Pariwisata sebagai “boomerang” bagi Indonesia
Latar Belakang
Fenomena yang sangat unik dewasa ini adalah arus perjalanan manusia di seluruh dunia yang meningkat luar biasa sebagai akibat dari peningkatan perjalanan antarnegara untuk keperluan bisnis dan profesional, pariwisata, belajar keluar negeri, maupun perpindahan pengungsi yang menghindari kericuhan politik di negaranya sendiri (Mas’oed, 2003). Pernyataan Mas’oed mengisaratkan bahwa perjalanan antarnegara khususnya pariwisata seolah-olah memutuh batas negara itu sendiri. Dampak yang timbul dari peristiwa tersebut juga sangat signifikan. Kita melihat bahwa dari sudut pandang ekonomi, pariwisata membawa devisa yang melimpah bagi negara tujuan. peristiwa tersebut dapan mendatangkan banyak devisa bagi negara tujuan termasuk salah satunya Indonesia sebagai negara tujuan pariwisata. Berikut adalah tabel kedatangan turis manca negara ke Indonesia dari tahun 2007 menurut United Nation World Tourism Organization (UNWTO)
Total 7.002.944 turis mancanegara mengunjungi indonesia sampai dengan tahun 2010 (BPS). Pariwisata merupakan suatu aktivitas yang wajar karena pariwisata merupakan proses globalisasi yang masuk ke Indonesia secara simultan. Sejak awal disadari bahwa kegiatan pariwisata harus dapat dimanfaatkan untuk pembangunan. Sektor pariwisata, terutama pariwisata internasional termasuk dalam program pembangunan nasional di Indonesia sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. Industri pariwisata dalam dekade terakhir ini banyak mendapatkan perhatian khusus dari beberapa negara berkembang karena mempunyai sumbangan dan kontribusi yang tidak sedikit terhadap pemasukan pendapatan dari wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Pendapatan daerah dapat meningkat dengan adanya arus kunjungan wisatawan domestik, demikian juga dengan adanya kunjungan para wisatawan mancanegara yang secara kuantitatif ikut memberikan sumbangan devisa negara yang tidak sedikit sehingga banyak negara yang berlomba meningkatkan kualitas industri pariwisata untuk menarik perhatian para wisatawan domestik maupun mancanegara.
Peranan pariwisata dalam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yakni segi ekonomis (sumber devisa, pajak-pajak), segi sosial (penciptaan lapangan kerja), dan segi kebudayaan (memperkenalkan kebudayaan kita kepada wisatawan). Ketiga segi tersebut tidak saja berlaku bagi wisatawan asing, tetapi juga untuk wisatawan domestik. Jadi bisa disimpulkan bahwa pariwisata adalah sebuah kegiatan ekonomi,
sedangkan tujuan utama dari pengembangan pariwisata ialah untuk mendapatkan keuntungan dalam hal perekonomian, khususnya bagi masyarakat maupun daerah (negara). Pengembangan kepariwisataan juga acapkali dihubungkan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), Komisi Bruntland (dalam Damanik, 2006) mengartikan pembangunan berkelanjutan sebagai development which meets of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. Ide dasar pembangunan berkelanjutan adalah kelestarian sumber daya alam dan budaya. Sumberdaya tersebut merupakan kebutuhan setiap orang agar dapat hidup dengan sejahtera tetapi harus dapat diperlihara dan dilestarikan. Dari ide tersebut kemudian diturunkan kedalam konsep pariwisata berkelanjutan. Artinya adalah pembangunan dan pelestarian sumberdaya (atraksi, aksesbilitas, dan amenitas) pariwisata yang bertujuan untuk memberikan keuntungan optimal bagi pemangku kepentingan (stakeholders) dan nilai kepuasan optimal bagi wisatawan.
Berbagai kebijakan telah ditempuh salah satunya melalui Tap No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara
http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/78TAPMPR-IV.pdf menempatkan industri pariwisata pada urutan keenam setelah pertanian, industri, pertambangan, energi dan prasarana. Ketetapan MPR ini dalam hal pariwisata berisi perlunya peningkatan dan perluasan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan memperkenalkan kebudayaan sehingga memerlukan langkah-langkah yang lebih terarah berdasarkan kebijaksanaan terpadu dan pembinaan serta pengembangan pariwisata dalam negeri lebih ditujukan kepada pengenalan budaya bangsa dan tanah air. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1979, tanggal 13 Agustus 1979, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan objek wisata adalah perwujudan dari tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan. Atraksi wisata dapat diartikan sebagai objek wisata yang dinamis (bergerak), meliputi kehidupan masyarakat sehari-hari, termasuk diadalamnya upacara-upacara tradisional, kesenian, permainan rakyat, sampai dengan industri kerajinan rakyat.
Sudah sering kita mendengar cerita tentang keberhasilan pariwisata dalam menopang pendapatan devisa negara. Namun tulisan singkat ingin menceritakan sisi lain dari pariwisata sehingga kita memiliki pertimbangan dalam membuat kebijakan. Pariwisata tidak hanya berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi saja, banyak aspek yang juga berdampak negatif akibat dari pembangunan pariwisata. Menurut Schnider (2005) Meskipun pariwisata dapat berkontribusi besar terhadap masyarakat dalam hal kegiatan ekonomi, sosial, dan lingkungan, juga dapat membawa beberapa biaya dengan itu juga. Beberapa tuntutan ini terkait ekonomi. Tempat pariwisata menuntut pada layanan publik dan infrastruktur yang didukung pajak. Ekspansi pasokan air (terutama penting dalam komunitas pertanian), pembuangan limbah, tenaga listrik, sistem bahan bakar, dan polisi, pemadam kebakaran dan perlindungan medis sering diperlukan.
Pariwisata dan Budaya
Pariwisata memiliki hubungan yang sangat erat dengan budaya khususnya di Indonesia. Pengembangan pariwisata dewasa ini membawa dampak serius bagi kelestarian budaya di Indonesia. kedatangan turis mancanegara dapat mengikis nilai-nilai budaya di dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh yang di bawa oleh turis mancanegara secara tidak langsung juga mengubah pola hidup masyarakat tujuan wisata, contohnya saja di Indonesia. gaya hidup ala “barat” mulai terlihat di berbagai sudut kota di Indonesia terutama daerah-daerah tujuan parwisata. Di Bali misalnya, berpakaian minim dan budaya minum minuman keras dengan berbagai merk Internasional seperti Bintang, Heineken, dll sangat mudah terlihat di setiap sudut kota bali. Contoh lain di Jogjakarta. Dengan bangganya disetiap persimpangan rambu-rambu lalu lintas telihat spanduk besar diskotik, yang justru lebih banyak daripada spanduk yang bertemakan budaya. Hal ini menjadi kekhawatiran yang cukup serius mengingat bahwa nilai-nilai kebudayaan merupakan identitas bangsa yang kini kian terkikis. Selain itu dampak dari pengembangan pariwisata dapat menghilangkan nilai-nilai asli dan identitas lokal. Beberapa faktor penyebabnya adalah :
Komersialisasi Budaya
Kebudayaan merupakan hasil karya manusia baik berupa pikiran , perbuatan dan benda-benda budaya, dimana manifestasi kebudayaan itulah yang dihadapkan kepada wisatawan untuk dinikmati sebagai sebuah atraksi wisata, manifestasi kebudayaan tersebut sangatlah beraneka ragam baik berupa peninggalan kebudayaan atau tourist heritage , seperti candi-candi yang ada di Indonesia, atau keris, adapula manifestasi yang masih dibuat baik berupa artifact seperti pahatan , ukiran, lukisan maupun berupa perilaku manusia seperti kegiatan di pasar tradisional, kehidupan nelayan dan sebagainya. Selain itu pula ada kegiatan masyarakat yang berupa upacara-upacara tradisional dan yang bersifat religius.Secara langsung maupun tak langsung, pariwisata berpengaruh terhadap manifestasi kebudayaan diatas. Pariwisata dapat mengakibatkan budaya lokal menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan ketika upacara-upacara ritual, upacara adat tradisional diadakan untuk permintaan, harapan dan kepuasan wisatawan maka akan muncul istilah “rekonstruksi kebudayaan”. Pada saat suatu daerah dinyatakan menjadi daerah tujuan wisata, maka permintaan akan suvenir, benda-benda seni dan semacamnya merupakan komoditas belaka yang pada akhirnya akan mempengaruhi pergeseran nilai budaya masyarakat di tempat tersebut, karena tempat-tempat suci dan sakral tidak lagi dihormati dan disegani, kecuali hanya sebagai komoditas yang layak untuk di jual.
Pergeseran Budaya
Karena pariwisata melibatkan pergerakan individu-individu yang berada di daerah yang berbeda satu dengan yang lainnya, dan menyebabkan terjadinya hubungan sosial antara wisatawan dan masyarakat lokal dimana, hubungan tersebut bersifat sementara (selama individu dalam hal ini wisatawan, tinggal di daerah wisata), maka memunculkan pergesekan budaya yang disebabkan karena perbedaan budaya, suku , gaya hidup, bahasa, keyakinan dan tingkat kesejahteraan antar keduanya. Hal ini mudah dimengerti, karena wisatawan bukanlah bagian masyarakat lokal suatu daerah wisata sehingga keduanya memiliki perbedaan latarbelakang budaya yang berbeda dan sudah sewajarnya terjadi saling mempengaruhi antara masyaraka lokal dengan wisatawan tersebut (Nurdin, 2012).
Ketidak sejajaran Kondisi Ekonomi
Sebagian besar wisatawan berasal dari masyarakat yang berbeda dalam pola konsumsi dan gaya hidup dibanding masyarakat di daerah wisata, baik dalam berpelesir, menghabiskan 4 sejumlah besar uang , dan kadang-kadang berperilaku diluar kebiasaan mereka. Dan salah satu dampaknya adalah masyarakat lokal yang berinteraksi dengan wisatawan tersebut menirukan sebagian kebiasaan wisatawan tersebut, hal ini sering terjadi terutama pada masyarakat di negara-negara dunia ketiga, dimana perbedaan kesejahteraan terlihat begitu jelas antara yang kaya dan yang miskin, sehingga kesenjangan ekonomi relatif tinggi.. Contohnya, resort – resort Jamaica, atau Brazil, para karyawan yang bekerja di industri pariwisata mempunyai penghasilan antara 1.200 sampai 3.000 dollar Amerika per tahun, berinteraksi dengan wisatawan yang berpenghasilan 80.000 dollar Amerika (Nurdin 2012).
Standarisasi Pekerjaan
Pengembangan pariwisata selalu diiringi dengan merebaknya lapangan pekerjaan di daerah tujuan wisata tersebut, namun dibalik semua itu terjadi ketimpangan dalam pembagian wilayah pekerjaan, dimana cendrung porsi dan posisi strategis selalu dipegang oleh orang-orang yang bukan dari masyarakat lokal. Dan kebanyakan diambil dari luar negeri yang kemampuan dan kapabilitasnya sesuai dengan standar pelayanan perusahaan. Hal ini justru menambah gesekan budaya yang semakin kuat. Ditambah dengan masyarakat lokal yang hanya menempati wilayah-wilayah bawah yang hanya bisa mengikuti standar dan aturan yang di buat oleh perusahaan pengembang pariwisata atao agen pariwisata. Ketimpangan inilah yang manjadikan nilai-nilai asli daerah semakin lama semakin hilang.
Faktor-faktor inilah yang menjadi keresahan akan hilangnya nilai-nilai asli daerah dan kebudayaan sekitar. Kebudayaan merupakan nilai-nilai yang perlu dijaga dan di lestarikan keberdaannya.
Pariwisata dan lingkungan
Dewasa ini Isu lingkungan menjadi topik perbincangan khususnya yang disebabkan oleh pengembangan pariwisata. Isu Deforestasi atau kerusakan pada keaslian hutan secara permanen sedang hangat di perbincangkan di dunia internasional. Indonesia merupaka terbanyak menyumbang deforestasi dan di ikuti oleh Brazil dengan laju deforestasi meningkat sampai dengan 2% pertahun dan di ikuti Brazil sebesar 1,6% ( Menurut data State of World’s Forest, 2007).
Pengembangan pariwisata selalu di iringi oleh pembukaan lahan baru untuk perluasan wilayah pariwisata. Semakin bagus daerah kawasan wisata maka akan semakin banyak pula investor yang ingin menanamkan modalnya di daerah tersebut, sehingga mau tidak mau akan membutuhkan lahan yang cukup untuk membangun fasilitas penungjang pariwisata. Pembukaan lahan yang kemudian menjadi isu deforestasi sangat berbahaya bagi kelestarian lingkungan di Indonesia khususnya.
Kecendrungan turis menyukai akan benda seni sangatlah besar, hal ini terkadang membuat bebrapa turis yang nakal mencuri berbagai benda peninggalan sejarah yang menjadi perhatian. Dikarenakan hal benda tersebut tidak di jual, dengan rasa yang sangat ingin memiliki akhirnya mereka mencuri benda benda tersebut. Terbukti dengan banyaknya kasus hilangnya kepala “budha” di candi Borobudur di Indonesia.
Menurut Schnider (2005) Meskipun pariwisata telah banyak dilakukan untuk melestarikan tanah dan memberikan kesempatan alam yang unik, ia juga membawa beberapa kelemahan lingkungan, seperti peningkatan sampah, kebisingan, polusi udara, dan persaingan atas sumber daya lahan.
Schider (2005) juga melanjutkan Pembangunan pariwisata dapat menyebabkan kebalikan dari pelestarian lingkungan. Sebagai contoh, diketahui bahwa ada lebih spesies tanaman dan satwa liar asli ke Hawaii yang telah punah atau sekarang dianggap terancam punah akibat pembangunan resort. Pariwisata dapat menurunkan kualitas situs alam atau bersejarah sensitif. Pembangunan trotoar tahan lama, tangga, pencahayaan, mencari poin, dan daerah informasi bagi wisatawan dapat menghancurkan citra tempat-tempat bersejarah dan alam yang menarik.
Pariwisata dan Kondisi Sosial Masyarakat
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dapat dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami pergeseran dalam berbagai aspeknya. Dampak pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama dampak terhadap masyarakat lokal. Di lain pihak, dampak pariwisata terhadap wisatawa dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Pariwisata dewasa ini justu menyebabkan semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antarkelompok masyarakat, memburuknya ketimpangan antardaerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara berkembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas wisata yang ada di daerah tujuan wisata, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupaun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas tersebut antara lain menurut Fennel (1999) adalah Mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Itali, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat dampak sosial-budaya pariwisata terhadap masyarakat setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan 'bola-bilyard', di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika masyarakat dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari masyarakat terhadap pariwisata.
Wood selanjutnya menganjurkan, di dalam melihat pengaruh pariwisata terhadap masyarakat (kebudayaan) setempat, harus disadarai bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang secara internal terdeferensiasi, aktif, dan selalu berubah. Oleh karena itu pendekatan yang kiranya lebih realistis adalah dengan menganggap bahwa pariwisata adalah 'pengaruh luar yang kemudian terintegrasi dengan masyarakat', dimana masyarakat mengalami proses menjadikan pariwisata sebagai bagian dari kebudayaannya, atau apa yang disebut sebagai proses 'turistifikasi' (touristification). Di samping itu perlu juga diingat bahwa konsekuensi yang dibawa oleh pariwisata bukan saja terbatas pada hubungan langsung host-guest. Pengaruh di luar interaksi langsung ini justru lebih penting, karena mampu menyebabkan restrukturisasi pada berbagai bentuk hubungan di dalam masyarakat (Wood, 1984).
Kesimpulan
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki segudang obyek pariwisata yang tidak ternilai harganya. Pariwisata merupakan salah satu ujung tombak perekonomian Indonesia mengingat banyaknya tujuan wisaya yang sangat di gemari turis mancanegara, mulai dari pantai tropis yang hangat, pengunungan yang hijau, situs-situs purbakala, seni dan kebudayaan yang beragam dan masih banyak lagi obywk wisata di Indonesia. Namun semua itu merupakan identitas asli Indonesia yang harus dijaga kelestarian serta keberadaannya. Untuk itu butuh pertimbangan serta kebijakan yang baik untuk meminimalisasi kerusakan yang timbut akibat ulah pembangunan pariwisata. Tulisan singkat ini ingin memberikan gambaran terhadap paradigma atau sisi lain dari pariwisata yang mungkin secara tidak langsung kita rasakan dampaknya di kemudian hari. Untuk itu marilah kita bersama-sama menjaga kelestarian identitas asli Negara kita tercinta Indonesia.
Referensi Bacaan
Adams, Kathleen M. 2009. “Ethnic tourism and the renegotiation of tradition in Tana Toraja (Sulawesi, Indonesia)” Loyola : University Of Chicago
Mas’oed, Mohtar. 2003. “Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan”. Jakarta : Pustaka Pelajar.
Mottiar, Ziene. 2006. “Holiday Home Owners, a Route to Sustainable tourism Development? An Economic Analysis of Tourist Expenditure Data.Ireland : Faculty of Torism and Food, Dublin
Nurdin, Muhammad. 2012. “Dampak Negatif Industri Pariwisata Pada Lingkungan Sosial Budaya”. http://www.nurdinrazak.com/free/dampak-negatif-industri-pariwisata-pada-lingkungan-sosial-budaya/
Schnider, Sandy S. 2005. “Advantages and Disadvantages of Tourism on Agricultural Community”. Proquest.
Bussines Monitoring International. 2011. “Indonesian Tourism Report Q2 2011, Including 5 year Industry Forecast by BMI”. London
Gerhmann, Richard. 1994. ”Tourism, Exploitation and Cultural Imperialism : Resent Observation of Indonesia” Europe : Greet Laboratory.
Truong, Dao V. 2013. “Tourism Policy Development In Vietnam : A Pro-Poor Perspective”. England : Routladge
Hall-Dunbar, P. 2003. “Tradisi And Turisme : Music, Dance, and Cultural Transformation at The Ubud Place, Bali Indonesia”. Australia : Uneversity of Sidney.
Schellhorn, Matthias. 2009. “Development fo whom? Social Justice and The business of Ecotourism”. New Zealand : Faculty of Environment, Society and Design, Lincoln University