Academia.eduAcademia.edu

Bernalar Ilmiah Kelompok 8

MAKALAH FILSAFAT ILMU “Bernalar Ilmiah” Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K) Penulis: Muzayyana Sakiinah 011918026308 Glabela Christiana Pandango 011918116303 Hanindyo Riezky Beksono 011918076303 Harris Kristanto Gunawan 011918016307 Reryd Arindany Wiryawan 011918036307 Linda Maya Tompodung 011918176303 Dhikrulloh Anwar 011918066315 Wico Hartantri 011918166309 Patricia Silpiani Kandar 011918216303 Dewati Ayusri Artha 021728016302 UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2019 UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya tim penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Bernalar Ilmiah” dengan baik. Tim penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu tim penulis menyelesaikan makalah ini: 1. dr. Rahadian Indarto S., SpBS(K) selaku dosen pembimbing 2. Rekan-rekan penulis yang telah membantu dalam penyelesaian makalah Tim penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam makalah ini. Tim penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca. Tim penulis juga memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Surabaya, 21 Juli 2019 Tim Penulis DAFTAR ISI Sampul ..................................................................................................................................i UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................................. ii DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii DAFTAR TABEL...............................................................................................................iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................... v Bab 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 1 1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................................... 1 1.3.1 Tujuan umum penulisan...................................................................................... 1 1.3.2 Tujuan khusus penulisan..................................................................................... 1 Bab 2 PEMBAHASAN ....................................................................................................... 2 2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah ............................................................................... 2 2.1.1 Definisi................................................................................................................ 2 2.1.2 Teori Piaget ......................................................................................................... 3 2.1.3 Metode bernalar ilmiah ....................................................................................... 8 2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian ......................................................... 12 2.2.1 Manfaat penalaran ilmiah dalam penelitian ...................................................... 12 2.2.2 Hypothesis-deductive model............................................................................. 14 2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah .................................................... 18 2.3.1 Kebenaran ilmiah .............................................................................................. 18 2.3.2 Kebenaran non ilmiah ....................................................................................... 21 2.3.3 Tabel kebenaran ................................................................................................ 23 2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skill) dan Cara Mengembangkannya ............................................................................................................................. 26 2.4.1 Perkembangan keterampilan berilmiah............................................................. 26 2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun) ............................... 26 2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir konkret (7-11 tahun) ...................................................................................... 27 2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi berpikir formal (11 tahun- dewasa) .................. 28 2.4.2 Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah................................................ 29 Bab 3 PENUTUP ............................................................................................................... 31 3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 32 DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Periode Perkembangan Piaget ............................................................................. 4 Tabel 2.2 Periode Sensori Motor ......................................................................................... 4 Tabel 2.3 Periode Praoperasional ........................................................................................ 5 Tabel 2.4 ............................................................................................................................ 13 Tabel 2.5 Tabel Kebenaran ................................................................................................ 25 Tabel 2.6 Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget ......................... 26 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan penalaran deduktif .......................................................................................................... 11 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Haakim, 2012). Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dan sebagainya. Pada dasarnya setiap objek yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu, seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode. Maka digunakanlah metode berpikir ilmiah, metode berpikir ilmiah dapat dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif, penalaran induktif, dan penalaran abduktif (Haakim, 2012). 1.2 Rumusan Masalah Apakah yang dimaksud dengan bernalar ilmiah? 1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan umum penulisan Mengetahui yang dimaksud dengan bernalar ilmiah. 1.3.2 Tujuan khusus penulisan - Mengetahui dasar-dasar penalaran ilmiah. - Mengetahui metode penalaran ilmiah dalam penelitian. - Mengetahui kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. - Mengetahui skill bernalar ilmiah dan cara mengembangkannya. BAB 2 PEMBAHASAN 2.1 Dasar-Dasar Penalaran Ilmiah 2.1.1 Definisi Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, Berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi. Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi (Suriasumantri, 2001). Menurut Jujun Suriasumantri, penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Penalaran disini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang relevan. Dengan kata lain, penalaran adalah proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk menarik kesimpulan (Suriasumantri, 2001). Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007) istilah penalaran mengandung tiga pengertian diantaranya: (1) Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis.; (2) Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan perasaan atau pengalaman; (3) Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip. Penalaran mempunyai ciri-ciri yaitu (1) dilakukan dengan sadar; (2) didasarkan oleh sesuatu yang sudah di ketahui; (3) sistematis; (4) terarah dan bertujuan; (5) Menghasilkan kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap terbaru; (6) sadar tujuan; (7) premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan; (8) pola pemikiran tertentu; dan (9) sifat empiris nasional (Suriasumantri, 2001). Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar dapat dipenuhi. Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah. Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepa (Suriasumantri, 2001). 2.1.2 Teori Piaget Pendekatan yang dilakukan Piaget dalam meneliti perkembangan kognitif anak adalah pendekatan sains, yaitu konsep-konsep biologis yang dibatasi pada sifatnya saja. Selain itu Piaget juga memperhatikan kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu asimilasi, akomodasi, dan organisasi. Perkembangan merupakan sebuah proses konstruktif yang aktif, dimana anak, melalui aktivitasnya membangun struktur-struktur kognitif yang makin berbeda dan komprehensif. Menurut Piaget (1983), inteligensi dapat dilihat dari 3 perspektif berbeda: Terdapat 3 kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu : 1. Asimilasi Asimilasi  memasukkan sesuatu . Dalam tindakan berarti memasukkan suatu objek ke dalam objek lain. Contoh: menggenggam sendok. Namun, dalam pikiran berarti memasukkan informasi ke dalam pikiran. Contoh: pemahaman tentang virus Zika. 2. Akomodasi Akomodasi  membuat perubahan dalam struktur. Dalam tindakan berarti membuat perubahan struktur suatu objek menjadi lebih baik. Contoh: meletakkan beberapa batang bambu di bawah lemari besar supaya lebih mudah mendorongnya. Namun, dalam pikiran berarti mengkontruksi cara-cara yang lebih efisien dan elaboratif dalam mengahadapi sesuatu hal. Contoh: penanganan banjir di Jakarta 3. Organisasi Organisasi  mengkombinasikan beberapa hal. Dalam tindakan berarti merangkai beberapa tindakan sederhana menjadi suatu tindakan yang lebih sukar. Contoh: makan mie menggunakan sumpit. Namun, dalam pikiran berarti menggabungkan ide-ide menjadi teori. Contoh: perumusan teori atom Dalton. Tabel 2.1 Periode Perkembangan Piaget Tabel 2.2 Periode Sensori Motor Perkembangan Permanensi Objek Pada tahap ini Piaget mengamati bagaimana bayi mengkonstruksi konsepkonsep tentang objek permanen, waktu, ruang, dan kausalitas, dan bagaimana mereka mengembangkan kemampuan untuk bermain. Pada awal periode ini, bayi tidak memiliki perngertian tentang objek-objek yang independen dari pandangan atau tindakan mereka. Pada akhir periode ini, objek-objek jadi terpisah dan permanen. Dengan demikian anak-anak bisa mengembangkan suatu semesta yang mengandung objek-objek independen dimana mereka hanyalah satu diantara objek lainnya. Tabel 2.3 Periode Praoperasional Pertumbuhan Aktivitas Simbolik Pada periode ini, anak-anak mulai menggunakan simbol- simbol ketika mereka menggunakan sebuah objek atau tindakan untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak hadir. Simbol-simbol pertama bersifat motorik, baru setelah itu meningkat menjadi simbol-simbol linguistik. Bahasa mengembangkan cakrawala anak-anak. Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu, mengantisipasi masa depan, dan mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa pada orang lain. Penalaran ilmiah • Pada periode ini anak-anak masih sulit untuk memahami jumlah dalam bentuk 3 dimensi. • Biasanya mereka hanya melihat 1 dimensi saja. • Pemahaman jumlah dalam 3 dimensi akan tercapai pada akhir periode ini Pemikiran Sosial • Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris, menganggap segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja. • Egosentrisme mengacu kepada ketidakmampuan untuk membedakan prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain • Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi, atau bergerak. • Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah suatu kenyataan. • Periode berpikir konkret Berpikir dua arah dan logis • Bertanya tentang segala sesuatu dengan bahasa sederhana • Mampu menganalisa dan mengukur • Memahami bagian dan keseluruhan suatu hubungan • Memahami jumlah, massa, berat dan volume • Menerima etika dan aturan dari orang yang lebih tua • Dapat melakukan operasi-operasi menggabungkan, memisahkan, menyusun, mengulang, mengali, membagi, mengurangi • Masih mengalami kesulitan memahami kalimat kompleks • Pemiki Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris, menganggap segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja. • Egosentrisme mengacu kepada ketidakmampuan untuk membedakan prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain • Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi, atau bergerak. • Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah suatu kenyataan. • Pembagian tahapan perkembangan kognitif berdasarkan usia dan perkembangan biologis anak menjadi landasan utama penelitian Piaget. • Jika dihubungkan dengan pembagian usia anak sekolah maka kesetaraannya adal • Teori ini membagi tingkat kecerdasan kognitif manusia berdasarkan usia. • Masing-masing periode memiliki keunikan yang tidak bisa dibandingkan dengan periode lain. • Pada tahap sensorimotor dan pra-operasional Piaget masih memperhatikan aspek perkembangan sosial anak, tetapi untuk tahap operasi konkret dan formal penekanannya hanya pada perkembangan logika kognitif saja (Crain, 2007). 2.1.3 Metode bernalar ilmiah Salah satu karakteristik paling dasar dari sains adalah bahwa para ilmuwan beasumsi bahwa alam semesta mengikuti aturan yang dapat diprediksi. Para ilmuwan menggunakan berbagai strategi berbeda untuk membuat penemuan ilmiah baru. Tiga jenis penalaran yang sering digunakan ilmuwan adalah penalaran deduksi, induksi dan abduksi (Dunbar, 2005). Berikut ini akan dibahas ketiga penalaran ini beserta contohnya. 1. Deduksi Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat universal (umum) ditarik kesimpulan yang bersifat individual (khusus), selain itu metode deduksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat umum. Logika deduksi adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut bentuk saja. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola pikir yang dinamakan silogismus. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai permis mayor dan permis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. Logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulankesimpulan bila lebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah ini di antara suatu kelompok barang sesuatu. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih dahulu diajukan. Pembahasan mengenai logika deduktif itu sangat luas dan meliputi salah satu di antara persoalan-persoalan yang menarik. Contoh deduksi sebagai berikut: Semua makhluk hidup memerlukan udara (Premis mayor) Dewi adalah makhluk hidup (Premis minor) Jadi Dewi memerlukan udara (Kesimpulan) Kesimpulan yang diambil bahwa Dewi memerlukan udara adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua permis yang mendukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah. Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. 2. Induksi Menurut Aristoteles, pola penalaran induksi merupakan proses peningkatan dari hal - hal yang bersifat individual (khusus) ke hal - hal yang bersifat universal (umum). Jadi premisnya berasal dari proposisi – proposisi singular lalu konklusinya berupa sebuah proposisi universal (Khemlani, 2017). Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiris yang langsung kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement). Proposisi dasar menunjuk kepada fakta. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang dinyatakan di dalam premis-premisnya. Menurut kaidah-kaidah logika, penalaran itu tidak sahih, pikiran tidak terikat untuk menerima kebenaran konklusinya. Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk menolaknya. Penalaran induksi terbagi mejadi dua macam (Pratiwi, 2012), yaitu: - Generalisasi Induksi. Telah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi. Prinsip dasar generalisasi induksi adalah: “apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi”. Generalisasi menerangkan bahwa konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu probabilitas, suatu peluang. Syarat yang harus dipenuhi pada generalisasi induksi adalah: (1) Generalisasi harus tidak terbatas secaara numerik; artinya generalisasi tidak boleh terikat pada jumlah tertentu, (2) Generalisasi harus tidak boleh terbatas secara spasio-temporal; artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu, jadi harus berlaku dimana saja dan kapan saja dan (3) Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian; yang dimaksud “pengandaian” di sini ialah dasar dari yang disebut ‘contrary to-facts conditionals’ atau ‘unfulfilled conditional’. Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengandaian itu yang memenuhi syarat. - Analogi Induksi. Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain, dengan mengidentifikasi mencari persamaan. Pada dasarnya bentuk penalaran analogi induksi sama dengan generalisasi induksi. Tetapi dalam metode keilmuan analogi induktif itu dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu objek atau fakta itu dan sifat-sifat apakah yang dapat diharapkan padanya, sedangkan generalisasi induksi terutama digunakan untuk menemukan hukum, menyusun teori, atau hipotesis. Jadi analogi induksi tidak hanya menunjukkan persamaan di antara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas dasar persamaan tersebut. 3. Abduksi Sementara kurang umum disebutkan daripada penalaran induksi dan deduksi, penalaran abduksi adalah sebuah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesahipotesa dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju sebuah “penjelasan yang mungkin” tentang kasus. Bagi C. S. Peirce, abduksi tetap merupakan salah satu dari tiga bentuk pokok inferensi, dengan bentuk probable yaitu tidak memberikan kepastian mutlak (Dunbar, 2005). Pertimbangkan masalah berikut: Apabila pilot jatuh dari pesawat tanpa parasut, Pilot ini akan mati. Pilot ini tidak mati. Kenapa tidak? Mayoritas akan merespon, misalnya: Pesawat ini masih di darat. Pilot jatuh ke salju yang dalam. Hanya sebagian kecil yang akan menarik kesimpulan secara logis: Pilot ini tidak jatuh dari pesawat tanpa parasut. Kesimpulan yang diambill penalaran abduksi digunakan untuk menjelaskan peristiwa seperti temuan yang tak terduga dan kesimpulan ini tidak memberikan kepastian mutlak. Berikut contoh perbedaan penalaran deduksi, induksi dan abduksi yang dapat dilihat pada gambar 2.1 Gambar 2.1 Berbagai proses yang mendasari penalaran induktif, abduktif, dan penalaran deduktif (Dunbar, 2005). Pada gambar 2.1 perbedaan antara pemikiran deduktif, induktif dan abduktif disorot. Dalam penalaran deduksi dimulai dari hal umum yaitu: Semua angsa berwarna putih. Daisy adalah angsa. Daisy berwarna putih (Kesimpulan) Penalaran Induksi contohnya adalah: Daisy adalah angsa berwarna putih Danny adalah angsa berwarna putih Dante adalah angsa berwarna putih (dan begitu selanjutnya) Semua Angsa berwarna putih (Kesimpulan) Penalaran Abduksi contohnya adalah: Semua angsa berwarna putih Daisy berwarna putih Daisy adalah seekor angsa (Kesimpulan) Dalam penalaran abduksi, pemikir berusaha untuk menghasilkan penjelasan dari bentuk “jika situasi X telah terjadi, dapatkah itu menghasilkan bukti saat ini yang saya coba tafsirkan?”. Tentu saja, seperti dalam induksi klasik, penalaran seperti itu tidak sepenuhnya benar. Namun, penalaran itu melibatkan generasi pengetahuan baru, dan terkait dengan penelitian yang mendorong kreativitas. 2.2 Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian 2.2.1 Manfaat penalaran ilmiah Dalam penalaran ilmiah dikenal sebagai konsep berpikir mengenai keilmuan dan juga sebagai rangkaian proses-proses penalaran yang menjiwai bidang-bidang ilmu. Proses berpikir tersebut, antara lain berupai induksi, deduksi, desain eksperimen, penalaran sebab akibat/kausal, pembentukan konsep, uji hipotesis, dll. (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012). Pada Bab kedua ini, akan dibahas beberapa konsep umum yang sering dipakai dalam penalaran ilmiah di bidang penelitian yang dapat menjadi pedoman kolaborasi pada penalaran klinis untuk diajarkan, diterapkan, dan dikritisi lebih lanjut mengenai implementasinya untuk penalaran ilmiah dalam penelitian yang lebih efektif. - Penalaran Ilmiah sebagai Problem Solving Salah satu manfaat primer dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific mind). Penalaran ilmiah membantu pola pikir yang luas dan terbuka untuk menganalisis dan menyelesaikan permasalahan. Simon, Langley, & Bradshaw (1981) berpendapat bahwa secara umum, pemecahan masalah dikonsepkan sebagai penelusuran dalam lingkup masalah (problem space). Lingkup masalah yang dimaksudkan ini berisi berbagai kemungkinan duduk permasalahan yang mungkin dipikirkan manusia dan segala upaya yang dapat dilakukan untuk pemecah masalah dapat beralih dari satu tahap ke tahap lain dalam memecahkan masalah. Berdasarkan pemikiran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa, dengan mengetahui tipe-tipe representasi dan prosedur yang digunakan seseorang untuk bergerak dari satu tahap ke tahap lainnya, maka kita dapat memahami proses bernalar ilmiah (Dunbar, K., & Fugelsang, J., 2005). Tabel 2.4 Klahr dan Dunbar (1988) melakukan penelusuran mengenai lingkup masalah dan menyatakan bahwa penalaran ilmiah dapat dilihat dalam 2 lingkup yang berhubungan (Tabel 2.4), yakni: lingkup hipotesis dan lingkup eksperimen. Setiap lingkup masalah yang digunakan oleh ilmuwan, akan memiliki representasinya masing-masing dan operator yang dapat mengubah representasi tersebut. Penelusuran dalam lingkup hipotesis akan membatasi penelusuran dalam lingkup eksperimen. Ditemukan juga bahwa beberapa pemikir mulai dari lingkup hipotesis ke lingkup eksperimen, namun ada juga yang memulai dari lingkup eksperimen ke lingkup hipotesis. Perbedaan tipe penelusuran ini mendasari adanya perbedaan tipe-tipe hipotesis dan eksperimen. Beberapa penelitian juga memperluas pendekatan dua-lingkup ini dengan memasukkan lingkup pemecahan masalah alternatif: data, instrumentasi, dan pengetahuan bidang khusus (domain-specific knowledge) (Klahr & Simon, 1999). - Penalaran Ilmiah sebagai Pengujian Hipotesis Banyak peneliti yang mengidentikan penalaran ilmiah sebagai proses memprediksi sebuah hipotesis tertentu terhadap teori-teori. Hipotesis (atau sering disebut juga dengan hipotesa) dimaknai secara sederhana sebagai dugaan sementara. Hipotesis berasal dari bahasa Yunani hypo yang berarti di bawah dan thesis yang bersinonom dengan pendirian, pendapat yang ditegakkan, dan kepastian. Maka dengan pemaknaan bebas, hipotesis berarti pendapat yang kebenarannya masih diragukan. Agar dapat dipastikan kebenarannya, maka suatu hipotesis harus diuji atau dibuktikan kebenarannya. Pengujian hipotesis atau yang dikenal sebagai hypothesis testing diartikan sebagai proses mengevaluasi sebuah proposisi yang diperoleh dari pengumpulan data mengenai sebuah kebenaran (Dunbar, K., & Klahr, D. 2012). Untuk membuktikan kebenaran suatu hipotesis, seorang peneliti dapat dengan sengaja menciptakan suatu gejala, yakni melalui percobaan atau penelitian. Pada penelitian eksperimental kognitif pada penalaran ilmiah terkait isu spesifik, biasanya jatuh pada 2 area besar kelas investigasi. Kelas pertama berhubungan dengan tipe penalaran yang memimpin peneliti ke arah yang tidak menentu sehingga menghalangi keaslian penelitian. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan strategi penalaran ilmiah yang keliru dari peneliti dan partisipan pada uji coba. Contohnya, saat peneliti lebih condong kepada salah satu hipotesis pda satu waktu dan menghamat peneliti untuk membuat penemuan baru. Kelas kedua berhubungan dengan menyingkapkan proses-proses mental yang mendasari penciptaan hipotesis dan konsep ilmiah yang baru. Tipe penelitian ini biasanya berfokus pada penggunaan analogi dan penggambaran ilmu dan penggunaan tipe-tipe tertentu pemecahan masalah heuristik (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012). 2.2.2 Hypothesis-deductive model Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper, merupakan salah satu kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah sosial. Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi Zur Methodenfrage der Denkpsychologie (Masalah Metode dalam Psikologi Pemikiran). Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan. Usahanya ini semakin intentif ketika ia berjumpa dengan positivisme logis dari lingkaran Wina. Meski demikian, ia bukan termasuk kelompok lingkaran Wina, sebab dia merupakan kritikus paling tajam terhadap gagasan-gagasan lingkaran Wina (Muslih, 2005). Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosuf yang tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga (Muslih, 2005). Dalam masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi yang didasarkan pada prinsip induksi (Popper, 2008). Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B” (Chalmers, 1983). Proses induksi melalui observasi seperti inilah yang dipandang oleh kaum positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu atau pengetahuan. Proses induksi ini pula yang dijadikan untuk menciptakan hukum umum dan mutlak berdasarkan kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan (meaningless). Bagi kaum positivisme logis kebenaran suatu teori umum dapat ditentukan dan dibuktikan melalui prinsip verifikasi, yakni ditentukan kebermaknaan dan ketidakbermaknaannya berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris (Muslih, 2005). Selanjutnya proposisi-proposisi ilmu atau pengetahuan tersebut dipandang ilmiah, selain dibangun berdasar prinsip induksi melalui eksperimen atau observasi, juga jika dipandang memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan meramalkan (Chalmers, 1983). Suatu pengetahuan adalah ilmiah, misalnya apabila seorang ahli astronomi dapat meramalkan kapan akan terjadi gerhana bula berikutnya, atau bila seorang ahli fisika dapat menjelaskan mengapa titik mendidih air di tempat yang tinggi lebih rendah daripada di tempat yang normal. Gambaran ilmu seperti yang digambarkan oleh kaum positivism logis, atau induktifis ini memberi penegasan yang tampak meyakinkan mengenai sifat dari suatu ilmu atau pengetahuan, yakni selain dayanya yang mampu meramalkan dan menjelaskan, juga adanya sifat keobyektifan dan reliabilitasnya yang lebih unggul dibanding jenis-jenis ilmu atau pengetahuan yang lain. Karena itu, wajar jika gagasan mereka ini begitu meyakinkan dan memiliki penganut yang begitu besar. Akan tetapi bagi Popper suatu teori atau proposisi ilmu atau pengetahuan tidak dipandang bersifat ilmiah hanya karena bisa dibuktikan kebenarannya melalui verifikasi seperti anggapan mereka, tetapi karena dapat diuji (testable) dengan melalui berbagai percobaan sistematis untuk menyangkalnya. Bila suatu hipotesa atau suatu teori dapat bertahan melawan segala penyangkalan, maka kebenaran hipotesa atau teori tersebut semakin diperkokoh, atau yang oleh Popper disebut corroboration. Semakin besar upaya untuk menyangkal suatu teori, dan jika teori itu ternyata terus mampu bertahan, maka semakin kokoh pula keberadaannya. Selanjutnya Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya (refutability) (Komarudin, 2014). Berikut ini adalah langkah-langkah yang terlibat: - Mengidentifikasi area masalah yang luas di mana masalah utama terjadi untuk melakukan proyek penelitian. - Mendefinisikan rumusan masalah. Ini bisa menjadi penelitian ilmiah dengan tujuan pasti dan tujuan umum penelitian. - Pengembangan hipotesis yang harus diuji dan dapat difalsifikasikan. - Mengukur kerangka teoritis dan jika tidak terukur maka harus kualitatif. - Pengumpulan data berdasarkan kuantitatif dan data kualitatif. - Analisis data dilakukan untuk memeriksa apakah hipotesis yang dihasilkan didukung. - Menafsirkan data untuk mencari tahu makna hasil. Menurut (Lewis 1998) "Pandangan yang keliru tentang metode ini ditambah tidak adanya definisi teori yang tepat menyesatkan perkembangan awal saya dalam sains" (hal. 362). Ilmu-ilmu seperti biologi, fisika, geologi dan kimia semua didasarkan pada metode Hypothesis-deductive. Banyak guru dan penulis menyesatkan siswa mereka tentang metodologi dasar subjek. Teori ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh dalam materi pelajaran yang berbeda seperti jika cahaya bergerak dalam gelombang konsentris maka cahaya harus melewati celah. Percobaan yang dilakukan menunjukkan bahwa cahaya melewati kedua celah dan menciptakan layar pola ketiga dari kedua band (hasil yang diharapkan) dan karenanya mendukung hipotesis alternatif bahwa cahaya bergerak dalam gelombang konsentris (kesimpulan). Dengan cara yang sama, metode ini dapat digunakan dalam semua materi pelajaran yang berbeda untuk menemukan kesimpulan, eksperimen, hipotesis, dan hasil. Metode Hypothesis-deductive mengkonfirmasi sebuah teori ketika perbedaan prediksi dan observasi kecil dan mengonfirmasi ketika perbedaan besar (Rakover, 2002). Sebagian besar fokus dalam metodologi ilmiah adalah untuk mengurangi perbedaan antara prediksi dan pengamatan. Ini adalah komponen penting dari metode Hypothesisdeductive. Metode Hypothesis-deductive menguji hipotesis empiris dan teori-teori dengan baik dan banyak digunakan oleh para ilmuwan. Peneliti yang berbeda telah menggunakan metode Hypothesis-deductive dengan tujuan penelitian yang berbeda. Glebbeek AC, menggunakan metode untuk menguji hipotesis untuk turnover karyawan dan kinerja perusahaan untuk memiliki hubungan terbalik berbentuk U, terutama turnover rendah atau turnover tinggi. Data dianalisis dari 110 kantor yang menawarkan pekerjaan sementara dan menemukan hubungan curvilinerar yang dihipotesiskan. Britten N, Stevenson FA, Barry CA, Barber N dan Bradley CP menggunakan metode untuk mengidentifikasi kategori keputusan yang disalahpahami dalam keputusan umum. Serangkaian wawancara dilakukan dengan konsumen akhir untuk mengetahui kategori-kategori kesalahpahaman. Kategori muncul sebagai akibat dari implikasi data dan berdasarkan pada fakta bahwa sekali mereka telah terjadi dan mungkin terjadi lagi. Meyer CB, Altenborg E menggunakan metodologi untuk menyelidiki dampak kesetaraan atau keseimbangan selama proses penggabungan suatu organisasi. Para peneliti menggunakan studi kasus merger internasional yang gagal. Mereka menemukan bahwa prinsip kesetaraan memiliki efek terbalik pada integrasi sosial yang mempengaruhinya secara negatif berlawanan dengan prediksi dalam literatur. Moutafi J, Furnham A, Crump J menggunakan metodologi untuk menyelidiki hubungan antara tingkat manajerial dan kepribadian. Tes kepribadian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hasil dan tingkat manajerial. Empat hipotesis berbeda diturunkan berdasarkan hubungan positif atau negatif dengan tingkat manajerial. Hemant Deo menggunakan metodologi di sektor perbankan untuk menyaring data yang terkait dengan cerita tertentu dari yang lain. Sektor perbankan melibatkan bidang penelitian yang luas termasuk faktor sosial, ekonomi dan politik yang digabungkan bersama dalam satu konteks organisasi. Metode Hypothesisdeductive mengabaikan tantangan ini memasukkan nilai konsekuensi subyektif dan sosial. Ini mengurangi hubungan antara kontrol prediksi, teknis dan penjelasan. Lewis RW menggunakan metode Hypothesis-deductive pada teori awal aliran darah dan penelitian William Harvey. Teori ini didasarkan pada penalaran hipotetiko-deduktif untuk percobaan arah aliran darah dalam tubuh manusia. Tes juga dilakukan pada lubang septum. Hasil menurut metode Hypothesis-deductive adalah bahwa teori Galen tidak didukung (Lawson AE, 2000) 2.3 Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah 2.3.1 Kebenaran ilmiah Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah preposisi yang benar. Dengan kata lain arti kebenaran itu bergantung pada preposisi yang mengikuti di belakangnya. Kebenaran memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu dengan yang lain. Terdapat tiga macam definisi kebenaran, yaitu: 1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Terbagi menjadi 4, yaitu : a) Pengetahuan Biasa atau biasa disebut juga dengan Knowledge of the man in the street or Ordinary Knowledge or common sense knowledge. Pengetahuan ini memiliki inti kebenaran yang bersifat subjektif, yaitu amat terikat pada subyek yang mengenal. Pengetahuan ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada penyimpangan. b) Pengetahuan Ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang spesifik dengan metodologi yang telah disepakati oleh para ahli ilmu tersebut. Kebenarannya bersifat relatif karena selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan dari para ilmuwannya. c) Pengetahuan Filsafati, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyentuh, yaitu dengan modelpemikiran analitis, kritis dan spekulatif. Kebenarannya bersifat absolutintersubjektif, yaitu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu serta selalu mendapat kebenaran dari filsuf yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. d) Pengetahuan Agama, pengetahuan yang memiliki sifat dogmatis yakni pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah ditentukan, sehingga pernyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya itu. Kebenarannya bersifat mutlak absolut. 2. Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karakteristik bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah ia membangunnya dengan cara penginderaan atau sense experience, ratio, intuisi atau keyakinan Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu. Jenis pengetahuan menurut kriteria karakteristiknya dapat dibedakan dalam jenis pengetahuan : (1).inderawi; (2).pengetahuan akal budi; (3). pengetahuan intuitif; (4). Pengetahuan kepercayaan atau otoritatif dan pengetahuan yang lainnya. 3. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek. Jika subjek yang lebih berperan maka kebenarannya bersifat subjektif, dan begitu pula sebaliknya (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010) Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian Ilmiah adalah segala sesuatu yang bersifat keilmuan, didasarkan pada ilmu pengetahuan, memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan. Sesuatu dapat disebut ilmiah apabila memiliki patokan yang merupakan ramburambu untuk menentukan benar atau salah. Karakteristik ilmiah terdiri dari empat syarat, yaitu: 1. Obyektif (ada kesesuaian dengan obyeknya/dibuktikan dengan hasil penginderaan atau empiris). 2. Metodik (diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu dan terkontrol) 3. Sistematik (tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri satu sama lain saling berkaitan, saling menjelaskan sehingga keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang utuh) 4. Berlaku umum/universal (tidak hanya berlaku atau dapat diamati oleh seseorang/oleh beberapa orang saja, tetapi oleh semua orang dengan cara eksperimental yang sama dan akan menghasilkan sesuatu yang sama/konsisten) (Maslikah, 2013). Berbagai cara telah ditempuh oleh para pemikir untuk sampai pada rumusan tentang kebenaran. Teori atau ukuran kebenaran yang disebut oleh Kattsoff adalah Koherensi (Coherence Theory), paham Korespondensi (Correspondence Theory), Paham Empiris dan Pragmatis. Sementara Abbas Hamami menyebut tujuh Teori yakni teori kebenaran korespondensi, koherensi, pragmatis, sintaksis, semantis, non-deskripsi dan teori kebenaran logis yang berlebihan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010). Di bagian ini hanya akan dibahas tiga teori saja, yaitu Kebenaran Koherensi, Korespondensi, dan Teori Pragmatis. 1. Teori Koherensi (Coherence Theory) Kata “koherensi” (coherence. Inggris = sticking together, consistent (especially of speech, thought, reasoning), clear, easy to understand; Latin: cohaerere = melekat, tetap menyatu, bersatu) (Angles, 1981). Koherensi berarti hubungan yang terjadi karena adanya gagasan (prinsip, relasi, aturan, konsep) yang sama. Paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang dikandunganya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koherensi ini juga termasuk dalam katagori “Veritas de raison” yaitu, kebenaran-kebenaran yang masuk akal dan juga melahirkan berpikir deduksi yang sangat diperlukan untuk matematika (Langevald). Alam pikiran teori ini terpadu secara utuh/koheren, baik argumentasinya maupun kaitannya dengan pengeahuan-pengetahuan sebelumnya yang dianggap benar (Suriasumantri, 1991). Teori ini dikenal juga sebagai teori justifikasi, karena dukungan dari keputusan-keputusan yang terdahulu yang sudah diakui dan diterima kebenarannya. 2. Teori Korespondensi (Correspondence Theory) Teori ini disebut oleh White dalam bukunya sebagai teori yang paling tua (Tradisional) (White, 1970). Inti ajarannya tentang kebenaran adalah bahwa suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya, dinamakan “paham korespondensi” kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sesungguhnya merupakan halnya, atau apa yang merupakan faktafaktanya. Teori kebenaran ini termasuk dalam katagori “veritas desfait” yaitu kebenaran-kebenaran berdasarkan kenyataan (Hadi, 1997). Teori ini melahirkan cara berpikir induksi yang tampak dalam statistika. 3. Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory) Merupakan pandangan Filsafat kontemporer yang berkembang pada akhir abad ke-19. Dalam pandangan The Pragmatic Theory of Truth, menurut Patrick adalah seperti dinyatakannya sebagai berikut : Teori, hipotesa atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku. Kebenaran menurut teori ini adalah suatu pernyataan yang diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Yaitu, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia (Suriasumantri, 1991). Kebenaran tidak diukur dengan adanya hubungan atau kesesuaian antara pernyataan dengan lainnya. Kebenaran berada pada fungsi dan kegunaan. Benar sesuatu itu jika berfungsi dan berguna, tidak benar jika tidak berfungsi dan tidak berguna. 2.3.2 Kebenaran non ilmiah Ada tiga hal yang seringkali orang-orang memandanganya sebagai kebenaran yang tidak ilmiah karena disebabkan sifat dan caranya yang sederhana, penuh dengan kira-kira,serta tidak dapat dijangkau oleh alat indera manusia diantaranya : pengetahuan biasa, mitos, dan wahyu. 1. Pengetahuan Biasa Pengetahuan manusia,secara skematik, biasa berkembang menuju kepada yang lebih berkualitas/valid. Validitas tersebut sangat ditentukan oleh kerangka dasar pemikiran/landasan epistemiologiya serta bentuk bentuk penalarannya. Semakin logis dan teruji di dalam penerapannya, maka pengetahuan itu disebut ilmiah. Tiga tahap dalam kehidupan manusia dalam mencari kebenaran yaitu : tahap awal yaitu Proses tahu dan dari hasil inilah disebut pengetahuan biasa ; tahap kedua yaitu memori, dan tahap ketiga ialah ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tingkat validitasnya di atas pengetahuan biasa. Sebab hasil ini diperolehnya berdasarkan pada pengujian teoretik dan penggunaan metode yang jelas dalam analisisnya. Adapun rumus atau teori itu sendiri adalah produk pengetahuan ilmiah yang memiliki kekokohan dasar pemikiran dan telah teruji, serta pada tahap berikutnya biasa dijadikan landasan pengetahuan obyek kajian tertentu lainnya. 2. Mitos Mitos sebenarnya bagian dari folklore, atau cerita rakyat/hikayat. Mitos diturunkan secara subyektif,dalam arti kebenarannya hanya berlaku dalam masyarakatnya, dan tidak ada kaitannya dengan antara pengalaman dan penuturan. Mitos berarti menghindari realitas,bukan menghadapi realitas. Kualitas mitos setingkat dengan legenda dan dongeng. Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi massa. Mitos akan hidup tatkala rakyat tertekan dan penuh harapan. Mitos dapat mendorong suatu perbuatan. Sebagaimana contoh mitos tentang Ratu Kidul. Masyarakat akan antusias datang ke pantai Selatan untuk melakukan ritual dan larung sesaji berharap akan mendapatkan keselamatan, keamanan dan ketenteraman dalam kehidupannya (Suhasti, 2012). Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan (Adib, 2011). 3. Wahyu Arti Wahyu secara umum adalah bisikan, isyarat atau petunjuk, ilham, perintah, perundingan rahasia. Dalam Syara’, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi atau Rasul, yang berasal dari Allah dengan perantara/tidak melalui perantara (malaikat, mimpi, indera, lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti. Upaya untuk menemukan kebenaran Non Ilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara diantaranya : 1. Penemuan secara kebetulan Penemuan yang berlangsung tanpa disengaja. Penemuan secara kebetulan ini juga berguna walaupun terjadinya tidak secara ilmiah, tidak sengaja dan tanpa rencana. Cara ini dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali pengetahuan. 2. Penemuan “coba dan ralat” (trial and error) Penemuan trial and error terjadi tanpa kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang akan dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi aktivitas itu mengandung unsur spekulatif atau “coba-beruntung” 3. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan Pendapat orang yang memiliki kewibawaan, misalnya orang-orang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah (Hartanto, 1990). 2.3.3 Tabel kebenaran Pada Logika matematika, tabel kebenaran adalah tabel di dalam matematika yang dipakai untuk melihat nilai kebenaran pada suatu premis ataupun pernyataan. Jika hasil akhir ialah benar semua (dilambangkan dengan B, T, atau 1) maka disebut Tautologi. Akan tetapi jika salah semua (S, F, atau 0) maka disebut kontradiksi. Premis hasil akhirnya gabungan benar dan salah disebut kontingensi. 1. Tabel Kebenaran Ingkaran (Negasi) Ingkaran atau negasi adalah suatu kebalikan atau lawan dari suatu pernyataan. Untuk pernyataan negasi diberi simbol “ ~ “ 2. Tabel Kebenran Konjungsi Konjungsi merupakan gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan memakai kata hubung “dan”. Simbol dari konjungsi adalah “ ˆ “. Jika nilai kedua pernyataan itu adalah benar, maka nilai kebenaran konjungsi kedua prnyataan itupun benar, namun apabila ada salah satu pernyataan salah, maka nilai konjungsi kedua pernyataan itupun memiliki nilai salah. 3. Tabel Kebenaran Disjungsi Disjungsi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dan yang menggunakan kata hubung “ atau “. Simbol dari disjungsi adalah “ ˇ “. Dalam menentukan nilai kebenaran disjungsi juga mempunyai aturan yaitu andai salah satu dari dua pernyataan memiliki nilai benar, maka nilai kebenaran disjungsi dari kedua pernyataan itu adalah benar, namun apabila kedua pernyataan tersebut memiliki nilai salah, maka nilai kebenaran disjungsi pun bernilai salah. 4. Tabel Kebenaran Implikasi Implikasi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan kata hubung “ jika “ dan “ maka “. Simbol dari implikasi yaitu “ → “. Jika nilai pernyataan kedua dari dua pernyataan memiliki nilai benar dan jika kedua pernyataan bernilai sama baik itu benar ataupun salah, jadi nilai kebenaran implikasi yaitu benar. Namun apabila nilai kedua pernyataan keduanya salah, maka nilai kebenaran implikasi dari dua pernyataan tersebut memiliki nilai salah.\ 5. Tabel Kebenaran Biimplikasi Biimplikasi adalah gabungan dari dua pernyataan tunggal dengan kata hubung “ jika dan hanya jika, maka “. Simbol dari biimplikasi yaitu “ ↔ “. Jika kedua pernyataan sama, maka nilai kebenaran biimplikasi bena, begitupun sebaliknnya andai nilai salah satu dari pernyataan bernilai salah maka nilai dari kebenaran biimplikasi dari kedua pernyataan tersebut adalah salah. 6. Tabel Kebenaran Negasi Konjungsi Pada tabel kebenaran negasi konjungsi ini berlaku negasi dari p ^ q ekuivalen dengan ~pˇ~q. 7. Tabel Kebenaran Negasi Disjungsi Nilai kebenaran disjungsi berlaku negasi dari pˇq ekuivalen dengan ~p ^ ~q. 8. Tabel Kebenaran Negasi Implikasi Nilai kebenaran negasi implikasi ialah negasi dari p → q ekuivalen dengan p ^ ~q 9. Tabel Kebenaran Negasi Biimplikasi Negasi dari p ↔ q ekuivalen dengan (p ^ ~q) ˇ (q ^ ~p) Hubungan dari Nilai Kebenaran dapat dilihat dalam tabel 2.2 di bawah. Tabel 2.5 Tabel Kebenaran 2.4 Skill Bernalar Ilmiah (Scientific Reasoning Skills) dan Cara Mengembangkannya 2.4.1. Perkembangan keterampilan bernalar ilmiah Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode oleh Piaget, sebagaimana dijelaskan dalam table di bawah ;(Crain, 2007) Tabel 2.6 Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget 2.4.1.1 Periode I. Kepandaian sensori motorik (lahir – 2 tahun) Periode pertama perkembangan Piaget terdiri atas enam tahapan yaitu ,(Crain, 2007)  Tahap 1 (lahir-1 bulan) : penggunaan refleks-refleks  Tahap 2 (1-4 bulan) : reaksi-reaksi sirkuler primer  Tahap 3 (4-10 bulan) : reaksi-reaksi sirkuler sekunder  Tahap 4 (10-12 bulan) : koordinasi skema-skema sekunder  Tahap 5 (12-18 bulan : reaksi-reaksi sirkuler tersier  Tahap 6 (18 bulan-2 tahun) : permulaan berpikir Selama tahap 1 dan 2, bayi-bayi tidak memiliki konsepsi objek apapun diluar mereka. Namun begitu, di tahap 3 bayi menjadi tertarik pada dunia eksternal. Jika sebuah objek dijatuhkan dihadapan bayi, mereka sekarang akan melihat ketempat dimana objek itu jatuh. Tahap 4 menandai awal pengertian sejati permanensi objek. Bayi-bayi sekarang dapat menemukan objek-objek yang tersembunyi sepenuhnya. Ditahap 5, anak-anak bisa mengikuti serangkaian pemindahan, namun selama mereka melihat kita melakukannya. Baru pada tahap 6 anak-anak dapat mengikuti serangkaian pemindahan yang tidak tampak.(Crain, 2007) 2.4.1.2 Periode II dan III. Pikiran pra-operasional (2-7 tahun) dan operasi berpikir konkret (7-11 tahun) Diakhir periode sensori motorik anak telah mengembangkan tindakan yang efisien dan terorganisasikan dengan baik untuk menghadapi lingkungannya di hadapannya. Anak terus menggunakan kemampuan sensori motorik di seluruh kehidupannya, meskipun terjadi perubahan yang cukup besar. Peikiran anak berkembang cepat ke sebuah tataran baru yaitu simbol-simbol. Akibatnya anak harus mengorganisasikan seluruh pemikirannya sekali lagi. Namun hal ini tidak bisa dilakukan sekaligus. Untuk beberapa saat, selama seluruh periode praoperasional, pikiran anak pada dasarnya tidak sistematis dan logis. Baru pada usia tujuh tahun atau lebih, yaitu permulaan berpikir konkret, pemikiran jadi terorganisasikan di atas sebuah landasan mental.(Crain, 2007) Dalam periode ini terdapat ciri perkembangan yang dapat diuraikan sebagai berikut: (Crain, 2007)  Pertumbuhan aktivitas simbolik Anak mulai menggunakan simbol ketika mereka menggunakan sebuah objek untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak hadir. Salah satu sumber utama simbol ini adalah bahasa, yang berkembang cepat selama tahun-tahun pra operasional awal (2-4 tahun). Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu, mengantisipasi masa depan, dan mengkomunikasi peristiwa kepada orang lain. Namun karena pikiran anak kecil cepat berkembang, mereka belum dapat memiliki sifat logis yang koheren. Hal ini terlihat dalam penggunaan kata-kata.  Penalaran ilmiah Salah satu eksperimen Piaget yang paling kontroversi adalah pengkonservasian kuantitas-kuantitas (beda cair) yang bersambungan. Anak-anak umunya mencapai pengkonservasian benda cair kira-kira pada usia 7 tahun. Mereka sedang memasuki tahapan berpikir konkret. Penting untuk dicatat bahwa operasi berpikir adalah suatu tindakan mental. Anak sedang membawa pengkompensasian dalam pikirannya. Anak tidak sungguh-sungguh melakukan transformasi yang dibicarakannya. Transformasi yang dilakukan mirip dengan yang dimiliki bayi namun sekarang lebih berlangsung di tataran internal.  Pemikiran sosial Dalam pemikiran sosial ini terdapat egosentrisme, penilaian moral, keberjiwaan, dan mimpi-mimpi. Egosentrisme, mengacu pada ketidakmampuan untuk membedakan perspektifnya sendiri dari perspektif orang lain. Namun begitu, bukan berarti tidak mengandung pementingan diri atau kesombongan. Penilaian moral, menurut Piaget ada dua sikap moral mendasar ; (1) karakteristik anak yang lebih muda usianya adalah heteronomi moral, sebuah kepatuhan membuta pada aturan-aturan yang dipaksakan orang dewasa. Anak berasumsi bahwa terdapat sebuah hukum dasyat yang mesti mereka ikuti. Pemikiran ini berasal dari anak yang lebih tua usianya, disebut otonomi moral, menganggap aturan-aturan sebagai piranti manusia yang diproduksi oleh kesetaraan semata-mata demi kerja sama. Keberjiwaan , Piaget melukiskan cara-cara lain yang didalamnya pikiran anak-anak kecil berbeda dari anak yang lebih besar dan orang dewasa. Anak muda tidak membuat perbedaan yang sama antara benda hidup dan tidak hidup seperti yang biasanya dilakukan orang dewasa. Mimpi-mimpi, anak kecil memandang mimpi berdasarkan pentahapan tertentu. Mulanya anak-anak percaya kalau mimpi itu nyata. Segera sesudahnya, anak-anak menemukan kalau mimpi itu tidak nyata, namun mereka masih melihat mimpi dengan cara yang agak berbeda dari anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa melihatnya.(Crain, 2007) 2.4.1.3 Periode IV. Operasi-operasi Berpikir Formal (11 tahun- dewasa) Ditahapan operasi berpikir konkret anak-anak dapat berpikir sistematis berdasarkan ‘tindakan-tindakan mentalnya’. Namun begitu, ada keterbatasan dalam kemampuan ini. Mereka bisa berpikir logis dan sistematis hanya selama mengacu pada objek-objek yang bisa diindera yang tunduk pada aktivitas riil.(Crain, 2007) Selama operasi-operasi berpikir formal, sebaliknya, pemikiran membumbung tinggi ke wilayah abstrak murni dan hipotesis. Kemampuan bagi penalaran abstrak bisa dilihat pada respon-respon kepada pertanyaan-pertanyaa. Sama seperti periode lainnya, Piaget memperkenalkan model logiko-matematis untuk melukiskan operasi berpikir formal. Modelmodel ini dalam beberapa hal mirip dengan yang diterapkan pada tingkat-tingkat perkembangan sebelumnya, namun sekaligus melampauinya.(Crain, 2007) 2.4.2 Mengembangkan keterampilan bernalar ilmiah Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains, evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya.(Barz and Achimaș-Cadariu, 2015) Pendekatan pendidikan yang pertama, lebih berfokus pada interaksi antara berbagai aspek penalaran ilmiah kolaboratif, ketimbang menganalisis produk dari pemikiran individual (Dunbar and Fugelsang, 2005). Pandangan tentang pengembangan penalaran ilmiah ini spesifik untuk teori pendidikan konstruktivis, dimana menurut teori ini, pembelajaran lebih merupakan proses aktif dibandingkan mekanisme independen untuk memperoleh pengetahuan. Menurut teori ini, mengembangkan keterampilan penelitian ilmiah pada siswa terutama dilakukan dengan cara mengubah keyakinan mereka agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang dipikul oleh masyarakat. Konstruktivisme memberikan dasar filosofis untuk perubahan konseptual untuk membangun keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan juga dalam pendidikan kedokteran(Colburn, no date; Maudsley and Strivens, 2000). Pendekatan pendidikan kedua menempatkan lingkungan belajar sebagai dasar otentik untuk mengembangkan keterampilan penalaran pada siswa. "Teori pembelajaran situatif"(Lave, 1991) menawarkan pendekatan instruksional, dimana siswa cenderung diarahkan untuk belajar dengan cara berpartisipasi aktif dalam pengalaman belajar. Perspektif ini mengklaim bahwa pengetahuan prosedural dapat diperoleh dari pemecahan masalah; siswa belajar dari pengalaman orang lain dalam memecahkan permasalahan yang sama (Patel et al., 2009). Teori lainnya, yang berusaha memberikan landasan untuk pengembangan keterampilan penalaran ilmiah dalam pendidikan, berhubungan dengan perspektif kognitif. Teori Adaptive Character of Thought (ACT-R), yang dikembangkan oleh Anderson [10], mengusulkan bahwa kognisi muncul dari interaksi antara pengetahuan prosedural dan deklaratif. Pengetahuan prosedural terdiri dari production rules, yang mewakili pertanyaan "bagaimana", sedangkan pengetahuan deklaratif terdiri dari fakta, yang mewakili pertanyaan "apa".Menurut teori ACTR, “kognisi manusia tergantung pada jumlah pengetahuan yang dikodekan dan penyebaran efektif dari pengetahuan yang dikodekan tersebut ”(Anderson, 1996; Koedinger and Anderson, 1998). Sebagai upaya untuk mengintegrasikan peran memori ke dalam teori dan praktik dari pendidikan, Sweller dan Chandler (Chandler and Sweller, 1991) mengusulkan Teori Beban Kognitif/ Cognitive Load Theory (CLT). CLT menyebutkan bahwa komponen dari pengajaran yang efektif akan memfasilitasi pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan terarah yang relevan, sedangkan model pembelajaran yang tidak efektif mengakibatkan peserta didik mengintegrasikan informasi yang berbeda, serta dari sumber terpisah, yang akan menghasilkan beban kognitif yang berat. Berdasarkan temuan penelitian Sweller dan handler, pada area-area dimana akuisisi pengetahuan kompleks diperlukan dalam asimilasi lebih dari dua sumber informasi, model pengajaran konvensional seharusnya diganti dengan desain instruksional terintegrasi. Singkatnya, pengembangan penalaran ilmiah dalam pendidikan kedokteran dapat ditelusuri melalui dua pengaruh utama ini: teori belajar kognitif, yang berfokus pada proses kognitif individu, dan teori pembelajaran konstruktivis, yang berfokus pada interaksi dalam lingkungan pendidikan. Kedua perspektif ini memberikan kontribusi yang berharga dalam desain dan implementasi metode pendidikan(Lave, 1991). BAB 3 PENUTUP 3.1 Kesimpulan Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Manfaat dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific mind) dan untuk pengujian hipotesis. Model Hypothesis-deductive adalah salah satu model yang digunakan untuk penalaran ilmiah dan penelitian. Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode oleh Piaget. Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains, evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Adib, H. M. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, halaman: 26. Anderson, J. 1996. ‘ACT: A simple theory of complex cognition’, American Psychologist, 51, pp. 355–365. Angles, P. L. 1981. A Dictionary of Philosophy. London: Harper & Row Publishers. Halaman: 40. Barz, D. L. and Achimaș-Cadariu, A. 2015. ‘The Development of Scientific Reasoning in Medical Education: A Psychological Perspective’, Medicine and Pharmacy Reports, 89(1), pp. 32–37. doi: 10.15386/cjmed-530. Britten, N., Stevenson, F.A., Barry, C.A., Barber, N., Bradley, C.P. 2000. Misunderstandings in prescribing decisions in general practice: qualitative study. British Medical Journal; 320:484-488. Chalmers, A.F. 1983. What is This Thing Called Science (Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj. Redaksi Hasta Karya. Jakarta: Hasta Karya. Chandler, P. and Sweller, L. 1991. ‘Cognitive Load Theory and the Format of Instruction, Cognition and Instruction’, 8(4), pp. 293–332. Colburn, A. ‘Constructivism: Science Education’s “Grand Unifying Theory”’, Clearing House, 74(1), pp. 9–12. Crain, William. 2007. Theories of Development, Concepts and Applications (third ed.). Trans Yudi Santoso. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar. Dunbar, K., & Fugelsang, J. 2005. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G. Morrison (Eds.), The Cambridge handbook of thinking and reasoning (pp. 705725). New York, NY, US: Cambridge University Press. Dunbar, K., & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G. Morrison (Eds.), The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford University Press,. Retrieved 20 Jul. 2019, from https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.000 1/oxfordhb-9780199734689-e-35. Glebbeek, A.C., Bax, E.H. 2004. Is high employee turnover really harmful? An empirical test using company records. Academy of Management Journal;47(2):277-286. Hadi, H. 1997. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. Halaman: 35. Haakim, A., dkk. 2012. Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif, dan Abduktif. Semarang: Universitas Diponegoro. Hartanto, K., dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman: 25-27. Hemant, D., Kathy, R. 2007. A research framework in banking studies: Researching and writing articles a researcher’s odyssey. The Business Review, Cambridge. Khemlani, S.S., Byrne, R.M. and Johnson‐ Laird, P.N., 2018. Facts and Possibilities: A Model‐ Based Theory of Sentential Reasoning. Cognitive science, 42(6), pp.1887- 1924. Klahr, D., & Dunbar, K. 1988. Dual space search during scientific reasoning. Cognitive Science, 54, 1–48. Klahr, D., & Simon, H. 1999. Studies of scientific discovery: Complementary approaches and convergent findings. Psychological Bulletin, 54, 524–543. Koedinger, K. and Anderson, J. 1998. ‘Illustrating principled design: The early evolution of a cognitive tutor for algebra symbolization’, Interactive Learning Environments, 5, pp. 161–180. Komarudin. 2014. FALSIFIKASI KARL POPPER DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DALAM KEILMUAN ISLAM, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2. Langevald, M. J. Op Weg Noor Weijsgering Denban, alih bahasa G.J. Claessen, “Menuju ke Pemikiran Filsafat”. Jakarta: Pembangunan. Halaman: 35. Lave, J. 1991. ‘Situating Learning in Communities of Practice.’, in Situated Learning Legitimate Peripheral Participation. Cambridge University Press, pp. 63–82. Lewis, R.W. 1998. Biology: A hypothetico-deductive science. The American Biology Teacher.; 50(6):362-366. Maslikhah dan Susapti, P. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Ombak. Halaman: 46-47. Maudsley, G. and Strivens, J. 2000. ‘Promoting professional knowledge, experiential learning and critical thinking for medical students’, Med Educ, 34(7), pp. 535–544. Meyer, C.B., Altenborg, E. 2007. The disintegrating effects of equality: a study of a failed international merger. British Journal of Management.;18:257-271. Moutafi, J., Furnham, A., Crump, J. 2007. Is managerial level related to personality? British Journal of Management; 18:272-280. Muslih, Mohamad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2. Yogyakarta: Belukar. Patel, V. et al. 2009. ‘Cognitive and learning sciences in biomedical and health instructional design: A review with lessons for biomedical informatics education’, J Biomed Inform, 42(1), pp. 176–197. Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan Ilmiah), terj. Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pratiwi. 2012. PENALARAN DAN MACAM-MACAM PENALARAN. Cited from : http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/03/penalaran-dan-macam-macampenalaran_06.html. 1 21 Juli 2019 Simon, H. A., Langley, P., & Bradshaw, G. L. 1981. Scientific discovery as problem solving. Synthese, 54, 1–27. Suhasti, E. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. Cet I, halaman: 69. Suriasumantri, J. S. 1991. Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, dalam; A.M. Saifuddin, et.al., “Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi”. Bandung: Mizan. Halaman: 16. Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Halaman: 135-137. White, R. A. 1970. Truth; Problem in Philosophy. New York: Doubledaly & Company. Bernalar Ilmiah Kelompok 8 Nama Kelompok u Muzayyana Sakiinah 011918026308 u Glabela Christiana Pandango 011918116303 u Hanindyo Riezky Beksono 011918076307 u Harris Kristanto Gunawan 011918016307 u Reryd Arindany Wiryawan 011918036307 u Linda Maya Tompodung 011918176303 u Dhikrulloh Anwar 011918066315 u Wico Hartantri 011918166309 u Patricia Silpiani Kandar 011918216303 u Dewati Ayusri Artha 021728016302 BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG u Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Haakim, 2012). LATAR BELAKANG u Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dan sebagainya. Pada dasarnya setiap objek yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu, seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode. Maka digunakanlah metode berpikir ilmiah, metode berpikir ilmiah dapat dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif, penalaran induktif, dan penalaran abduktif (Haakim, 2012). RUMUSAN MASALAH u Apakah yang dimaksud dengan bernalar ilmiah? TUJUAN PENULISAN u Tujuan umum penulisan - Mengetahui yang dimaksud dengan bernalar ilmiah. u Tujuan khusus penulisan - Mengetahui dasar-dasar penalaran ilmiah. - Mengetahui metode penalaran ilmiah dalam penelitian. - Mengetahui kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. - Mengetahui skill bernalar ilmiah dan cara mengembangkannya. BAB 2 DASAR-DASAR PENALARAN ILMIAH Definisi Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007 : 14) istilah penalaran mengandung tiga pengertian diantaranya: (1) Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis. (2) Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan perasaan atau pengalaman (3) Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip. Ciri – ciri penalaran (1) dilakukan dengan sadar (2) didasarkan oleh sesuatu yang sudah di ketahui (3) Sistematis (4) terarah dan bertujuan (5) Menghasilkan kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap terbaru (6) sadar tujuan (7) premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan (8) pola pemikiran tertentu (9) sifat empiris nasional. Definisi u u Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. (Jujun Suriasumantri) Ciri – ciri penalaran : (1) proses berpikir logis  kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. (2) sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang relevan  proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. TEORI PERKEMBANGAN MANUSIA KOGNITIF – JEAN PIAGET Biografi • • • • • • • Lahir di Neuchatel, Swiss pada tahun 1896 Usia 10 tahun menerbitkan artikel tentang burung albino Usia 15 tahun menyadari bahwa keyakinan agama dan filosofisnya kekurangan fondasi ilmiah Usia 24 tahun mulai mempelajari tingkah laku anak-anak Usia 29 tahun bersama istrinya mulai mempelajari perkembangan anak yaitu dengan mengamati perkembangan anak-anaknya sendiri Tahun 1940-an mulai fokus pada penelitian perkembangan kognitif anak-anak Meninggal pada tahun 1980 di Jenewa, Swiss Sudut Pandang Piaget • Pendekatan yang dilakukan Piaget dalam meneliti perkembangan kognitif anak adalah pendekatan sains, yaitu konsep-konsep biologis yang dibatasi pada sifatnya saja • Selain itu Piaget juga memperhatikan kecenderungan biologis pada saat anak beraktivitas, yaitu asimilasi, akomodasi, dan organisasi • Perkembangan merupakan sebuah proses konstruktif yang aktif, dimana anak, melalui aktivitasnya membangun struktur-struktur kognitif yang makin berbeda dan komprehensif Asimilasi • • • • • Asimilasi  memasukkan sesuatu Dalam tindakan berarti memasukkan suatu objek ke dalam objek lain Contoh: menggenggam sendok Dalam pikiran berarti memasukkan informasi ke dalam pikiran Contoh: pemahaman tentang virus Zika Akomodasi • • • • • Akomodasi  membuat perubahan dalam struktur Dalam tindakan berarti membuat perubahan struktur suatu objek menjadi lebih baik. Contoh: meletakkan beberapa batang bambu di bawah lemari besar supaya lebih mudah mendorongnya Dalam pikiran berarti mengkontruksi cara-cara yang lebih efisien dan elaboratif dalam mengahadapi sesuatu hal Contoh: penanganan banjir di Jakarta Organisasi • • • • • Organisasi  mengkombinasikan beberapa hal Dalam tindakan berarti merangkai beberapa tindakan sederhana menjadi suatu tindakan yang lebih sukar Contoh: makan mie menggunakan sumpit Dalam pikiran berarti menggabungkan ide-ide menjadi teori Contoh: perumusan teori atom Dalton Periode Perkembangan Piaget Periode Sensorimotor Perkembangan Permanensi Objek • Pada tahap ini Piaget menggamati bagaimana bayi mengkonstruksi konsep-konsep tentang objek permanen, waktu, ruang, dan kausalitas, dan bagaimana mereka mengembangkan kemampuan untuk bermain. • Pada awal periode ini, bayi tidak memiliki perngertian tentang objek-objek yang independen dari pandangan atau tindakan mereka. • Pada akhir periode ini, objek-objek jadi terpisah dan permanen. • Dengan demikian anak-anak bisa mengembangkan suatu semesta yang mengandung objek-objek indelpenden dimana mereka hanyalah satu diantara objek lainnya. Periode Pra-operational Pertumbuhan Aktifitas Simbolik • Pada periode ini, anak-anak mulai menggunakan simbolsimbol ketika mereka menggunakan sebuah objek atau tindakan untuk merepresentasikan sesuatu yang tidak hadir. • Simbol-simbol pertama bersifat motorik, baru setelah itu meningkat menjadi simbol-simbol linguistik. • Bahasa mengembangkan cakrawala anak-anak. Lewat bahasa mereka dapat menghidupkan kembali masa lalu, mengantisipasi masa depan, dan mengkomunikasikan peristiwa-peristiwa pada orang lain. Penalaran Ilmiah • Pada periode ini anak-anak masih sulit untuk memahami jumlah dalam bentuk 3 dimensi. • Biasanya mereka hanya melihat 1 dimensi saja. • Pemahaman jumlah dalam 3 dimensi akan tercapai pada akhir periode ini. Pemikiran Sosial • Dalam periode pra-operasional, anak-anak masih bersifat egosentris, menganggap segala sesuatu berasal dari satu titik pandang saja. • Egosentrisme mengacu kepada ketidakmampuan untuk membedakan prespektifnya sendiri dari perspektif orang lain • Selain itu, pada periode ini anak-anak masih belum dapat membedakan antara benda hidup dan benda mati. Konsep benda hidup jika benda menyala, berbunyi, atau bergerak. • Anak-anak pra-operasional juga masih percaya bahwa mimpi itu adalah suatu kenyataan. Periode Operasi Berpikir Konkret • • • • • • • • Berpikir dua arah dan logis Bertanya tentang segala sesuatu dengan bahasa sederhana Mampu menganalisa dan mengukur Memahami bagian dan keseluruhan suatu hubungan Memahami jumlah, massa, berat dan volume Menerima etika dan aturan dari orang yang lebih tua Dapat melakukan operasi-operasi menggabungkan, memisahkan, menyusun, mengulang, mengali, membagi, mengurangi Masih mengalami kesulitan memahami kalimat kompleks Penalaran Ilmiah • Anak-anak usia ini sudah dapat memahami konsep jumlah dalam tiga dimensi. Sebagai contoh air dalam gelas jika dituang ke dalam botol jumlah isinya tetap sama. • Penalaran logis yang dilakukan adalah menggunakan: 1. Argumen identitas  tidak ada pengurangan atau penambahan jumlah, pasti isinya tetap sama. 2. Argumen kompensatif  yang satu lebih lebar, tetapi yang lain lebih tinggi, pasti isinya tetap sama. 3. Argumen inversi  jika dituang kembali ke dalam gelas, pasti isinya tetap sama. Pemikiran Sosial • • • • • Periode ini ditandai dengan berkurangnya egosentrisne pada anak-anak. Mereka mulai menemukan fakta bahwa ada lebih dari satu titik pandang, yaitu titik pandang orang lain yang berbeda dari dirinya. Pada usia awal periode ini meyakini bahwa aturan-aturan dari otoritas yang lebih tinggi sudah baku dan tidak bisa diubah lagi. Mereka akan mengikutinya dengan taat. Tetapi pada akhir periode ini anak mulai berpikir secara relativistik yaitu aturan tidaklah baku, dapat berubah asalkan disepakati bersama. Pemahaman akan makhluk hidup dan benda mati berubah. Mereka sudah menyadari mimpi itu tidak nyata. Periode Operasi Berpikir Formal • • • • • Mampu berpikir abstrak dan hipotesis Bekerja secara sistematis Berpikir konseptual Mengerti dan menggunakan probabilitas Mampu membuat teori Penalaran Ilmiah • Pada usia ini anak-anak sudah dapat berpikir logis dan sistematis. Anak berpikir akan hal-hal yang abstrak dan penalaran berdasarkan hipotesis. • Dalam usaha memecahkan masalah, tahap usia ini sudah menggunakan langkah-langkah metode ilmiah yaitu: 1. Merumuskan masalah; 2. Merumuskan hipotesis; 3. Mengumpulkan data; 4. Menguji hipotesis; 5. Merumuskan kesimpulan. Analisa • Pembagian tahapan perkembangan kognitif berdasarkan usia dan perkembangan biologis anak menjadi landasan utama penelitian Piaget. • Jika dihubungkan dengan pembagian usia anak sekolah maka kesetaraannya adalah: Usia Anak Tahapan Piaget Jenjang Pendidikan Formal 0 – 2 tahun Sensorimotor Belum sekolah 2 – 6 tahun Pra-operasional Toddler – SD kelas 2 7 – 11 tahun Operasi konkret SD kelas 3 – 6 12 – dewasa Operasi formal SMP – ...... Sensorimotor vs Belum Sekolah Pada usia 0 – 2 tahun, bayi pada umumnya banyak mempelajari segala sesuatu dari lingkungan keluarga. • Karena itu orang tua perlu memahami tahapan perkembangan bayi pada periode ini supaya dapat memberikan stimulasi yang tepat untuk merangsang proses membangun struktur kognitifnya. • Dengan stimulasi yang tepat, maka perkembangan bayi dapat mencapai tingkat kognitif yang sesuai dengan usia mereka. • Pra-operasional vs Toddler – SD Kelas 2 Usia 2 – 6 tahun ditandai dengan periode permulaan sosialisasi pada anak. Dari lingkungan keluarga kepada lingkungan sekolah. Diharapkan terjadi perubahan sikap akibat dipertemukan dengan komunitas yang lebih besar. • Ada anak yang mulai sekolah dari usia 2 tahun (Toddler), 3 tahun (KB), 4 tahun (TK) atau bahkan langsung usia 6 tahun (SD). Dianjurkan minimal anak mulai bersekolah usia 4 tahun (TK). • Peran orang tua mulai berkurang, peran guru dan teman sebaya muncul dalam perkembangan kognitif anak pada periode ini. Faktor lingkungan (sekolah) sangat berperan dalam proses anak mencapai tingkat kognitif yang sesuai dengan usianya. Tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. • Operasi Konkret vs SD Kelas 3 – 6 Periode usia 7 – 11 tahun merupakan usia yang paling tepat untuk mulai memperkenalkan anak pada logika matematika. Anak dapat memahami dan melakukan operasi-operasi hitung dasar seperti tambah, kurang, kali, dan bagi. • Karena itu diharapkan sekolah juga memahami perkembangan kognitif anak sehingga dapat menyampaikan pengajaran yang tepat, sesuai dengan perkembangan usia anak. • Operasi Formal vs SMP –..... • Pada tahap ini tingkat kognitif anak sudah hampir atau menyamai tingkat kognitif orang dewasa sehingga proses belajar bila dilakukan dengan lebih logis dan abstrak. • Anak-anak sudah dapat bekerja sama, berdiskusi, dan bereksperimen dalam memecahkan masalah bahkan menemukan gagasan baru. • Sekolah diharapkan dapat membantu proses belajar anak dengan metode-metode yang dapat merangsang perkembangan kognitif anak seperti eksperimen, studi kasus, debat, dan lain-lain. • Anak mulai diarahkan untuk menemukan tujuan masa depannya. PERAN BERPIKIR DEDUKSI, INDUKSI DAN ABDUKSI DALAM BERNALAR ILMIAH PENALARAN STIMULUS (INDRA) PROSES BERPIKIR RESPON / TANGGAPAN PENALARAN ILMIAH adalah ketrampilan berpikir cepat dan tepat yang melibatkan proses berpikir untuk menghasilkan Kesimpulan berdasarkan pengetahuan dan pengalaman seseorang. u PENALARAN adalah Karakteristik ILMIAH yang digunakan para peneliti. 3 JENIS PENALARAN KARAKTERISTIK PENALARAN: LOGIS dan ANALITIK DEDUKTIF INDUKTIF ABDUKTIF PENALARAN DEDUKTIF Pernyataan yang bersifat universal (umum) ditarik kesimpulan yang bersifat individual (khusus). Penalaran deduktif mempergunakan pola SILOGISMUS. Terdiri dari PREMIS yang dibedakan sebagai Premis Mayor Dan Premis Minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua permis tersebut. PENALARAN INDUKTIF Proses peningkatan dari hal-hal bersifat individual (khusus) ke hal-hal yang bersifat universal (umum). Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiris yang langsung kembali kepada suatu observasi indra atau proposisi dasar (basic statement). Proposisi dasar  fakta pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Penalaran ini terbagi atas: u Generalisasi Induktif u Analogi Induktif PENALARAN ABDUKTIF Kurang umum dibandingkan penalaran induksi dan deduksi. Penalaran abduksi adalah sebuah cara pembuktian yang memungkinkan Hipotesa-hipotesa Dibentuk. Pembuktian ini bertolak dari sebuah Kasus Partikular menuju sebuah “Penjelasan Yang Mungkin”. Abduksi tetap merupakan salah satu dari tiga bentuk pokok inferensi, dengan bentuk probable yaitu TIDAK memberikan Kepastian Mutlak. Gambar 2.1 Contoh perbedaan penalaran deduktif, abduktif, dan induktif (Dunbar, 2005). Penalaran Deduktif dimulai dari hal umum ke khusus membentuk sebuah kesimpulan. Penalaran Induksi dimulai dari hal individual berdasarkan fakta kemudian ditarik sebuah kesimpulan. Penalaran Abduksi pemikir berusaha untuk menghasilkan penjelasan dari bentuk “jika situasi X telah terjadi, dapatkah itu menghasilkan bukti meskipun kesimpulannya belum tentu benar atau tidak mutlak. METODE PENALARAN ILMIAH DALAM PENELITIAN Bab II – Metode Penalaran Ilmiah dalam Penelitian u Proses berpikir tersebut, antara lain berupa induksi, deduksi, desain eksperimen, penalaran sebab akibat/kausal, pembentukan konsep, uji hipotesis, dll. (Dunbar, K., & Klahr, D., 2012). Penalaran Ilmiah sebagai Problem Solving Problem Space Representasi dan prosedur Experiment Space Domain-specific Knowledge Hypothesis Space Penalaran Ilmiah sebagai Pengujian Hipotesis u Hipotesis = dugaan sementara. u Hipotesis berasal dari bahasa Yunani hypo yang berarti di bawah dan thesis yang bersinonim dengan pendirian, pendapat yang ditegakkan, dan kepastian. u Hipotesis berarti pendapat yang kebenarannya masih diragukan u Agar dapat dipastikan kebenarannya, maka suatu hipotesis harus diuji atau dibuktikan kebenarannya. Hypothesis testing Proses mengevaluasi sebuah proposisi yang diperoleh dari pengumpulan data mengenai sebuah kebenaran. Kelas A H3 Strategi penalaran Ilmiah H2 H1 Kelas B Hipotesis Analogi dan penggambaran Hipothesis- deduktive u Hipotesis: sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat (teori, proposisi, dan sebagainya) meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan; anggapan dasar u Deduktive/ deduksi: penarikan kesimpulan dari keadaan yang umum; penyimpulan dari yang umum ke yang khusus Pendahuluan u Karl popper, nama lengkapnya Karl Raimund Popper merupakan salah satu kritikus abad ke-20 yang paling tajam terhadap gagasan lingkaran Wina. u Popper banyak berkenalan dengan gagasan-gagasan para filosof yang tergabung di lingkaran Wina atau kaum positivism logis, namun ia tidak sependapat dengan gagasan mereka dalam bidang keilmuan terutama terkait dengan tiga ide utama, yakni masalah induksi, demarkasi, dan dunia ketiga u Dalam masalah induksi, Popper tidak sependapat dengan penerapan keabsahan generalisasi yang didasarkan pada prinsip induksi (Popper, 2008 : 4). Misalnya, “Apabila sejumlah besar A telah diobservasi pada variasi kondisi yang luas, dan apabila semua A yang diobservasi tanpa kecuali memiliki sifat B, maka semua A memiliki sifat B” (Chalmers, 1983 : 5) u Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah selalu hanya bersifat hipotetis, yakni berupa dugaan sementara (conjecture), tidak akan pernah ada kebenaran final. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori baru yang lebih tepat. Terkait hal ini, ia lebih suka memakainya dengan istilah hipotesa ketimbang teori, hanya semata-mata didasarkan pada sifat kesementaraannya. Ia menegaskan bahwa suatu hipotesa atau proposisi dikatakan ilmiah jika secara prinsipil ia memiliki kemungkinan untuk menyangkalnya Langkah-langkah metode HypothesisDeductive 1. Mengidentifikasi area masalah yang luas di mana masalah utama terjadi untuk melakukan proyek penelitian. 2. Mendefinisikan rumusan masalah. Ini bisa menjadi penelitian ilmiah dengan tujuan pasti dan tujuan umum penelitian. 3. Pengembangan hipotesis yang harus diuji dan dapat difalsifikasikan. 4. Mengukur kerangka teoritis dan jika tidak terukur maka harus kualitatif. 5. Pengumpulan data berdasarkan kuantitatif dan data kualitatif. 6. Analisis data dilakukan untuk memeriksa apakah hipotesis yang dihasilkan didukung. 7. Menafsirkan data untuk mencari tahu makna hasil. Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah KEBENARAN ILMIAH u Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda yang konkret maupun abstrak u Arti kebenaran itu bergantung pada preposisi yang mengikuti di belakangnya. u Kebenaran memiliki persepsi dan pengertian yang berbeda satu dengan yang lain MACAM DEFINISI KEBENARAN Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karakteristik Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan • Objek yang spesifik dengan metodologi yang telah disepakati para ahli ilmu • Inti kebenaran yang bersifat subjektif KEBENARAN BERKAITAN DENGAN KUALITAS PENGETAHUAN • Pengetahuan yang memiliki sifat dogmatis 1. Pengetahuan Biasa 2. Pengetahuan Ilmiah 4. Pengetahuan Agama 3. Pengetahuan Filsafati • Pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati Pengetahuan Inderawi Pengetahuan Akal Budi KEBENARAN BERKAITAN DENGAN SIFAT ATAU KARAKTERISTIK Pengetahuan Intuitif Pengetahuan Kepercayaan atau otoritatif KEBENARAN YANG DIKAITKAN ATAS KETERGANTUNGA N TERJADINYA PENGETAHUAN Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek. Jika subjek yang lebihberperan maka kebenarannya bersifat subjektif, dan begitu pula sebaliknya. SYARAT KARAKTERISTIK ILMIAH Obyektif Metodik Sistematik Berlaku umum/universal TEORI KEBENARAN Teori Koherensi (Coherence Theory) Teori Korespondensi (Correspondence Theory) Teori Pragmatisme (Pragmatic Theory) TEORI KOHERENSI (COHERENCE THEORY)  Paham ini mengatakan bahwa suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi yang benar atau jika makna yang dikandunganya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.  Suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar  “Veritas de raison” yaitu, kebenaran-kebenaran yang masuk akal  Melahirkan berpikir deduksi yang sangat diperlukan untuk matematika.  Teori ini dikenal juga sebagai teori justifikasi, karena dukungan dari keputusan-keputusan yang terdahulu yang sudah diakui dan diterima kebenarannya. TEORI KORESPONDENSI (CORRESPONDENCE THEORY)  Teori yang paling tua (Tradisional)  Suatu pernyataan itu benar jika makna yang dikandungnya sungguh-sungguh merupakan halnya  Kebenaran atau keadaan benar berupa kesesuaian (correspondence) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sesungguhnya merupakan halnya, atau apa yang merupakan fakta-faktanya  Teori kebenaran ini termasuk dalam katagori “veritas desfait” yaitu kebenaran-kebenaran berdasarkan kenyataan  Melahirkan cara berpikir induksi yang tampak dalam statistika. TEORI PRAGMATISME (PRAGMATIC THEORY)  pandangan Filsafat kontemporer yang berkembang pada akhir abad ke-19.  The Pragmatic Theory of Truth, menurut Patrick : “Teori, hipotesa atau idea adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya, oleh akibat-akibat praktisnya. “  suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan dalam kehidupan manusia.  Benar sesuatu itu jika berfungsi dan berguna, tidak benar jika tidak berfungsi dan tidak berguna. KEBENARAN NON ILMIAH PENGETAHUAN BIASA MITOS WAHYU UPAYA MENEMUKAN KEBENARAN NON ILMIAH • Dapat diterima dalam • Tanpa kepastian akan metode keilmuan untuk berhasil menggali pengetahuan berhasil Penemuan secara kebetulan atau Penemuan “coba dan ralat” (trial and error) tidak • Pendapat orang yang memiliki kewibawaan Penemuan mll otoritas/kewibawaan TABEL KEBENARAN Tabel Kebenaran Ingkaran (Negasi) Tabel Kebenaran Negasi Konjungsi Tabel Kebenaran Negasi Disjungsi Tabel Kebenran Konjungsi Tabel Kebenaran Biimplikasi Tabel Kebenaran Negasi Implikasi Tabel Kebenaran Disjungsi Tabel Kebenaran Implikasi Tabel Kebenaran Negasi Biimplikasi Skill bernalar ilmiah SKILL BERNALAR ILMIAH Periode Perkembangan Penalaran Ilmiah Manusia oleh Piaget Mengembangkan Keterampilan Bernalar Ilmiah u Keterampilan bernalar ilmiah dikembangkan melalui beberapa model pendidikan u Model-model Pendidikan tersebut, antara lain u Model Kontruktivis u u Model Pembelajaran Situatif u u Penalaran ilmiah dapat diperoleh dari pemecahan masalah serta pembelajaran dari pengalaman orang lain dalam memecahkan permasalahan yang sama Model Adaptive Character of Thought (ACT-R) u u Keterampilan penalaran ilmiah dikembangkan dengan cara mengubah keyakinan agar sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah yang dipikul oleh masyarakat Penalaran manusia tergantung pada jumlah pengetahuan yang tersimpan di dalam pikiran manusia dan penjabaran yang efektif dari pengetahuan yang tersimpan tersebut Model Beban Kognitif/ Cognitive Load Theory (CLT) u Penalaran dapat dikembangkan dengan pembelajaran melalui kegiatan-kegiatan terarah yang relevan BAB III PENUTUP KESIMPULAN u Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Manfaat dari penalaran ilmiah adalah untuk memberikan kerangka berpikir yang melingkupi proses pemahaman untuk pikiran ilmiah (scientific mind) dan untuk pengujian hipotesis. Model Hypothesis-deductive adalah salah satu model yang digunakan untuk penalaran ilmiah dan penelitian. Perkembangan manusia dalam hal keterampilan bernalar ilmiah dibagi ke dalam 4 periode oleh Piaget. Mengembangkan penalaran ilmiah dalam ranah pendidikan memiliki banyak perspektif berkenaan dengan proses perkembangan, metode pengajaran pendidikan sains, evaluasi terhadap literasi ilmiah, dan lain sebagainya. DAFTAR PUSTAKA u Adib, H. M. 2011. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II, halaman: 26 u Anderson, J. 1996. ‘ACT: A simple theory of complex cognition’, American Psychologist, 51, pp. 355–365. u Angles, P. L. 1981. A Dictionary of Philosophy. London: Harper & Row Publishers. Halaman: 40. u Barz, D. L. and Achimaș-Cadariu, A. 2015. ‘The Development of Scientific Reasoning in Medical Education: A Psychological Perspective’, Medicine and Pharmacy Reports, 89(1), pp. 32–37. doi: 10.15386/cjmed-530. DAFTAR PUSTAKA u Britten, N., Stevenson, F.A., Barry, C.A., Barber, N., Bradley, C.P. 2000. Misunderstandings in prescribing decisions in general practice: qualitative study. British Medical Journal; 320:484-488. u Chalmers, A.F. 1983. What is This Thing Called Science (Apa itu yang Dinamakan Ilmu), terj. Redaksi Hasta Karya. Jakarta: Hasta Karya. u Chandler, P. and Sweller, L. 1991. ‘Cognitive Load Theory and the Format of Instruction, Cognition and Instruction’, 8(4), pp. 293–332. u Colburn, A. ‘Constructivism: Science Education’s “Grand Unifying Theory”’, Clearing House, 74(1), pp. 9–12. DAFTAR PUSTAKA u Crain, William. 2007. Theories of Development, Concepts and Applications (third ed.). Trans Yudi Santoso. Yogyakarta:Penerbit Pustaka Pelajar. u Dunbar, K., & Fugelsang, J. 2005. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G. Morrison (Eds.), The Cambridge handbook of thinking and reasoning (pp. 705-725). New York, NY, US: Cambridge University Press. u Dunbar, K., & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. In K. J. Holyoak & R. G. Morrison (Eds.), The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford University Press,. Retrieved 20 Jul. 2019, from https://www.oxfordhandbooks.com/view/10.1093/oxfordhb/9780199734689. 001.0001/oxfordhb-9780199734689-e-35. DAFTAR PUSTAKA u Glebbeek, A.C., Bax, E.H. 2004. Is high employee turnover really harmful? An empirical test using company records. Academy of Management Journal;47(2):277-286. u Hadi, H. 1997. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. Halaman: 35. u Haakim, A., dkk. 2012. Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif, dan Abduktif. Semarang: Universitas Diponegoro. u Hartanto, K., dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press. Halaman: 25-27. u Hemant, D., Kathy, R. 2007. A research framework in banking studies: Researching and writing articles a researcher’s odyssey. The Business Review, Cambridge. DAFTAR PUSTAKA u Khemlani, S.S., Byrne, R.M. and Johnson-Laird, P.N., 2018. Facts and Possibilities: A Model-Based Theory of Sentential Reasoning. Cognitive science, 42(6), pp.1887-1924. u Klahr, D., & Dunbar, K. 1988. Dual space search during scientific reasoning. Cognitive Science, 54, 1–48. u Klahr, D., & Simon, H. 1999. Studies of scientific discovery: Complementary approaches and convergent findings. Psychological Bulletin, 54, 524–543. u Koedinger, K. and Anderson, J. 1998. ‘Illustrating principled design: The early evolution of a cognitive tutor for algebra symbolization’, Interactive Learning Environments, 5, pp. 161–180. DAFTAR PUSTAKA u Komarudin. 2014. FALSIFIKASI KARL POPPER DAN KEMUNGKINAN PENERAPANNYA DALAM KEILMUAN ISLAM, Jurnal at-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2. u Langevald, M. J. Op Weg Noor Weijsgering Denban, alih bahasa G.J. Claessen, “Menuju ke Pemikiran Filsafat”. Jakarta: Pembangunan. Halaman: 35. u Lave, J. 1991. ‘Situating Learning in Communities of Practice.’, in Situated Learning Legitimate Peripheral Participation. Cambridge University Press, pp. 63–82. u Lewis, R.W. 1998. Biology: A hypothetico-deductive science. The American Biology Teacher.; 50(6):362-366. DAFTAR PUSTAKA u Maslikhah dan Susapti, P. 2013. Ilmu Alamiah Dasar. Yogyakarta: Ombak. Halaman: 46-47. u Maudsley, G. and Strivens, J. 2000. ‘Promoting professional knowledge, experiential learning and critical thinking for medical students’, Med Educ, 34(7), pp. 535–544. u Meyer, C.B., Altenborg, E. 2007. The disintegrating effects of equality: a study of a failed international merger. British Journal of Management.;18:257-271. u Moutafi, J., Furnham, A., Crump, J. 2007. Is managerial level related to personality? British Journal of Management; 18:272-280. u Muslih, Mohamad. 2005. Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan KerangkaTeori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2. Yogyakarta: Belukar. DAFTAR PUSTAKA u Patel, V. et al. 2009. ‘Cognitive and learning sciences in biomedical and health instructional design: A review with lessons for biomedical informatics education’, J Biomed Inform, 42(1), pp. 176–197. u Popper, Karl R. 2008. The Logic of Scientific Discovery (Logika Penemuan Ilmiah), terj. Saut Pasaribu & Aji Sastrowardoyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. u Pratiwi. 2012. PENALARAN DAN MACAM-MACAM PENALARAN. Cited from : http://pratiwi-19.blogspot.com/2012/03/penalaran-dan-macammacampenalaran_06.html. 1 21 Juli 2019 u Simon, H. A., Langley, P., & Bradshaw, G. L. 1981. Scientific discovery as problem solving. Synthese, 54, 1–27. u Suhasti, E. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Prajnya Media. Cet I, halaman: 69. DAFTAR PUSTAKA u Suriasumantri, J. S. 1991. Mencari Alternatif Pengetahuan Baru, dalam; A.M. Saifuddin, et.al., “Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi”. Bandung: Mizan. Halaman: 16. u Suriasumantri, Jujun S. 2001. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. u Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty. Halaman: 135-137. u White, R. A. 1970. Truth; Problem in Philosophy. New York: Doubledaly & Company.