Academia.eduAcademia.edu

Konsep Worldview dan relasinya

Saat ini, para ilmuwan berusaha menalar berbagai fenomena sosial, khususnya agar dapat menjadi sistematis sebagaimana yang berlaku dalam sains dan teknologi. Segala usaha tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan, pengamatan, bahkan uji coba. Dari berbagai usaha tersebut, mereka berpendapat bahwa segala hal, baik sains maupun lainnya terdasari dengan suatu kerangka fikir yang sering disebut worldview. Suatu kasus di atas hanyalah sedikit hal yang menunjukkan perbedaan yang berujung pertentangan antar worldview dari cabang keilmuan tertentu. Namun, dewasa ini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata memunculkan tantangan tersendiri dalam berbagai hal. Segala tindakan manusia yang menggunakan piranti sains dan teknologi kadang kurang bijaksana. Dari ketidak bijaksanaan tersebut, muncullah berbagai permasalahan etika yang terkait langsung dengan rusaknya lingkungan, sosial, dan hal lainnya. Analisa dan kajian yang mendalam mengenai worldview sangat diperlukan guna melihat lebih dekat hubungan antar worldview tersebut, serta dapat mencarikan solusi untuk dapat melakukan elaborasi dalam segala hal guna menyelesaikan problem tersebut. Dalam hal ini, worldview selalu dijadikan tolak ukur dan perspektif dalam meninjau berbagai distingsi antara sains dan agama. Bahkan pernah dikatakan bahwa worldview merupakan sistem bahasa yang telah terbentuk sejak kontak pertama manusia dengan kehidupannya di dunia, tentunya karena pengaruh lingkungannya. Makalah singkat ini berusaha menjelaskan beberapa hubungan antara worldview yang merupakan hasil bentukan dari sistem bahasa serta keberadaan worldview di balik agama dan sains. Selanjutnya akan dikemukakan mengenai usaha integrasi antara agama dan sains dalam satu paying worldview. Hal ini tentunya disertai dengan berbagai kasus 1 makalah ditulis oleh Muhammad Taqiyuddin untuk tugas kuliah bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phill

Worldview dalam Sains, Bahasa, dan Agama makalah ditulis oleh Muhammad Taqiyuddin untuk tugas kuliah bersama Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M.Ed, M.Phill A. Pendahuluan Saat ini, para ilmuwan berusaha menalar berbagai fenomena sosial, khususnya agar dapat menjadi sistematis sebagaimana yang berlaku dalam sains dan teknologi. Segala usaha tersebut dilakukan dengan berbagai pendekatan, pengamatan, bahkan uji coba. Dari berbagai usaha tersebut, mereka berpendapat bahwa segala hal, baik sains maupun lainnya terdasari dengan suatu kerangka fikir yang sering disebut worldview. Suatu kasus di atas hanyalah sedikit hal yang menunjukkan perbedaan yang berujung pertentangan antar worldview dari cabang keilmuan tertentu. Namun, dewasa ini, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata memunculkan tantangan tersendiri dalam berbagai hal. Segala tindakan manusia yang menggunakan piranti sains dan teknologi kadang kurang bijaksana. Dari ketidak bijaksanaan tersebut, muncullah berbagai permasalahan etika yang terkait langsung dengan rusaknya lingkungan, sosial, dan hal lainnya. Analisa dan kajian yang mendalam mengenai worldview sangat diperlukan guna melihat lebih dekat hubungan antar worldview tersebut, serta dapat mencarikan solusi untuk dapat melakukan elaborasi dalam segala hal guna menyelesaikan problem tersebut. Dalam hal ini, worldview selalu dijadikan tolak ukur dan perspektif dalam meninjau berbagai distingsi antara sains dan agama. Bahkan pernah dikatakan bahwa worldview merupakan sistem bahasa yang telah terbentuk sejak kontak pertama manusia dengan kehidupannya di dunia, tentunya karena pengaruh lingkungannya. Makalah singkat ini berusaha menjelaskan beberapa hubungan antara worldview yang merupakan hasil bentukan dari sistem bahasa serta keberadaan worldview di balik agama dan sains. Selanjutnya akan dikemukakan mengenai usaha integrasi antara agama dan sains dalam satu paying worldview. Hal ini tentunya disertai dengan berbagai kasus dan contoh dari analisa worldview yang ada pada setiap ideologi, pemikiran, bahkan perkembangan teknologi tersebut. B. Pembahasan Relasi Worldview dengan Bahasa Terma worldview telah melalui banyak pendefinisan oleh para ilmuan, filosof, dan sebagainya. Edward Sapir (1884-1939) dan gurunya Benjamin lee Whorf (1897-1941) pertama kali menggunakan istilah Whorf-Sapir Hypothesis yang menyimpulkan penelitian dari Franz Boas (1858-1942) seorang antropolog yang meneliti kultur budaya Indian Amerika. Kesimpulan diambil terkait dengan kultur linguistic-antropologis yang diteliti dengan framework metodologi sains positivistik yang berhipotesa bahwa adanya relasi antara bahasa dengan fikiran manusia. Hal ini pernah diungkapkan oleh Humboldt – meski jarang didiskusikan; bahwa worldview sebagai hal yang fundamental melazimkan terwujudnya pemikiran manusia mengenai dunia melalui sarana pembentukan fikiran dari fakultas bahasa yang rumit. dikutip dari Humboldt yaitu “worldview as the fundamental and necessary processing of the world by the mind through the faculty of language.” dalam buku : James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009) p. 14-15 Humboldt sangat yakin bahwa worldview amat terkait dengan bahasa. Ia berusaha menjelaskan bahwa konsep worldview adalah proses asimilasi bahasa yang kemudian membentuk konsepsi mengenai dunia. Worldview digunakan sebagai konsep primer dalam mengerti perbedaan dan mengklasifikasi berbagai bahasa, kemudian juga “dunia” yang menghasilkan bahasa tersebut. Dalam memperjelas konsep tersebut, Humboldt menggunakan terma Weltansicht, bukan weltanschauung. James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009) p. 16 Selain Humboldt, Jurgen Trabant dan Naugle juga mengakui perbedaan kedua terma tersebut. Weltanschauung memiliki makna yang luas sebagai pijakan akal dalam berfikir individu. Secara filosofis, hal ini terjadi sejak konsep akal dikembangkan pada zaman Pencerahan Ibid … p. 16 dan semenjak abad ke 20 secara politis, istilah tersebut menjadi sinonim dari istilah “ideologi”. Sedangkan weltansicht lebih menyebutkan sistem kebahasaan yang meliputi sudut pandang sempit dan konsepsi dasar mengenai dunia. Kajian Humboldt yang mendalam mengenai bahasa menunjukkan bahwa sistem linguistik mempengaruhi pemikiran kultural tertentu, bahkan juga memiliki kontribusi dalam perkembangan kultur tersebut. James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 16 Senada dengan itu bahwa Thouard, seorang translator dari Prancis juga menyatakan bahwa weltanschauung mencakup hal yang lebih umum daripada weltansicht. Weltansicht lebih beroperasi pada tataran fundamental yang mengembangkan kontak pertama manusia dengan realitas dunianya. Yang mana pada tataran berikutnya, weltansicht (la langue) menjadi bagian yang membentuk sebuah weltanschauung (la vision du monde) yang memiliki berbagai perangkat kepercayaan. Ibid … p. 18 Pemahaman para sarjana Barat mengenai worldview juga beragam. Thouard berargumen bahwa kebanyakan sarjana Prancis dan Inggris memahami bahwa bahasa sudah terintegrasi dalam worldview tanpa adanya distingsi antara keduanya. Sehingga hanya ada istilah worldview, world image, atau picture of the world dan tidak pernah ada istilah weltansicht. Para sarjana Czech (Ceko) juga mengadopsi konsep worldview dalam bentuk demikian, tanpa ada distingsi antara weltansicht dan weltanschauung. Ibid … p. 19 Whrof melihat worldview sebagai sistem kebahasaan yang didasari dengan model tertentu. Ia mengembangkan pendapat Sapir bahwa bahasa menjadi suatu hal penting yang membentuk model tersebut. Khususnya individu yang berinteraksi dengan suara, perkataan dan kata-kata. Sapir mengemukakan konsep cluster (kumpulan) yang menjadi elemen dari sebuah bahasa. Ibid … p. 33 Sedangkan Whorf dengan ketertarikannya kepada keunikan sistem bahasa, akhirnya mengembangkan terma yang bervariasi antara worldview, weltanschauung, dan habitual thought. sebagaimana dikutip dari Whorf bahwa “By ‘habitual thought’ and ‘thought world’ I mean more than simply language, i.e. than the linguistic patterns themselves. I include all the analogical and suggestive value of the patterns (e.g., our ‘imaginary space’ andits distant implications), and all the give-and-take between language and the culture as a whole, where in is a vast amount that is not linguistic but yet shows the shaping influence of language. In brief, this ‘thought world’ is the microcosm that each man carries about within himself himself, by which he measures and understands what he can of the macrocosm” dalam James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 36 lihat juga Whorf, The Relation of Habitual Thought and Behaviour to Language, 1984, p. 138 Whorf dengan konsepsi ‘sistem bahasa yang unik’ memandu beberapa sarjana kepada spekulasi metafisik. Boas, seorang peneliti kultural yang mendalami ilmu linguistik terbantu dengan pekerjaan Whorf mengenai ilmu ketata bahasaan. Ketatabahasaan (grammar) memberikan dasar dalam memaknai sesuatu dan menjadikannya sebuah pengalaman. Hal ini juga diungkap oleh Noam Chomsky dengan adanya sistem lingustik yang produktif sebagaimana Whorf mengungkap bahwa sistem linguistik yang menjadi formulasi sebuah bahasa yang akan mempengaruhi aspek psikologi, kultur, bahkan perilaku dan sistem keteraturan. sebagaimana dikutip dari Whorf bahwa “The very essence of linguistics is the quest for meaning, and, as the science refines its procedure, it inevitably becomes, as a matter of this quest, more psychological and cultural, while retaining that almost mathematical precision of statement which it gets from the highly systematic nature of the linguistic realm of fact.” dalam James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 39 lihat juga Whorf, A Lingustic Consederation of the Primitive Communities, 1984, p. 79 Namun meskipun demikian, Whorf baru menyodorkan argument yang terlalu sedikit dalam memandang hubungan antara perilaku, kultur dan persepsi. Rangkaian argument di atas hanya sekedar hubungan antara perilaku dan kultur, tidak mencapai penjelasan pada tahap pengaruh bahasa terhadap persepsi manusia. James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 41Sebaliknya, para filosof yang terdahulu seperti John Locke telah menekankan bahwa suatu ‘kata’ bukan sekedar merupakan hal yang kosong, namun ia berisi konsep berfikir tertentu. Sebagaimana dikutip dari John Locke bahwa “Words, in their primary or immediate signification, stand for nothing but, the ideas in the mind of him that uses them” dalam James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 41 lihat juga John W. Yolton, The Locke Reader: Selections from the Works of John Locke with a General Introduction and Commentary (Cambridge : Cambridge University Press, 1977) p. 259 Dari situlah diskusi Locke mengenai bahasa menghasilkan kesimpulan mengenai gambaran sebuah bahasa dan penggunaannya dalam menyatakan pengalaman tentang dunia di sekitar kita. James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 42 Whorf memandang bahasa berdasarkan posisinya sebagai seorang relativis. Namun setelah melihat berbagai argument mengenai konsepsi linguistik dan tata bahasa serta relasinya dengan kultur, perilaku, dan persepsi manusia; hal ini membuat lebih terlihat bahwa ia tidak sedang mempertahankan ide relativismenya. Ini terbukti dari klaimnya berdasarkan penelitiannya mengenai suku Hopi dalam konsep linguistiknya dapat mengantarkan kita kepada realitas kebenaran yang natural. Inilah yang menekankan bahwa ide relativismenya sangat jauh dari argumen yang relativistic, bahkan statemennya malah membantah idenya sendiri. James W. Underhill, Humboldt, Worldview and Language… p. 43 Worldview dalam Sains dan Agama Untuk sekedar mengutip dari Hugh Gauch, bahwa pengertian worldview harus dilihat secara etimologi, Pandangan Gaus tentang pengertian worldview secara etimologi bahwa “The New Oxford American Dictionary defines the term “worldview” as ‘a particular philosophy of life or conception of the world’ (“worldview n.”)” dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness Media B.V 2007, 729-745, p. 82 sosiologi, Pandangan Gaus tentang pengertian worldview secara sosiologi bahwa “According to the Dictionary of the Social Sciences, ‘from German Weltanschauung, worldview refers to the total system of values and beliefs that characterize a given culture or group’. dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 82 dan terminologi filsafat. Pandangan Gaus tentang pengertian worldview secara filosofis bahwa “The Cambridge Dictionary of Philosophy defines it is ‘an overall perspective on life that sums up what we know about the world, how we evaluate it emotionally, and how we respond to it volitionally’ dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... , p. 82 Worldview dapat disimpulkan sebagai seperangkat kepercayaan, yang menimbulkan (suatu hal), atau mencakup dasar (kepercayaan) tersebut, yang konsisten sebagai kerangka guna menjawab pertanyaan seputar worldview. Pertanyaan seputar worldview : (1) what sorts of things exist in the universe? (2) is the universe created by an intelligent Being? If so , what are the Being’s properties and if not, what account can be given of creation? (3) what is the structure of reality? (4) do humans have a nature or essence? (5) ho should we live our lives? (6) what is good and bad, right and wrong? (7) what is the best form of government? (8) is there a purpose to life in general, or to the universe as a whole? (9) is there life after death? since one of the most important functions of worldviews is to make sense of life and the world, worldview also ask (10) how should we go about answering these questions? dalam tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... , p. 83 Berpedoman pada “tujuh karakter sains”-nya, Gaus membuat daftar tujuh pilar mengenai karakteristik sains yaitu : (1) Nyata (2) Berdasarkan Hipotesis (3) Terbukti Empiris (4) Logis (5) Memiliki penjelasan yang terbatas (6) Universal, berlaku untuk semua golongan (7) membentuk worldview. dikutip dari tulisan Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... , p. 83 lihat juga Gaus HG, Science, Worldview and Education (2007) Gauch menyimpulkan bahwa (1) konten worldview tidak terdapat dalam sains (2) ia tidak memberikan pandangan penting yang memadai dalam studi kritis sains mengenai alam. Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 81 Secara sekilas bahwa Gauch tidak setuju adanya worldview di balik sains. Namun jika melihat pada beberapa pilar dari karakter sains tersebut, bahwa sains merupakan “suatu hal yang terbukti empiris” itu merupakan suatu metodologi yang diimpor dari suatu ideologi yang menuntut pembuktian sesuatu secara empiris. Hal tersebut merupakan karakteristik dari suatu worldview yang menyatakan bahwa “pembuktian empiris merefleksikan sebuat realitas”. Ibid, ... p. 87 Gauch juga menyatakan adanya paradoks bahwa sebuah metode yang didasari suatu worldview akan berkesimpulan pada karakter worldview tersebut. Meskipun demikian, ia tetaplah menyatakan bahwa sains adalah netral karena didasari dengan metode ilmiah yang dikuatkan oleh pembuktian dengan sebuah realitas. dikutip dari Gausch “It may seem paradoxical or surprising that a worldview-independent method could yield worldview distinctive conclusion. But of course, only a method that did not presuppose or favor a particular outcome could yield a conclusion worthly of consideration. A worldview-independent method applied to worldview-informative evidence can reach worldview-distinctive conclusions. The action is in the evidence. The evidence reflects reality” dalam Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90 Dari sinilah terlihat bahwa Gauchch hanya sekedar menganggap sains sebagai interogasi terhadap alam lantas kemudian membuat kesimpulan darinya. Sains hanya terbatas pada hal yang tampak dalam realitas fisik. Secara epistemologi, metode sains tersebut termasuk pada ideologi “realisme” diperjelas dalam makalah tersebut bahwa “realism belongs to a group of worldview beliefs that may be called philosophical. This is not to say that only philosopiscal worldview include it. Obviously, it can also be a part of other worldviews such as political worldviews. Realism is a worldview belief, which is at odds with philosophical worldview such as idealism or phenomenalism. It will also clash with a religious worldview that takes the physical world not as real, but as an illusory reflection of a deeper, non-physical reality.” dalam Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 89 yaitu suatu kepercayaan pada realitas empiris. Tentu, hal tersebut termasuk sebuah “perangkat kepercayaan” yang merupakan karakteristik sebuah worldview. Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 90 Dalam pembicaraan mengenai worldview dan relasinya, Stephen Pepper memiliki pendapat sendiri. Ia lebih sering menyebut worldview sebagai “world hypotheses” atau praduga terhadap dunia. Ia berpendapat bahwa sejak dahulu, para filosof sudah memperdebatkan hal yang serupa dengan worldview dan world hypotheses. Melihat kisah dan sejarah filsuf Yunani Thales yang menyatakan bahwa asal segala sesuatu adalah air, Anaximander bahkan menyatakan bahwa substansi segala sesuatu adalah udara. Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science, ... p. 83 Kesemua filsuf tersebut membahas hal-hal yang substansial dan aksiomatis. Yang terpenting, bahwa Pepper menyimpulkan bahwa kesemua sumber dari – baik worldview maupun world hypotheses adalah teori “root-metaphor” atau inti yang majazi. Ibid,... p. 83-84 Pepper mengemukakan adanya suatu karakteristik prinsip metodologi tertentu yang digunakan untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan sesuatu. Pepper juga menyatakan bahwa suatu world hypotheses memunculkan beberapa metodologi yang merealisasikan sebuah nilai. Konsekuensi dari itu mendorong munculnya suatu esensi dari world hypotheses yang tidak bisa dimasuki oleh konsep world hypotheses lainnya. Karena hal tersebut merupakan suatu program dalam menjelaskan dan mengerti realitas (world hypotheses) tersebut. Ibid,... p. 84 Berdasarkan kesimpulan tersebut, bahwa pada kurun waktu hingga revolusi sains abad 17-18, Pepper menyimpulkan adanya scientific worldview yang melatar-belakangi perkembangan sains tersebut. Ibid,... p. 84 Sains-pun dengan karakternya juga memiliki sebuah sejarah dan revolusi tersendiri. Sains yang pada saat ini sudah memiliki worldview yang memiliki karakter penting : (1) studi kritis dan mendalam secara alami terhadap suatu aktivitas ilmiah dan (2) memiliki metode penjelasan ilmiah tertentu. Ibid,... p. 91 Sains dalam sejarahnya mengalami revolusi pada abad ke 16 dan 17. Worldview sains barulah muncul dan memisahkan diri dari worldview agama dan mitologi. Revolusi tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan filosofis dan religious, yang mana agama pada saat itu selalu bertentangan dengan sains. Gurol Irzik and Robert Nola, Worldview and their relation to science,... p. 96 Usaha Integrasi antara Agama dan Sains dalam suatu Worldview Ada beberapa tendensi yang terjadi dalam hubungan antara pendidikan sains dan pendidikan agama. Sebagian literatur mereduksi sekitar pertanyaan berikut : “Apakah sains berkonsekuensi menimbulkan worldview dalam berkeyakinan?” menjadi “Dapatkah sains membuktikan keberadaan Tuhan?” atau “Dapatkah sains mengatakan kepada kita bahwa alam semesta ini memiliki tujuan?”. Tentu, hingga saat ini jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah negatif, karena selama ini worldview difahami secara sempit sebagai pandangan mengenai kehidupan dan dunia, bukan pandangan keagamaan. Ibid, p. 81 Matthew Orr menyatakan bahwa agama dan sains menghasilkan disiplin ilmu yang berbeda dan prosedur operasional yang berbeda. Sebagai contoh bahwa keyakinan mendapat sedikit bagian dalam sains, sedangkan agama tidak hanya terbatas pada hal-hal yang dapat diobservasi secara empiris. Tetapi, sekalipun keduanya tidak dapat disatukan dengan satu disiplin ilmu, namun agama dan sains dapat disatukan di bawah worldview yang sudah tersintesa (tergabung). Orr menyatakan mendefinisikan worldview berdasarkan The American Heritage dictionary tahun 2000 yaitu “(1) The overall perspective from which one sees and interprets the world. (2) A collection of beliefs about life and the universe held by an individual or a group” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion? dalam Zygon: Journal of Religion and Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006, p. 437 Sintesa dari keduanya akan memfasilitasi proses dalam membimbing masa depan yang beretika bagi manusia. sebagaimana dikutip dari Matthew Orr bahwa “Unlike evolutionary genetics, religion and science constitute entirely different displines with operating procedures. Faith, for instance, has little place in science, and religion need to be limited to what is empirically observable. But even through they cannot be united as a single discipline, religion and science can be united under a single synthetic worldview. Their synthesis will facilitate progress in guiding the ethical future of humankind.” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 437 Karena worldview yang mampu menyatukan sains dan agama haruslah mengandung komponen dari keduanya yang tidak saling bertentangan. Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 437 Matthew Orr menawarkan solusi integrasi (sintesa) antara agama dan sains di bawah satu worldview. Ia menerangkan bahwa adanya dua komponen penting dalam worldview tersintesa tersebut, yaitu komponen saintifik (bersifat sains empiris-observatif) dan komponen non-saintifik. Worldview saintifik mengandung komponen yang dapat difalsifikasi secara terbatas, yaitu sebagai worldview yang hanya berbasis ide objektifitas yang ditentukan dari observasi empiris yang hanya dapat dimanfaatkan secara terbatas. Batasannya adalah dua alasan : pertama, banyak metode falsifikasi yang tidak dapat diujicobakan secara cukup karena komponen tidak mengalami penolakan. Kedua, pencapaian sains adalah terbatas sedangkan moral atau etika – yang membentuk bagian yang berguna dari worldview sebagian besar darinya tidak dapat difalsifikasi. Ibid … p. 478 Orr memberikan sebuah ilustrasi dari penelitian mengenai pengaruh aspek manusia dalam problem perubahan iklim dunia. penelitian yang dilakukan oleh J. T. Houghton, ditulis dalam buku J. T. Houghton, Climate Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (New York : Cambridge University Press, 2001) Ia menyimpulkan dari hasil penelitian Houghten yang menyatakan bahwa perubahan iklim yang problematik memiliki beberapa alasan : pertama, aktivitas individual dengan mobil atau pemanas ruangan meningkatkan emisi karbon. Kedua, bahwa perubahan iklim merupakan problem global yang membutuhkan penanganan yang kadang kontradiktif dengan “agenda” negara. Ketiga, sangat tidak mungkin untuk mengungkap sejauh apa efek buruknya jika dilihat secara saintifik. Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 437-478 lihat juga J. T. Houghton, Climate Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of Working ... p. 77-79 Kedua alasan tersebut memiliki beberapa penjelasan terperinci dari temuan para ilmuan maupun politisi. Berdasarkan penelitian, pemanasan global terjadi akibat pembakaran bahan bakar fosil yang berlebihan. Limbah dan gas tersebut membubung ke atmosfer dan mengendap lama di sana, lantas menutupinya sehingga memerangkap panas dari bumi. berdasarkan penelitian Philander mengenai pemanasan global dalam S. George Philander, Is the Temperature Rising? The Uncertain Science of Global Warming (Priceton : Princeton University Press,2000) dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 439 Kemungkinan di masa depan nanti, terjadi kenaikan suhu hingga 11 derajat celsius, dan hal tersebut akan membuat bumi menjadi zona yang berbahaya bagi manusia. berdasarkan penelitian Hopkin. M mengenai perubahaan iklim dalam M. Hopkin, Biggest Ever Climate Simulation Warms Temperature May Rise 11 C dalam Nature Online www.nature.com 26 Januari 2005. dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 439 Selain dari itu, para saintis hanya mampu menjelaskan permasalahan tersebut tanpa dapat memberikan solusi. Para saintis hanya dapat merekomendasikan kepada pemerintah dan politisi untuk mencanangkan peraturan dalam menertibkan masyarakat, sekali lagi ini adalah masalah etika hidup masyarakat. Sulitnya melakukan lobi terhadap pemerintah dan politisi mengakibatkan agenda mengatasi problem perubahan iklim ini semakin sulit dilaksanakan. sebagaimana ditulis J Sawin, Long Range Forecast, dalam World Watch Magazine March-April, 2003, p. 10-15 dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 439 Para saintis dan agamawan di Amerika pernah mendiskusikan perlunya integrasi sains dan agama. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibatasi dengan moral dan etika, sudah terbukti banyak merugikan kehidupan manusia. Manusia membutuhkan pedoman berupa nilai moral dalam perkembangan teknologi tersebut. disimpulkan dan dikutip dari aslinya “The Joint Appeal by Religion and Science for the Environment, signed by over one number hundred scientist and theologians, states : “What good is all the data in the world without a steadfast moral compass?.... Insofar as our [enviromental] peril arises from a neglect of moral values... religion has an essential role to play”. This statement recognizes the need for a more synthetic perspective in addressing environmental problems.” dalam D. Ackerman, Declaration of the “Mission to Washington” : The Joint Appeal by Religion and Science for the Environment, 1992 dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 440 Sebuah contoh dari fenomena perubahan iklim dapat dan dianalisa oleh para saintis, namun solusinya haruslah melihat dari perspektif yang lebih luas, yaitu secara perilaku manusia dan pendekatan etika. Para saintis menginfokan permasalahan dengan berdasarkan riset, dan membutuhkan kolaborasi penyelesaiannya dari nilai moral berupa keyakinan dan ‘tabo’ (sakralisasi) dari agama. Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 440 Orr berpendapat bahwa sains dan agama telah melalui sejarah perdebatan panjang dalam berbagai bentuknya. Institusi agama lebih dahulu muncul sebelum adanya sains, dan penemuan yang bersifat saintis selalu diintimidasi oleh institusi agama pada masa itu. Namun pada saatnya nanti mungkin akan dapat mengeliminasi berbagai faktor pembatas antara agama dan sains tersebut. Meskipun menghilangkan berbagai faktor non-empiris pada institusi agama sangatlah tidak mungkin untuk dilakukan. Ibid... p. 441 Selain itu, banyak mitos dalam Perjanjian Lama yang terbukti salah secara saintifik tetap dipaksakan untuk akur antara pemikiran rasional dan tradisi keagamaan. Sebagaimana pendapat Bishop John Shelby, bahwa tidak akan ada toleransi terhadap ‘sakit mental’ seseorang yang mendekonstruksi agama, dan menyembah Tuhan harus seimbang antara akal dengan hati. sebagaimana dikutip dari Bishop John Shelby Spong bahwa “We are not able to endure the mental lobotomy that one suspects is the fate of those who project themselves as the unqestioning religious citizens of our age” and “God must be worshiped with the mind as well as the heart...” dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 441 Ada beberapa pertanyaan mengenai urgensi dalam mensintesakan agama dan sains dalam satu worldview. Pertama, apa gunanya memiliki moral yang baik, namun tidak mengetahui bahaya (dari) alam dan cara penanggulangannya? kedua, apakah tradisi moral keagamaan yang di luar saintifik worldview dapat membujuk morang untuk merespon tantangan kontemporer? ketiga, Apa langkah positif dalam menyelesaikan problem lingkungan dan sosial jika agama tidak dijadikan standar obyektif, sedangkan sains tidak mengusahakan penyelesaian kecuali hanya menyediakan informasi terkait? keempat, dapatkah kedua perspektif sains dan agama disintesiskan dalam pikiran yang sama di bawah satu worldview? adalah beberapa pertanyaan dari The Joint Appeal by Religion and Science for the Environment, yaitu “What good are the most fervent moral imperatives if we do not understand the dangers and how to avoid them?,.. Can a moral tradition from outside a scientific worldview persuade people to respond to contemporary problems? ... What kind of positive movement away from not only our environmental problems but also other problems will occur as long as religion is not held to the highest objective standars, and so long as science does not strive to see that the information it produces is put to positive ends?” dikutip dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 442 James Marsh menyatakan bahwa dalam Kristen terdapat suatu ciri khusus dalam pemikirannya. Marsh menyatakan adanya komponen nonsaintifik dalam agama, yakni keyakinan (faith). “Keyakinan didefinisikan sebagai kepercayaan yang didasari tanpa adanya bukti” yang mana sekarang ini juga percaya meski dengan fakta yang kontradiktif. sebagaimana dikutip dari James Marsh dari Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 442 lihat juga James Marsh, Preface to Samuel Taylor Coleridge’s Aids to Reflection, (New York : Gould Newman, 1840). Namun sebaliknya bahwa Bishop Spong menyatakan bahwa “Kita harus menjadi seorang ‘beriman’ yang jujur, bukan orang yang termabuk dengan ‘candu’ dari agama”. Sebagaimana dikutip dari Bishop Spong: “Many of us can continue to be belivers only if we are able to be honest belivers. We want to be people of faith, not people drugged on the narcotic of religion.” dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 442 Berbagai kepentingan naturalis – fundamentalis lebih tercermin pada prinsip-prinsip keagamaan yakni dalam keyakinan dan tabu (pamali). Sebagai contoh, keyakinan bahwa seorang pribadi yang berbuat sesuatu, tidak akan berpengaruh atau membuat perubahan pada masyarakat lain yang lebih banyak jumlahnya. Jane Goodall menyebutnya sebagai fenomena “just me-ism” sebagaimana dikutip: “My real fear is that we’ve become apathetic because of what I call ‘just me-ism’. I mean, I’m one person, there’s millions of people out there. So, what little I can do cant possibly make any difference, It’s just me”. dalam Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 443 lihat juga Jane Goodall, So Like Us: My Life with chimpanzees. Speech to the Common wealth Club of San Francisco, 1997. Sebagaimana keyakinan, tabu (pamali) yang sakral sudah sangat terformalisasi di dalam sejarah tradisi keagamaan yang mana bersifat seperti keyakinan, yaitu mewujudkan pembaharuan menuju fokus untuk etika yang merupakan tantangan mendasar dari kehidupan. Karena kadangkala, sains dapat menganalisa problem namun tanpa dapat menyelesaikan secara langsung. Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 443 Penemuan saintifik memiliki kelemahan dalam mewujudkan tradisi etika, yang mana hal ini dapat diformalisasikan oleh agama dengan mudah. Dalam satu waktu, sains itu sendiri juga menciptakan tantangan kepada etika atau norma. Etika seringkali harus memperbaharui standar perilaku agar relevan dengan penemuan saintifik. Hal ini juga mungkin dibutuhkan oleh etika dalam merubah pola berfikir yang religious yang mana menolak hal-hal saintifik yang tidak sesuai dengannya. Dan hal tersebut membutuhkan elaborasi antara batas-batas worldview ilmiah dan para sarjana dalam bekerja dalam hal-hal yang telah dapat didefinisikan tersebut. Matthew Orr, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion?... p. 444 C. Kesimpulan Para ilmuwan yang biasanya bersifat positifistik, empiris, dan rasionalis, nampaknya harus mengakui adanya suatu kerangka berfikir (worldview) dalam pola kerja dan metodologi penelitian mereka. Hal tersebut mulai banyak dibicarakan ketika terjadi banyak pertentangan antara metode mereka dengan berbagai elemen masyarakat dan pemikiran lainnya. Bahkan sebagaian besar dari mereka mulai melakukan kajian yang mendalam mengenai sumber-sumber pembentuk worldview tersebut. Kajian mereka yang lebih mendalam menyimpulkan bahwa worldview terdiri atas berbagai elemen, yaitu adat istiadat, tradisi, bahkan yang terpenting adalah struktur linguistik atau bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi antar masyarakat tertentu. Dari penelitian tersebut tersimpulkan bahwa segala sains, teknologi, ideologi dah hal lainnya tidak muncul dari “ruang hampa” dan bukan juga merupakan sesuatu yang “netral”, seluruhnya sarat akan muatan yang terderivasi dari adanya worldview tersebut. Sejalan dengan itu, perkembangan sains dan pengetahuan yang semakin pesat. Dan sains yang saat ini dikuasai oleh Barat dengan latar belakang pertentangannya dengan agama, nampaknya menunjukkan “efek samping” terhadap lingkungan sekitar, bahkan etika dan norma hidup manusia. Jika berpedoman pada pemaparan mengenai worldview di atas, maka nampak bahwa problemnya adalah pada tataran worldview sains tersebut yang tidak dapat “akur” dengan “sekitarnya” (baca: agama, norma, dan etika kemanusiaan). Walhasil, saat ini terjadi ketimpangan antara sains Barat yang “menantang” etika bahkan tradisi keagamaan dengan klaim mereka bahwa sains dapat menyelesaikan problem kemanusiaan tanpa butuh agama. Dan timpangnya para agamawan yang juga harus mengikuti perkembangan sains dan penggunaan teknologi dengan konsekuensi “kehilangan” sebagian tradisi mereka. Yang terpenting, bahwa saat ini mereka mulai menyadari bahwa keduanya haruslah diintegrasikan dan disintesakan di bawah naungan satu worldview yang mampu “meng-akurkan” keduanya. Apalagi setelah banyaknya kasus pencemaran lingkungan yang hanya mampu dianalisa oleh para ilmuan, namun tidak dapat terselesaikan karena rusaknya etika para pengguna teknologi dan sains, bahkan juga regulasi pemerintah yang terdasari dengan worldview yang dikotomis pragmatis yang hanya memikirkan keuntungan birokrasinya. Mungkin suatu saat mereka akan menemukan bahwa worldview Islam sangatlah tepat sebagai “payung” yang mampu menaungi keduanya. D. Daftar Pustaka Gaus HG, Science, Worldview and Education (2007) Houghton, J. T. Climate Change 2001: The Scientific Basis: Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change (New York : Cambridge University Press, 2001) Irzik, Gurol and Robert Nola, Worldview and their relation to science, dalam Journal Science & Education, volume 18, no. 6-7, Pringer Science + Bussiness Media B.V 2007, 729-745 Marsh, James, Preface to Samuel Taylor Coleridge’s Aids to Reflection, (New York : Gould Newman, 1840) Orr, Matthew, What is A Scientific Worldview, and How Does it Bear on The Interplay of Science and Religion? dalam Zygon: Journal of Religion and Science, Vol. 41, No. 2, Joint Publication Board of Zygon, Chicago, 2006 Underhill, James W. Humboldt, Worldview and Language, (Edinburgh : Edinburgh University Press, 2009) Whorf, Benjamin lee, The Relation of Habitual Thought and Behaviour to Language, 1984 Whorf, Benjamin lee, A Lingustic Consederation of the Primitive Communities, 1984 Yolton, John W. The Locke Reader: Selections from the Works of John Locke with a General Introduction and Commentary (Cambridge : Cambridge University Press, 1977)