Academia.eduAcademia.edu

TUGAS INDIVIDU

TUGAS INDIVIDU Hegemoni Tandingan Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban : Studi Analisis Wacana Kritis Model Sara Mill Mata kuliah : Analisis Wacana Kritis Dosen : Prof. Dr. Yumna Rasyid, M.Pd Dr. Miftahulkhairah Anwar, M.Hum., M.Phil Disusun Oleh : Rendy Pribadi 9906918006 Tugas Yang Dibuat Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN BAHASA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2019 Hegemoni Tandingan Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban : Studi Analisis Wacana Kritis Model Sara Mill ABSTRACT The object of this research are describing and was to understand comprehensively of hegemony in the text “Perempuan Berkalung Sorban” by Abidah El Khalieqy. It was a qualitative research with content analysis method. The data were collected through literature review. The object was approachment a hegemony by williams theory on the novel. Frame work of this research used critical discourse analysis by Sara Mill version. The data analysis and interpretation was found two dimension of hegemony in the novel;(1) subject-object filled by hegemony of conversation from aspect of vocabulary, metaphor, gramatical, and interaction leader from dominance cultrure- the object from this approach is women who to be victim from dominance culture in pesantren ; (2) dimension writer-reader, filled by who writing the text and institution behind this- how reader’s perspective about writer from the text. Structure of hegemony in a novel is a culture dominance; hegemony dominance and counter hegemony of culture in pesantren. The findings lead to the recommendation to cooperative learning (from intermediate and advanced group) in order to have effective literacy education for adults. Novel as alternative media for delivery a equality. Construction of critical discourse analysis can be implication in various learning language an literature. Keyword : hegemony culture, novel as a representative, critical discourse analysis. Pendahuluan Teks dalam wacana adalah sebagian kecil gambaran tentang keadaan sesungguhnya dari sebuah kehidupan. Dalam teks ada artefak yang bisa ditelusuri arah dan tujuan dari si pengarang. Dalam agenda dari pengarang dan sebuah “pemantik” hingga menjadi gagasan yang memicu adanya kesetaraan, feminisme. Sebuah kajian wacana dapat menganalisa adanya gerakan untuk meninjau kembali teks yag berkembang pada pembaca melalui sebuah karya sastra, itu adalah kajian wacana feminis. Persoalan yang mendasar ketika wacana feminis yang dijadikan alat untuk mengungkapkan kebenaran terkadang masih menjadi ranah yang belum jelas. Namun Sara Mills memberikan sebuah ranah yang harus diselesaikan pada ranah wacana. Sara Mills (1995:13) mengatakan Feminist Stylistics bertujuan untuk membuat asumsi yang ada dalam stilistika konvensional menjadi lebih jelas, dengan tidak hanya menambahkan topik Gender ke daftar elemen yang dianalisa, namun menggunakan stilistika menjadi sebuah fase baru dalam analisis wacana. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan stilistika dalam analisis bahasa, tidak lagi bahwa bahasa itu sekedar ada, atau memang harus ada dan dimunculkan. Stilistika dimunculkan sebagai pengaruh atas subjek yang menulis tentang sebuah objek termasuk bagaimana tata bahasa yang digunakan lalu bagaimana kemunculan perempuan diatur dalam sebuah teks dan bagaimana peran pembaca mempengaruhi si pembuat teks. Sara Mills lebih menekankan pada ranah teks karena daya stilistika yang lebih terukur dari jenis wacana yang lainnya dan bisa membaca sebuah ideologi dari daya stilistika dalam tes tersebut. Selain Mills, Teun A. van Dijk juga mengutarakan pendapatya tentang wacana. Dijk mengatakan bahwa wacana bermain pada sebuah perputaran fundamental dalam keseharian dalam reproduksi ideologi. Maka dari itu wacana mengandung perhatian utama dalam setiap bentuk pengaruh ideologi dalam beberapa tingkatan beberapa tahapan dari bentuk wacana yang mengandung intonasi, sintaks dan imaji dan beberapa aspek dari pengertian seperti topik, koherensi, preposisi, metafora, dan argumentasi, dan banyak lainnya (Teun A. van Dijk, 2000). Discourse plays a fundamental role in the daily expression and reproduction of ideologies. This course therefore pays special attention to the ways ideologies influence the various levels of discourse structures, from intonation, syntax and images to the many aspects of meaning, such as topics, coherence, presuppositions, metaphors and argumentation, among many more. Kajian wacana memuat hal yang komplek dari struktur kalimat, setiap struktur terdapat bagian dan kategori tersendiri. Struktur intonasi memuat suatu tanda yang menjadi penanda dari adanya maksud yang dituliskan dalam struktur teks. Teks tertulis yang ada dalam kerangka wacana terdiri dari aspek semantik, seperti pengenalan topik, kepaduan (koherensi), preposisi, metafora dan argumentasi. Wacana merupakan segmen dari teks yang memunyai kesatuan erat dengannya. Kohesi atau kepaduan terdapat dalam kesatuan itu justru merupakan hasil dari berbagai ciri. Kenyataanya adalah wacana hanya melibatkan satu topik tunggal yang sampai pada akhir topik itu. Jika wacana yang melibatkan lebih dari satu topik, maka wacana tersebut tidak memenuhi persayaratan dan akan selalu kehilangan bagian akhir untuk beberapa segmen. Oleh karena itu, maka wacana yang nyata selalu menginginkan satu topik yang harus ditaati. Salah satu bentuk wacana tulis yang penulis kaji adalah novel. Sebagai bentuk amanat dari perwujudan suatu wacana secara tertulis. Wujud novel sebagai teks tidak hanya dipandang sebagai wacana tulis semata yang memuat berbagai tulisan, tetapi sebagai representasi tentang kultur, kepengarangan, dan sejarah. Sebagai salah satu bentuk prosa, novel memang tergolong karya tulis yang panjang. Dalam membaca suatu novel, seseorang bisa berhari-hari dalam menyelesaikan sebuah novel. Novel Perempuan Berkalung Sorban yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini. Novel yang bertemakan kultur dan perempuan yang menjadi tema dalam di dalam karya ini. Kedua tema ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji karena berada dalam suatu institusi besar (pesantren). Institusi yang mencetak para ustadz dan ustadzah ini memiliki suatu kultur yang kuat karena sistem yang di buat oleh seorang intelektual organik (ulama) yang begitu mengakar dalam diri setiap santri dan santriwati dalam kurun waktu yang cukup lama. Sistem ini yang coba digugat oleh intelektual organik (Annisa) yang melihat ada ketimpangan dalam dirinya ketika ia mendengarkan diskusi yang melihat perempuan selalu lebih rendah dari ilmu dan emosi seperti kutipan yang telah dipaparkan di atas. Tokoh Annisa yang selalu mempertanyakan hal ini yang seolah memojokkan kaumnya dalam setiap pengajian maupun diskusi ringan. Lalu hegemoni dari kultur yang sudah ada turun temurun lewat pepatah dan sistem. Ada kata kunci dalam hal ini yang coba dikaji dalam esai ini. Sebuah pola hegemoni dari kelas atas kepada kelas kedua. Hegemoni: Dalam dominasi dan tandingan Hegemoni dalam Encyclopedia Britanica diambil dari kata “eugemonia” yang dalam praktiknya di Yunani diterapkan untuk menunjukan dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polis atau citystates) secara individual (Patria & Adi Arief, 2003) Dalam penggunaan kata hegemoni menurut pengertian Antonio Gramsci, penguasaan suatu bangsa terhadap bangsa lain. Atau lebih kecilnya penguasaan suatu kelas terhadap kelas lain. Sebelum dikembangkan oleh Gramsci, kata hegemoni telah dipakai oleh beberapa pengikut Marxis, yakni Plechanov, Lenin, Axelrod, dan Lukacs. Hegemoni tersebut merujuk kepada kepemimpinan politik yang dilakukan untuk kaum proletar (Suseno, 2003). Pola hegemoni mempunyai alur yang berbeda saat dihadapkan pada sebuah infrastruktur dan suprastruktur. Dalam infrastruktur, pola digerakkan oleh lembaga yang independen atau instansi yang mempunyai keleluasaan dalam mengatur dirinya. Unit-unit ini seperti parpol (partai pollitik), media massa dan lembaga masyarakat. Kemudian suprastruktur adalah lembaga yang menyusun suatu lembaga atau instansi, misalkan dalam konsep negara yang berdasarkan demokrasi, maka keutuhan lembaga ini disusun oleh yudikataif, legislatif, dan eksekutif. Hubungan antara pola dalam hegemoni ini yang kemudian mengatur sebuah tataran masyarakat. Seperti kelembagaan yang berkuasa mengatur perilaku dan sikap dari perempuan. Pesantren termasuk kepada lembaga indpenden namun diatur dalam sebuah lembaga besar yang dibentuk pemerintah. (Kemenag). Jadi seluruh kegiatan keagamaan formal harus berdasarkan aturan yang telah dibuat dan wajib ditaati oleh setiap lembaga yang dinaungi oleh Kemenag. Setelah penulis menjelaskan pola-pola Hegemoni itu sendiri oleh Gramsci diartikan sebagai praktik kepemimpinan budaya yang dilakukan oleh ruling class, yang menjadi isi dari filsafat praxis. Perubahan tidak ditempuh melalui praktik coercion yang menggunakan kekuasaan eksekutif dan legislatif atau intervensi yang dilakukan polisi, melainkan menggunakan ideologi (Maliki, 2003) Gagasan hegemoni pertama kali diperkenalkan oleh marxis Rusia, Plekhanov pada 1883-1884. Gagasan tersebut telah dikembangkan sebagai bagian dari strategi untuk menggulingkan Tsarisme. Istilah tersebut menunjukkan kepemimpinan hegemoni yang harus dibentuk oleh kaum proletar, dan wakil-wakilnya, dalam suatu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi Tsaris (Bocock, 2007).Istilah hegemoni ini sebenarnya untuk menunjukkan perlunya kelas pekerja untuk membangun aliansi dengan petani sebagai tujuan meruntuhkan gerakan Tsarisme. Ada dua hal yang dikemukakan oleh Gramsci dalam hegemoni (Adamson, 1980) Pertama, hegemoni berarti dasar persetujuan secara umum dari adanya sistem politik dalam masyarakat sipil. Pengertian ini berlawanan dengan konsep “dominasi”: Monopoli Negara dalam setiap kekerasan dan itu diakibatkan perputaran sebagai akhir dari semua perselisihan. Kekuatan Negara sangat dominan dalam setiap berbagai aktivitas kaum proletariat. Kedua, hegemoni adalah sebuah penyelesaianan dari “kerjasama ekonomi ”. Hal disini adalah keterangan menuju bagian dalam tingkatan sampai peristiwa politik. Tingkat hegemoni merepresentasikan kemajuan dalam “kesadaran kelas”, dimana pengertian kelas tidak hanya bersifat bersifat ekonomi tetapi juga istilah yang berarti intelektual, kesadaran moral, dan kesadaran kultur. Menurut Gramsci, hegemoni muncul karena beberapa alasan, yaitu: terpenuhinya akses dan atau ruang material (economic space) dan saluran berpendapat (political space). Kelompok dominan telah melakukan berbagai penawaran yakni dengan memberi berbagai keleluasaan dalam hubungan ekonomis sehingga kelompok ini mendapat berbagai tunjangan dalam pekerjaannya dan ruang berkespresi yang lebih luas, dan waktu berserikat lebih luang. Hal ini membuktikan bahwa kelompok dominasi tidak harus menngunakan sikap represif terhadap kaum proletar. Ia bisa dengan proses diskusi atau reduksi yang dilakukan oleh pihak pengusaha dan negara untuk bersinergi dengan kelompok pembangkang. Lain halnya dengan teori hegemoni Gramsci yang membicarakan perang sosial dan posisi dalam memperebutkan nilai ekonomis serta intelektual organiknya, Faruk memunyai gagasan lain antara kebudayaan dan hegemoni. Faruk, dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga kategori: kebudayaan hegemoni atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan atau residual (Faruk,2010). Kebudayaan hegemoni adalah budaya dari masyarakat yang digagas oleh seorang (intelektual). Budaya yang kemudian menjadi dominan karena tidak ada pengaruh lain (tandingan) dalam masyarakat sehingga menjadi budaya yang sangat dipuja bahkan dianggap sebagai pegangan hidup. Sementara itu bangkit atau emergent adalah hegemoni tandingan dari hegemoni dominan yang telah dijelaskan di atas. Kategori ini menjelaskan tentang budaya tandingan yang menjadi penghalang atau yang mengkritisi budaya dominan yang telah menjadi nilai bagi masyarakat dengan perantara intelektual organik yang memobilisasi kategori ini untuk menjadi setara dan memperoleh keseimbangan yang sesuai dengan tujuan dari si penggagas emergent. Terakhir adalah residual atau endapan. Kebudayaan endapan mengacu kepada pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai yang dibentuk di masa lalu yang terus hidup dan dipraktikan pada masa kini meskipun bukan merupakan bagian dari kebudayaan dominan dan bersifat adaptif atau fleksibel dengan bentuk kebudayaan lainnya. Residual bisa dalam ingatan berupa cerita-cerita yang berkembang dalam narasi dari setiap penutur yang menjadi penyebar hegemoni dominan atau emergent. Sekilas Tentang Kondisi Pesantren Dalam novel ini diceritakan seorang santri bernama Samsuddin. Ia adalah seorang anak dari pemilik pesantren tempat Annisa belajar. Namun dengan mengatasnamakan Ayahnya yang seorang tokoh dan pemilik pesantren, ia bertindak semena-mena dengan siapapun termasuk Annisa yang kemudian menjadi Istrinya. Hegemoni Samsuddin tidak sampai di sini, Ia juga bertindak dengan mengatasnamakan agama kepada istri lainnya. Hal ini menjadi isu yang terkemuka karena peran ideologi dan hegemoni menjadi tema inti dari cerita ini. Fakta dan makna di atas dapat di identikkan dalam sebuah citra yang di buat oleh pengarang. Hal ini perlu ditelusuri secara komprehensif dan seimbang dalam analisis dari segala sisi .analisis wacana kritis mampu untuk membaca makna ini. tidak hanya membaca makna, analisis wacana kritis juga membantu seorang pengarang (subjek) dalam memperjuangkan harapannya dari wacana teks yang telah ia konstruksi untuk memberikan gambaran baru dari apa yang telah ditulisnya baik local maupun secara global. Pendekatan Analisis Wacana Kritis berupaya menjelaskan proses sosiokultural dalam wacana, yang mungkin tidak disadari tersembunyi atau terlihat oleh pewacana atau khalayak. Diantara praktik sosiokultural yang biasanya tersembuyi atau menjadi fokus yaitu yang berkaitan dengan rasisme, kekuasaan, dominasi, hegemoni , bentuk hegemoni , perubahan sosial, identitas, dan kemarjinalan. Dengan demikian.Analisis Wacana Kritis dapat membantu menyadarkan pewacana atau sasaran wacana tentang praktik sosiokultural dalam teks yang diproduksinya (Fairclough and Wodak, 1997) Metode Penelitian Metode yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan prosedur analisis isi dengan kerangka Analisis wacana kritis. Menurut Moleong (2002: 178). metode ini merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif dalam Mayring (2002:6) adalah pendekatan yang Sementara itu teknik analisis isi menjadi ihwal metode dalam penelitian ini. Teknik analisis teks dari wacana yang mengindikasikan paragraf-paragraf baik itu berupa dialog maupun pernyataan yang muncul dari penutur yang ada pada wacana teks bermuatan hegemoni. Analisis isi merupakan teknik analisis penelitian yang menarik kesimpulan melalui data sahih dengan memperhatikan konteks data. Analisis isi dapat menjadi teknik yang valid dan dapat direplikasi untuk membuat simpulan spesifik dari suatu teks. Analisis isi bisa dikontrol secara metodologis dan empiris dengan mengikuti tata aturan analisis secara bertahap tanpa kuantifikasi terlalu dini. Model Analisis Wacana Sara Mills Posisi: Subjek – Objek Sara Mills menempatkan representasi sebagai bagian penting dari analisisnya. Bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Akan tetapi, berbeda dengan analsisi tradisi critical linguistics yang memusatkan perhatian pada struktur kata, kalimat, atau kebahasaan, Mills lebih menekankan pada bagaimana posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi-posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir di masyarakat. Misalnya seorang aktor yang mempunyai posisi tinggi (subjek) ditampilkan dalam teks, ia akan mempengaruhi bagaimana dirinya ditampilkan dan bagaimana pihak lain ditampilkan. Posisi Pembaca Hal yang penting dan menarik dalam model yang diperkenalkan oleh Sara Mills adalah bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Sara berpandangan bahwa dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah diperhitungkan dalam teks. Sara Mills menolak pandangan banyak ahli yang menempatkan dan mempelajari konteks semata dari sisi penulis, sementara dari sisi pembaca diabaikan. Dalam model seperti ini, teks dianggap semata sebagai produksi dari sisi penulis dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembaca. Pembaca hanya dan ditempatkan semata sebagai konsumen yang tidak mempengaruhi pembuatan teks. Model yang diperkenalkan oleh Mills justru sebaliknya. Teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Oleh sebab itu, pembaca disini tidaklah dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Kerangka Analisis Sara Mills dengan memakai analisis Althusser lebih menekankan bagaimana aktor diposisikan dalam teks. Posisi ini dilihat sebagai bentuk pensubjekan seseorang: satu pihak mempunyai posisi sebagai penafsir sementara pihak lain menjadi objek yang ditafsir. Secara umum, ada dua hal yang diperhatikan dalam analisis, yakni: Pertama, bagaimana aktor dalam berita tersebut diposisikan dalam pemberitaan. Siapa pihak yang diposisikan sebagai penafsir dalam teks untuk memaknai peristiwa, dan apa akibatnya. Kedua, bagaimana pembaca diposisikan dalam teks. Teks berita dimaknai disini sebagai hasil negosiasi antara penulis dan pembaca Tingkat Yang Ingin Dilihat Posisi Subjek - Objek Bagaimana peristiwa dilihat, Dari kacamata siapa peristiwa itu dilihat, Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan Siapa yang menjadi objek yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri, gagasannya ataukah kehadirannya, gagasannya ditampilkan oleh kelompok/orang lain. Posisi Penulis - Pembaca Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah pembaca mengidentifikasikan dirinya. Pembahasan Pemakaian Kosakata Dari Para Pendahulu Sebagai Bentuk Wacana Tandingan berdasarkan kerangka analisis wacana kritis Marginalisasi perempuan di media Novel sebagai bentuk amanat wacana PBS sebagai novel feminis AWK SARA MILLS Posisi Subjek - Objek Posisi Pembaca Konstruksi Perempuan dan Laki-laki di karya sastra Setiap aspek kosakata yang ada dalam teks, memuat suatu maksud dan tujuan tertentu. Penggunaan aspek kosakata memiliki pengaruh yang cukup besar bagi si penutur yang menggunakannya, terlebih dalam menunjukkan tingkat pendidikan dan pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat. Annisa merepresentasikan setiap kosakata yang ia ambil untuk memperjuangkan siapa dirinya. Seperti kosakata bathok kepala yang diucapkan Annisa saat mengungkapkan sebagian kejadian demi kejadian yang telah dilaluinya. Kosakata ini sudah jarang didengar oleh masyarakat luas, dalam hal ini orang awam. Tetapi tidak dalam diri Annisa yang, makna bathok kepala adalah proses (reinterpretasi) dengan akal sehat. Bathok sendiri adalah lapisan permukaan terluar yang keras untuk melindungi bagian lunak di dalamnya dan bagian anggota manusia yang disebut kepala, yakni tempat indera perasa (pengecap), penglihatan, dan pendengaran. Jadi bathok kepala adalah metafora dari proses diluar yang sepenuhnya belum bisa masuk ke inti (otak) yang tidak ia mengerti sepenuhnya. Aspek dalam penggunaan kosakata yang menandai seseorang akan menguasai segala pengetahuan tentang tema yang ia bicarakan. Sebagai seorang perempuan yang hidup diantara budaya patriarki, Annisa memang memunyai keinginan besar untuk bisa keluar dari budaya tersebut dan menentang aksi yang berlebihan dari para pendukung budaya itu. Seperti yang ia ungkapkan kepada kedua laki-laki yang ada dalam keluarganya, yakni Rizal yang hanya mengolok-olok Annisa yang sedang bercengkrama dengan lek Khudhori. Kemudian Annisa membalasnya dengan kosakata qishas yang diluar perkiraan Rizal. Sejenak Rizal hanya diam dan menegaskan kepada Annisa, apakah kosakata itu lazim digunakan. Kata qishas sendiri memang memiliki arti ‘balas dendam’ dalam melakukan suatu tindak kriminal atau tercela. Saling balas-membalas dalam hal membunuh, hal yang diperkuat pula oleh Rizal “kisos itu hukuman untuk pembunuh.” Dari segi pengetahuan, Annisa banyak menyerap ilmu-ilmu agama dari setiap ia mengaji dan bertanya kepada orang-orang di sekitarnya, terutama lek Khudhori sehingga pengetahuannya bertambah dan bahkan dengan orang yang usianya lebih tua, Annisa selalu pandai untuk mengungkapkan hal yang tidak bisa ditebak atau dikalahkan. Hegemoni tandingan (emergent) tidak diungkapkan secara eksplisit didalam hal ini. Tuturan dari Annisa maupun Khudhori dalam menjelaskan kembali penafsiran oleh para kiai dalam kacamata rasional dan hati nurani menjadi proses pembaharuan tafsir yang komprehensif dengan melihat berbagai unsur baik secara tekstual maupun konteks. Secara tekstual, hegemoni tandingan diwujudkan dalam bentuk penafsiran kembali dari apa yang dikatakan oleh pendahulu mereka saat membicarakan masalah agama kemudian diperbaharui dengan ide dan argumen yang bersifat universal. Seperti yang dikemukakkan oleh Abu Ishak al-Syathibi. Ketentuan umum atau hukum universal bersifat pasti sedangkan petunjuk-petunjuk khusus bersifat relatif. Karena itu keumuman atau universalitas harus didahulukan, dan harus diberi bobot lebih besar dalam menganalisis petunjuk-petunjuk hukum yang bersifat khusus [...] (Khaled Abou Fadl, 2003) Peraturan hendaknya dibuat berdasarkan landasan universal terlebih dahulu. Karena agama memandang universalitas yang tinggi sesuai dengan perkembangan jaman. Terutama dalam ketentuan gender yang dikemukakkan sebagai salah satu hal yang berlaku universal tentang bagaimana agama memandang seseorang baik dari sudut pandang feminismee maupun maskulinitas. Dari sudut pandang agama, manusia dianggap sama di hadapan Tuhan baik laki-laki maupun perempuan yang membedakannya adalah ketakwaannya. Begitupun dalam ranah sosial, laki-laki dan perempuan memunyai derajat sosial yang sama. Namun Tuhan telah memberikan sedikit keleluasaan dalam hal memimpin bagi kaum laki-laki seperti ditulis dalam Q.S. An-Nisa: 34: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suamiya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Departemen Agama Republik Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi, Tafsir Al-qur’anul Karim, ( Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/penafsir Al-Quran, 1971), h. 114. Terjemahan Al-Quran di atas tentang laki-laki yang memunyai sedikit kelebihan dalam hal kepemimpinan. “Qawwam” sebagai arti dari kata “pemimpin”. Al-Thabari, guru besar para ahli tafsir ( pada ayat Al-Quran (Syaikh al-Mufassirin), menafsirkan kata tersebut: “ahl al-qiyam ‘alaihim fi ta’diibihin wa al-akhdz fi ayihim”. Singkatnya adalah para laki-laki adalah “pendidik” kaum perempuan (wanita). (Husein Muhammad, 2011) Kata sebahagian laki-laki dalam konteks ayat di atas merupakan bentuk dari tidak mutlak dan absolut. Sebahagian laki-laki ada yang menjadi pemimpin, namun sebahagian lagi boleh jadi tidak menjadi pemimpin. Hal yang menjadikan laki-laki menjadi pemimpin dalam penafsiran Zamakhsyari dalam Husein Muhammad, yakni karena laki-laki memiliki potensi nalar (‘aql),ketegasan (al-hazm),semangat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-quwwah), keberanian dan ketangkasan (al-furusiyyah wal al-ramy) (Zamakhsyari, 2004). Perlu ditekankan bahwa tidak mutlak bahwa laki-laki berpotensi seperti penjelasan di atas karena ada penjelasan lain yang menyebutkan kata “fi al-ghalib” “ur’fan” yang berarti pada umumnya, tradisinya (Husein Muhammad, 2011). Jadi kata-kata ini memperlihatkan bahwa tidak semua bahkan setiap laki-laki dalam berurusan dalam segala hal selalu ditunjuk sebagai pemimpin. Tingkat Yang Ingin Dilihat Posisi Subjek - Objek Posisi subjek diisi oleh seorang perempuan bernama Annisa sebagai seorang santriwati. Ia berpendapat dengan sejumlah kosakata-kosakata dan sikap yang merujuk kepada bentuk tandingan (counter) terhadap budaya dominan (hegemoni dominan). Posisi objek diisi oleh bentuk-bentuk narasi tentang perempuan yang tidak setara dalam budaya pesantren dan Posisi Penulis - Pembaca Kelompok pembaca mengidentifikasikan dirinya dalam ranah peserta diskusi terhadap Kritik terhadap kultur dan tafsir misogini. Ada kalimat “Bagaimana jika isterinya mengajak ke tempat tidur suami dan suaminya menunda-nunda hingga isterinya tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak Kiai?” “Tidak. Sebab tak ada hadis yang menyatakan seperti itu. Lagi pula, mana ada istri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur. Seorang istri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.” […] (PBS, h. 80) Kalimat di atas menunjukkan bahwa premis tersebut dibalik. Maka tahap akhirnya kembali kepada agama. Posisi penulis dalam hal ini secara tidak langsung menunjukkan ketidak puasannya terhadap tafsir dari seorang yang ahli dalam agama lewat tokoh seorang anak perempuan. Abidah pada waktu kecilnya memang dihabiskan di pesantren Salaf daerah Bangil. Peran dari sebuah lembaga pesantren ini sebenarnya adalah melahirkan geenrasi yang reliius dan mampu mengembangkan dirnya ketika terjun ke masyaraat namun dalam kasus ini membatasi sebuah peran kritik dari seorang santriwati yang mempertanyakan perihal hadis yang dinilai misogini. Pada posisi pembaca ketika dihadapkan pada hal yang bersifat agama, maka boleh jadi sulit untuk menempatkan dirinya. Pembaca boleh jadi tidak bisa memihak atau mengganggu gugat sebuah tafsiran ayat atau hadis karena menyangkut iman dan kepercayaan. Namun ketika tafsir mulai dipertanyakan (oleh Annisa) dan ahli agama pun tampak gugup ketika ditanyakan hal tersebut maka pembaca pun bisa menguji juga hal tersebut karena atas dasar keadilan dan sifat manusia yang ingin mencari tahu tentang ihwal keadaan reigiusitasnya. Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis menampilkan perempuan sebagai subjek tulisan, karena perempuan pada teks berita di atas posisinya mendefinisikan dan ia dapat menampilkan dirinya sendiri dengan melakukan hegemoni tandingan. Sedangkan objek dari wacana tersebut adalah perempuan yang terdominasi oleh budaya dan laki-laki dalam instansi pesantren. karir atau pekerjaan yang merupakan peran ganda yang harus dilakukan oleh seorang perempuan ketika ingin terus pendidikan sambil berperan sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian, bentuk hegemoni tandingan dalam novel PBS yakni membentuk opini baru dalam budaya dan sistem pesantren. Daftar Pustaka Bocock, Robert. 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni. (Yogyakarta: Jalasutra), Fairclough and Wodak. 1997. “Critical Discourse Analysis”,dalam Van Dijk , Discourse as Sosial Intreaction. London: Academic Press. Faruk. 2010.Pengantar Sosiologi Sastra : Dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Maayring, Philip. 2000. Qualitative Content Analysis. dalam Forum Qualitative Research. Vol 1 No.2. Maliki, Zainuddin. 2003. Narasi Agung Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: LPAM. Mills, Sara .1995 .Feminist Stylistics. London: Routledge Moleong, Alex J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Patria, Nezar & Adi Arief. 2003. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suseno, Franz Magnis. 2003. Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Walter L. Adamson, Hegemony and Revolution : A Studi of Antonio Gramsci’s Political and Cultural Theory, ( Berkeley and California : University Of California Press, 1980), 15