BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam tidak menetapkan bentuk negara untuk manusia, tetapi Islam lebih
mendorong manusia untuk membentuk suatu masyarakat (society). Ahmad
Muhammad Jamal dalam bukunya fikrah al-Daulah fi al-Islam mengatakan bahwa
Islam
tidak
menyusun bentuk negara
yang jelas, tidak pula menyebutkan
rinciannya. Agama Islam hanya meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat
umum tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. Demikian pula yang dikatakan
Qomaruddin Khan dalam al-Mawardi’s Theory of the State berpendapat1, tujuan alQuran bukanlah menciptakan sebuah negara, melainkan sebuah masyarakat. Tidak
ada bentuk negara baku dalam Islam membawa hikmah sendiri. Jika di dalammnya
terbentuk sebuah masyarakat Qurani, maka itu pun sudah merupakan tanda-tanda
negara Islam. Dengan tidak adanya penjelasan rinci merupakan rahmat besar bagi
kaum muslim, karena hal ini memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan
jaman dan menyesuaiakan diri terhadap kondisi dan lingkungan baru.
Dalam Islam, masyarakat terbentuk diakibatkan adanya kecendrungan
manusiawi antara manusia untuk berkumpul dalam memenuhi kebutuhan yang
diakibatkan oleh pemahaman bersama tentang masalah hidup. Kata lain dari
masyarakat dalam terminologi Islam adalah ummat, ummat merupakan padanan
yang universal untuk menegaskan eksistensi masyarakat Islam. Menurut Istiyaque
Danish, dalam The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State,2 prinsip dasar
yang menjadikan ummat adalah pengakuan atas adanya Allah dan Muhammad saw
sebagai utusan Allah. Sedangkan negara merupakan kesatuan masyarakat yang
menyatakan secara formal batas-batas aturan yang mengikat, yang diakui oleh
masyarakat di dalam ataupun di luar negara tersebut dikarenakan adanya bermacam
alasan, misalnya adanya kesamaan sejarah. Negara merupakan wujud dari hasil
1
Khan, Qamar-ud Din, Al-Mawardi’s Theory of The State, Chicago: The University of
Chicago, 1983.
2
Ishtiyaque Danish, The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State: Institute of
Objective Studies, 2001
1
aktivitas masyarakat oleh karena itu negara lebih bersifat statis, sedangkan
masyarakat lebih bersifat aktif, karena terbentuknya masyarakat lebih merupakan
suatu proses kegiatan manusia untuk mendapatkan tujuan yang ia capai;
kebahagiaan
Terbentuk negara Islam merupakan derifasi dari kesadaran masyarakat
membangun masyarakat yang bertumpu pada pilar-pilar tauhid. Maka dalam Islam
terbentuknya negara Islam berawal dari terbentuknya karakter “tauhidi” masyarakat
lebih dulu. Menurut Ismail al-Faruqi dalam the Nature of Ummah, yang berjudul
Tauhid;Its Implications for Thought and Life,3 iman, syariah, ibadah dan akhlaq
meruapakan unsur kemasyarakatan. Sedangkan keimanan
menjadi indentitas
masyarakat Islam secara universal dan diakui khususannya. Bila masyarakat tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam maka akan sulit menjadikan masyarakat maju secara
utuh.
Kita sadar bahwa membangun masyarakat akan selalu berhubungan dengan
personalnya, karena baik dan buruknya pribadi seseorang akan mempengaruhi
kehidupan sosialnya, sebagaimana baik dan buruknya suatu masyarakat atau
lingkungan memiliki peran dalam setiap individunya.
Islam telah memberikan kepada setiap insan jiwa yang merdeka, dan
menjadikannya sebagai bagian terpenting dari sebuah masyarakat, maka setiap
manusia memiliki sifat sosial di tempat dia hidup, karena itu setiap insan tidak bisa
hidup di luar area dari suatu masyarakat karena dirinya pasti membutuhkan bantuan
orang lain.
Ada ungkapan mengatakan: “Manusia adalah berjiwa sosial; yaitu bahwa
dirinya tidak bisa hidup dalam kesendirian namun mesti membutuhkan bantuan
orang lain agar tetap bisa bertahan dalam hidupnya, mengaktualisasikan cita-citanya
dan menyambung keturunannya”. Karena itu, manusia sejak diciptakan oleh Allah
dimuka bumi ini selalu membutuhkan adanya sekelompok masyarakat dan bahkan
merupakan keharusan agar dapat memudahkan segala kebutuhannya dan
melanggengkan hidupnya, manusia lahir sementara dirinya tidak bisa lari dari
3
Ismail al-Faruqi, the Nature of Ummah, Tawhid: Its Implications For Thought And Life.
Kuala Lumpur: IIIT. 1982.
2
kehidupan berjamaah dan sekelompok orang, dan merupakan keharusan juga bahwa
setiap insan harus menyatu dengan mereka, saling membantu dan menolong dalam
segala aspek kehidupan mereka.
Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan
Bangsa (Garda Bangsa) M. Hanif Dhakiri menegaskan Islam itu sangat moderat dan
anti kekerasan. "Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan proses kebudayaan
dalam masyarakat. Jadi, tidak benar jika ada sekelompok orang membawa panjipanji Islam tetapi mengobarkan kebencian dan memicu kekerasan bernuansa agama
dalam masyarakat," kata Hanif di sela-sela kegiatan Pesantren Kilat Anti-Teror yang
diselenggarakan DKN Garda Bangsa di Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa,
Jakarta, Jumat (19/8).4
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi masyarakat Islami?
2. Apakah prinsip-prinsip masyarakat Islami?
3. Apa saja komponen-komponen masyarakat Islami?
4. Bagaimana masyarakat edukatif dalam perspektif islam?
4
Republika.co.id, Jakarta
3
BAB II
MASYARAKAT ISLAMI
A. Pengertian Masyarakat Islami
Masyarakat Islami adalah masyarakat terbuka yang menjungjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa memandang asal usul
suku bangsa dan perbedaan agama.5
Dalam tulisannya, Labib Fardany Faisal mendefinisikan bahwa masyarakat
Islami adalah masyarakat yang dinaungi dan dituntun oleh norma-norma Islam,
satu-satunya agama Allah. Masyarakat yang secara kolektif atau orang perorangan
bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam meniti sirotul mustaqim. Masyarakat
yang didominasi oleh istiqomah, kejujuran, kebersihan ruhani dan saling kasih
mengasihi.
Masyarakat Islam menurut Murtadha Muthahhari adalah suatu kelompok
manusia yang terjalin sejak lama dalam suatu tempat dan sistem kemasyarakatannya
berpegang pada kebenaran wahyu Allah. Kebenaran yang dimaksud adalah
keadilan, persatuan atas dasar keimanan, amar ma’ruf nahi munkar dan moralitas.6
Karakteristik masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang memiliki
sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh
Islam. Setiap anggota masyarakat bahu-mambahu untuk memainkan peranan turut
membangun masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang mencerminkan
kerukunan umat beragama. Kedamaian dan kerukunan menjadi karakteristik utama
dari masyarakat yang bercorak Islami. Sayangnya, karakteristik masyarakat islami
masih belum terlihat di masyarakat Indonesia, hal ini tercermin pada tindakan
kekerasan yang mengatasnamakan Agama Islam kerap terjadi pada Jamaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Tindakan kekerasan berlarut kepada jamaah Ahmadiyah tidak bisa
ditoleransi, meskipun jamaah Ahmadiyah adalah ajaran sesat karena Agama Islam
tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Ketua MUI Umar Shihab
5
Endang Syaefudin Anshari, Wawasan Islam, Bandung, Mizan, 1986, hal. 72
http://www.sahabat-muthahhari.org/content/konsep-manusia-dan-masyarakat-islam-studiterhadap-pemikiran-murtadha-muthahhari
6
4
menyatakan “Kekerasan yang dilakukan oknum yang mengatasnamakan agama
Islam sesungguhnya telah menyalahi ajaran Islam itu sendiri”. Masyarakat yang
islami seharusnya mengerti akan hal itu karena inti dari karakter masyarakat yang
islami adalah perdamaian dankasih sayang terhadap sesama umat manusia yang
tercipta karena nilai-nilai Islam yang diterapkan pada masyarakat tersebut.
Lalu bagaimana cara untuk menciptakan karakter masyarakat yang Islami?
Untuk menciptakan karakteristik masyarakat yang Islami dibutuhkan kontribusi
oleh semua lapisan masyarakat terutama keluarga karena keluarga adalah institusi
terkecil dan sebuah dasar atau pondasi dari sebuah masyarakat. Ikatan kekeluargaan
membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar
pribadi, kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta pengakuan akan
kewibawaan.7 Pendidikan di keluarga adalah pendidikan awal dan utama bagi
seorang manusia. Keluarga adalah pemberi pengaruh pertama pada anak manusia.
Pengalaman hidup pada masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri khas,
baik dalam tubuh maupun pemikiran yang bisa jadi tidak ada yang dapat
mengubahnya sesudah masa itu. Di samping itu juga keluarga, sekolah dan
masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental.
Islam sebagai agama sekaligus hukum yang mengatur segala urusan di dunia
ini telah mengajarkan cara-cara yang benar dalam membangun sebuah keluarga,
yaitu keluarga islami. Membentuk dan membina keluarga islami merupakan citacita
luhur setiap muslim. Keluarga islami adalah salah satu pondasi yang harus
diwujudkan karena keluarga adalah salah satu unsur pembentuk masyarakat luas.
Jika semakin banyak keluarga menerapkan konsep islami, maka diharapkan
semakin mudah membentuk masyarakat islami.
Keluarga Islami adalah keluarga yang anggota-anggota bukan hanya status
keagamaannya sebagai muslim, tetapi juga dapat menunjukkan keislaman dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya kepada Allah Swt maupun dengan
sesama anggota keluarga dan tetangganya.
7
Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005. Hal.
87
5
Keluarga ini secara langsung atau tidak langsung memiliki andil dalam
menentukan karakteristik masyarakat yang Islami. Dari keluarga islami inilah lahir
generasi-generasi manusia yang bermartabat dan memiliki rasa kasih sayang dan
saling tolong – menolong diantara mereka. Dengan begitu akan terciptalah tatanan
dari
kehidupan
masyarakat
yang
bercorak
Islamiah,
yang
didukung
keluargakeluarga yang harmonis dan berkasih sayang karena memiliki pemikiran
yang benar sebagai pondasinya.
B. Prinsip-Prinsip Masyarakat Islami
a. Berketuhanan Yang Maha Esa, Q.S. Al-Ikhlas (112): 1
Artinya:
“Katakanlah bahwa Allah itu Maha Esa”. 8
b. Umat yang satu (satu kesatuan umat), Q.S. Al-Baqarah (2): 213
Artinya:
“Manusia itu adalah umat yang satu” 9
c. Menjungjung tinggi keadilan, Q.S. An-Nisa (4): 135
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan”.10
d. Menegakan amar-ma’ruf nahi-munkar, Q.S. Ali Imran (3): 104
8
Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu Ma’aniyatu ila Lughati alIndunisiya, (Medinah Munawwarah: Khadim al-Haramain al-Syarifain, Tahun 1411 H), hal. 1118.
9
Ibid, hal. 51.
10
Ibid, hal. 144
6
Artinya:
“Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada
kebaikan, menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah berbuat kejahatan”.11
e. Musyawarah, Q.S. Asyura (42): 38
Artinya:
“Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka”.12
f. Tolong menolong dalam kebaikan, Q.S. Al-Maidah (5) : 2
Artinya:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. 13
g. Toleransi, Q.S. Al-Kafirun (109): 6
Artinya:
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. 14
h. Persamaan Harkat, Q.S. Hujarat (49): 13
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantarakamu disisi Allah ialah orang
yang paling bertqwadiantara kamu”. 15
i. Harmonis dan damai, Q.S. Al-Baqarah (2): 143
11
Ibid, hal. 93
Ibid, hal. 789
13
Ibid, hal. 156
14
Ibid, hal. 1112
15
Ibid, hal. 847
12
7
Artinya:
“Dan demikianlah Allah telah menjadikan kamu umat yang tengah-tengah”.16
j. Berakhlak mulia, Q.S. Al-Ahzab (33): 21
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu”.17
Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk agar
umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan kasih
sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam menjadikan peran sosialnya dalam
lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi,
karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang
lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru menjadikan
hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam
secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak langsung merupakan jalan
ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar. Sikap menyayangi, menghargai dan
toleransi pernah ditampilkan secara mengikat oleh panglima perang Shalahuddin alAyyubi kepada lawannya Richard Lion Heart pada perang salib. Ketika itu Richard
luka dan terbaring di tendanya. Salahuddin berhasil masuk ke tendanya dengan
menyamar sebagai tabib yang hendak mengobati sang panglima. Dengan
kemampuan seorang tabib ia mengobati lawannya dengan sungguh-sungguh sampai
Richard sadar dari pingsannya. Ketika ia sadar didapatinya orang yang
menolongnya seraya berkata: Siapa nama tuan? sang penolong menjawab: Aku
Shalahuddin. Richard tercengang dan setelah mengetahui yang menolong adalah
lawannya sendiri, kemudian ia berkata: Mengapa tuan tidak membunuhku pada saat
aku pingsan tadi? Dengan ringan Shalahuddin menjawab : “Allah melarangku
untuk berbuat curang seperti itu, dan aku menyesal jika tuan mati di atas tempat
tidur, aku ingin menghadapi tuan di atas pelana kuda dengan pedang terhunus di
tengah pertempuran. Richard tertegun mendengar ucapan Shalahuddin dan
16
17
Ibid, hal. 143
Ibid, hal. 670
8
memerintahkan tentaranya untuk mengawal Shalahuddin sampai perbatasan.
Demikianlah sikap dan prilaku seorang muslim sejati yang tetap mengembangkan
kasih sayang kendatipun kepada musuhnya. 18
C. Komponen Masyarakat Islami
Ada beberapa komponen penting yang menjadi persyaratan terwujudnya
masyarakat Islami.
1) Kawasan, wilayah, teritorial yang kondusif (al-Bi’ah, al-Qura).
Lingkungan yang kondusif sangat mendukung terlaksananya ajaran Islam.
“Bukankah bumi Allah itu luas, kemudian kalian berhijrah di dalamnya.” (QS.
an-Nisa’ : 97).
2) Ummat (al-Ummah, ahl).
“Hendaklah diantara kamu segolongan yang mengajak kebaikan dan melarang
kemungkaran.” (QS. Ali Imran: 104).
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan.” (QS. al-Baqarah: 143)
3) Syariat (al-Syari’ah, aturan).
18
Muslim Nurdin dkk, Moral dan Kognisi Islam, Jakarta: Alfabeta. 1993, hal. 202
9
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari
urusan (agama), maka ikutilah dia.” (QS. al-Jatsiyah: 18)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu.” (QS. al-Nisa’: 105)
4) Kepemimpinan (al-Imamah).
Rachmat Djatnika mengutip pendapat George Terry, mengatakan bahwa,
kepemimpinan adalah keseluruhan aktivitas atau tindakan untuk mempengaruhi
serta menggiatkan orang-orang dalam usaha bersama dalam mencapai tujuan.19
Ummat yang telah terbina dengan dakwah dan tarbiyah perlu dikelola,
dipandu, dan diarahkan oleh sebuah kepemimpinan. Diawali dari kepemimpinan
yang bersifat mikro (al-Imamah al-Shughra), menuju kepemimpinan yang
bersifat
makro
(al-Imamah
al-Kubra).
Keduanya
harus
sama-sama
diprioritaskan. Tidak boleh dipisahkan. Kepemimpinan mikro seharusnya
melahirkan kepemimpian makro. Jika keduanya dipisahkan, akan masuk pada
perangkap sekulerisme.
D. Masyarakat Edukatif dalam Perspektif Islam
Robert W. Richey memberikan batasan tantang masyarakat dengan
mengatakan bahwa “The term community refers to a group of people living together
in a region where common ways of thingking and acting make the in habitans
somewhat aware of themselves as a group”.20
Istilah masyarakat dapat diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang
hidup bersama di suatu wilayah dengan tata cara berpikir dan bertindak yang
19
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Pustaka Panjimas, Jakarta, 1996.
hal. 253.
20
Robert W Richay, Planing for Teaching an introduction to Education, McGraw Hill Book
Coy, New York, 1968, hal. 489.
10
(relatif) sama yang membuat warga masyarakat itu menyadari diri mereka sebagai
suatu kesatuan (kelompok).21
Masyarakat merupakan lembaga ketiga sebagai lembaga pendidikan, dalam
konteks penyelenggaraan pendidikan itu sendiri besar sekali peranannya.
Bagaimanapun kemajuan dan keberadaan suatu lembaga pendidikan sangat
ditentukan oleh peran serta masyarakat yang ada. Tanpa dukungan dan partisipasi
masyarakat, jangan diharapkan pendidikan dapat berkembang dan tumbuh
sebagaimana yang diharapkan.
Di dalam masyarakat setiap individu akan menjalani kehidupan yang
sesungguhnya atas apa yang telah diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan.
Berbagai macam konflik social akan muncul dalam masyarakat. Ini menuntut
adanya saling tolong menolong, tenggang rasa, toleransi dan sebagainya. Kebutuhan
individu akan orang lain mengakibatkan terjalinnya suatu interaksi. Di sinilah maka
akhlak sebagai prinsip islam akan berperan.
Masyarakat edukatif dapat dilihat ketika tercipta hubungan saling tolong
menolong dalam masyarakat tersebut. Apabila orang yang berbuat baik dan dalam
takwa kepada Allah, maka harus kita bantu dan kita dukung. Dukungan tersebut
merupakan sugesti dan dorongan semangat, yang secara tidak langsung dari
perspektif pendidikan termasuk mengembangkan daya kreasi dan kemampuannya
untuk dapat mempersembahkan baktinya kepada Allah Swt yang berguna untuk
masyarakat dan dirinya.22
21
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.
22
Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Pustaka Panjimas, Jakarta, 1996.
95.
hal. 247
11
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat
yang Islami adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi
nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakat bahumambahu untuk memainkan peranan turut membangun masyarakat bersama-sama
dengan harmonis yang mencerminkan kerukunan umat beragama. Di samping dengan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam, baik hubungannya dengan Allah (hablun min
Allah) maupun dengan sesama (hablun min al-nass).
Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk agar
umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan kasih sayang
ini sebagai ciri khas umat Islam dalam peran sosialnya dalam lingkup kehidupan
masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi, karena keyakinan
merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Toleransi dan
penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru menjadikan hiasan yang dapat
menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam secara objektif dan
sungguh-sungguh yang secara tidak langsung merupakan jalan ke arah pengenalan Islam
kepada pihak luar.
12
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu Ma’aniyatu ila
Lughati al-Indunisiya, (Medinah Munawwarah: Khadim al-Haramain alSyarifain, Tahun 1411 H), hal. 1118.
Endang Syaefudin Anshari. 1986. Wawasan Islam. Bandung: Mizan.
Hasbullah. 2005. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Ishtiyaque Danish. 2001. The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State: Institute
of Objective Studies.
Ismail al-Faruqi. 1982. The Nature of Ummah, Tawhid: Its Implications For Thought
And Life. Kuala Lumpur: IIIT.
Khan, Qamar-ud Din. 1983. Al-Mawardi’s Theory of The State, Chicago: The University
of Chicago.
Muslim Nurdin dkk. 1993. Moral dan Kognisi Islam. Jakarta: Alfabeta.
Rachmat Djatnika. 1996. Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Pustaka Panjimas: Jakarta.
Republika.co.id, Jakarta
Robert W Richay. 1968. Planing for Teaching an introduction to Education, McGraw
Hill Book Coy, New York.
http://hidayatullah.or.id/in/sistematika-wahyu-dokumen-online-88/67-unsur-unsurmasyarakat-islami/107-unsur-unsur-masyarakat-islami.html?showall=1
http://www.sahabat-muthahhari.org/content/konsep-manusia-dan-masyarakat-islamstudi-terhadap-pemikiran-murtadha-muthahhari
13
MASYARAKAT ISLAMI
Makalah
Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag
Oleh :
Arif Kurniawan
(14116310028)
Konsentrasi/Semester : PAI/II
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2012
14