Kel 3 - Tafsir Bernuansa Teologis (Syi'ah)
Kel 3 - Tafsir Bernuansa Teologis (Syi'ah)
Kel 3 - Tafsir Bernuansa Teologis (Syi'ah)
Abstrak
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia sepanjang zaman. Namun orang-orang
terkadang berbeda dalam memahaminya. Perbedaan tersebut muncul karena beberapa alasan,
di antaranya adalah karena latar belakang keilmuan dan faktor teologis. Tafsir al-Mizan karya
Muhammad Husain al-Thabathaba'i misalnya, bahwa tafsir tersebut merupakan salah satu
contoh tafsir yang bernuansa Syi’ah. Di dalamnya memuat ulasan-ulasan yang erat kaitannya
dengan pemahaman Syi’ah seperti kemaksuman para imam dan pengangungan terhadap ahlul
bait di atas para sahabat. Di dalam tulisan ini akan mengupas tentang metode penafsiran Syi’ah
pada umumnya, dan penfasiran al-Thabathaba'i pada khususnya.
1
Muhammad bin Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an,(Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, 1995), Juz II, hal. 6.
2
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan FiUlum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Dar At-Turats
t.th), Juz I,hal. 13.
hanya dikarenakan sudut pandang yang berbeda. Al-Zarqani lebih menekankan keberadaannya
ilmu pengetahuan terhadap petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Sedangkan al-Zarkasyi lebih
menitikberatkan tafsir sebagai ilmu alat untuk memahami al-Qur'an. Menurut Abd. Mu’in Salim
sebagaimana yang dikutip oleh M. Alfatih Suryadilaga, ketika berbicara tentang tafsir hal ini
akan menyangkut sebagai kegiatan ilmiah, sebagai alat dan sebagai hasil.3
Jadi, tafsir dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang pemahaman terhadap
Kitabullah, makna-makna, hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Sedangkan kata
Syi’ah secara etimologi berarti ( االتباعpengikut) dan ( االنصارpenolong).4
Jadi, secara bahasa Syi’ah dapat diartikan sebagai setiap kelompok yang saling
membantu untuk menyelesaikan suatu problem. Sedangkan secara terminologi, Syi’ah adalah
kaum muslimin yang menganggap pengganti Rasulullah Saw. merupakan hak istimewa keluarga
Rasulullah Saw. (ahl al-bayt), demikian menurut al- Tabataba‘i. 5 Sementara itu, al-Z|ahabi dan
al-Syahrastani memberikan pandangan lebih signifikan dengan menyatakan bahwa Syi’ah adalah
para pembela dan pengikut ‘Ali bin Abi Talib dan Ahl al-Bayt yang berpandangan bahwa ‘Ali
adalah orang yang paling berhak menjadi Imam berdasarkan wasiat (nas) dari Rasulullah Saw.
sepeninggalnya.6
Jadi, yang dimaksud dengan Syi’ah di sini adalah para pengikut dan pembela ‘Ali bin
Abi Talib yang menganggapnya sebagai orang yang paling berhak memangku kursi
kepemimpinan umat Islam berdasarkan wasiat Rasulullah Saw. setelah wafatnya. Pada akhirnya,
para pembela dan pengikut Ali ini kemudian menjadi sekte tersendiri di dalam tubuh Islam.
Berdasarkan definisi dari dua term di atas, maka tafsir mazhab Syi’ah dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mengkaji tentang pemahaman terhadap al-Qur'an yang meliputi makna,
hukum, dan hikmah yang terkandung di dalamnya yang dilakukan oleh mufassir yang berasal
dari kelompok pengikut dan pembela ‘Ali bin Abi Talib ra.
10
Rosihon Anwar, Samudra al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 249-250.
11
Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Rasionalisme dalam islam (Semarang: Ramadhani, 1980),
hal.155.
akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu ‘Usman al-Mazani (w.
248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), al-Fatht al al- Syirazi (w. 984 H), Jawwad bin Hasan al-
Balagi (w. 1302 H) dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jaza’iri (w.
1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasa’i (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abu al-
H{asan al-Adawi al-Syamsyati (w. awal abad IV H) menulis tentang Garib al-Qur'an,
Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang Asbab al-Nuzul Sadiq bin
Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang Nasikh Mansukh dan Ibn al-Musanir (w. 206 H) menulis
tentang majaz.12
Sementara itu, Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai
tokoh yang pertama kali meletakkan dasar-dasar mazhab Syi’ah, hanya saja kitab tafsirnya tidak
ditemukan, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong saja. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu
menyebutkan kitab tafsir Syiah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah
kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-‘Ibadah karya al-Sultan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti
yang dirampungkan pada tahun 311 H/923 M, dan dicetak tahun 1314 H/1896 M di Teheran.
Pada abad keempat Hijriyah muncul karya tafsir Abu al- Hasan ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi.
Menurut Goldziher, sejak saat itulah bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syiah,
salah satunya adalah nkitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian
karya ulama besar Syiah, Abu Ja‘far al-Thusi (w. 460 H/1068 M).13
Sedangkan al-Zahabi di dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menyebutkan secara detail
karya-karya tafsir yang muncul di kalangan Syi’ah. Dari kalangan Syi'ah Imamiyyah Isna
'Asyariyyah muncul Tafsir al-Hasan al-‘Askari yang dinisbahkan kepada Imam al-Hasan
al-‘Askari (w. 245 H), Tafsir Muhammad bin Mas’ud, Tafsir al-Qummi karya ‘Ali bin Ibrahim
al-Qummi, al-Tibyan karya al-Tusi (w. 460 H), Majma‘ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Abu
‘Ali al-Fadhl bin al-Hasan al-Tabrisi (w. 538 H), al-Shafi karya Muh}sin al-Kasani, al-Asfa
karya Muhsin al- Kasani, yakni ringkasan dari buku al-Safi, al-Burhan karya Hasyim bin
Sulaiman (w. 1107 H), Mir’ah al-Anwar wa Misykat al-Asrar karya ‘Abd al-Latif al-Kazrani, al-
Muallaf karya Muhammad Murtadha al- Husayni, Tafsir al-Qur’an karya ‘Abdullah bin
Muhammad Ridha al-‘Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-lbadah karya Sultan
bin Muhammad bin Haydar al-Khurasani, Ala’u al-Rah}man fl Tafsir al-Qur’an karya
12
Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab, hal.156-158.
13
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, hal. 335-336.
Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352 H).14
Dari kalangan Syiah Imamiyah Ismailiyah, baik dari kalangan mutaqaddimin maupun
muta’akhirin, al-Zahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang muncul. Begitu juga
dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah, karena memang menurutnya tiga aliran Syiah ini
tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan
diri mengarang kitab tafsir.15 Sementara itu menurut Bar-Asher sebagaimana yang disampaikan
oleh Devi Faizah Yuliana ada sedikit karya tafsir dari kalangan Syiah Isma iliyah yang dapat
diketahui, di antaranya adalah Kitab Asas al-Ta’wil karya al-Qadi al-Numan bin Hayyun (w. 363
H/973 M), dan Kitab al-Kasyf oleh Ja’far bin Mansur al-Yaman.16
Sedangkan dari kalangan Syiah Zaydiyah ada beberapa karya tafsir yang dikemukakan
oleh al-Zahabi, di antaranya adalah Garib al-Qur’an karya Imam Zayd bin ،’Ali (salah satu imam
Zaydiyah), al- Tahdib karya Muhsin bin Muh}ammad bin Karamah (w. 494 H), Tafsir ‘Atiyah
bin Muhammad al-Najwani (w. 665), al-Taysir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad al-
Nahawi al-Zaydi (w. 791 H), Tafsir Ibn al- Aqdam, Tafsir Ayt al-Ahkam karya Husayn bin
Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Husayn bin al-Qasim, dan Fath}
al-Qadir karya Muhammad bin ،Ali bin ‘Abd Allah al-Syaukani (w. 1250 H).17
Sementara itu, al-Tabataba’i dalam karyanya yang berjudul al- Qur'an fi al-Islam
mengklasifikasikan para mufassir Syi’ah menjadi empat kelompok. Pertama adalah orang-orang
yang mengemukakan tafsir dari Nabi saw. dan para Imam, dan menjadikannya sumber utama
dalam karyanya, seperti Zurarah bin A‘yun, Muhammad bin Muslim, dan lain-lain. Kelompok
kedua adalah orang-orang yang pertama menulis buku tafsir dan menjadikan riwayat dari
kelompok pertama sebagai sumber tafsirnya. Yang termasuk kelompok ini di antaranya Furat ibn
Ibrahim ibn Furat al-Kufi, Abu al-Nasr Muhammad ibn Mas‘ud al ،Ayyasyi al-Samarqandi, Abu
al-Hasan ،Ali ibn Ibrahim al-Qummi, dan Muh}ammad ibn Ibrahim al-Nu‘mani. Sedangkan
kelompok ketiga adalah orang-orang yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu, seperti al-
Syarif al-Rida (w. 436/1044) yang menulis tafsir bercorak sastra, al-Tusi (w. 460/1067) dengan
buku tafsirnya yang bercorak teologi dengan nama al- Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, Mawla Sadr al-
Din al-Syirazi (w. 1050/ 1640) dengan karya tafsirnya yang bercorak filsafat, al-Mubaydi al-
Kunabadi yang corak tafsirnya tasawuf, ‘Abd al- ،Ali al-Huwayzi dengan buku tafsirnya, Nur al-
14
M. Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), Juz II, hal. 32-34
15
al-Zahabi, al-Tafsirwa al-Mufassirun, hal. 177-198.
16
Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi’ah (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2013), hal. 71
17
al-Zahabi, al-Tafsirwa al-Mufassirun, hal. 208-210.
S|aqalayn, Hasyim al-Bahrani (w. 1107 H/1695 M) dengan karyanya, al-Burhan dan Fayd al-
Kasyani (w. 1191 H/1777 M) dengan buku tafsirnya al-Safi. Keempat adalah orang yang
mengumpulkan berbagai macam ilmu pengetahuan dalam buku tafsirnya, antara lain adalah al-
Tabrisi (w. 548 H/ 1153 M) dengan buku tafsirnya, Majma‘ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an.18
Di sini terlihat bahwasanya Syi’ah juga memberikan kontribusi yang cukup signifikan
dalam khazanah tafsir. Kaum Syi’ah cukup produktif dalam memproduksi tafsir sesuai dengan
perspektif mereka. Bahkan dalam karya tafsir mereka juga ada corak penafsiran yang dominan
sebagaimana karya tafsir golongan Sunni.
21
Syarifuddin al-Musawi, Dialog sunnah Syiah (Bandung: Mizan, 1990), hal.20.
Syi’ah, seperti dalam al-Qur'an fi al-Islam dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah berkata:
22
ان للقران ظهرا وبطنا ولبطنه بطن الى سبعة ابطان
Jadi, kalangan Syi’ah meyakini bahwa al-Qur'an memiliki makna zahir dan batin, di
mana makna batinnya mencapai tujuh tingkat.
Al-Tabataba‘i sebagaimana yang dikutip oleh Devi Faizah Yuliana menjelaskan bahwa
makna-makna batin al-Qur'an tersebut hanya dapat dipahami oleh kaum khawwas (elit spiritual)
yang mempunyai kebersihan hati. Menurutnya, aspek batin al-Qur'an tidak menghilangkan atau
mengurangi nilai arti zahirnya, bahkan menjadi nyawa yang menghidupkan badan. Makna zahir
tidak menafikan maksud makna batin, dan maksud makna batin tidak menafikan maksud makna
zahir, serta makna batin mempunyai beberapa tingkatan makna.
Al-Tabataba‘i juga menyatakan bahwa arti-arti lahir al-Qur'an adalah seperti lambang-
lambang dari arti batin. Yakni dalam hal ajaran Allah Swt yang berada di luar pemahaman orang
kebanyakan ada bentuk- bentuk perumpamaannya, sehingga ajaran-ajaran ini bisa dimengerti
oleh kebanyakan orang. Adanya perumpamaan tersebut memberi kemudahan bagi manusia untuk
memahami ajaran agama. Gagasan ini di antaranya didasarkan pada Q.S. al-Isra’ [17]: 89.82
Selain itu, al-Tabataba‘i juga berpendapat bahwa di antara ayat-ayat yang mengandung makna
esoterik adalah semua ayat yang dikategorikan sebagai mutasyabihat. Dan penggalian makna
esoterik al-Qur'an hanya bisa dicapai melalui ta’wil.23
Dalam sejarah perkembangannya, Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan.
Perpecahan ini juga berpengaruh terhadap pandangan mereka dalam menafsirkan al-Qur'an.
Sehingga masing-masing golongan berusaha menafsirkan al-Qur'an sesuai dn ideologi kelompok
mereka. Berikut ini adalah deskripsi umum mengenai tafsir kelompok Syi’ah:
a. Syi'ah Imamiyyah Isna 'Asyariyyah
Syi'ah Imamiyyah Isna'Asyariyyah dalam menafsirkan al-Qur'an lebih banyak
dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dalam prinsip Imamah, mereka
berusaha mencari legitimasi doktrin mereka dari ayat-ayat al-Qur'an. Metode yang
mereka pakai adalah ta’wil. Selain itu, ada juga mufassir dari golongan ini yang
menggunakan metode bi al-ma’sur, seperti yang dilakukan oleh Muhsin Fayd al-
22
At-Tabataba’I, al-Syi’ah fi Al-Islam, hal.24.
23
al-Tabataba’I, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-A’lami li Matbu’at, 1997), Juz II, hal.
83-84.
Kasyani dalam tafsir al-Safi. Hal ini bisa diketahui dari banyaknya riwayat yang
dicantumkan di dalam kitab tafsirnya. Akan tetapi, karena bermaksud memperkokoh
pandangan mazhabnya, riwayat riwayat yang digunakan kebanyakan riwayat yang
dinisbatkan kepada ahl al-bayt.
b. Syi’ah Isma’iliyyah
Tidak jauh berbeda dengan metode penafsiran Syi'ah Imamiyyah Itsna
'Asyariyyah, Syi’ah Imamiyah Isma’iliyyah atau dikenal dengan Syi’ah Bathiniyah
juga menggunakan metode ta’wil dalam upaya-upaya mereka menafsirkan al-Qur'an.
Bedanya, mereka tidak menulis kitab-kitab tersendiri yang menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an. Mereka hanya melakukan penafsiran pada kitab-kitab secara terpisah. Dan
perlu diperhatikan, pentakwilan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur'an terlalu bebas,
dalam arti tidak mengenal aturan-aturan ta’wil, seperti yang kita ketahui dalam ‘Ulum
al-Qur'an. Contoh penafsiran dari sekte ini adalah seperti interpretasinya pada Q.S. al
Hijr [15]: 99 yakni orang yang mengerti makna ibadah terlepas dari kewajiban
beribadah. Penafsiran demikian didasari karena perhatian kelompok ini terhadap
ta’wil dalam arti makna batin al- Qur'an, sedangkan makna lahirnya diabaikan.
c. Syi’ah Zaidiyah
Kelompok Syi’ah Zaidiyah adalah pengikut Zayd bin ‘Ali bin Husayn bin ‘Ali bin
Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok Syi’ah yang lain, kelompok Syi’ah
ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dari
segi pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu’tazilah
karena memang Imam Zayd pernah bertemu dengan Wasil bin ‘Ata’, pendiri aliran
Mu’tazilah. Karena lebih dekat dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, maka metode
penafsirannya juga banyak menggunakan metode tafsir bi al-ma’sur. Demikian pula,
karena banyak dipengaruhi pandangan Mu’tazilah, Syi’ah Zaidiyah juga tidak lepas
dari metode tafsir bi al-ra’yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fath al-Qadir, al-Syaukani
sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurtubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai
rujukan tafsirnya.24
Jadi, secara umum metode tafsir yang berkembang di kalangan Syi’ah sama
dengan yang berkembang di kalangan Sunni. Kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-
Muhammad Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir , terj. H.M.
24
Mochtar Zoerni dan Abdul qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987), hal. 135-136.
Qur'an adalah dengan menafsirkan ayat dengan ayat lain yang biasanya diistilahkan
dengan tafsir al-Qur'an bi al- Qur'an dan melalui hadis Nabi Muhammad Saw. Selain
itu, Syi’ah juga memandang bahwa penafsiran al-Qur'an yang dirujuk kepada
perkataan para Imam ahl al-bayt-pun juga dipandang sebagai sumber yang valid.
Sedangkan penafsiran yang berasal dari para sahabat dan tabiin dianggap sama
kedudukannya seperti muslim pada umumnya.
Contoh penafsiran al-Thabathaba’i
Mengutip analisis yang dilakukan oleh Siar Ni’mah, al-Mizan adalah salah satu kitab
tafsir yang memuat penafsiran esoterik al-Qur’an. Keberadaan penafsiran esoterik tersebut salah
satunya terlihat pada riwayat-riwayat yang dilansir dalam tafsirnya. Hal ini sebagaimana diakui
sendiri oleh pengarangnya bahwa terdapat kurang lebih 200 buah riwayat tentang tafsir esoterik
yang dimuat dalam kitabnya. Hasil penemuan riwayat esoterik tersebut semuanya berkaitan
dengan ajaran-ajaran Syi’ah di antaranya berkenaan dengan konsep wilayah (kekuasaan), imam
Syi’ah 12, ahl al-bait, maupun keutamaan ‘Ali ibn Abi Talib.25
a. Legitimasi Imamah dan kemaksuman para Imam
Bagi sebagian kelompok, imam atau imamah adalah pokok dari ajarannya yang jika
seseorang mengingkari hal ini maka yang bersangkutan dianggap telah meninggalkan ke-
Islaman-nya.26 Dalam kitab tafsir al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, tema imamah mendapat banyak
porsi untuk dibahas. Antara lain Q.S. al-Baqarah (02): 124
25
Siar Ni’mah, “al-Dakhil dalam Tafsir (Studi atas Penafsiran Ayat-ayat Imamah Husain al-Thathaba’i
dalam Tafsir al-Mizan)”, Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al-Fitrah, Vol. 9, No. 1, Februari 2019, hlm. 51.
26
Fiddian Khairuddin, “Makna Imam Menurut al-Thabathaba’i dalam Kitab Al-Mizan fi Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Syahadah,Vol. V, No. 1, April 2016, hlm. 11.
As. Yakni tepatnya sesudah kelahiran Isma’il dan Ishaq dan juga setelah menempatkan Isma’il
beserta ibunya di Makkah. Dalilnya adalah perkataan Nabi Ibrahim sebagaimana yang
diceritakan Allah Swt. (اس ِإمام(ا ً ق(ا َل َو ِم ْن ُذرِّ يَّتِي َ ُجاعل
ِ َّك لِلن ِ ) ِإنِّي. Sesungguhnya sebelum kedatangan
Malaikat yang memberi kabar gembira tentang kelahiran Isma’il dan Ishaq, Ibrahim tidak tahu
dan tidak pernah menyangka bahwa dia akan mempunyai keturunan. Sehingga saat malaikat
memberi kabar gembira tentang kelahiran anak-anaknya, maka dia berkata kepada malaikat
bahwa hal tersebut tidak mungkin karena istrinya telah menapouse.27
ِ َّ ) ِإنِّي جا ِعلُكَ لِلنyakni aku menjadikanmu pemimpin yang diikuti
Firman Allah Swt. (ً اس ِإماما
manusia, baik perkataanmu ataupun perbuatanmu. Imam adalah orang yang diikuti manusia.
Oleh karena itu, banyak mufassir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Imam adalah
kenabian, karena para Nabi diikuti umatnya dalam agama. 28 Akan tetapi pendapat ini bisa
dipatahlan dengan beberapa alasan. Pertama, pangkat Imamah yang dijanjikan disampaikan
melalui wahyu, sedangkan wahyu sendiri tidak bisa diperoleh kecuali oleh seorang Nabi. Maka,
Ibrahim As. telah menjadi Nabi sebelum dia memikul tanggung jawab Imamah. Maka lafadz
Imamah dalam ayat di atas tidak bermakna kenabian sebagaimana yang disampaikan oleh
sebagian mufassir. Kedua, sebagaimana penjelasan pada permulaan Penafsiran bahwasanya
kisah Imamah terjadi di akhir kehidupan Ibrahim sesudah adanya kabar gembira tentang
kelahiran Isma’il dan Ishaq. Kabar gembira tersebut di bawa malaikat saat mereka dalam
perjalanan untukmenghancurkan kaumnya Nabi Luth As. padahal pada saat itu Ibrahim telah
diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Maka kenabian Ibrahim terjadi sebelum dia diangkat menjadi
Imam.29
Selain kepada Nabi, Imamah juga dapat diberikan kepada selainnya. Namun syarat dari
orang yang menerimanya haruslah terjaga dari kesesatan dan dosa (maksum) dengan penjagaan
dari Tuhan. Syarat ini diberlakukan karena ia adalah seorang pemimpin yang akan memberi
petunjuk kepada orang lain. Jika ia tidak terjaga dari dosa, ia berarti tidak mendapat petunjuk
untuk dirinya sendiri. al-Thabathaba’i mengungkapkan bahwa para imam ini telah mendapatkan
petunjuk dan wahyu dari Tuhan guna menuntuk umat menuju jalan Tuhannya. 30 Lebih jelasnya,
al-Thabathaba’i menyimpulkan tujuh keistimewaan Imam. Pertama, imam harus diadakan.
27
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11, (Beirut: Muassasah al-A’lami
li al-Mathbu’at, 1997), hlm. 262.
28
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 266.
29
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 266.
30
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 269.
Kedua, imam harus terjaga dari dosa dengan penjagaan dari Tuhan. Ketiga, di belahan bumi
manapun yang ada manusianya, maka di situ terdapat pula imam yang haq. Keempat, imam
wajib dikuatkan di sisi Tuhan. Kelima, setiap perbuatan hamba tidaklah luput dari pengetahuan
imam. Keenam, imam wajib mengetahui apa yang dibutuhkan manusia, baik itu perkara dunia
maupun perkara akhirat. Ketujuh, musthail ditemukan keutamaan diri yang melebihi keutamaan
imam yang lanya.31
Ahli bait di mata para pengikut Syi’ah memiliki keistimewaan tersendiri. Orang-orang Syi’ah
berkeyakinan bahwa ahli bait segala dosanya telah disucikan oleh Allah Swt. Sebagaimana
dijelaskan oleh al-Thabathaba’i dalam tafsirnya ketika menjelaskan firman Allah Q.S al-Ahzab
(33): 33 berikut
31
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11,... hlm. 270.
32
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 1,... hlm. 43.
33
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 15,... hlm. 52.
34
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 12,... hlm. 61.
ِ الر ْجس َْأهل الْب ْي ِ ِ
ًت َويُطَ ِّه َر ُك ْم تَطْ ِهيرا َ ِإنَّما يُ ِري ُد اللَّهُ ليُ ْذه
َ َ َ ِّ ب َع ْن ُك ُم
Menurut al-Thabathaba’i, yang dimaksud idhab al-rijs dan al-tathir dalam ayat tersebut adalah
dengan memperkuat ketakwaan yakni dengan menjauhkan mereka dari larangan-larangan dan
memudahkan mereka dalam melakukan ketaatan.35
Adapun mengenai ahli bait sendiri, al-Thabathaba’i mengakui ada perbedaan di antara
ahli tafsir mengenai siapa yang dimaksud. Sebagian ada yang menyatakan bahwa ahli bait adalah
para istri Nabi. Pendapat ini disanggah oleh al-Thabathaba’i bahwa ahli bait bukan hanya para
istri Nabi saja, para kerabat Nabi, seperti dari Bani ‘Abbas, Bani ‘Aqil, Bani Ja’far, juga dapat
dikatakan sebagai ahli bait Nabi. Bahkan orang-orang yang bertakwa juga dapat dikatakan
sebagai ahli bait. Sanggahan ini berdasarkan beberapa ayat juga beberapa pendapat lainnya.36
Setelah ditelusuri lagi tentang siapa ahli bait itu, nampaknya al-Thabathaba’i kurang
begitu konsistem dalam penafsirannya tersebut. Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa ahli
bait bukan hanya para istri Nabi, dipenjelasan berikutnya al-Thabathaba’i menyatakan bahwa
ayat di atas hakikatnya diturunkan hanya kepada Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain.
Meskipun ada kemungkinan ayat di atas juga berlaku bagi ahli bait yang lainnya, al-Thabathabai
begitu keras menyatakan bahwa ayat tersebut hanya dikhususkan kepada mereka saja (yakni
Nabi, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain), bukan kepada yang lainnya. Bahkan al-Thabathaba’i
mengingkari riwayat yang bersumber dari Ummu Salamah yang menjelaskan bahwa para istri
Nabi juga termasuk yang dimaksudkan dalam ayat tersebut.37
Daftar Pustaka
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-aliran Tafsir dari Priode
Klasik, Pertengahan hingga Modern-Kontemporer (Yogyakarta: Adab Press, 2014).
Aboebakar Atjeh, Perbandingan Mazhab Rasionalisme dalam islam (Semarang: Ramadhani,
1980).
35
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 16,... hlm. 316.
36
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 16,... hlm. 316.
37
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 16,... hlm. 318.
Devi Faizah Yuliana, Imamah dalam Tradisi Syi’ah (Bandung: Pustaka Aura Semesta, 2013).
Fiddian Khairuddin, “Makna Imam Menurut al-Thabathaba’i dalam Kitab Al-Mizan fi Tafsir Al-
Qur’an”, Jurnal Syahadah,Vol. V, No. 1, April 2016.
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dariAliran Klasik hingga Modern, terj. M.Alaika Salamullah
(Depok: Elsaq Press,2010).
M. Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
M.Alfatih Suryadilaga, “Kaidah-kaidah Tafsir” dalam Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
Teras, 2010).
Muhammad Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir , terj.
H.M. Mochtar Zoerni dan Abdul qodir Hamid (Bandung: Pustaka, 1987).
Muhammad bin Abd al-Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan Fi Ulum al-Qur’an,(Beirut: Dar al-
Kitab al-Arabi, 1995).
Muhammad bin Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal,Terj.Asywadie Syukur, Juz
I, (Surabaya: Bina Ilmu, t.th).
Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi, Al-Burhan FiUlum al-Qur’an, (Kairo: Maktabah Dar At-
Turats t.th).
Muhammad bin Husein At-Tabataba’i, al-Syi’ah fi Al-Islam, (t.tp: Syubkah al-Imamah al-
Hasanain li al-Turas wa al-Fikr al-Islami, t.th).
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami al-Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Juz XVII, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 2000).
Muhammad bin Ya’qub Al-Fairuzabadi, Al-Qamus Al-Muhl, (Beirut: Muassasah al-Risalah,
2005).
Muhammad Hussain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Juz 11, (Beirut: Muassasah
al-A’lami li al-Mathbu’at, 1997).
Rosihon Anwar, Samudra al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
Siar Ni’mah, “al-Dakhil dalam Tafsir (Studi atas Penafsiran Ayat-ayat Imamah Husain al-
Thathaba’i dalam Tafsir al-Mizan)”, Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al-Fitrah,
Vol. 9, No. 1, Februari 2019.
Syarifuddin al-Musawi, Dialog sunnah Syiah (Bandung: Mizan, 1990).