0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
156 tayangan26 halaman

Rerefat Budaya - WIRADANA

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 26

Tinjauan Pustaka

“METUAKAN” TRADISI MINUM ALKOHOL


DI KARANGASEM

Oleh :
dr. I Wayan Wiradana

Pembimbing :
DR. dr. Cok Bagus Jaya Lesmana, SpKJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UNUD
RSUP SANGLAH DENPASAR
2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
tinjauan pustaka ini bisa diselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu
tugas di ruangan oleh residen Program Pendidikan Dokter Spesialis I Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu upaya untuk terus mencari
dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi manfaat bagi penulis
sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. DR. dr. Cok Bagus Jaya Lesmana, SpKJ selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan tinjauan pustaka ini yang dengan penuh kesabaran, perhatian dan
telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan masukan dalam penulisan
tinjauan pustaka ini.
2. dr. I Wayan Westa, SpKJ(K) selaku Ketua Program Study Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
3. dr. Nyoman Ratep, SpKJ(K) selaku Kepala Bagian Lab/SMF Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah.
4. Seluruh staf dosen pada Bagian/SMF Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide, bahan
referensi, dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka ini.
5. Rekan-rekan Residen dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu persatu
atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun teman-
teman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1

BAB II TINJAUANPUSTAKA.......................................................................................2

2.1 Sejarah.................................................................................................................2

2.2 Pengertian............................................................................................................3

2.3 Tuak.....................................................................................................................4

2.4 Metuakan.............................................................................................................6

2.5 Genjek.................................................................................................................12

2.6 Metuakan Dulu dan Sekarang...........................................................................13

2.7 Dampak Minum Tuak.........................................................................................14

2.8 Pandangan Agama Hindu Tentang Minum Tuak...............................................16

2.9 Pandangan Psikiatri Tentang Metuakan.............................................................19

2.10 Wawancara Dengan Pedagang Tuak................................................................20

BAB III SIMPULAN....................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Budaya minum alkohol sudah ada sejak dulu, tidak hanya di Bali, di Indonesia bahkan di

seluruh belahan dunia mengenal apa yang disebut dengan minuman beralkohol. Minum

alkohol sudah menjadi bagian dalam kehidupan manusia sehari-hari. Di Indonesia, hampir

disetiap daerah memiliki tradisi minum alkohol. Biasanya minuman yang mengandung

akohol tersebut bermacam-macam jenisnya seperti : whiskey, vodka, wine, beer, tuak,

arak, brem dan lain-lain.

Khususnya di Bali dikenal berbagai jenis minuman keras tradisional, seperti tuak

dan arak. Minuman keras (miras) tersebut biasanya terbuat dari aren yang memang banyak

dihasilkan masyarakat setempat. Karangasem sabagai salah satu Kabupaten yang terletak

diujung timur pulau Bali merupakan salah satu daerah yang sangat kental akan kebiasaan

minum minuman keras khususnya tuak, bahkan kebanyakan orang Bali memiliki anggapan

bahwa tuak tidak dapat lepas dari daerah Karangasem. Sebagai bukti jika ada yang

bertanya tentang tempat penghasil tuak terbaik pasti yang ada di pikiran orang adalah

daerah Karangasem, begitu pula jika ada yang melihat orang yang tidak dikenal sedang

mabuk-mabukan orang akan beranggapan itu adalah orang Karangasem (Jengki, 2008).

Kami akan mencoba menjelaskan tradisi minum tuak di Karangasem, dimana

kegiatan minum tuak tersebut terkenal dengan nama “metuakan”. Berbagai masalah dapat

timbul sebagai akibat dari metuakan. Disini kami akan mengulas metuakan sebagai suatu

tradisi minum tuak dan masalah yang dihadapi termasuk kendala dibidang psikiatri.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah
Tradisi metuakan di Karangasem sudah ada sejak dahulu, Tidak ada catatan yang

pasti kapan tradisi metuakan ini dimulai. Kemungkinan minum tuak sudah dimulai sejak

masyarakat mampu membuat tuak. Ada juga yang menyatakan bahwa metuakan sudah

ada sejak sebelum tradisi megibung dikenal pada pemerintahan raja Anak Agung Gede

Agung memerintah kerajaan Karangasem. Banyak kesenian yang sebelum pentas

melakukan minum tuak terlebih dahulu begitu juga dalam agama Hindu, menggunakan

tuak sebagai salah satu sarana upacara seperti pada acara Kare (perang pandan) yang

terkenal di desa Tenganan (Jengki, 2008).


Walaupun memiliki banyak daerah yang kering, Kabupaten Karangasem

merupakan daerah yang kaya dengan bahan baku pembuatan tuak seperti Pohon jaka

(enau), nyuh (kelapa), dan ental (lontar/siwalan), sehingga minuman ini dapat dengan

mudah ditemui dirumah-rumah penduduk karena penduduk sering membuat tuak untuk

keperluan sendiri. Di daerah Karangasem selain sebagai minuman untuk dikonsumsi,

tuak juga sangat penting untuk upacara ritual keagamaan. Karena disetiap upacara

keagamaan, tuak sangat penting biasanya dipakai untuk tuak tabuh, salah satu elemen

penting dalam setiap ritual Hindu di Bali. Misalnya : upacara pernikahan (pewiwahan),

upacara metatah (potong gigi), atau menek bajang dan upacara mecaru. Upacara Mecaru

bisa juga disebut upacara Butha Yadnya, ini adalah suatu upacara untuk menjaga

keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan sekitarnya. Caru artinya

cantik atau harmonis (kitab Samhita Swara). Dalam upacara mecaru yaitu

mempersembahkan yadnya kepada Bhuta Kala yang dalam pandangan umat Hindu

2
memiliki sifat sangat keras, kasar, pemarah, mementingkan diri sendiri, malas, tamak dan

serakah. Masyarakat percaya apabila kita mempersembahkan tuak dalam upacara yadnya

dapat meredam kemarahan dari Bhuta Kala karena telah memperoleh minuman yang

sesuai dengan sifat mereka. Tapi apabila produksi tuak berlebih, sering dikonsumsi

sendiri atau bersama dengan kerabat yang lain dan mungkin dari sini pula awal tradisi

metuakan dimulai (Anonim 1, 2013).

2.2 Pengertian
Tradisi, menurut Koentjaraningrat pengertiannya adalah sistem aktivitas atau

rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat

yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam

masyarakat yang bersangkutan.


Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari

generasi ke generasi secara tertulis dan seringkali disampaikan secara lisan, karena tanpa

adanya ini suatu tradisi dapat punah (Koentjaraningrat, 1985).


Sedangkan berdasarkan wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedia bebas, tradisi

berasal dari bahasa latin: traditio, yang berarti diteruskan atau kebiasaan, dalam

pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang dilakukan dan menjadi bagian dari

kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu,

atau agama yang sama


Metuakan yang berasal dari kata Tuak dan mendapat imbuhan me dan an sehingga

menjadi metuakan yang artinya adalah suatu kegiatan yang dilakukan berhubungan

dengan minum tuak.

2.3 Tuak
Tuak adalah sejenis minuman yang mengandung alkohol. Pada gugus fungsinya

mengandung gugus hidroksil (–OH) yang melekat pada atom karbon jenuh. Etil alkohol

3
disebut juga etanol, adalah bentuk alkohol yang umum; sering disebut alkohol minuman.

(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007)


Minuman tuak dibuat dari sadapan air bunga pohon jaka (enau), nyuh (kelapa), dan

ental (lontar/siwalan). Karena berasal dari pohon yang berbeda maka munculah istilah :

tuak jaka, tuak nyuh dan tuak ental. Tuak jaka banyak dibuat di Tenganan, Gumung dan

Bebandem. Tuak Nyuh dibuat di daerah yang banyak pohon kelapanya, seperti Pikat,

Pidpid, Gunaksa, Manggis. Sedangkan tuak ental dikenal di daerah yang banyak

ditumbuhi pohon ental, seperti Merita, Culik, Tianyar, Kubu. Tuak Nyuh kadar

alkoholnya lebih keras dari tuak jaka, peminum umumnya cepat merasa pusing.

Sedangkan tuak ental lebih berat kadar alkoholnya dibanding tuak nyuh, rasanya lebih

gurih, cepat sekali membuat mabuk. Tuak jaka lebih terasa enak, bersifat netral, proses

dalam tubuh cepat dan sering menyebabkan buang air kecil. Secara umum orang-orang

Karangasem lebih menggemari tuak jaka (Jengki, 2008).


Proses membuat tuak jaka sangat lama, bisa memakan waktu sampai 21 hari.

Dimulai dari ngayunan, bunga jaka diayun-ayun sampai satu jam. Kemudian dilanjutkan

dengan proses notok, batang bunga jaka dipukul-pukul berulang-ulang setiap hari selama

satu jam dan berlangsung sampai dua minggu. Setelah dirasa cukup umur, maka

dilanjutkan dengan nimpagang, yaitu mengiris batang bunga dan mengecek ada air atau

tidak pada bunga jaka tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan nadah, batang bunga jaka

disadap dengan brengkong, wadah yang dibuat dari pelepah pohon pinang. Satu batang

bunga jaka bisa menghasilkan satu brengkong setiap kali menurunkan tuak yang

dilakukan dua kali dalam sehari, yakni pagi dan sore. Kalau lagi untung dalam sehari bisa

mendapatkan dua jerigen (isi 5 liter) tuak. Dan satu tangkai bunga jaka yang bagus bisa

menghasilkan tuak hingga tiga bulan. Setelahnya harus menunggu bunga jaka yang bagus

4
untuk disadap. Pada prinsipnya proses mencari tuak nyuh dan ental hampir sama dengan

tuak jaka.
Tuak yang baru turun dari pohonnya akan terasa manis. Maka untuk membuat

rasanya lebih gurih, tuak dicampur dengan ramuan khusus yang disebut lau. Secara

umum lau mempengaruhi pada rasa dan kadar alkohol tuak. Lau yang paling bagus

diolah dari babakan (serbuk) kayu pohon kutat dicampur dengan serbuk kulit pohon

cabe/tabia bun. Kalau cara mengolah lau kurang pas, maka tuak akan terasa masam.
Berbeda dengan arak, tuak tidak berumur panjang. Tuak paling enak diminum

ketika baru diturunkan dari pohonnya. Orang Karangasem mengenal tuak manis yaitu

tuak yang rasanya manis sekali biasanya tuak tersebut baru diturunkan dari pohonnya.

Tuak yang nasak badung, rasanya lebih tawar dan agak masam, namun masih bisa

diminum. Ada tuak yang rasanya lebih netral, tidak terlalu tua dan tidak terlalu masam,

dan masih enak untuk diminum, tuak jenis ini disebut semedah. Tuak wayah adalah tuak

yang telah tersimpan satu sampai dua hari. Kalau tuak telah tersimpan dua sampai tiga

hari disebut tuak bayu. Dan tuak yang tersimpan lebih dari tiga hari akan menjadi cuka.
Di Karangasem, alat yang digunakan untuk menampung atau minum tuak

bermacam-macam jenisnya. Untuk menampung tuak dari pohonnya dipakai brengkong

dan kele (bumbung bambu ukuran besar dan panjang). Sebelum teko plastik/morong

populer, dahulu orang menyimpan tuak menggunakan cekel, bumbung bambu agak besar

lengkap dengan tutupnya dan di ujung atasnya terdapat saluran yang dibuat dari buluh

bambu kecil. Agak mirip dengan cekel disebut ganjreng dimana saluran tuaknya terletak

di bawah/dasar wadah. Untuk tempat minum tuak dipakai bumbung (gelas bambu ukuran

sedang, setara dengan gelas minum), dasar (cawan dari kau atau batok kelapa), dan beruk

(cawan ukuran sedang dari kau atau batok kelapa). Nama wadah tuak ini sering berbeda-

5
beda di tempat lainnya di Bali. Sekarang, untuk kepraktisan, wadah tuak tradisional itu

diganti dengan jerigen, teko plastik, botol dan gelas (Anonim 1, 2013)
Secara kimia tuak mengandung 4 – 4.5% alkohol dan masuk dalam golongan A

minuman yang mengandung alkohol sehingga peredarannya tidak memerlukan peraturan

khusus. Keadaan ini tentu sangat membantu peredaran tuak dimasyarakat.

2.4 Metuakan
Kelompok orang yang sedang melakukan aktivitas minum tuak disebut sekaha.

Sekaha-sekaha metuakan dengan mudah bisa ditemui di sudut-sudut jalan pedesaan di

Karangasem. Mereka membuat kelompok berdasarkan pertemanan, biasanya berjumlah

antara 3-5 orang. Pada saat metuakan, orang-orang tua berkelompok dengan sesama

orang tua, anak-anak muda membuat kelompok dengan teman-teman sebayanya. Jarang

ditemui kelompok campuran, antara anak muda dan orang tua. Karena kelompok

campuran biasanya akan kesulitan pada saat ngobrol atau diskusi. Obrolan anak-anak

muda terkadang tidak nyambung dengan obrolan orang-orang tua. Anggota baru agak

susah bergabung ke dalam kelompok karena harus mampu beradaptasi dan mempelajari

karakter kelompok.

Setiap orang boleh masuk dan keluar dalam sekaha metuakan karena tidak ada

perjanjian tertulis. Sekaha metuakan biasanya memiliki aturan-aturan tertentu yang

disepakati bersama diantara anggota sekaha. Aturan-aturan tak tertulis ini terkadang

berbeda-beda antara sekaha satu dengan lainnnya atau antara daerah satu dengan lainnya.

Ada aturan yang mewajibkan masing-masing anggota sekaha membawa tuak dari rumah

sesuai kemampuan dan keperluan minum. Kalau tempat berkumpulnya di warung tuak,

anggota sekaha akan patungan membeli tuak. Terkadang ada anggota sekaha yang

mentraktir kawan-kawannya minum tuak. Tempat metuakan bisa berpindah-pindah sesuai

6
kesepakatan bersama, Di Karangasem, harga sebotol tuak sekitar Rp.3500. Dalam acara

metuakan, satu kelompok yang terdiri dari 5 orang bisa menghabiskan 20 botol tuak,

bahkan terkadang lebih.

Metuakan biasanya dilakukan dengan beralaskan tikar, semua anggota sekaha

duduk bersila mengelilingi tuak yang ditaruh ditengah lingkaran. Sebelum acara minum

dimulai, tuak dituangkan sedikit keatas tanah sebagai persembahan kepada penunggu

tempat tersebut. Masing masing anggota sekaha diberi minum tuak 1 gelas secara bergilir,

setelah semua mendapat tuak maka tuak kembali diedarkan seperti permulaan tanpa

melewatkan salah satu anggota. Cara meminum tuak harus sekali minum, tidak boleh

minum tuak seperti minum kopi, pelan-pelan dan sedikit-sedikit, minum seperti itu

biasanya akan jadi bahan olok-olok, sambil minum tuak mungkin diselingi makan lawar

atau sate. Bagi yang datang terlambat diharuskan saat minum pertama lebih banyak 2-3

gelas terlebih dahulu sebelum mengikuti giliran minum. Selama metuakan anggota

sekaha tidak boleh menolak tuak yang disajikan apabila sudah tidak ingin minum atau

mabuk, sebaiknya mereka meninggalkan tempat metuakan. Biasanya dalam kesempatan

ini kepala desa menyampaikan program yang ingin dilaksanakan di desa mereka. Acara

metuakan selesai setelah tuak yang disediakan habis atau sebagian besar sekaha sudah

mulai mabuk (Suryani & Adnyana, 1983)

Acara metuakan diatur oleh seseorang yang biasa disebut bandar. Bandar bertugas

menuangkan tuak ke dalam gelas dan membagikan secara bergiliran kepada anggota

sekaha. Kadangkala kalau terjadi diskusi atau perdebatan, bandar juga bertugas menjadi

moderator. Anggota sekaha minum secara bergiliran dengan menggunakan satu gelas.

Penggunaan gelas secara sendiri-sendiri tidak diperkenankan. Dan bahkan bisa

7
memunculkan ketersinggungan dari anggota sekaha lainnya. Apalagi kalau ada anggota

yang baru bergabung, lalu minum tuak menggunakan gelasnya sendiri, dianggap egois

dan tidak tahu aturan minum. Sikap seperti ini bisa membuat perasaan anggota sekaha

lain tidak enak. Penggunaan satu gelas secara bersama-sama dianggap sebagai bentuk

rasa solidaritas dan memupuk kebersamaan dan kekeluargaan di antara anggota sekaha.

Seringkali sekaha metuakan juga disusupi orang lain misalnya kader-kader partai

politik terutama pada saat musim-musim kampanye. Tujuannya jelas untuk mencari

massa. Kader-kader partai politik ini biasanya mentraktir anggota sekaha minum tuak

sepuas-puasnya. Dipertengahan acara minum, kader partai mengarahkan obrolan kepada

soal-soal partai, janji-janji partai, dan buntutnya sekaha diharapkan memilih dirinya.

Untuk masuk dan bisa diterima dalam sekaha metuakan, tentu kader-kader partai harus

mampu beradaptasi dan memilih sasaran secara tepat. Karena tidak semua sekaha

metuakan mau mendengar ocehan orang diluar sekahanya. Di daerah Kubu, Abang dan

Merita seorang pegawai pemerintah seperti dokter atau penyuluh pertanian biasanya

belajar minum tuak agar lebih cepat bersosialisasi dengan masyarakat (Suardana, 2012)

Menurut Made Adnyana, seorang sesepuh desa Ababi yang hobi minum tuak, dalam

metuakan ada delapan urutan minum yang dikaitkan dengan tingkat kemabukan. Secara

umum hitungan minumnya adalah bumbung atau gelas.

1. Eka Padmasari, peminum baru mulai minum tuak satu bumbung untuk tegukan

pertama. Aliran tuak terasa nyaman dalam tubuh, apalagi diselingi obrolan-obrolan

ringan dan bersenda gurau. Acara minum tuak masih diliputi semangat

kebersamaan dan kekeluargaan.

8
2. Dwi Angemertani, peminum mengangkat bumbungnya yang kedua. Pada tahap ini

tuak merupakan amerta, air kehidupan. Biasanya setiap sore orang-orang tua akan

menyuruh anak atau cucunya membeli tuak satu botol untuk diminum sehabis

makan nasi. Minum satu atau dua gelas tuak menjadi penyempurna perut yang

kenyang. Pada tingkatan ini tuak tidak membuat mabuk.

3. Tri Raja Busana, peminum sudah menenggak 3 bumbung tuak. Pada tahapan ini

tanda-tanda awal mabuk sudah kelihatan. Wajah menjadi bersemu merah. Peminum

mulai berlagak dan bertingkah seperti raja, main perintah sana-sini. Bahkan gaya

duduknya sudah kayak sikap raja.

4. Catur Kokila Basa, ini tahapan ketika peminum sudah meneguk 4 bumbung tuak.

Tingkah lakunya sudah seperti burung kutilang, banyak berkicau. Jika mau

mengorek rahasia seseorang bisa dimulai pada tahapan ini. Semua rahasia yang

sebelumnya tersimpan rapat akan dibeberkan dengan tanpa beban oleh si peminum

yang agak mabuk. Omongan ngelantur ke sana-sini. Acara minum menjadi ramai.

Kadang kala omongan si peminum kebablasan sehingga membuat teman jadi

tersinggung.

5. Panca Wanara Konyer, tahap dimana peminum sudah menghabiskan 5 bumbung

tuak. Kepala mulai pusing. Namun nafsu minum masih bergejolak. Ingin nambah

terus. Pada tahap ini perilaku peminum seperti monyet yang lincah, nakal dan usil.

Perilaku aneh-aneh juga muncul, seperti menari-nari sendiri, ngoceh tidak jelas,

atau kebut-kebutan menyerempet bahaya di jalan. Kalau acara metuakan diikuti

lebih dari lima orang, maka tembang-tembang genjek mulai berkumandang

menambah semarak suasana minum. Pada tahap ini kadangkala terjadi

9
pertengkaran kecil di antara peminum karena persoalan-persoalan sepele. Alkohol

telah mengacaukan syaraf. Kata-kata yang terlontar menjadi tidak terkendali.

6. Sad Wanara Rukam, peminum sudah memasuki tahap bumbung keenam.

Perilakunya seperti monyet kena sampar atau penyakit, lebih banyak duduk diam

dan mengkerut. Selera usil dan iseng perlahan mereda. Alkohol sudah memenuhi

aliran syaraf. Kepala semakin pusing. Peminum terlihat lebih banyak melamun dan

tidak banyak bicara.

7. Sapta Ketoya Baya, bumbung ketujuh telah diteguk. Inilah tahap yang berbahaya.

Saat dimana kadar alkohol dalam tubuh dengan mudah bisa mendatangkan

malapetaka. Keributan dan perkelahian dengan mudah meledak di antara peminum.

Perilaku mabuk yang aneh-aneh pun bermunculan. Yang paling parah adalah

mengamuk gelap mata. Emosi yang terpendam meledak, menemui pelepasan.

Dalam bidang psikiatri gejala ini disebut mengalami intoksikasi dengan gejala

gaduh gelisah.

8. Asta Kebo Dangkal, peminum memasuki bumbung kedelapan. Peminum sudah

benar-benar melampaui ambang mabuk, bahkan mungkin intoksikasi alkohol.

Pikiran sehat jadi macet total. Pada tahap ini banyak peminum yang tergeletak di

sembarang tempat, tidur mendengkur seperti kerbau (kebo)

Menurut penelitian Suryani dan kawan-kawan yang dilakukan pada peminum tuak

didesa Pemuteran tahun 1982 didapatkan hasil umur peminum tuak yang terbanyak 20-30

tahun dengan umur pertama kali minum tuak 10-20 tahun. Cara pertama kali minum tuak

adalah sesudah makan dan bersama teman-teman. Hal hal yang dirasakan pertama kali

minum tuak adalah perasaan menjadi tenang dan perasaan senang dan gembira. Lamanya

10
mereka minum tuak 5-20 tahun, faktor yang mendorong mereka terus minum tuak adalah

tidak ada pekerjaan dan mengisi waktu luang. Jumlah tuak yang diminum setiap kali

pertemuan minum tuak 10 tampung (10 gelas) dan hal yang dirasakan setiap habis minum

tuak yang terbanyak adalah bertambah tenang, menyenangkan dan kadang-kadang

mabuk. Dan akhirnya dari penelitian tersebut disimpulkan tuak buat penduduk desa

Pemuteran seperti air, dapat untuk menghilangkan rasa haus, sebagai sumber kehidupan,

kegembiraan dan semangat (Suryani & Adnyana, 1983)

Tradisi metuakan di Karangasem sudah sangat terkenal. Karangasem merupakan

penghasil tuak terbesar di Bali. Hampir disetiap desa bisa dijumpai warga yang berprofesi

sebagai pembuat tuak atau pedagang tuak. Bahkan tuak itu dikirim dan dijual hingga ke

daerah-daerah lain, termasuk Denpasar.

Metuakan sudah menjadi tradisi dan kegiatan rutin dimasyarakat, apalagi saat ada

upacara agama atau pesta pernikahan, hampir semua orang biasanya metuakan. Namun di

balik itu ada juga orang mengangap bahwa metuakan adalah sebuah kebiasaan yang jelek,

yang biasa mangakibatkan orang kehilangan kendali dan bertindak berutal. Menurut

Suardana yang ditulis dalam blognya, metuakan ini adalah sebuah warisan budaya

leluhur yang patut di lestarikan. Karena beberapa kesenian seperti genjek dan tari-tarian

tradisional Bali dimulai dengan acara minum tuak terlebih dahulu sebelum pentas.

(Suardana, 2012)

2.5 Genjek
Genjek adalah salah satu kesenian yang berasal dari Karangasem yang berkembang

dari acara metuakan. Kesenian ini juga dikenal dengan nama Cakepung. Dalam kesenian

ini peranan tuak sangat penting, para pemain Genjek dan Cakepung bergiliran minum

11
tuak sambil menyanyi dengan musik mulut dan menari-nari di tengah lingkaran. Kesenian

ini sangat semarak dan penuh dengan nuansa pesta pora.


Megejekan menjadi kebiasaan disaat acara metuakan, kalau megenjekaan dilakukan

tanpa di barengi dengan metuakan pasti jadinya kurang seru. karena dengan metuakan

terlebih dulu nantinya akan timbul rasa percaya diri untuk melakukan kesenian ini. Penari

tidak canggung saat menyanyi atau menari malahan gerak dan lagu yang dibawakan

semakin menarik dan lucu ketika penari menari dibawah pengaruh alkohol. Ada kutipan

di dalam bait genjek seperti ini "mesajengan wantah ngawe manah girang, di sampune

punyah, otake puyeng, mebaos lancar, unggahang sajenge gatik-gatikang gelase….” dari

sini dapat diartikan bahwa metuakan tujuanya untuk mencari kesenangan dan melupakan

kejadian yang membuat kita kesal. Buat apa melakukan hal yang bisa merugikan orang,

kalau biasa mengekspresikan dengan berkesenian.


Di dalam bait-bait genjek ada juga yang mengandung teguran, kritik social, nasehat

dan wejangan-wejangan tentang arti dari sebuah kehidupan, supaya dalam hidup kita

tidak salah melangkah dan berani mengambil keputusan untuk melakukan sebuah

perubahan besar dalam hidup (anonim 1, 2013)

2.6 Metuakan Dulu dan Sekarang


Pergeseran budaya di Bali terjadi seiring dengan makin pesatnya pembangunan

dibidang pariwisata. Hal ini tentu berpengaruh pada kehidupan sosial masyarakat Bali.

Metuakan yang dulu dilakukan hanya pada hari-hari tertentu misalnya setelah upacara

keagamaan, upacara pernikahan atau acara khusus dan pelaksanaan hanya ditempat

tertentu. Ada aturan tidak tertulis yang ketat mengikat anggota/sekaha metuakan.

Minuman tuak berasal dari salah satu anggota sekaha yang kebetulan memiliki tuak

berlebih atau karena masing-masing anggota sekaha membawa sendiri-sendiri dan

kemudian mereka nikmati secara bersama-sama. Sekarang semua itu sudah berubah, kita

12
bisa menjumpai kegiatan metuakan dilaksanakan hampir setiap hari, tidak mengenal

tempat, waktu bahkan sering mengganggu kepentingan umum.


Keadaan ini tentu tidak lepas dari perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat,

ketersediaan tuak yang banyak bahkan ada pilihan minuman lain sebagai pengganti tuak

seperti beer dan beberapa minuman beralkohol yang berasal dari luar negeri yang dapat

dibeli karena dijual secara terbuka, apalagi ditambah adanya penyandang dana yang mau

membiayai kegiatan tersebut untuk tujuan tertentu. Kegiatan metuakan seperti kehilangan

makna. Tiadak adalagi rasa persaudaraan, tidak terdengar petuah-petuah yang mendidik

dan menentramkan hati yang ada hanya perkelahian antar kelopok metuakan atau diantara

anggota mereka sendiri karena keadaan mabuk yang tidak terkendali, keadaan ini tentu

sangat merugikan. Kenakalan remaja (Coduct Disorder) sering dimulai dari kebiasaan

kumpul-kumpul metuakan sehingga terjadi penyerangan terhadap kelompok lain.


Tapi ada juga beberapa kegiatan positif yang tumbuh sejalan dengan perkembangan

situasi ini seperti kesenian genjek yang awalnya berkembang dari acara metuakan kini

sudah dikemas dalam bentuk kesenian genjek profesional dan dipentaskan untuk

kalangan umum.

2.7 Dampak Minum Tuak


Tuak adalah minuman yang mengandung alkohol yang jika dikonsumsi secara

berlebih dan terus-menerus dapat merugikan dan membahayakan jasmani, rohani maupun

perilaku seseorang sehingga akibat lebih lanjut akan mempengaruhi kehidupan keluarga

serta hubungan dengan masyarakat sekitar. Alkohol merupakan zat psikoaktif yang

bersifat adiktif. adalah zat yang bekerja secara selektif, terutama pada otak, sehingga

dapat menimbulkan perubahan pada perilaku, emosi, kognitif, persepsi dan kesadaran

seseorang dan dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan.

13
Sebenarnya minum alkohol baik jika diminum dengan jumlah yang sedikit pada

saat-saat tertentu, misalnya saat cuaca dingin kerena alkohol mampu untuk meningkatkan

metabolisme serta suhu tubuh, namun kenyataannya alkohol sering disalah gunakan

sehingga yang muncul lebih banyak adalah dampak negatif daripada dampak positifnya.

Secara umum seorang peminum biasanya menampilkan ciri fisik yang berbeda

dari orang biasanya, perut bagian bawah terlihat buncit sedangkan tubuh mereka sendiri

kurus, hal itu kerena mereka terlalu sering minum tuak berlebihan. Selain itu mereka

memiliki kantung mata hitam akibat terlalu sering bagadang.

Secara sosial, kebiasaan minum minuman keras ini banyak menimbulkan masalah.

Seperti misalnya perkelahian, ketidaknyamanan orang lain, serta penyebab terjadinya

kecelakaan lalu lintas. Selain itu sering menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam

rumah (Anonim 1, 2013)

Secara psikologis, alkohol yang terkandung dalam tuak akan mempengaruhi mood

seseorang. Konsumsi alkohol yang berlebihan mungkin awalnya terjadi karena peminum

ingin meredakan mood yang tidak disukainya seperti cemas dan mood yang menurun.

Namum sebaliknya minum alkohol yang banyak dan kronik dapat menimbulkan

ketidaknyamanan.

Alkohol juga mempengaruhi kepribadian. Seseorang yang awalnya ingin

mendapatkan pengaruh superfisial saja, seperti nampak lebih mudah bergaul dan lebih

menarik secara sexual namun, minum alkohol yang banyak dan kronik biasanya berefek

negatif pada kepribadian. Menyebabkan mudah marah, berkatakasar dan bertindak

memalukan dan terkadang melanggar peraturan (Puri, Laking, & Treasaden, 2011)

14
Pecandu alkohol berat berisiko mengalami gejala putus zat dan banyak pasien yang

dirawat karena penyalahgunaan alkohol. Gangguan lain akibat mengkonsumsi alkohol

adalah kecanduan, imsonia, depresi, gangguan kejiwaaan, serta dapat merusak jaringan

otak secara permanen sehingga menimbulkan gangguan daya ingatan, kemampuan

penilaian, kemampuan belajar, dan gangguan neurosis lainnya.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa gangguan kepribadian antisosial cukup

sering pada laki-laki dengan suatu gangguan berhubungan dengan alkohol. Tapi gangguan

kepribadian antisosial dan gangguan berhubungan dengan alkohol dapat merupakan

kesatuan diagnosa yang terpisah yang tidak berhubungan sebab akibat.

Kira-kira 30% orang dengan gangguan yang berhubungan dengan alkohol

memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresi berat (gangguan mood) pada suatu

waktu pada hidupnya. Beberapa penelitian menemukan bahwa depresi kemungkinan

terjadi pada pasien yang mengkonsumsi alkohol harian yang tinggi dan mempunyai

riwayat keluarga menyalahgunakan alkohol.

Pasien dengan gangguan bipolar diperkirakan memiliki resiko untuk mengalami

gangguan berhubungan dengan alkohol karena mereka mungkin menggunakan alkohol

untuk mengobati sendiri episode maniknya.

Alkohol efektif dalam menghilangkan kecemasan dan banyak orang mengkonsumsi

alkohol karena alasan tersebut. Diketahui kemungkinan 25-50% orang dengan gangguan

yang berhubungan dengan alkohol memenuhi kriteria diagnostik untuk suatu gangguan

kecemasan. Fobia dan gangguan panik merupakan diagnosa komorbid yang tersering

pada pasien tersebut.

15
Walaupun data masih kontroversial, sebagian besar data menyatakan orang dengan

gangguan berhubungan dengan alkohol mempunyai angka bunuh diri sedikitnya 50x

lebih besar dibanding masyarakat umum (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007)

2.8 Pandangan Agama Hindu Tentang Minum Tuak


Alkohol dalam masyarakat Hindu di Bali sangat penting sebagai salah satu sarana

dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Beberapa prosesi upacara menggunakan tuak

sebagai salah satu sarananya seperti : mecaru/metabuh dan upacara perang pandan yang

terkenal di desa Tenganan, sebelum acara dimulai didahului dengan menuangkan tuak

terlebih dahulu.

Dalam beberapa Kitab Suci agama Hindu memuat beberapa ayat/sloka yang juga

menyatakan bahwa minum alkohol dan narkoba merupakan dosa besar. Dalam

slokantara, sloka 16:disebutkan

“brahma wadah sulapanan, suwarna steyarnewa, buwarwadho

mohaoalakamacyatew”

Artinya: Membunuh brahmana, meminum – minuman keras, mencuri emas, memperkosa

gadis perawan dan membunuh guru ini dinamai dosa besar.

Selain itu dalam agama Hindu juga terdapat istilah Sad Ripu. yang artinya enam

musuh yang ada dalam diri manusia. Ke-enam musuh ini harus selalu dihadapi dan

dikalahkan karena sangat merugikan kehidupan manusia. Terdiri dari :

1. Kama artinya nafsu

2. Lobha artinya tamak

3. Kroda artinya marah

4. Mada artinya mabuk

16
5. Moha artinya bingung

6. Matsarya artinya iri hati

Disebutkan pula dalam Sapta Timira, yang artinya tujuh kegelapan yang

menyelimuti kehidupan manusia, sehingga manusia tersesat dalam perjalanan hidupnya

menyebutkani:

1. Surupa artinya mapuk karena ketampanan/kecantikan

2. Dhana artinya mabuk karena kekayaan

3. Guna artinya mabuk karena kepandaian

4. Kulina artinya mabuk karena kebangsawanan

5. Yowana artinya mabuk karena keremajaan

6. Sura artinya mabuk karena minuman keras

7. Kasuran artinya Mabuk karena kemenangan

Kita harus mampu menhadapi cengkraman sad ripu dan sapta timira agar perjalanan

jasmani dan rohani di Dunia menjadi sempurna (Anonim 2, 2014)

Dalam Saracamuscaya, sloka 256: disebutkan

“Janganlah hendaknya mengambil barang orang lain, janganlah meminum –

minuman keras, melakukan pembunuhan, berdusta karena itu akan menghalangi untuk

menyatu dengan tuhan.”

Dalam Bhagawadgita Sloka III. 16: tertulis

17
“Evam pravartitam cakram, Na nuvar tayatira yah. Aghayur indriyaramo

Mogham panta sajivati”

Artinya:Ia yang tidak ikut memutar roda hidup ini selalu hidup dalam dosa menikmati

kehendak hawa nafsunya, ia hidup sia–sia menuruti kehendak nafsu semata berarti

mereka menuju kebahagian dan kedamaian yang semu. Dengan mencari kenikmatan

yang dilarang oleh ajaran agama seperti berfoya–foya, atau mengkonsumsi minuman

keras (Anonim 2, 2013)

Bhagawadgita Sloka VI. 17:

“Yuktahora viharasya, yukta costasya karmasu, yakta svapna vabodhasya yogo

bhavati duhidaha”.

Artinya : Orang yang menghindarkan diri dari makan minum yang memabukan, teratur

dalam kebiasaan tidur, berekreasi dan bekerja dapat menghilangkan segala rasa sakit

material dengan berlatih sistim yoga (Anonim 2, 2013)

Reg wedha VIII, 2.12:

“Hrtsu pirasa yudhayante, durmandoso na suwayam”.

Artinya : Para pecandu yang sedang mabuk akan berkelahi diantara mereka dan

menciptakan keonaran (Anonim 2, 2014)

Dengan demikian agama hindu memandang narkoba dan minuman yang

mengandung alkohol (tuak) sebagai sesuatu yang harus dihindari, karena dapat merusak

kesehatan baik jasmani maupun rohani. Selain dipandang sebagai penghalang bagi

manusia untuk dekat dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Dalam masyarakat di Bali terkenal istilah 5 M dan melarang masyarakat untuk

melakukannya yang terdiri dari :

18
1. Memaling : mencuri,

2. Memunyah : minum – minuman keras yang berakohol,

3. Memotoh : berjudi

4. Memitra : berzinah

5. Madat : penyalahgunaan narkoba

Istilah ini begitu terkenal dalam masyarakat, sehingga ada anggapan bahwa

manusia tidak pernah bisa lepas dari sifat 6 M tersebut dan biasanya salah satu pasti

menguasai hidup manusia.

2.9 Pandangan Psikiatri Tentang Metuakan


Psikiatri memandang permasalahan melalui pendekatan secara holistik. Interaksi
antara unsur badan, jiwa dan lingkungan senantiasa saling mempengaruhi. Namun ketiga
unsur ini belum cukup sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku manusia. Dalam
perkembangan manusia menjadi dewasa, dipengaruhi pula oleh faktor kebudayaan dan
agama-kepercayaan. Sehingga dalam perkembangan manusia menjadi manusia seutuhnya
sangat dipengaruhi oleh unsur bio-psiko-sosial-kultural-spiritual. (Maramis & Maramis,
2009)

Metuakan bagi masyarakat di Karangasem sudah menajadi suatu tradisi dan sanga
lekat dengan kehidupan masyarakat. Jika dipandang dari segi biologi, alkohol dalam
jumlah tertentu berguna sekali untuk tubuh manusia tapi jika penggunaan secara berlebih
tentu sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Dalam beberapa penelitian ditemukan
bahwa alkohol dalam tubuh manusia akan mempengaruhi konsentrasi serotonin, dopamin
dan GABA atau metabolinya. Ketiga zat kimia tersebut sangat penting bagi
neurotransmiter di otak manusia.
Secara psikologis metuakan berpengaruh pada kesehatan mental seseorang.
Beberapa gangguan mental sering kali dihubungkan karena pemakaian alkohol seperti
gangguan afektif (cemas, depresi dan bipolar). Gangguan kepribadian antisosial adalah

19
gangguan yang sering pula dicetuskan kerena kebiasaan minum alkohol yang berlebih.
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2007)
Meskipun metuakan sekarang ini sering mengagangu kehidupan sosial seseorang
ataupun orang lain dimasyarakat, dahulu metuakan adalah sutau tempat untuk melakukan
sosialisasi dengan orang lain dalam masyarakat. Tidak semua orang dapat melakukan
sosialisai dengan baik, tapi berkat kesamaan aktivitas dan pengaruh alkohol sering kali
acara metuakan adalah tempat untuk membina hubungan kekerabatan dengan orang lain
bahkan tempat mencurahkan permasalahan yang menjadi beban pikiran. Nasehat dan
petuah sering terjadi saat acara metuakan.
Secara kultur dan spiritual, metuakan di Karangasem, merupakan salah satu
sarana untuk ekspresi diri pada masyarakat dan Tuhan. Dengan metuakan seseorang
menjadi berani menari atau menyanyi. Setelah minum tuak, keberanian seseorang muncul
sehingga tidak lagi ada rasa takut atau malu. Beberapa kesenian sering kali dipentaskan
untuk keperluan upacara keagamaan. Bagi masyarakata bali kultur dan spiritual susah
untuk dipisahkan karena keduanya merupakan suatu proses pengabdian yang ditujukan
kepada Tuhan dan roh-roh (prilaku spiritual). (Maramis & Maramis, 2009)
2.10 Wawancara Dengan Pedagang Tuak
Menurut Nyoman Suta, 42 tahun seorang pedagang sate dan minuman tuak, yang

berjualan dipinggir jalan desa Sesana menjelaskan dirinya mulai berjualan sejak tahun

2001, pada awalnya hanya menjual sate ikan laut dan sate usus babi /serapah) saat

berjualan banyak orang yang berbelanja menanyakan minuman tuak. Atas saran beberapa

pelanggannya akhirnya dirinya menjual tuak dan sejak saat itu tempatnya seringkali

dijadikan tempat metuakan oleh orang-orang didaerah tempatnya berjualan. Dalam sehari

bisa menjual tuak kira-kira 20-30 botol, keadaan ini tentu saja membantu meningkatkan

penjaulan satenya. Tuak yang dijual biasanya diperoleh dengan membeli dari pengepul

tuak atau merupakan hasil produksi sendiri. Dalam metuakan jarang yang sampai mabuk,

mungkin karena tuak yang disediakan terbatas, dan waktu hanya selama dirinya sedang

berjualan sate, kalau dagangan habis biasanya mereka sadar dan ikut bubar. Peserta

20
metuakan orangnya sama hanya kadang ada juga anggota lain yang kebetulan beli sate

ditempatnya ikut minum tuak. Saat metuakan biasanya mereka membicarakan keadaan

hasil pertanian mereka atau kehidupan ekonomi yang semakin mahal. Tidak pernah ada

teguran dari pihak berwenang malah ada beberapa anggota polisi yang ikut minum tuak

saat membeli sate.


Wayan Sudarya, 35 tahun asal dari dusun Gumung, seorang pengepul tuak

mengatakan dalam satu hari mampu menjual tuak sebanyak 15-20 jeregan dengan ukuran

20 liter, jumlahnya bisa lebih banyak bila saat hari raya seperti hari Galungan dan hari

Kesanga. Tuak yang dijual adalah tuak jaka. Tuak dikumpulkan dari para penyadap tuak

didaerahnya. Dalam waktu setengah hari tuaknya bisa habis terjual. Tuak yang digemari

adalah tuak jaka yang semedah. Sekarang permintaan tuak untuk wilayah Karangasem

sangat tinggi sehingga tidak bisa melayani permintaan dari luar karangasem.
I Ketut Ganyar, 47 tahun, bekerja sebagai petugas pasar dan pecalang di desa

Bebandem, mengatakan memiliki hobby minum tuak. Kegiatan ini sudah dimulai lebih

dari 10 tahun lalu. Mulai minum tuak karena ajakan teman-teman tapi sekarang minum

tuak sudah menjadi kegiatan rutin. Kalau tidak dapat minum tuak, rasanya kurang

nyaman. Dalam sehari mampu minum tuak 4-5 botol tuak dan mengaku baru merasakan

mabuk bila sudah minum minimal 10 botol. Lebih senang minum tuak bayu karena

rasanya tidak mianis. Minum lebih sering sendiri hanya kadang bersama teman-teman

itupun kalau ada acara atau ada yang menang metajen. Walaupun dirinya minum tuak tapi

jarang sekali sampe mabuk dan tetap bisa melaksanakan pekerjaan harianya. Istrinya juga

menambahkan bahwa dirinya tidak keberatan suaminya minum asal tidak sampai mabuk.

21
BAB III
SIMPULAN
Tuak merupakan bagian kehidupan sehari-hari masyarakat di karangasem. Tuak
selain dipakai untuk sarana upacara agama dan berkesenian, juga digunakan sebagai
minuman dalam acara metuakan. Tuak bagi masyarakat di Karangasem seperti air, dapat
untuk menghilangkan rasa haus, sebagai sumber kehidupan, kegembiraan dan semangat
Tuak dipilih karena harga yang terjangkau dan persediaan di karangasem cukup banyak.
Acara metuakan di Karangasem berbeda antara sekarang dengan dulu. Dimana
Sekarang metuakan lebih dari sekedar berfoya-foya, pelaksanaanya di tempat hiburan
bahkan ditempat umum sehingga sangat menggangu lingkungan sekitar. Banyak kasus
perkelahian antar pemuda, pencurian dan kekerasan rumah tangga disebabkan karena
sebelumnya mengkonsumsi tuak. Selain masalah sosial, tuak juga mempengaruhi
kesehatan peminumnya. Banyak kasus penyakit dan kelainan mental/psikiatri disebabkan
karena mengkunsumsi alkohol.gangguan tersebut berupa gangguan afektif dan gangguan
kepribadian antisosial.
Meskipun terjadi penggunaan yang keliru dengan tuak, yang berdampak buruk bagi
kesehatan fisik dan kesehatan mental, metuakan adalah sarana untuk meningkatkan
sosialisasi pada sebagian masyarakat yang sangat berguna bagi kesehatan mental
seseorang. Disamping itu sebagian masyarakat masih percaya bahwa, metuakan adalah
sebuah warisan budaya leluhur yang harus kita lestarikan. Karena beberapa kesenian
seperti genjek dan tari-tarian tradisional Bali dimulai dengan acara minum tuak terlebih
dahulu sebelum pentas, jadi semacam untuk aktualisasi diri. Sehingga Metuakan tetap
menjadi sebuah tradisi minum alkohol di Karangasem

22
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1. (2013). Diambil kembali dari http://e-kuta.com/blog/budaya-bali/tradisi-magibung-


di-karangasem.htm.
Anonim, 1. (2014). Diambil kembali dari . http://id.wikipedia.org/wiki/Regweda.
Anonim, 2. (2013). Diambil kembali dari http://id.scribd.com/doc/142690394/Bhagavad-Gita-
Menurut-Aslinya.
Anonim, 2. (2014). Diambil kembali dari http://www.parisada.org/.
Jengki. (2008). Diambil kembali dari http://jengki.com/2008/12/16/tradisi-metuakan-di-
karangasem-bali/.
Kaplan, H. I, Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (2007). Synopsis of Psychiatry. Philadelphia:
Lippincott William & Wilkin. P. 603-627
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Balai Pustaka.
Maramis, W. F., & Maramis, A. A. (2009). Catatan ilmo kedokteran jiwa. surabaya: Airlangga
Univeersity Press. Hal 69-106.
Puri, B. K., Laking, P. J., & Treasaden, I. H. (2011). Buku Ajar Psikiatri, Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suardana, H. (2012, 01). Diambil kembali dari http://pariwisata-karangasem.blogspot.com/tirta-
ganagga.html Metuakan dan Megenjekan,.
Suryani, L. K., & Adnyana, T. A. (1983, desember 4). Kehidupan peminum tuak di desa
pemuteran.

23

Anda mungkin juga menyukai