Academia.eduAcademia.edu

ANALISIS PUTUSAN KPU PERKARA NOMOR

Sebagai suatu konsep, "konsumen" telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu diberbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undangundang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Disamping itu, telah pula berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. 1 Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu diberbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Disamping itu, telah pula berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya. Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlndungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju. Bandung. 2000, hlm. 12. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. Az. Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. 2001, hlm. 3. “Perlindungan Konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fiksi, melainkan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. 2008, hlm. 30. Hak-hak konsumen sebagaimana ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut: Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821; yang disingkat UUPK) Dalam hukum positif Indonesia, masalah persaingan curang (dalam bisnis) ini diatur secara khusus pada Pasal 382 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selanjutnya, sejak 5 Maret 2000 diberlakukan juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketentuan-ketentuan ini sesungguhnya diperuntukkan bagi sesama pelaku usaha tidak bagi konsumen langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak sehat diantara mereka pada jangka panjang pasti berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan sasaran rebutan adalah konsumen itu sendiri. Disini letak arti penting mengapa hak ini perlu dikemukakan, agar tidak berlaku pepatah: ”dua gajah berkelahi, pelanduk mati ditengah-tengah”. Celina Tri Siwi Kristiyanti. O., Cit., hlm. 32. Selain itu, di berbagai negara di dunia, penanganan perkara praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ditangani oleh lembaga khusus, misalnya di Amerika Serikat pelaksanaan undang-undang anti monopoli dilaksanakan oleh The Justice of Departement dan Federal Trade Commision/FTC. Dalam praktek kedua badan ini bekerjasama dan saling melengkapi dalam tugasnya sebagai pelaksana undang-undang anti monopoli, di Jepang untuk menjalankan undang-undang anti monopoli didirikan Komisi Dagang Adil (Fair Trade Commision/FTC). Kantor-kantor ini dapat mengatasi semua kegiatan di semua sektor ekonomi dan perilaku persaingan dari perusahaan-perusahaan yang dicurigai melakukan praktik bisnis curang bahkan atas izin pengadilan berwenang untuk melakukan penggeledahan perusahaan dan menyita barang bukti. Di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat lembaga yang berwenang menangani praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diatur secara khusus dan ditangani oleh lembaga khusus seperti negara-negara lain lembaga yang berwenang menangani praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah Komisi Pengawasan Persaingan Usaha yang disingkat KPPU. KPPU dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dan Kepre No.75 Tahun 1999. Sedangkan tata cara penanganan perkara diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 46 Undang-Undang No.5 tahun 1999 jo Keputusan KPPU No. 5/KPPU/Kep/IX/2000. Marwah M. Diah dan Joni Emirzon. Aspek-Aspek Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang). Palembang: Universitas Sriwijaya. 2003, hlm. 76. Dan menurut sementara kalangan juga berpendapat bahwa meskipun KPPU bukan lembaga judisial atau penyidik, tetapi KPPU adalah lembaga penegak hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah persaingan usaha karena peran multifunction serta keahlian yang dimiliki akan mampu mempercepat proses penanganan perkara. Syamsul Maarif, Jurnal Hukum Bisnis, vol19, Mei, 2002. Didalam ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur beberapa perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha, diantaranya perjanjian kartel dan penguasaan pasar. Kartel pada dasarnya adalah perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan usaha diantara keduanya. Secara klasik, kartel dapat dilakukan melalui tiga hal: harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Farid Nasution dan Retno Wiranti. Kartel dan Problematikanya. Majalah: Kompetisi: Media Berkala KPPU, Edisi: 11, Tahun 2008, hlm. 4. Kartel sebagaimana ketentuan Pasal 11 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan mempengaruhi harga dengan tujuan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa, yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”. Pasal 11 Undang-Undang No. 5 tahung 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sedangkan, penguasaan pasar dari sudut pandang ekonomi, kegiatan penguasaan pasar (market control) diartikan sebagai kemampuan pelaku usaha, dalam mempengaruhi pembentukan harga, atau kuantitas produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar. Aspek lainnya tersebut dapat berupa, namun tidak terbatas pada pemasaran, pembelian, distribusi, penggunaan, atau akses atas barang atau jasa tertentu di pasar bersangkutan. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri oleh satu pelaku usaha atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha lainnya, dan dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan sekaligus. Praktek diskriminasi sangat erat kaitannya dengan pemilikan market power dan kekuatan pasar yang signifikan di pasar bersangkutan. Penguasaan pasar akan sulit dicapai apabila pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersama-sama, tidak memiliki kedudukan yang kuat di pasar bersangkutan. Sebagai ilustrasi, sulit untuk dibayangkan pelaku usaha, baik secara sendiri maupun bersama-sama, yang mempunyai pangsa pasar hanya 10% dapat mempengaruhi pembentukan harga, atau produksi atau aspek lainnya dipasar bersangkutan. Namun di sisi lain, satu pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar 50% di dalam pasar duopoly (hanya ada dua penjual), juga belum tentu secara individual mampu menguasai pasar bersangkutan. Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Deutsche Gesellschft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). 2009, hlm. 138. Oleh karena itu penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha biasanya selalu menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut di dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar oleh pelaku usaha tertentu biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan agar dia dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (maksimal). Ibid., hlm. 139. Dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan, bahwa : “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk dapat melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan; atau Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha pesaingnya itu; atau Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.” Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahung 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terkait dengan aspek penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen akibat perjanjian kartel dan penguasaan pasar daging sapi. Bahwa, setelah mempertimbangkan laporan dugaan pelanggaran, tanggapan masing-masing terlapor terhadap laporan dugaan pelanggaran, keterangan para saksi, keterangan para ahli, keterangan para terlapor, surat-surat dan/atau dokumen, kesimpulan hasil persidangan yang disampaikan baik oleh Investigator maupun ke-32 terlapor (fakta persidangan), majelis komisi menilai, menganalisis, menyimpulkan, dan memutuskan perkara berdasarkan alat bukti yang cukup tentang telah terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang diduga dilakukan oleh para terlapor dalam perkara Nomor 10/KPPU-I/2015. Kemudian, KPPU menjatuhi putusan bahwa ke-32 terlapor terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 dan 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan menghukum ke-32 Terlapor untuk membayar denda sesuai dengan isi putusan KPPU. Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, hlm. 962-970. Atas dasar tersebut, KPPU menghukum 32 pelaku usaha untuk membayar denda yang antara lain: PT. Andini Karya Makmur. Denda sebesar 1,9 Miliar. PT. Andini Persada Sejahtera. Denda sebesar 1.2 Miliar. PT. Agro Giri Perkasa. Denda Sebesar 4 Miliar. PT. Agri Satwa Jaya Kencana. Denda sebesar 6.4 Miliar. PT. Andini Agro Loka. Denda sebesar 1.4 Miliar. PT. Austasia Stockfeed. Denda sebesar 8.8 Miliar. PT. Bina Mentari Tunggal. Denda sebesar 2.8 Miliar. PT. Citra Agro Buana Semesta. Denda sebesar 3.8 Miliar. PT. Elders Indonesia. Denda sebesar 2.1 Miliar. PT. Fortuna Megah Perkasa. Denda sebesar 856 Juta. PT. Great Gian Livestock. Denda sebesar 9.3 Miliar. PT. Lembu Jantan Perkasa. Denda sebesar 3.3 Miliar. PT. Legok Makmur Lestari. Denda sebesar 3.9 Miliar. PT. Lemang Mesuji Lestary. Denda sebesar 651 Juta. PT. Pasir Tengah. Denda sebesar 4.7 Miliar. PT. Rumpinary Agro Industry. Denda sebesar 3.3 Miliar. PT. Santosa Agrindo. Denda sebesar 5.4 Miliar. PT. Sadajiwa Niaga Indonesia. Denda sebesar 1.8 Miliar. PT. Septia Anugerah. Denda sebesar 1.1 Miliar. PT. Tanjung Unggul Mandiri. Denda sebesar 21 Miliar. PT. Widodo Makmur Perkasa. Denda sebesar 5.8 Miliar. PT. Kariyana Gita Utama. Denda sebesar 1.4 Miliar. PT. Sukses Ganda Lestari. Denda sebesar 505 Juta. PT. Nusantara Tropical Farm. Denda sebesar 3.8 Miliar. PT. Karya Anugerah Rumpin. Denda sebesar 194 Juta. PT. Sumber Cipta Kencana. Denda sebesar 71 Juta. PT. Brahman Perkasa Sentosa. Denda sebesar 803 Juta. PT. Catur Mitra Taruma. Denda sebesar 1.3 Miliar. PT. Kadila Lestari Jaya. Denda sebesar 2 Miliar. CV. Mitra Agro Sangkuriang. Denda sebesar 852 Juta. CV. Mitra Agro Sangkuriang. Denda sebesar 967 Juta. PT. Karunia Alam Sentosa Abadi. Denda sebesar 441 Juta. Namun demikian, sebagaimana yang telah di uraikan di atas penulis menganggap penegakan hukum terhadap perlindungan konsumen sangatlah penting guna mengurangi praktek-praktek pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang sering dilakukan pelaku usaha yang berakibat buruk terhadap konsumen. Permasalahan inilah yang menurut penulis menarik untuk diteliti. Oleh karena itu penulis akan mengkaji lebih lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen akibat perjanjian kartel dan penguasaan pasar melalui penelitian ini yang berjudul ”Analisis Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 Tentang Perjanjian Kartel dan Penguasaan Pasar Daging Sapi”. RUMUSAN MASALAH Bagaimana dasar pertimbangan majelis komisi terhadap pembuktian perjanjian kartel dan penguasaan pasar daging sapi dalam perkara Nomor 10/KPPU-I/2015? Tujuan Penelitian Untuk mengetahui dan menganalisis dasar pertimbangan majelis komisi terhadap pembuktian perjanjian kartel dan penguasaan pasar daging sapi dalam perkara No. 10/KPPU-I/2015. MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan uraian di atas diharapkan memberikan manfaat yaitu: Manfaat teoritis, dibidang akademis dapat memberikan manfaat secara teoritis dalam ilmu hukum khususnya sebagai bahan penegak hukum, bahan literatur belajar, mengajar, bahan penelitian lanjutan bagi penelitian lain. Selain itu diharapkan dapat memberikan informasi sebagai bahan yang berguna dan menambah wawasan serta pengetahuan dikalangan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya di dalam mengamati permasalahan yang terjadi di masyarakat khusunya dibidang perlindungan hukum terhadap konsumen akibat perjanjian kartel dan penguasaan pasar. Manfaat praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan KPPU yang berguna menambah wawasan dibidang hukum mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen akibat dari perjanjian kartel dan penguasaan pasar. RUANG LINGKUP Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi ruang lingkup pembahasan menganalisis putusan Komisi KPPU dalam perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 tentang perjanjian kartel dan penguasaan pasar ditinjau dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. LANDASAN TEORI/KERANGKA KONSEP Kerangka konsep merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala/fakta yang akan diteliti, akan tetapi merupakan abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI-Press.198. Hlm. 133. Adapun kerangka konsep dalam penulisan skripsi ini meliputi: Kartel Praktek kartel merupakan salah satu strategi yang diterapkan diantara pelaku usaha untuk dapat mempengaruhi harga dengan mengatur jumlah produksi mereka. Mereka berasumsi jika produksi mereka di dalam pasar dikurangi sedangkan permintaan terhadap produk mereka di dalam pasar tetap, akan berakibat kepada naiknya harga ke tingkat yang lebih tinggi. Dan sebaliknya, jika di dalam pasar produk mereka melimpah, sudah barang tentu akan berdampak terhadap penurunan harga produk mereka di pasar. Oleh karena itu, pelaku usaha mencoba membentuk suatu kerjasama horizontal (pools) untuk menentukan harga dan jumlah produksi barang atau jasa. Namun pembentukkan kerjasama ini tidak selalu berhasil, karena para anggota seringkali berusaha berbuat curang untuk keuntungannya masing-masing. Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.Cit., hlm. 106. Menurut Pasal 11 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Prakter Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai kartel, yaitu: “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat”. Kemudian dalam kasus perkara kartel daging sapi, ke-32 pelaku usaha terbukti melakukan perjanjian kartel daging sapi yang berakibat terhadap kenaikan harga daging sapi dipasaran dan konsumen kehilangan pilihan harga, dalam lingkup luas kartel menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya yang tercermin dalam deadweight loss. Sukarmi. Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha. Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6. 2001, hlm. 140. Penguasaan Pasar Penguasaan pasar atau dengan kata lain menjadi penguasa di pasar merupakan keinginan dari hampir semua pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Untuk memperoleh penguasaan pasar ini, pelaku usaha kadangkala melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Kalau hal ini yang terjadi, maka mungkin saja akan berhadapan dengan para penegak hukum karena melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum persaingan usaha. Walaupun pasal ini tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang menguasai suatu pasar pasti mempunyai posisi dominan di pasar. Rachmadi Usman. Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika 2013, hlm. 405. Teori Rule of Reason Teori rule of reason adalah teori yang mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan, atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan. Mustafa Rokan Kamal, Op.Cit., hlm. 66. Titik beratnya adalah unsur material dari perbuatannya. Dalam teori ini dipakai metode ”keseimbangan” dan memungkinkan pengadilan untuk melakukan interprestasi terhadap undang-undang. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka (tertulis) atau data-data sekunder. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010, hlm. 14. Pendekatan Masalah Pendekatan Perundang-Undangan (statute Aprroach) Dalam metode pendekatan perundang-undangan peneliti perlu memahami hirarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau penjabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dari pengertian tersebut, secara singkat dapat dikatakan bahwa penulis melakukan pendekatan dengan melakukan legislasi dan regulasi. Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media. 2005, Hlm 137. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ibid., hlm. 94. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan/doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan. Ibid, hlm 137. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Op. Cit., hlm. 24. Bahan Hukum Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri dari: Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2010, hlm. 47. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu perundang-undangan, Putusan KPPU No. 10/KPPU-I/2015 tentang Perjanjian Kartel dan Penguasaan Pasar Daging sapi. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal, dan komentar-komentar atas putusan KPPU. Ibid, hlm. 141. Bahan Non Hukum Bahan-bahan sosiologis dan antropologis banyak menyajikan deskripsi peristiwa-peristiwa, maka sebaiknya titik-tolak diambil dengan cara mencoba merumuskan apa yang disebut sebagai perilaku atau sikap tindak hukum. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Op.Cit., hlm. 113. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Sesuai dengan pendekatan penelitian sebelumnya, maka teknik penelitian dikumpulkan dengan mencari peraturan perundang-undangan mengenai atau yang berkaitan dengan judul skripsi yang dikaji. Peter Mahmud Marzuki. Op. Cit., hlm. 237. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui pemeriksaan (editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), dan sistemasi (systematizing) berdasarkan urutan pokok bahasan dan sub-pokok bahasan. Abdulkadir Muhammad. Metode-Metode Penelitian. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004, hlm. 203. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan informasi penunjang yang diperoleh, dikumpulkan dan dianalisis melalui metode Deskriptif Analitis dengan pendekatan kualitatif terhadap bahan hukum, yaitu menggambarkan dan membahas permasalahan dalam penelitian ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peter Mahmud Marzuki. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Sinar Grafika. 2009, hlm. 194. Teknik Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dalam skripsi ini menggunakan logika induktif. Yaitu peneliti menjumpai suatu fakta tertentu atau mereka sebut sebagai gejala. Dari fakta atau gejala ini kemudian dicoba untuk diabstraksikan dan dicari prinsip-prinsip atau apa yang telah dikuasainya untuk dibangun sebuah hipotesis. Jika telah terbangun hipotesis, dikumpulkan fakta-fakta atau gejala serupa dengan yang dijumpai pertama. Inilah kemudian yang disebut data yang dianalisis dan diolah. Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit., hlm. 85. BAB II TINJAUAN PUSTAKA HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN ASAS DALAM PENERAPAN HUKUM PERSAINGAN USAHA Hukum Persaingan Usaha Setelah runtuhnya sistem-sistem ekonomi perencanaan di Eropa Timur lebih dari satu dasawarsa yang lalu, banyak negara dunia ketiga juga mulai memilih kebijakan ekonomi yang baru. Negara-negara berkembang semakin sering memanfaatkan instrumen-instrumen seperti harga dan persaingan, untuk meningkatkan dinamika pembangunan di negara masing-masing. Hal ini disebabkan oleh pengalaman menyedihkan dari kegagalan birokrasi, yang terlalu membebani pemerintah dan penjabat Negara dalam sistem ekonomi terencana. Seperti Negara-negara bekas blok timur, negara-negara berkembang juga harus membayar mahal akibat kebijakan ekonomi perencanaan ini. Hal ini terlihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat mereka. Inilah akibat penyangkalan terhadap “prinsip ekonomi” yang melekat pada system ekonomi terencana padahal prinsip tersebut merupakan syarat mendasar bagi aktivitas ekonomi yang sehat. Andi Fahmi Lubis, dkk. Op.Cit., hlm. 2. “New deal” dalam kebijakan ekonomi banyak negara berkembang ingin mengakhiri pemborosan sumber daya semacam ini. Kebijakan ekonomi baru yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan instrumen-instrumen pasar dan persaingan dalam membangun ekonomi bangsa. Dewasa ini sudah lebih 80 negara di dunia yang telah memiliki Undang-Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli dan lebih dari 20 negara lainnya sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah Negara-negara tersebut, sementara mengarah pada satu tujuan yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat (fair competition) merupakan salah satu syarat bagi Negara-negara mengelola perekonomian yang berorientasi pasar. Ibid, hlm. 1. Di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru, dimasa itu sangat banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus kepada persaingan curang, seperti monopoli terigu, monopoli cengkeh, monopoli jeruk, monopoli pengedaran film, dan masih banyak lagi. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa konglomerat besar di Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan persaingan curang lainnya, yang dibiarkan saja bahkan didorong oleh pemerintah saat itu. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika cukup banyak para praktisi maupun teoritis hukum dan ekonomi saat itu yang menyerukan agar segera dibuat sebuah undang-undang anti monopoli. Seruan-seruan tersebut terasa tidak bergeming sampai dengan lengsernya rezim mantan Presiden Soeharto, di mana baru pada masa reformasi diundangkan sebuah undang-undang anti monopoli sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Antimonopoli sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 23. Dengan demikian kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk memberi jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidah sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Untuk itu diperlukan aturan hukum yang pasti dan jelas yang mengatur larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat lainnya. Kehadiran Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 sebagai tool of social control and a tool of social engineering. Sebagai ”alat kontrol sosial” Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum yang mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai “alat rekayasa sosial”, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Ayudha D. Prayoga, dkk. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS. 2000, hlm. 52-53. Pendekatan Rule of Reason Dalam penyusunan dan penegakan kebijakan persaingan adalah untuk menjaga perimbangan antara pemenuhan prinsip keadilan di satu sisi, dan prinsip kepastian hukum di lain sisi. Sementara itu kondisi pasar dan industri yang bersangkutan, juga konteks dari satu perbuatan sangat menentukan dampaknya terhadap pasar, khususnya iklim persaingan di dalamnya. Dibutuhkan analisis yang cukup untuk dapat menarik kesimpulan apakah suatu perbuatan atau kondisi, dapat dikategorikan ilegal. Untuk dapat melaukan hal tersebut di butuhkan waktu, kecakapan, dan data yang cukup untuk dapat melakukan analisis ekonomi, bisnis, dan manajemen dalam konteks persaingan usaha. Penggunaan pendekatan rule of reason memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap undang-undang, dengan menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Dengan kata lain, apakah suatu tindakan dianggap mendorong atau menghambat persaingan usaha. Susanti Adi Nugroho. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Kencana. 2012, hlm. 740. Keunggulan dan Hambatan dalam Penerapan Rule of Reason Arie Siswanto. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2004, hlm. 66.. Hambatan atas penerapan Rule of Reason adalah beban pembuktian yang berat dan biaya yang mahal yang harus ditanggung oleh pihak penggugat, sehingga suatu perjanjian yang berakibat anti-persaingan, biasanya masih dianggap sah berdasarkan Rule of Reason. Bagi perangat peradilan disyaratkan pengetahuan teori ekonomi dan sejumlah data ekonomi yang kompleks, serta yang mengharuskan mereka memiliki pengalaman khusus, misalnya mengenai kekuatan pasar. Adapun keunggulan dari Rule of Reason adalah dalam penerapannya menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada persaingan. Ibid, hlm. 126. Keunggulan dari rule of reason adalah dapat dengan akurat dari sudut efisiensi menetapkan apakah suatu tindakan pelaku usaha menghambat persaingan. Adapun kekurangannya, penilaian yang akurat tersebut bisa menimbulkan perbedaan hasil analisis yang mendatangkan ketidakpastian. Kesulitan penerapan rule of reason antara lain penyidikan yang akan memakan waktu yang lama, dan memerlukan pengetahuan ekonomi, dan dampaknya terhadap pasar, karena dalam banyak kasus bukan tidak mungkin perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha itu secara ekonomi masih dapat dibenarkan. Adanya kekurangmampuan dalam memahami data dan teori ekonomi, mengakibatkan serangkaian putusan yang kurang tepat dan tidak konsisten. Disamping itu, penerapan rule of reason merupakan perangkat peradilan meliputi proses ligitasi yang akan membutuhkan biaya sangat besar. Keputusan pengadilan berdasarkan rule of reason akan menimbulkan biaya lain, seperti biaya hilangnya kesempatan pelaku usaha yang dipaksa untuk mengikuti proses persidangan yang relatif lama. Susanti Adi Nugroho. Op.,Cit, hlm. 715. Konsep Persaingan Usaha Dari konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dapat diketahui falsafah yang mendorong lahirnya, sekaligus memuat dasar pikiran perlunya disusun Undang-Undang tersebut, yaitu: Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Bahwa setiap orang yang berusaha di indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional. Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berdasarkan demorasi ekonomi Dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, pada ayat lainnya menyebutkan perekonomian Indonesia dilandaskan pada demokrasi ekonomi kerakyatan. dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Latar Belakang Hukum persaingan usaha sebenarnya mengatur tentang pertentangan kepentingan antarpelaku usaha di mana satu pelaku usaha di mana satu pelaku usaha merasa dirugikan oleh tindakan dari pelaku usaha lainnya. Oleh karena itu, hukum persaingan usaha pada dasarnya merupakan sengketa perdata. Lebih dari ituu, pelanggaran terhadap hukum persaingan mempunyai unsur-unsur pidana bahkan administrasi. Hal ini disebabkan pelanggaran terhadap hukum persaingan pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan merugikan perekonomian negara dalam konteks itulah ranah hukum privat menjadi hukum publik. Selain penegakan hukum secara perdata penegakan hukum persaingan dilakukan juga secara pidana. Penegakan hukum persaingan usaha dilakukan oleh para pihak, maka tidak akan menjadi efektif disebabkan tidak adanya alat pemaksa. Oleh karena itu, negara dibutuhkan untuk melakukan pemaksaan dengan sistem perundang-undangan yang dibentuk oleh negara itu sendiri. Mustafa Rokan Kamal, Op.Cit., hlm. 263. Berdasarkan Pasal 30-37 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dengan tegas mengamanatkan berdirinya suatu komisi yang independen yang disebut dengan Komisi Pegawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU berdiri berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999. KPPU adalah lembaga yang tepat untuk menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran multifunciion dan keahlian sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses penanganan perkara. Syamsul Maarif. Op.Cit., vol. 19. Sebagaimana amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU mempunyai kewenangan yang sangat luas, meliputi wilayah eksekutif, yudikatif, legislatif, serta konsultatif. Oleh karena itu, lembaga ini disebut memiliki kewenangan konsultatif, yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Namun dalam hal menjalankan fungsinya, lembaga ini mempunyai kewenangan yang terkesan tumpang tindih. Sebab dapat bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa, penuntut (presekuting function), pemutus (adjudication), dan juga fungsi konsultatif (consultative function). Hikmahanto Juwana, dkk. Peran Lembaga Peradiilan Dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha. Jakarta: Patnership For Business Competition. 2003, hlm. 4. Perlu diketahui bahwa, hukum persaingan usaha memiliki kekhususan keilmuan terutama kombinasi antara ilmu hukum dan ekonomi. Karenanya, para komisioner di KPPU pada umumnya berlatar belakang hukum dan ekonomi dan juga disiplin lainnya. Dasar Hukum dan Status Hukum Pembentukan KPPU Dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas adalah Pasal 30 ayat (1) yang menyatakan: “Untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha.” Komisi ini merupakan produk badan independen pasca reformasi 1998. KPPU adalah lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta piak lain. Status Komisi diatur dalam Pasal 30 ayat (2). Dalam ayat (3) disebutkan bahwa: “Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.” Komisi bertanggung jawab kepada presiden disebabkan Komisi melaksanakan sebagian dari tugas-tugas pemerintah, di mana kekuasaan tertinggi pemerintahan berada di bawah presiden. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 “presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan memerintah menurut Undang-Undang Dasar. Tugas dan Wewenang KPPU Pasal 35 UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas tugas KPPU terdiri dari: Pasal 35 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan UU No.5/1999 Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan DPR. Berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang No. 5 tahun 1999, wewenang KPPU adalah: Pasal 36 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh KPPU sebagai hasil dari penelitiannya. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini. Meminta bantuan penyidik untuk meghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan KPPU. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Mendapatkan, meneliti dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat. Memberitahukan putusan KPPU kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Beberapa pihak berpendapat bahwa KPPU memiliki wewenang yang tumpang tindih karena bertindak sebagai investigator (investigate function), penyidik, pemeriksa, penuntut (prosecuting function), pemutus (adjudication function), maupun fungsi konsultatif (consultative function). Namun demikian, sementara kalangan setidaknya juga berpendapat bahwa meskipun KPPU bukan lembaga judisial ataupun penyidik, tetapi KPPU adalah lembaga penegak hukum yang tepat untuk menyelesaikan masalah persaingan usaha karena peran multifungsi serta keahlian yang dimilikinyaakan mampu mempercepat proses penanganan perkara. PERJANJIAN DAN KEGIATAN YANG DILARANG DALAM PERSAINGAN USAHA Kartel Kartel adalah persengkongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli. Dengan demikian, kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, dimana beberapa pelaku usaha atau produsen yang secara yuridis dan ekonomis masing-masing berdiri sendiri, bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi persaingan. Kartel biasanya di prakarsai oleh asosiasi dagang (trade association) bersama para anggotanya. Ibid, hlm. 176. Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, dimana pelaku usaha yang berusaha di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk kedalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efesien dalam berproduksi. Namun sebaliknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, dimana di dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha saja, kemungkinan pelaku usaha berkerjasama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu biasanya praktek kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli, dimana lebih mudah untuk bersatu dan menguasaisebagian besar pangsa pasar Kartel dapat dilakukan melalui tiga hal, yaitu melalui harga, produksi, dan wilayah pemasaran. Kerugian yang dapat terjadi pada kartel ada dua macam, yaitu: Terjadinya praktik monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara makro mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya, sehingga menimbulkan deadweight loss atau bobot hilang yang umumnya disebabkan karena kebijaksanaan pembatasan produksi oleh perusahaan monopoli untuk menjaga harga-harga tetap tinggi. Dari segi konsumen, akan kehilangan pilihan terhadap harga, kujanjian pembatasan alitas yang bersaing, dan layanan purna jual yang baik. Kartel dapat didefinisikan secara sempit maupun secara luas. Dalam arti sempit, kartel adalah sekelompok perusahaan yang seharusnya saling bersaing, tetapi mereka justru menyetujui satu sama lain untuk “menetapkan harga” guna meraih keuntungan monopolis. A. M. Tri Anggraini. Mekanisme Mendeteksi dan Mengungkap Kartel dalam Hukum Persaingan. Dalam http://sekartrisakti.wordpress.com., diakses 21 Juli 2016. Adapun dalam arti luas, kartel meliputi perjanjian antara para pesaing untuk membagi pasar, mengalokasikan pelanggan, dan menetapkan harga. Jenis kartel yang paling umum dilakukan oleh penjual adalah perjanjian penetapan harga. Jenis kartel yang paling umum dilakukan oleh penjual adalah perjanjian penetapan harga, persengkongkolan penawaran tender, perjanjian pembagian wilayah (pasar) atau pelanggan, dan pembatasan output. Adapun yang paling sering terjadi di kalangan pembei adalah perjanjian penetapan harga, perjanjian alokasi, dan penawaran tender. Dalam suatu struktur pasar yang kompetitif, di mana pelaku usaha yang berusaha di dalam pasar tersebut jumlahnya banyak, serta tidak ada hambatan bagi pelaku usaha untuk masuk ke dalam pasar, membuat setiap pelaku usaha yang ada di dalam pasar tidak akan mampu untuk menyetir harga sesuai dengan keinginannya, mereka hanya menerima harga yang sudah ditentukan oleh pasar dan akan berusaha untuk berproduksi secara maksimal agar dapat mencapai suatu tingkat yang efisien dalam berproduksi. Namun sebaiknya dalam pasar yang berstruktur oligopoli, di mana di dalam pasar tersebut hanya terdapat beberapa pelaku usaha, kemungkinan pelaku usaha bekerja sama untuk menentukan harga produk dan jumlah produksi dari masing-masing pelaku usaha menjadi lebih besar. Oleh karena itu, biasanya praktik kartel dapat tumbuh dan berkembang pada pasar yang berstruktur oligopoli. Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 178. diatur Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah mengatur secara spesifik dalam pasal-pasal tersendiri mengenai penetapan harga, persekongkolan tender, pembagian wilayah atau konsumen atau pasar. Dengan sendiri kartel yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini haruslah tidak termasuk yang telah diatur dalam ketentuan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur mengenai pelarangan kartel yang menekan pada kesepakatan untuk mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/atau jasa yang dimaksudkan untuk mempengaruhi harga. Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 285. Pada umumnya terdapat beberapa karakteristik dari kartel. Pertama, terdapat konspirasi antara beberapa pelaku usaha. Kedua, melakukan penetapan harga. Ketiga, agar penetapan harga dapat efektif, maka dilakukan pula alokasi konsumen atau produksi atau wilayah. Keempat, adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku usaha misalnya karena perbedaan biaya. Oleh karena itu perlu adanya kompromi diantara anggota kartel misalnya dengan adanya kompensasi dari anggota kartel yang besar kepada mereka yang lebih kecil. Andi Fahmi Lubis, dkk, Op.Cit., hlm. 106. Dalam hal ini dapat diartikan pembentuk undang-undang persaingan usaha melihat bahwa sebenarnya tidak semua perjanjian kartel dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, seperti misalnya perjanjian kartel dalam bentuk mengisyaratkan untuk produk-produk tertentu harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak layak atau dapat membahayakan keselamatan konsumen dan tujuannnya tidak menghambat persaingan, pembuat undang-undang persaingan usaha mentolerir perjanjian kartel seperti itu. Ibid, hlm. 108. Penguasaan Pasar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak menentukan pengertian “penguasaan pasar”, namun demikian, penguasaan pasar ini adalah kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21 Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Disamping dilarangnya pengusaan pasar secar tidak adil, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat sehingga keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pelaku usaha tetapi juga berdampak bagi masyarakat secara keseluruhan. Ningrum Natasya Sirait.`Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Medan: Pustaka bangsa Press. 2004, hlm. 34. Penguasaan pasar merupakan keinginan dari sebagian besar pelaku usaha, karena penguasaan pasar yang cukup besar memiliki potensi yang positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin bisa diperoleh oleh pelaku usaha. Segala cara akan dilakukan sampai yang dilarang untuk dapat menguasai pasar. Dengan penguasaan pasar oleh pelaku usaha dapat memungkinan pelaku usaha tersebut melakukan segala tindakan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Walaupun tidak dirumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa pangsa pasar suatu pelaku usaha, namun demikian suatu perusahaan yang menguasai suatu pasar, pasti mempuyai posisi dominan di pasar. Oleh karena itu, penguasaan pasar yang cukup besar oleh pelaku usaha, biasanya menjadi perhatian bagi penegak hukum persaingan usaha untuk mengawasi perilaku pelaku usaha tersebut dalam pasar, karena penguasaan pasar yang besar biasanya dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan agar dia dapat menjadi penguasa pasar dan mendapatkan keuntungan yang maksimal. Pihak yang dapat melakukan penguasaan pasar adalah pelaku usaha yang mempunyai market power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar, sehingga dapat menentukan harga barang dan/atau jasa di pasar yang bersangkutan. Kriteria penguasaan pasar tersebut tidak harus 100%, satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis produk tertentu, sudah dapat dikatakan mempunyai market power. Ibid, hlm. 38. Wujud penguasaan pasar dapat terjadi dalam bentuk penjualan barang dan/atau jasa dengan cara: Jual rugi (predatory princing) dengan maksud untuk mematikan persainganya. Melalui praktik penetapan biaya produksi secara curang serta biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang Melakukan perang harga maupun persaingan harga. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa: Menolak dan/menghalangi pelakuu usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya; atau Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan; atau Melakukan praktik monopoli terhadap pelaku usaha tertentu. Berdasarkan ketentuan Pasal 19 tersebut diatas, maka kegiatan penguasaan pasar yang dilarang sebagai berikut: Munir Fuady. Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: Citra Adytia Bakti. 2003, hlm. 81. Menolak dan/atau Menghalangi Pelaku Usaha Tertentu untuk Melakukan Kegiatan Usaha yang Sama pada Pasar Bersangkutan (Refusal to Deal) Menolak pesaing yaitu menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu (pesaing) dalam hal melakukan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan. Salah satu cara yang sering kali digunakan untuk menyingkirkan pesaing adalah dengan menerapkan strategi refusal to deal. Strategi ini pernah diterapkan oleh Eastman Kodak Co, ketika perusahaan tersbut berniat untuk menguasai jalur distribuusi peralatan fotografi (integrasi ke hilir). Untuk menguasai jalur distribusi peralatan fotografi, maka Kodak harus menguasai perusahaan retail yang menjual peralatan fotografi. Salah satu perusahaan retail, Soulhern Photo Materials Co, menolak menjual perusahaannya pada Kodak. Terhadap perusahaan yang menolak untuk menjual perusahaan distribusi ini, Kodak menolak untuk menjual peralatan fotografi. Dalam hal ini kodak menggunakan kekuatan pasar pada industri hulu untuk menempatkan kekuatan pasar pada industri hilir. Namun demikian, harus diperhatikan bahwa setiap perusahaan memiliki kebebasan untuk menjual/tidak menjual produknya. Misalnya, dengan menjual produknya pada perusahaan yang mencemarkan lingkungan. Jadi tidak semua kasus refusal to deal dapat dianggap menghambat persaingan usaha. Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm. 257. Refusal to Deal yang dapat dianggap menghambat persaingan adalah: Harus membuktikan bahwa motifasi utama tindakan refusal of deal itu adalah untuk menguasai pasar. Harus dibuktikan bahwa tindakan refusal of deal tersebut dapat mengarah pada penguasaan pasar. Harus dibuktikan bahwa penguasaan pasar itu pada gilirannya akan memberikan kekuatan pasar yang memungkinkannya untuk menerapkan harga supra competitive atau menghambat persaingan berikutnya. Menghalangi Konsumen atau Pelaku Usaha Pesainganya untuk Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha Pesaingnya Itu Menghalangi konsumen yaitu menghalang-halangi pihak konsumen dari pelaku usaha lain (pesaing) untuk tidak melakukan atau meneruskan hubungan usaha dengan pihak usaha pesaing tersebut. Hal yang dilakukan oleh pelaku usaha ini ialah dengan mengadakan upaya perjanjian antara distributor dari pelaku usaha terebut yang memasarkan produknya dengan pihak grosir, pengecer, ritel atau toko yang menjual produknya tersebut kepada masyarakat. Perjanjian ini diikat dalam upaya promo yang digelar oleh pelaku usaha tersebut, di mana bagi para grosir, pengecer ataupun ritel dapat memasarkan produknya namun tidak boleh menjual produk—produk lain. Perjanjian mengikat kedua pihak dengan konsekuensi apabila para grosir, pengecer, maupun ritel ini menjual barang lain, maka akan diberhentikan pengiriman barang oleh distributor, dan ini bagi para grosir, pengecer, maupun ritel akan jelas merugikan, karena memang produk dari pelaku usaha ini memang diminati oleh para konsumen dengan tingkat permintaan dan penjualan yang besar. Dengan perjanjian inilah, kemudian bagi para pelaku usaha lain akan mengalami kesulitan di dalam memasarkan produknya karena para grosir, pengecer, dan ritel ini menolak untuk menjual produknya tersebut. Ibid, hlm. 258. Membatasi Peredaran dan/atau Penjualan Barang dan/atau Jasa Pada Pasar Bersangkutan Perilaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, berupa membatasi peredaran produk yaitu membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan. Melakukan Praktik Monopoli Terhadap Pelaku Usaha Tertentu atau Diskriminasi Terhadap Pelaku Usahha Tertentu Pesaingnya Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat bberuppa melakukan praktiik monopoli terhadap pelaku usaha tertentu (Pasal 19 huruf d). Berdasarkan ketentuan Pasal 19 huruf (d) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, tersebut jelas bahwa menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan non-ekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain. Selain berupa kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf (d), kegiatan lain yang juga dikategorikan juga sebagai penguasaan pasar adalah kegiatan yang ditentukan dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yaitu “pelaku usaha dilarang melakukan pemasokan barang dan/atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.” Ibid, hlm. 259. Kegiatan lain yang juga dianggap sebagai salah satu aspek yang dapat dipersalahkan sebagai penguasaan pasar yang dilarang adalah “kecurangan dalam menetapkan biaya produksi”. Pasal 21 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan/atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Lebih lanjut dalam penjelasan terhadap Pasal 21 tersebut menyatakan, bahwa kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari yang seharusnya. Sebagai bagian dari penguasaan pasar, maka kecurangan dalam menentukan biaya adalah salah satu strategi yang dijalankan oleh pelaku usaha untuk mematikan pesaingnya, yaitu dengan menyatakan biaya produksinya tidak sesuai dengan biaya yang sesungguhnya. Secara akal sehat, tentu harga yang disampaikan adalah di bawah harga yang sesungguhnya, dengan demikian bisa menjual barang atau jasanya lebih rendah dari pada pesaingnya. Sebetulnya Pasal 21 ini berbeda dengan Pasal 20, walaupun keduanya pada prinsipnya sama, yaitu “menjual barang dengan harga di bawah biaya produksi”. Namun dalam Pasal 21 penekanannya pada kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bberhubungan dengan biaya produksinya. Pasal 19 sampai Pasal 21 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini dirumuskan secara Rule of Reason sehingga penguasaan pasar itu sendiri menurut pasal-pasal tersebut, tidak secara mutlak dilarang. Penguasaan pasar yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut, akhirnya disalahgunakan dan mengakibatkan terjadiya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Perlu disimak, bahwa penguasaan pasarnya sendiri belum tentu merupakan pelanggaran, yyanng harus dianalisis adalah akibat dari penguasaan pasar yang dimiliki, apakah mencerminkan perbuatan yang anti-kompetitif dan menghambat serta merugikan pelaku usaha pesaingnya dalam pasar yang bersangkutan atau tidak. Ibid, hlm. 260. ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSAINGAN USAHA Persaingan Usaha dan Hukum Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam alenia keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, dalam Pasal 33 dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskanlah landasan struktural/konstitusional pembangunan ekonomi nasional dengan judul Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut: Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan; Cabang-cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara; Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal 34 berbunyi sebagai berikut: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara; Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Berkaitan dengan usaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi itu, maka kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional harus mengacu pada mekanisme pasar yang terkendali (aspek stabilitas). Sehingga ia disebut dengan ekonomi pasar. Ini berarti bahwa pertumbuhan dan perkembangan ekonomi diserahkan kepada para pelaku ekonomi di pasar. Salah satu inti dari ekonomi pasar adalah adanya persaingan dalam berusaha. Artinya, ada kesempatan bagi setiap orang untuk berusaha dibidang apa saja dengan cara-cara yang bersih (fair). Dengan adanya persaingan, maka terhindarlah konsentrasi kekuatan pasar pada satu atau beberapa perusahaan tertentu (monopoli). Ini berarti bahwa konsumen mempunyai banyak alternatif dalam memilih barang dan jasa yang dibutuhkannya karena dihasilkan oleh banyak produsen, dengan harga yang benar-benar bersaing (ditentukan oleh pasar permintaan dan penawaran, bukan oeh hal-hal lain). Dalam ilmu ekonomi secara teoritis dikenal beberapa bentuk persaingan di pasar, yaitu pasar persaingan murni (pure competition), pasar persaingan sempurna (perfect competition), pasar monopoli, dan pasar persaingan monopolistik. Suatu pasar dikatakan berbentuk persaingan murni apabila memenuhi tiga syarat, yaitu jumlah pembeli dan penjualnya banyak, barang yang diperjualbelikan bersifat homogen atau sama, dan ada kebebasan untuk membuka atau menutup usaha apabila dianggap perlu. Sudarsono, Pengantar Ekonomi Mikro, Jakarta: LP3ES, hal. 187. Pada praktiknya, pasar seperti ini sulit ditemukan sebab ada hal-hal tertentu yang mengharuskan syarat-syarat itu diperlunak atau diingkari. Sedangkan pasar persaingan sempurna ada apabila memenuhi tiga syarat di atas ditambah dengan dua syarat lain, yaitu pengetahuan pembeli dan penjual tentang keadaan pasar cukup sempurna dan mobilitas sumber-sumber ekonomi harus cukup pula. Ibid, hal. 189. Pasar monopoli didefinisikan sebagai bentuk pasar yang dikuasai oleh seorang penjual saja di mana tidak ada barang substitusi terhadap barang yang dijual oleh penjual tunggal tersebut dan terdapat hambatan untuk masuk bagi saingannya dari luar. Ibid, hal. 216. Dalam praktik hhal ini pun agak sulit ditemukan. Yang umum dijumpai adalah bentuk persaingan monopolistis, baik berupa bentuk pasar duopooli maupun oligopoli. Adanya persaingan dalam berusaha di satu sisi memungkinkan tersebarnya kekuatan pasar dan menyebabkan kesempatan berusaha menjadi terbuka lebar, yang berarti memberi peluang bagi pengembangan dan peningkatan kewirausahawan (entrepreneurship) yang akan menjadi modal utama bagi pembangunan ekonomi bangsa ini. Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 211. Melalui persaingan usaha yang sehat dan kompetitif maka akan tercapailah efisiensi dalam berusaha termasuk efisiensi dalam berkonsumsi. Dengan demikian akan diperoleh sisa dari pendapatan sebagai tabungan yang kemudian dapat dijadikan modal bagi pembangunan selanjutnya. Disamping itu, undang-undang tentang persaigan usaha ini perlu untuk mejamin kepastian berusaha bagi pelaku usaha sekaligus melindungi pelaku usaha dari kemungkinan timbulnya tindakan merugikan orang lain. Termasuk dalam pengertian ini adalah bahwa melalui undang-undang ini ada pembagian kesempatan berusaha bagi semua orang dengan syarat-syarat ditentukan oleh undang-undang ini. Beberapa Perbuatan yang Bertentangan dengan Persaingan Sehat dalam Berusaha dan Aspek Perlindungan Konsumennya Dalam praktiknya banyak perbuatan atau tindakan di bidang ekonomi yang bersifat anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi di pasar. Perbuatan-perbuatan itu, antara lain dapat disebutkan: monopoli, persekongkolan, dan praktik bisnis yang restriktif, praktik bisnis tidak jujur, perangkapan jabatan, dan lain-lain. Di samping itu, tindakan-tindakan pemerintah (alat negara) pun kadang-kadang dapat mengakibatkan hilangnya persaingan yang sehat di kalangan pengusaha, misalnya korupsi, kolusi, nepotisme, pemberian proteksi, pemberian keringanan pajak, pembatasan ekspor/impor dan sebagainya. Dibawah ini akan diterangkan secara singkat masing-masing perbuatan bersifat anti persaingan itu sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Menurut undang-undang tersebut kegiatan atau perbuatan yang dilarang dalam rangka menjalankan usaha adalah: Monopoli, Monosopi, Penguasaan Pasar, dan Persekongkolan, Disamping itu, pelaku usaha juga dilarang melakukan sejumlah perjanjian, baik perjanjian sesama pelaku usaha dalam negeri maupun dengan pelaku usaha luar negeri. Perjanjian-perjanjian yang dilarang itu adalah perjanjian-perjanjian yang bertujuan untuk melahirkan oligopoli, penetapan harga yang sama atau berbeda dengan harga yang akan dibayar oleh pembeli, perjanjian yang berisikan pembagian wilayah pasar, perjanjian berupa pemboikotan produk pesaing lainnya, pembentukan kartel, trust, dan oligopsoni. Juga, dilarang membuat perjanjian yang bermaksud membentuk integrasi usaha secara vertikal atau perjanjian yang sifatnya tertutup, yaitu perjanjian yang membatasi salah satu pihak untuk berhubungan bisnis dengan pesaing lainnya. Terakhir, undang-undang ini juga melarang pembuatan perjanjian dengan pihak luar negeri yang mengakibatkan terjadinnya monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Ibid, hlm. 215. Pada umumnya larangan di atas dimaksudkan untuk mencegah munculnya monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Namun, disisi lain pelarangan tersebut juga bertujuan melindungi hak-hak dari konsumen untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Ibid, hlm. 216. BAB III PEMBAHASAN Dasar Pertimbangan KPPU dalam Mengambil Putusan dalam Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 Tentang Perjanjian Kartel dan Penguasaan Pasar Daging Sapi Posisi Kasus Posisi kasus dalam kasus Nomor 10/KPPU-I/2015 Tentang Perjanjian Kartel dan Penguasaan Pasar Daging Sapi yaitu dalam kasus ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia selanjutnya disebut Komisi yang memeriksa Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perdagangan Sapi Impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (JABODETABEK), yang dilakukan oleh: Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, hlm. 1 1. Terlapor I : PT Andini Karya Makmur berkedudukan di Gedung Pesona Lantai II/216 Jalan Ciputat Raya Nomor 20, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan; 2. Terlapor II : PT Andini Persada Sejahtera berkedudukan di Ruko Madison Times Square Blok B.4 Nomor 23-23A, Kelurahan Jatikarya, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi; 3. Terlapor III : PT Agro Giri Perkasa berkedudukan di Jalan Raya Trans Sumatra KM 40 Desa Kota Dalam, Kabupaten Sukabanjar, Lampung Selatan; 4. Terlapor IV : PT Agrisatwa Jaya Kencana berkedudukan di AJK Center Komplek Bidex Blok F16-17, Jalan Pahlawan Seribu – CBD, BSD City, Tangerang Selatan; 5. Terlapor V : PT Andini Agro Loka berkedudukan di Komplek Perkantoran Business Park Blok I Nomor 22 Jalan Meruya Ilir Kavling 88 Jakarta Barat; 6. Terlapor VI : PT Austasia Stockfeed berkedudukan di Wisma Millenia 6th Floor, Jalan M.T. Haryono Kavling 7. Terlapor VII : PT Bina Mentari Tunggal berkedudukan di Jalan Industri Utama Raya Blok RR 2F-2G Jababeka II Cikarang Bekasi; 8. Terlapor VIII : PT Citra Agro Buana Semesta berkedudukan di Jalan Dipati Ukur Nomor 71, Bandung; 9. Terlapor IX : PT Elders Indonesia berkedudukan di Wisma Raharja Lantai 8, Jalan T.B. Simatupang Kavling C1 Cilandak, Jakarta Selatan; 10. Terlapor X : PT Fortuna Megah Perkasa berkedudukan di Jalan Gusti Ngurah Rai Nomor 8D, Jakarta Timur; 11. Terlapor XI : PT Great Giant Livestock berkedudukan di Chase Plaza Podium Lantai 5, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 21, Jakarta; 12. Terlapor XII : PT Lembu Jantan Perkasa berkedudukan di Jalan Wirajati 7 Blok A4, Komplek TNI AU Waringin Permai Cipinang Melayu, Jakarta; 13. Terlapor XIII : PT Legok Makmur Lestari berkedudukan di Kampung Bojong Kamal RT 003/002, Desa Bojong Kamal Legok, Tangerang; 14. Terlapor XIV : PT Lemang Mesuji Lestary berkedudukan di Perumahan Taman Aries Rukan Kencana Niaga Blok AI-3M, Jakarta 11620, Nomor Telepon (021) 58907351, Nomor Faksimili (021) 58907352; 15. Terlapor XV : PT Pasir Tengah berkedudukan di Kampung Cinangsi RT 04 RW 01 Jalan Citampele, Desa Mentengsari, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur; 16. Terlapor XVI : PT Rumpinary Agro Industry berkedudukan di Jalan Cisanggiri V/ No 4, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan atau diketahui dengan alamat lain Jalan Raya Kalimalang Blok E Kavling N Nomor 4F, Duren Sawit Jakarta; 17. Terlapor XVII : PT Santosa Agrindo berkedudukan di Wisma Millenia 6th Floor, Jalan M.T. Haryono Kavling 16, Jakarta; 18. Terlapor XVIII : PT Sadajiwa Niaga Indonesia berkedudukan di Ruko Kalimalang Square Blok QRS, Jalan K.H. Nur Ali RT 007 RW 003, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi; 19. Terlapor XIX : PT Septia Anugerah berkedudukan di Jalan Raya Bambu Apus Nomor 86 RT 003/003, Kelurahan Bambu Apus, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur; 20. Terlapor XX : PT Tanjung Unggul Mandiri berkedudukan di Jalan Tanjung Burung Nomor 33, Teluk Naga, Tangerang 15510; 21. Terlapor XXI : PT Widodo Makmur Perkasa berkedudukan di Jalan Raya Cilangkap Nomor 58 RT 007 RW 003 Cilangkap Cipayung, Jakarta Timur; 22. Terlapor XXII : PT Kariyana Gita Utama berkedudukan di Jalan Raya Pasar Minggu Nomor 49, Jakarta Selatan; 23. Terlapor XXIII : PT Sukses Ganda Lestari berkedudukan di Menara Thamrin Lantai 3, Jalan M.H. Thamrin Kavling 3, Jakarta 10250; 24. Terlapor XXIV : PT Nusantara Tropical Farm berkedudukan di Jalan Taman Nasional Way Kambas RT 15/ RW 08, Desa Rajabasa Lama I, Labuhan Ratu, Lampung Timur; 25. Terlapor XXV : PT Karya Anugerah Rumpin berkedudukan di Jalan Raya Cibodas Nomor 99 RT 06 RW 05 Rumpin, Kabupaten Bogor; 26. Terlapor XXVI : PT Sumber Cipta Kencana berkedudukan di Jalan Hilian Biduk Dusun Umbul Bendo, Desa Kejadian, Kecamatan Tegineneng, Kabupaten Pesawaran, Lampung 35363; 27. Terlapor XXVII : PT Brahman Perkasa Sentosa berkedudukan di Jalan Tanjung Burung Nomor 33, Teluk Naga, Tangerang 15510; 28. Terlapor XXVIII : PT Catur Mitra Taruma berkedudukan di Jalan Condet Raya 23-24 RT 008 RW 012 Baru Pasar 29. Terlapor XXIX : PT Kadila Lestari Jaya berkedudukan di Gedung Pesona Lantai II/217, Jalan Ciputat Raya Nomor 20, Jakarta Selatan; 30. Terlapor XXX : CV Mitra Agro Sangkuriang berkedudukan di Jalan Raya Sukabumi Gang Haji Amin Nomor D 08 RT 002/001, Kecatan Sawahgede, Kabupaten Cianjur; 31. Terlapor XXXI : CV Mitra Agro Sampurna berkedudukan di Kampung Babakan Ngantai RT 027/012, Desa Kedawung, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Subang; 32. Terlapor XXXII : PT Karunia Alam Sentosa Abadi berkedudukan di Jalan Pagar Alam Dusun II Kampung Rengas, Kecamatan Bekri, Lampung Tengah; Lalu dijelaskan bahwa Sekretariat Komisi telah melakukan penelitian tentang adanya Dugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perdagangan Sapi Impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (JABODETABEK). Kemudian setelah dilakukan penyelidikan, pemberkasan, dan gelar laporan maka Komisi menyatakan masuk ke tahap Pemeriksaan Pendahuluan dan berdasarkan Penetapan Pemeriksaan Pendahuluan tersebut ketua Komisi menugaskan Anggota Komisi sebagai Majelis Komisi pada Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015. Pada tanggal 15 September 2015 Majelis melaksanakan Sidang Majelis Komisi I dengan agenda Pembacaan dan/atau Penyerahan Salinan laporan Dugaan Pelanggaran oleh Investigator kepada Terlapor. Ibid, hlm. 5-7 Tentang pasar bahwa objek dari Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 adalah perdagangan sapi untuk memasok keutuhan daging sapi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (JABODETABEK) tahun 2013-2015. Lalu dengan sifat produk sapi yang homogen dan tidak dapat digantikan dengan produk lain seperti kerbau serta jumlah pelaku usaha yang relatif sedikit, maka keaadaan ini berpotensi menimbulkan perilaku yang mengarah pada persaingan usaha tidak sehat. Ibid, hlm. 6. Kemudian Terlapor merupakan pelaku usaha yang memasarkan sapi ke wilayah tersebut sebanyak 65% lebih kebutuhan daging di wilayah JABODETABEK dan 80% untuk wilayah DKI Jakarta. Dan terdapat dugaan bahwa adanya afiliasi diantara pelaku usaha- pelaku usaha tersebut. Lalu pasokan sapi untuk memenuhi kebutuhan di wilayah JABODETABEK, memperoleh input pasokan sapi impor berdasarkan alokasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Namun pemerintah tidak mempertimbangkan adanya afiliasi pelaku usaha yang memperoleh alokasi kuota sehingga dapat mengakibatkan penguasaan pasokan oleh kelompok pelaku usaha. Bahwa semenjak Pemerintah merencanakan program swasembada daging sapi ke daging kerbau tahun 2014 maka harga-harga sapi mulai naik, puncaknya bulan Juni-Juli 2013 dimana harga mencapai Rp. 37.000,-/kg kemudian pada bulan Juli 2013 Kementrian Perdagangan meminta feedloter menurunkan harga pada kisaran Rp. 33.000,-/kg. Harga ini tetap memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan bahkan bertahan lama sampai tahun 2014. Sebab pada tahun 2013 itu kenaikan harga diduga tidak mencerminkan hubungan permintaan dan penawaran sebagai mana alasan para feedloter. Kejadian pada tahun 2013 dimana asosiasi rumah potong hewan di wilayah pemasaran JABODETABEK melakukan mogok motong terulang pada Agustus 2015 dengan alasan yang sama yaitu tidak dapat menjual daging sapi karena harga sapi dari feedloter telah mahal. Alasan feedloter mengurangi pasokan sapi ke RPH adalah untuk mengatur agar tetap terjaga pasokan ke pasar sehingga mengakibatkan harga naik, yang selalu dilakukan oleh pelaku usaha feedloter pada momentum Pemerintah berencana melakukan pembatasan impor seperti yang terjadi pada tahun 2013 dan 2015. Bahwa perilaku harga yang berlebihan (excessive) oleh para feedloter diduga semenjak tahun 2012 dan dilakukan secara bersama-sama dan terus terjadi secara bersama-sama dan terus terjadi hingga Agustus 2015. Ibid, hlm. 7-9. Diktum Putusan Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis dan Kesimpulan di atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Majelis Komisi: Ibid, hlm. 962. MEMUTUSKAN Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV, Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, Terlapor XIX, Terlapor XX, Terlapor XXI, Terlapor XXII, Terlapor XXIII, Terlapor XXIV, Terlapor XXV, Terlapor XXVI, Terlapor XXVII, Terlapor XXVIII, Terlapor XXIX, Terlapor XXX, Terlapor XXXI, dan Terlapor XXXII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV, Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, Terlapor XIX, Terlapor XX, Terlapor XXI, Terlapor XXII, Terlapor XXIII, Terlapor XXIV, Terlapor XXV, Terlapor XXVI, Terlapor XXVII, Terlapor XXVIII, Terlapor XXIX, Terlapor XXX, Terlapor XXXI, dan Terlapor XXXII terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Menghukum PT Andini Karya Makmur selaku Terlapor I, membayar denda sebesar Rp 1.943.717.000,00 (Satu Miliar Sembilan Ratus Empat Puluh Tiga Juta Tujuh Ratus Tujuh Belas Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Andini Persada Sejahtera selaku Terlapor II, membayar denda sebesar Rp 1.224.947.000,00 (Satu Miliar Dua Ratus Dua Puluh Empat Juta Sembilan Ratus Empat Puluh Tujuh Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Agro Giri Perkasa selaku Terlapor III, membayar denda sebesar Rp 4.051.199.000,00 (Empat Miliar Lima Puluh Satu Juta Seratus Sembilan Puluh Sembilan Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Agrisatwa Jaya Kencana selaku Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp 6.463.537.000,00 (Enam Miliar Empat Ratus Enam Puluh Tiga Juta Lima Ratus Tiga Puluh Tujuh Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Andini Agro Loka selaku Terlapor V, membayar denda sebesar Rp 1.476.209.000,00 (Satu Miliar Empat Ratus Tujuh Puluh Enam Juta Dua Ratus Sembilan Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Austasia Stockfeed selaku Terlapor VI, membayar denda sebesar Rp 8.826.692.000,00 (Delapan Miliar Delapan Ratus Dua Puluh Enam Juta Enam Ratus Sembilan Puluh Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Bina Mentari Tunggal selaku Terlapor VII, membayar denda sebesar Rp 2.845.342.000,00 (Dua Miliar Delapan Ratus Empat Puluh Lima Juta Tiga Ratus Empat Puluh Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Citra Agro Buana Semesta selaku Terlapor VIII, membayar denda sebesar Rp 3.834.886.000,00 (Tiga Miliar Delapan Ratus Tiga Puluh Empat Juta Delapan Ratus Delapan Puluh Enam Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Elders Indonesia selaku Terlapor IX, membayar denda sebesar Rp 2.137.576.000,00 (Dua Miliar Seratus Tiga Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Tujuh Puluh Enam Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Fortuna Megah Perkasa selaku Terlapor X, membayar denda sebesar Rp 856.808.000,00 (Delapan Ratus Lima Puluh Enam Juta Delapan Ratus Delapan Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Great Giant Livestock selaku Terlapor XI, membayar denda sebesar Rp 9.330.374.000,00 (Sembilan Miliar Tiga Ratus Tiga Puluh Juta Tiga Ratus Tujuh Puluh Empat Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha Menghukum PT Lembu Jantan Perkasa selaku Terlapor XII, membayar denda sebesar Rp 3.360.963.000,00 (Tiga Miliar Tiga Ratus Enam Puluh Juta Sembilan Ratus Enam Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Legok Makmur Lestari selaku Terlapor XIII, membayar denda sebesar Rp 3.944.680.000,00 (Tiga Miliar Sembilan Ratus Empat Puluh Empat Juta Enam Ratus Delapan Puluh Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Lemang Mesuji Lestary selaku Terlapor XIV, membayar denda sebesar Rp 651.544.000,00 (Enam Ratus Lima Puluh Satu Juta Lima Ratus Empat Puluh Empat Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Pasir Tengah selaku Terlapor XV, membayar denda sebesar Rp 4.784.893.000,00 (Empat Miliar Tujuh Ratus Delapan Puluh Empat Juta Delapan Ratus Sembilan Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Rumpinary Agro Industry selaku Terlapor XVI, membayar denda sebesar Rp 3.310.043.000,00 (Tiga Miliar Tiga Ratus Sepuluh Juta Empat Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Santosa Agrindo selaku Terlapor XVII, membayar denda sebesar Rp 5.454.925.000,00 (Lima Miliar Empat Ratus Lima Puluh Empat Juta Sembilan Ratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Sadajiwa Niaga Indonesia selaku Terlapor XVIII, membayar denda sebesar Rp 1.866.289.000,00 (Satu Miliar Delapan Ratus Enam Puluh Enam Juta Dua Ratus Delapan Puluh Sembilan Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Septia Anugerah selaku Terlapor XIX, membayar denda sebesar Rp 1.148.677.000,00 (Satu Miliar Seratus Empat Puluh Delapan Juta Enam Ratus Tujuh Puluh Tujuh Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Tanjung Unggul Mandiri selaku Terlapor XX, membayar denda sebesar Rp 21.398.702.000,00 (Dua Puluh Satu Miliar Tiga Ratus Sembilan Puluh Delapan Juta Tujuh Ratus Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Widodo Makmur Perkasa selaku Terlapor XXI, membayar denda sebesar Rp 5.866.121.000,00 (Lima Miliar Delapan Ratus Enam Puluh Enam Juta Seratus Dua Puluh Satu Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Kariyana Gita Utama selaku Terlapor XXII, membayar denda sebesar Rp 1.406.533.000,00 (Satu Miliar Empat Ratus Enam Juta Lima Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Sukses Ganda Lestari selaku Terlapor XXIII, membayar denda sebesar Rp 505.821.000,00 (Lima Ratus Lima Juta Delapan Ratus Dua Puluh Satu Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha Menghukum PT Nusantara Tropical Farm selaku Terlapor XXIV, membayar denda sebesar Rp 3.885.473.000,00 (Tiga Miliar Delapan Ratus Delapan Puluh Lima Juta Empat Ratus Tujuh Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha Menghukum PT Karya Anugerah Rumpin selaku Terlapor XXV, membayar denda sebesar Rp 194.906.000,00 (Seratus Sembilan Puluh Empat Juta Sembilan Ratus Enam Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Sumber Cipta Kencana selaku Terlapor XXVI, membayar denda sebesar Rp 71.414.000,00 (Tujuh Puluh Satu Juta Empat Ratus Empat Belas Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Brahman Perkasa Sentosa selaku Terlapor XXVII, membayar denda sebesar Rp 803.682.000,00 (Delapan Ratus Tiga Juta Enam Ratus Delapan Puluh Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Catur Mitra Taruma selaku Terlapor XXVIII, membayar denda sebesar Rp 1.387.733.000,00 (Satu Miliar Tiga Ratus Delapan Puluh Tujuh Juta Tujuh Ratus Tiga Puluh Tiga Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Kadila Lestari Jaya selaku Terlapor XXIX, membayar denda sebesar Rp 2.056.428.000,00 (Dua Miliar Lima Puluh Enam Juta Empat Ratus Dua Puluh Delapan Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha Menghukum CV Mitra Agro Sangkuriang selaku Terlapor XXX, membayar denda sebesar Rp 852.152.000,00 (Delapan Ratus Lima Puluh Dua Juta Seratus Lima Puluh Dua Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha Menghukum CV Mitra Agro Sampurna selaku Terlapor XXXI, membayar denda sebesar Rp 967.626.000,00 (Sembilan Ratus Enam Puluh Tujuh Juta Enam Ratus Dua Puluh Enam Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Menghukum PT Karunia Alam Sentosa Abadi selaku Terlapor XXXII, membayar denda sebesar Rp 441.112.000,00 (Empat Ratus Empat Puluh Satu Juta Seratus Dua Belas Ribu Rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha); Memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XIV, Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, Terlapor XIX, Terlapor XX, Terlapor XXI, Terlapor XXII, Terlapor XXIII, Terlapor XXIV, Terlapor XXV, Terlapor XXVI, Terlapor XXVII, Terlapor XXVIII, Terlapor XXIX, Terlapor XXX, Terlapor XXXI, dan Terlapor XXXII untuk melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU. Ibid, hlm. 246. Dapat disimpulkan bahwa Dugaan Pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Perdagangan Sapi Impor di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang (JABODETABEK) yang dilakukan oleh ke-32 pelaku usaha terbukti bersalah. Tanggapan Terlapor Terhadap Dugaan Pelanggaran Untuk mengetahui tanggapan dari semua terlapor penulis akan meringkas secara garis besar dari tanggapan semua terlapor. Bahwa kegiatan impor sapi merupakan kegiatan yang diawasi ketat oleh pemerintah, termasuk mengenai pasokan, ditribusi, dan harga sebagaimana di atur dalam UU Pangan dan UU Peternakan dan Kesehatan hewan. Kondisi ini yang tidak diperhatikan oleh Tim Investigator dari KPPU, hal ini yang membuat Tim Investigator dari KPPU menyamakan kondisi ini dengan pasar lain sehingga dalam menyampaikan analisis tuduhan dan dugaan Tim Investigator menjadi tidak akurat sehingga patut diabaikan. Ibid, hlm. 247. Kemudian dari sisi menentukan pasar geografis yang di wilayah JABODETABEK. Faktanya jangkauan pasar dan konsumen yang dilakukan oleh para terlapot tidak hanya di wilayah JABODETABEK tetapi di seluruh wilayah Indonesia karena pola penjualan bersifat farm gate sehingga setiap konsumen/RPH di wilayah mana pun di Indonesia dapat membeli dari para feedloter. Ibid, hlm. 248. Bahwa, terlapor tidak memiliki kemampuan mengatur harga daging di tingkat konsumen akhir. Lalu, pergerakan harga daging sapi impor tidak berbanding lurus dengan harga daging sapi di tingkat konsumen akhir dan terlapor tidak memiliki keuntungan tidak wajar (excesive profit) yang dibuktikan dengan perbandingan harga beli dan harga jual daging sapi impor. Kemudian dalam tuduhan kartel terhdap terlapor tidak beralasan karena bertentangan dengan tujuan kartel yang menciptakan keuntungan sebesar-besarnya. Hal ini terbukti pada tahun 2014 dan tahun 2015, terlapor VI dan Terlapor XVII mengalami kerugian. Ibid, hlm. 249. Mengenai kelangkaan daging sapi, berdasarkan fakta persidangan terbukti bahwa pemerintah telah salah dalam menghitung jumlah persediaan sapi lokal yang merupakan sumber utama pasokan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional yang besarnya mencapai 70%. Sebagai akibat perhitungan yang salah tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tidak tepat dalam menentukan jumlah kuota sapi impor karena seolah-olah swasembada telah berhasil. Sehingga pemerintah mengurangi kuota impor daging sapi di pasar bahkan sampai 80%, padahal tingkat permintaan konsumen terhadap sapi impor semakin tinggi. Ibid, hlm. 250. Sedangkan unsur utama dalam menentukan adanya kartel adalah adanya kesepakatan atau perjanjian diantara pesaing. Apabila tidak ada kesepakatan atau perjanjian, maka tindakan apapun yang dilakukan oleh para terlapor tidak dapat dikategorikan sebagai kartel. Dan, dugaan Tim Investigator mengenai asosiasi APFINDO yang memfasilitasi kerjasama antara terlapor keliru. Peran APFINDO sebagai asosiasi industri, sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar APFINDO, adalah sebagai penyalur aspirasi, komunikasi dan konsultasi perusahaan antara produsen daging dan feedlot indonesia dengan pemerintah atau badan hukum lainnya. Dan pertemuan yang dilakukan terlapor dalam daftar hadir rapat-rapat APFINDO bukan merupakan perjanjian bagi semua terlapor untuk mengatu atau mengendalikan produksi atau hal-hal lain yang disangkakan yang tidak jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Ibid, hlm. 251. Penulis berpendapat bahwa, tanggapan dari terlapor adalah yang intinya kenaikan harga yang terjadi di pasaran disebabkan pengurangan kuota daging sapi impor yang ditetapkan oleh pemerintah yang besarannya mencapai 70% dari kuota daging sapi pada tahun-tahun sebelumnya. Padahal, permintaan daging sapi impor di pasaran meningkat. Kemudian menyebabkan kenaikan harga dan langkanya daging sapi impor di pasaran. Dasar Pertimbangan Majelis Komisi Untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Komisi dalam putusan No. 10/KPPU-I/2015 penulis mengambil inti dari pendapat Majelis Komisi dalam memberikan putusan yaitu: Ibid, hlm. 923. 4.8.1. Bahwa perjanjian yang dimaksud dalam perkara a quo adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999; 4.8.2. Bahwa esensi dari pasal tersebut adalah pada apakah terdapat perbuatan mengikatkan diri satu pelaku usaha atau lebih kepada pelaku usaha lain; 4.8.3. Bahwa tindakan yang dilakukan secara bersama acting in concert dikenal di Australia, yaitu meskipun tidak terlihat tindakan adanya kesepakatan tetapi ada gejala terpola yang muncul, yang kurang lebih sama; 4.8.4. Bahwa Ahli Kurnia Toha dalam Sidang Majelis Komisi menyatakan “Ada hal yang penting dalam kartel yaitu kerjasama. Kerjasama yang kita bicarakan adalah yang tidak tertulis, untuk tahu terjadi tidaknya pelaku usaha itu benar bekerja sama melakukan sesuatu yang melanggar. Dan harus ada motif ekonomi yaitu dapat keuntungan yang sebesar-besarnya...” (vide bukti B59); 4.8.5. Selain itu, Ahli Prahasto W. Pamungkas dalam Sidang Majelis Komisi pada pokoknya menyatakan (vide bukti B22): (1) .....”concerted practice di Eropa dianggap sebagai suatu perjanjian as long as there is communication among members for example the association”; (2) ......”Pada hakekatnya offer tidak bisa diberikan secara diam-diam karena pihak yang melakukan acceptance tidak mungkin memahami isi kepala orang yang memberikan offer. Jadi offer sudah pasti dinyatakan secara tegas apakah secara tertulis ataukah secara diam-diam 4.8.6. Bahwa dalam perkara a quo, keberadaan APFINDO telah memfasilitasi anggotanya untuk saling berkomunikasi terkait dengan pemasaran/penjualan dan bahkan berkaitan dengan harga jual sapi impor; 4.9. Bahwa Majelis Komisi menilai komunikasi yang dilakukan para Terlapor melalui wadah asosiasi tersebut, serta tindaklanjutnya dalam wujud pengaturan pemasaraan sapi impor tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kesepakatan. Ibid, hlm. 924. Dari beberapa point pertimbangan Majelis Komisi diatas dapat penulis menyipulkan bahwa Majelis Komisi berpendapat esensi dari pasal a quo adalah terdapat pengikatan diri satu pelaku usaha atau lebih yang bertujuan untuk mempengaruhi pasar. Dalam hal ini terlapor melakukan perbuatan kerjasama dan telah berkomunikasi terkait dengan pemasaran/penjualan dan bahkan berkaitan dengan harga jual sapi impor di JABODETABEK. Terbukti dalam putusan APFINDO sebagai wadah asosiasi tersebut telah memfasilitasi anggotanya untuk saling berkomunikasi, serta tindak lanjutnya dalam wujud pengaturan pemasaran sapi impor di wilayah JABODETABEK. Analisis Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 Tentang Perjanjian Kartel dan Penguasaan Pasar Daging Sapi Sebelum memberikan analisis terhadap putusan KPPU Nomor 10/KPPU-I/2015. Penulis akan membahas terlebih dahulu tentang aliran pemikiran hukum terkait dengan putusan Majelis Komisi. Sebagaimana diketahui, bahwa ketentuan sanksi sebagaima diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 merupakan tindakan administratif yang dijatuhkan kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar ketentuan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1999. Karena, setiap pelanggaran atas hukum persaingan dapat mengakibatkan hilangnya kesejahteraan dari sebagian konsumen dan/atau pelaku usaha. Untuk itu Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga penegak hukum persaingan, memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tindakan administratif dalam rangka untuk mencegah dan/atau mengembalikan kesejahteraan yang hilang tersebut. KPPU sebagai badan pengawas dan penegak hukum persaingan usaha dalam menjatuhkan tindakan administratif perlu mempertimbangkan kerugian ekonomis dari menurunnya kesejahteraan akibat tindakan persaingan tersebut. Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 207. Perhitungan atas kerugian ekonomis yang ditimbulkan karena pelanggaran ketentuan dalam hukum persaingan memerlukan banyak pertimbangan dan mendasarkan pada unsur kehati-hatian dalam bertindak. Sehubungan dengan itu, untuk mencegah terjadinya kesalahan penafsiran dan guna menciptakan ketertiban serta kepastian hukum terhadap pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, KPPU telah menetapkan pedoman pelaksanaan ketentuan dalam pasal 47 Undang-Undang No. 5 tahun 1999 sebagaimana dituangkan dalam Keputusan KPPU Nomor 252/KPPU/Kep/VII/2008. Dengan ditetapkannya pedoman pelaksanaan ketentuan dalam Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 diharapkan dapat memberi kepastian hukum pada dunia usaha dan meningkatkan rasionalitas pelaku usaha untuk tidak melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat serta bagi KPPU dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. kemudian ketentuan itu disempurnakan dan diganti dengan Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2009 tentang Pedomon Tindakan Administratif sesuai ketentuan Pasal 47 Unndang-Undang No. 5 Tahun 1999. Ibid, hlm. 208. Penerapan Teori Rule Of reason dalam Pengambilan Keputusan Majelis Komisi Penggunaan pendekatan rule of reason hukuman terhadap perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan harus mempertimbangkan situasi dan kondisi kasus. Karenanya, perbuatan yang ditudukan tersebut harus diteliti dahulu, apakah perbuatan itu telah membatasi persaingan secara tidak patut. Untuk itu, disyaratkan bahwa penggugat dapat menunjukan akibat yang ditimbulkan dari perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan yang telah menghambat persaingan atau menyebabkan kerugian. Dengan kata lain, teori rule of reason mengharuskan pembuktian, mengevaluasi mengenai akibat perjanjian, kegiatan atau posisi dominan tertentu guna menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut menghambat atau mendukung persaingan. R.S. Khemani dan D.M. Shapiro. Glossory of Industrial Organization Economics and Competition Law. Paris: OECD 1996, hlm. 6. Dengan asas rule of reason ini dapat diketahui akibat yang tercipta karena tindakan atau perjanjian yang mengakibatkan persaingan tidak sehat dan praktik monopoli sehingga merugikan pihak lain. Dalam substansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 umumnya mayoritas menggunakan pendekatan rule of reason. Tergambar dalam konteks kalimat yang membuka alternatif interprestasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang apakah telah mengakibatkan terjadinya praktik monopoli ataupun praktik persaingan tidak sehat. Untuk melihat atau membuktikan bahwa telah tejadi persengkongkolan yang menghambat perdagangan atau persaingan dapat dilihat dari kondisi yang ada. Syamsul Ma’arif. Jurnal Perjanjian Penetapan Harga dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999, hlm. 162. Pendekatan rule of reason berisikan dua aspek “dampak atau hasil”. Pada aspek dampak dapat terjadi dua hal, yakni terjadinya penghambatan terhadap persaingan dan merugikan kepentingan umum. Menghambat persaingan merupakan salah satu unsur prektik monopoli maupun persaingan usaha tidak sehat. Ini berarti untuk menentukan suatu perjanjian atau aktivitas ekonomi yang dilarang ditentukan telah terjadinya penghambatan persaingan. Ibid, hlm. 166. Aspek “dampak atau hasil” yang lain adalah merugikan kepentingan umum. Merugikan kepentingan umum adalah unsur praktik monopoli. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak menjelaskan pengertian istilah tersebut. Pada aspek cara juga menentukan bahwa perjanjian atau kegiatan tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum. Dua aspek ini adalah unsur persaingan usaha tidak sehat. Ibid, hlm. 168. Jika dilihat dari pasal yang disangkakan yaitu, Pasal 11 dan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dapat di klasifiksikan secara jelas jenis perjanjian dan kegiatan ini termasuk ke dalam rule of reason. Dalam kasus ini Majelis Komisi berpendapat bahwa, kenaikan harga jual sapi impor bukanlan dikarenakan kenaikan nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap rupiah karena tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga jual sapi impor karena hanya akan berpengaruh pada peningkatan harga tidak lebih dari Rp. 800.000,00/per-kg saja. Padahal apabila mengacu pada kenaikan harga, para terlapor telah menaikan harga jual sapi impor sebesar Rp.3000,00/per-kg sampai dengan Rp.4000,00per-kg dan telah memperoleh tambahan keuntungan antara Rp.2.200,00/per-kg sampai dengan Rp.3000,00/per-kg diluar keuntungan sebelum kenaikan harga. Atas dasar tersebutlah aksi mogok yang dilakukan Rumah Potong Hewan (RPH) yaitu alasan tingginya harga sapi hidup dalam satu bulan terakhir dan ketersedian sapi lokal tidak dapat mencukupi kebutuhan pasar JABODETABEK. Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, hlm. 950. Kemudian, unsur untuk membuktikan terjadi atau tidak pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Yaitu bahwa, unsur pelaku usaha dari semua terlapor dan esensi dari perjanjian dalam perkara a quo adalah telah terjadinya kesepakatan yang dilakukan dengan difasilitasi APFINDO dengan melalui serangkaian pertemuan yang pada akhirnya penunjukan kesamaan tindakan yang dilakukan oleh para terlapor yang mengatur harga dan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang telah terpenuhi. Ibid, hlm. 958. Dasar Pertimbangan Majelis Komisi Mengenai Denda Tindakan Administrasi Pelanggaran Hukum Persaingan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menentukan besaran denda akan menempuh dua lanngkah, yaitu: pertama, Komisi Pengawas Persaingan Usaha akan Menentukan besaran nilai dasar. Selanjutnya kedua, Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan penyesuaian dengan menambahkan atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut. Dalam penentuan besaran nilai dasar Majelis Komisi akan menggunakan metode perhitungan nilai penjualan dan nilai dasar denda. Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 216. Untuk menentukan nilai daasar denda akan ditetapkan, Majelis Komisi akan menggunakan nilai penjualan/pembelian barang atau jasa terlapor pada pasar bersangkutan. Pada umumnya nilai penjualan akan dihitung berdasarkan nilai keseluruhan penjualan pada tahun sebelum pelanggarang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan estimasi nilai penjualan pelaku usaha yang terlibat pelanggaran pada saat data penjualan tahunannya belum tersedia, maka nilai penjualan akan dihitung sebagai penjumlahan dari seluruh anggota para pelanggar. Kemudian dari penentuan nilai dasar denda akan dilihat pekasus unstuk setiap tipe pelanggaran, dengan mempertimbangkan seluruh situasi yang berkaitan dengan kasus tersebut dan menentukan kasus tersebut seharusnya berada dalam titik tertinggi atau terendah dalam skala tersebut. Lalu, ditambah dengan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan yang jumlah akhir dari besaran denda dalam keadaan apapun tidak boleh melebihi Rp.25.000.000,-. Rachmadi Usman, Op,Cit., hlm. 217. Dalam kasus ini majelis komisi mempertimbangkan mengenai sanksi denda bagi para terlapor sebagai berikut: Bahwa berdasarkan Pasal 36 huruf l jo. Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999; Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) huruf g, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Komisi berwenang menjatuhkan sanksi tindakan administratif berupa pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah); Bahwa menurut Pedoman Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (selanjutnya disebut “Pedoman Pasal 47”) tentang Tindakan Administratif, denda merupakan usaha untuk mengambil keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha yang dihasilkan dari tindakan anti persaingan. Selain itu denda juga ditujukan untuk menjerakan pelaku usaha agar tidak melakukan tindakan serupa atau ditiru oleh calon pelanggar lainnya; Bahwa berdasarkan Pedoman Pasal 47, Majelis Komisi menentukan besaran denda dengan menempuh dua langkah, yaitu pertama, penentuan besaran nilai dasar, dan kedua, penyesuaian besaran nilai dasar dengan menambahkan dan/atau mengurangi besaran nilai dasar tersebut; Bahwa dalam menetapkan denda, Majelis Komisi mempertimbangkan aspek keadilan dan kemampuan membayar dari Terlapor baik dalam konteks sosial dan ekonomi. Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, hlm. 962. Menimbang bahwa sebelum memutus, Majelis Komisi mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan sebagai berikut: Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor XIV selama dalam proses persidangan tidak kooperatif dalam menyerahkan surat dan/atau dokumen, maka Majelis Komisi mengenakan denda pemberat sebesar 30% (tiga puluh per seratus); Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor XI, Terlapor XIV, dan Terlapor XXIV selama dalam proses persidangan tidak kooperatif dengan tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan dalam kapasitasnya sebagai Terlapor, maka Majelis Komisi mengenakan denda pemberat masing-masing sebesar 20% (dua puluh per seratus); Bahwa Majelis Komisi mempertimbangkan adanya hubungan afiliasi diantara para Terlapor, maka Majelis Komisi mengenakan denda pemberat masing-masing sebesar 10% (sepuluh per seratus); Bahwa para Terlapor yang terafiliasi tersebut adalah sebagai berikut: PT Austasia Stockfeed terafiliasi dengan PT Santosa Agrindo; PT Tanjung Unggul Mandiri terafiliasi dengan PT Brahman Perkasa Sentosa PT Pasir Tengah terafiliasi dengan PT Widodo Makmur Perkasa; PT Great Giant Livestock terafiliasi dengan PT Nusantara Tropical Farm; PT Agrisatwa Jaya Kencana terafiliasi dengan PT Legok Makmur Lestari; PT Mitra Agro Sangkuriang terafiliasi dengan PT Mitra Agro Sampurna; PT Kadila Lestari Jaya terafiliasi dengan PT Andini Karya Makmur; PT Septia Anugerah terafiliasi dengan PT Sadajiwa Niaga Indonesia Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, hlm. 959. Bahwa majelis komisi juga mempertimbangkan hal-hal yang meringankan sebagai berikut: Bahwa sesuai pertimbangan Majelis Komisi, Majelis Komisi memiliki penilaian khusus bagi Terlapor II, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XIV, Terlapor XVIII, Terlapor XIX, Terlapor XXIII, Terlapor XXV, Terlapor XXVI, Terlapor XXVIII, Terlapor XXX, dan Terlapor XXXII, maka Majelis Komisi mengurangi denda masing-masing sebesar 20% (dua puluh per seratus). Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, Terlapor VI, Terlapor VII, Terlapor VIII, Terlapor IX, Terlapor X, Terlapor XI, Terlapor XII, Terlapor XIII, Terlapor XV, Terlapor XVI, Terlapor XVII, Terlapor XVIII, Terlapor XIX, Terlapor XX, Terlapor XXI, Terlapor XXII, Terlapor XXIII, Terlapor XXIV, Terlapor XXV, Terlapor XXVI, Terlapor XXVII, Terlapor XXVIII, Terlapor XXIX, Terlapor XXX, Terlapor XXXI, dan Terlapor XXXII telah bersikap baik dan kooperatif selama proses persidangan, maka Majelis Komisi mengurangi denda masing-masing sebesar 10% (sepuluh per seratus). Putusan KPPU Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015, hlm. 960. Jadi disini majelis komisi menetapkan besaran denda sesuai dengan besaran jumlah kuota impor yang dilakukan oleh para terlapor sejak tahun 2013 sampai 2015 dan peran para terlapor terkait dengan APFINDO yang terbukti telah membantu atau memfasilitasi kesepakatan dan/atau perjanjian yang dilakukan para terlapor mengenai pasokan dan harga daging sapi di pasaran dan hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang meringankan dalam proses persidangan. Pelaksanaan (Eksekusi) Putusan Komisi Persaingan Usaha Eksekusi adalah upaya paksa untuk melaksanakan suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach van gewijsde). Tidak semua putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap mempunyai kekuatan eksekusi. Begitu juga dalam kerangka undang-undang Antimonopoli, tidak semua putusan Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung yang mengabulkan keberatan pelaku usaha tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Putusan tersebut bersifat declaratoir (menerangkan), yaitu menyatakan putusan KPPU yang menyatakan pelaku usaha melanggar Undang-Undang Antimonopoli batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau menyatakan pelaku usaha tidak melanggar Undang-Undang Antimonopoli. Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2005, hlm. 106. Pada kerangka Undang-Undang Antimonopoli, putusan KPPU yang menyatakan pelaku usaha melanggar Undang-Undang Antimonopoli, mempunyai kekuatan eksekusi. Dalam konteks ini termasuk juga Putusan KPPU yang dimintakan keberatan kepada Pengadilan Negeri atas kasasi kepada Mahkamah Agung, tetapi keberatan dan kasasi tersebut ditolak. Ibid, hlm. 106. Suatu putusan KPPU dianggap telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jika: Pelaku usaha tidak mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU dalam tenggang waktu yang telah ditentukan (Pasal 44 ayat (3) dan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999; Alasan-alasan keberatan terhadap Putusan KPPU ditolak oleh Pengadilan Negeri dan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan pelaku usaha (terlapor) tidak mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung (Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999; Alasan-alasan kasasi yang diajukan pelaku usaha (terlapor) ditolak oleh Mahkamah Agung. Jadi, apabila pelaku usaha (terlapor) tidak mengajukan keberatan terhadap putusan KPPU dalam jangka waktu yang telah ditentukan, maka pelaku usaha (terlapor) dianggap menerima putusan KPPU dan putusan KPPU dimaksud telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa “apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap”. Putusan KPPU yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut agar mempunyai kekuatan eksekutorial harus dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Ketentuan dalam Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menetapkan, bahwa “Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.” Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 194. Pada waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. Seandainya pelaku usaha tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan tersebut, sesuai dengan ketentuan daam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010, maka KPPU dapat mengambil tindakan hukum sebagai berikut: KPPU menyerahkan putusan Komisi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap kepada Pengadilan Negeri untuk dimintakan penetapan eksekusi kepada Ketua Pengadian Negeri (Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan Pasal 68 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010; KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik Polri untuk dilakukan penyidikan (Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan Pasal 67 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010). Ketentuan dalam Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2005 menetapkan, bahwa pengajuan penetapan eksekusi atas putusan yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara keberatan yang bersangkutan. Sedangkan, pengajuan permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak diajukan keberatan, diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum pelaku usaha (terlapor). Ibid, hlm. 195. Pelaksanaan eksekusi riil (eksekusi putusan yang menghukum pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu) dilakukan dengan cara KPPU meminta kepada Pengadilan Negeri agar memerintahkan pelaku usaha untuk melakukan perbuatan tertentu seperti membatalkan penggabungan, pengambil alihan saham dan peleburan badan usaha, membatalkan perjanjian yang mengakibatkan praktek monopoli dan lain sebagainya. Sedangkan pelaksanaan eksekusi pembayaran sejumlah uang dilakukan dalam hal putusan yang dijatuhkan pada pelaku usaha berupa pembayaran ganti rugi dan atau denda. Prosedur eksekusi ini diawali dengan penyampaian peringatan disusul perintah eksekusi dan penjualan lelang. Andi Fahmi Lubis, dkk. Op.Cit., hlm. 342. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak memberikan kewenangan kepada KPPU untuk meletakkan sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta pelaku usaha. Dengan demikian untuk menjamin pelaksanaan putusan, KPPU harus minta pada Ketua Pengadilan Negeri untuk meletakkan sita eksekusi terhadap harta pelaku usaha yang kemudian akan diikuti dengan penjualan lelang. Ibid, hlm. 196. Dari ketentuan dalam Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1999 dapat dikketahui, pelaksanaan putusan KPPU harus dimintakan penetapan eksekusi (fiat eksekusi) kepada Ketua Pengadilan Negeri. Penetapan eksekusi terhadap putusan KPPU tersebut dipergunakan apabila pelaku usaha (terlapor) tidak bersedia secara sukarela untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dilakukan agar putusan KPPU mempunyai kekuatan daya paksa untuk dilaksanakan. Rachmadi Usman. Op.Cit., hlm. 196. Mekanisme fiat eksekusi ini dapat menepis anggapan tentang terlalu luasnya kekuasaan yang dimiliki oleh KPPU. Ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan diberikannya wewenang melakukan kewenangan rangkap sebagai penyelidik, penuntut sekaligus hakim kepada KPPU akan berakibat KPPU menjadi lembaga super power seolah olah tanpa kontrol. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena walaupun KPPU punya kewenangan yang sangat besar dalam menyelesaikan perkara monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ada lembaga lain yang mengontrol wewenang itu dalam bentuk pemberian fiat eksekusi yaitu Pengadilan Negeri. Andi Fahmi Lubis, dkk. Op.Cit., hlm. 331. Fiat eksekusi dalam hal ini dapat diartikan persetujuan PN untuk dapat dilaksanakannya putusan KPPU. Persetujuan ini tentu tidak akan diberikan apabila Ketua Pengadilan Negeri menganggap KPPU telah salah dalam memeriksa perkara tersebut. Dengan demikian maka mekanisme fiat eksekusi ini dapat menjadi kontrol terhadap putusan putusan yang dihasilkan oleh KPPU yang tidak diajukan upaya keberatan oleh pihak pelaku usaha. Ibid, hlm. 331. Untuk putusan yang diajukan upaya keberatan, peran kontrol yang dilakukan oleh pengadilan akan lebih terlihat. Hal ini karena hakim yang memeriksa upaya keberatan akan memeriksa fakta serta penerapan hukum yang dilakukan oleh KPPU. Dengan demikian, KPPU pasti akan sangat berhati-hati dalam memeriksa perkara karena kesalahan dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir akan mengakibatkan putusannya dibatalkan oleh hakim Pengadilan Negeri atau Mahkamah Agung. Ibid, hlm. 331. Di samping menyerahkan putusan KPPU kepada Pengadilan Negeri untuk dimintakan fiat eksekusi atau menyerahkan putusan KPPU kepada penyidik Polri untuk diproses secara pidana, KPPU dapat juga mengambil langkah-langkah lain dalam menjamin efektifitas putusan KPPU. Ketentuan dalam Pasal 68 ayat (2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010 menetapkan, bahwa “dalam rangka menjamin efektivitas Putusan, Komisi dapat mengambil langkah-langkah diluar upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Rahmadi Usman. Op.Cit., hlm. 197. Berkenaan dengan monitoring pelaksanaan putusan KPPU, ketentuan dalam Pasal 66 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010 menentukan bahwa dalam hal terlapor tidak mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU sampai dengan lewat waktu yang telah ditentukan, maka terlapor wajib melaksanakan Putusan KPPU dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan keberatan. Dalam hal ini apabila diperlukan Sekretariat KPPU dapat membentuk Tim Monitoring Pelaksanaan Putusan KPPU. Ibid, hlm. 197. Kemudian bagaimana halnya bila terlapor tidak mau melaksanakan putusan KPPU, maka ketentuan dalam Pasal 67 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun 2010 menentukan, bahwa dalam hal KPPU menilai bahwa terlapor tidak melaksanakan Putusan KPPU paling sedikit 2 (dua) perkara, KPPU dapat menyerahkan perkara kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk diproses secara pidana sebagaimana dalam ketentuan Pasal 48 Undang –Undang No. 5 Tahun 1999. Ibid, hlm. 198. BAB IV PENUTUP Kesimpulan Dalam perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 Tentang Perjanjian Kartel dan Penguasaan Pasar Daging Sapi ini merupakan perkara yang sering muncul di kalangan dunia usaha, pelanggaran yang paling berdampak luas terhadap masyarakat adalah kartel dan penguasaan pasar yang diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Karena merupakan tindakan yang sangat merugikan masyarakat, bahkan banyak negara memasukannya kedalam tindakan extraordinary crimeI, karena dampaknya sangat signifikan terhadap dunia usaha seperti adanya keseragaman harga, yang diawali dengan kelangkaan pasokan barang, sehingga terbentuk harga yang supra kompetitif, yang memaksa konsumen harus membeli barang lebih mahal dari semestinya. Oleh karena itu, KPPU melakukan pemeriksaan Perkara Nomor 10/KPPU-I/2015 tentang dugaan pelanggaran Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dimana dalam pasal-pasal tersebut melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya dengan tujuan mempengaruhi harga dan satu kegiatan atau beberapa kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadi praktik monopoli. Kemudian KPPU mengeluarkan putusan, bahwa terlapor dalam kasus ini dikenakan hukuman denda dengan nominal sesuai dengan pertimbangan Majelis Komisi karena terbukti melakukan perjanjian kartel dan kegiatan penguasaan pasar yang berakibat terhadap kelangkaan dan kenaikan harga daging sapi di wilayah JABODETABEK. Saran Hendaknya dalam fungsi pengawasan KPPU turut aktif dalam melakukan kegiatan seperti publikasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, selain itu diperlukan penyusunan suatu pedoman yang mampu memberikan penjelasan yang lengkap namun mudah dimengerti kepada berbagai pihak yang secara tidak langsung ikut berperan dalam upaya perwujudan iklim usaha yang sehat, yakni antara lain pelaku usaha, pemerintah, penegak hukum maupun masyarakat pada umumnya. Dengan demikian kiranya dapat mencegah indikasi kecurangan yang patut diduga dalam dunia persaingan usaha, yang dapat berdampak buruk bagi pelaku usaha lain dan terutama bagi konsumen. Mengingat masalah persaingan usaha sangat erat kaitannya dengan ekonomi dan bisnis. Suatu penanganan kasus di KPPU sangatlah sulit karena isinya syarat dengan perhitungan ekonomi yang rumit. Oleh karena itu penyidik dalam perkara di KPPU haruslah orang yang spesialis yang memiliki latar belakang dan megerti betul tentang seluk beluk bisnis dalam rangka proses penyidikan sehingga dalam proses persidangan terutama dalam pembuktian Majelis Komisi dapat mempertimbangkan dengan jelas bahwa apakah terdapat perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh terlapor. Sebab, dalam perilaku melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat masih banyak menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda karena tidak mudah untuk dipahami dan diterapkan, karena adanya analisis aspek ekonomi, terutama bagi praktisi hukum seperti pengacara, hakim dan juga pelaku usaha. Dan diperlukan pembenahan-pembenahan ketentuan Undang-Undangn yang belum jelas atau tidak tepat, agar implementasinya dapat dilakukan secara seksama dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan, serta dilakukan secara transparan. Dan untuk aturan menyangkut peran badan peradilan perlu dipikirkan untuk memperbaiki Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terutama untuk mengatasi permasalahan lain yang tidak dapat dijangkau oleh Peraturan Mahkamah Agung mengenai upaya paksa dalam eksekusi putusan KPPU. DAFTAR PUSTAKA BUKU: Abdulkadir Muhammad. Metode-Metode Penelitian. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2004. Adrianus Meliala. Praktik Bisnis Curang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993. Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks. Jakarta: Deutsche Gesellschft fur Technische Zusammenarbeit (GTZ). 2009. Arie Siswanto. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2004. Ayudha D. Prayoga, dkk. Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di indonesia. Jakarta: Proyek ELIPS. 2000. Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. 2001. Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2005. Hikmahanto Juwana, dkk. Peran Lembaga Peradiilan Dalam Menangani Perkara Persaingan Usaha. Jakarta: Patnership For Business Competition. 2003. Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2010. Marwah M. Diah dan Joni Emirzon. Aspek-Aspek Hukum Persaingan Bisnis Indonesia (Perjanjian yang Dilarang, Perbuatan Bisnis yang Dilarang, dan Posisi Dominan yang Dilarang). Palembang: Universitas Sriwijaya. 2003. Munir Fuady. Hukum Antimonopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Bandung: Citra Adytia Bakti. 2003. Mustafa Rokan Kamal. Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktiknya di Indonesia). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2010. Ningrum Natasya Sirait. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Medan: Pustaka bangsa Press. 2004. Peter Mahmud Marzuki. Metode-Metode Penelitian. Jakarta: Sinar Grafika. 2009. Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum Jakarta: Prenada Media. 2005. R.S. Khemani dan D.M. Shapiro. Glossory of Industrial Organization Economics and Competition Law. Paris: OECD. 1996. Rachmadi Usman. Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013. Sudarsono. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: LP3ES. 2000. Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2012. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2010. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI-Press.198. Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013. JURNAL/MAKALAH ILMIAH: Farid Nasution dan Retno Wiranti. Kartel dan Problematikanya. Majalah: Kompetisi; Media Berkala KPPU, Edisi: 11, Tahun 2008. Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlndungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas” dalam buku Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, Bandung, 2000. Sukarmi, Pembuktian Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha, Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, Tahun 2001. Syamsul Maarif, Jurnal Hukum Bisnis, vol19, Mei, 2002. Syamsul Ma’arif, “ Jurnal Perjanjian Penetapan Harga dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999”. PUTUSAN: Putusan KPPU No. 10/KPPU-I/2015. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak sehat. WEBSITE A. M. Tri Anggraini, Mekanisme Mendeteksi dan Mengungkap Kartel dalam Hukum Persaingan. Dalam http://sekartrisakti.wordpress.com. diakses 21 Juli 2016. 91 1