwayatkannya dari dari seorang perawi yang tsiqah. Sehingga,
dua orang tsiqah saling bertemu. Kemudian datang seorang mudallis yang mendengar hadits
tersebut dari perawi tsiqah yang pertama, lalu ia mengugurkan perawi yang dha‘îf dari dalam
sanad hadits, dan dia menjadikan isnad hadits tersebut dari syeikhnya yang tsiqah, dari tsiqah
yang kedua dengan lafazh yang mengandung kemungkinan. Maka, isnad-nya menjadi sama,
tsiqat seluruhnya. Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi H}âtim di dalam al‘Ilal. Ia berkata: “Aku mendengar bapakku – ia menyebutkan hadits
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
282 Qosim Nurseha Dzulhadi
al-Ghumârî menyatakan: “Ini merupakan kemungkaran yang
nyata. Bagaimana bisa Zayd meninggalkan ayat Rajam, karena
hanya bertentangan dengan hukum dua orang pemuda yang
sudah beristri.”
3. Menurut Syeikh al-Ghumârî, salah satu riwayat munkar juga
diriwayatkan oleh al-H}âkim di dalam al-Mustadrak (4/360) dari
Muhammad ibn Shâlih ibn Hâni’, al-H}asan menceritakan ibn
Muhammad ibn Ziyâd – tsanâ –, Muhammad al-Mutsanna dan
Muhammad ibn Basyâr menceritakan, mereka – berdua – berkata: “Muhammad ibn Ja‘far menceritakan, Sya‘bah menceritakan dari Qatâdah Yunus ibn Jubayr Katsîr ibn al-Shalt, ia berkata:
“Zayd ibn Tsâbit dan Sa‘îd ibn al-‘Âsh menulis mushaf, kemudian
mereka melewati ayat ini, lalu Zayd berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah SAW. berkata: “Al-Syaykhu wa al-syaykhatu
farjumûhumâ albattata.” Lalu ‘Umar berkata: “Ketika ayat ini
turun, aku mendatangi Rasulullah SAW. lalu aku bertanya kepada
beliau: “Aku tulisan?” Tampaknya beliau tidak menyukai hal itu.
Kemudian ‘Umar berkata: “Tidakkah engkau melihat bahwa orang
tua jika berzina dan belum menikah dijilid (dicambuk), dan
seorang pemuda jika berzina dan telah beristri dirajam.”62
yang diriwayatkan oleh Ish}âq ibn Râhawayh Baqiyah, Abu Wahab al-Asadî menceritakan
kepadaku dari Nâfi‘Ibnu ‘Umar, hadits: “Lâ tah}madû Islâma al-mar’i h}atta ta‘rifa ‘uqdata
ra’yihi.” Bapakku berkata: “Hadits ini memiliki satu perkara, hanya sedikit yang memahaminya.
Hadits ini telah diriwayatkan oleh ‘Ubaydullah ibn ‘Amrû dari Ish}âq ibn Abi Farwah Nâfi‘ Ibnu
‘Umar Nabi SAW. Dan ‘Ubaydullah ibn ‘Amrû, gelarnya (kunyah) Abu Wahab, dan dia adalah
Asadî. Orang-orang menjulukinya dan menisbatkannya kepada Bani Asad, agar tidak
dimengerti. Sehingga, jika Ishâq ibn Abi Farwah ditinggalkan, tidak dapat dilacak. Dikutip
seperlunya dari Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâh}its fî ‘Ulûm al-H}adîts, (Cairo: Maktabah Wahbah,
cet. II, 2001), p. 126 dan 127. Kedua jenis tadlîs ini dicela oleh para ulama. Syu‘bah merupakan
orang yang sangat mengingkari tadlîs al-isnâd. Dinukil dari imam al-Syafi‘i bahwa ia berkata:
“al-Tadlîs akhû al-kadzib” (Tadlis adalah saudara dusta). Dan tadlîs al-taswiyah, meskipun
bagian dari tadlîs al-isnâd, ia merupakan sejelek-sejelek jenis al-tadlîs. Sampai-sampai al‘Irâqî berkata: “Innahû qâdih}n fîman ta‘ammada fi‘lahu” (Ia merupakan cela bagi siapa yang
sengaja melakukannya). Ibid., p. 127 dan 128.
62
Hadits ini dikeluarkan oleh al-Nasa’i di dalam al-Kubrâ (7148): “Isma‘il ibn Mas‘ud
al-Juh}darî mengabarkan kepada kami – akhbaranâ – , Khalid ibn al-H}ârits menceritakan –
tsanâ – , Ibnu ‘Aun menceritakan – tsanâ – dari Muhamnad, ia berkata: “Aku diberi kabar dari
Ibnu Akhî Katsîr ibn al-Shalt, ia berkata: “Kami berada di kediaman Marwan dan di antara
kami ada Zayd ibn Tsâbit. Lalu Zayd berkata: “Kami pernah membaca: al-Syaykhu wa alsyaykhatu idha zanaya farjumûhumâ albattata.” Lalu Marwan berkata: “Tidakkah engkau
menjadikannya di dalam mushaf? Zayd menjawab: “Tidakkah engkau melihat dua orang anak
muda yang duda (al-syâbbayni al-tsayyibayni) dirajam?” Hal itu kamis sebutkan, dan ‘Umar
berada di tengah-tengah kami. Kemudian ‘Umar berkata: “Dapatkah aku memuaskan kalian?”
Mereka
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
283
Ibnu Hajar di dalam Syarh} al-Minhâj63 berkata: “Dari hadits
ini disimpulkan bahwa sebab di-naskh tilawat, karena mengerjakan
satu amal tidak pada zahirnya dari keumumannya. Syeikh alGhumârî kemudian memberikan komentar, dan berkata: “Di
dalamnya terdapat dua bentuk kemunkaran:
Pertama, keengganan Nabi SAW. untuk menuliskan ayat
“rajam”. Bagaimana beliau enggan, padahal ayat tersebut diturunkan
kepada beliau. Kedua, perkataan ‘Umar, “Tiddakah engkau melihat
bahwa orang tua jika berzina dan tidak beristri dijilid (dicambuk)...
dst. Bagaimana mungkin dia protes (merasa keberatan) terhadap
ayat yang dia yakini turun dari Allah?! Menurut Syeikh al-Ghumârî,
bertanya: “Bagaimana caranya?” ‘Umar menjawab: “Pergilah menghadap Rasulullah SAW.
Insya Allah, akau menyebutkan begini, dan begini. Ketika beliau menyebtukan ayat Rajam,
aku berkata: “Wahai Rasulullah, tuliskan kepadaku ayat Rajam. Ia berkata: “Lalu ia
mendantanginya dan menyebutkannya untuknya. Lalu beliau menyebutkan ayat Rajam. Lalu
ia berkata: “Wahai Rasulullah, tuliskan untukku ayat Rajam!” Rasulullah SAW. menjawab:
“Aku tidak bisa.”
Rijal-nya tsiqat. Silahkan dilihat biografi mereka dalam Taqrîb al-Tahdzîb (1/74, 211,
439, dan 2/169). Ibnu ‘Au adalah: Abdullah ibn ‘Aun ibn Arthabân. Dan Muhammad adalah:
Ibnu Sîrîn. Tetapi, di dalam hadits tersebut terdapat keterputusan (inqithâ‘) antara Ibnu Sîrîn
dan Ibnu Akhî Katsîr ibn al-Shalt. Dan Ibnu Sîrin dipersilishkan. Diriwayatkan darinya bahwa
dia berkata: “Aku diberi kabar dari Katsîr ibn al-Shalt. Ini munqathi‘ juga. Abu Ya‘la al-Mosûlî
meriwayatkan, (sebagaimana di dalam Tafir Ibnu Katsir, 3/261) ia berkata: ‘Abaydullah ibn
‘Umar al-Qawârîrî menceritakan kepada kami – h}addatsanâ –, Yazid ibn Zuray‘ menceritakan
kepada kami, Abu ‘Aun menceritakan kepada kami dari Muhammad – Ibnu Sîrîn – Ibnu ‘Umar
berkata: “Aku diberi kabar dari Katsîr ibn al-Shalt, ia berkata: “Kami berada di kediaman
Marwan dan Zayd ada bersama kami. Zayd ibn Tsâbit berkata: “Kami pernah membaca: (alSyaykhu wa al-syaykhatu idzâ zanayâ farjumûhumâ albattata). Lalu Marwan berkata: “Tidakkah
engkau telah menuliskannya di dalam mushaf?” Zayd menjawab: “Telah kami sebutkan dan
‘Umar ibn al-Khaththab berada bersama kami, lalu ia berkata: “Aku memuaskan kalian tentang
hal itu.” Kami bertanya: “Bagaimana?” Ia berkata: “Seseorang datang kepada Nabi SAW. Ia
berkata: “Ia menyebutkan demikian, demikian, dan menyebutkan tentang rajam. Lalu ia
berkata: “Wahai Rasulullah SAW, tuliskan untukku ayat Rajam. Nabi SAW. menjawab:
“Sekarang aku tidak bisa.” Atau seperti itu.
Rijal-nya tsiqat. Hanya saja, ini juga munqathi‘. ‘Ubaydullah al-Qawârîrî dan Yazid
ibn Zuray‘ adalah tsiqat-tsabt. Lihat biografi mereka dalam al-Taqrîb (1/537, dan 2/364). Abu
‘Aun adalah julukan Abdullah ibn ‘Aun ibn Arthabân. Al-H}afizh al-Maziy telah menunjukkan
perselisihan biografi Katsîr ibn al-Shalt ini di dalam Tahdzîb al-Kamâl (3/1143).
63
Lihat takhrij-nya dalam Prof. Dr. Ali Jumu‘ah, op. cit. p. 65 (foot-note). Riwayat
tentang al-syaikh wa al-syaikhatu juga disebutkan oleh Ibnu Katsir bahwa itu diriwayatkan
oleh Ibnu Abi H}atim ketika menjelaskan bunyi ayat Qs. 2: 106. Dimana beliau mendefiniskan
kata al-naskh dengan al-qabdhu (menggenggam) dan al-raf’u (mengangkat). Lalu, beliau
”. Dan firman-Nya:
menyatakan: ‘Seperti firman-Nya: “
“
op.cit., p. 199.
” Lihat Ibnu Katsir,, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim,
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
284 Qosim Nurseha Dzulhadi
Allah tidak mungkin menghapus ayat Rajam, hanya karena protes
dari seorang mukallaf. Kemunkaran ini, menurut beliau, menguatkan bahwa ayat Rajam sama sekali bukan bagian dari Al-Qur’an.
Kita menyebutkan sebagai ayat sebagai bentuk kiasan saja. Jika tidak,
paling jauh hanya bisa dianggap sebagai hadits.”64
Penutup
Dari penjelasan singkat seputar nâsikh–mansûkh di dalam AlQur’an kita dapat menyimpulkan beberapa hal. Pertama, pendapat
jumhur tentang nâsikh – mansûkh dalam Al-Qur’an tidaklah kuat.
Konon lagi jika riwayat-riwayatnya tidak dilihat secara kritis. Ditambah lagi, jika hal itu hanya disandarkan kepada buku-buku
Asba>b al-Nuzu>l dan Khabar Ah}ad. Karena ternyata tidak ada kesepakatan yang valid, seperti yang terjada pada al-Wah}idi dan alSuyuthi. Kedua, kelemahan jumhur, hemat penulis, bersumber pada
dalil naql yang mereka anut, yang berlaku di zaman mereka. Namun
demikian, ini bukanlah “aib” apalagi dianggap salah, karena sistem
yang berlaku di zaman mereka adalah demikian. Sistem naql ini
menyebabkan hilangnya ruh kritisisme dari mereka. Hal ini tampak
ketika mereka berbeda dalam menghitung jumlah ayat.65 Sehingga
Khabar Ahad pun dijadikan dalil untuk mengukuhkan bahwa satu
riwayat itu merupakan bagian dari Al-Qur’an. Padahal, salah satu
syarat yang disepakati oleh ulama bahwa sesuatu itu dianggap AlQur ’an jika sampai secara mutawa> t ir. 66 Ketiga, pendapat ulama
Dalam Dhauq al-H}alâwah, Syeikh al-Ghumârî menyatakan: “al-H}âfizh Ibnu Hajar
berkata.” Tetapi dalam al-Itqân (2/34), dan Syeikh al-Ghumârî menukil dari buku ini, sebagai
yang ia nyatakan sendiri: “Ibnu Hajar berkata di dalam Syarh} al-Minhâj.” Yang menjadi pensyarh} al-Minhâj adalah: Ibnu Hajar al-Haytsamî, dan syarah}-nya disebut Tuh}fat al-Muh}tâj.
Buku ini merupakan salah satu buku terkenal dalam mazhab secara umum, khususunya dalam
buku-buku yang menjelaskan (syurûh}) buku al-Minhâj. Dapat dilihat juga dalam al-Itqân
(cetakan al-Maktabah al-Tawfîqiyah, yang menjadi rujukan penulis), op. cit., p. 43.
65
Al-Ghumari, 17-18.
66
Musthafa Zaid menyatakan bahwa jumlah ayat yang mansukh menurut para ulama
adalah: (a) menurut Ibnu H}azm: 214 ayat; (b) menurut al-Nah}ha} s: 134 ayat; (c) menurut Ibnu
Salamah dan Al-Ajhuri: 213 ayat; (d) menurut Ibnu Barakat: 210 ayat; (e) menurut Ibnu alJawzi: 147 ayat; (f) menurut ‘Abd al-Qadir al-Baghdadi: 66 ayat. Dari jumlah ayat yang
dianggap mansukh, mereka masih berselisih mengenai ayat ayat-ayatnya. Kalau dijumlahkan
ayat-ayat mansukh itu akan menjadi sebanyak 279 ayat. Tentang jumlah ayat-ayat yang
mansukh ini hanya menyebut 22 ayat. Al-Syaukani menyebut 12 ayat. Dalam pandangan alDih}lawi, jumlah yang mansukh dalam Al-Qur’an hanya 5 ayat, yang kelima ayat itu pun
sudah dikompromikan oleh Seyyed Amir Ali. Lihat Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’i,
64
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
285
kontemporer, setidaknya, semakin menguatkan posisi Al-Qur’an
yang tidak disentuh oleh “kebatilan”: lâ ya’tihi al-bâthilu min bayni
yadayhi wa lâ min khalfihi, dan menguatkan tantangan Allah SWT:
Afalâ yatadabbarû al-Qur’ân walau kân min ‘indi ghayrillâhi
lawajadû fihi iktilâfan katsiran, dan semakin memberikan keyakinan
bahwa di dalam Al-Qur’an konsep ini harus teliti ulang.
Dan kritik-kritik mereka ini perlu dipertimbangkan. Bukan
saja karena rasionalitas yang diusung mereka. Lebih dari itu, ternyata
kajian mereka cukup kritis dalam menyoroti ayat-ayat yang diklaim
sebagai ayat-ayat nasikh-mansukh oleh jumhur. Studi mereka ini
tentunya sangat baik dalam melihat kembali studi-studi Al-Qur’an
(‘Ulum al-Qur’an) dimana ilmu Nasikh-Mansukh menjadi satu sentral
kajian di dalamnya.
Karena ternyata, teori nâsikh – mansûkh juga memberi “celah”
yang berbahaya bagi para musuh Islam. Para peneliti Islam dari
kalangan non-Muslim memahaminya dalam arti penarikan keputusan yang dikeluarkan. Atau, penemuan kebenaran yang tidak diketahui sebelumnya. Kedua makna ini tidak sesuai dengan maksud lafazh
yang benar. Dalam lapangan pengetahuan teoritis (al-ma‘rifah alnaz}ariyah) “tidak” dan “tidak akan pernah” ada nâsikh atau mansûkh
di dalam ajaran-ajaran yang diturunkan (al-ta‘âlîm al-munazzalah)
– dari Allah – red.67 Karena arti naskh di sini adalah “penemuan atas
ilmu baru”. Jika kita terapkan kepada ilmu Allah s.w.t., hal itu adalah
bentuk dari kekafiran (‘ayn al-kufr) dan irasional (al-lâma‘qûl)....68
Konsep naskh dalam urusan manusia bisa diterima. Namun,
jika dikaitkan dengan hukum Tuhan (al-tasyrî‘ al-ilâhî) yang diturunkan, ini secara mutlak tidak dapat diterima. Karena Allah tidak
menarik keputusan-Nya, dan tidak pernah menilik kembali diriNya. Setiap kaidah yang dengannya Dia membatalkan penerapannya, dan kaidah yang dibuat-Nya memiliki sakralitas. Dan keduanya,
p. 82-82. Berbeda dengan penelitian Ash-Shiddieqy, bahwa menurut Imam al-Suyuthi, jumlah
ayat yang mansukh adalah 19 ayat, bukan 22. Lihat Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, p.
158.
67
Karena Al-Qur’an itu bukan lewat tulisan (rasm) melainkan lewat qira’ah. Dalam
masalah qira’ah ini, yang dianggap Al-Qur’an adalah qira>’ah mutawa>tirah. Lihat ‘Abd alFattah} Qadhi, al-Qira’at al-Syadhdhah wa Tawjihuha min Lughat al-‘Arab, (Beirut-Lebanon:
Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1981), p. 7. Selain itu, syaratnya juga adalah sesuai dengan Mushaf
‘Utsmani (Mushaf Imam).
68
Dr. Muhammad Abdullah Darrâz, Madkhal ilâ al-Qur’ân al-Karîm, (Kuwait: Dâr alQalam, cet. V, 2003), p. 172.
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
286 Qosim Nurseha Dzulhadi
jika diletakkan – diterapkan – di zamannya, berperan sebagai hikmah
tunggal yang mengharuskan dirinya untuk berlaku. Sama saja, apakah hal itu berkaitan dengan preseden (al-taqaddum) atau pengunduran (al-irtidâd), lemah lembut (al-lin) atau tegas (al-syiddah),
tidak mungkin terdapat perubahan dalam pemikiran pembuat
syariat (al-musyarri‘). Perubahan itu hanya terjadi dalam aneka peristiwa historis (al-ah}dâts al-târîkhiyah) dan berbagai kebutuhannya
untuk memberikan berbagai bentuk solusi. Terkadang perubahan
tersebut dengan jelas dinyatakan dalam bentuk hukum (al-qânûn)
pertama, yang bersifat sementara (mu’aqqat).69 Pada umumnya, hal
itu tersembunyi, tidak kita ketahui kecuali dari hukum yang datang
berikutnya: yang terkadang diwahyukan bahwa itu merupakan
solusi spontan. Padahal sejatinya, segala sesuatu akan terjadi dan
sudah diatur secara berurutan berdasarkan sejarah-sejarah tertentu.70
Demikianlah, bahwa Teori Naskh yang dikembangkan oleh
para ulama klasik secara taken for granted telah melahirkan banyak
kontroversi. Hal ini mengindikasikan bahwa teori ini masih harus
terus diteliti, dibahas dan dikaji ulang. Sisi lain, bahwa para ulama
kontemporer sudah memberikan usaha yang sangat signifikan dalam
memecahkan kontroversi ini. Esensi kritik dan studi mereka justru
membuahkan satu hasil: bahwa Al-Qur ’an memang la ya’thihil
bathilu min bayni yadayhi wala min khalfihi. Maka, dengan adanya
ulama-ulama yang merekonstruksi Teori Naskh ini, akan dicapai
satu kata sepakat bahwa Allah sebenarnya “tidak plin-plan” dalam
menurunkan satu hukum dan syari’at. Karena ternyata para Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya tidak pernah meributkan masalah
Ibid. Majelis Tinggi Agama Islam (al-Majlis al-A’la li Al-Syu’un al-Diniyyah)
menerbitkan satu buku tebal dalam membantah berbagai tuduhan musuh-musuh Islam pada
tahun 2005 dengan judul ‘Haqa’iq al-Islam fi Muwajahat Syubuhat al-Musyakkikin’. Salah
satu kandungan buku ini adalah menolak “syubhat” yang ditujukan kepada Islam tentang
Teori Nasikh-Mansukh ini. Sayangnya, buku ini juga masih mengakui adanya NasikhMansukh.
70
"…maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintahNya….” (Qs. Al-Baqarah (2): 109). “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan
keji hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya.” (Qs. Al-Nisâ’ (4): 15).
"…dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu, melainkan agar Kami
mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot….” (Qs.
Al-Baqarah (2): 143). Lihat Darraz, p. 173.
69
Jurnal TSAQAFAH
Kontroversi Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
287
ini. Artinya, Teori Naskh adalah isu yang datang belakangan yang
akhirnya dibesar-besarkan dan dikembangkan tanpa kritik yang
memadai. Wallahu a’lamu bi al-s}awa>b.[]
Daftar Pustaka
Badakhsyî, Imam Muh}ammad ibn al-H}asan al-, Syarh} al-Badakhsyî,
Manâhij al-‘Uqûl bersama Syarh} al-Isnawî, Nihâyah al-Sûl
karya Imam Jamal al-Dîn ‘Abd al-Rah}îm al-Isnawî (w. 772 H),
(Beirut-Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, ttp., jilid II [3 jilid])
Baidowi, Ahmad, Mengenal Thabathaba’i dan Kontroversi Nasikh
Mansukh, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005)
Banna, Gamal al-, Tafnîd Da‘wâ al-Naskh fî al-Qur’ân al-Karîm,
(Cairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, ttp.)
Bek, Syeikh Muhammad al-Khudharî, Târîkh al-Tasyrî‘ al-Islâmî,
(Beirut-Lebanon: Dâr al-Fikr, ttp.)
Darrâz, Dr. Muhammad Abdullah, Madkhal ilâ al-Qur’ân al-Karîm,
(Kuwait: Dâr al-Qalam, cet. V, 2003)
Dimasyqî, ‘Imâd al-Dîn Abû al-Fidâ’ Ismâ‘il ibn Katsîr al-Qurasyi alTafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, tah}qîq: ‘al-‘Allâmah Muh}ammad
Nâshir al-Dîn al-Albânî, takhrîj hadits: Mah}mûd ibn al-Jamîl
dan Walîd ibn Muh}ammad ibn Salâmah, (Cairo: Maktabah
al-Shafâ, jilid I, cet. I, 2004)
Ghazali, Imam Abu H}amid ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad al-, (w. 505 H/1111 M), al-Mustas}fâ fî ‘Ilm al-Us}ûl,
edisi Muhammad ‘Abd al-Salâm ‘Abd al-Syâfî, (Beirut-Lebanon:
Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, ttp.)
Ghazali, Syeikh Muhammad al-, Naz} a rat fi al-Qur’an, (Cairo:
Nah}dhah Mishr, 2005)
Ghumari, Abu al-Fadhl ‘Abd Allah ibn Muh}ammad ibn al-Shadiq
al-, Dhawq al-H} a la> w ah bi Bayan Imtina> ’ Naskh al-Tilawah,
(Cairo: Dar al-Anshar, cet. I, 1981)
Hâdî, Syeikh Abu Muh}ammad ‘Abd al-Muhdî ibn ‘Abd al-Qâdir
ibn ‘Abd al-, al-Madkhal ilâ al-Sunnah al-Nabawiyyah: Buh}ûtsun
fî al-Qadhâyâ al-Asâsiyah ‘an al-Sunnah al-Nabawiyah, (Cairo:
Dâr al-I‘tishâm, cet. I, 1998)
Isma‘il, Sya‘bân Muhamad, Us}ûl al-Fiqh al-Muyassar, (Cairo: Dâr
al-Kitâb al-Jâmi‘î, jilid 3 (3 jilid), cet. I, 1997
Jumu‘ah, Ali, al-Naskh ‘inda al-Us}u>liyyin, (Cairo: Nahdhah Mishr,
cet. I, 2004)
Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430
288 Qosim Nurseha Dzulhadi
Katsir, Ibnu, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Damaskus-Suriah: Dar alKhayr, 2006)
Khallaf, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilm Us}ûl al-Fiqh, (al-Dâr al-Kuwaitiyyah,
cet. VIII, 1968)
Khudhari, Syeikh Muhammad al-, Us}ûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr alH}adîts, ttp.)
Maraghi, Ahmad Musthafa al-, Tafsir al-Maraghi, (Beirut-Lebanon:
Dar al-Fikr, 2006)
Murâdî, Al-Imam al-Ajall al-H}ujjah Abu Ja‘far Ahmad ibn Muhammad ibn Isma‘il al-Shaffâr al-, (dikenal dengan Abu Ja‘far
al-Nah}h }â s), al-Nâsikh wa al-Mansûkh fî al-Qur’ân al-Karîm,
tash}îh} dan komentar: Matba‘ah al-Anwâr al-Muh}ammadiyyah,
Cairo, (Cairo: Matba‘ah al-Anwâr al-Muh}ammadiyyah, ttp)
Qadhi, ‘Abd al-Fattah}, al-Qira’at al-Syadhdhah wa Tawjihuha min
Lugha>t al-‘Arab, (Beirut-Lebanon: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1981)
Qaththân, Mannâ‘ al-, Mabâh}its fî ‘Ulûm al-H}adîts, (Cairo: Maktabah
Wahbah, cet. II, 2001)
Ridha, Imam Muhammad Rasyid, Tafsir al-Qur’an al-H}akim (Tafsir
al-Manar), (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, 2007)
Rusydî, Yâsîm, Min ‘Ulûm al-Qur’ân wa Balâghatihî, dalam serial
al-T}arîq ilâ Allâh (13), (Cairo: Nahdhah Mishr, 1997)
Shiddieqy, Muhammad Hasbi Ash-, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an: Mediamedia Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, ( Jakarta: Bulan
Bintang, 1993)
Suma, Prof. Dr. Muhammad Amin, Nâsikh – Mansûkh dalam
Tinjauan Historis, Fungsional, dan Shar‘i, dalam Jurnal Al-Insan,
Vol. I, No. I, Januari, 2005
Suyuthi, ‘Abd al-Rah}man Jalal al-Din al-, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
2 jilid, 4 juz (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyyah, ttp,)
Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl fî Asbâb al-Nuzûl, takhrîj hadits dan
komentar: Dr. Muh} a mmad Muh} a mmad Tâmir, (Cairo:
Maktabah al-Imân, cet. I, 2003 M/1424 H)
Syâhîn, Prof. Dr. ‘Abd al-Shabûr, Târîkh al-Qur’ân: Difâ‘un ‘an
Hajamât al-Istisyrâq, (Cairo: Nahdhah Mishr, cet. I, 2005)
Thabari Ibnu Jarir al-, Jami>’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, (BeirutLebanon: Dar al-Fikr, 2005)
Wâh}idî, Imam Abu al-H}asan ‘Ali ibn Ah}mad al-, Asbâb Nuzûl alQur’ân, tah}qîq dan studi: Kamâl Basyûnî Zaghlûl, (BeirutLebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. III, 2004 M/1424 H)
Jurnal TSAQAFAH