MAKALAH FILSAFAT ILMU
“Bernalar Ilmiah”
Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)
Penulis:
Muzayyana Sakiinah
011918026308
Glabela Christiana Pandango
011918116303
Hanindyo Riezky Beksono
011918076303
Harris Kristanto Gunawan
011918016307
Reryd Arindany Wiryawan
011918036307
Linda Maya Tompodung
011918176303
Dhikrulloh Anwar
011918066315
Wico Hartantri
011918166309
Patricia Silpiani Kandar
011918216303
Dewati Ayusri Artha
021728016302
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya tim penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Bernalar Ilmiah” dengan baik.
Tim penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu tim penulis menyelesaikan makalah ini:
1. dr. Rahadian Indarto S., SpBS(K) selaku dosen pembimbing
2. Rekan-rekan penulis yang telah membantu dalam penyelesaian makalah
Tim penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini. Tim penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Tim penulis juga memohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Surabaya, 21 Juli 2019
Tim Penulis
DAFTAR ISI
Sampul ..................................................................................................................................i
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL...............................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... v
Bab 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................... 1
1.3.1 Tujuan umum penulisan...................................................................................... 1
1.3.2 Tujuan khusus penulisan..................................................................................... 1
Bab 2 PEMBAHASAN ....................................................................................................... 2
2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah ............................................................................... 2
2.1.1 Definisi................................................................................................................ 2
2.1.2 Teori Piaget ......................................................................................................... 3
2.1.3 Metode bernalar ilmiah ....................................................................................... 8
2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian ......................................................... 12
2.2.1 Manfaat penalaran ilmiah dalam penelitian ...................................................... 12
2.2.2 Hypothesis-deductive model............................................................................. 14
2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah .................................................... 18
2.3.1 Kebenaran ilmiah .............................................................................................. 18
2.3.2 Kebenaran non ilmiah ....................................................................................... 21
2.3.3 Tabel kebenaran ................................................................................................ 23
2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skill) dan Cara Mengembangkannya
............................................................................................................................. 26
2.4.1 Perkembangan keterampilan berilmiah............................................................. 26
2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun) ............................... 26
2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir
konkret (7-11 tahun) ...................................................................................... 27
2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi berpikir formal (11 tahun- dewasa) .................. 28
2.4.2 Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah................................................ 29
Bab 3 PENUTUP ............................................................................................................... 31
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 32
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Periode Perkembangan Piaget ............................................................................. 4
Tabel 2.2 Periode Sensori Motor ......................................................................................... 4
Tabel 2.3 Periode Praoperasional ........................................................................................ 5
Tabel 2.4 ............................................................................................................................ 13
Tabel 2.5 Tabel Kebenaran ................................................................................................ 25
Tabel 2.6 Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget ......................... 26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan penalaran
deduktif .......................................................................................................... 11
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang
akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir
untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan
atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Haakim, 2012).
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan,
memutuskan, mengembangkan dan sebagainya. Pada dasarnya setiap objek yang ada di
dunia pastilah menuntut metode tertentu, seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan.
Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan
menurut berbagai metode. Maka digunakanlah metode berpikir ilmiah, metode berpikir
ilmiah dapat dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif, penalaran
induktif, dan penalaran abduktif (Haakim, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah yang dimaksud dengan bernalar ilmiah?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Tujuan umum penulisan
Mengetahui yang dimaksud dengan bernalar ilmiah.
1.3.2
Tujuan khusus penulisan
-
Mengetahui dasar-dasar penalaran ilmiah.
-
Mengetahui metode penalaran ilmiah dalam penelitian.
-
Mengetahui kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah.
-
Mengetahui skill bernalar ilmiah dan cara mengembangkannya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah
2.1.1 Definisi
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang
sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, Berdasarkan sejumlah proposisi
yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang
sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi
yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil
kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut
konsekuensi (Suriasumantri, 2001).
Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik
suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir penalaran
memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis
diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika
tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini
merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya
merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Penalaran disini
adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang
relevan. Dengan kata lain, penalaran adalah proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk
menarik kesimpulan (Suriasumantri, 2001).
Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007) istilah penalaran mengandung tiga
pengertian diantaranya: (1) Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis.;
(2) Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan perasaan atau
pengalaman; (3) Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari
beberapa fakta atau prinsip.
Penalaran mempunyai ciri-ciri yaitu (1) dilakukan dengan sadar; (2) didasarkan oleh
sesuatu yang sudah di ketahui; (3) sistematis; (4) terarah dan bertujuan; (5) Menghasilkan
kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap terbaru; (6) sadar tujuan; (7)
premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan; (8) pola pemikiran
tertentu; dan (9) sifat empiris nasional (Suriasumantri, 2001).
Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan
kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar dapat dipenuhi. Suatu
penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang
benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar
konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu
yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang
tepat, diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau
bahan yang dijadikan sebagai premis tepa (Suriasumantri, 2001).
2.1.2 Teori Piaget
Pendekatan yang dilakukan Piaget dalam meneliti perkembangan kognitif anak adalah
pendekatan sains, yaitu konsep-konsep biologis yang dibatasi pada sifatnya saja. Selain itu
Piaget juga memperhatikan kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu
asimilasi, akomodasi, dan organisasi. Perkembangan merupakan sebuah proses konstruktif
yang aktif, dimana anak, melalui aktivitasnya membangun struktur-struktur kognitif yang
makin berbeda dan komprehensif. Menurut Piaget (1983), inteligensi dapat dilihat dari 3
perspektif berbeda:
Terdapat 3 kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu :
1. Asimilasi
Asimilasi memasukkan sesuatu . Dalam tindakan berarti memasukkan suatu
objek ke dalam objek lain. Contoh: menggenggam sendok. Namun, dalam pikiran
berarti memasukkan informasi ke dalam pikiran.
Contoh: pemahaman tentang virus Zika.
2. Akomodasi
Akomodasi membuat perubahan dalam struktur. Dalam tindakan berarti
membuat perubahan struktur suatu objek menjadi lebih baik. Contoh:
meletakkan beberapa batang bambu di bawah lemari besar supaya lebih mudah
mendorongnya. Namun, dalam pikiran berarti mengkontruksi cara-cara yang
lebih efisien dan elaboratif dalam mengahadapi sesuatu hal.
Contoh: penanganan banjir di Jakarta
3. Organisasi
Organisasi mengkombinasikan beberapa hal. Dalam tindakan berarti
merangkai beberapa tindakan sederhana menjadi suatu tindakan yang lebih
sukar. Contoh: makan mie menggunakan sumpit. Namun, dalam pikiran berarti
menggabungkan ide-ide menjadi teori.
Contoh: perumusan teori atom Dalton.
Tabel 2.1 Periode Perkembangan Piaget
Tabel 2.2 Periode Sensori Motor
Perkembangan Permanensi Objek
Pada tahap ini Piaget mengamati bagaimana bayi mengkonstruksi konsepkonsep tentang objek permanen, waktu, ruang, dan kausalitas, dan bagaimana mereka
mengembangkan kemampuan untuk bermain. Pada awal periode ini, bayi tidak
memiliki perngertian tentang objek-objek yang independen dari pandangan atau
tindakan mereka. Pada akhir periode ini, objek-objek jadi terpisah dan permanen.
Dengan demikian anak-anak bisa mengembangkan suatu semesta yang mengandung
objek-objek independen dimana mereka hanyalah satu diantara objek lainnya.
Tabel 2.3 Periode Praoperasional
Pertumbuhan Aktivitas Simbolik
Pada periode ini, anak-anak mulai menggunakan simbol- simbol ketika
mereka menggunakan sebuah objek atau tindakan untuk merepresentasikan sesuatu
yang tidak hadir. Simbol-simbol pertama bersifat motorik, baru setelah itu
meningkat menjadi simbol-simbol linguistik. Bahasa mengembangkan cakrawala
anak-anak. Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu,
mengantisipasi masa depan, dan mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa pada
orang lain.
Penalaran ilmiah
• Pada periode ini anak-anak masih sulit untuk memahami jumlah dalam bentuk 3
dimensi.
• Biasanya mereka hanya melihat 1 dimensi saja.
• Pemahaman jumlah dalam 3 dimensi akan tercapai pada akhir periode ini
Pemikiran Sosial
• Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris, menganggap
segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja.
• Egosentrisme
mengacu
kepada
ketidakmampuan
untuk
membedakan
prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain
• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara
benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi,
atau bergerak.
• Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah suatu
kenyataan.
• Periode berpikir konkret Berpikir dua arah dan logis
• Bertanya tentang segala sesuatu dengan bahasa
sederhana
• Mampu menganalisa dan mengukur
• Memahami bagian dan keseluruhan suatu hubungan
• Memahami jumlah, massa, berat dan volume
• Menerima etika dan aturan dari orang yang lebih tua
• Dapat melakukan operasi-operasi menggabungkan, memisahkan, menyusun,
mengulang, mengali, membagi, mengurangi
• Masih mengalami kesulitan memahami kalimat kompleks
• Pemiki Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris,
menganggap segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja.
• Egosentrisme
mengacu
kepada
ketidakmampuan
untuk
membedakan
prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain
• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara
benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi,
atau bergerak.
• Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah suatu
kenyataan.
• Pembagian tahapan perkembangan kognitif berdasarkan usia dan perkembangan
biologis anak menjadi landasan utama penelitian Piaget.
• Jika dihubungkan dengan pembagian usia anak sekolah maka kesetaraannya adal
• Teori ini membagi tingkat kecerdasan kognitif manusia berdasarkan usia.
• Masing-masing periode memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan dengan
periode lain.
• Pada tahap sensorimotor dan pra-operasional Piaget masih memperhatikan aspek
perkembangan sosial anak, tetapi untuk tahap operasi konkret dan formal
penekanannya hanya pada perkembangan logika kognitif saja (Crain, 2007).
2.1.3 Metode bernalar ilmiah
Salah satu karakteristik paling dasar dari sains adalah bahwa para ilmuwan beasumsi
bahwa alam semesta mengikuti aturan yang dapat diprediksi. Para ilmuwan menggunakan
berbagai strategi berbeda untuk membuat penemuan ilmiah baru. Tiga jenis penalaran yang
sering digunakan ilmuwan adalah penalaran deduksi, induksi dan abduksi (Dunbar, 2005).
Berikut ini akan dibahas ketiga penalaran ini beserta contohnya.
1. Deduksi
Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat universal
(umum) ditarik kesimpulan yang bersifat individual (khusus), selain itu metode deduksi
ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik
kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum.
Logika deduksi adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu
kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut
bentuk saja.
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir
yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis
yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua
permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulankesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua
atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada
suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari
pertanyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika
deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang
menarik. Contoh deduksi sebagai berikut:
Semua makhluk hidup memerlukan udara
(Premis mayor)
Dewi adalah makhluk hidup
(Premis minor)
Jadi Dewi memerlukan udara
(Kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil bahwa Dewi memerlukan udara adalah sah menurut
penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua permis yang
mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan bahwa
kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah,
meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah
tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga
hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan
pengambilan kesimpulan.
2. Induksi
Menurut Aristoteles, pola penalaran induksi merupakan proses peningkatan dari
hal - hal yang bersifat individual (khusus) ke hal - hal yang bersifat universal (umum).
Jadi premisnya berasal dari proposisi – proposisi singular lalu konklusinya berupa
sebuah proposisi universal (Khemlani, 2017).
Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiris yang langsung kembali
kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement). Proposisi dasar
menunjuk kepada fakta. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan
tetapi hanya dapat menerimanya. Konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada
apa yang dinyatakan di dalam premis-premisnya. Menurut kaidah-kaidah logika,
penalaran itu tidak sahih, pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran konklusinya.
Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan
menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya.
Penalaran induksi terbagi mejadi dua macam (Pratiwi, 2012), yaitu:
-
Generalisasi Induksi. Telah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu
konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu
disebut generalisasi. Prinsip dasar generalisasi induksi adalah: “apa yang beberapa
kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila
kondisi yang sama terpenuhi”. Generalisasi menerangkan bahwa konklusi
penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya
berupa suatu probabilitas, suatu peluang. Syarat yang harus dipenuhi pada
generalisasi induksi adalah: (1) Generalisasi harus tidak terbatas secaara numerik;
artinya generalisasi tidak boleh terikat pada jumlah tertentu, (2) Generalisasi harus
tidak boleh terbatas secara spasio-temporal; artinya, tidak boleh terbatas dalam
ruang dan waktu, jadi harus berlaku dimana saja dan kapan saja dan (3) Generalisasi
harus dapat dijadikan dasar pengandaian; yang dimaksud “pengandaian” di sini
ialah dasar dari yang disebut ‘contrary to-facts conditionals’ atau ‘unfulfilled
conditional’. Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian itu yang
memenuhi syarat.
-
Analogi Induksi. Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain,
dengan mengidentifikasi mencari persamaan. Pada dasarnya bentuk penalaran
analogi induksi sama dengan generalisasi induksi. Tetapi dalam metode keilmuan
analogi induktif itu dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu objek atau
fakta itu dan sifat-sifat apakah yang dapat diharapkan padanya, sedangkan
generalisasi induksi terutama digunakan untuk menemukan hukum, menyusun
teori, atau hipotesis. Jadi analogi induksi tidak hanya menunjukkan persamaan di
antara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan
tersebut.
3. Abduksi
Sementara kurang umum disebutkan daripada penalaran induksi dan deduksi,
penalaran abduksi adalah sebuah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesahipotesa dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju
sebuah “penjelasan yang mungkin” tentang kasus. Bagi C. S. Peirce, abduksi tetap
merupakan salah satu dari tiga bentuk pokok inferensi, dengan bentuk probable yaitu
tidak memberikan kepastian mutlak (Dunbar, 2005). Pertimbangkan masalah berikut:
Apabila pilot jatuh dari pesawat tanpa parasut,
Pilot ini akan mati. Pilot ini tidak mati. Kenapa tidak?
Mayoritas akan merespon, misalnya:
Pesawat ini masih di darat.
Pilot jatuh ke salju yang dalam.
Hanya sebagian kecil yang akan menarik kesimpulan secara logis:
Pilot ini tidak jatuh dari pesawat tanpa parasut.
Kesimpulan yang diambill penalaran abduksi digunakan untuk menjelaskan peristiwa
seperti temuan yang tak terduga dan kesimpulan ini tidak memberikan kepastian
mutlak.
Berikut contoh perbedaan penalaran deduksi, induksi dan abduksi yang dapat
dilihat pada gambar 2.1
Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan
penalaran deduktif (Dunbar, 2005).
Pada gambar 2.1 perbedaan antara pemikiran deduktif, induktif dan abduktif
disorot. Dalam penalaran deduksi dimulai dari hal umum yaitu:
Semua angsa berwarna putih.
Daisy adalah angsa.
Daisy berwarna putih
(Kesimpulan)
Penalaran Induksi contohnya adalah:
Daisy adalah angsa berwarna putih
Danny adalah angsa berwarna putih
Dante adalah angsa berwarna putih (dan begitu selanjutnya)
Semua Angsa berwarna putih
(Kesimpulan)
Penalaran Abduksi contohnya adalah:
Semua angsa berwarna putih
Daisy berwarna putih
Daisy adalah seekor angsa
(Kesimpulan)
Dalam penalaran abduksi, pemikir berusaha untuk menghasilkan penjelasan
dari bentuk “jika situasi X telah terjadi, dapatkah itu menghasilkan bukti saat ini yang
saya coba tafsirkan?”. Tentu saja, seperti dalam induksi klasik, penalaran seperti itu
tidak sepenuhnya benar. Namun, penalaran itu melibatkan generasi pengetahuan baru,
dan terkait dengan penelitian yang mendorong kreativitas.
2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian
2.2.1
Manfaat penalaran ilmiah
Dalam penalaran ilmiah dikenal sebagai konsep berpikir mengenai keilmuan dan juga
sebagai rangkaian proses-proses penalaran yang menjiwai bidang-bidang ilmu. Proses berpikir
tersebut, antara lain berupai induksi, deduksi, desain eksperimen, penalaran sebab
akibat/kausal, pembentukan konsep, uji hipotesis, dll. (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012). Pada
Bab kedua ini, akan dibahas beberapa konsep umum yang sering dipakai dalam penalaran
ilmiah di bidang penelitian yang dapat menjadi pedoman kolaborasi pada penalaran klinis
untuk diajarkan, diterapkan, dan dikritisi lebih lanjut mengenai implementasinya untuk
penalaran ilmiah dalam penelitian yang lebih efektif.
-
Penalaran Ilmiah sebagai Problem Solving
Salah satu manfaat primer dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan
kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific
mind). Penalaran ilmiah membantu pola pikir yang luas dan terbuka untuk menganalisis
dan menyelesaikan permasalahan. Simon, Langley, & Bradshaw (1981) berpendapat
bahwa secara umum, pemecahan masalah dikonsepkan sebagai penelusuran dalam
lingkup masalah (problem space). Lingkup masalah yang dimaksudkan ini berisi
berbagai kemungkinan duduk permasalahan yang mungkin dipikirkan manusia dan
segala upaya yang dapat dilakukan untuk pemecah masalah dapat beralih dari satu tahap
ke tahap lain dalam memecahkan masalah. Berdasarkan pemikiran ini, kita dapat
menyimpulkan bahwa, dengan mengetahui tipe-tipe representasi dan prosedur yang
digunakan seseorang untuk bergerak dari satu tahap ke tahap lainnya, maka kita dapat
memahami proses bernalar ilmiah (Dunbar, K., & Fugelsang, J., 2005).
Tabel 2.4
Klahr dan Dunbar (1988) melakukan penelusuran mengenai lingkup masalah dan
menyatakan bahwa penalaran ilmiah dapat dilihat dalam 2 lingkup yang berhubungan
(Tabel 2.4), yakni: lingkup hipotesis dan lingkup eksperimen. Setiap lingkup masalah
yang digunakan oleh ilmuwan, akan memiliki representasinya masing-masing dan
operator yang dapat mengubah representasi tersebut. Penelusuran dalam lingkup
hipotesis akan membatasi penelusuran dalam lingkup eksperimen. Ditemukan juga
bahwa beberapa pemikir mulai dari lingkup hipotesis ke lingkup eksperimen, namun
ada juga yang memulai dari lingkup eksperimen ke lingkup hipotesis. Perbedaan tipe
penelusuran ini mendasari adanya perbedaan tipe-tipe hipotesis dan eksperimen.
Beberapa penelitian juga memperluas pendekatan dua-lingkup ini dengan memasukkan
lingkup pemecahan masalah alternatif: data, instrumentasi, dan pengetahuan bidang
khusus (domain-specific knowledge) (Klahr & Simon, 1999).
- Penalaran Ilmiah sebagai Pengujian Hipotesis
Banyak peneliti yang mengidentikan penalaran ilmiah sebagai proses
memprediksi sebuah hipotesis tertentu terhadap teori-teori. Hipotesis (atau sering
disebut juga dengan hipotesa) dimaknai secara sederhana sebagai dugaan sementara.
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani hypo yang berarti di bawah dan thesis yang
bersinonom dengan pendirian, pendapat yang ditegakkan, dan kepastian. Maka
dengan pemaknaan bebas, hipotesis berarti pendapat yang kebenarannya masih
diragukan.
Agar dapat dipastikan kebenarannya, maka suatu hipotesis harus diuji atau
dibuktikan kebenarannya. Pengujian hipotesis atau yang dikenal sebagai hypothesis
testing diartikan sebagai proses mengevaluasi sebuah proposisi yang diperoleh dari
pengumpulan data mengenai sebuah kebenaran (Dunbar, K., & Klahr, D. 2012).
Untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis, seorang peneliti dapat dengan sengaja
menciptakan suatu gejala, yakni melalui percobaan atau penelitian.
Pada penelitian eksperimental kognitif pada penalaran ilmiah terkait isu
spesifik, biasanya jatuh pada 2 area besar kelas investigasi. Kelas pertama berhubungan
dengan tipe penalaran yang memimpin peneliti ke arah yang tidak menentu sehingga
menghalangi keaslian penelitian. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan
strategi penalaran ilmiah yang keliru dari peneliti dan partisipan pada uji coba.
Contohnya, saat peneliti lebih condong kepada salah satu hipotesis pda satu waktu dan
menghamat peneliti untuk membuat penemuan baru. Kelas kedua berhubungan dengan
menyingkapkan proses-proses mental yang mendasari penciptaan hipotesis dan konsep
ilmiah yang baru. Tipe penelitian ini biasanya berfokus pada penggunaan analogi dan
penggambaran ilmu dan penggunaan tipe-tipe tertentu pemecahan masalah heuristik
(Dunbar, K., & Klahr, D., 2012).
2.2.2
Hypothesis-deductive model
Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu
kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. Ia dilahirkan
di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon
S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial. Pada tahun
1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi Zur Methodenfrage der
Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran). Popper merasa tidak
puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang
dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif
ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Meski demikian, ia
bukan termasuk kelompok lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam
terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina (Muslih, 2005).
Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosuf yang tergabung
di lingkaran Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat dengan
gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni
masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga (Muslih, 2005). Dalam masalah induksi,
Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi yang didasarkan
pada prinsip induksi (Popper, 2008). Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah
diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi tanpa
kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B” (Chalmers, 1983).
Proses induksi melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum
positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi
ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum umum dan mutlak berdasarkan
kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan (meaningless). Bagi
kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan dibuktikan
melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya
berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (Muslih, 2005).
Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah,
selain dibangun berdasar prinsip induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika
dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan (Chalmers,
1983). Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi dapat
meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang ahli fisika
dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air di tempat yang tinggi lebih rendah
daripada di tempat yang normal.
Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau
induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari suatu
ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan
menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul
dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika gagasan
mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar.
Akan tetapi bagi Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak
dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui
verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui
berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu
teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori
tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration. Semakin
besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu
bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya.
Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat
hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada
kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih
tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori,
hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa
suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki
kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability) (Komarudin, 2014).
Berikut ini adalah langkah-langkah yang terlibat:
-
Mengidentifikasi area masalah yang luas di mana masalah utama terjadi untuk
melakukan proyek penelitian.
-
Mendefinisikan rumusan masalah. Ini bisa menjadi penelitian ilmiah dengan tujuan
pasti dan tujuan umum penelitian.
-
Pengembangan hipotesis yang harus diuji dan dapat difalsifikasikan.
-
Mengukur kerangka teoritis dan jika tidak terukur maka harus kualitatif.
-
Pengumpulan data berdasarkan kuantitatif dan data kualitatif.
-
Analisis data dilakukan untuk memeriksa apakah hipotesis yang dihasilkan
didukung.
-
Menafsirkan data untuk mencari tahu makna hasil.
Menurut (Lewis 1998) "Pandangan yang keliru tentang metode ini ditambah tidak
adanya definisi teori yang tepat menyesatkan perkembangan awal saya dalam sains"
(hal. 362). Ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, geologi dan kimia semua didasarkan pada
metode Hypothesis-deductive. Banyak guru dan penulis menyesatkan siswa mereka
tentang metodologi dasar subjek. Teori ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh
dalam materi pelajaran yang berbeda seperti jika cahaya bergerak dalam gelombang
konsentris maka cahaya harus melewati celah. Percobaan yang dilakukan menunjukkan
bahwa cahaya melewati kedua celah dan menciptakan layar pola ketiga dari kedua band
(hasil yang diharapkan) dan karenanya mendukung hipotesis alternatif bahwa cahaya
bergerak dalam gelombang konsentris (kesimpulan). Dengan cara yang sama, metode
ini dapat digunakan dalam semua materi pelajaran yang berbeda untuk menemukan
kesimpulan, eksperimen, hipotesis, dan hasil.
Metode Hypothesis-deductive mengkonfirmasi sebuah teori ketika perbedaan
prediksi dan observasi kecil dan mengonfirmasi ketika perbedaan besar (Rakover,
2002).
Sebagian besar fokus dalam metodologi ilmiah adalah untuk mengurangi perbedaan
antara prediksi dan pengamatan. Ini adalah komponen penting dari metode Hypothesisdeductive. Metode Hypothesis-deductive menguji hipotesis empiris dan teori-teori
dengan baik dan banyak digunakan oleh para ilmuwan.
Peneliti yang berbeda telah menggunakan metode Hypothesis-deductive dengan
tujuan penelitian yang berbeda. Glebbeek AC, menggunakan metode untuk menguji
hipotesis untuk turnover karyawan dan kinerja perusahaan untuk memiliki hubungan
terbalik berbentuk U, terutama turnover rendah atau turnover tinggi. Data dianalisis dari
110 kantor yang menawarkan pekerjaan sementara dan menemukan hubungan
curvilinerar yang dihipotesiskan. Britten N, Stevenson FA, Barry CA, Barber N dan
Bradley CP menggunakan metode untuk mengidentifikasi kategori keputusan yang
disalahpahami dalam keputusan umum. Serangkaian wawancara dilakukan dengan
konsumen akhir untuk mengetahui kategori-kategori kesalahpahaman. Kategori
muncul sebagai akibat dari implikasi data dan berdasarkan pada fakta bahwa sekali
mereka telah terjadi dan mungkin terjadi lagi. Meyer CB, Altenborg E menggunakan
metodologi untuk menyelidiki dampak kesetaraan atau keseimbangan selama proses
penggabungan suatu organisasi. Para peneliti menggunakan studi kasus merger
internasional yang gagal. Mereka menemukan bahwa prinsip kesetaraan memiliki efek
terbalik pada integrasi sosial yang mempengaruhinya secara negatif berlawanan dengan
prediksi dalam literatur. Moutafi J, Furnham A, Crump J menggunakan metodologi
untuk menyelidiki hubungan antara tingkat manajerial dan kepribadian. Tes
kepribadian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hasil dan tingkat manajerial.
Empat hipotesis berbeda diturunkan berdasarkan hubungan positif atau negatif dengan
tingkat manajerial. Hemant Deo menggunakan metodologi di sektor perbankan untuk
menyaring data yang terkait dengan cerita tertentu dari yang lain. Sektor perbankan
melibatkan bidang penelitian yang luas termasuk faktor sosial, ekonomi dan politik
yang digabungkan bersama dalam satu konteks organisasi. Metode Hypothesisdeductive mengabaikan tantangan ini memasukkan nilai konsekuensi subyektif dan
sosial. Ini mengurangi hubungan antara kontrol prediksi, teknis dan penjelasan. Lewis
RW menggunakan metode Hypothesis-deductive pada teori awal aliran darah dan
penelitian William Harvey. Teori ini didasarkan pada penalaran hipotetiko-deduktif
untuk percobaan arah aliran darah dalam tubuh manusia. Tes juga dilakukan pada
lubang septum. Hasil menurut metode Hypothesis-deductive adalah bahwa teori Galen
tidak didukung (Lawson AE, 2000)
2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah
2.3.1 Kebenaran ilmiah
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda yang konkret maupun
abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah
preposisi yang benar. Dengan kata lain arti kebenaran itu bergantung pada preposisi yang
mengikuti di belakangnya. Kebenaran memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu
dengan yang lain. Terdapat tiga macam definisi kebenaran, yaitu:
1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Terbagi menjadi 4, yaitu :
a) Pengetahuan Biasa atau biasa disebut juga dengan Knowledge of the man in the street
or Ordinary Knowledge or common sense knowledge. Pengetahuan ini memiliki inti
kebenaran yang bersifat subjektif, yaitu amat terikat pada subyek yang mengenal.
Pengetahuan ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh
pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan.
b) Pengetahuan Ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang spesifik
dengan metodologi yang telah disepakati oleh para ahli ilmu tersebut. Kebenarannya
bersifat relatif karena selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian
yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan dari para ilmuwannya.
c) Pengetahuan Filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyentuh, yaitu dengan
modelpemikiran analitis, kritis dan spekulatif. Kebenarannya bersifat absolutintersubjektif, yaitu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta
selalu mendapat kebenaran dari filsuf yang menggunakan metodologi pemikiran yang
sama pula.
d) Pengetahuan Agama, pengetahuan yang memiliki sifat dogmatis yakni pernyataan
dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah ditentukan, sehingga
pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran
sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Kebenarannya
bersifat mutlak absolut.
2. Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karakteristik bagaimana cara atau dengan
alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya
dengan cara penginderaan atau sense experience, ratio, intuisi atau keyakinan
Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis
pengetahuan : (1).inderawi; (2).pengetahuan akal budi; (3). pengetahuan intuitif;
(4). Pengetahuan kepercayaan atau otoritatif dan pengetahuan yang lainnya.
3. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya
bagaimana relasi antara subjek dan objek. Jika subjek yang lebih berperan maka
kebenarannya bersifat subjektif, dan begitu pula sebaliknya (Tim Dosen Filsafat
Ilmu UGM, 2010)
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian Ilmiah adalah segala sesuatu yang
bersifat keilmuan, didasarkan pada ilmu pengetahuan, memenuhi syarat atau kaidah ilmu
pengetahuan. Sesuatu dapat disebut ilmiah apabila memiliki patokan yang merupakan ramburambu untuk menentukan benar atau salah. Karakteristik ilmiah terdiri dari empat syarat, yaitu:
1. Obyektif (ada kesesuaian dengan obyeknya/dibuktikan dengan hasil penginderaan
atau empiris).
2. Metodik (diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu dan terkontrol)
3. Sistematik (tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri satu sama lain saling
berkaitan, saling menjelaskan sehingga keseluruhannya merupakan satu kesatuan
yang utuh)
4. Berlaku umum/universal (tidak hanya berlaku atau dapat diamati oleh seseorang/oleh
beberapa orang saja, tetapi oleh semua orang dengan cara eksperimental yang sama
dan akan menghasilkan sesuatu yang sama/konsisten) (Maslikah, 2013).
Berbagai cara telah ditempuh oleh para pemikir untuk sampai pada rumusan tentang
kebenaran. Teori atau ukuran kebenaran yang disebut oleh Kattsoff adalah Koherensi
(Coherence Theory), paham Korespondensi (Correspondence Theory), Paham Empiris dan
Pragmatis. Sementara Abbas Hamami menyebut tujuh Teori yakni teori kebenaran
korespondensi, koherensi, pragmatis, sintaksis, semantis, non-deskripsi dan teori kebenaran
logis yang berlebihan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010). Di bagian ini hanya akan dibahas
tiga teori saja, yaitu Kebenaran Koherensi, Korespondensi, dan Teori Pragmatis.
1.
Teori Koherensi (Coherence Theory)
Kata “koherensi” (coherence. Inggris = sticking together, consistent (especially
of speech, thought, reasoning), clear, easy to understand; Latin: cohaerere = melekat,
tetap menyatu, bersatu) (Angles, 1981). Koherensi berarti hubungan yang terjadi karena
adanya gagasan (prinsip, relasi, aturan, konsep) yang sama. Paham ini mengatakan
bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang
dikandunganya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koherensi ini juga termasuk dalam
katagori “Veritas de raison” yaitu, kebenaran-kebenaran yang masuk akal dan juga
melahirkan berpikir deduksi yang sangat diperlukan untuk matematika (Langevald).
Alam pikiran teori ini terpadu secara utuh/koheren, baik argumentasinya maupun
kaitannya dengan pengeahuan-pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar
(Suriasumantri, 1991). Teori ini dikenal juga sebagai teori justifikasi, karena dukungan
dari keputusan-keputusan yang terdahulu yang sudah diakui dan diterima
kebenarannya.
2.
Teori Korespondensi (Correspondence Theory)
Teori ini disebut oleh White dalam bukunya sebagai teori yang paling tua
(Tradisional) (White, 1970). Inti ajarannya tentang kebenaran adalah bahwa suatu
pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan
halnya, dinamakan “paham korespondensi” kebenaran atau keadaan benar berupa
kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan
dengan apa yang sesungguhnya merupakan halnya, atau apa yang merupakan faktafaktanya. Teori kebenaran ini termasuk dalam katagori “veritas desfait” yaitu
kebenaran-kebenaran berdasarkan kenyataan (Hadi, 1997). Teori ini melahirkan cara
berpikir induksi yang tampak dalam statistika.
3.
Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory)
Merupakan pandangan Filsafat kontemporer yang berkembang pada akhir abad
ke-19. Dalam pandangan The Pragmatic Theory of Truth, menurut Patrick adalah
seperti dinyatakannya sebagai berikut :
Teori, hipotesa atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang
memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis.
Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya.
Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Kebenaran menurut teori ini adalah suatu pernyataan yang diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Yaitu,
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 1991). Kebenaran
tidak diukur dengan adanya hubungan atau kesesuaian antara pernyataan dengan
lainnya. Kebenaran berada pada fungsi dan kegunaan. Benar sesuatu itu jika berfungsi
dan berguna, tidak benar jika tidak berfungsi dan tidak berguna.
2.3.2 Kebenaran non ilmiah
Ada tiga hal yang seringkali orang-orang memandanganya sebagai kebenaran yang
tidak ilmiah karena disebabkan sifat dan caranya yang sederhana, penuh dengan kira-kira,serta
tidak dapat dijangkau oleh alat indera manusia diantaranya : pengetahuan biasa, mitos, dan
wahyu.
1. Pengetahuan Biasa
Pengetahuan manusia,secara skematik, biasa berkembang menuju kepada yang lebih
berkualitas/valid.
Validitas
tersebut
sangat
ditentukan
oleh
kerangka
dasar
pemikiran/landasan epistemiologiya serta bentuk bentuk penalarannya. Semakin logis
dan teruji di dalam penerapannya, maka pengetahuan itu disebut ilmiah. Tiga tahap
dalam kehidupan manusia dalam mencari kebenaran yaitu : tahap awal yaitu Proses tahu
dan dari hasil inilah disebut pengetahuan biasa ; tahap kedua yaitu memori, dan tahap
ketiga ialah ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tingkat validitasnya di atas
pengetahuan biasa. Sebab hasil ini diperolehnya berdasarkan pada pengujian teoretik dan
penggunaan metode yang jelas dalam analisisnya. Adapun rumus atau teori itu sendiri
adalah produk pengetahuan ilmiah yang memiliki kekokohan dasar pemikiran dan telah
teruji, serta pada tahap berikutnya biasa dijadikan landasan pengetahuan obyek kajian
tertentu lainnya.
2. Mitos
Mitos sebenarnya bagian dari folklore, atau cerita rakyat/hikayat. Mitos diturunkan
secara subyektif,dalam arti kebenarannya hanya berlaku dalam masyarakatnya, dan tidak
ada kaitannya dengan antara pengalaman dan penuturan. Mitos berarti menghindari
realitas,bukan menghadapi realitas. Kualitas mitos setingkat dengan legenda dan
dongeng. Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi massa. Mitos akan hidup tatkala
rakyat tertekan dan penuh harapan. Mitos dapat mendorong suatu perbuatan.
Sebagaimana contoh mitos tentang Ratu Kidul. Masyarakat akan antusias datang ke
pantai Selatan untuk melakukan ritual dan larung sesaji berharap akan mendapatkan
keselamatan, keamanan dan ketenteraman dalam kehidupannya (Suhasti, 2012).
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan
ini sangat sukar untuk dibedakan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan
manusia merupakan pematangan dari kepercayaan (Adib, 2011).
3. Wahyu
Arti Wahyu secara umum adalah bisikan, isyarat atau petunjuk, ilham, perintah,
perundingan rahasia. Dalam Syara’, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi atau
Rasul, yang berasal dari Allah dengan perantara/tidak melalui perantara (malaikat,
mimpi, indera, lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti.
Upaya untuk menemukan kebenaran Non Ilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara
diantaranya :
1. Penemuan secara kebetulan
Penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Penemuan secara kebetulan ini juga
berguna walaupun terjadinya tidak secara ilmiah, tidak sengaja dan tanpa rencana. Cara
ini dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan.
2. Penemuan “coba dan ralat” (trial and error)
Penemuan trial and error terjadi tanpa kepastian akan berhasil atau tidak berhasil
kebenaran yang akan dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi aktivitas
itu mengandung unsur spekulatif atau “coba-beruntung”
3. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan
Pendapat orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang memiliki
kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu
tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah (Hartanto, 1990).
2.3.3 Tabel kebenaran
Pada Logika matematika, tabel kebenaran adalah tabel di dalam matematika yang
dipakai untuk melihat nilai kebenaran pada suatu premis ataupun pernyataan. Jika hasil akhir
ialah benar semua (dilambangkan dengan B, T, atau 1) maka disebut Tautologi. Akan tetapi
jika salah semua (S, F, atau 0) maka disebut kontradiksi. Premis hasil akhirnya gabungan benar
dan salah disebut kontingensi.
1.
Tabel Kebenaran Ingkaran (Negasi)
Ingkaran atau negasi adalah suatu kebalikan atau lawan dari suatu pernyataan. Untuk
pernyataan negasi diberi simbol “ ~ “
2.
Tabel Kebenran Konjungsi
Konjungsi merupakan gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan memakai kata
hubung “dan”. Simbol dari konjungsi adalah “ ˆ “. Jika nilai kedua pernyataan itu adalah
benar, maka nilai kebenaran konjungsi kedua prnyataan itupun benar, namun apabila ada
salah satu pernyataan salah, maka nilai konjungsi kedua pernyataan itupun memiliki nilai
salah.
3.
Tabel Kebenaran Disjungsi
Disjungsi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dan yang menggunakan kata
hubung “ atau “. Simbol dari disjungsi adalah “ ˇ “. Dalam menentukan nilai kebenaran
disjungsi juga mempunyai aturan yaitu andai salah satu dari dua pernyataan memiliki
nilai benar, maka nilai kebenaran disjungsi dari kedua pernyataan itu adalah benar,
namun apabila kedua pernyataan tersebut memiliki nilai salah, maka nilai kebenaran
disjungsi pun bernilai salah.
4.
Tabel Kebenaran Implikasi
Implikasi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan kata hubung “ jika “
dan “ maka “. Simbol dari implikasi yaitu “ → “. Jika nilai pernyataan kedua dari dua
pernyataan memiliki nilai benar dan jika kedua pernyataan bernilai sama baik itu benar
ataupun salah, jadi nilai kebenaran implikasi yaitu benar. Namun apabila nilai kedua
pernyataan keduanya salah, maka nilai kebenaran implikasi dari dua pernyataan tersebut
memiliki nilai salah.\
5.
Tabel Kebenaran Biimplikasi
Biimplikasi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan kata hubung “ jika
dan hanya jika, maka “. Simbol dari biimplikasi yaitu “ ↔ “. Jika kedua pernyataan
sama, maka nilai kebenaran biimplikasi bena, begitupun sebaliknnya andai nilai salah
satu dari pernyataan bernilai salah maka nilai dari kebenaran biimplikasi dari kedua
pernyataan tersebut adalah salah.
6.
Tabel Kebenaran Negasi Konjungsi
Pada tabel kebenaran negasi konjungsi ini berlaku negasi dari p ^ q ekuivalen dengan
~pˇ~q.
7.
Tabel Kebenaran Negasi Disjungsi
Nilai kebenaran disjungsi berlaku negasi dari pˇq ekuivalen dengan ~p ^ ~q.
8.
Tabel Kebenaran Negasi Implikasi
Nilai kebenaran negasi implikasi ialah negasi dari p → q ekuivalen dengan p ^ ~q
9.
Tabel Kebenaran Negasi Biimplikasi
Negasi dari p ↔ q ekuivalen dengan (p ^ ~q) ˇ (q ^ ~p)
Hubungan dari Nilai Kebenaran dapat dilihat dalam tabel 2.2 di bawah.
Tabel 2.5 Tabel Kebenaran
2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skills) dan Cara Mengembangkannya
2.4.1. Perkembangan keterampilan bernalar ilmiah
Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4
periode oleh Piaget, sebagaimana dijelaskan dalam table di bawah ;(Crain, 2007)
Tabel 2.6 Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget
2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun)
Periode pertama perkembangan Piaget terdiri atas enam tahapan yaitu ,(Crain, 2007)
Tahap 1 (lahir-1 bulan) : penggunaan refleks-refleks
Tahap 2 (1-4 bulan) : reaksi-reaksi sirkuler primer
Tahap 3 (4-10 bulan) : reaksi-reaksi sirkuler sekunder
Tahap 4 (10-12 bulan) : koordinasi skema-skema sekunder
Tahap 5 (12-18 bulan : reaksi-reaksi sirkuler tersier
Tahap 6 (18 bulan-2 tahun) : permulaan berpikir
Selama tahap 1 dan 2, bayi-bayi tidak memiliki konsepsi objek apapun diluar mereka.
Namun begitu, di tahap 3 bayi menjadi tertarik pada dunia eksternal. Jika sebuah objek
dijatuhkan dihadapan bayi, mereka sekarang akan melihat ketempat dimana objek itu jatuh.
Tahap 4 menandai awal pengertian sejati permanensi objek. Bayi-bayi sekarang dapat
menemukan objek-objek yang tersembunyi sepenuhnya. Ditahap 5, anak-anak bisa mengikuti
serangkaian pemindahan, namun selama mereka melihat kita melakukannya. Baru pada tahap
6 anak-anak dapat mengikuti serangkaian pemindahan yang tidak tampak.(Crain, 2007)
2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir
konkret (7-11 tahun)
Diakhir periode sensori motorik anak telah mengembangkan tindakan yang efisien dan
terorganisasikan dengan baik untuk menghadapi lingkungannya di hadapannya. Anak terus
menggunakan kemampuan sensori motorik di seluruh kehidupannya, meskipun terjadi
perubahan yang cukup besar. Peikiran anak berkembang cepat ke sebuah tataran baru yaitu
simbol-simbol. Akibatnya anak harus mengorganisasikan seluruh pemikirannya sekali lagi.
Namun hal ini tidak bisa dilakukan sekaligus. Untuk beberapa saat, selama seluruh periode praoperasional, pikiran anak pada dasarnya tidak sistematis dan logis. Baru pada usia tujuh tahun
atau lebih, yaitu permulaan berpikir konkret, pemikiran jadi terorganisasikan di atas sebuah
landasan mental.(Crain, 2007)
Dalam periode ini terdapat ciri perkembangan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(Crain, 2007)
Pertumbuhan aktivitas simbolik
Anak mulai menggunakan simbol ketika mereka menggunakan sebuah objek untuk
merepresentasikan sesuatu yang tidak hadir. Salah satu sumber utama simbol ini adalah
bahasa, yang berkembang cepat selama tahun-tahun pra operasional awal (2-4 tahun).
Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu, mengantisipasi masa
depan, dan mengkomunikasi peristiwa kepada orang lain. Namun karena pikiran anak
kecil cepat berkembang, mereka belum dapat memiliki sifat logis yang koheren. Hal ini
terlihat dalam penggunaan kata-kata.
Penalaran ilmiah
Salah satu eksperimen Piaget yang paling kontroversi adalah pengkonservasian
kuantitas-kuantitas (beda cair) yang bersambungan. Anak-anak umunya mencapai
pengkonservasian benda cair kira-kira pada usia 7 tahun. Mereka sedang memasuki
tahapan berpikir konkret. Penting untuk dicatat bahwa operasi berpikir adalah suatu
tindakan mental. Anak sedang membawa pengkompensasian dalam pikirannya. Anak
tidak sungguh-sungguh melakukan transformasi yang dibicarakannya. Transformasi
yang dilakukan mirip dengan yang dimiliki bayi namun sekarang lebih berlangsung di
tataran internal.
Pemikiran sosial
Dalam pemikiran sosial ini terdapat egosentrisme, penilaian moral, keberjiwaan, dan
mimpi-mimpi. Egosentrisme, mengacu pada ketidakmampuan untuk membedakan
perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain. Namun begitu, bukan berarti tidak
mengandung pementingan diri atau kesombongan. Penilaian moral, menurut Piaget ada
dua sikap moral mendasar ; (1) karakteristik anak yang lebih muda usianya adalah
heteronomi moral, sebuah kepatuhan membuta pada aturan-aturan yang dipaksakan
orang dewasa. Anak berasumsi bahwa terdapat sebuah hukum dasyat yang mesti mereka
ikuti. Pemikiran ini berasal dari anak yang lebih tua usianya, disebut otonomi moral,
menganggap aturan-aturan sebagai piranti manusia yang diproduksi oleh kesetaraan
semata-mata demi kerja sama. Keberjiwaan , Piaget melukiskan cara-cara lain yang
didalamnya pikiran anak-anak kecil berbeda dari anak yang lebih besar dan orang
dewasa. Anak muda tidak membuat perbedaan yang sama antara benda hidup dan tidak
hidup seperti yang biasanya dilakukan orang dewasa. Mimpi-mimpi, anak kecil
memandang mimpi berdasarkan pentahapan tertentu. Mulanya anak-anak percaya kalau
mimpi itu nyata. Segera sesudahnya, anak-anak menemukan kalau mimpi itu tidak nyata,
namun mereka masih melihat mimpi dengan cara yang agak berbeda dari anak-anak yang
lebih besar atau orang dewasa melihatnya.(Crain, 2007)
2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi Berpikir Formal (11 tahun- dewasa)
Ditahapan operasi berpikir konkret anak-anak dapat berpikir sistematis berdasarkan
‘tindakan-tindakan mentalnya’. Namun begitu, ada keterbatasan dalam kemampuan ini.
Mereka bisa berpikir logis dan sistematis hanya selama mengacu pada objek-objek yang bisa
diindera yang tunduk pada aktivitas riil.(Crain, 2007)
Selama operasi-operasi berpikir formal, sebaliknya, pemikiran membumbung tinggi ke
wilayah abstrak murni dan hipotesis. Kemampuan bagi penalaran abstrak bisa dilihat pada
respon-respon kepada pertanyaan-pertanyaa. Sama seperti periode lainnya, Piaget
memperkenalkan model logiko-matematis untuk melukiskan operasi berpikir formal. Modelmodel ini dalam beberapa hal mirip dengan yang diterapkan pada tingkat-tingkat
perkembangan sebelumnya, namun sekaligus melampauinya.(Crain, 2007)
2.4.2
Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah
Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak perspektif
berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains, evaluasi
terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya.(Barz and Achimaș-Cadariu, 2015)
Pendekatan pendidikan yang pertama, lebih berfokus pada interaksi antara berbagai
aspek penalaran ilmiah kolaboratif, ketimbang menganalisis produk dari pemikiran individual
(Dunbar and Fugelsang, 2005). Pandangan tentang pengembangan penalaran ilmiah ini spesifik
untuk teori pendidikan konstruktivis, dimana menurut teori ini, pembelajaran lebih merupakan
proses aktif dibandingkan mekanisme independen untuk memperoleh pengetahuan. Menurut
teori ini, mengembangkan keterampilan penelitian ilmiah pada siswa terutama dilakukan
dengan cara mengubah keyakinan mereka agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang
dipikul oleh masyarakat. Konstruktivisme memberikan dasar filosofis untuk perubahan
konseptual untuk membangun keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan juga dalam
pendidikan kedokteran(Colburn, no date; Maudsley and Strivens, 2000).
Pendekatan pendidikan kedua menempatkan lingkungan belajar sebagai dasar otentik
untuk
mengembangkan
keterampilan penalaran
pada
siswa.
"Teori
pembelajaran
situatif"(Lave, 1991) menawarkan pendekatan instruksional, dimana siswa cenderung
diarahkan untuk belajar dengan cara berpartisipasi aktif dalam pengalaman belajar. Perspektif
ini mengklaim bahwa pengetahuan prosedural dapat diperoleh dari pemecahan masalah; siswa
belajar dari pengalaman orang lain dalam memecahkan permasalahan yang sama (Patel et al.,
2009).
Teori lainnya, yang berusaha memberikan landasan untuk pengembangan keterampilan
penalaran ilmiah dalam pendidikan, berhubungan dengan perspektif kognitif. Teori Adaptive
Character of Thought (ACT-R), yang dikembangkan oleh Anderson [10], mengusulkan bahwa
kognisi muncul dari interaksi antara pengetahuan prosedural dan deklaratif. Pengetahuan
prosedural terdiri dari production rules, yang mewakili pertanyaan "bagaimana", sedangkan
pengetahuan deklaratif terdiri dari fakta, yang mewakili pertanyaan "apa".Menurut teori ACTR, “kognisi manusia tergantung pada
jumlah
pengetahuan
yang
dikodekan
dan
penyebaran efektif dari pengetahuan yang dikodekan tersebut ”(Anderson, 1996; Koedinger
and Anderson, 1998).
Sebagai upaya untuk mengintegrasikan peran memori ke dalam teori dan praktik dari
pendidikan, Sweller dan Chandler (Chandler and Sweller, 1991) mengusulkan Teori Beban
Kognitif/ Cognitive Load Theory (CLT). CLT menyebutkan bahwa komponen dari pengajaran
yang efektif akan memfasilitasi pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan terarah yang relevan,
sedangkan model
pembelajaran yang tidak efektif mengakibatkan peserta
didik
mengintegrasikan informasi yang berbeda, serta dari sumber terpisah, yang akan menghasilkan
beban kognitif yang berat. Berdasarkan temuan penelitian Sweller dan handler, pada area-area
dimana akuisisi pengetahuan kompleks diperlukan dalam asimilasi lebih dari dua sumber
informasi, model pengajaran konvensional seharusnya diganti dengan desain instruksional
terintegrasi.
Singkatnya, pengembangan penalaran ilmiah dalam pendidikan kedokteran dapat
ditelusuri melalui dua pengaruh utama ini: teori belajar kognitif, yang berfokus pada proses
kognitif individu, dan teori pembelajaran konstruktivis, yang berfokus pada interaksi dalam
lingkungan pendidikan. Kedua perspektif ini memberikan kontribusi yang berharga dalam
desain dan implementasi metode pendidikan(Lave, 1991).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Manfaat dari penalaran ilmiah
adalah untuk memberikan kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran
ilmiah (scientific mind) dan untuk pengujian hipotesis. Model Hypothesis-deductive adalah
salah satu model yang digunakan untuk penalaran ilmiah dan penelitian. Perkembangan
manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode oleh Piaget.
Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak perspektif
berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains, evaluasi
terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, H. M. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, halaman: 26.
Anderson, J. 1996. ‘ACT: A simple theory of complex cognition’, American Psychologist, 51,
pp. 355–365.
Angles, P. L. 1981. A Dictionary of Philosophy. London: Harper & Row Publishers. Halaman:
40.
Barz, D. L. and Achimaș-Cadariu, A. 2015. ‘The Development of Scientific Reasoning in
Medical Education: A Psychological Perspective’, Medicine and Pharmacy Reports,
89(1), pp. 32–37. doi: 10.15386/cjmed-530.
Britten, N., Stevenson, F.A., Barry, C.A., Barber, N., Bradley, C.P. 2000. Misunderstandings
in prescribing decisions in general practice: qualitative study. British Medical Journal;
320:484-488.
Chalmers, A.F. 1983. What is This Thing Called Science (Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj.
Redaksi Hasta Karya. Jakarta: Hasta Karya.
Chandler, P. and Sweller, L. 1991. ‘Cognitive Load Theory and the Format of Instruction,
Cognition and Instruction’, 8(4), pp. 293–332.
Colburn, A. ‘Constructivism: Science Education’s “Grand Unifying Theory”’, Clearing
House, 74(1), pp. 9–12.
Crain, William. 2007. Theories of Development, Concepts and Applications (third ed.).
Trans Yudi Santoso. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar.
Dunbar, K., & Fugelsang, J. 2005. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R.
G. Morrison (Eds.), The Cambridge handbook of thinking and reasoning (pp. 705725). New York, NY, US: Cambridge University Press.
Dunbar, K., & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G.
Morrison (Eds.), The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford
University Press,. Retrieved 20 Jul. 2019, from
https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.000
1/oxfordhb-9780199734689-e-35.
Glebbeek, A.C., Bax, E.H. 2004. Is high employee turnover really harmful? An empirical test
using company records. Academy of Management Journal;47(2):277-286.
Hadi, H. 1997. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. Halaman: 35.
Haakim, A., dkk. 2012. Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif,
dan Abduktif. Semarang: Universitas Diponegoro.
Hartanto, K., dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman: 25-27.
Hemant, D., Kathy, R. 2007. A research framework in banking studies: Researching and
writing articles a researcher’s odyssey. The Business Review, Cambridge.
Khemlani, S.S., Byrne, R.M. and Johnson‐ Laird, P.N., 2018. Facts and Possibilities: A
Model‐ Based Theory of Sentential Reasoning. Cognitive science, 42(6),
pp.1887- 1924.
Klahr, D., & Dunbar, K. 1988. Dual space search during scientific reasoning. Cognitive
Science, 54, 1–48.
Klahr, D., & Simon, H. 1999. Studies of scientific discovery: Complementary approaches and
convergent findings. Psychological Bulletin, 54, 524–543.
Koedinger, K. and Anderson, J. 1998. ‘Illustrating principled design: The early evolution of a
cognitive tutor for algebra symbolization’, Interactive Learning Environments, 5, pp.
161–180.
Komarudin. 2014. FALSIFIKASI KARL POPPER DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA
DALAM KEILMUAN ISLAM, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2.
Langevald, M. J. Op Weg Noor Weijsgering Denban, alih bahasa G.J. Claessen, “Menuju ke
Pemikiran Filsafat”. Jakarta: Pembangunan. Halaman: 35.
Lave, J. 1991. ‘Situating Learning in Communities of Practice.’, in Situated Learning
Legitimate Peripheral Participation. Cambridge University Press, pp. 63–82.
Lewis, R.W. 1998. Biology: A hypothetico-deductive science. The American Biology Teacher.;
50(6):362-366.
Maslikhah dan Susapti, P. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Ombak. Halaman: 46-47.
Maudsley, G. and Strivens, J. 2000. ‘Promoting professional knowledge, experiential
learning and critical thinking for medical students’, Med Educ, 34(7), pp. 535–544.
Meyer, C.B., Altenborg, E. 2007. The disintegrating effects of equality: a study of a failed
international merger. British Journal of Management.;18:257-271.
Moutafi, J., Furnham, A., Crump, J. 2007. Is managerial level related to personality? British
Journal of Management; 18:272-280.
Muslih, Mohamad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2. Yogyakarta: Belukar.
Patel, V. et al. 2009. ‘Cognitive and learning sciences in biomedical and health instructional
design: A review with lessons for biomedical informatics education’, J Biomed
Inform, 42(1), pp. 176–197.
Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan Ilmiah), terj. Saut
Pasaribu & Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pratiwi. 2012. PENALARAN DAN MACAM-MACAM PENALARAN. Cited from :
http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/03/penalaran-dan-macam-macampenalaran_06.html. 1 21 Juli 2019
Simon, H. A., Langley, P., & Bradshaw, G. L. 1981. Scientific discovery as problem solving.
Synthese, 54, 1–27.
Suhasti, E. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. Cet I, halaman: 69.
Suriasumantri, J. S. 1991. Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, dalam; A.M. Saifuddin, et.al.,
“Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi”. Bandung: Mizan. Halaman: 16.
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Halaman: 135-137.
White, R. A. 1970. Truth; Problem in Philosophy. New York: Doubledaly & Company.
Bernalar Ilmiah
Kelompok 8
Nama Kelompok
u
Muzayyana Sakiinah
011918026308
u
Glabela Christiana Pandango
011918116303
u
Hanindyo Riezky Beksono
011918076307
u
Harris Kristanto Gunawan
011918016307
u
Reryd Arindany Wiryawan
011918036307
u
Linda Maya Tompodung
011918176303
u
Dhikrulloh Anwar
011918066315
u
Wico Hartantri
011918166309
u
Patricia Silpiani Kandar
011918216303
u
Dewati Ayusri Artha
021728016302
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
u
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran
tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau
pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari
sesuatu yang dikehendaki (Haakim, 2012).
LATAR BELAKANG
u
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan,
memutuskan, mengembangkan dan sebagainya. Pada dasarnya setiap objek
yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu, seperti halnya dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu
metode ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode. Maka
digunakanlah metode berpikir ilmiah, metode berpikir ilmiah dapat dilakukan
melalui tiga jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif, penalaran induktif,
dan penalaran abduktif (Haakim, 2012).
RUMUSAN MASALAH
u
Apakah yang dimaksud dengan bernalar ilmiah?
TUJUAN PENULISAN
u
Tujuan umum penulisan
- Mengetahui yang dimaksud dengan bernalar ilmiah.
u
Tujuan khusus penulisan
- Mengetahui dasar-dasar penalaran ilmiah.
- Mengetahui metode penalaran ilmiah dalam penelitian.
- Mengetahui kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah.
- Mengetahui skill bernalar ilmiah dan cara mengembangkannya.
BAB 2
DASAR-DASAR PENALARAN ILMIAH
Definisi
Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007 : 14) istilah penalaran
mengandung tiga pengertian diantaranya:
(1)
Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis.
(2) Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan
perasaan atau pengalaman
(3) Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari
beberapa fakta atau prinsip.
Ciri – ciri penalaran
(1)
dilakukan dengan sadar
(2) didasarkan oleh sesuatu yang sudah di ketahui
(3) Sistematis
(4) terarah dan bertujuan
(5) Menghasilkan kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap terbaru
(6) sadar tujuan
(7) premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan
(8) pola pemikiran tertentu
(9) sifat empiris nasional.
Definisi
u
u
Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan. (Jujun Suriasumantri)
Ciri – ciri penalaran :
(1)
proses berpikir logis kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan
kata lain menurut logika tertentu.
(2)
sifat analitik dari proses berpikirnya.
Penalaran adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang
logis berdasarkan fakta yang relevan proses penafsiran fakta sebagai dasar
untuk menarik kesimpulan.
TEORI
PERKEMBANGAN
MANUSIA
KOGNITIF – JEAN PIAGET
Biografi
•
•
•
•
•
•
•
Lahir di Neuchatel, Swiss pada tahun 1896
Usia 10 tahun menerbitkan artikel tentang burung albino
Usia 15 tahun menyadari bahwa keyakinan agama dan
filosofisnya kekurangan fondasi ilmiah
Usia 24 tahun mulai mempelajari tingkah laku anak-anak
Usia 29 tahun bersama istrinya mulai mempelajari
perkembangan anak yaitu dengan mengamati
perkembangan anak-anaknya sendiri
Tahun 1940-an mulai fokus pada penelitian
perkembangan kognitif anak-anak
Meninggal pada tahun 1980 di Jenewa, Swiss
Sudut Pandang Piaget
•
Pendekatan yang dilakukan Piaget dalam meneliti
perkembangan kognitif anak adalah pendekatan sains,
yaitu konsep-konsep biologis yang dibatasi pada sifatnya
saja
• Selain itu Piaget juga memperhatikan kecenderungan
biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu asimilasi,
akomodasi, dan organisasi
• Perkembangan merupakan sebuah proses konstruktif
yang aktif, dimana anak, melalui aktivitasnya membangun
struktur-struktur kognitif yang makin berbeda dan
komprehensif
Asimilasi
•
•
•
•
•
Asimilasi memasukkan sesuatu
Dalam tindakan berarti memasukkan suatu objek ke
dalam objek lain
Contoh: menggenggam sendok
Dalam pikiran berarti memasukkan informasi ke dalam
pikiran
Contoh: pemahaman tentang virus Zika
Akomodasi
•
•
•
•
•
Akomodasi membuat perubahan dalam struktur
Dalam tindakan berarti membuat perubahan struktur
suatu objek menjadi lebih baik.
Contoh: meletakkan beberapa batang bambu di bawah
lemari besar supaya lebih mudah mendorongnya
Dalam pikiran berarti mengkontruksi cara-cara yang lebih
efisien dan elaboratif dalam mengahadapi sesuatu hal
Contoh: penanganan banjir di Jakarta
Organisasi
•
•
•
•
•
Organisasi mengkombinasikan beberapa hal
Dalam tindakan berarti merangkai beberapa tindakan
sederhana menjadi suatu tindakan yang lebih sukar
Contoh: makan mie menggunakan sumpit
Dalam pikiran berarti menggabungkan ide-ide menjadi
teori
Contoh: perumusan teori atom Dalton
Periode Perkembangan Piaget
Periode Sensorimotor
Perkembangan Permanensi Objek
•
Pada tahap ini Piaget menggamati bagaimana bayi
mengkonstruksi konsep-konsep tentang objek permanen,
waktu, ruang, dan kausalitas, dan bagaimana mereka
mengembangkan kemampuan untuk bermain.
• Pada awal periode ini, bayi tidak memiliki perngertian
tentang objek-objek yang independen dari pandangan
atau tindakan mereka.
• Pada akhir periode ini, objek-objek jadi terpisah dan
permanen.
• Dengan demikian anak-anak bisa mengembangkan suatu
semesta yang mengandung objek-objek indelpenden
dimana mereka hanyalah satu diantara objek lainnya.
Periode Pra-operational
Pertumbuhan Aktifitas Simbolik
•
Pada periode ini, anak-anak mulai menggunakan simbolsimbol ketika mereka menggunakan sebuah objek atau
tindakan untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak
hadir.
• Simbol-simbol pertama bersifat motorik, baru setelah itu
meningkat menjadi simbol-simbol linguistik.
• Bahasa mengembangkan cakrawala anak-anak. Lewat
bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu,
mengantisipasi masa depan, dan mengkomunikasikan
peristiwa-peristiwa pada orang lain.
Penalaran Ilmiah
•
Pada periode ini anak-anak masih sulit untuk memahami
jumlah dalam bentuk 3 dimensi.
• Biasanya mereka hanya melihat 1 dimensi saja.
• Pemahaman jumlah dalam 3 dimensi akan tercapai pada
akhir periode ini.
Pemikiran Sosial
•
Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat
egosentris, menganggap segala sesuatu berasal dari satu
titik pandang saja.
• Egosentrisme mengacu kepada ketidakmampuan untuk
membedakan prespektifnya sendiri dari perspektif orang
lain
• Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat
membedakan antara benda hidup dan benda mati.
Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi, atau
bergerak.
• Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa
mimpi itu adalah suatu kenyataan.
Periode Operasi Berpikir Konkret
•
•
•
•
•
•
•
•
Berpikir dua arah dan logis
Bertanya tentang segala sesuatu dengan bahasa
sederhana
Mampu menganalisa dan mengukur
Memahami bagian dan keseluruhan suatu hubungan
Memahami jumlah, massa, berat dan volume
Menerima etika dan aturan dari orang yang lebih tua
Dapat melakukan operasi-operasi menggabungkan,
memisahkan, menyusun, mengulang, mengali, membagi,
mengurangi
Masih mengalami kesulitan memahami kalimat kompleks
Penalaran Ilmiah
•
Anak-anak usia ini sudah dapat memahami konsep
jumlah dalam tiga dimensi. Sebagai contoh air dalam
gelas jika dituang ke dalam botol jumlah isinya tetap
sama.
• Penalaran logis yang dilakukan adalah menggunakan:
1. Argumen identitas tidak ada pengurangan atau
penambahan jumlah, pasti isinya tetap sama.
2. Argumen kompensatif yang satu lebih lebar, tetapi
yang lain lebih tinggi, pasti isinya tetap sama.
3. Argumen inversi jika dituang kembali ke dalam
gelas, pasti isinya tetap sama.
Pemikiran Sosial
•
•
•
•
•
Periode ini ditandai dengan berkurangnya egosentrisne
pada anak-anak. Mereka mulai menemukan fakta bahwa
ada lebih dari satu titik pandang, yaitu titik pandang orang
lain yang berbeda dari dirinya.
Pada usia awal periode ini meyakini bahwa aturan-aturan
dari otoritas yang lebih tinggi sudah baku dan tidak bisa
diubah lagi. Mereka akan mengikutinya dengan taat.
Tetapi pada akhir periode ini anak mulai berpikir secara
relativistik yaitu aturan tidaklah baku, dapat berubah asalkan
disepakati bersama.
Pemahaman akan makhluk hidup dan benda mati berubah.
Mereka sudah menyadari mimpi itu tidak nyata.
Periode Operasi Berpikir Formal
•
•
•
•
•
Mampu berpikir abstrak dan hipotesis
Bekerja secara sistematis
Berpikir konseptual
Mengerti dan menggunakan probabilitas
Mampu membuat teori
Penalaran Ilmiah
•
Pada usia ini anak-anak sudah dapat berpikir logis dan
sistematis. Anak berpikir akan hal-hal yang abstrak dan
penalaran berdasarkan hipotesis.
• Dalam usaha memecahkan masalah, tahap usia ini sudah
menggunakan langkah-langkah metode ilmiah yaitu:
1. Merumuskan masalah;
2. Merumuskan hipotesis;
3. Mengumpulkan data;
4. Menguji hipotesis;
5. Merumuskan kesimpulan.
Analisa
•
Pembagian tahapan perkembangan kognitif berdasarkan
usia dan perkembangan biologis anak menjadi landasan
utama penelitian Piaget.
• Jika dihubungkan dengan pembagian usia anak sekolah
maka kesetaraannya adalah:
Usia Anak
Tahapan Piaget
Jenjang Pendidikan Formal
0 – 2 tahun
Sensorimotor
Belum sekolah
2 – 6 tahun
Pra-operasional
Toddler – SD kelas 2
7 – 11 tahun
Operasi konkret
SD kelas 3 – 6
12 – dewasa
Operasi formal
SMP – ......
Sensorimotor vs Belum Sekolah
Pada usia 0 – 2 tahun, bayi pada umumnya banyak
mempelajari segala sesuatu dari lingkungan keluarga.
• Karena itu orang tua perlu memahami tahapan
perkembangan bayi pada periode ini supaya dapat
memberikan stimulasi yang tepat untuk merangsang
proses membangun struktur kognitifnya.
• Dengan stimulasi yang tepat, maka perkembangan bayi
dapat mencapai tingkat kognitif yang sesuai dengan usia
mereka.
•
Pra-operasional vs Toddler – SD Kelas 2
Usia 2 – 6 tahun ditandai dengan periode permulaan
sosialisasi pada anak. Dari lingkungan keluarga kepada
lingkungan sekolah. Diharapkan terjadi perubahan sikap
akibat dipertemukan dengan komunitas yang lebih besar.
• Ada anak yang mulai sekolah dari usia 2 tahun (Toddler), 3
tahun (KB), 4 tahun (TK) atau bahkan langsung usia 6 tahun
(SD). Dianjurkan minimal anak mulai bersekolah usia 4
tahun (TK).
• Peran orang tua mulai berkurang, peran guru dan teman
sebaya muncul dalam perkembangan kognitif anak pada
periode ini. Faktor lingkungan (sekolah) sangat berperan
dalam proses anak mencapai tingkat kognitif yang sesuai
dengan usianya. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat.
•
Operasi Konkret vs SD Kelas 3 – 6
Periode usia 7 – 11 tahun merupakan usia yang paling
tepat untuk mulai memperkenalkan anak pada logika
matematika. Anak dapat memahami dan melakukan
operasi-operasi hitung dasar seperti tambah, kurang, kali,
dan bagi.
• Karena itu diharapkan sekolah juga memahami
perkembangan kognitif anak sehingga dapat
menyampaikan pengajaran yang tepat, sesuai dengan
perkembangan usia anak.
•
Operasi Formal vs SMP –.....
•
Pada tahap ini tingkat kognitif anak sudah hampir atau
menyamai tingkat kognitif orang dewasa sehingga proses
belajar bila dilakukan dengan lebih logis dan abstrak.
• Anak-anak sudah dapat bekerja sama, berdiskusi, dan
bereksperimen dalam memecahkan masalah bahkan
menemukan gagasan baru.
• Sekolah diharapkan dapat membantu proses belajar anak
dengan metode-metode yang dapat merangsang
perkembangan kognitif anak seperti eksperimen, studi
kasus, debat, dan lain-lain.
• Anak mulai diarahkan untuk menemukan tujuan masa
depannya.
PERAN BERPIKIR DEDUKSI,
INDUKSI DAN ABDUKSI DALAM
BERNALAR ILMIAH
PENALARAN
STIMULUS
(INDRA)
PROSES
BERPIKIR
RESPON /
TANGGAPAN
PENALARAN ILMIAH adalah ketrampilan berpikir
cepat dan tepat yang melibatkan proses berpikir untuk
menghasilkan Kesimpulan berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman seseorang.
u
PENALARAN adalah Karakteristik ILMIAH yang digunakan para peneliti.
3 JENIS PENALARAN
KARAKTERISTIK
PENALARAN:
LOGIS dan
ANALITIK
DEDUKTIF
INDUKTIF
ABDUKTIF
PENALARAN DEDUKTIF
Pernyataan yang
bersifat universal
(umum) ditarik
kesimpulan yang
bersifat individual
(khusus).
Penalaran deduktif mempergunakan pola
SILOGISMUS. Terdiri dari PREMIS yang dibedakan
sebagai Premis Mayor Dan Premis Minor.
Kesimpulan merupakan pengetahuan yang
didapat dari penalaran deduktif berdasarkan
kedua permis tersebut.
PENALARAN INDUKTIF
Proses peningkatan
dari hal-hal bersifat
individual (khusus)
ke hal-hal yang
bersifat universal
(umum).
Premis-premis dari induksi ialah proposisi
empiris yang langsung kembali kepada suatu
observasi indra atau proposisi dasar (basic
statement). Proposisi dasar fakta pikiran tidak
dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan
tetapi hanya dapat menerimanya.
Penalaran ini terbagi atas:
u
Generalisasi Induktif
u
Analogi Induktif
PENALARAN ABDUKTIF
Kurang
umum
dibandingkan
penalaran
induksi dan
deduksi.
Penalaran abduksi adalah sebuah cara pembuktian
yang memungkinkan Hipotesa-hipotesa Dibentuk.
Pembuktian ini bertolak dari sebuah Kasus Partikular
menuju sebuah “Penjelasan Yang Mungkin”.
Abduksi tetap merupakan salah satu dari tiga bentuk
pokok inferensi, dengan bentuk probable yaitu TIDAK
memberikan Kepastian Mutlak.
Gambar 2.1 Contoh perbedaan
penalaran deduktif, abduktif, dan
induktif (Dunbar, 2005).
Penalaran Deduktif dimulai dari
hal umum ke khusus membentuk
sebuah kesimpulan.
Penalaran Induksi dimulai dari hal
individual berdasarkan fakta
kemudian ditarik sebuah
kesimpulan.
Penalaran Abduksi pemikir
berusaha untuk menghasilkan
penjelasan dari bentuk “jika
situasi X telah terjadi, dapatkah
itu menghasilkan bukti meskipun
kesimpulannya belum tentu benar
atau tidak mutlak.
METODE PENALARAN ILMIAH DALAM
PENELITIAN
Bab II – Metode Penalaran Ilmiah dalam
Penelitian
u
Proses berpikir tersebut, antara lain berupa induksi, deduksi, desain eksperimen,
penalaran sebab akibat/kausal, pembentukan konsep, uji hipotesis, dll. (Dunbar, K., &
Klahr, D., 2012).
Penalaran Ilmiah
sebagai Problem
Solving
Problem
Space
Representasi dan
prosedur
Experiment
Space
Domain-specific
Knowledge
Hypothesis
Space
Penalaran Ilmiah sebagai Pengujian
Hipotesis
u
Hipotesis = dugaan sementara.
u
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani hypo yang berarti di bawah dan thesis
yang bersinonim dengan pendirian, pendapat yang ditegakkan, dan kepastian.
u
Hipotesis berarti pendapat yang kebenarannya masih diragukan
u
Agar dapat dipastikan kebenarannya, maka suatu hipotesis harus diuji atau
dibuktikan kebenarannya.
Hypothesis testing
Proses mengevaluasi sebuah proposisi yang diperoleh dari pengumpulan data mengenai sebuah
kebenaran.
Kelas
A
H3
Strategi
penalaran
Ilmiah
H2
H1
Kelas
B
Hipotesis
Analogi dan
penggambaran
Hipothesis- deduktive
u
Hipotesis: sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan
pendapat (teori, proposisi, dan sebagainya) meskipun kebenarannya masih
harus dibuktikan; anggapan dasar
u
Deduktive/ deduksi: penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum;
penyimpulan dari yang umum ke yang khusus
Pendahuluan
u
Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper merupakan salah satu kritikus abad ke-20
yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina.
u
Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosof yang tergabung di lingkaran
Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam
bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan
dunia ketiga
u
Dalam masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi yang
didasarkan pada prinsip induksi (Popper, 2008 : 4). Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah
diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali
memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B” (Chalmers, 1983 : 5)
u
Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa
dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori selalu
terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka
memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat
kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika
secara prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya
Langkah-langkah metode HypothesisDeductive
1.
Mengidentifikasi area masalah yang luas di mana masalah utama terjadi untuk melakukan
proyek penelitian.
2.
Mendefinisikan rumusan masalah. Ini bisa menjadi penelitian ilmiah dengan tujuan pasti dan
tujuan umum penelitian.
3.
Pengembangan hipotesis yang harus diuji dan dapat difalsifikasikan.
4.
Mengukur kerangka teoritis dan jika tidak terukur maka harus kualitatif.
5.
Pengumpulan data berdasarkan kuantitatif dan data kualitatif.
6.
Analisis data dilakukan untuk memeriksa apakah hipotesis yang dihasilkan didukung.
7.
Menafsirkan data untuk mencari tahu makna hasil.
Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran
Non Ilmiah
KEBENARAN ILMIAH
u
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda
yang konkret maupun abstrak
u
Arti kebenaran itu bergantung pada preposisi yang mengikuti di
belakangnya.
u
Kebenaran memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu
dengan yang lain
MACAM DEFINISI KEBENARAN
Kebenaran
berkaitan
dengan kualitas
pengetahuan
Kebenaran
berkaitan
dengan sifat
atau
karakteristik
Kebenaran yang
dikaitkan atas
ketergantungan
terjadinya
pengetahuan
• Objek yang
spesifik dengan
metodologi yang
telah disepakati
para ahli ilmu
• Inti kebenaran
yang bersifat
subjektif
KEBENARAN
BERKAITAN
DENGAN
KUALITAS
PENGETAHUAN
• Pengetahuan
yang memiliki
sifat dogmatis
1.
Pengetahuan
Biasa
2.
Pengetahuan
Ilmiah
4.
Pengetahuan
Agama
3.
Pengetahuan
Filsafati
• Pendekatannya
melalui
metodologi
pemikiran
filsafati
Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan Akal Budi
KEBENARAN
BERKAITAN
DENGAN SIFAT
ATAU
KARAKTERISTIK
Pengetahuan Intuitif
Pengetahuan Kepercayaan
atau otoritatif
KEBENARAN YANG
DIKAITKAN ATAS
KETERGANTUNGA
N TERJADINYA
PENGETAHUAN
Artinya bagaimana relasi antara subjek dan
objek. Jika subjek yang lebihberperan maka
kebenarannya bersifat subjektif, dan begitu
pula sebaliknya.
SYARAT KARAKTERISTIK ILMIAH
Obyektif
Metodik
Sistematik
Berlaku umum/universal
TEORI KEBENARAN
Teori Koherensi
(Coherence
Theory)
Teori
Korespondensi
(Correspondence
Theory)
Teori
Pragmatisme
(Pragmatic
Theory)
TEORI KOHERENSI (COHERENCE THEORY)
Paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam
keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang
dikandunganya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar
“Veritas de raison” yaitu, kebenaran-kebenaran yang masuk akal
Melahirkan berpikir deduksi yang sangat diperlukan untuk matematika.
Teori ini dikenal juga sebagai teori justifikasi, karena dukungan dari keputusan-keputusan
yang terdahulu yang sudah diakui dan diterima kebenarannya.
TEORI KORESPONDENSI (CORRESPONDENCE THEORY)
Teori yang paling tua (Tradisional)
Suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan
halnya
Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang
dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sesungguhnya merupakan halnya, atau
apa yang merupakan fakta-faktanya
Teori kebenaran ini termasuk dalam katagori “veritas desfait” yaitu kebenaran-kebenaran
berdasarkan kenyataan
Melahirkan cara berpikir induksi yang tampak dalam statistika.
TEORI PRAGMATISME (PRAGMATIC THEORY)
pandangan Filsafat kontemporer yang berkembang pada akhir abad ke-19.
The Pragmatic Theory of Truth, menurut Patrick : “Teori, hipotesa atau idea adalah benar
apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik,
apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh
akibat-akibat praktisnya. “
suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia.
Benar sesuatu itu jika berfungsi dan berguna, tidak benar jika tidak berfungsi dan tidak
berguna.
KEBENARAN NON ILMIAH
PENGETAHUAN
BIASA
MITOS
WAHYU
UPAYA MENEMUKAN KEBENARAN NON ILMIAH
• Dapat diterima dalam
• Tanpa kepastian akan
metode keilmuan untuk
berhasil
menggali pengetahuan
berhasil
Penemuan secara
kebetulan
atau
Penemuan “coba
dan ralat” (trial and
error)
tidak
• Pendapat orang yang
memiliki kewibawaan
Penemuan mll
otoritas/kewibawaan
TABEL KEBENARAN
Tabel Kebenaran
Ingkaran (Negasi)
Tabel Kebenaran
Negasi Konjungsi
Tabel Kebenaran
Negasi Disjungsi
Tabel Kebenran
Konjungsi
Tabel Kebenaran
Biimplikasi
Tabel Kebenaran
Negasi Implikasi
Tabel Kebenaran
Disjungsi
Tabel Kebenaran
Implikasi
Tabel Kebenaran
Negasi
Biimplikasi
Skill bernalar ilmiah
SKILL BERNALAR ILMIAH
Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah
Manusia oleh Piaget
Mengembangkan Keterampilan Bernalar
Ilmiah
u
Keterampilan bernalar ilmiah dikembangkan melalui beberapa model pendidikan
u
Model-model Pendidikan tersebut, antara lain
u
Model Kontruktivis
u
u
Model Pembelajaran Situatif
u
u
Penalaran ilmiah dapat diperoleh dari pemecahan masalah serta pembelajaran dari pengalaman
orang lain dalam memecahkan permasalahan yang sama
Model Adaptive Character of Thought (ACT-R)
u
u
Keterampilan penalaran ilmiah dikembangkan dengan cara mengubah keyakinan agar sejalan
dengan prinsip-prinsip ilmiah yang dipikul oleh masyarakat
Penalaran manusia tergantung pada jumlah pengetahuan yang tersimpan di dalam pikiran
manusia dan penjabaran yang efektif dari pengetahuan yang tersimpan tersebut
Model Beban Kognitif/ Cognitive Load Theory (CLT)
u
Penalaran dapat dikembangkan dengan pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan terarah yang
relevan
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
u
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera
(observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.
Manfaat dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan kerangka berpikir
yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific mind) dan
untuk pengujian hipotesis. Model Hypothesis-deductive adalah salah satu
model yang digunakan untuk penalaran ilmiah dan penelitian. Perkembangan
manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode
oleh Piaget. Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan
memiliki banyak perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode
pengajaran pendidikan sains, evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain
sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
u
Adib, H. M. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, halaman:
26
u
Anderson, J. 1996. ‘ACT: A simple theory of complex cognition’, American
Psychologist, 51, pp. 355–365.
u
Angles, P. L. 1981. A Dictionary of Philosophy. London: Harper & Row
Publishers. Halaman: 40.
u
Barz, D. L. and Achimaș-Cadariu, A. 2015. ‘The Development of Scientific
Reasoning in Medical Education: A Psychological Perspective’, Medicine and
Pharmacy Reports, 89(1), pp. 32–37. doi: 10.15386/cjmed-530.
DAFTAR PUSTAKA
u
Britten, N., Stevenson, F.A., Barry, C.A., Barber, N., Bradley, C.P. 2000.
Misunderstandings in prescribing decisions in general practice: qualitative
study. British Medical Journal; 320:484-488.
u
Chalmers, A.F. 1983. What is This Thing Called Science (Apa itu yang
Dinamakan Ilmu), terj. Redaksi Hasta Karya. Jakarta: Hasta Karya.
u
Chandler, P. and Sweller, L. 1991. ‘Cognitive Load Theory and the Format of
Instruction, Cognition and Instruction’, 8(4), pp. 293–332.
u
Colburn, A. ‘Constructivism: Science Education’s “Grand Unifying Theory”’,
Clearing House, 74(1), pp. 9–12.
DAFTAR PUSTAKA
u
Crain, William. 2007. Theories of Development, Concepts and Applications
(third ed.). Trans Yudi Santoso. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar.
u
Dunbar, K., & Fugelsang, J. 2005. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J.
Holyoak & R. G. Morrison (Eds.), The Cambridge handbook of thinking and
reasoning (pp. 705-725). New York, NY, US: Cambridge University Press.
u
Dunbar, K., & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J.
Holyoak & R. G. Morrison (Eds.), The Oxford Handbook of Thinking and
Reasoning. Oxford University Press,. Retrieved 20 Jul. 2019, from
https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199734689.
001.0001/oxfordhb-9780199734689-e-35.
DAFTAR PUSTAKA
u
Glebbeek, A.C., Bax, E.H. 2004. Is high employee turnover really harmful? An
empirical test using company records. Academy of Management
Journal;47(2):277-286.
u
Hadi, H. 1997. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
Halaman: 35.
u
Haakim, A., dkk. 2012. Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran
Deduktif, Induktif, dan Abduktif. Semarang: Universitas Diponegoro.
u
Hartanto, K., dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press.
Halaman: 25-27.
u
Hemant, D., Kathy, R. 2007. A research framework in banking studies:
Researching and writing articles a researcher’s odyssey. The Business Review,
Cambridge.
DAFTAR PUSTAKA
u
Khemlani, S.S., Byrne, R.M. and Johnson-Laird, P.N., 2018. Facts and
Possibilities: A Model-Based Theory of Sentential Reasoning. Cognitive
science, 42(6), pp.1887-1924.
u
Klahr, D., & Dunbar, K. 1988. Dual space search during scientific reasoning.
Cognitive Science, 54, 1–48.
u
Klahr, D., & Simon, H. 1999. Studies of scientific discovery: Complementary
approaches and convergent findings. Psychological Bulletin, 54, 524–543.
u
Koedinger, K. and Anderson, J. 1998. ‘Illustrating principled design: The early
evolution of a cognitive tutor for algebra symbolization’, Interactive
Learning Environments, 5, pp. 161–180.
DAFTAR PUSTAKA
u
Komarudin. 2014. FALSIFIKASI KARL POPPER DAN KEMUNGKINAN
PENERAPANNYA DALAM KEILMUAN ISLAM, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6,
Nomor 2.
u
Langevald, M. J. Op Weg Noor Weijsgering Denban, alih bahasa G.J. Claessen,
“Menuju ke Pemikiran Filsafat”. Jakarta: Pembangunan. Halaman: 35.
u
Lave, J. 1991. ‘Situating Learning in Communities of Practice.’, in Situated
Learning Legitimate Peripheral Participation. Cambridge University Press, pp.
63–82.
u
Lewis, R.W. 1998. Biology: A hypothetico-deductive science. The American
Biology Teacher.; 50(6):362-366.
DAFTAR PUSTAKA
u
Maslikhah dan Susapti, P. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Ombak.
Halaman: 46-47.
u
Maudsley, G. and Strivens, J. 2000. ‘Promoting professional knowledge,
experiential learning and critical thinking for medical students’, Med Educ,
34(7), pp. 535–544.
u
Meyer, C.B., Altenborg, E. 2007. The disintegrating effects of equality: a
study of a failed international merger. British Journal of
Management.;18:257-271.
u
Moutafi, J., Furnham, A., Crump, J. 2007. Is managerial level related to
personality? British Journal of Management; 18:272-280.
u
Muslih, Mohamad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma
dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2. Yogyakarta: Belukar.
DAFTAR PUSTAKA
u
Patel, V. et al. 2009. ‘Cognitive and learning sciences in biomedical and
health instructional design: A review with lessons for biomedical informatics
education’, J Biomed Inform, 42(1), pp. 176–197.
u
Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan
Ilmiah), terj. Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
u
Pratiwi. 2012. PENALARAN DAN MACAM-MACAM PENALARAN. Cited from :
http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/03/penalaran-dan-macammacampenalaran_06.html. 1 21 Juli 2019
u
Simon, H. A., Langley, P., & Bradshaw, G. L. 1981. Scientific discovery as
problem solving. Synthese, 54, 1–27.
u
Suhasti, E. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. Cet I, halaman:
69.
DAFTAR PUSTAKA
u
Suriasumantri, J. S. 1991. Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, dalam; A.M.
Saifuddin, et.al., “Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi”. Bandung:
Mizan. Halaman: 16.
u
Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
u
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Halaman: 135-137.
u
White, R. A. 1970. Truth; Problem in Philosophy. New York: Doubledaly &
Company.