Academia.eduAcademia.edu

Makalah Fiqih Muamallah 2 : Ijarah, Ju'alah Dan Syamsaroh

FIQIH MUAMALAH 2 IJARAH, JU’ALAH, SAMSAROH Ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih muamalah 2 Disusun Oleh : Kelompok 5 Desi Ratna Wulandari Devi Dwi Aprilia Nikmatus Sholehah Agustin Maulina JURUSAN/PRODI : FEBI/PERBANKAN SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER September 2015 AL-JUA’ALAH Lafazh “ju’alah” dengan dibaca macam tiga huruf jimnya yaitu : 1. Ji’alah, 2.Ju’alah, dan 3. Ja’alah menurut bahasa ialah barang yang dijadikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan. Sedang menurut syara’ ialah tindakan penetapan orang yang sah pentasarufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan atau pekerjaan yang sulit bagi orang yang telah ditentkan atau lainnya. Ju’alah hukumnya boleh dari dua arah, yaitu arah orang merangsang pemberian dan dirangsang dengan pemberian. Didalam ju’alah ini orang yan merangsang dengan pemberian memberikan janji dalam kaitanya dengan pengembalian barangnya yang telah hilang dengan bentuk ganti yang telah diketahui jelas. Seperti ucapan orang yang sah pentasarufannya :”barang siapa yang dapat mengembalkan barangku yang telah hilang, maka baginya saya beri begini”. Bila orang tersebut berhasil mengembalikan (menemukan) barang yang telah hilang itu, maka dia berhak memiliki pengantian yang telah dijanjikan kepadannya. Ju’alah itu boleh, yaitu menjanjikan upah tertentu kepada pihak yang menemukan kembali barang yang telah hilang. Apabila ada pihak yang berhasil menemukan barang yang hilang tersebut, maka ia berhak menerima upah yang telah dijanjikan tersebut. Dalil berlakunya Ju’alah dalam islam adalah firman Allah Swt. Dan sabda Nabi Saw. Sebagai berikut : ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bagian makanan (seberat) beban unta”. (QS. Yusuf :72) Dalam hadis lain disebutkan : “Dan siapa dapat mengembalikannya akan memperoleh upah seberat muatan unta”.(QS. Yusuf:72) AL-IJARAH (PERSEWAAN) Lafazh “ijarah” dengan dibaca kasrah huruf hamzahnya menurut pendapar yang mazhur, dan diceritakan bahwa lafazh tersebut dibaca dlammah hamzanya. Ijarah menurut bahasa adalah nama bagi suatu upah. Sedangkan menurut syara’ ialah suatu bentuk akad atas kemanfaatan yang telah dimaklumi, disengaja dan menerima penyerahan,serta diperbolehkannya dengan pengantian yang jelas. Syarat bagi masing-masing mukjir (buruh atau yang menyewakan tenaganya) dan mustakjir (yang menyewa tenaga) harus pandai dan tidak ada unsure terpaksa. Kecuali dengan lafazh “ma’lumah”(telah diketahui), adalah lafazh “ju’alah”(upah perangsang). Lafazh “maqsudah”(yang dimaksudkan), adalah mengecualikan menyewa bahu-bauan karena tujuan baunya. Dan perkataan “bimuqabalatin lil badzli”(yang dapat diserahkan) adalah terkecuali manfaatnya farji, maka akad untuk mengambil manfaatnya farji tidak dapat dinamai ijarah. Demikian pula lafazh “ibahah”(dipebolehkan), adalah terkecuali dalam menyewakan perempuan amat karena hendak dijima’. Lafazh “iwadl”(dengan adanya ganti), adalah terkecuali pinjaman. Dan lafazh “bima’segazluumin”(suah jelas diketahui), terkecuali ganti dalam akad musaqad. Ijarah hukumnya tidak sah, kecuali harus ada ijab, seperti :”saya menyewakan kepadamu”. Dan harus da qabul, seperti :”saya menyewa kepadamu”. Mushanif menerangkan tentang pedoman tentang segala sesuatu yang sah diijarahkan dalam perkataanya, bahwa setiap barang yang dapat diambil manfaatnya serta tahan keadaanya, seperti menyewakan rumah untuk didiami dan kendaraan untuk dinaiki, maka hukunya sah menyewakannya. Jika tidak kuat tahan lama maka tidak sah Untuk sahnya menyewakan barang-barang tersebut, ada beberapa syarat yang dijelaskan musanif, yaitu ketika telah diperkirakan kemanfaatanya dengan salah satu dua perkara, ada kalanya memakai ketentuan waktu, seperti: “saya menyewakan rumah ini selama satu tahun”, danada kalanya dengan ketentuan pekerjaan, seperti : “saya menyewakan kepadamu, supaya kamu menjahitkan bajuku ini”. Wajib adanya upah atau sewa didalam ijarah sewaktu berada dalam akad. Adapun menurut aturan yang mesti, sesuai dengan kemutlakan ijarah itu sendiri, maka harus kontan upah atau sewanya, hanya saja disyaratkan dalam ijarah, adanya tempo waktu, maka dalam keadaan demikian upah atau ongkos sewa dapat dijanjikan tempo waktunya. Sewa menyewa tidak menjadi batal sebab adanya kematian salah satu diantara dua orang yang melakukan akad-akadan, yaitu orang yang menyewakan dan yang menyewa. Demikian pula tidak batal sebab keduanya mati, tetapi ijarah (sewa-menyewa) tersebut tetap berjalan terus sesampai udah matinya itu sampai habis waktunya (persewaan), dan siwaris penyewalah yang menempati atau menganti kedudukannya dalam menyelesaikan manfaat barang yang disewakan itu. Akad sewa-menyewa menjadi batal sebab barang yang disewakan rusak, seperti robohnya rumah, hewan yang sudah ditetukan tiba-tiba mati. Adapun batalnya ijarah (sewa-menyewa) dengan sebab sebagaimana tersebut itu adalah dengan penilaian masa yang belum lewat, bukan masa yang telah lewat, maka tidak batal ijarah (sewa-menyewa) dalam masa yang telah lewat itu. Demikian menurut pendapat yang lebih jelas. Tapi tetap berjalan terus sesuai dengan masa yang telah lewat dari persewaan yang telah dimusywarahkan dalam akad dengan menghitung-hitung upah sewa yang selayaknya, maka hendaknya diperkirakan harganya kemanfaatan ketika sdang berada dalam akad-akadan dalam masa yang telah lewat. Ketika diucapkan, maka upah itu sekian, maka hendaknya diambilkan dengan penyesuaian persewaan yang telah disepakati dalam akad. Barang-barang yang tersebut dimuka, yakni dari tidak batalnya akad dalam masa yang telah lewat itu harus diqayyidi dengan sesuatu yang stelah menerima barang yang disewakan dan sesudah lewat waktunya, maka wajib membayar sewa. Jika tidak diqayyidi, maka batallah ijarah, baik pada masa yang belum terjadi maupun yang sudah lewat. Dan kecuali dengan binatang yang telah ditentukan, yaitu keadaan ketika binatang yang disewakan itu berada dalam tangungan, maka sesungguhnya ketika pihak yang menyewakan itu mendatangkan binatangnya dantiba-tiba binatang tersebut mati ditenggah-tengah waktu (mendatangkannya), maka akad ijarah hukumnya tidak batal, tetapi wajib atas orang yang menyewakan untuk menganti binatang. Ketahuilah, sesungguhnya kekuasaan orang yang menyewa atas keadaan barang yang disewakan adalah kekuasaan yang berdasarkan kepercayaan. Dan ketika itu, tidak wajib mengganti bagi penyewa, kecuali bila dia gegabah dalam sewa-menyewa, seperti memukul binatang dengan melewati batas kebiasaan, atau menaikkan orang diatas binatang yang beratnya melebihi diri penyewa. Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya serta tetap tidak berubah, maka sesuatu tersebut boleh disewakan. Apabila manfaatnya tersebut bisa dipastikan dengan salah satu dari dua cara, yaitu dengan waktu atau pekerjaan, maka kemutlakan ijarah tersebut mengharuskan bayar terlebih dahulu (bayar muka), kecuali jika ada persyaratan bayar belakang. Akad ijarah itu tidak batal sebab kematian salah satu pihak dari penyewa dan yang menyewakan. Akad tersebut menjadi batal sebab kerusakan barang yang disewakan. Sedangkan penyewa tidak wajib menanggung kerusaka barang, kecuali karena kecerobohannya. Dalil diberlakukanya ijarah dalam islam adalah ayat-ayat Al-Quran, antara lain firman Allah Swt yang artinya : “Apabila mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya”.(QS.At-Thalaq :6) Dan juga berdasarkan hadis-hadis Nabi Saw. Antara lain: Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. Beliau bersabda:” Ada tiga orang yang aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat nanti, yaitu orang yang berjanji kepadaku lalu mengkhianati, orang yang menjual arak dan memakan hasil penjualannya dan orang-orang yang memperkerjakan orang lain, lalu orang tersebut melakukan pekerjaannya dengan baik, tetapi orang yang menyuruhnya tidak memberi upah”.(HR. Bukhari) Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata:”Nabi Saw. Telah melakukan bekam (cantuk) dan beliau member upah kepada tukang cantuk. Andaikata beliau memastikan kemakruhan pekerjaan itu, maka beliau tidak memberinya upah”.(HR.Bukhari dan Muslim) Pengertian Samsarah Makelar dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perantara dalam bidang jual beli. Makelar berasal dari bahasa arab, yaitu samsarah yang berarti perantara perdagangan atau perantara antara penjuak dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah “samsarah” atau “simsarah” Makelar adalah pedagang perantara yang berfungsi menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko, dengan kata lain makelar telah ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual beli. Makelar yang terpercaya tidak dituntut resiko sehubungan dengan rusaknya atau hilangnya barang dengan tidak sengaja. Hukum makelar dalam islam. Pekerjaan makelar menurut pandangan islam adalah termasuk akad iajarah, yaitu suatu perjanjian memanfaatkan suatu barang atau jasa, misalnya rumah atau suatu pekerjaan seperti pelaya, jasa pengacara, konsultan, dsb dengan imbalan. Karena pekerjaan makelar termasuk ijarah, maka untuk sahnya pekerjaan makelar ini, harus memenuhi beberapa syarat, yaitu : Persetujuan kedua belah pihak, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-nisa’ ayat 29. Obyek akad bias diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan. Obyek akad bukan hal-hal maksiat atau haram ((Zuldi, 1993: 121-122) Adapun sebab-sebab pemakelaran yang tidak diperbolehkan oleh islam, yaitu: Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan mengandung kezhaliman terhadap pembeli. Jika pemakelaran tersebut memberikan mudharat dan menggandung kezhaliman terhadap penjual. (Ad-duwwaisyi) Adapun hukum makelar atau perantara ini menurut pandangan ahli hukum islam tidak bertentangan dengan syariat hukum islam. Imam Al Bukhori mengemukakan bahwa: “ Ibnu Sirin Atha’, Ibrahim, dan Al Hasan memandang bahwa masalah makelar atau perantara ini tidak apa-apa. Menurut pendapat Ibnu Abbas : bahwa tidak mengapa, seseorang berkata “juallah ini bagiku seharga sekian, kelebihannya untukmu”. (pasaibu, 1994: 43) Sejalan dengan pandangan para fuqaha’ tersebut, apabila kita kembali pada aturan pokok, maka pekerjaan makelar itu tidak terlarang atau mubah karena tidak ada nash yang melarang. Daftar Pustaka Muhammad Asy-Syekh bin Qoaim Al-ghazy, Fathul Qarib, Al-Hidayah, Surabaya, 1991. Al-Bigha Musthafa Daib, Tadzhib Kompilasi Hukum Islam, Al-Hidayah, Surabaya, 2008.