Academia.eduAcademia.edu

Asas-asas-hukum-pidana-islam

Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah kelompok yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana Islam ini dapat terselesaikan dengan baik.

ASAS ASAS HUKUM PIDANA ISLAM BAB I PENDAHULUAN Bismillahirramanirrahim…. Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah kelompok yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana Islam ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini membahas mengenai asas-asas yang terdapat dalam hukum pidana Islam, yang mana pada pembahasannya membahas dan menjelaskan macam-macam asas yang ada pada hukum pidana Islam. Beserta dalil-dalil yang dijadikan sumber hukum dari asas-asas yang telah disebutkan. Semoga bermanfaat. Tim Penyusun Makalah BAB II PEMBAHASAN ASAS-ASAS HUKUM PIDANA ISLAM Asas Legalitas Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah "keabsahan sesuatu menurut undang undang" Subekti dan Tjitrosudibyo, kamus Hukum, (Jakarta: pradnya Paramita, 1969), hlm, 63.. Dengan demukian arti legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang.” Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana.” Adapun istilah legalias dalam syari'at Islam tidak ditentukan secara jelas sebagaimana yang terdapat dalam kitab undang-undang hukum positif. Kendati demikian, bukan berarti syari'at Islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan hukum pidana Islam tidak mengenal asas legalitas, hanyalah mereka yang tidak meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansional menunjukkan adanya asas legalitas Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),1:118.. Asas legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalah gunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal dan hukumanya. Jadi, berdasarkan asas ini, tiada suatu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika belum dinyatakan sejara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama perbuatan itu belum dilakukan. Hakim dapat menjatuhkan pidana hanya terhadap orang yang melakukan perbuatan setelah dinyatakan sebelumnya sebagai tindak pidana. Sumber Hukum Asas Legalitas Asas legalitas dalam Islam bukan berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Demikian juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam Islam antara lain: Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.” Kaidah Fiqh لاحُدُوْدَ‎‮ ‬لاَفعَالِ‮ ‬العُقلاءِ‮ ‬قَبْلَ‮ ‬وُرُوْدِ‮ ‬النصِّ  ‭ ‏Artinya‭ ‬:‭ ‬Tidak ada hukum bagi tindakan-tindakan manusia sebelum ada aturan hukumnya Penerapan Asas Legalitas Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua katagori diatas. Menurut Nagaty Sanad, professor hukum pidana dari mesir, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya. Kemudian jika berpegang pada asas legalitas seperti yang dikemukakan pada bab di atas serta kaidah "tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya ketentuan nas" Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri…, 1: 316., maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nas-nas dalam syari'at Islam belum berlaku sebelum di undangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nas yang mengundangkan. Hukum pidana Islam tidak mengenal sistem berlaku surut yang dalam perkembangannya melahirkan kaidah Ibid : لارجعية‏‭ ‬في‮ ‬التشريع‮ ‬الجنائي Tidak berlaku surut pada pidana Islam Penerapan hukum pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku semisal: -          Berlakunya bekas ibu tiri dalam surat An-Nisa': 22 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” -          Hukum riba dalam QS. Al-Baqarah: 275 ‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” Asas legalitas ini mengenal juga asas teritorial dan non teritorial; Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan, yakni : Negara-negara Islam; Negara yang berperang dengan negara Islam; Negara yang mengadakan perjanjian damai dengan negara Islam. Asas non teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam berlaku bagi seorang muslim tanpa terikat di mana ia berada, apakah ada di wilayah di mana hukum pidana Islam diberlakukan (tiga negara tersebut di atas), maupun di negara yang secara formal tidak diberlakukan hukum pidana Islam. Asas tidak Berlaku Surut Hukum pidana Islam pada prinsip tidak berlaku surut, hal ini sesuai dengan kaidah في‎‮ ‬التشريع‮ ‬الجنائي‭ ‬لارجعية‭ ‬tidak berlaku surut pada pidana‭ ‬Islam,‭ ‬artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak‭ ‬bisa dianggap sebagai suatu jarimah.‭ ‬Namun dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku surut artinya perbuatan itu dianggap jarimah walaupun belum ada nas yang melarangnya. Alasan diterapakan pengecualiaan berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan menimbulkan kekacauan dan kehebohan dikalangan umat muslim.  Jarimah-jarimah yang diberlakukan surut yaitu : Jarimah Qadzaf (menuduh Zina) dalam surat An-Nur: 4 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” b.      Jarimah Hirabah dalm surat Al-Maidah: 33 ‏‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ ‬‮ Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.” Selain itu asas ini melarang berlakunya hukum ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturan atau nasnya. Hukumpidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Contoh dari pelaksanaan asas ini adalah pelanggaran praktik yang berlaku di antara bangsa Arab Pra-Islam. Sebagai contoh, di zaman pra-Islam, seorang anak diizinkan menikahi istri dari ayahnya. Islam melarang praktek ini, tetapi ayat Al-Qur’an secara khusus mengecualikan setiap perkawinan seperti itu yang dilakukan sebelum pernyataan dilarang: “ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (an-Nisa: 22). Sebagai akibatnya, ikatan perkawinan seperti itu menjadi putus, namun dari sisi hukum pidana pelakunya tidak dipidana. Asas Praduga tak Bersalah Suatu konsekuen yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas  adalah asas praduga tak bersalah (principle of lawfulness/presumption of innocence). Menurut asas ini semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum Sebaliknya dalam kaitan ibadah khusus, seperti shalat atau puasa, semua perbuatan dilarang, kecuali yang diperintahkan.. Selanjutnya setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika di suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam jauh mengenalnya sebelum hukum-hukum pidana positif. Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Hadits nabi menyatakan secara jelas menyatakan: “Hindarkan hudud dalam keadaan ragu lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah menghukum.” Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan Subhat ialah ma yusbihu sabit wa laisa bisabit, berarti bertentangan antara unsur formil dan materiilnya atau segala hal yang tetap dianggap tidak tetap. Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri al-Jinai…,I: 254.. Dalam kejahatan kejahatan hudud, keraguan Mazhab Syfi’I mengklasifikasikan subhat dalam 3 kategori: (1) subhat yang berkaitan dengan obyek; (2) Subhat yang disebabkan oleh pelakunya; (3) Keraguan formal (muncul karena tidak sepakatnya para fuqaha untuk suatu masalah). Sementara mazhab Hanafimengklassifikasikan keraguan ini kedalam: (1) Keraguan yang melekat dalam perbuatan itu; (2) Keraguan yang melekat pada tempatnya; dan (3) Keraguan yang melekat pada perjanjiannya Abd al-Qodir Awdah, At-Tasyri’ al-Jinai al-Islami…,I hlm. 258-261. membawa pembebasan terdakwa dan pembatalan hukuman hadd. Akan tetapi, ketika pembatalan hukuman had ini, hakim (jika diperlukan) masih memiliki otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta'zir kepada terdakwa Abdullah Ahmad an-Naim, Dekonstruksi Syari’ah, alih bahasa, Ahmad Syuedi, (Yogyakarta: LKIS,2001), hlm. 200.. Para sarjana muslim sepakat pada prinsip diatas  untuk kejahatan kejahatan hudud dan qisas, namun mereka berbeda pada penerapannya untuk kejahatan kejahatan ta'zir. Pandangan mayoritas adalah bahwa aplikasi prinsip ini tidak meliputi kejahatan kejahatan ta'zir. Akan tetapi, sebagian sarjana memegang  pendapat jenis kejahatan yang terakhir mesti tidak dikecualikan, atas dasar bahwa, tidak ada sesuatupun dalam jiwa syari'at menghalagi keberlakuannya M. Salim al-Awa, “The Basis of Islamic Penal Legalism”, dalam M. Cherif Bassioni, The Islamic criminal Justice System ( London: Oceana Publications, Inc. 1982), hlm. 143-147.. Menurut mereka, ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin keadilan dan melindungi kepentingan terdakwa, baik dakwaan itu untuk kejahatan had, qisas dan ta'zir Ibid.. Asas Material Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir). Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam mengenal dua macam: hudud dan ta’zir. Hudud adalah sanksi hukum yang kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nash, baik al-Qur’an maupun hadits. Sementara ta’zir adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur’an maupun hadits. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum pidana yang berbunyi :  اِدْرَءُوا‎‮ ‬الحُدُوْدَ‮ ‬بالشُبْهَاتِ Artinya : Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran atau syubhat.  Asas material pun mengenal asas pemaafan dan asas taubat. Asas pemaafan dan taubat menyatakan bahwa orang yang melakukan tindak pidana, baik atas jiwa, anggota badan maupun harta, dapat dimaafkan oleh pihak yang dirugikan apabila yang bersangkutan bertobat. Bentuk tobat dapat mengambil bentuk pembayaran denda yang disebut diyat, kafarat, atau bentuk lain, yakni langsung bertaubat kepada Allah SWT. Oleh karena itu, lahirlah kaidah yang menyatakan bahwa: “Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak berdosa. “ Asas Moralitas Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam : Asas Adamul Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum. Asas Raful Qalam yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila. Asas al-Khath wa Nis-yan yang secara harfiah berarti kesalahan dan kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini didasarkan atas surat al-Baqarah: 286. Asas Suquth al-‘Uqubah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman. Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal : pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan tuga; kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti : petugas eksekusi qishash (algojo), dokter yang melakukan operasi atau pembedahan, dsb. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum seperti : membunuh orang dengan alasan membela diri, dsb.       BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dari pemaparan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum pidana islam memiliki beberapa asas diantaranya: Asas Legalitas, asas legalitas adalah cerminan dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Bahwa asas ini menjelaskan bahwa tidak akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Asas tidak berlaku surut, artinya sebelum adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan mukallaf tidak bisa dianggap sebagai suatu jarimah. Asas praduga tak bersalah ( principle of lawfulness/presumption of innocence), Menurut asas ini bahwa semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Jadi, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Asas material, asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had atau ta’zir). Asas moralitas, Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam : Asas Adamul Uzri Asas Raful Qalam Asas al-Khath wa Nis-yan Asas Suquth al-‘Uqubah  DAFTAR PUSTAKA Djazuli, H. A. FIQH JINAYAH. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997. Hanafi,Ahmad. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Munajat, Makhrus. FIKIH JINAYAH(Hukum Pidana Islam). Pesantren Nawesea Pres.Jakarta.2009. Santoso, Topo, S,H., M.H, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Pres, 2003. PAGE \* MERGEFORMAT 1