Laporan Kasus Kista Ovarium Dhiah
Laporan Kasus Kista Ovarium Dhiah
Laporan Kasus Kista Ovarium Dhiah
Oleh :
Dhiah Kurniati Ansar, S.Ked
K1A1 13 013
PEMBIMBING
dr. Indra Magda Tiara, M.Kes,. Sp.OG (K)
1
HALAMAN PENGESAHAN
0
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. R
Umur : 39 Tahun
Alamat : Jl. Brigjen Joenoes
Agama : Islam
Suku : Buton
Pekerjaan : Wiraswasta
No. RM : 56 45 89
Tanggal masuk : 18 Desember 2019
DPJP : dr. Indra Magda Tiara, Sp.OG (K)
B. Anamnesis
1. Keluhan utama
Nyeri perut bawah
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien baru masuk pengantar dari Poliklinik Obgyn RS
Bahteramas dengan kista coklat ovarium. Pasien datang dengan keluhan
nyeri perut bawah yang hebat dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang
lalu, tiap masuk periode haid. Keluhan ini juga disertai dengan nyeri pada
pinggang yang terasa sampai ke kedua paha. Keluhan lain seperti: demam,
lemas, pusing, sakit kepala, nyeri ulu hati, mual maupun muntah tidak ada
BAK dan BAB kesan normal. Riwayat menstruasi: menarche di usia 15
tahun, siklus 28 -30 hari, siklus haid teratur, lama haid 5-6 hari, ganti
pembalut 3-4 kali/hari, dismenorrhea sejak masih gadis, leukorrhea
disangkal. Riwayat obstetri: selama menikah sejak 1998 pasien belum
pernah hamil (P0A0). Riwayat penyakit lain: hipertensi, DM dan asma
disangkal, riwayat alergi disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan:
antalgin jika dismenorrhea. Riwayat penyakit dahulu tidak ada. Riwayat
1
penyakit keluarga : tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan
yang sama.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
2. Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 18 x/menit
Suhu : 36,5 oC
3. Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephal
Mata : Exofthalmus (-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-)
Leher : Pembesaran kelenjar (-/-), JVP dalam batas normal
Thoraks : Inspeksi : simetris kanan = kiri, deformitas (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : sonor kanan = kiri
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung : Bunyi jantung I dan II murni reguler, bising (-), batas
jantung kesan normal
Abdomen : Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan perut bawah (+),
massa dimeter 10cm
Perkusi : Pekak (+) Perkusi : timpani (+),
shifting dulness (-)
Alat genitalia : Fluksus (-), lendir (-)
Ekstremitas : Edema (-/-), varises (-/-)
Refleks : Fisiologis (+/+), patologis (-/-)
2
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Tanggal 11/12/2019 (RS Tiara)
Pemeriksaan Nilai Rujukan Satuan
3
2. USG Obstetrik
a. USG tanggal 6/12/2019
4
Kesan : Kista pada ovarium kanan dengan diameter 6,47cm x 3,30 cm
Kista pada ovarium kiri dengan diameter 2,88 cm x 2,97 cm.
E. RESUME
Ny. R, 39 tahun dengan kista coklat ovarium. Pasien datang dengan keluhan
nyeri perut bawah yang hebat dirasakan sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu, tiap
masuk periode haid. Keluhan ini juga disertai dengan nyeri pada pinggang yang
terasa sampai ke kedua paha. Keluhan lain seperti: demam, lemas, pusing, sakit
kepala, nyeri ulu hati, mual maupun muntah tidak ada BAK dan BAB kesan
normal. Riwayat menstruasi: menarche di usia 15 tahun, siklus 28 -30 hari, siklus
haid teratur, lama haid 5-6 hari, ganti pembalut 3-4 kali/hari, dismenorrhea sejak
masih gadis, leukorrhea disangkal. Riwayat obstetri: selama menikah sejak 1998
pasien belum pernah hamil (P0A0). Riwayat penyakit lain: hipertensi, DM dan
5
asma disangkal, riwayat alergi disangkal. Riwayat konsumsi obat-obatan: antalgin
jika dismenorrhea. Riwayat penyakit dahulu tidak ada. Riwayat penyakit keluarga:
tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama.
Pasien sadar, sakit ringan, tanda vital : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
80x/menit, pernapasan 18 x/menit, suhu 36,5oC. Pemeriksaan fisik didapatkan
pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan perut bawah (+) dn teraba massa
10cm. Hasil laboratorium terbaru (18/12/2019) didapatkan hgb 8,2 g/dL, RBC
2,94x106/µL, WBC 16,26x103/mm3 dan PLT : 273x103/µL. Hasil USG :
Gambaran kista ovarium kanan dengan diameter 6,47cm x 3,30 cm dan kista pada
ovarium kiri dengan diameter 2,88 cm x 2,97 cm.
E. DIAGNOSA KERJA
Pre operatif : Kista coklat ovarium bilateral
F. PERENCANAAN
1. IVFD RL 500 cc
2. Pasang laminaria pukul 22.00 WITA
3. Pasang Gastrul 1/2 tab/Intravagina pukul 22.00 WITA
4. Siap PRC 1 zak
5. Puasakan mulai pukul 04.00 WITA (19/12/2019)
Rencana elektif laparoscopy besok (19/12/2019)
6
G. FOTO OPERASI
H. FOLLOW UP
Hari/Tanggal Perjalanan Penyakit Planing
Rabu, 18/12/2019 S : Nyeri perut bawah (+) R/
- IVFD RL 500 cc
(12.30 WITA) O:
- Pasang Laminaria
TD : 110 / 70 mmHg
pukul 22.00 WITA
N : 80 x/ menit
- Pasang Gastrul 1/2
P : 18 x / menit
tab/Intravagina pukul
S : 36,5ºC
22.00 WITA
Palpasi : nyeri tekan pada perut
- Siap PRC 1 zak
kiri bawah, massa
- Puasakan mulai
dimeter 10cm
pukul 04.00 WITA
PDV : Tidak dilakukan
(19/12/2019)
Ekstremitas : pucat -/-
- Rencana elektif
Laboratorium :
laparoscopy besok
Hb : 8,2g/dL
7
WBC : 16,26x103/mm3 (19/12/2019)
PLT : 273x103/µL
USG : Kista pada ovarium
kanan (6,47cm x 3,30 cm)
dan kista pada ovarium kiri
(2,88 cm x 2,97 cm)
A : Kista Coklat Ovarium
Bilateral
Kamis, 19/12/2019 S: Ibu mengatakan siap untuk - Awasi tanda-tanda vital
dioperasi - Ibu sudah berpuasa
O: KU ibu baik - Anjurkan ibu untuk
TD :110/70 mmHg berdoa agar operasinya
N : 76 x/menit lancar
P : 18 x/menit Instruksi pre-operasi
Suhu : 36,5oC - IVFD RL: D5 2:1 28
A: PH1 + Kista Coklat Ovarium tpm
Bilateral - Terpasang Kateter
- Inj. Ketorolac 1A/8
jam/IV
- Kaltrofen/8Jam
Kamis, 19/12/2019 S: Nyeri luka post op Instruksi Post Op
18.00 O: - IVFD RL 20 tpm
TD : 120/70 mmHg - Awasi Tanda Vital dan
N : 84 x/menit Keadaan Umum
P : 20x/menit - Inj. Ketorolac 30gr/8
Suhu : 36,6oC jam/IV
BAB/BAK : -/+
A: PH1 + POH0 + Laparascopy ec
Kista Coklat Ovarium Bilateral
Jum’at, 20/12/2019 S: Nyeri luka post op, sulit tidur - IVFD RL 20 tpm
8
O: - Awasi Tanda Vital dan
TD :90/60 mmHg Keadaan Umum
N:82 x/menit - Inj. Ketorolac 30gr/8
P: 20x/menit jam/IV
Suhu:36,6oC
Verban : Kering
Drain : 20cc, warna kecoklatan
BAB/BAK : -/+
A: PH2 + POH1 + Post
Laparascopy ec Kista Coklat
Ovarium Bilateral
Sabtu, 21/12/2019 S: (-) - Aff infus dan kateter
O: - Aff drin
TD :110/70 mmHg - Asam mefenamat tab
N:82 x/menit 500 mg 3x1
P: 18 x/menit - SF tab 2x1
Suhu:36,7oC - Pasien boleh pulang
Verban : Kering
Drain : 100cc, warna kecoklatan
BAB/BAK : -/+
A: PH3 + POH2 + Post
Laparascopy ec Kista Coklat
Ovarium Bilateral
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PENDAHULUAN
Kista ovarium adalah kantung berisi material cair atau semi cair yang muncul
pada ovarium. Jumlah diagnosis kista ovarium meningkat seiring dengan
penerapan luas pemeriksaan fisik dan teknologi ultrasonografi rutin. Penemuan
kista ovarium menyebabkan kecenderungan kecemasan pada wanita karena
ketakutan terhadap keganasan, tetapi mayoritas besar kista ovarium adalah jinak.1
Kista ovarium ini umum terjadi. Prevalensi massa adneksa non simptomatik
pada wanita premenopause atau post menopause adalah 6%, dengan mayoritas
utama adalah kista ovarium. Satu dari 200 wanita di Amerika Serikat pada tahun
1980an dirawat inap dengan kista ovarium, dan 87% telah dioperasi.2
Kista ini dapat diderita wanita pada usia berapapun usianya, dari periode
neonatal hingga postmenopause. Sebagian besar kista ovarium, timbul pada masa
kanak-kanak dan remaja, yang merupakan periode perkembangan hormonal aktif.
Sebagian besar merupakan fungsional dan menghilang tanpa pengobatan.1
10
B. ANATOMI OVARIUM
Wanita pada umumnya memiliki dua indung telur kanan dan kiri, dengan
penggantung mesovarium di bagian belakang ligamentum latum, kiri dan kanan.
Ovarium adalah kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang kira-
kira 4 cm, lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm.2
Hilusnya berhubungan dengan mesovarium tempat ditemukannya pembuluh-
pembuluh darah dan serabut-serabut saraf untuk ovarium. Pinggir bawahnya
bebas. Permukaan belakangnya pinggir keatas dan belakang , sedangkan
permukaan depannya ke bawah dan depan. Ujung yang dekat dengan tuba terletak
lebih tinggi dari pada ujung yang dekat pada uterus, dan tidak jarang diselubungi
oleh beberapa fimbria dari infundibulum.2
Ujung ovarium yang lebih rendah berhubungan dengan uterus dengan
ligamentum ovarii proprium tempat ditemukannya jaringan otot yang menjadi
satu dengan yang ada di ligamentum rotundum. Embriologik kedua ligamentum
berasal dari gubernakulum.2
11
Gambar 4 : Anatomi Ovarium.2
C. DEFINISI
Kista ovarium adalah kantung berisi material cair atau semicair yang timbul
pada ovarium.1. Kista coklat ovarium adalah istilah lain unuk kista endometriosis
yang berkembang di ovarium. Kista coklat (endometriosis) merupakan kelainan
gynekologis jinak yang umum didefenisikan sebagai adanya kelenjar
endometrium dan stroma di luar lokasi normal.4 Pertama kali didefenisikan pada
pertengahan abad ke-19 , paling sering ditemukan pada peritoneal panggul,
ovarium, septum retrovagi, dan ureter. Lapisan endometrium yang ada di ovarium
ini mengalami perubahan siklus haid yang sama dengan yang terjadi pada intra
uterine, akan tetapi darah yang ada pada kista ini tidak keluar dan terjadi
penumpukan di ovarium dan tuba shingga dalam waktu yang lama berwarna
coklat karat karan berisi darah tua pada kista coklat.
12
D. EPIDEMIOLOGI
Kista ovarium menjadi penyebab umum dari prosedur bedah dan rawat inap
dikalangan perempuan di seluruh dunia. Telah dilaporkan bahwa 5% sampai 10%
dari wanita akan menjalani operasi untuk kista ovarium. Setiap tahun di Amerika
Serikat, lebih dari 250.000 perempuan dengan diagnosis kista ovarium. Secara
umm kejadian kista coklat ovarium masih sulit dikuantifikasi karena sering
asimptomatis, sekitar 2-22% kasus kista coklat endometriosis ini tanpa gejala.
Berdasarkan The Endometriosis Association Research Registri usia rata-rata
penderita kista coklat ovarium adalah 25-35 tahun. Berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan kejadian kista coklat Ovarium 2-4% pada usia reproduksi, 40.6
% di usia <20 tahun, 42,9% di usia 20-29 tahun dan 16,5% pada usia 30-39
tahun.2,5
Berdasarkan data penilitian Jurnal Medscape di Amerika Serikat, kista coklat
ovarium terjadi pada 6-10% wanita Amerika serikat dalam populasi umum dan
sekitar 4 per 1000 wanita dirawat di RS dengan kondisi iniumumnya kista coklat
ovarium ditemukan saat pasien melakukan pemeriksaan USG baik abdominal
maupun transvaginal dan transrektal. Kista ovarium terdapat disekitar 18% yang
sudah postmenopause. Sebagian besar kista yang ditemukan merupakan kista
jinak, dan 10% sisanya adalah kista yang mengarah ke keganasan.7
E. ETIOLOGI
Penyebab pasti dan patogenesis endometriosis tidak jelas. Beberapa teori ada
yang berusaha untuk menjelaskan penyakit ini, meskipun tidak ada yang telah
sepenuhnya terbukti. Teori meliputi konversi metaplastik epitel selom dan
hematogen atau dispersi limfatik sel endometrium. Kemungkinan kombinasi dari
berbagai faktor yang menyebabkan dan menentukan beratnya penyakit ini. teori
sebelumnya menunjukkan bahwa hasil endometriosis dari transportasi sel
endometrium yang terjadi melalui menstruasi retrograde. Sel mengalir melalui
saluran tuba dan tertampung pada organ panggul untuk tumbuh. Sebuah populasi
sel berada di endometrium, yang mempertahankan sifat sel induk. Mungkin sifat
ini yang memungkinkan sel-sel ini untuk bertahan hidup di lokasi ektopik.4
13
Faktor risiko kista coklat ovarium meliputi :
1. Riwayat keluarga
2. Menarche dini
3. Siklus menstruasi yang pendek
4. Perdarahan selama berhubungan
5. Cacat pada rahim atau saluran tuba
F. PATOFISIOLOGI
1. Teori Refluks Haid dan Implantasi Sel Endometrium di Dalam Rongga
Peritoneum.
Hal ini pertama kali diterangkan oleh John Sampson (L921), teori ini
dibuktikan dengan ditemukan adanya darah haid dalam rongga peritoneum
pada waktu haid dengan laparoskopi, dan sel endometrium yang ada dalam
haid itu dapat dikultur dan dapat hidup menempel dan tumbuh berkembang
pada sel mesotel peritoneum.3
2. Teori Koelemik Metaplasia
Di mana akibat stimulus tertentu terutama hormon, sel mesotel dapat
mengalami perubahan menjadi sel endometrium ektopik. Teori ini terbukti
dengan ditemukannya endometriosis pada perempuan pramenarke dan pada
daerah yang tidak berhubungan langsung dengan refluks haid seperti di
rongga paru. Di samping itu, endometrium eutopik dan ektopik adalah dua
bentuk yang jelas berbeda, baik secara morfologi maupun fungsional. 3
3. Penyebaran melalui aliran darah (hematogen) dan limfogen.3
4. Pengaruh genetik.
Pola penurunan penyakit endometriosis terlihat berperan secara genetik.
Risiko menjadi 7 kali lebih besar bila ditemukan endometriosis pada ibu
atau saudara kandung. 3
5. Patoimunologi
Reaksi abnormal imunologi yang tidak berusaha membersihkan refluks
haid dalam rongga peritoneum, malah memfasilitasi terjadinya
endometriosis. Apoptosis sel-sel endometrium ektopik menurun. Pada
14
endometriosis ditemukan adanya peningkatan jumlah makrofag dan monosit
di dalam cairan peritoneum, yang teraktivasi menghasilkan faktor
pertumbuhan dan sitokin yang merangsang tumbuhnya endometrium
ektopik. Dijumpai adanya peningkatan aktivitas aromatase intrinsik pada sel
endometrium ektopik menghasilkan estrogen lokal yang berlebihan,
sedangkan respons sel endometrium ektopik terhadap progesteron menurun.
Peningkatan sekresi molekul neurogenik seperti nerue growtb factor dan
reseptornya yang rnerangsang tumbuhnya syaraf sensoris pada
endometrium. Peningkatan interleukin-1 ([-1) dapat meningkatkan
perkembangan endometriosis dan merangsang pelepasan faktor angiogenik
(VEGF), interleukin-6, interleukin-S dan merangsang pelepasan intercelwlar
adbesion rnolecwle-1 (ICAM-1) yang membantu sel endometrium yang
refluks ke dalam rongga peritoneum terlepas dari pengawasan imunologis.
Interleukin-8 merupakan suatu sitokin angiogenik yang kuat. Interleukin-8
merangsang perlengketan sel stroma endometrium ke protein matrix
ekstraselular, meningkatkan aktivitas nxatrix metaloproteinase yang
membantu implantasi dan pertumbuhan endometrium ektopik. 3
G. GEJALA KLINIS
1. Dismenorea
Nyeri haid yang disebabkan oleh reaksi peradangan akibat sekresi sitokin
dalam rongga peritoneum, akibat perdarahan lokal pada sarang endometrium
dan oleh adanya infiltrasi endometriosis ke dalam syaraf pada rongga panggul.
3,6
a. Nyeri Pelvik
Akibat perlengketan, lama-lama dapat mengakibatkan nyeri pelvik
yang kronis. Rasa nyeri bisa menyebar jauh ke dalam panggul, punggung,
dan paha dan bahkan menjalar sampai ke rektum dan diare. Duapertiga
perempuan dengan endometriosis mengalami rasa nyeri intermenstrual. 3,6
15
b. Dispareunia.
Paling sering timbul terutama bila endometriosis sudah tumbuh di
sekitar Kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina dan terjadi
perlengketan sehingga uterus dalam posisi retrofleksi. 3,6
c. Diskezia
Keluhan sakit buang air besar bila endometriosis sudah tumbuh
dalam dinding rektosigmoid dan terjadi hematokezia pada saat siklus haid.
3,6
d. Subfertiltas
Perlengkatan pada ruang pelvis yang diakibatkan oleh
endometriosisdapat menganggu pelepasan oosit dari ovarium atau
menghambat perjalan ovum untuk bertemu dengan sperma. 3,6 Gejala lain
yang mungkin timbul antara lain:
1. Perdarahan haid yang sangat banyak
2. Migrain
3. Vaginisme
4. Nyeri punggung bagian bawah
5. Rasa nyeri yang menyebar
6. Nyeri saat ovulasi
7. Mual
H. DIAGNOSIS
Diagnosis kista ovarium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik. Namun
biasanya sangat sulit untuk menemukan kista melalui pemeriksaan fisik. Apabila
pada pemeriksaan fisik ditemukan tumor dirongga perut bagian bawah dan atau
di rongga panggul, maka setelah diteliti sifat-sifatnya (besarnya, lokalisasi,
permukaan, konsistensi, apakah dapat digerakkan atau tidak), perlulah
ditentukan jenis tumor tersebut. Maka kemudian dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mendiagnosis kista ovarium. Pemeriksaan yang umum
digunakan adalah:
16
1. Ultrasonografi (USG)
USG hanya dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis (kista
endometriosis) >1 cm, tidak dapat digunakan untuk melihat bintik-bintik
endometriosis ataupun perlengketan. Dengan mengunakan USG transvaginal
kita dapat melihat gambaran karakteristik kista endometriosis dengan bentuk
kistik dan adanya interval ekSo di dalam kista.5
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI tidak menawarkan pemeriksaan yang lebih superior dibandingkan
dengan USG. MRI dapat digunakan untuk melihat kista, massa
esktraperitoneal, adanya invasi ke usus dan septum rektovagina. 5
3. Pemeriksaan serum CA 125
Serum CA 125 adalah petanda tumor yang sering digunakan pada kanker
ovarium. Pada endometriosis juga terjadi peningkatan kadar CA 125. Namun,
pada pemeriksaan ini mempunyai nilai sensitifitas yang rendah. Kadar CA
125 juga meningkat pada keadaan infeksi radang panggul, mioma, dan
trimester awal kehamilan. CA 125 dapat digunakan sebagai monitor
prognostik pascaoperatif endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostik
kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA 125 > 65 m IU /ml pada praoperatif
menunjukkan derajat beratnya endometriosis. 5
4. Bedah Laparaskopi
Laparaskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk mendiagnosis
endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi
aktif yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi nonaktif terlihat
berwarna putih dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh di
ovarium dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isinya
berwarna cokelat kehitaman sehingga juga diberi nama kista cokelat. Sering
endometriosis ditemukan pada laparaskopik diagnostik, tetapi pasien tidak
mengeluh.3
17
5. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Merupakan pemeriksaan untuk memastikan tingkat keganasan dari tumor
ovarium. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan bersama dengan proses
operasi, kemudian sampel difiksasi dan diperiksa dibawah mikroskop. 3
18
I. KLASIFIKASI
J. PENATALAKSANAAN
Rasa nyeri yang timbul terkait dengan kista Coklat Ovarium dapat dikurangi
dengan pemberian terapi berupa: terapi hormonal, penggunaan analgesik, ataupun
pembedahan untuk eksisi lesi Kista Ovarium. Adapun terapi hormonal untuk
mengurangi rasa nyeri terkait endometriosis antara lain dengan pemberian
19
kontrasepsi hormonal per oral, progestagen, anti-progestagen, Gonadotropin-
releasing hormone agonist (GnRH agonist), dan aromatase inhibitor.3.4,7
1. Terapi Hormonal
a. Metode Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal secara luas digunakan sebagai metode
kontrasepsi dan dengan mudah dapat diterima oleh pasien. Kontrasepsi
hormonal mengandung dosis hormon, yaitu estrogen dan progesterone,
dalam dosis rendah dan diketahui dapat mengurani rasa nyeri akibat
endometriosis. Mekanisme penekanan rasa nyeri adalah melalui
pemberhentian pertumbuhan folikel sehingga akan menurunkan produksi
dan konsentrasi estrogen.
Kadar estrogen yang rendah akan menghentikan aktivitas pertumbuhan
jaringan endometrium baik di dalam maupun di luar uterus. Progesteron di
dalam pil kontrasepsi akan menurunkan aktvitas endometrium secara
langsung. Efek samping dari penggunaan kontrasepsi hormonal terhadap
pengobatan endometriosis ini cukup minimal dan dari segi hargapun relatif
murah. Beberapa jenis kontrasepsi yang dapat diberikan kepada pasien
endometriosis, antara lain: Kontrasepsi per oral (pil), diberikan dengan atau
tanpa periode bebas pil.
Penanganan terhadap endometriosis dengan pemberian pil kontrasepsi
dosis rendah. Kombinasi monofasik (sekali sehari selama 6 - 12bulan)
merupakan pilihan pertama yang sering dilakukan untuk menimbulkan
kondisi kehamilan palsu dengan timbulnya amenorea dan desidualisasi
jaringan endometrium. Kombinasi pil kontrasepsi apa pun daiam dosis
rendah yang mengandung 30 - 35 ug etinilestradiol yang digunakan secara
terus-menerus bisa menjadi efektif terhadap penanganan endometriosis.
Tujuan pengobatan itu sendiri adalah induksi amenorea, dengan pemberian
berlanjut selama 6 - 12 bulan Membaiknya gejala dismenorea dan nyeri
panggul dirasakan oleh 60 – 95% pasien Tingkat kambuh pada tahun
pertama terjadi sekitar 17 – 18%. Kontrasepsi oral merupakan pengobatan
dengan biaya lebih rendah dibandingkan dengan lainnya dan bisa sangat
20
membantu terhadap penanganan endometriosis jangka pendek, dengan
potensi keuntungan yang bisa dirasakan dalam jangka panjang.
Rekomendasi:
Klinisi dapat mempertimbangkan pemberian kontrasepsi hormonal
terkombinasi selama cara tersebut dapat meredakan nyeri yang
berhubungan dengan endometriosis, seperti dyspareunia, dysmenorrhea,
dan nyeri nonhaid.
Klinisi dapat mempertimbangkan penggunaan kontrasepsi per oral
terkombinasi secara kontinu pada wanita penderita endometriosis yang
mengalami dysmenorrhea.
1) Progestagen dan Anti-Progestagen
Progestagen yang dapat digunakan ada dalam beberapa bentuk,
yaitu: Per oral, Injeksi per 3 bulan, Sistem intrauterin yang melepaskan
levonorgestrel (levonorgestrel-releasing intrauterine system).
Progestagen juga digunakan sebagai metode kontrasepsi. Namun,
progstagen hanya mengandung progesterone, tanpa estrogen. Anti
progestagen juga memiliki metode aksi yang sama dengan
progestagen. Progestagen relatif murah. Progestagen dan anti-
progestagen yang berbeda akan memiliki efek samping yang berbeda.
Klinisi sebaiknya mempertimbangkan efek samping dari setiap
progestagen atau anti-progestagen yang diresepkan dan
menginformasikannya kepada pasien. Levonorgestrel-releasing
intrauterine system merupakan alat kecil yang dimasukkan ke dalam
uterus dan dapat melepaskan progesterone dalam dosis yang rendah.
Alat ini lebih sering digunakan sebagai alat kontrasepsi.
Levonorgestrel-releasing intrauterine system memiliki sedikit efek
samping dan mudah digunakan. Sistem ini diketahui dapat mengurangi
rasa nyeri (dyspareunia, dysmenorrhea, dysuria, nyeri panggul, nyeri
nonhaid) pada wanita penderita kista coklat ovarium.
21
2) Progestin.
Progestin memungkinkan efek anti endometriosis dengan
menyebabkan desisualisasi awal pada jaringan endometrium dan
diikuti dengan atrofi. Progestin bisa dianggap sebagai pilihan utama
terhadap penanganan endometriosis karena efektif mengurangi rasa
sakit seperti danazol,lebih murah tetapi mempunyai efek samping lebih
ringan danpada danazol. Hasil dari pengobatan telah dievaluasi pada 3
- 5 bulan setelah terapi. Medroxypro'gesterone Acetate (MPL) adalah
hal yang paling sering diteliti dan sangat efektif dalam meringankan
rasa nyeri. Dimulai dengan dosis 30 mg per hari dan kemudian
ditingkatkan sesuai dengan respons klinis dan pola perdarahan.
MPA 150 mg yang diberikan intramuskuler setiap 3 bulan, juga
efektif terhadap penanganan rasa nyeri pada endometriosis. Pengobatan
dengan suntikan progesteron. Pemberian suntikan progesteron depot
seperti suntikan KB dapat membantu mengurangi gejala nyeri dan
perdarahan. Efek samping progestin adalah peningkatan berat badan,
perdarahan lecut, dan nausea. Pilihan lain dengan menggunakan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang mengandung progesteron,
levonorgestrel dengan efek timbulnya amenorea dapat digunakan untuk
pengobatan endometriosis. Strategi pengobatan lain meliputi
didrogestron (20 - 30 mg perhari baik itu terus menerus maupun
padaharike-5 - 25) dan lynestrenol 10 mg per hari. Efek samping
progestin meliputi nausea, bertambahnya berat badan, depresi, nyeri
payudara, dan perdarahan.
3) Danazol
Danazol suatu tumnan 17 alpha ethinyltestosteron yang
menyebabkan level androgen dalam jumlah yang tinggi dan estrogen
dalam jumlah yang rendah sehingga menekan berkembangnya
endometriosis dan timbul amenorea yang diproduksi untuk mencegah
implan baru pada uterus sampai ke rongga peritoneal. Cara praktis
22
penggunaan danazol adalah memulai perawatan dengan 400 - 800 mg
per hari, dapat dimulai dengan memberikan 200 mg dua kali sehari
selama 6 bulan.
Dosis dapat ditingkatkan bila perlu untuk mencapai amenorea dan
menghilangkan gejala-gejala. Tingkat kambuh pada endometriosis
terjadi kira-kira 5 - 20% per tahun sampai ke tingkat kumulatif yaitu 4
setelah 5 tahun. Efek samping yang paling umum adalah peningkatan
berat badan, akne, hirsutisme, vaginitas atrofik, kelelahan, pengecilan
payudara, gangguan emosi, peningkatan kadar LDL kolesterol, dan
kolesterol total.
4) Gestrinon
Gestrinon adalah 19 nortesteron termasuk androgenik,
antiprogestagenik, dan anti-gonadotropik. Gestrinon bekerja sentral
dan perifer untuk meningkatkan kadar testosteron dan mengurangi
kadar Sex Hormone Binding Globwline (SHBG), menurunkan nilai
serum estradiol ke tingkat folikular awal (antiestrogenik), mengurangi
kadar Luteinizing Hormone (LH), dan menghalangi lonjakan LH.
Amenorea sendiri terjadi pada 50 - 100% perempuan. Gestrinon
diberikan dengan dosis 2,5 - 10 mg, dua sampai tiga kali seminggu,
selama enam bulan. Efek sampingnya sama dengan danazol tapi lebih
jarang.
5) GnRH analog
Suatu review Cochrane membandingkan GnRH analog (agonist)
dengan dosis, rejimen, dan rute pemberian yang berbeda terhadap
danazol, progestagen intrauterin, plasebo, dan analgesic untuk
mengurangi rasa nyeri pada endometriosis. Berdasarkan review
tersebut diduga bahwa GnRH agonist lebih efektif dibandingkan
placebo, tetapi tidak lebih baik daripada levonorgestrel-releasing
intrauterine system ataupun danazol per oral.
23
Berdasarkan data review tersebut juga ditemukan adanya profile
efek samping yang buruk dari GnRH agonist pada semua hasil
penelitian yang dikaji. Hasil suatu studi menemukan bahwa tidak ada
perbedaan dysmenorrhea, nyeri panggul, bengkak, dan pengerasan
ketika wanita penderita endometriosis diterapi dengan GnRH agonist
selama 3-6 bulan, namun dyspareunia berkurang pada protocol yang
lebih singkat. Tidak ada perbedaan efektivitas ketika GnRH agonist
diberikan secara intramuscular, subkutan, ataupun intranasal.
6) Gonadotropin Releasing Hormone Agonist (GnRHa)
GnRHa menyebabkan sekresi terus-menerus FSH dan LH sehingga
hipofisa mengalami disensitisasi dengan menurunnya sekresi FSH dan
LH mencapai keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, di mana
ovarium tidak aktif sehingga tidak terjadi siklus haid. GnRHa dapat
diberikan intramuskular, subkutan, intranasal. Biasanya dalam bentuk
depot satu bulan ataupun depot tiga bulan. Efek samping antara lain,
rasa semburan panas, vagina kering, kelelahan, sakit kepala,
pengurangan libido, depresi, atau penurunan densitas tulang. Berbagai
jenis GnRHa antara lain leuprolide, busereline, dan gosereline. Untuk
mengurangi efek samping dapat disertai dengan terapi add back dengan
estrogen dan progesteron alamiah. GnRHa diberikan selama 6 -12
bulan.
Beberapa bukti memperlihatkan bahwa pemberian nafarelin secara
intranasal dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dengan lebih baik
dibandingkan leuprolide acetate intramuscular. Sementara itu tidak ada
penelitian yang membandingkan GnRH agonist dengan analegesik.
GnRH agonist diketahui dapat menimbulkan produksi estrogen dalam
kadar yang sangat rendah melalui pemberhentian pertumbuhan folikel
di dalam ovarium secara lengkap. GnRH agonist dapat diberikan secara
intranasal (lewat hidung), injeksi subkutan per bulan atau per 3 bulan.
Beberapa GnRH agonist yang sangat umum digunakan antara lain:
nafarelin, leuprolide, buserelin, goserelin, dan triptorelin. GnRH agonis
24
memiliki efek samping yang sedikit lebih banyak daripada metode
kontrasepsi per oral dan progestagen.
Selain itu, GnRH agonis juga relative lebih mahal. Efek samping
GnRH agonist diketahui berhubungan dengan rendahnya kadar
estrogen dan dan kondisinya sebanding dengan kondisi pada wanita
menopause. Kondisi ini dikenal dengan gejala hipoestrogenik, yang
memiliki ciri-ciri hot flush dan berkeringat saat malam, kekeringan
pada vagina, dan nyeri pada saat berhubungan, yang akhirnya
mempengaruhi kondisi mental pasien hingga mampu memicu perasaan
depresi. Penggunaan GnRH agonist dalam jangka panjang diketahui
berhubungan dengan osteoporosis.
Gejala-gejala tersebut dapat diredakan dengan memberikan terapi
hormonal berupa pemberian hormone tambahan segera setelah GnRH
agonist diberikan. Karena adanya efek samping hipoestrogenik yang
umum terjadi dari penggunaan GnRH agonist, banyak usaha dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut yang salah satunya adalah dengan
penambahan estrogen dan/atau progestagen atau tibolone pada terapi
GnRH agonist. Metode tersebut dikenal dengan add- back therapy.
Metode ini didasarkan pada teori ambang batas, yaitu bahwa kadar
estrogen yang lebih rendah diperlukan untuk melindungi tulang dan
fungsi kognitif, dan untuk menghindari atau meminimalkan gejala
menopause seperti hot flush, gangguan tidur, perubahan suasana hati.
Berbagai penelitian mengkaji apakah add- back therapy mengurangi
efek samping dan apakan cara tersebut memiliki efektivitas terhadap
kemanjuran GnRH agonist.
Beberapa penelitian melaporkan adanya penurunan efek samping
dengan adanya penambahan estrogen dan/atau progestagen pada terapi
GnRH agonist, dibandingkan dengan hanya pemberian GnRH agonist
saja; GnRH yang dikombinasi dengan MPA mengurangi hot flush dan
munculnya keringat selama terapi nafarelin dengan norehisterone
acetate (NEA, 1.2 mg) mengurangi hot flush dan kontrol perdarahan
25
yang lebih baik, goserelin dengan tibolone menurunkan gejala
vasomotor dan metabolisme tulang, goserelin yang dikonjugasikan
dengan estrogen dan MPA menurunkan kehilangan massa tulang.
Semua penelitian tersebut tidak ada yang melaporkan adanya efek
samping negative dari add-back therapy terhadap efikasi terapi dengan
GnRH agonist (dibandingkan hanya dengan GnRH saja).
Pemberian GnRH agonist tidak direkomendasikan bagi remaja dan
wanita dengan usia muda (< 23 tahun) karena golongan perempuan
tersebut diketahui belum mencapai kepadatan tulang yang optimal.
Akan tetapi, karena kurangnya uji coba acak dalam skala besar maka
masih belum diketahui secara pasti add-back therapy yang manakah
yang sebaiknya direkomendasikan untuk terapi GnRH agonist pada
wanita penderita endometriosis. Ada suatu penelitian klinis acak
multisenter yang membandingkan pil combined oral contraceptive
(COC) (750 µg gestrogen dan 30 µg ethinylestradiol) selama 12 bulan
dengan pemberian triptorelin (3.75 mg yang dilepaskan secara perlahan
setiap 28 hari) selama 4 bulan diikuti dengan pemberian OCP
kombinasi selama 8 bulan. Kedua kelompok memperlihatkan
berkurangnya dysmenorrhea dan nyeri nonhaid, meskipun tidak ada
data statistic yang disajikan. Tidak ditemukan adanya perbedaan yang
signifikan di antara kelompok. Tidak ada bukti yang memperlihatkan
efektivitas GnRH agonist untuk nyeri terkait endometriosis.
7) Aromatase Inhibitor
Aromatase inhibitor memiliki kemampuan untuk menghentikan
enzim aromatase yang diperlukan dalam produksi estrogen pada
beberapa sel dalam tubuh. Akibatnya, sel tubuh menghasilkan estrogen
dalam kadar yang sangat rendah. Obat ini telah digunakan untuk terapi
beberapa penyakit lain dan penggunaannya untuk terapi endometriosis
masih relatif baru dan belum dipelajari secara seksama. Aromatase
inhibitor memiliki beberapa efek samping, yaitu: kekeringan vagina,
hot flush, dan penurunan kepadatan mineral tulang.
26
Karena efek samping itu maka pemberian aromatase inhibitor
hanya direkomendasikan bagi wanita penderita endometriosis yang
mengalami nyeri hebat meskipun telah mencoba pilihan terapi lain dan
juga pembedahan. Aromatase Inhibitor. Fungsinya menghambat
perubahan C19 androgen menjadi C18 estrogen. Aromatase P450
banyak ditemukan pada perempuan dengan gangguan organ reproduksi
seperti endometriosis, adenomiosis, dan mioma uteri.
Rekomendasi:
Pemberian resep aromatase inhibitor direkomendasikan bagi wanita
yang mengalami nyeri hebat terkait endometriosis meskipun telah
menerima pilihan terapi lain ataupun pembedahan dengan cara
dikombinasikan dengan metode kontrasepsi per oral, progestagen,
atau analog GnRH, untuk mengurani timbulnya rasa nyeri.
8) Pemberian Analgesik
Analgesik, seperti non-sterodal anti infalamatory drugs (NSAIDS)
merupakan terapi mediko yang mempengaruhi bagaimana tubuh
mengalami nyeri. Terapi ini tidak spesifik untuk nyeri terkait
endometriosis, dan terapi ini tidak mengubah mekanisme penyakit di
dalam tubuh seperti pada terapi hormonal. Analgesik memiliki sedikit
efek samping, relative murah, dapat dengan mudah diperoleh, telah
banyak digunakan. Namun demikian, penelitian untuk menyelidiki
apakah analgesic ini berperan membantu mengurangi nyeri terkait
endometriosis masih sangat sedikit.
Penggunaan NSAID dalam jangka panjang dapat berpengeruh
terhadap lambung. Oleh karena itu, disarankan untuk memberikan
proteksi terhadap lambung pada penggunaan NSAID. Akan tetapi,
berdasarkan pengalaman klinis, kelompok pengembangan panduan
merekomendasikan bahwa klinisi sebaiknya mempertimbangkan
NSAID atau analgesic lain untuk mengurangi nyeri terkait
endometriosis. Pengobatan simtomatik dengan memberikan antinyeri
seperti parasetamol 500 mg 3 kali sehari. NSAID seperti ibuprofen 400
27
mg tiga kali sehari, asam mefenamat 500 mg tiga kali sehari.
Tramadol, parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti
gabapentin.
B. Penanganan Pembedahan
Pembedahan pada endometriosis adalah untuk menangani efek
endometriosis itu sendiri, yaitu nyeri panggul, subfertilitas dan kista.
Pembedahan bertujuan untuk menghilangkan gejala, meningkatkan
kesuburan, menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis, serta
menahan laju kekambuhan.
1. Penanganan Pembedahan Konservatif
Pembedahan ini bertujuan untuk mengangkat semua sarang
endometriosis dan melepaskan perlengkatan dan memperbaiki kembali
struktur anatomi reproduksi. Sarang endometriosis dibersihkan dengan
eksisi, ablasi kauter, ataupun laser. Sementara itu kista endometriosis < 3
cm di drainase dan di kauter dinding kista, kista > 3 cm dilakukan
kistektomi dengan meninggalkan jaringan ovarium yang sehat.
Penanganan pembedahan dapat dilakukan secara laparatomi ataupun
laparaskopi. Penanganan dengan laparaskopi menawarkan keuntungan
lama rawatan yang pendek, nyeri pasca operatif minimal, lebih sedikit
perlengketan, visualisasi operatif yang lebih baik terhadap bintik-bintik
endometriosis. Penanganan konservatif ini menjadi pilihan pada
perempuan yang masih muda, menginginkan keturunan, memerlukan
hormon reproduksi, mengingat endometriosis ini merupakan suatu
penyakit yang lambat progresif, tidak cenderung ganas, dan akan regrasi
bila menopause.
2. Penanganan Pembedahan Radikal
Dilakukan dengan histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.
Ditujukan pada perempuan yang mengalami penanganan medis ataupun
bedah konservatif gagal dan tidak membutuhkan fungsi reproduksi.
Setelah pembedahan radikal, diberikan terapi substitusi hormon.
28
3. Penanganan Pembedahan Simtomatis
Dilakukan untuk menghilangkan nyeri dengan presacral
neurectomi atau LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation)
K. PROGNOSIS
Endometriosis berdasarkan hasil penelitian ditemukan bisa sembuh secara
spontan pada sepertiga dari wanita yang tidak aktif diobati. Namun,
umumnya penyakit progresif, dengan tingkat yang tak terduga dari
perkembangan dan morbiditas. Meskipun sebagian besar pasien (hingga 95%
dalam beberapa studi) menanggapi terapi medis (penekanan ovulasi) untuk
mengurangi nyeri panggul, terapi tersebut tidak efektif untuk pengobatan
infertilitas endometriosis. Meskipun demikian, sebanyak 50% wanita kembali
mengalima gejala dalam waktu 5 tahun dengan manajemen medis.
Prognosis dari kista coklat ovarium bagi wanita usia subur dengan terapi
hormonal atau pembedahan belum terbukti bisa meningkatkan tingkat
kehamilan. Endometriosis sulit disembuhkan kecuali perempuan sudah
menopause. Setelah diberikan penanganan bedah konservatif, angka
kesembuhan 10-20% pertahun. Endometriosis sangat jarang menjadi ganas. 3
29
III. PEMBAHASAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31