Kel 3 - Tafsir Bernuansa Teologis (Syi'ah)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

TAFSIR BERNUANSA TEOLOGIS: SYI’AH

Ahmad Badruddin, Shohibul Azka.


(Institut PTIQ Jakarta)
(Institut PTIQ Jakarta)

Abstrak
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia sepanjang zaman. Namun orang-orang
terkadang berbeda dalam memahaminya. Perbedaan tersebut muncul karena beberapa alasan,
di antaranya adalah karena latar belakang keilmuan dan faktor teologis. Tafsir al-Mizan karya
Muhammad Husain al-Thabathaba'i misalnya, bahwa tafsir tersebut merupakan salah satu
contoh tafsir yang bernuansa Syi’ah. Di dalamnya memuat ulasan-ulasan yang erat kaitannya
dengan pemahaman Syi’ah seperti kemaksuman para imam dan pengangungan terhadap ahlul
bait di atas para sahabat. Di dalam tulisan ini akan mengupas tentang metode penafsiran Syi’ah
pada umumnya, dan penfasiran al-Thabathaba'i pada khususnya.

Kata Kunci: Syi’ah, al-Thabathaba'i, al-Mizan

Definisi Tafsir Mazhab Syi’ah


Sebelum memberikan pengertian secara komprehensif mengenai tafsir mazhab Syi’ah,
terlebih dahulu perlu kita cermati dan pahami mengenai term tafsir dan Syi’ah. Kata tafsir secara
etimologi merupakan derivasi dari akar kata bahasa Arab (‫ یفس((ر – فسر‬- ‫ )تفس((یرا‬yang artinya
mengungkapkan atau menampakkan. Secara terminologi, para ulama mendefinisikan kata tafsir
secara beragam. Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan mendefinisikan tafsir dengan ilmu yang di
dalamnya dibahas petunjuk-petunjuk al-Qur'an yang dimaksudkan oleh Allah Swt dan diperoleh
berdasarkan atas kemampuan manusia.1
Sedangkan al-Zarkasyi mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang digunakan untuk
mendapatkan pemahaman terhadap kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.,
penjelasan maknanya serta pengambilan-pengambilan hukum dan hikmah-hikmahnya.2
Dari kedua definisi di atas dapat kita nyatakan bahwasanya perbedaan pendefinisian tadi

1
Muhammad bin Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an,(Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, 1995), Juz II, hal. 6.
2
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan FiUlum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Dar At-Turats
t.th), Juz I,hal. 13.
hanya dikarenakan sudut pandang yang berbeda. Al-Zarqani lebih menekankan keberadaannya
ilmu pengetahuan terhadap petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Sedangkan al-Zarkasyi lebih
menitikberatkan tafsir sebagai ilmu alat untuk memahami al-Qur'an. Menurut Abd. Mu’in Salim
sebagaimana yang dikutip oleh M. Alfatih Suryadilaga, ketika berbicara tentang tafsir hal ini
akan menyangkut sebagai kegiatan ilmiah, sebagai alat dan sebagai hasil.3
Jadi, tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang pemahaman terhadap
Kitabullah, makna-makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kata
Syi’ah secara etimologi berarti ‫( االتباع‬pengikut) dan ‫( االنصار‬penolong).4
Jadi, secara bahasa Syi’ah dapat diartikan sebagai setiap kelompok yang saling
membantu untuk menyelesaikan suatu problem. Sedangkan secara terminologi, Syi’ah adalah
kaum muslimin yang menganggap pengganti Rasulullah Saw. merupakan hak istimewa keluarga
Rasulullah Saw. (ahl al-bayt), demikian menurut al- Tabataba‘i. 5 Sementara itu, al-Z|ahabi dan
al-Syahrastani memberikan pandangan lebih signifikan dengan menyatakan bahwa Syi’ah adalah
para pembela dan pengikut ‘Ali bin Abi Talib dan Ahl al-Bayt yang berpandangan bahwa ‘Ali
adalah orang yang paling berhak menjadi Imam berdasarkan wasiat (nas) dari Rasulullah Saw.
sepeninggalnya.6
Jadi, yang dimaksud dengan Syi’ah di sini adalah para pengikut dan pembela ‘Ali bin
Abi Talib yang menganggapnya sebagai orang yang paling berhak memangku kursi
kepemimpinan umat Islam berdasarkan wasiat Rasulullah Saw. setelah wafatnya. Pada akhirnya,
para pembela dan pengikut Ali ini kemudian menjadi sekte tersendiri di dalam tubuh Islam.
Berdasarkan definisi dari dua term di atas, maka tafsir mazhab Syi’ah dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mengkaji tentang pemahaman terhadap al-Qur'an yang meliputi makna,
hukum, dan hikmah yang terkandung di dalamnya yang dilakukan oleh mufassir yang berasal
dari kelompok pengikut dan pembela ‘Ali bin Abi Talib ra.

Sejarah Munculnya Tafsir Mazhab Syi’ah


Tafsir mazhab Syi’ah merupakan salah satu corak rafsir yang bernuansa teologis yang
3
M.Alfatih Suryadilaga, “Kaidah-kaidah Tafsir” dalam Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2010),
hal. 55.
4
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi, Al-Qamus Al-Muhl, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2005), hal.
735.
Muhammad bin Husein At-Tabataba’I, al-Syi’ah fi Al-Islam, (t.tp: Syubkah al-Imamah al-Hasanain li al-
5

Turas wa al-Fikr al-Islami, t.th), hal. 14.


6
Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal,Terj.Asywadie Syukur(Surabaya:
Bina Ilmu, t.th), Juz I, hal.144.
muncul pada periode pertengahan. Dalam tradisi penafsiran, abad pertengahan lebih didominasi
oleh kepentingan politik, mazhab/ideologi sang penafsir. Pada masa ini al-Qur'an seringkali
dipergunakan sebagai alat legitimasi terhadap kepentingan-kepentingan tertentu.7
Demikian halnya dengan tafsir yang muncul dalam mazhab Syi’ah. Ignaz Goldziher
mengungkapkan bahwasanya tujuan kelompok Syi’ah memasukkan prinsip-prinsip ajaran
kelompok mereka dalam menafsirkan al-Qur'an adalah untuk mencari legitimasi dari al-Qur'an
mengenai penolakan mereka terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah. Mereka melakukan
rongrongan dan mencela terhadap kepemimpinan kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyyah.
Mereka kemudian melontarkan gagasan terhadap kesucian sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra. dan
para Imam.8 Mereka mencari dalil dari ayat-ayat al-Qur'an yang menunjukkan bahwa Ali
menempati posisi yang sangat dekat (hampir sejajar) di sisi Nabi Muhammad Saw. serta berada
di tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan manusia. Di antara ayat yang
dipergunakan sebagai dalil adalah Q.S. al-Anam: 38

‫ناح ْي ِه ِإالَّ َُأم ٌم َْأمثالُ ُك ْم ما َف َّرطْنا فِي‬ ِ ‫ِئ‬ ٍِ ِ


َ ‫ض َوال طا ٍر يَط ُير بِ َج‬ ِ ‫اَأْلر‬
ْ ‫َوما م ْن َدابَّة في‬
‫ش ُرو َن‬َ ‫تاب ِم ْن َش ْي ٍء ثُ َّم ِإلى َربِّ ِه ْم يُ ْح‬
ِ ‫ْك‬ِ ‫ال‬
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh:
"Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan
(pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui
Mengenai ayat di atas, al-Thabari di dalam kitab tafsirnya, mengemukakan riwayat dari
Qatadah bahwasanya ada seorang laki-laki yang berkata kepada Ibn al-‘Abbas: “sesungguhnya
orang-orang di tanah Irak mengira bahwasanya ‘Ali akan dibangkitkan kembali sebelum hari
kiamat. Kemudian mereka mentakwilkan ayat ini.” Maka Ibn al-‘Abbas berkata: “Mereka semua
telah berbohong, sesungguhnya ayat ini ditujukan kepada semua manusia. Demi umurku, kalau
‘Ali akan dibangkitkan sebelum kiamat, niscaya aku tidak akan menikahi perempuan-
perempuannya dan kita tidak akan membagi harta warisannya.”9
Riwayat di atas menunjukkan bahwasanya para pengikut ‘Ali pada masa itu bersikukuh
7
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Priode Klasik,
Pertengahan hingga Modern-Kontemporer (Yogyakarta: Adab Press, 2014), hal. 99.
8
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dariAliran Klasik hingga Modern, terj. M.Alaika Salamullah (Depok:
Elsaq Press,2010), hal. 315.
9
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-Risalah,
2000),Juz XVII, hal. 203.
bahwa kematian ‘Ali hanya kematian fisik semata dan kemunculannya untuk yang kedua kalinya
harus dilihat sebagai masa kembalinya yang tidak terkait sama sekali dengan hari kebangkitan
orang-orang yang telah mati sebagaimana pendapat pada umumnya.
Selain itu, riwayat di atas menunjukkan bahwa pada tahap awal penafsiran sekte Syi’ah
yang kemudian secara cepat mengalami perkembangan yang luar biasa dan mulai menancapkan
kemapanannya. Sementara itu, Rosihon Anwar berkesimpulan bahwa tafsir Syi’ah muncul
setelah kemunculan doktrin Imamah dan kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti ini,
tafsir Syi’ah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin Imamah. Lebih
tepatnya lagi, tafsir Syi;ah ini muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Isma’iliyyah (147
H).
Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin Imamah yang muncul bertepatan
dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah.10 Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi’ah muncul sejak
zaman pemerintahan ‘Ali, bahkan lebih jauh lagi sejak kematian Usman. Kemunculannya lebih
banyak dipicu oleh kepentingan politis teologis untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah,
terutama masalah Imamah.
Tokoh-tokoh Mufassir Syi’ah dan Karyanya
Aboe Bakar Atjeh menyatakan bahwa kaum Syi’ah menganggap ‘Ali bin Abi Thalib
yang notabene mereka yakini sebagai Imam pertama Syi’ah adalah penafsir pertama yang
muncul di kalangan mereka. Selain ‘Ali, ada Ubay bin Ka’ab dan ‘Abdullah bin al-‘Abbas.
Bahkan karya tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn al-‘Abbas ini sering digunakan di kalangan
Syi’ah.11
Sedangkan dari kalangan tabi’in ada Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin
Zubair (w. 94 H), Abu Shalih Miran (w. akhir abad 1 H), Thawus al-Yamani (w. 106 H), Imam
Muhammad al- Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H) dan Suda al-Kabir (w. 127
H). Yang terakhir ini sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah, tetapi dia sangat menguasai
seluk beluk tentang Syi’ah. Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya
dari kalangan Syi’ah (insider) tetapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah
al-Shamali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu ‘Ali al-Hariri (w.
pertengahan abad 2 H), Abu ‘Alim bin Fadd{al (w. akhir abad 2 H), Abu Talib bin Salat (w.

10
Rosihon Anwar, Samudra al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 249-250.
11
Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Rasionalisme dalam islam (Semarang: Ramadhani, 1980),
hal.155.
akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu ‘Usman al-Mazani (w.
248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), al-Fatht al al- Syirazi (w. 984 H), Jawwad bin Hasan al-
Balagi (w. 1302 H) dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jaza’iri (w.
1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasa’i (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abu al-
H{asan al-Adawi al-Syamsyati (w. awal abad IV H) menulis tentang Garib al-Qur'an,
Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang Asbab al-Nuzul Sadiq bin
Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang Nasikh Mansukh dan Ibn al-Musanir (w. 206 H) menulis
tentang majaz.12
Sementara itu, Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai
tokoh yang pertama kali meletakkan dasar-dasar mazhab Syi’ah, hanya saja kitab tafsirnya tidak
ditemukan, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong saja. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu
menyebutkan kitab tafsir Syiah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah
kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-‘Ibadah karya al-Sultan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti
yang dirampungkan pada tahun 311 H/923 M, dan dicetak tahun 1314 H/1896 M di Teheran.
Pada abad keempat Hijriyah muncul karya tafsir Abu al- Hasan ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi.
Menurut Goldziher, sejak saat itulah bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syiah,
salah satunya adalah nkitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian
karya ulama besar Syiah, Abu Ja‘far al-Thusi (w. 460 H/1068 M).13
Sedangkan al-Zahabi di dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan secara detail
karya-karya tafsir yang muncul di kalangan Syi’ah. Dari kalangan Syi'ah Imamiyyah Isna
'Asyariyyah muncul Tafsir al-Hasan al-‘Askari yang dinisbahkan kepada Imam al-Hasan
al-‘Askari (w. 245 H), Tafsir Muhammad bin Mas’ud, Tafsir al-Qummi karya ‘Ali bin Ibrahim
al-Qummi, al-Tibyan karya al-Tusi (w. 460 H), Majma‘ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Abu
‘Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Tabrisi (w. 538 H), al-Shafi karya Muh}sin al-Kasani, al-Asfa
karya Muhsin al- Kasani, yakni ringkasan dari buku al-Safi, al-Burhan karya Hasyim bin
Sulaiman (w. 1107 H), Mir’ah al-Anwar wa Misykat al-Asrar karya ‘Abd al-Latif al-Kazrani, al-
Muallaf karya Muhammad Murtadha al- Husayni, Tafsir al-Qur’an karya ‘Abdullah bin
Muhammad Ridha al-‘Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-lbadah karya Sultan
bin Muhammad bin Haydar al-Khurasani, Ala’u al-Rah}man fl Tafsir al-Qur’an karya
12
Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab, hal.156-158.
13
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, hal. 335-336.
Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352 H).14
Dari kalangan Syiah Imamiyah Ismailiyah, baik dari kalangan mutaqaddimin maupun
muta’akhirin, al-Zahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang muncul. Begitu juga
dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah, karena memang menurutnya tiga aliran Syiah ini
tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan
diri mengarang kitab tafsir.15 Sementara itu menurut Bar-Asher sebagaimana yang disampaikan
oleh Devi Faizah Yuliana ada sedikit karya tafsir dari kalangan Syiah Isma iliyah yang dapat
diketahui, di antaranya adalah Kitab Asas al-Ta’wil karya al-Qadi al-Numan bin Hayyun (w. 363
H/973 M), dan Kitab al-Kasyf oleh Ja’far bin Mansur al-Yaman.16
Sedangkan dari kalangan Syiah Zaydiyah ada beberapa karya tafsir yang dikemukakan
oleh al-Zahabi, di antaranya adalah Garib al-Qur’an karya Imam Zayd bin ،’Ali (salah satu imam
Zaydiyah), al- Tahdib karya Muhsin bin Muh}ammad bin Karamah (w. 494 H), Tafsir ‘Atiyah
bin Muhammad al-Najwani (w. 665), al-Taysir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad al-
Nahawi al-Zaydi (w. 791 H), Tafsir Ibn al- Aqdam, Tafsir Ayt al-Ahkam karya Husayn bin
Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Husayn bin al-Qasim, dan Fath}
al-Qadir karya Muhammad bin ،Ali bin ‘Abd Allah al-Syaukani (w. 1250 H).17
Sementara itu, al-Tabataba’i dalam karyanya yang berjudul al- Qur'an fi al-Islam
mengklasifikasikan para mufassir Syi’ah menjadi empat kelompok. Pertama adalah orang-orang
yang mengemukakan tafsir dari Nabi saw. dan para Imam, dan menjadikannya sumber utama
dalam karyanya, seperti Zurarah bin A‘yun, Muhammad bin Muslim, dan lain-lain. Kelompok
kedua adalah orang-orang yang pertama menulis buku tafsir dan menjadikan riwayat dari
kelompok pertama sebagai sumber tafsirnya. Yang termasuk kelompok ini di antaranya Furat ibn
Ibrahim ibn Furat al-Kufi, Abu al-Nasr Muhammad ibn Mas‘ud al ،Ayyasyi al-Samarqandi, Abu
al-Hasan ،Ali ibn Ibrahim al-Qummi, dan Muh}ammad ibn Ibrahim al-Nu‘mani. Sedangkan
kelompok ketiga adalah orang-orang yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, seperti al-
Syarif al-Rida (w. 436/1044) yang menulis tafsir bercorak sastra, al-Tusi (w. 460/1067) dengan
buku tafsirnya yang bercorak teologi dengan nama al- Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, Mawla Sadr al-
Din al-Syirazi (w. 1050/ 1640) dengan karya tafsirnya yang bercorak filsafat, al-Mubaydi al-
Kunabadi yang corak tafsirnya tasawuf, ‘Abd al- ،Ali al-Huwayzi dengan buku tafsirnya, Nur al-
14
M. Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Juz II, hal. 32-34
15
al-Zahabi, al-Tafsirwa al-Mufassirun, hal. 177-198.
16
Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi’ah (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2013), hal. 71
17
al-Zahabi, al-Tafsirwa al-Mufassirun, hal. 208-210.
S|aqalayn, Hasyim al-Bahrani (w. 1107 H/1695 M) dengan karyanya, al-Burhan dan Fayd al-
Kasyani (w. 1191 H/1777 M) dengan buku tafsirnya al-Safi. Keempat adalah orang yang
mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan dalam buku tafsirnya, antara lain adalah al-
Tabrisi (w. 548 H/ 1153 M) dengan buku tafsirnya, Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.18
Di sini terlihat bahwasanya Syi’ah juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan
dalam khazanah tafsir. Kaum Syi’ah cukup produktif dalam memproduksi tafsir sesuai dengan
perspektif mereka. Bahkan dalam karya tafsir mereka juga ada corak penafsiran yang dominan
sebagaimana karya tafsir golongan Sunni.

Metode Tafsir Mazhab Syi’ah


Secara umum metode yang digunakan oleh kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur'an
adalah dengan menafsirkan ayat dengan ayat lain biasanya diistilahkan dengan tafsir al-Qur'an bi
al-Qur'an dan melalui hadis Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Syi’ah juga memandang bahwa
tidak hanya riwayat dari Rasulullah Saw. saja yang bisa dijadikan hujjah, tapi juga dari ahl al-
bayt.19 Jadi, penafsiran al-Qur'an yang dirujuk kepada perkataan para Imam ahl al-bayt juga
dipandang sebagai sumber yang valid. Sedangkan penafsiran yang berasal dari para sahabat dan
tabiin dianggap sama kedudukannya dengan kaum muslimin pada umumnya. Selain itu,
terkadang para mufassir Syi’ah juga menggunakan metode majazi (metaforis) dan isyari
(simbolik) dalam penafsirannya, sebagaimana yang diterapkan oleh tokoh klasik sekte ini.
Dalam keyakinan Syi’ah, Imam dipandang sebagai orang yang diberikan otoritas dalam
menafsirkan al-Qur'an. Hal ini sejalan dengan pemahaman mereka tentang konsep ta’wil.
Mereka berpendapat bahwa ta’wil adalah makna yang tersembunyi dari al-Qur'an dan perkara
gaib yang hanya diketahui oleh Allah Swt dan orang-orang yang disucikan- Nya, yakni
Rasulullah Saw. dan para Imam ahl al-bayt. Hal ini didasari dari keyakinan mereka tentang
kemaksuman Imam yang mustahil melakukan dosa dan kesalahan, sebagaimana pemahaman
mereka terhadap Q.S. al-Ahzab [33]: 33, Hud [11]: 73 dan al-Waqi’ah [56]: 7 tentang al-Qur'an
yang hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang suci dan para ahl al-bayt adalah orang-orang
yang benar-benar telah disucikan.20
Dalam pandangan Syi’ah dikenal istilah al-Qur'an yang ‘Diam’ dan yang ‘Berbicara’.
Maksud dari al-Qur'an yang ‘Diam’ dalam perspektif Syi’ah adalah al-Qur'an yang tertulis dalam
18
At-Tabataba’I, al-Syi’ah fi Al-Islam, hal. 60-62.
19
At-Tabataba’i, al-Syi’ah fi Al-Islam, hal. 59-60.
20
At-Tabataba’i, al-Syi’ah fi Al-Islam, hal- 58.
mushaf. Sedangkan al-Qur'an yang berbicara adalah para Imam. Oleh karena al-Qur'an yang ada
dalam mushaf diam, maka sudah seharusnya untuk merujuk kepada al-Qur'an yang berbicara
sehingga bisa menjelaskan maksud firman Allah Swt. Artinya, harus ada orang yang
menjelaskan maksud al-Qur'an. Dalam perspektif Syi’ah, penafsir al-Qur'an tersebut adalah para
Imam yang diyakini sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bagi umat Islam
sepeninggalan Rasulullah Saw.
Jalur periwayatan yang diambil para mufassir Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur'an adalah
melalui para Imam atau ahl al-bayt yang diyakini sebagai pemangku kepemimpinan
sepeninggalan Rasulullah Saw. Para Imam dan ahl al-bayt tidak hanya sebagai pemangku
kepemimpinan, tetapi juga yang paling berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw. dalam
memikul beban ilmu para Nabi terhadulu, karena dari Nabi-lah para Imam atau ahl al-bayt
memahami ilmu-ilmu dunia dan akhirat. Hal ini juga yang menjadikannya sejajar dengan ayat-
ayat al- Qur'an dalam artian yang paling mengerti dan paham maksud yang terkandung dalam al-
Qur'an.21
Oleh karena itu, kalangan Syi’ah memandang bahwa Imam adalah orang yang paling
berhak menafsirkan al-Qur'an. Di sinilah letak perbedaan sumber panafsiran mayoritas mufassir
Syi’ah dengan kalangan Islam lainnya, seperti Sunni. Riwayat dan rujukan penafsiran yang
digunakan oleh mufassir Syi’ah banyak diambil dari riwayat Imam yang diyakini sebagai
penerus kepemimpina umat Islam setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Akan tetapi, seiring
dengan perkembangan tafsir yang ditulis oleh mufassir Syi’ah dari waktu ke waktu, masa
pertengahan hingga kontemporer ditemukan juga karya tafsir yang memiliki metodologi seperti
yang dipraktikkan oleh mufassir Sunni, meskipun tetap tidak bisa lepas dari ideologi yang
mereka yakini.
Selain itu, kelompok Syi’ah juga menggunakan ta’wil dalam menafsiri al-Qur'an. Hal ini
tidak lepas dari pandangan mereka mengenai al-Qur'an itu sendiri. Dalam pandangan ulama
Syi’ah, makna al-Qur'an mempunyai beberapa tingkatan dimensi, dan yang paling populer
dimensi luar (zahir) atau yang biasa dikenal dengan istilah sisi esoterik dan dimensi dalam
(batin) atau sisi esoterik. Dimensi dalam batin al-Qur'an menurut mereka memiliki dimensi lain
sampai tujuh dimensi. Sehingga berdasarkan prinsisp ini al-Qur'an harus memiliki banyak makna
yang melebihi makna yang tampak. Hal ini berdasarkan hadis yang beredar di beberapa literatur

21
Syarifuddin al-Musawi, Dialog sunnah Syiah (Bandung: Mizan, 1990), hal.20.
Syi’ah, seperti dalam al-Qur'an fi al-Islam dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata:

22
‫ان للقران ظهرا وبطنا ولبطنه بطن الى سبعة ابطان‬
Jadi, kalangan Syi’ah meyakini bahwa al-Qur'an memiliki makna zahir dan batin, di
mana makna batinnya mencapai tujuh tingkat.
Al-Tabataba‘i sebagaimana yang dikutip oleh Devi Faizah Yuliana menjelaskan bahwa
makna-makna batin al-Qur'an tersebut hanya dapat dipahami oleh kaum khawwas (elit spiritual)
yang mempunyai kebersihan hati. Menurutnya, aspek batin al-Qur'an tidak menghilangkan atau
mengurangi nilai arti zahirnya, bahkan menjadi nyawa yang menghidupkan badan. Makna zahir
tidak menafikan maksud makna batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna
zahir, serta makna batin mempunyai beberapa tingkatan makna.
Al-Tabataba‘i juga menyatakan bahwa arti-arti lahir al-Qur'an adalah seperti lambang-
lambang dari arti batin. Yakni dalam hal ajaran Allah Swt yang berada di luar pemahaman orang
kebanyakan ada bentuk- bentuk perumpamaannya, sehingga ajaran-ajaran ini bisa dimengerti
oleh kebanyakan orang. Adanya perumpamaan tersebut memberi kemudahan bagi manusia untuk
memahami ajaran agama. Gagasan ini di antaranya didasarkan pada Q.S. al-Isra’ [17]: 89.82
Selain itu, al-Tabataba‘i juga berpendapat bahwa di antara ayat-ayat yang mengandung makna
esoterik adalah semua ayat yang dikategorikan sebagai mutasyabihat. Dan penggalian makna
esoterik al-Qur'an hanya bisa dicapai melalui ta’wil.23
Dalam sejarah perkembangannya, Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan.
Perpecahan ini juga berpengaruh terhadap pandangan mereka dalam menafsirkan al-Qur'an.
Sehingga masing-masing golongan berusaha menafsirkan al-Qur'an sesuai dn ideologi kelompok
mereka. Berikut ini adalah deskripsi umum mengenai tafsir kelompok Syi’ah:
a. Syi'ah Imamiyyah Isna 'Asyariyyah
Syi'ah Imamiyyah Isna'Asyariyyah dalam menafsirkan al-Qur'an lebih banyak
dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dalam prinsip Imamah, mereka
berusaha mencari legitimasi doktrin mereka dari ayat-ayat al-Qur'an. Metode yang
mereka pakai adalah ta’wil. Selain itu, ada juga mufassir dari golongan ini yang
menggunakan metode bi al-ma’sur, seperti yang dilakukan oleh Muhsin Fayd al-
22
At-Tabataba’I, al-Syi’ah fi Al-Islam, hal.24.
23
al-Tabataba’I, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-A’lami li Matbu’at, 1997), Juz II, hal.
83-84.
Kasyani dalam tafsir al-Safi. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya riwayat yang
dicantumkan di dalam kitab tafsirnya. Akan tetapi, karena bermaksud memperkokoh
pandangan mazhabnya, riwayat riwayat yang digunakan kebanyakan riwayat yang
dinisbatkan kepada ahl al-bayt.
b. Syi’ah Isma’iliyyah
Tidak jauh berbeda dengan metode penafsiran Syi'ah Imamiyyah Itsna
'Asyariyyah, Syi’ah Imamiyah Isma’iliyyah atau dikenal dengan Syi’ah Bathiniyah
juga menggunakan metode ta’wil dalam upaya-upaya mereka menafsirkan al-Qur'an.
Bedanya, mereka tidak menulis kitab-kitab tersendiri yang menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an. Mereka hanya melakukan penafsiran pada kitab-kitab secara terpisah. Dan
perlu diperhatikan, pentakwilan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur'an terlalu bebas,
dalam arti tidak mengenal aturan-aturan ta’wil, seperti yang kita ketahui dalam ‘Ulum
al-Qur'an. Contoh penafsiran dari sekte ini adalah seperti interpretasinya pada Q.S. al
Hijr [15]: 99 yakni orang yang mengerti makna ibadah terlepas dari kewajiban
beribadah. Penafsiran demikian didasari karena perhatian kelompok ini terhadap
ta’wil dalam arti makna batin al- Qur'an, sedangkan makna lahirnya diabaikan.
c. Syi’ah Zaidiyah
Kelompok Syi’ah Zaidiyah adalah pengikut Zayd bin ‘Ali bin Husayn bin ‘Ali bin
Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok Syi’ah yang lain, kelompok Syi’ah
ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dari
segi pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu’tazilah
karena memang Imam Zayd pernah bertemu dengan Wasil bin ‘Ata’, pendiri aliran
Mu’tazilah. Karena lebih dekat dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka metode
penafsirannya juga banyak menggunakan metode tafsir bi al-ma’sur. Demikian pula,
karena banyak dipengaruhi pandangan Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah juga tidak lepas
dari metode tafsir bi al-ra’yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fath al-Qadir, al-Syaukani
sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurtubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai
rujukan tafsirnya.24
Jadi, secara umum metode tafsir yang berkembang di kalangan Syi’ah sama
dengan yang berkembang di kalangan Sunni. Kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-
Muhammad Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir , terj. H.M.
24

Mochtar Zoerni dan Abdul qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 135-136.
Qur'an adalah dengan menafsirkan ayat dengan ayat lain yang biasanya diistilahkan
dengan tafsir al-Qur'an bi al- Qur'an dan melalui hadis Nabi Muhammad Saw. Selain
itu, Syi’ah juga memandang bahwa penafsiran al-Qur'an yang dirujuk kepada
perkataan para Imam ahl al-bayt-pun juga dipandang sebagai sumber yang valid.
Sedangkan penafsiran yang berasal dari para sahabat dan tabiin dianggap sama
kedudukannya seperti muslim pada umumnya.
Contoh penafsiran al-Thabathaba’i
Mengutip analisis yang dilakukan oleh Siar Ni’mah, al-Mizan adalah salah satu kitab
tafsir yang memuat penafsiran esoterik al-Qur’an. Keberadaan penafsiran esoterik tersebut salah
satunya terlihat pada riwayat-riwayat yang dilansir dalam tafsirnya. Hal ini sebagaimana diakui
sendiri oleh pengarangnya bahwa terdapat kurang lebih 200 buah riwayat tentang tafsir esoterik
yang dimuat dalam kitabnya. Hasil penemuan riwayat esoterik tersebut semuanya berkaitan
dengan ajaran-ajaran Syi’ah di antaranya berkenaan dengan konsep wilayah (kekuasaan), imam
Syi’ah 12, ahl al-bait, maupun keutamaan ‘Ali ibn Abi Talib.25
a. Legitimasi Imamah dan kemaksuman para Imam
Bagi sebagian kelompok, imam atau imamah adalah pokok dari ajarannya yang jika
seseorang mengingkari hal ini maka yang bersangkutan dianggap telah meninggalkan ke-
Islaman-nya.26 Dalam kitab tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, tema imamah mendapat banyak
porsi untuk dibahas. Antara lain Q.S. al-Baqarah (02): 124

‫ال َو ِم ْن ذُ ِّريَّتِي‬ ِ ‫ك لِلن‬


َ ‫َّاس ِإمام اً ق‬ ِ ‫ال ِإنِّي‬
َ ُ‫جاعل‬ ٍ ‫راهيم ربُّهُ بِ َكلِم‬
َ ‫ات فَ َأتَ َّم ُه َّن ق‬ ِ ِ
َ َ ْ‫َوِإذ ْابتَلى ِإب‬
ِِ ِ ُ ‫قال ال ي‬
َ ‫نال َع ْهدي الظَّالم‬
‫ين‬ َ َ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji1 Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga)
dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Al-Thabathaba’i menafsirkna bahwa lafadz (ُ‫)وِإ ِذ ا ْبتَلى ِإبْرا ِهي َم َربُّه‬


َ merupakan isyarat tentang kisah
pemberian jabatan Imamah. Kisah ini terjadi pada akhir masa hidup Nabi Ibrahim

25
Siar Ni’mah, “al-Dakhil dalam Tafsir (Studi atas Penafsiran Ayat-ayat Imamah Husain al-Thathaba’i
dalam Tafsir al-Mizan)”, Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al-Fitrah, Vol. 9, No. 1, Februari 2019, hlm. 51.
26
Fiddian Khairuddin, “Makna Imam Menurut al-Thabathaba’i dalam Kitab Al-Mizan fi Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Syahadah,Vol. V, No. 1, April 2016, hlm. 11.
As. Yakni tepatnya sesudah kelahiran Isma’il dan Ishaq dan juga setelah menempatkan Isma’il
beserta ibunya di Makkah. Dalilnya adalah perkataan Nabi Ibrahim sebagaimana yang
diceritakan Allah Swt. (‫اس ِإمام(ا ً ق(ا َل َو ِم ْن ُذرِّ يَّتِي‬ َ ُ‫جاعل‬
ِ َّ‫ك لِلن‬ ِ ‫) ِإنِّي‬. Sesungguhnya sebelum kedatangan
Malaikat yang memberi kabar gembira tentang kelahiran Isma’il dan Ishaq, Ibrahim tidak tahu
dan tidak pernah menyangka bahwa dia akan mempunyai keturunan. Sehingga saat malaikat
memberi kabar gembira tentang kelahiran anak-anaknya, maka dia berkata kepada malaikat
bahwa hal tersebut tidak mungkin karena istrinya telah menapouse.27
ِ َّ‫ ) ِإنِّي جا ِعلُكَ لِلن‬yakni aku menjadikanmu pemimpin yang diikuti
Firman Allah Swt. (ً ‫اس ِإماما‬
manusia, baik perkataanmu ataupun perbuatanmu. Imam adalah orang yang diikuti manusia.
Oleh karena itu, banyak mufassir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Imam adalah
kenabian, karena para Nabi diikuti umatnya dalam agama. 28 Akan tetapi pendapat ini bisa
dipatahlan dengan beberapa alasan. Pertama, pangkat Imamah yang dijanjikan disampaikan
melalui wahyu, sedangkan wahyu sendiri tidak bisa diperoleh kecuali oleh seorang Nabi. Maka,
Ibrahim As. telah menjadi Nabi sebelum dia memikul tanggung jawab Imamah. Maka lafadz
Imamah dalam ayat di atas tidak bermakna kenabian sebagaimana yang disampaikan oleh
sebagian mufassir. Kedua, sebagaimana penjelasan pada permulaan Penafsiran bahwasanya
kisah Imamah terjadi di akhir kehidupan Ibrahim sesudah adanya kabar gembira tentang
kelahiran Isma’il dan Ishaq. Kabar gembira tersebut di bawa malaikat saat mereka dalam
perjalanan untukmenghancurkan kaumnya Nabi Luth As. padahal pada saat itu Ibrahim telah
diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Maka kenabian Ibrahim terjadi sebelum dia diangkat menjadi
Imam.29
Selain kepada Nabi, Imamah juga dapat diberikan kepada selainnya. Namun syarat dari
orang yang menerimanya haruslah terjaga dari kesesatan dan dosa (maksum) dengan penjagaan
dari Tuhan. Syarat ini diberlakukan karena ia adalah seorang pemimpin yang akan memberi
petunjuk kepada orang lain. Jika ia tidak terjaga dari dosa, ia berarti tidak mendapat petunjuk
untuk dirinya sendiri. al-Thabathaba’i mengungkapkan bahwa para imam ini telah mendapatkan
petunjuk dan wahyu dari Tuhan guna menuntuk umat menuju jalan Tuhannya. 30 Lebih jelasnya,
al-Thabathaba’i menyimpulkan tujuh keistimewaan Imam. Pertama, imam harus diadakan.

27
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11, (Beirut: Muassasah al-A’lami
li al-Mathbu’at, 1997), hlm. 262.
28
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 266.
29
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 266.
30
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 269.
Kedua, imam harus terjaga dari dosa dengan penjagaan dari Tuhan. Ketiga, di belahan bumi
manapun yang ada manusianya, maka di situ terdapat pula imam yang haq. Keempat, imam
wajib dikuatkan di sisi Tuhan. Kelima, setiap perbuatan hamba tidaklah luput dari pengetahuan
imam. Keenam, imam wajib mengetahui apa yang dibutuhkan manusia, baik itu perkara dunia
maupun perkara akhirat. Ketujuh, musthail ditemukan keutamaan diri yang melebihi keutamaan
imam yang lanya.31

b. Keutamaan Ali dan Keluarganya


QS. Al-Fatihah/1: 6
‫يم‬ ِ ِ
َ ‫المستَق‬
ُ ‫ط‬ َ ‫الص َرا‬
ِّ ‫اهدنَا‬
Menurut al-Thabathaba’i bahwa yang dimaksud al-sirat al-mustaqim adalah Imam ‘Ali bin Abi
Thalib. Ia melandaskan pernyataannya berdasarkan riwayat yang dinukil dari tafsir al-Ayyash
karangan al-Ayyashi dari Imam Ja’far al-Shadiq.32
QS. Al-Mu’minun/23: 71
‫ناه ْم بِ ِذ ْك ِر ِه ْم‬ ِ
ُ ‫ض َو َم ْن في ِه َّن بَ ْل َأَت ْي‬
ُ ‫اَأْلر‬
ْ ‫ماوات َو‬
ُ ‫الس‬ ِ ‫ولَ ِو َّاتبع الْح ُّق َْأهواء ُهم لََفس َد‬
َّ ‫ت‬ َ ْ َ َ ََ َ
ُ ‫َف ُه ْم َع ْن ِذ ْك ِر ِه ْم ُم ْع ِر‬
‫ضو َن‬
Al-Thabathaba’i mengutip penafsiran al-Qumi bahwa yang dimaksud dengan al-haqq adalah
Rasulullah Saw dan Imam ‘Ali bin Abi Thalib.33
QS. Ibrahim/14: 24
ِ ‫الس‬
‫ماء‬ َّ ‫ت َو َف ْرعُها فِي‬
ٌ ِ‫َأصلُها ثاب‬ ٍ ٍ َ ‫ضرب اللَّهُ مثَالً َكلِمةً طَيِّبةً َك‬ َ ‫َألَ ْم َت َر َك ْي‬
ْ ‫ش َج َرة طَيِّبَة‬ َ َ َ َ ََ ‫ف‬
Dalam tafsir al-Mizan, al-Thabathaba’i menafsirkan kata al-ashl dengan Nabi Muhammad, al-
far’u adalah Ali, dan al-ghushnu adalah para imam dan keturunannya, al-tsamar adalah ilmunya
para imam, dan al-waraq adalah kaum Syi’ah.34
c. Ahli bait Nabi

Ahli bait di mata para pengikut Syi’ah memiliki keistimewaan tersendiri. Orang-orang Syi’ah
berkeyakinan bahwa ahli bait segala dosanya telah disucikan oleh Allah Swt. Sebagaimana
dijelaskan oleh al-Thabathaba’i dalam tafsirnya ketika menjelaskan firman Allah Q.S al-Ahzab
(33): 33 berikut

31
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 270.
32
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 1,... hlm. 43.
33
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 15,... hlm. 52.
34
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 12,... hlm. 61.
ِ ‫الر ْجس َْأهل الْب ْي‬ ِ ِ
ً‫ت َويُطَ ِّه َر ُك ْم تَطْ ِهيرا‬ َ ‫ِإنَّما يُ ِري ُد اللَّهُ ليُ ْذه‬
َ َ َ ِّ ‫ب َع ْن ُك ُم‬
Menurut al-Thabathaba’i, yang dimaksud idhab al-rijs dan al-tathir dalam ayat tersebut adalah
dengan memperkuat ketakwaan yakni dengan menjauhkan mereka dari larangan-larangan dan
memudahkan mereka dalam melakukan ketaatan.35
Adapun mengenai ahli bait sendiri, al-Thabathaba’i mengakui ada perbedaan di antara
ahli tafsir mengenai siapa yang dimaksud. Sebagian ada yang menyatakan bahwa ahli bait adalah
para istri Nabi. Pendapat ini disanggah oleh al-Thabathaba’i bahwa ahli bait bukan hanya para
istri Nabi saja, para kerabat Nabi, seperti dari Bani ‘Abbas, Bani ‘Aqil, Bani Ja’far, juga dapat
dikatakan sebagai ahli bait Nabi. Bahkan orang-orang yang bertakwa juga dapat dikatakan
sebagai ahli bait. Sanggahan ini berdasarkan beberapa ayat juga beberapa pendapat lainnya.36
Setelah ditelusuri lagi tentang siapa ahli bait itu, nampaknya al-Thabathaba’i kurang
begitu konsistem dalam penafsirannya tersebut. Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa ahli
bait bukan hanya para istri Nabi, dipenjelasan berikutnya al-Thabathaba’i menyatakan bahwa
ayat di atas hakikatnya diturunkan hanya kepada Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Meskipun ada kemungkinan ayat di atas juga berlaku bagi ahli bait yang lainnya, al-Thabathabai
begitu keras menyatakan bahwa ayat tersebut hanya dikhususkan kepada mereka saja (yakni
Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain), bukan kepada yang lainnya. Bahkan al-Thabathaba’i
mengingkari riwayat yang bersumber dari Ummu Salamah yang menjelaskan bahwa para istri
Nabi juga termasuk yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.37

Daftar Pustaka

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Priode
Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer (Yogyakarta: Adab Press, 2014).
Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Rasionalisme dalam islam (Semarang: Ramadhani,
1980).
35
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 16,... hlm. 316.
36
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 16,... hlm. 316.
37
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 16,... hlm. 318.
Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi’ah (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2013).
Fiddian Khairuddin, “Makna Imam Menurut al-Thabathaba’i dalam Kitab Al-Mizan fi Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Syahadah,Vol. V, No. 1, April 2016.
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dariAliran Klasik hingga Modern, terj. M.Alaika Salamullah
(Depok: Elsaq Press,2010).
M. Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
M.Alfatih Suryadilaga, “Kaidah-kaidah Tafsir” dalam Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
Teras, 2010).
Muhammad Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir , terj.
H.M. Mochtar Zoerni dan Abdul qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987).
Muhammad bin Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an,(Beirut: Dar al-
Kitab al-Arabi, 1995).
Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal,Terj.Asywadie Syukur, Juz
I, (Surabaya: Bina Ilmu, t.th).
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan FiUlum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Dar At-
Turats t.th).
Muhammad bin Husein At-Tabataba’i, al-Syi’ah fi Al-Islam, (t.tp: Syubkah al-Imamah al-
Hasanain li al-Turas wa al-Fikr al-Islami, t.th).
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Juz XVII, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 2000).
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi, Al-Qamus Al-Muhl, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
2005).
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11, (Beirut: Muassasah
al-A’lami li al-Mathbu’at, 1997).
Rosihon Anwar, Samudra al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Siar Ni’mah, “al-Dakhil dalam Tafsir (Studi atas Penafsiran Ayat-ayat Imamah Husain al-
Thathaba’i dalam Tafsir al-Mizan)”, Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al-Fitrah,
Vol. 9, No. 1, Februari 2019.
Syarifuddin al-Musawi, Dialog sunnah Syiah (Bandung: Mizan, 1990).

Anda mungkin juga menyukai