Academia.eduAcademia.edu

Makalah Masyarakat Edukatif dalam Perspektif Islam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam tidak menetapkan bentuk negara untuk manusia, tetapi Islam lebih mendorong manusia untuk membentuk suatu masyarakat (society). Ahmad Muhammad Jamal dalam bukunya fikrah al-Daulah fi al-Islam mengatakan bahwa Islam tidak menyusun bentuk negara yang jelas, tidak pula menyebutkan rinciannya. Agama Islam hanya meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. Demikian pula yang dikatakan Qomaruddin Khan dalam al-Mawardi’s Theory of the State berpendapat1, tujuan alQuran bukanlah menciptakan sebuah negara, melainkan sebuah masyarakat. Tidak ada bentuk negara baku dalam Islam membawa hikmah sendiri. Jika di dalammnya terbentuk sebuah masyarakat Qurani, maka itu pun sudah merupakan tanda-tanda negara Islam. Dengan tidak adanya penjelasan rinci merupakan rahmat besar bagi kaum muslim, karena hal ini memungkinkan Islam untuk mengikuti kemajuan jaman dan menyesuaiakan diri terhadap kondisi dan lingkungan baru. Dalam Islam, masyarakat terbentuk diakibatkan adanya kecendrungan manusiawi antara manusia untuk berkumpul dalam memenuhi kebutuhan yang diakibatkan oleh pemahaman bersama tentang masalah hidup. Kata lain dari masyarakat dalam terminologi Islam adalah ummat, ummat merupakan padanan yang universal untuk menegaskan eksistensi masyarakat Islam. Menurut Istiyaque Danish, dalam The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State,2 prinsip dasar yang menjadikan ummat adalah pengakuan atas adanya Allah dan Muhammad saw sebagai utusan Allah. Sedangkan negara merupakan kesatuan masyarakat yang menyatakan secara formal batas-batas aturan yang mengikat, yang diakui oleh masyarakat di dalam ataupun di luar negara tersebut dikarenakan adanya bermacam alasan, misalnya adanya kesamaan sejarah. Negara merupakan wujud dari hasil 1 Khan, Qamar-ud Din, Al-Mawardi’s Theory of The State, Chicago: The University of Chicago, 1983. 2 Ishtiyaque Danish, The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State: Institute of Objective Studies, 2001 1 aktivitas masyarakat oleh karena itu negara lebih bersifat statis, sedangkan masyarakat lebih bersifat aktif, karena terbentuknya masyarakat lebih merupakan suatu proses kegiatan manusia untuk mendapatkan tujuan yang ia capai; kebahagiaan Terbentuk negara Islam merupakan derifasi dari kesadaran masyarakat membangun masyarakat yang bertumpu pada pilar-pilar tauhid. Maka dalam Islam terbentuknya negara Islam berawal dari terbentuknya karakter “tauhidi” masyarakat lebih dulu. Menurut Ismail al-Faruqi dalam the Nature of Ummah, yang berjudul Tauhid;Its Implications for Thought and Life,3 iman, syariah, ibadah dan akhlaq meruapakan unsur kemasyarakatan. Sedangkan keimanan menjadi indentitas masyarakat Islam secara universal dan diakui khususannya. Bila masyarakat tidak mencerminkan nilai-nilai Islam maka akan sulit menjadikan masyarakat maju secara utuh. Kita sadar bahwa membangun masyarakat akan selalu berhubungan dengan personalnya, karena baik dan buruknya pribadi seseorang akan mempengaruhi kehidupan sosialnya, sebagaimana baik dan buruknya suatu masyarakat atau lingkungan memiliki peran dalam setiap individunya. Islam telah memberikan kepada setiap insan jiwa yang merdeka, dan menjadikannya sebagai bagian terpenting dari sebuah masyarakat, maka setiap manusia memiliki sifat sosial di tempat dia hidup, karena itu setiap insan tidak bisa hidup di luar area dari suatu masyarakat karena dirinya pasti membutuhkan bantuan orang lain. Ada ungkapan mengatakan: “Manusia adalah berjiwa sosial; yaitu bahwa dirinya tidak bisa hidup dalam kesendirian namun mesti membutuhkan bantuan orang lain agar tetap bisa bertahan dalam hidupnya, mengaktualisasikan cita-citanya dan menyambung keturunannya”. Karena itu, manusia sejak diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini selalu membutuhkan adanya sekelompok masyarakat dan bahkan merupakan keharusan agar dapat memudahkan segala kebutuhannya dan melanggengkan hidupnya, manusia lahir sementara dirinya tidak bisa lari dari 3 Ismail al-Faruqi, the Nature of Ummah, Tawhid: Its Implications For Thought And Life. Kuala Lumpur: IIIT. 1982. 2 kehidupan berjamaah dan sekelompok orang, dan merupakan keharusan juga bahwa setiap insan harus menyatu dengan mereka, saling membantu dan menolong dalam segala aspek kehidupan mereka. Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) M. Hanif Dhakiri menegaskan Islam itu sangat moderat dan anti kekerasan. "Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan proses kebudayaan dalam masyarakat. Jadi, tidak benar jika ada sekelompok orang membawa panjipanji Islam tetapi mengobarkan kebencian dan memicu kekerasan bernuansa agama dalam masyarakat," kata Hanif di sela-sela kegiatan Pesantren Kilat Anti-Teror yang diselenggarakan DKN Garda Bangsa di Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta, Jumat (19/8).4 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana definisi masyarakat Islami? 2. Apakah prinsip-prinsip masyarakat Islami? 3. Apa saja komponen-komponen masyarakat Islami? 4. Bagaimana masyarakat edukatif dalam perspektif islam? 4 Republika.co.id, Jakarta 3 BAB II MASYARAKAT ISLAMI A. Pengertian Masyarakat Islami Masyarakat Islami adalah masyarakat terbuka yang menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan secara universal, tanpa memandang asal usul suku bangsa dan perbedaan agama.5 Dalam tulisannya, Labib Fardany Faisal mendefinisikan bahwa masyarakat Islami adalah masyarakat yang dinaungi dan dituntun oleh norma-norma Islam, satu-satunya agama Allah. Masyarakat yang secara kolektif atau orang perorangan bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam meniti sirotul mustaqim. Masyarakat yang didominasi oleh istiqomah, kejujuran, kebersihan ruhani dan saling kasih mengasihi. Masyarakat Islam menurut Murtadha Muthahhari adalah suatu kelompok manusia yang terjalin sejak lama dalam suatu tempat dan sistem kemasyarakatannya berpegang pada kebenaran wahyu Allah. Kebenaran yang dimaksud adalah keadilan, persatuan atas dasar keimanan, amar ma’ruf nahi munkar dan moralitas.6 Karakteristik masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakat bahu-mambahu untuk memainkan peranan turut membangun masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang mencerminkan kerukunan umat beragama. Kedamaian dan kerukunan menjadi karakteristik utama dari masyarakat yang bercorak Islami. Sayangnya, karakteristik masyarakat islami masih belum terlihat di masyarakat Indonesia, hal ini tercermin pada tindakan kekerasan yang mengatasnamakan Agama Islam kerap terjadi pada Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Tindakan kekerasan berlarut kepada jamaah Ahmadiyah tidak bisa ditoleransi, meskipun jamaah Ahmadiyah adalah ajaran sesat karena Agama Islam tidak mengajarkan umatnya untuk melakukan kekerasan. Ketua MUI Umar Shihab 5 Endang Syaefudin Anshari, Wawasan Islam, Bandung, Mizan, 1986, hal. 72 http://www.sahabat-muthahhari.org/content/konsep-manusia-dan-masyarakat-islam-studiterhadap-pemikiran-murtadha-muthahhari 6 4 menyatakan “Kekerasan yang dilakukan oknum yang mengatasnamakan agama Islam sesungguhnya telah menyalahi ajaran Islam itu sendiri”. Masyarakat yang islami seharusnya mengerti akan hal itu karena inti dari karakter masyarakat yang islami adalah perdamaian dankasih sayang terhadap sesama umat manusia yang tercipta karena nilai-nilai Islam yang diterapkan pada masyarakat tersebut. Lalu bagaimana cara untuk menciptakan karakter masyarakat yang Islami? Untuk menciptakan karakteristik masyarakat yang Islami dibutuhkan kontribusi oleh semua lapisan masyarakat terutama keluarga karena keluarga adalah institusi terkecil dan sebuah dasar atau pondasi dari sebuah masyarakat. Ikatan kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerjasama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta pengakuan akan kewibawaan.7 Pendidikan di keluarga adalah pendidikan awal dan utama bagi seorang manusia. Keluarga adalah pemberi pengaruh pertama pada anak manusia. Pengalaman hidup pada masa-masa awal umur manusia akan membentuk ciri khas, baik dalam tubuh maupun pemikiran yang bisa jadi tidak ada yang dapat mengubahnya sesudah masa itu. Di samping itu juga keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan sendi-sendi pendidikan yang fundamental. Islam sebagai agama sekaligus hukum yang mengatur segala urusan di dunia ini telah mengajarkan cara-cara yang benar dalam membangun sebuah keluarga, yaitu keluarga islami. Membentuk dan membina keluarga islami merupakan citacita luhur setiap muslim. Keluarga islami adalah salah satu pondasi yang harus diwujudkan karena keluarga adalah salah satu unsur pembentuk masyarakat luas. Jika semakin banyak keluarga menerapkan konsep islami, maka diharapkan semakin mudah membentuk masyarakat islami. Keluarga Islami adalah keluarga yang anggota-anggota bukan hanya status keagamaannya sebagai muslim, tetapi juga dapat menunjukkan keislaman dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungannya kepada Allah Swt maupun dengan sesama anggota keluarga dan tetangganya. 7 Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005. Hal. 87 5 Keluarga ini secara langsung atau tidak langsung memiliki andil dalam menentukan karakteristik masyarakat yang Islami. Dari keluarga islami inilah lahir generasi-generasi manusia yang bermartabat dan memiliki rasa kasih sayang dan saling tolong – menolong diantara mereka. Dengan begitu akan terciptalah tatanan dari kehidupan masyarakat yang bercorak Islamiah, yang didukung keluargakeluarga yang harmonis dan berkasih sayang karena memiliki pemikiran yang benar sebagai pondasinya. B. Prinsip-Prinsip Masyarakat Islami a. Berketuhanan Yang Maha Esa, Q.S. Al-Ikhlas (112): 1 Artinya: “Katakanlah bahwa Allah itu Maha Esa”. 8 b. Umat yang satu (satu kesatuan umat), Q.S. Al-Baqarah (2): 213 Artinya: “Manusia itu adalah umat yang satu” 9 c. Menjungjung tinggi keadilan, Q.S. An-Nisa (4): 135 Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan”.10 d. Menegakan amar-ma’ruf nahi-munkar, Q.S. Ali Imran (3): 104 8 Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu Ma’aniyatu ila Lughati alIndunisiya, (Medinah Munawwarah: Khadim al-Haramain al-Syarifain, Tahun 1411 H), hal. 1118. 9 Ibid, hal. 51. 10 Ibid, hal. 144 6 Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu, segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah berbuat kejahatan”.11 e. Musyawarah, Q.S. Asyura (42): 38 Artinya: “Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka”.12 f. Tolong menolong dalam kebaikan, Q.S. Al-Maidah (5) : 2 Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebaikan dan taqwa, jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. 13 g. Toleransi, Q.S. Al-Kafirun (109): 6 Artinya: “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. 14 h. Persamaan Harkat, Q.S. Hujarat (49): 13 Artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantarakamu disisi Allah ialah orang yang paling bertqwadiantara kamu”. 15 i. Harmonis dan damai, Q.S. Al-Baqarah (2): 143 11 Ibid, hal. 93 Ibid, hal. 789 13 Ibid, hal. 156 14 Ibid, hal. 1112 15 Ibid, hal. 847 12 7 Artinya: “Dan demikianlah Allah telah menjadikan kamu umat yang tengah-tengah”.16 j. Berakhlak mulia, Q.S. Al-Ahzab (33): 21 Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.17 Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk agar umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan kasih sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam menjadikan peran sosialnya dalam lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi, karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru menjadikan hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak langsung merupakan jalan ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar. Sikap menyayangi, menghargai dan toleransi pernah ditampilkan secara mengikat oleh panglima perang Shalahuddin alAyyubi kepada lawannya Richard Lion Heart pada perang salib. Ketika itu Richard luka dan terbaring di tendanya. Salahuddin berhasil masuk ke tendanya dengan menyamar sebagai tabib yang hendak mengobati sang panglima. Dengan kemampuan seorang tabib ia mengobati lawannya dengan sungguh-sungguh sampai Richard sadar dari pingsannya. Ketika ia sadar didapatinya orang yang menolongnya seraya berkata: Siapa nama tuan? sang penolong menjawab: Aku Shalahuddin. Richard tercengang dan setelah mengetahui yang menolong adalah lawannya sendiri, kemudian ia berkata: Mengapa tuan tidak membunuhku pada saat aku pingsan tadi? Dengan ringan Shalahuddin menjawab : “Allah melarangku untuk berbuat curang seperti itu, dan aku menyesal jika tuan mati di atas tempat tidur, aku ingin menghadapi tuan di atas pelana kuda dengan pedang terhunus di tengah pertempuran. Richard tertegun mendengar ucapan Shalahuddin dan 16 17 Ibid, hal. 143 Ibid, hal. 670 8 memerintahkan tentaranya untuk mengawal Shalahuddin sampai perbatasan. Demikianlah sikap dan prilaku seorang muslim sejati yang tetap mengembangkan kasih sayang kendatipun kepada musuhnya. 18 C. Komponen Masyarakat Islami Ada beberapa komponen penting yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami. 1) Kawasan, wilayah, teritorial yang kondusif (al-Bi’ah, al-Qura). Lingkungan yang kondusif sangat mendukung terlaksananya ajaran Islam. “Bukankah bumi Allah itu luas, kemudian kalian berhijrah di dalamnya.” (QS. an-Nisa’ : 97). 2) Ummat (al-Ummah, ahl). “Hendaklah diantara kamu segolongan yang mengajak kebaikan dan melarang kemungkaran.” (QS. Ali Imran: 104). “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110) “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.” (QS. al-Baqarah: 143) 3) Syariat (al-Syari’ah, aturan). 18 Muslim Nurdin dkk, Moral dan Kognisi Islam, Jakarta: Alfabeta. 1993, hal. 202 9 “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama), maka ikutilah dia.” (QS. al-Jatsiyah: 18) “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (QS. al-Nisa’: 105) 4) Kepemimpinan (al-Imamah). Rachmat Djatnika mengutip pendapat George Terry, mengatakan bahwa, kepemimpinan adalah keseluruhan aktivitas atau tindakan untuk mempengaruhi serta menggiatkan orang-orang dalam usaha bersama dalam mencapai tujuan.19 Ummat yang telah terbina dengan dakwah dan tarbiyah perlu dikelola, dipandu, dan diarahkan oleh sebuah kepemimpinan. Diawali dari kepemimpinan yang bersifat mikro (al-Imamah al-Shughra), menuju kepemimpinan yang bersifat makro (al-Imamah al-Kubra). Keduanya harus sama-sama diprioritaskan. Tidak boleh dipisahkan. Kepemimpinan mikro seharusnya melahirkan kepemimpian makro. Jika keduanya dipisahkan, akan masuk pada perangkap sekulerisme. D. Masyarakat Edukatif dalam Perspektif Islam Robert W. Richey memberikan batasan tantang masyarakat dengan mengatakan bahwa “The term community refers to a group of people living together in a region where common ways of thingking and acting make the in habitans somewhat aware of themselves as a group”.20 Istilah masyarakat dapat diartikan sebagai suatu kelompok manusia yang hidup bersama di suatu wilayah dengan tata cara berpikir dan bertindak yang 19 Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Pustaka Panjimas, Jakarta, 1996. hal. 253. 20 Robert W Richay, Planing for Teaching an introduction to Education, McGraw Hill Book Coy, New York, 1968, hal. 489. 10 (relatif) sama yang membuat warga masyarakat itu menyadari diri mereka sebagai suatu kesatuan (kelompok).21 Masyarakat merupakan lembaga ketiga sebagai lembaga pendidikan, dalam konteks penyelenggaraan pendidikan itu sendiri besar sekali peranannya. Bagaimanapun kemajuan dan keberadaan suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat yang ada. Tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat, jangan diharapkan pendidikan dapat berkembang dan tumbuh sebagaimana yang diharapkan. Di dalam masyarakat setiap individu akan menjalani kehidupan yang sesungguhnya atas apa yang telah diperoleh dari lembaga-lembaga pendidikan. Berbagai macam konflik social akan muncul dalam masyarakat. Ini menuntut adanya saling tolong menolong, tenggang rasa, toleransi dan sebagainya. Kebutuhan individu akan orang lain mengakibatkan terjalinnya suatu interaksi. Di sinilah maka akhlak sebagai prinsip islam akan berperan. Masyarakat edukatif dapat dilihat ketika tercipta hubungan saling tolong menolong dalam masyarakat tersebut. Apabila orang yang berbuat baik dan dalam takwa kepada Allah, maka harus kita bantu dan kita dukung. Dukungan tersebut merupakan sugesti dan dorongan semangat, yang secara tidak langsung dari perspektif pendidikan termasuk mengembangkan daya kreasi dan kemampuannya untuk dapat mempersembahkan baktinya kepada Allah Swt yang berguna untuk masyarakat dan dirinya.22 21 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 22 Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Pustaka Panjimas, Jakarta, 1996. 95. hal. 247 11 BAB III PENUTUP Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat yang Islami adalah masyarakat yang memiliki sifat-sifat positif dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebajikan yang diajarkan oleh Islam. Setiap anggota masyarakat bahumambahu untuk memainkan peranan turut membangun masyarakat bersama-sama dengan harmonis yang mencerminkan kerukunan umat beragama. Di samping dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Islam, baik hubungannya dengan Allah (hablun min Allah) maupun dengan sesama (hablun min al-nass). Dalam kaitan dengan hubungan sosial, al-Qur’an memberikan petunjuk agar umatnya kasih sayang kepada seluruh makhluk dan menjadikan rahmat dan kasih sayang ini sebagai ciri khas umat Islam dalam peran sosialnya dalam lingkup kehidupan masyarakat. Islam menganjurkan kepada umatnya toleransi, karena keyakinan merupakan persoalan yang tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Toleransi dan penghargaan kepada pihak lain di luar Islam, justru menjadikan hiasan yang dapat menarik pihak lain untuk mengenal dan mendalami ajaran Islam secara objektif dan sungguh-sungguh yang secara tidak langsung merupakan jalan ke arah pengenalan Islam kepada pihak luar. 12 DAFTAR PUSTAKA Departemen Haji dan Wakaf Saudi Arabia, Al-Qur’an wa Tarjamatu Ma’aniyatu ila Lughati al-Indunisiya, (Medinah Munawwarah: Khadim al-Haramain alSyarifain, Tahun 1411 H), hal. 1118. Endang Syaefudin Anshari. 1986. Wawasan Islam. Bandung: Mizan. Hasbullah. 2005. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Ishtiyaque Danish. 2001. The Ummah; Pan Islamism and Muslim Nations State: Institute of Objective Studies. Ismail al-Faruqi. 1982. The Nature of Ummah, Tawhid: Its Implications For Thought And Life. Kuala Lumpur: IIIT. Khan, Qamar-ud Din. 1983. Al-Mawardi’s Theory of The State, Chicago: The University of Chicago. Muslim Nurdin dkk. 1993. Moral dan Kognisi Islam. Jakarta: Alfabeta. Rachmat Djatnika. 1996. Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia). Pustaka Panjimas: Jakarta. Republika.co.id, Jakarta Robert W Richay. 1968. Planing for Teaching an introduction to Education, McGraw Hill Book Coy, New York. http://hidayatullah.or.id/in/sistematika-wahyu-dokumen-online-88/67-unsur-unsurmasyarakat-islami/107-unsur-unsur-masyarakat-islami.html?showall=1 http://www.sahabat-muthahhari.org/content/konsep-manusia-dan-masyarakat-islamstudi-terhadap-pemikiran-murtadha-muthahhari 13 MASYARAKAT ISLAMI Makalah Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah : Filsafat Pendidikan Islam Dosen : Prof. Dr. H. Jamali, M.Ag Oleh : Arif Kurniawan (14116310028) Konsentrasi/Semester : PAI/II PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON 2012 14