0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
25 tayangan48 halaman

Proposal TPP Kel 3 Blok 16

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kelainan refraksi atau ametropia adalah suatu keadaan refraksi dimana
sinar-sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa
akomodasi dibiaskan tidak tepat di retina. Kelainan refraksi dikelompokkan atas
miopia, hipermetropia, prebiopia dan astigmatisma (Khurana, 2006).
Kelainan refraksi merupakan penyebab terbanyak gangguan penglihatan di
seluruh dunia dan merupakan salah satu penyebab kebutaan. Menurut WHO
dalam Global Data On Visual Impairments 2010, disebutkan bahwa 285 juta
penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan dengan penyebab terbanyak
adalah kelainan refraksi yang tidak diatasi yaitu 43% dan menjadi penyebab
kebutaan sebanyak 3 % (WHO, 2010).
Di Indonesia kelainan refraksi juga merupakan penyebab terbanyak
gangguan penglihatan. Berdasarkan hasil survei kesehatan indera penglihatan dan
pendengaran tahun 1993-1996, kelainan refraksi menempati urutan pertama
dalam 10 penyakit mata terbesar di Indonesia dengan prevalensi sebesar 22,1
%. Kelainan refraksi juga merupakan penyebab kebutaan dengan prevalensi
sebesar 0,14 % (Depkes RI, 1997).
Mengetahui banyaknya kasus ganggua refraksi di masyarakat diperlukan
pemahaman yang mendalam mengenai gangguan refraksi, mulai dari
penyebabnya, pencegahan, pentalaksanaannya dan tindakan lainnya untuk
memperbaiki prognosis. Oleh karena itu, sehubungan dengan sistem pembelajaran
di Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadyah Palembang menggunakaan
sistem KBK atau Kurikulum Berbasis Student Center Learning yaitu ilmu yang
berasal dari mahasiswa dan sehubungan dengan sistem KBK tersebut FK UM
Palembang melaksanakan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) untuk
menunjang ilmu pengetahuan mahasiswa. Dalam kegiatan blok XVI dengan judul
blok “Sistem Sensoris Dan Integumen”, adapun Tugas Pengenalan Profesi yang
kami lakukan berjudul “Identifikasi Kelainan Refraksi (Bifokal) di Masyarakat”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja kasus kelainan refraksi yang ditemui di masyarakat?
2. Apa faktor penyebab kelainan refraksi (bifokal) yang ditemui di
masyarakat?
3. Bagaimana gejala klinis dari kelainan refraksi (bifokal) yang ditemui di
masyarakat?
4. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk kelainan refraksi (bifokal) yang
ditemui di masyarakat?
5. Bagaimana penatalaksanaan kelainan refraksi (bifokal) yang ditemui di
masyarakat?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum pelaksanaan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi blok XVI
“Sistem Sensoris Dan Integumen” ini yaitu untuk mengobservasi di masyarakat,
serta menambah ilmu pengetahuan mengenai kelainan refraksi (bifokal) di
masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus pelaksananaan kegiatan ini antara lain agar mahasiswa :
1. Untuk mengetahui apa saja kasus kelainan refraksi yang ditemui di
masyarakat?
2. Untuk mengetahui faktor penyebab kelainan refraksi (bifokal) yang
ditemui di masyarakat?
3. Untuk mengetahui gejala klinis dari kelainan refraksi (bifokal) yang
ditemui di masyarakat?
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang untuk kelainan refraksi
(bifokal) yang ditemui di masyarakat?
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan kelainan refraksi (bifokal) yang
ditemui di masyarakat?
.1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dilakukan, yaitu :
1. Bagi Mahasiswa.
a) Mengetehui perjalanan kelainan refraksi (bifokal) di masyarakat.
b) Menambah pengalaman, ilmu dan kemampuan masing-masing
Mahasiswa dalam melakukan observasi.
c) Menambah ilmu bagi mahasiswa sebagai tindakan pencegahan dan
penanganan pada kelainan refraksi (bifokal).
2. Bagi Masyarakat
a) Menambah informasi tentang kelainan refraksi (bifokal).
b) Mengetahui faktor resiko yang dapat menyebabkan kelainan
refraksi (bifokal).
c) Menambah informasi tentang tindakan preventif pada kelainan
refraksi (bifokal).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Dan Fisiologi Mata


Organ visual terdiri atas bola mata dengan berat 7,5 gram dan panjang 24
mm, adnexa atau alat-alat tambahan, serta otot-otot ekstraokular. Mata merupakan
organ perifer sistem penglihatan, karenanya perlindungan organ ini amat penting.
Untuk menciptakan suatu keadaan struktural yang mampu melindungi mata dari
jejas tanpa mengurangi dan bahkan mengoptimalkan fungsinya, maka bola mata
terletak di dalam suatu rongga skeletal yang disebut orbita. Di dalam rongga
skeletal yang memainkan fungsi proteksi tulang yang keras, terdapat kumpulan
lemak yang memainkan peran sebagai bantalan yang meredam getaran-getaran
yang mungin menciderai mata. Selain itu, sistem kavitas orbita ini juga
merupakan tempat terstrukturnya sistem lokomotor bola mata dan adnexa-nya.
Bola mata terletak hampir terbenam di dalam lemak orbita. Namun bola mata tak
memiliki hubungan langsung dengan lemak ini karena keduanya dipisahkan oleh
suatu selubung berwujud fascia yang disebut sebagai kapsul Tenon. Sementara
itu, bola mata juga berhubungan dengan dunia luar melalui celah yang terbentuk
oleh tepi bawah kelopak mata atas dan tepi atas kelopak mata bawah; celah ini
disebut dengan rima palpebra. Walaupun demikian, tertutupnya rima palpebra
adalah suatu cara kelopak mata untuk memisahkan bola mata dari dunia luar. Bola
mata dapat dipandang sebagai organ akhir saraf optik yang merupakan saraf
sensoris. Mata menerima rangsang sinar dan mengubahnya menjadi impuls saraf
yang berjalan di sepanjang lintasan visual yang terdiri atas retina, nervus optikus
khiasma optikum, traktus optikus, dan radiasio optika; yang akhirnya akan
mencapai korteks visual di fissura kalkarina sehingga timbul sensasi melihat
(Suhardjo dan Suhardjo & Hartono, 2007).
2.1.1 Anatomi Mata
Bola mata tertanam di dalam adiposum orbitae, tetapi dipisahkan dari
corpus adiposum ini oleh selubung fasial bola mata. Bola mata terdiri dari tiga
lapisan, dari luar ke dalam yaitu tunica fibrosa, tunica vasculosa yang berpigmen,
dan tunica nervosa (Snell, 2015).
Bola mata dapat dipandang sebagai suatu sistem dua bola yang berlainan
volume, di mana bola yang lebih kecil terletak di dalam bola yang lebih besar.
Bagian depan dari bola kecil membentuk segmen anterior mata, sedangkan
sebagian besar bola abu-abu membentuk segmen posterior mata. Segmen anterior
dibatasi oleh kornea yang jernih di depan, serta lensa dan penggantung lensa di
belakang. Sedangkan segmen posterior terletak di belakang lensa. Segmen
anterior sendiri terbagi dua, yang terletak di antara lensa dan iris disebut sebagai
kamera okuli posterior, dan yang di antara iris dan kornea disebut kamera okuli
anterior. Karena lebih kecilnya jari-jari bola kecil, maka dapat dipahami bahwa
kornea memiliki kelengkungan yang lebih besar daripada sklera. Sifat ini amat
menentukan status refraksi suatu mata. Kelengkungan yang lebih besar dari
normal akan membuat indeks bias kornea meningkat sehingga bayangan benda
yang dilihat jatuh di depan retina. Sedangkan kornea yang kurang lengkung akan
menyebabkan bayangan jatuh di belakang retina. Keduanya akan dipersepsi
sebagai suatu kekaburan (Suhardjo dan Suhardjo & Hartono, 2007).

Gambar 2.1. Anatomi Mata


Sumber: Netter (2014)
A. Lapisan Bola Mata
1. Tunica fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opak, yaitu sclera, dan
bagian anterior yang transparan yaitu kornea.
a. Kornea
Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama
merefleksikan cahaya yang masuk ke mata. Diposterior berhubungan
dengan humor aquosus. Kornea adalah avascular dan sama sekali
tidak mempunyai aliran limfe. Kornea mendapatkan nutrisi dengan
cara difusi dari humor aquosus dan dari kapiler yang terdapat
dipinggirnya. Kornea dipersarafi oleh nervi ciliares longi dari divisi
opthalmica nervus trigeminus (Snell, 2015).
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan
transparan dan avaskular, dengan bentuk seperti kaca arloji. Bentuk
kornea agak elips dengan diameter horizontal 12,6 mm dan diameter
vertikal 11,7 mm. Jari-jari kelengkungan depan 7,84 mm dan jari-jari
kelengkungan belakang 7 mm. Sepertiga radius tengah disebut zona
optik dan lebih cembung, sedangkan tepiannya lebih datar. Tebal
kornea bagian pusat 0,6 mm dan tebal bagian tepi 1 mm. Kornea
melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang, dan perbatasan
antara kornea dan sklera ini disebut limbus (Suhardjo dan Suhardjo
& Hartono, 2007).
b. Sklera
Sklera yang opak terdiri dari dari jaringan fibrosa padat dan
berwarna putih. Diposterior, sklera ditembus oleh nervus opticus dan
menyatu dengan selubung dura nervus ini. Lamina cribrosa adalah
daerah sklera yang ditembus oleh serabut-serabut nervus opticus
(Snel, 2015).
Sklera juga ditembus oleh arteri dan nervus ciliaris dan
pembuluh venanya, yaitu venae vorticosae. Kearah anterior sklera
langsung beralih menjadi cornea pada pertemuan sklera-kornea atau
limbus (Snell, 2015).
2. Tunica Vasculosa Pigmentosa
Tunica vasculosa pigmentosa dari belakang ke depan terdiri dari
choroidea, corpus ciliare, dan iris (Snell, 2015).
a. Choroidea
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak
antara retina dan sklera, terdiri atas anyaman pembuluh darah.
Lapisan koroid dari luar ke dalam berturut-turut adalah suprakoroid,
pembuluh darah koriokapiler, dan membran Bruch. Karena koroid
banyak mengandung pembuluh darah dan retina itu jernih, maka
koroid dapat dilihat dengan oftalmoskop dan tampak berwarna
merah. Refleks fundus merah cemerlang berasal dari warna koroid
(Snell, 2015).
b. Corpus ciliare
Pada corpus ciliare kea rah posterior dilanjutkan oleh
choroidea, dan ke anterior terletak dibelakang batas perifer iris.
Corpus ciliare terdiri atas corona ciliaris, processus ciliaris dan
musculus ciliaris (Snell, 2015).
 Corona ciliaris
adalah bagian posterior corpus ciliarie, dan permukaannya
mempunyai alur-alur dangkal disebut striae ciliares.
 Processus ciliaris
adalah lipatan-lipatan yang tersusun radier, dimana pada
permukaan posteriornya melekat ligamentum suspensorim lentis
(Snell, 2015).
 Musculus ciliaris
Teridiri atas serabut-serabut otot polos meridianal dan sirkular.
Serabut meridianal berjalan ke belakang dari area limbus cornea
menuju ke processus ciliaris. Serabut-serabut sirkular berjumlah
sedikit dan terletak di sebelah dalam serabut meridianal (Snell,
2015).
c. Iris
Iris berbentuk membran datar dan merupakan kelanjutan ke
depan dari badan silier. Iris berarti pelangi dan disebut demikian
karena warna iris berbeda-beda sesuai etnik (ras) manusia. Warna
iris menentukan warna mata. Mata biru karena irisnya berwarna biru
dan mata coklat karena irisnya berwarna coklat. Iris terlihat sklerotik
dan epitel kapilernya tidak berjendela (unfenestrated). Apabila iris
dipotong, tidak akan ada darah yang keluar dan juga tidak bisa
menyembuh. Pemotongan iris dinamakan iridektomi (Suhardjo dan
Suhardjo & Hartono, 2007).
Di tengah iris terdapat pupil yang penting untuk mengatur
jumlah sinar yang masuk ke dalam mata. Secara normal tepi pupil
bersentuhan dengan lensa, namun tak melekat dengan lensa. Pada
iris terdapat dua macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu
musculus dilatator pupillae (yang melebarkan pupil) dan musculus
sphincter pupillae (yang mengecilkan pupil) (Suhardjo dan Suhardjo
& Hartono, 2007).
Musculus spinchter pupillae dipersarafi oleh serabut
parasimpatik nervis oculomotorius. Setelah bersinaps di ganglion
ciliare, serabut-serabut posganglionik berjalan ke deppan bola mata
didalam nervi ciliares breves. Musculus dilatator pupillae disarafi
oleh saraf simpatik, yang berjalan ke depan bola mata didalam nervi
ciliare longi (Suhardjo dan Suhardjo & Hartono, 2007).
Garis tengah pupil normal berkisar antara 3 hingga 4 mm.
Lebar sempitnya pupil dipengaruhi banyak faktor. Pupil relatif lebar
pada orang muda dan relatif sempit pada orang tua dan bayi. Pupil
juga dipengaruhi oleh emosi, karena pupil melebar pada perasaan
senang, terkejut, tertarik pada sesuatu, dan menyempit pada keadaan
lelah. Secara normal pupil menyempit pada cahaya terang dan
melebar pada suasana redup atau gelap. Penyempitan pupil juga
dipengaruhi oleh impuls saraf, misalnya pada keadaan tidur pupil
akan mengecil karena turunnya tonus simpatis. Tepi pupil
menyinggung lensa sehingga lensa bertindak sebagai bantalan iris
(Suhardjo dan Suhardjo & Hartono, 2007).
3. Tunica Nervosa
Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata.
Retina merupakan lapisan terdalam dari bola mata. Lapisan mata dari
luar ke dalam berturut-turut adalah sklera (warna putih), lapisan koroid,
dan yang paling dalam retina. Retina merupakan 2/3 bagian dari
dinding dalam bola mata, lapisannya transparan, dan tebalnya kira-kira
1 mm. Retina merupakan membran tipis, bening, berbentuk seperti
jaring (karenanya disebut juga sebagai selaput jala), dan metabolisme
oksigen-nya sangat tinggi. Retina sebenarnya merupakan bagian dari
otak karena secara embriologis berasal ari penonjolan otak. Dengan
demikian nervus optikus sebenarnya merupakan suatu traktus dan
bukan “nervus” yang sebenarnya (Suhardjo dan Suhardjo & Hartono,
2007).
Bagian retina yang mengandung sel-sel epitel dan retina sensoris
disebut pars optika retina yang artinya bagian yang berfungsi untuk
penglihatan. Bagian retina yang mengandung sel-sel epitel pigmen yang
meluas dari ora serrata hingga tepi belakang pupil disebut sebagai pars
seka retina yang berarti bagian “buta”, dan hal ini harus dibedakan
dengan “bintik buta”. Pada retina terdapat daerah yang penting untuk
diskriminasi visual yang disebut makula lutea (bintik kuning), atau
disebut sebagai fovea, yang terletak 3,5 mm di temporal papil N II.
Makula lutea mempunyai serabut saraf yang sangat banyak yang
menuju ke papil N II, sehingga makula lebih terlindung dari kerusakan
yang mungkin terjadi pada retina. Berkas serabut saraf dari makula ke
papil disebut sebagai berkas papilomakular (Suhardjo dan Suhardjo &
Hartono, 2007).
Retina berfungsi menerima cahaya dan merubahnya jadi sinyal
elektrokimiawi, untuk selanjutnya meneruskan sinyal tersebut ke otak.
Retina terdiri dari 3 macam sel saraf (neuron) yang berestafet dalam
meneruskan impuls penglihatan. Sel-sel tersebut adalah sel – sel
fotoreseptor (konus dan basilus), sel horizontal dan sel bipolar, serta sel
ganglion. Retina mendapat vaskularisasi dari lamina koriokapilaris
koroid dan arteria retina sentralis. Lamina koriokapilaris koroid
memberi makan lapisan epitel pigmen retina dan sel-sel fotoreseptor.
Pembuluh darahnya mempunyai endotel berjendela (fenestrated) yang
menyebabkan dapat bocornya protein serum (Suhardjo dan Suhardjo &
Hartono, 2007).
Arteria retina sentralis memberi makan neuron orde II (sel
horizontal dan bipolar) dan neuron orde III (sel-sel ganglion).
Pembuluh darah arteria ini mempunyai endotel yang tersusun rapat
(berperan sebagai sawar dalam darah-retina) dan vasa-vasa cabangnya
terletak di lapisan serabut saraf retina. Arteri retina sentralis masuk
bersama dengan N. optikus di daerah yang disebut sebagai papil nervus
optikus atau diskus optikus (warnanya lebih terang dari daerah
sekitarnya pada oftalmoskopi) (Suhardjo dan Suhardjo & Hartono,
2007).
Pada retina terdapat dua macam reseptor, yaitu sel konus (sel
kerucut) dan sel basilus (sel batang/tongkat). Pada segmen luar sel
konus terdapat tumpukan sakulus, sedangkan pada sel basilus terdapat
cakram. Sakulus dan cakram mengandung pigmen fotosensitif. Segmen
dalam sel konus dan basilus kaya akan mitokondria. Segmen luar
basilus diperbarui dengan pembentukan cakram baru pada tepi dalam
segmen dan cakram lama akan difagositosis oleh sel epitel pigmen
retina (Suhardjo dan Suhardjo & Hartono, 2007).

B. Isi Bola Mata


a. Humor aquosus
Humor aquosus adalah cairan bening yang mengisi camera anterior
dan camera posterior bulbi, merupakan sekret dari processus ciliaris, dari
tempat ini mengalir ke kamera posterior. Kemudian humor aquosus
mengalir ke dalam kamera anterior melalui pupil dan keluar melalui celah
yang ada di angulus iridocornealis masuk ke dalam sinus venosus sclerae
(Snell, 2015).
Fungsi humor aquosus adalah untuk menyokong dinding bola mata
dengan memberikan tekanan dari dalam, sehingga menjaga bentuk bola
matanya. Cairan ini juga memberi makanan pada cornea dan lensa dan
mengangkut hasil-hasil metabolism (Snell, 2015).
b. Corpus Vitreum
Corpus vitreum mengisi bola mata di belakang lensa dan merupakan
gel yang transparan. Canalis hyaloideus adalah saluran sempit yang berjalan
melalui corpus vitreum dari discus nervi optici ke permukaan posterior
lensa. Fungsi corpus vitreum adalah membantu meningkatkan daya
pembesaran mata. Juga menyokong permukaan posterior lensa dan
membantu melekatkan pars nervosa ke pars pigmentosa retina (Snell, 2015).
c. Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks yang transparan, yang dibungkus
oleh kapsul yang transparan, yang dibungkus oleh kapsul yang transparan.
Terletak dibelakang iris dan didepan corpus vitreum, serta dikelilingi
processus ciliaris. Lensa terdiri dari capsula elastis, yang membungkus
epithelium cuboideum, yang terbatas pada permukaan anterior lensa; dan
fibrae lentis yang dibentuk dari epithrlium cuboideum pada equator lentis
(Snell, 2015).

2.1.2 Fisiologi Mata


A. Proses Akomodasi
Akomodasi merupakan suatu proses ketika lensa merubah fokus untuk
melihat benda dekat. Pada proses terjadi perubahan bentuk lensa yang dihasilkan
oleh kinerja otot siliaris pada serabut zonular. Kelenturan lensa paling tinggi
dijumpai pada usia kanak-kanak dan dewasa muda, dan semakin menurun dengan
bertambahnya usia. Ketika lensa berakomodasi, kekuatan refraksi akan
bertambah. Perubahan kekuatan refraksi yang diakibatkan oleh akomodasi disebut
sebagai amplitudo akomodasi, dalam hal ini amplitudo juga semakin berkurang
dengan bertambahnya usia, penggunaan obat, dan pada beberapa penyakit.
Remaja pada umumnya memiliki amplitudo akomodasi sebesar 12-16 dioptri,
sedangkan orang dewasa pada umur 40 tahun memiliki amplitudo sebesar 4-8
dioptri, dan bahkan kurang dari 2 dioptri pada usia di atas 50 tahun (Suhardjo dan
Suhardjo & Hartono, 2007).

Gambar 2.2. Proses Akomodasi


Sumber: Sherwood (2014)
Menurut teori klasik yang diajukan oleh von Helmholtz, sebagian besar
perubahan akomodatif bentuk lensa terjadi pada permukaan depan lensa bagian
sentral, karena memiliki ketebalan lebih tipis dibanding dengan bagian perifer dan
letak serabut zonular anterior yang lebih dekat ke aksis visual dibanding serabut
zonular posterior. Permukaan posterior lensa hanya berubah sedikit pada saat
akomodasi. Proses akomodasi terjadi ketika otot siliaris berkontraksi dan
merelaksasikan serabut zonular sehingga mengakibatkan lensa menjadi lebih
sferis. Akomodasi dapat distimulasi oleh obyek pada ukuran dan jarak tertentu,
atau oleh suasana remang-remang, dan aberasi kromatis. Proses akomodasi
dimediasi oleh serabut parasimpatis nervus okulomotor (N. kranial III) (Suhardjo
dan Suhardjo & Hartono, 2007).

B. Refraksi
Refraksi atau pembiasaan cahaya merupakan perubahan arah yang terjadi
pada berkas cahaya yang melintas secara miring melalui suatu medium dan
menuju ke medium yang lain yang memiliki indeks bias yang berbeda. Perubahan
arah berkas cahaya berasal dari perubahan kecepatan perambatan yang selanjutnya
mengakibatkan perubahan panjang gelombang. Refraksi cahaya inilah yang
berperan dalam pembentukan bayangan di mata dan lensa (Sherwood, 2014).

Gambar 2.3. Proses Refraksi


Sumber: Sherwood (2014)
Proses refraksi dimulai dari sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada
melalui media trasnparan lain misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu
medium dengan densitas tinggi, berkas cahaya melambat (dan sebaliknya). Arah
berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai permukaan medium baru yang
tidak tegak lurus. Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi. Pada
permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan, semakin
besar derajat pembelokan dan senakin kuat lensa. Ketika suatu berkas cahaya
mengenai permukaan lengkungan lengkung suatu benda dengan densitas lebih
besar, arah refraksi bergantung pada sudut kelengkungan. Permukaan konveks
melengkung keluar, sementara permukaan konkaf melengkung ke dalam (seperti
gua). Permukaan konveks menyebabkan konvergensi berkas sinar, membawa
berkas-berkas tersebut lebih dekat satu sama lain. Karena konvergensi adalah hal
esensial untuk membawa suatu bayangan ke titik focus, permukaan refraktif mata
terbentuk konveks. Permukaan konkaf membuyarkan berkas sinar (divergensi).
Lensa konkaf bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan rekratif tententu mata,
misalnya berpenglihatan dekat (Sherwood, 2014).

2.2. Gangguan Refraksi


2.2.1 Miopia
Kata miopia sebenarnya pertama kali dikenal sekitar abad ke-2, yang
terbentuk dari dua kata meyn yang berarti menutup, dan ops yang 14 berarti mata.
Ini menyiratkan bahwa ciri dari miopia adalah salah satunya sering menyipitkan
mata ketika melihat sesuatu yang kurang jelas, karena dengan cara menyipitkan
mata akan terbentuk debth of focus didalam bola mata sehingga titik fokus yang
tadinya berada didepan retina akan bergeser kebelakang mendekati retina. Hal ini
akan terlihat pada penderita miopi yang koreksinya tidak sempurna atau tidak
dikoreksi sama sekali (Goss et al, 1987).
Miopia adalah kelainan refraksi pada mata dimana bayangan jatuh di depan
retina ketika mata tidak dalam keadaan berakomodasi. Hal ini digambarkan
dengan keadaan tanpa akomodasi, kondisi refraksi dimana cahaya yang sejajar
dari suatu objek yang masuk ke dalam mata akan jatuh di depan retina.
Manifestasi miopia yaitu penglihatan yang kabur jika melihat jauh atau istilah
populernya adalah “nearsightedness” (American Optometric Association, 2006).
Miopia merupakan kelainan mata paling umum di dunia. Pada keadaan
refraksi ini, retina terletak di belakang bidang fokus sehingga lensa konkaf atau
lensa negatif dibutuhkan untuk memindahkan bidang fokus kembali terletak pada
retina. Definisi miopia bervariasi namun pada umumnya mata dianggap myopia
bila memerlukan lensa negatif 0.50 dioptri untuk mengembalikan penglihatan
normal (Young, 2010).
A. Epidemiologi
Pada saat ini telah terjadi peningkatan prevalensi miopia di seluruh dunia,
terutama di Asia dan lebih khusus lagi pada kelompok usia anak sekolah.
Statistik di China yang merupakan salah satu negara dengan prevalensi miopia
tertinggi di dunia menunjukkan bahwa terdapat 9,7% anak berusia 7 tahun
mengalami miopia, 43,8% pada anak-anak yang berusia 12 tahun dan 72,8%
pada remaja usia 18 tahun. Prevalensi miopia di negara ini juga menunjukkan
bahwa angka miopia penduduk yang menetap di daerah perkotaan cenderung
lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang menetap di daerah pedesaan
(Jin, et al., 2015).
Sejalan dengan penelitian di atas, hasil penelitian Fakultas Kedokteran
UGM, Yogyakarta Eye Study (2007) menunjukan bahwa prevalensi miopia di
Daerah Istimewa Yogyakarta kawasan perkotaan lebih tinggi, yaitu 9,49%
dibandingkan dengan pedesaan yang menunjukkan angka 6,87% pada
kelompok usia sekolah dasar. Menurut American Optometric Association
(2006), siapapun yang menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk bekerja
didepan komputer mungkin berada dalam risiko berkembangnya ketegangan
mata dan kesulitan untuk memusatkan perhatian. Asosiasi ini melaporkan 16
bahwa komputer dapat memperburuk kondisi, seperti miopia.
Jika anak menghabiskan waktu lebih banyak di depan komputer atau
pekerjaan lain yang jaraknya dekat dengan mata, maka risiko mereka untuk
terkena miopia meningkat. Prevalensi miopia telah meningkat pada dekade ini
yang berefek pada peningkatan jumlah penderita miopia 10-20% anak-anak
yang baru saja menamatkan bangku sekolah dasar di beberapa tempat di dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa level dari miopia akan terus bertambah pada
tahun-tahun kedepannya dan akan mencapai angka 2,5 juta penderita pada
tahun 2020 (Morgan et al., 2012).
Menurut penelitian yang dipublikasika oleh The Journal of Epidemiology
and Community Health yang mengambil sampel pemeriksaan mata dari 10.000
pekerja. Pekerjaan ini dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan waktu
yang dihabiskan didepan komputer pada saat bekerja maupun pada saat
dirumah. Hal ini yang juga dipertimbangkan adalah lamanya pemakaian
komputer selama bertahun-tahun. Hasilnya adalah pengguna berat komputer
memiliki kelainan penglihatan, termasuk didalamnya miopia dan glaukoma,
sehingga dapat diketahui penggunaan komputer yang berat memiliki hubungan
langsung dengan miopia dan glaukoma (Morgan et al., 2012).
B. Etiologi
Miopia terjadi akibat sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga
yang masuk ke dalam mata, dibiaskan di depan retina dalam keadaan mata
tanpa akomodasi. Akomodasi adalah kemampuan mata untuk mengubah daya
bias lensa dengan kontraksi otot siliar yang menyebabkan penambahan tebal
dan kecembungan lensa sehingga bayangan pada jarak yang berbeda-beda akan
terfokus tepat di retina. Penderita miopi tidak dapat melihat objek atau benda
dengan jarak yang jauh, namun akan terlihat jelas apabila objek atau benda
tersebut berada dalam jarak yang dekat (Hartono & Suhardjo, 2007).
Mata miopia memiliki sumbu bolamata lebih panjang dan ruang vitreus
lebih dalam, yang disebabkan oleh peregangan dinding bolamata (sklera,
koroid dan retina). Pemanjangan sumbu bola mata terjadi karena abnormalitas
pertumbuhan (Curtin, 2002) dan kerentanan (susceptibility) terhadap kenaikan
tekanan intra okular (TIO) (Liu et al, 2015). Pada mata dengan kondisi
demikian sering didapatkan nisbah cup:disc yang lebar, penipisan serabut saraf
retina (SSR) dan abnormalitas lamina cribrosa serta disfungsi vaskuler.
Perubahan-perubahan akibat pemanjangan sumbu bolamata membuat mata
miopia lebih rentan terhadap perubahan glaukomatosa (Saw et al, 2005).
Miopia terjadi karena bola mata tumbuh terlau panjang saat bayi. Dikatakan
juga, semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung maka
semakin besar kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang
berkembang dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan (Curtin, 2002).
Faktor genetik juga merupakan faktor yang mengambil andil dalam
etiologi terjadinya miopia. Ada dua hipotesis yang mengemukakan mengenai
hubungan antara miopia pada orang tua dan anak. Yang pertama adalah teori
dari kondisi lingkungan yang diwariskan. Tendensi untuk miopia dalam
keluarga lebih mungkin disebabkan lingkungan yang mendorong untuk
melakukan kegiatan yang berjarak dekat dan intens dalam keluarga, daripada
faktor genetik. Orang tua dengan miopia biasanya akan menetapkan standar
akademik yang tinggi atau mewariskan kesukaan membaca pada anakanak
mereka daripada mewariskan gen itu sendiri. Suatu penelitian di Tanzania
menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki status pendidikan tinggi,
terutama ayahnya, lebih banyak mempunyai anak yang menderita myopia.
Selain itu mengenai adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi miopia
didukung melalui penelitian yang dilakukan di Australia. Pada penelitian
tersebut dibanding dengan gaya hidup 124 anak dari etnis Cina yang tinggal di
Sydney, dengan 682 anak dari etnis yang sama di Singapura. Didapati
prevalensi miopia di 19 Singapura adalah 29%, dan hanya 3,3% di Sydney.
Padahal anak-anak di Sydney membaca lebih banyak buku setiap minggunya
dan melakukan aktivitas dalam jarak dekat lebih lama daripada anak-anak di
Singapura. Tetapi, anak-anak di Sydney juga menghabisakan waktu di luar
rumah lebih lama (13,75 jam per minggu) dibandingan dengan anak-anak di
Singapura 3,05) jam. Hal ini adalah faktor yang paling signifikan berhubungan
dengan onset dan progresifitas myopia antara kedua grup. Pada penelitian
tersebut di atas menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih banyak
menghabiskan waktu di luar ruangan memiliki progresifitas dan onset miopia
yang lebih rendah dibandingkan dengan anak lain yang lebih banyak
meluangkan waktunya di dalam ruangan. Hal inilah yang mempengaruhi
proses emetropisasi berkaitan dengan cahaya yang berkenaan langsung dengan
lingkungan (ambient light), semakin banyak waktu seseorang yang di habiskan
di luar ruangan merupakan salah satu faktor protekif dalam pencegahan miopia
bagi anak-anak. Cahaya yang kita dapatkan saat berada di luar ruangan (cahaya
matahari langsung) berbeda dengan cahaya buatan yang digunakan sebagai
sumber penerangan dalam ruangan (Curtin, 2002).
C. Klasifikasi
Menurut American Optometric Assosiation (2006), miopia secara klinis
dapat dibagi menjadi 5, yaitu:
1) Miopia Simpleks: Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang
terlalu panjang atau daya bias kornea dan lensa kristalina yang terlalu
kuat.
2) Miopia Nokturnal: Miopia yang terjadi Karena pencahayaan yang redup.
3) Pseudomiopia: Diakibatkan oleh peningkatan daya bias mata karena
rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga
terjadi kekejangan pada otot siliar yang menyangga lensa kristalina.
4) Miopia Degeneratif: Miopia derajat tinggi dengan perubahan degeneratif
pada segmen posterior mata yang dikenal dengan miopia degeneratif atau
miopia patologis. Perubahan degeneratif tersebut dapat menyebabkan
fungsi penglihatan yang tidak normal, seperti penurunan koreksi
ketajaman visual atau perubahan lapang pandang. Terkadang terdapat
gejala lain yaitu ablasio retina maupun glaukoma.
5) Miopia Induksi: Miopia yang didapat akibat paparan dari zat-zat
farmakologis, variasi kadar gula darah, sklerosis lensa kristalina atau
kondisi tidak normal lainnya. Miopia ini sering hanya sememtara dan
bersifat reversibel.
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), berdasarkan ukuran Dioptri lensa yang
dibutuhkan untuk mengkoreksinya, miopia diklasifikasikan menjadi:
1) Ringan: Lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 dioptri
2) Sedang: Lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 dioptri
3) Berat: Lensa koreksinya > 6,00 dioptri
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), miopia dapat pula diklasifikasikan
berdasarkan umur, yaitu:
1) Kongenital: Sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.
2) Miopia onset anak-anak: Di bawah umur 20 tahun
3) Miopia onset awal dewasa: Di antara umur 20 tahun sampai 40 tahun 23
4) Miopia onset dewasa: Di atas umur 40 tahun.
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), menurut perjalanannya miopia dibagi
dalam:
1) Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
2) Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
3) Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia
pernisiosa atau disebut miopia degenaratif.
D. Patofisiologi
Kata kunci dari konsep miopia adalah pada dua masalah yang jelas
bebeda. Pada satu masalah, adanya masalah penglihatan yang lemah dalam
memfokuskan cahaya dikarenakan dari ketidakselarasan antara panjang aksial
dari bola mata dan lensa yang membentuknya (kornea dan lensa kristalina).
Pada masalah yang satunya, miopia merupakan salah satu dari masalah
kedokteran yang belum diketahui penyebab pastinya yang terjadi lebih sering
pada orang-orang dengan dengan kondisi patologis seperti retinal detachment
(terlepasnye retina), glaukoma, perdarahan macular, katarak, ataupun
keempatnya. Penelitian di China menunjukkan bahwa anak-anak usia sekolah
yang memiliki waktu tidur yang kurang pada malam hari akan memiliki
prevalensi yang lebih tinggi untuk mendapatkan sleep disorder. Kaitannya
dengan terjadinya miopia pada anak adalah, 24 terdapat ketumpang-tindihan
antara jalur biologi yang mengatur waktu tidur dengan perkembangan
penglihatan pada anak. Tidur merupakan pekerjaan fisiologis tubuh yang diatur
oleh irama Sirkadian, yang mana pada saat itu terjadi sintesis melatonin. Proses
sintesis melatonin ini dikontrol oleh suatu hubungan timbal balik dengan
dengan jalur dopaminergik dari retina (retinal dophaminergic pathways).
Bersamaan dengan itu, jalur dopaminergik ini juga beperan dalam
perkembangan dari mata, sehingga apabila terjadi kekacauan dalam regulasi
irama Sirkadian sudah pasti akan menyebabkan gangguan pula pada
perkembangan dari penglihatan (Liu et al, 2015).
Singkatnya normal miopia yaitu miopia dengan derajat dioptri kurang
dari 6 atau panjang aksial bola mata kurang dari 26 mm, sedangkan untuk high
miopia atau dikenal dengan nama magna, degeneratif, progresif, atau maligna
miopia yang dicirikan dengan bola mata yang semakin panjang selama hidup si
pasien. Progres ini menyebabkan atrofi pada jaringan mata seingga bisa
berakhir menjadi kebutaan (Liu et al, 2015).
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), terdapat dua pendapat yang
menerangkan penyebab miopia:
1) Berhubungan dengan faktor herediter dan keturunan
2) Berhubungan erat dengan faktor lingkungan.
E. Manifestasi klinis
Pada penderita miopia, keluhan-keluhan yang dialami meliputi
pengelihatan yang kabur ketika melihat objek yang jaraknya jauh, namun mata
tetap berfungsi baik untuk melihat objek-objek yang jaraknya dekat. Keluhan
sakit kepala dan mata merasa cepat lelah yang sering disertai dengan juling dan
celah kelopak mata sempit merupakan manifestasi-manifestasi klinis yang juga
kita biasa temukan pada seseorang yang menderita miopia. Seseorang miopia
mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis
atau untuk mendapatkan efek pinhole. Pasien miopia mempunyai pungtum
remotum (titik terjauh yang masih dapat dilihat dengan jelas) yang dekat
sehingga mata selalu dalam keadaan konvergensi. Hal ini yang akan
menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini
menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esotropia Pada
penderita miopia yang memiliki derajat tinggi akan mengeluhkan nyeri kepala
lebih sering bila dibandingkan dengan penderita miopia dengan derajat sedang.
Keluhan ini terutama bila penderita miopia derajat tinggi tidak dikoreksi secara
tepat (American Optometric Association, 2006).
F. Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis miopia, harus dilakukan dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada 26 anamnesa, pasien
mengeluh penglihatan kabur saat melihat jauh, cepat lelah saat membaca atau
melihat benda dari jarak dekat. Pada pemeriksaan opthalmologis dilakukan
pemeriksaan refraksi yang dapt dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara
subjektif dan objektif. Cara subyektif dilakukan dengan menggunakan optotipe
dari Snellen dan trial lenses; dan cara objektif dengan opthalmoskopi direk dan
pemeriksaan retinoskopi (American Optometric Association, 2006).
Pemeriksaan dengan optotipe Snellen dilakukan dengan jarak pemeriksa
dan pasien sebesar 6 meter sesuai dengan jarak tak terhingga, dan pemeriksaan
harus dilakukan dengan tenang, baik pemeriksa maupun pasien. Pada
pemeriksaan terlebih dahulu di tentukan tajam penglihatan atau visus
(VOD/VOS) yang dinyatakan dengan bentuk pecahan. Jarak antara pasien
dengan optotipe Snellen: Jarak yang seharusnya dilihat oleh pasien dengan
visus normal. Visus yang terbaik adalah 6/6, yaitu pada jarak pemeriksaan 6
meter dapat terlihat huruf yang seharusnya terlihat pada jarak 6 meter. Bila
huruf terbesar dari optotipe Snellen tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan
dilakukan dengan cara meminta penderita menghitung jari pada dasar putih,
pada bermacam-macam jarak. Hitung jari pada penglihatan normal terlihat
pada jarak 60 meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 2 meter, maka
besar visusnya adalah 2/60. Apabila pada jarak terdekat pun hitung jari tidak
dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan 27 dengan cara pemeriksa
menggerakan tanganya pada berbagai arah dan meminta pasien mengatakan
arah gerakan tersebut pada berbagai jarak. Gerakan normal pada mata normal
dapat terlihat dari jarak 300 meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 1
meter, maka visus pasien tersebut 1/300. Dan apabila gerakan tangan tidak
dapat terlihat pada jarak terdekat sekalipun, maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan menggunakan sinar atau cahaya dari senter pemeriksa dan
mengarahkan sinar tersebut pada mata pasien dari segala arah dengan salah
satu mata ditutup. Pada pemeriksaan ini penderita harus dapat melihat arah
sinar dengan benar, apabila masih dapat melihat arah sinar dengan benar, maka
fungsi retina bagian perifer masih baik dan dikatakan visusnya 1/~ dengan
proyeksi baik. Namun jika penderita hanya dapat melihat sinar dan tidak dapat
menentukan arah dengan benar atau pada beberapa tempat tidak dapat terlihat
maka berarti retina tidak berfungsi dengan baik dan dikatakan sebagai proyeksi
buruk. Bila cahaya senter sama sekali tidak terlihat oleh penderita maka berarti
terjadi kerusakan dari retina secara keseluruhan dan dikatakan dengan visus 0
(nol) atau buta total (American Optometric Association, 2006).
Ketajaman penglihatan yang kurang baik dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis + (S+), sferis - (S-), dan silindris +/- (C+/-). Pada
kelainan refraksi miopia, ketajaman penglihatan dapat dikoreksi 28 dengan
menggunakanlensa sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan terbaik tanpa akomodasi. Pemeriksaan oftalmoskopi, pada kasus
yang disertai kelainan refraksi akan memperlihatkan gambaran fundus yang
tidak jelas terkecuali jika lensa koreksi pada lubang penglihatan oftalmoskopi
diputar. Sehingga dengan terlebih dahulu memperlihatkan keadaan refraksi
pemeriksa, maka pada pemeriksaan oftalmoskopi besar lensa koreksi yang
digunakan dapat menentukan macam dan besar kelainan refraksi pada
penderita secara kasar. Pada penderita miopia, pada segmen anterior tampak
bilik mata dalam dan pupil lebih lebar dan kadang ditemukan bola mata yang
agak menonjol (American Optometric Association, 2006).
G. Penatalaksanaan
Beberapa strategi seperti penggunaan alat-alat optik merupakan hal yang
sudah lama dilakukan untuk mengurangi perkembangan miopia. Pada dasarnya
pasien yang menderita miopia dan tidak melakukan koreksi apapun pada
matanya akan meningkakan progresi dari miopia yang dideritanya (American
Optometric Association, 2006).
Secara umum penatalaksaan miopia dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penggunaan alat-alat optik seperti kacamata dan kontak lensa serta cara
pembedahan. Pada pemakaian kacamata atau terapi optikal, miopia dikoreksi
dengan kacamata sferis negatif atau lensa kontak sehingga cahaya yang
sebelumnya di fokuskan didepan retina dapat jatuh tepat di retina (American
Optometric Association, 2006).
Pada suatu penelitian meta-analisis dari 11 percobaan klinis yang di
randomisasi menunjukkan bahwa penggunaan alat-alat optik tidak efektif
dalam penggunaannya sebagai kontrol bagi mata yang mengalami miopia. Obat
anti muskarinik seperti tetes mata atropin ditemukan sebagai pilihan yang lebih
efektif dalam mengurangi progresi dari miopia, namun penggunaan tetes mata
atropin ini memiliki efek samping seperti photophobia, mengurangi
penglihatan jarak dekat, menyebabkan mata kering, dan lain sebagainya. Oleh
karena itu, menjadi hal yang sangat penting bagi kita untuk mengidentifikasi
faktor-faktor yang sekiranya dapat dimodifikasi guna memperlambat atau
menghentikan progresi dari miopia itu sendiri (Wu, et al., 2015). Sedangkan
untuk penggunaan kontak lensa, soft multifocal contact lenses memberikan
keuntungan yang lebih baik dibandingan dengan jenis yang lain dikarenakan
kontak lensa jenis ini bergerak mengikuti gerakan bola mata sehingga koreksi
optikal tetap terfokus pada semua posisi pandangan (American Optometric
Association, 2006).
Penggunaan soft multifocal contact lens membuktikan terjadi penurunan
progresi dari miopi sekitar 30-50% dan sekitar 30% dalam penurunan panjang
aksial bola mata tergantung dari design contact lens tersebut (American
Optometric Association, 2006).
Menurut Ilyas & Yulianti (2014) mengemukakan bahwa pada saat ini
terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia seperti:
1) Keratotomi radial (radial keratotomy –RK): Pada keratotomi radier
dilakukan sayatan radier pada permukaan kornea sehingga berbentuk
jari-jari roda. Bagian sentral kornea tidak disayat. Bagian kornea yang
disayat akan menonjol sehingga bagian tengah kornea menjadi rata.
Ratanya kornea bagian tengah akan memberikan suatu pengurangan
kekuatan bias kornea sehingga dapat mengganti lensa kacamata
negatif.
2) Keratotomi fotorefraktif (Photorefractive keratotomy – PRK): PRK
merupakan cara yang mempergunakan sinar eximer untuk membentuk
permukaan kornea. Sinar pada eximer akan memecah molekul sel
kornea.
3) Laser assisted in situ interlamelar keratomilielusis (Lasik)
SMILE (Small Incision Lenticule Extraction) adalah salah satu altenatif
terbaru yang bisa menjadi pilihan untuk pembedahan mata yang mengalami
kelainan refraksi. SMILE adalah suatu prosedur operasi yang menggunakan
laser femtosecond yang mana laser femtosecod ini akan menembus permukaan
kornea tampa membuat sayatan (flap free) dan fokus pada bagian kornea yang
diseut lenticule. Keuntungan menggunakan smile dibanding lasik adalah
hasilnya yang 31 dapat meminimalisasi mata kering dan juga lebih aman
digunakan pada kornea yang tipis dan sensitif (Liu et al, 2015).
Orthokeratology atau yang dikenal sebagai orthoK atau OK adalah lensa
yang di design rigid dan dapat menghantarkan oksigen yang tujuan
penggunaannya adalah untuk memodifikasi kurvatura dari kornea (Liu et al,
2015). Pada anak-anak yang menggunakan OK sebagai koreksi mata miopia
yang dideritanya ditemukan penuruan panjang aksial bola mata sekitar 32-55%
dibandingkan dengan rekan-rekannya yang menggunkan kacamata atau kontak
lensa biasa (Liu et al, 2015).
2.2.2 Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gagguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar di fokuskan
di belakang macula lutea (Ilyas & Yulianti, 2014).
Prevalensi hipermetropia tergantung pada usia. Rata-rata bayi lahir dengan
hipermetrop +3 dioptri. Suatu penelitian menunjukan bahwa 75 % bayi cukup
bulan adalah hipermetropi sedangkan 25% nya adalah miopi. Kelainan refraksi
tinggi yang biasanya terjadi pada masa bayi baru lahir akan berkurang dengan
cepat pada tahun pertama kehidupan menjadi kira kira +1 dioptri pada usia 1
tahun. Ini terjadi karena kekuatan kornea dan lensa, sesuai dengan pertumbuhan
panjang bola mata. Tidak diketahui perbedaan jenis kelamin dalam prevalensi
hipermetropi tapi terdapat bukti bahwa prevalensi hipermetropi dipengaruhi oleh
etnik. Orang amerika , afrika dan pasifik dilaporkan mempunyai prevalensi
hipermetropi yang tinggi (Vitresia, 2007).
A. Penyebab hipermetropia
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), penyebab hipermetropia antara lain:
1. Hipermetropia sumbu atau hipemetropia aksial merupakan kelainan
refraksi akibat mata pendek, atau sumbu anteroposterior yang pendek
2. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa lemah
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina
3. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang lemah kurang
pada sistem optic mata
B. Bentuk hipermetropi
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), bentuk hipermetropia antara lain:
1. Hipermetropi kongenital, diakibatkan bola mata pendek atau kecil
2. Hipermetropi simple, biasanya merupakan lanjutan hipermetropi anak
yang tidak berkurang pada perkembangannya jarang melebihi >5
dioptri
3. Hipermetropia di dapat, umum didapat setelah bedah pengeluaran
lensa pada katarak (afakia).
C. Tingkatan hipermetropia berdasarkan besarnya dioptri
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), tingkatan hipermetropia
berdasarkan besarnya dioptri antara lain:
1. Hipermetropia ringan, yaitu antara spheris +0.25 dioptri – spheris
+3.00 dioptri.
2. Hipermetropia sedang, yaitu jika ukuran dioptri antara spheris +3.25
dioptri – spheris +6.00 dioptri
3. Hipermetropia tinggi, yaitu jika ukuran dioptric lebih dari spheris
+6.25 dioptri.
D. Jenis hipermetropia
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), jenis hipermetropia antara lain:
1. Hipermetropia manifest
Hipermetropia manifest didapatkan tanpa sikloplegik, yang dapat
dikoreksi dengan kaca mata positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia
absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif
2. Hipermetropia manifest absolut
Kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomondasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.
3. Hipermetropia manifes fakultatif
Kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomondasi ataupun
dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai
hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kaca mata, bila
diberikan kaca mata positif memberikan penglihatan normal maka otot
akomondasi akan istirahat.
4. Hipermetropia laten
Kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan obat yang
melemahkan akomondasi) diimbangi seluruhnya dengan akoondasi.
Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomondasi
terus menerus. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan
sikoplegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten
seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomondasi
sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian akan menjadi hipermetropia absolut.
5. Hipermetropia total
Hipermetropia laten dan manifest yang ukurannya di dapatkan
sesudah diberikan sikloplegia
E. Gejala Hipermetropia
Biasanya pada anak-anak tidak memberikan keluhan. Keluhan yang
ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur,
sakit kepala, silau dan kadang rasa juling atau lihat ganda (Ilyas & Yulianti,
2014). Pasien hipermetropia sering disebut sebagai pasien rabun dekat.
Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya
lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomondasi untuk melihat
atau memfokuskan bayangan yang terletak dibelakang macula agar terletak
didaerah macula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomondatif. Akibat
terus menerus berkaomondasi maka bola mata bersama-sama melakukan
konvergensi dan mata akan sering terlihat mepunyai kedudukan esotropia
atau juling ke dalam (Ilyas & Yulianti, 2014).
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), gejala dari hipermetropia yang
belum dikoreksi antara lain adalah:
1. Penurunan visus. Ini terjadi pada hipermetrop tinggi atau lebih 3 D
dan pada pasien tua. Pada pasien tua penurunan visus terjadi karena
penumnan amplitudo akomodasi, yang menyebabkan kegagalan untuk
mengkompensasi kelainan refraksinya. Pada anak anak hipermetrop
ringan sampai sedang biasanya masih mempunyai visus yang normal,
mereka mengeluh kabur dan asthenopia jika kebutuhan visual
rneningkat.
2. Asthenopia. Individu muda dengan hipermetrop umumnya
mempunyai cadangan akomodasi yang cukup untuk menjaga
penglihatan tetap jelas tanpa menyebabkan asthenopia. Jika derajat
hipermetrop terlalu besar atau cadangan akomodasi tidak cukup
karena usia atau kelelahan, keluhan asthenopia dan kabur muncul.
3. Sensitif terhadap cahaya merupakan keluhan yang cukup sering.
Ambliopia. Hipermetrop tinggi pada anak anak dikaitkan dengan
peningkatan resiko nmbliopia dan strabismus.
4. Ambliopia isoametrop terjadi pada anak anak dengan hipermetrop
yang lebih dari +4,50D. Sebagian besar pasien anak dengan
hipermetrop tinggi, akomodasi menimbulkan ambliopia strabismik
5. Strabismus. Mayoritas pasien dengan esotropia dini adalah
hipermetrop. Anak anak yang mempunyai +3,50 D atau lebih pada
bayi, mempunyai kemungkinan l3x lipat menjadi strabismus dan 6 x
lipat mengalami penumnan visus dalam 4 tahun, dibandingkan dengan
bayi emetrop dan hipermetrop ringan.
6. Mata merah dan berair, sering mengedip, mengedipkan mata dan
perubahan wajah ketika membaca, gangguan memfokuskan,
penunrnan koordinasi gerakan tangan-mata, dan binokularitas,
kesulitan atau enggan membaca.
Ada atau beratnya gejala ini bervariasi luas, tergantung pada derajat
hipermetrop, adanya astigmat atau anisometropia, usia pasien, kondisi
akomodasi dan konvergensi serta kebutuhan verja. Deteksi dini dan terapi
hipermetrop signifikan dapat mencegah dan rnengurangi insiden dan beratnya
komplikasi. Kaitan hipermetrop dengan peningkatan resiko ambliopia dan
strabismus, merupakan penentu utama untuk evaluasi visus pada anak Terdapat
pula kaitan yang erat antara hipermetrop dengan dengan infantile esotropia.
Hipermetrop anisometrop dibawah 3 tahun juga merupakan faklor resiko untuk
berkembangnya ambliopia dan strabismus (Vitresia, 2007).
F. Tatalaksana
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia
manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal
yang memberikan tajaman pengliahatan normal. Bila terdapat juling ke dalam
atau esotropia diberikan kaca mata koreksi hipermetropia total. Bila ada tanda
atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif
kurang. Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata
penglihatan maksimal. Bila pasien dengan +3.0 ataupun dengan +3.25
memberikan ketajaman penglihatan 6/6, maka kacamata diberikan +3.25. hal
ini untuk memberikan istirahat pada mata (Ilyas & Yulianti 2014).

2.2.3 Astigmatisma
Astigmatisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh
sebagai suatu fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai
meridian kornea atau lensa kristalina. Pada astigmatisma, mata menghasilkan
suatu bayangan dengan titik atau garis fokus multiple, dimana berkas sinar tidak
difokuskan pada satu titik dengan tajam pada retina akan tetapi pada 2 garis titik
api yang saling tegak lurus yang terjadi akibat kelainan kelengkungan di kornea.
(American Academy of Opthlmology, 2010).
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri
atas 5 lapis, yaitu : epitel, membran bowman , stroma, membran descement, dan
endotel (American Academy of Opthalmology, 2010). Kornea dipersarafi oleh
banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliar,
saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh
lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf
(American Academy of Opthalmology, 2010).
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata
di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
Dioptri dari 50 Dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea
(Nema,2002).
A. Pembagian Astigmatisma
Pembagian Astigmatisma menurut Ilyas & Yulianti (2014) antara lain:
a. Astigmatisma reguler
Berdasarkan axis dan sudut yang dibentuk antara dua principal
meridian, regular astigmatisma dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu :
1) Horizontal-vertikal astigmatisma
Astigmatisma ini merupakan dua meridian yang membentuk sudut
satu sama lain secara horizontal (180o ±20o ) atau vertical (90o
±20).
i. With-in-the-rule astigmatism. Dimana meridian vertical
mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung) dari meridian
horizontal. Disebut with the rule karena mempunyai kesamaan
dengan kondisi normal mata mempunyai kurvatura vertical lebih
besar oleh karena penekanan oleh kelopak mata. Astigmatisma ini
dapat dikoreksi –axis 180 ) astigmatisma ini terbagi atas 2 jenis : 0
atau +axis 90 .
ii. Against-the rule astigmatism. Suatu kondisi dimana meridian
horizontal mempunyai kurvatura yang lebih kuat (melengkung)
dari meridian vertical. Astigmatisma jenis ini dapat dikoreksi
dengan +axis 180 0 0 atau -axis 90 0.
2) Oblique astigmatism . Merupakan suatu astigmatisma regular
dimana kedua principle meridian tidak pada meridian horizontal atau
vertical. Principal meridian terletak lebih dari 20o dari meridian
vertical atau horizontal
3) Biobligue astigmatism Suatu kondisi dimana kedua principle
meridian tidak membentuk sudut satu sama lain
b. Irregular Astigmatisma
Suatu keadaan refraksi dimana setiap meridian mempunyai
perbedaan refraksi yang tidak teratur bahkan kadang-kadang
mempunyai perbedaan pada meridian yang sama. Principle meridian
tidak tegak lurus satu dengan lainnya. Biasanya astigmatisma irregular
ini dikoreksi dengan lensa kontak kaku. Berbicara mengenai induksi
astigmatisma pasca operasi (induced astigmatism), seperti kita
ketahui, penderita astigmatisma sebagian besar adalah with the rule
astigmatism. Insisi yang ditempatkan pada kornea akan menyebabkan
pendataran pada arah yang berhadapan dengan insisi tersebut. Artinya,
jika melakukan insisi dari temporal cenderung menyebabkan
pendataran pada sumbu horizontal kornea, dimana hal ini akan
mengakibatkan induksi with-the-rule astigmatism. Sebaliknya jika
melakukan insisi kornea dari superior cenderung mengakibatkan
induksi againts-the-rule astigmatism. Biasanya induksi astigmatisma
ini bergantung dari panjangnya insisi, yaitu semakin panjang insisi
akan semakin besar induksi astigmatisma (Ilyas & Yulianti, 2014)
B. Patofisiologi Astigmatisma
Pada mata normal, permukaan kornea yang melengkung teratur akan
memfokuskan sinar pada satu titik. Pada astigmatisma, pembiasan sinar
tidak difokuskan pada satu titik. Sinar pada astigmatisma dibiaskan tidak
sama pada semua arah sehingga pada retina tidak didapatkan satu titik fokus
pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina sedang
sebagian sinar lain difokuskan di belakang retina (American Academy of
Opthalmology, 2010).
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), Jatuhnya fokus sinar dapat dibagi
menjadi 5, yaitu :
1. Astigmaticus miopicus compositus, dimana 2 titik jatuh didepan
retina
2. Astigmaticus hipermetropicus compositus, dimana 2 titik jatuh di
belakang retina
3. Astigmaticus miopicus simplex, dimana 2 titik masing-masing jatuh
di depan retina dan satunya tepat pada retina
4. Astigmaticus hipermetropicus simplex, dimana 2 titik
masingmasing jatuh di belakang retina dan satunya tepat pada
retina
5. Astigmaticus mixtus, dimana 2 titik masing-masing jatuh didepan
retina dan belakang retina.
C. Penyebab Astigmatisma
Penyebab umum astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea. Lensa
kristalina juga dapat berperan untuk timbulnya astigmatisma Astigmatisma
paling sering disebabkan oleh terlalu besarnya lengkung kornea pada salah
satu bidangnya Astigmatisma pasca operasi katarak dapat terjadi bila jahitan
terlalu erat (Riordian-Eva & Witcher, 2009).
D. Tanda Dan Gejala
Astigmatisma Pada nilai koreksi astigmatisma kecil, hanya terasa
pandangan kabur. Tapi terkadang pada astigmatisma yang tidak dikoreksi,
menyebabkan sakit kepala atau kelelahan mata, dan mengaburkan
pandangan ke segala arah. Pada anak-anak, keadaan ini sebagian besar tidak
diketahui, oleh karena mereka tidak menyadari dan tidak mau mengeluh
tentang kaburnya pandangan mereka (Tasman, 2004).
E. Pemeriksaan Astigmatisma
Karena sebagian besar astigmatisma disebabkan oleh kornea, maka
dengan mempergunakan keratometer, maka derajat astigmatisma dapat
diketahui. Keratometer adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur jari-
jari kelengkungan kornea anterior. Perubahan astigmatisma kornea dapat
diketahui dengan mengukur jari jari kelengkungan kornea anterior, meridian
vertical dan horizontal, sebelum dan sesudah operasi. Evaluasi rutin
kurvatura kornea preoperasi dan postoperasi membantu ahli bedah untuk
mengevaluasi pengaruh tehnik incisi dan penjahitan terhadap astigmatisma.
Dengan mengetahui ini seorang ahli bedah dapat meminimalkan
astigmatisma yang timbul karena pembedahan. Perlu diketahui juga bahwa
astigmatisma yang didapat pada hasil keratometer lebih besar daripada
koreksi kacamata silinder yang dibutuhkan (Cara obyektif semua kelainan
refraksi, termasuk astigmatisma dapat ditentukan dengan skiaskopi,
retinoskopi garis (streak retinoscopy), dan refraktometri (Langston, Deborah
pavan, 1996).
F. Penatalaksanaan Astigmatisma
Kelainan astigmatisma dapat dikoreksi dengan lensa silindris, sering
kali dikombinasi dengan lensa sferis. Karena tak mampu beradaptasi
terhadap distorsi penglihatan yang disebabkan oleh kelainan astigmatisma
yang tidak terkoreksi (American Academy of Opthalmology, 2010).
2.2.4 Presbiopia
Presbiopia merupakan gangguan penglihatan yang berkaitan dengan usia.
Hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada
semua orang disebut presbiopia. Seseorang dengan mata emetrop (tanpa kesalahan
refraksi) akan mulai merasakan ketidakmampuan membaca huruf kecil atau
membedakan benda-benda kecil yang terletak berdekatan pada usia sekitar 44-46
tahun. Gagal penglihatan dekat akibat usia, berhubungan dengan penurunan
amplitudo akomodasi atau peningkatan punctum proximum (Ilyas & Yulianti,
2014).
A. Epidemiologi Presbiopia
Prevalensi presbiopi lebih tinggi pada populasi dengan usia harapan
hidup yang tinggi. Karena presbiopi berhubungan dengan usia,
prevalensinya berhubungan langsung dengan orang-orang lanjut usia dalam
populasinya.Walaupun sulit untuk melakukan perkiraan insiden presbiopia
karena onsetnya yang lambat, tetapi bisa dilihat bahwa insiden tertinggi
presbiopia terjadi pada usia 42 hingga 44 tahun. Studi di Amerika pada
tahun 2006 menunjukkan 112 juta orang di Amerika mempunyai kelainan
presbyopia (American Optometric Association, 2010).
B. Etiologi Presbiopia
Etiologi dari presbiopia adalah kelemahan otot akomodasi dan lensa
mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa
(Riordian-Eva & Witcher, 2009).
C. Patofisiologi Presbiopia
Cahaya masuk ke mata dan dibelokkan ( refraksi ) ketika melalui
kornea dan struktur-struktur lain dari mata ( kornea, humor aqueus, lensa,
humor vitreus ) yang mempunyai kepadatan berbeda-beda untuk difokuskan
di retina. Mata mengatur (akomodasi) sedemikian rupa ketika melihat objek
yang jaraknya bervariasi dengan menipiskan dan menebalkan lensa.
Penglihatan dekat memerlukan kontraksi dari cilliary body, yang bisa
memendekkan jarak antara kedua sisi cilliary body yang diikuti relaksasi
ligament pada lensa. Lensa menjadi lebih cembung agar cahaya dapat
terfokuskan pada retina (Sherwood, 2014).
Pada mata presbiopia yang dapat terjadi karena kelemahan otot
akomodasi atau lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya,
menyebabkan kurang bisa mengubah bentuk lensa untuk memfokuskan
mata saat melihat. Akibat gangguan tersebut bayangan jatuh di belakang
retina. Karena daya akomodasi berkurang, maka titik dekat mata makin
menjauh. Akomodasi suatu proses aktif yang memerlukan usaha otot,
sehingga dapat lelah. Jelas musculus cilliary salah satu otot yang terlazim
digunakan dalam tubuh. Derajat kelengkungan lens yang dapat ditingkatkan
jelas terbatas dan sinar cahaya dari suatu objek yang sangat dekat individu
tak dapat dibawa ke suatu focus di atas retina, bahkan dengan usaha
terbesar. Titik terdekat dengan mata, tempat suatu objek dapat dibawa ke
fokus jelas dengan akomodasi dinamai titik dekat penglihatan. Titik dekat
berkurang selama hidup, mula-mula pelan-pelan dan kemudian secara cepat
dengan bertambanya usia, dari sekitar 9 cm pada usia 10 tahun sampai
sekitar 83 cm pada usia 60 tahun. Pengurangan ini terutama karena
peningkatan kekerasan lens, dengan akibat kehilangan akomodasi karena
penurunan terus-menerus dalam derajat kelengkungan lens yang dapat
ditingkatkan. Dengan berlalunya waktu, individu normal mencapai usia 40-
45 tahun, biasanya kehilangan akomodasi, telah cukup menyulitkan individu
membaca dan pekerjaan dekat (Ilyas & Yulianti, 2014).
D. Faktor Resiko Presbiopia
Usia merupakan faktor resiko utama penyebab presbiopia. Namun
pada kondisi tertentu dapat terjadi presbiopia prematur sebagai hasil dari
faktor-faktor seperti trauma, penyakit sistemik, penyakit jantung, atau efek
samping obat (American Optometric Association, 2010).
Faktor resiko presbiopia lainnya menurut American Optometric
Association (2010), adalah sebagai berikut:
a. Usia, terjadi pada atau setelah usia 40 tahun.
b. Hipeporia (Hipermetropia), kerusakan akomodasi tambahan jika
tidak di koreksi.
c. Jenis kelamin, onset awal terjadi pada wanita.
d. Penyakit atau trauma pada mata, kerusakan pada lensa, zonula, atau
otot siliar.
e. Penyakit sistemik : diabetes mellitus, multiple sklerosis, kejadian
kardiovaskular, anemia, Influenza, campak.
f. Obat-obatan, penurunan akomodasi adalah efeksamping dari obat
nonprescription dan prescription (contoh : alkohol, klorprozamin,
hidroklorotiazid, antidepresan, antipsikotik, antihistamin, diuretik).
g. Lain-lain : Kurang gizi, penyakit dekompresi.
E. Klasifikasi Presbiopia
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), klasifikasi presbiopia antara lain:
a. Presbiopia insipient
Presbiopia insipient merupakan tahap awal di mana gejala atau temuan
klinis menunjukkan beberapa kondisi efek penglihatan dekat. Pada
presbiopia insipient dibutuhkan usaha ekstra untuk membaca cetakan
kecil. Biasanya, pasien membutuhkan tambahan kacamata atau adisi,
tetapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes dan pasien lebih memilih
untuk menolak diberikan kacamata baca (Ilyas & Yulianti, 2014).
b. Presbiopia Fungsional
Ketika dihadapkan dengan amplitude akomodasi yang berangsur –
angsur menurun, pasien dewasa akhirnya melaporkan adanya kesulitan
melihat dan akan didapatkan kelainan ketika diperiksa (Ilyas & Yulianti,
2014).
c. Presbiopia Absolut
Sebagai akibat dari penurunan akomodasi yang bertahap dan terus
menerus, dimana presbiopi fungsional berkembang menjadi presbiopia
absolut. Presbiopia absolut adalah kondisi di mana sesungguhnya tidak
ada sisa kemampuan akomodatif (Ilyas & Yulianti, 2014).
d. Presbiopia Prematur
Pada presbiopia prematur, kemampuan akomodasi penglihatan dekat
menjadi berkurang lebih cepat dari yang diharapkan. Presbiopia ini
terjadi dini pada usia sebelum 40 tahun. Berhubungan dengan
lingkungan, gizi, penyakit atau obat – obatan, hipermetropia yang tidak
terkoreksi, premature sklerosis dari cristaline lensa, glaukoma simple
kronik (Ilyas & Yulianti, 2014).
e. Presbiopia nocturnal
Presbiopia nokturnal adalah kondisi dimana terjadi kesulitan untuk
melihat dekat disebabkan oleh penurunan amplitudo akomodasi di
cahaya redup. Peningkatan ukuran pupil, dan penurunan kedalaman
menjadi penyebab berkurangnya jarak penglihatan dekat dalam cahaya
redup (Ilyas & Yulianti, 2014).
F. Gejala Presbiopia
Presbiopia terjadi secara bertahap. Penglihatan yang kabur, dan
ketidak mampuan melihat benda – benda yang biasanya dapat dilihat pada
jarak dekat merupakan gejala dari presbiopia (Ilyas & Yulianti, 2014).
Meurut Ilyas & Yulianti (2014), gejala lain yang umumnya terjadi
pada presbiopia adalah:
 Keterlambatan saat memfokuskan pada jarak dekat
 Mata terasa tidak nyaman, berair, dan sering terasa pedas
 Sakit kepala
 Astenopia karena kelelahan pada otot siliar
 Menyipitkan mata saat membaca
 Kelelahan atau mengantuk saat membaca dekat
 Membutuhkan cahaya yang lebih terang untuk membaca.
Kesulitan melihat pada jarak dekat yang biasa dilakukan dan
mengubah atau mempertahankan fokus disebabkan oleh penurunan
amplitudo akomodasi. Penggunaan cahaya terang untuk membaca pada
pasien menyebabkan penyempitan pupil, sehingga peningkatan kedalaman
fokus. Kelelahan dan sakit kepala berhubungan dengan kontraksi otot
orbicularis atau bagian dari otot occipitofrontalis, dan diduga berhubungan
dengan ketegangan dan frustrasi atas ketidakmampuan untuk
mempertahankan jelas penglihatan dekat. Mengantuk dikaitkan dengan
upaya fisik dikeluarkan untuk akomodasi selama beberapa waktu (Ilyas &
Yulianti, 2014).
G. Diagnosa Presbiopia
a. Anamnesa
Anamnesa gejala–gejala dan tanda presbiopi. Keluhan pasien terkait
presbiopi dapat bermacam-macam, misalnya pasien merasa hanya
mampu membaca dalam waktu singkat, merasa cetakan huruf yang
dibaca kabur atau ganda, kesulitan membaca tulisan huruf dengan
cetakan kualitas rendah, saat membaca membutuhkan cahaya yang lebih
terang atau jarak yang lebih jauh, saat membaca merasa sakit kepala dan
mengantuk (Suhardjo & Hartono, 2007).
b. Pemeriksaan Oftamologi
- Pemeriksaan Tajam Penglihatan
Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan Kartu Snellen.
Cara :
 Pasien duduk dengan jarak 6 m dari kartu snellen dengan satu
mata ditutup.
 Pasien diminta membaca huruf yang tertulis di kartu, mulai dari
baris paling atas ke bawah, dan ditentukan baris terakhir yang
masih dapat dibaca seluruhnya dengan benar.
 Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas ( terbesar ),
maka dilakukan uji hitung jari dari jarak 6 m.
 Jika pasien tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 m, maka
jarak dapat dikurangi satu meter, sampai maksimal jarak penguji
dengan pasien satu meter.
 Jika pasien tidak dapat melihat, dilakukan uji lambaian tangan
dari jarak satu meter.
 Jika pasien tetap tidak bisa melihat lambaian tangan, dilakukan uji
dengan arah sinar.
 Jika penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar, maka
dikatakan penglihatannya adalah nol (0) atau buta total.
Penilaian :
Tajam penglihatan normal adalah 6/6. Berarti pasien dapat
membaca seluruh huruf dalam kartu snellen dengan benar (Suhardjo
& Hartono, 2007).
Bila baris yang dapat dibaca seluruhnya bertanda 30, maka
dikatakan tajam penglihatan 6/30. Berarti ia hanya dapat melihat
pada jarak 6 m yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat
pada jarak 30 meter (Suhardjo & Hartono, 2007).
Bila dalam uji hitung jari, pasien hanya dapat melihat atau
menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 m, maka
dinyatakan tajam penglihatan 3/60. Jari terpisah dapat dilihat orang
normal pada jarak 60 m (Suhardjo & Hartono, 2007).
Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan
pada jarak 300 m. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan
pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatan adalah 1/300. Bila mata
hanya mengenal adanya sinar saja, tidak dapat melihat lambaian
tangan, maka dikatakan sebagai 1/~. Orang normal dapat melihat
adanya sinar pada jarak tidak berhingga (Suhardjo & Hartono, 2007).
- Pemeriksaan Presbiopia
Menurut Suhardjo & Hartono (2007), untuk usia lanjut dengan
keluhan dalam membaca, dilanjutkan dengan pemeriksaan presbiopia.
Caranya antara lain :
 Dilakukan penilaian tajam penglihatan dan koreksi kelainan
refraksi bila terdapat myopia, hipermetropia, atau astigmatisma,
sesuai prosedur di atas.
 Pasien diminta membaca kartu baca pada jarak 30-40 cm ( jarak
baca)
 Diberikan lensa mulai +1 dinaikkan perlahan-lahan sampai terbaca
huruf terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini
ditentukan.
 Dilakukan pemeriksaan mata satu per satu.
H. Penatalaksanaan Presbiopia
a. Kacamata
Presbiopia dikoreksi dengan, menggunakan lensa plus untuk
mengatasi daya fokus otomatis lensa yang hilang. Pada pasien presbiopia
kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat yang berkekuaan
tertentu. Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri
adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang
(Riordian-Eva & Witcher, 2009).
Kacamata baca memiliki koreksi-dekat di seluruh aperture
kacamata sehingga kacamata tersebut baik untuk membaca, tetapi
membuat benda-benda jauh menjadi kabur. Untuk mengatasi gangguan
ini, dapat digunakan kacamata yang bagian atasnya terbuka dan tidak
terkoreksi untuk penglihatan jauh. Kacamata bifokus melakukan hal
serupa tetapi memungkinkan untuk koreksi kalainan refraksi yang lain.
Kacamata trifokus mengoreksi penglihatan jauh disegmen atas,
penglihatan sedang di segmen tengah, dan penglihatan dekat di segmen
bawah. Lensa progresif juga mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan
jauh tetapi dengan perubahan daya lensa yang progresif dan bukan
bertingkat (Riordian-Eva & Witcher, 2009).
b. Pembedahan
Menurut American Optometric Association (2010), terdapat
beberapa teknik bedah untuk mengoreksi presbiopi, namun keselamatan,
keberhasilan dan kepuasan pasien masih belum bisa ditetapkan:
- Multifocal intraocular lens implants
- Accommodating intraocular lens implants
- Small-diameter corneal inlays
- Modified corneal surface techniques to create multifocal corneas
- Conductive keratoplasty (CK)
- Moldable intraocular lens implants (IOLs) to develop pseudophakic
accommodation
I. Prognosis Presbiopia
Hampir semua pasien presbiopia dapat berhasil dalam menggunakan
salah satu pilihan penatalaksanaan. Dalam beberapa kasus (misalnya, pasien
presbiopia yang baru menggunakan kacamata, pemakai lensa kontak, pasien
yang memiliki riwayat kesulitan beradaptasi dengan koreksi visual),
tambahan kunjungan untuk tindak lanjut mungkin diperlukan. Selama
kunjungan tersebut, dokter mata dapat memberikan anjuran kepada pasien,
verifikasi resep lensa dan penyesuaian bingkai. Kadang-kadang, perubahan
dalam desain lensa diperlukan (American Optometric Association, 2010).

2.3 Jenis-jenis Lensa


Lensa mata berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam
bola mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris
dan terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti cakram yang
dapat menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas & Yulianti,
2014).
Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik
mata belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat
lensa di dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa
terusmenerus sehingga mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral
lensa sehingga membentuk nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat
lensa yang paling dahulu dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul
lensa. Di dalam lensa dapat dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Di
bagian luar nukleus ini terdapat serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai
korteks lensa. Korteks yang terletak di sebelah depan nukleus lensa disebut
sebagai korteks anterior, sedangkan dibelakangnya korteks posterior. Nukleus
lensa mempunyai konsistensi lebih keras dibanding korteks lensa yang lebih
muda. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat zonula Zinni yang menggantungkan
lensa di seluruh ekuatornya pada badan siliar (Ilyas & Yulianti, 2014).
Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu kenyal atau lentur
karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk menjadi cembung,
jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan, dan terletak
ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous body dan berada
di sumbu mata (Ilyas & Yulianti, 2014).
Keadaan patologik lensa ini dapat berupa tidak kenyal pada orang dewasa
yang mengakibatkan presbiopia, keruh atau apa yang disebut katarak. Lensa orang
dewasa dalam perjalanan hidupnya akan menjadi bertambah besar dan berat (Ilyas
& Yulianti, 2014).
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), untuk membantu koreksi pengelihatan
lensa terdapat beberapa jenis, yaitu :
1. Lensa negatif (lensa divergen atau lensa konkaf)
Lensa negatif dapat dengan permukaan plano konkaf, konkaf ganda
dan konkaf konveks. Lensa ini tebal pada bagian perifer/tepi lensa dan
pada bagian sentral lebih tipis. Lensa ini digunakan untuk koreksi
miopia/rabun jauh.
2. Lensa positif (lensa konvergen atau lensa konveks)
Lensa positif dipergunakan untuk koreksi hipermetropia/rabun
dekat. Lensa ini kebalikan dari lensa negatif, dimana bagian perifer lebih
tipis dibandingkan bagian sentral.
3. Lensa silinder
Lensa ini diperlukan untuk memperbaiki kelainan retraksi astigmat.
Lensa silinder mempunyai kekuatan maksimal pada satu sumbu. Sumbu
dari bagian yang melengkung disebut sebagai sumbu silinder atau biasa
disebut axis. Letak sumbu pada mata berkisar antara 0 hingga 180 derajat
(Ilyas & Yulianti, 2014).
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), berdasarkan bahannya, lensa terdapat dua
jenis lensa kaca dan lensa plastik. Keuntungan dan kerugian lensa kaca
dibandingkan dengan lensa plastik :
a. Lensa kaca lebih mudah berembun dibandingkan lensa plastik
b. Lensa kaca lebih mudah pecah dibandingkan lensa plastik
c. Lensa plastik lebih mudah tergores dibandingkan lensa kaca
d. Lensa kaca lebih berat dibandingkan lensa plastik
e. Lensa kaca lebih tipis dibandingkan lensa plastik
Menurut Ilyas & Yulianti (2014), berdasarkan fokusnya, lensa dibagi
menjadi tiga yaitu:
a. Lensa Single Vision (LSV), atau lensa single focus yaitu lensa untuk
koreksi satu masalah pengelihatan saja.
b. Lensa bifocal/bifokus, yaitu lensa yang dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat digunakan untuk koreksi dua masalah pengelihatan dimana lensa
yang bagian atasnya untuk koreksi pengelihatan jauh dan bagian bawah
untuk koreksi pengelihatan dekat.
c. Lensa multifokus, biasanya disebut juga lensa progresif, yaitu lensa yang
seperti bifocus tetapi tanpa batas garis dengan kekuatan spheresnya
bertambah perlahan dari atas hingga bawah, kelebihannya selain dapat
digunakan untuk melihat jauh dan dekat dapat pula untuk melihat jarak
menengah/sedang.
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Waktu dan tempat pelaksanaan observasi Tugas Pengenalan Profesi (TPP)
adalah sebagai berikut :
Hari /tanggal :
Waktu :
Tempat : Di masyarakat

3.2. Alat pengumpulan Data


Alat digunakan untuk melakukan kegiatan Tugas Pengenalan Profesi (TPP)
adalah sebagai berikut :
1) Kamera
2) Alat tulis
3) Laptop
4) Buku catatan
5) Check list
6) Daftar kuisioner

3.3 Subjek Tugas Mandiri


Subjek dalam pelaksanaan TPP ini adalah pasien dengan gangguan refraksi
(bifokal) di masyarakat.

3.1 Pengumpulan Data


Data yang diambil pada TPP ini adalah data primer yang diambil dengan
cara observasi dan wawancara.

3.2 Analisis Data


Data yang didapatkan dalam TPP ini dideskripsikan dalam bentuk narasi
dan tabel.
3.3 Langkah-Langkah Kerja
1) Membuat proposal Tugas Pengenalan Profesi (TPP).
2) Konsultasi kepada pembimbing TPP.
3) Mengunjungi pasien dengan gangguan refraksi (bifokal) di masyarakat
4) Melakukan observasi untuk mengidentifikasi pasien gangguan refraksi
(bifokal) di masyarakat
5) Mencatat hasil observasi yang telah dilakukan.
6) Membuat pembahasan.
7) Membuat kesimpulan.
8) Melaksanakan bimbingan hasil observasi dengan pembimbing TPP.
9) Membuat laporan hasil TPP.
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology. 2010. Clinical Refraction. Clinical Optics.


Section 5,Chapter 3.
American Optometric Association. 2006. Care of The Patient with Myopia.
American Optometric Association, U.S.A.
American Optometric Association. 2010. Care of the Patient With Presbyopia.
USA: AOA
Curtin B.J., 2002. The Myopia. Philadelphia : Harper & Row
Depkes RI. 1997. Survei Kesehatan Indera Penglihatan Tahun 1993-1996. Jakarta:
Dapartemen Kesehatan RI
Goss, et. al. (1987). Myopia. In: John F. Amos, OD ed. Diagnosis and
Management in Vision Care Butterworth, USA
Ilyas S & Yulianti SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata.Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Khurana AK. 2006. Clinical Methods in Opthalmology. Comprehensive
Opthalmologi, Fourth Edition.
Langston, Deborah pavan. 1996. Refractive errors and clinical optics, in Manual
of ocular diagnosis and therapy. fourth edition, Little Brown and
Company. Boston.
Liu, Yue M. O.D., Ph.D., M.P.H.and Peiying Xie, M.D., Ph.D., 2015.
Epidemiology, genetics and treatment for miopia. Int J
Ophthalmol.Vol.4.No.6.
Morgan, IG., et al. 2013. Time outdoor and prevention of Myopia. Elsevier.
Vol.144.
Nema, N. 2002. The Assessment of Visual Acuity. Diagnostig Procedures in
Opthalmology. First Edition . Jaypee Brother Medical Publishers (P), New
Delhi.
Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014.
Riordian-Eva, P. & Witcher. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: EGC
Saw, S.M., Tan, S.B., Fung, D., Chia, K.S., Koh, D., Stone, R.A., et al., 2005. IQ
and the Association with Myopia in Children. Investigative Ophtalmology
and Visual Science, Vol.45, No.9, 2943- 2948, dikutip dari
http://www.iovs.org/content/45/9/2943.full pada tanggal 23 November 2018
Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC
Snell, R. S. 2015. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:EGC hal 621-628
Suhardjo dan Suhardjo & Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata. Yogyakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Bagian Ilmu Penyakit Mata.
Tasman W. 2004. Retinoscopy, Duene”s Clinical Opthalmology, Vol 2, Chapter
47, Lippiicot Williams And Wilkins, Revised Edition.
Vitresia, Havriza. 2007. Penatalaksanaan Hipermetrop. Padang: FKUNAND
WHO. 2010. Global Data On Visual Impairment 2010.
http://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf?ua=1.pdf
diakses 23 November 2018
Young, F.A., 2010. Myopia (Nearsightedness) and Eye Exercises. American
Vision Institute, dikutip dari
http://www.strongeyes.com/articles/myopia.html pada tanggal 23 November
2018
LAMPIRAN
PERTANYAAN WAWANCARA
No Pertanyaan Jawaban
1 Siapa nama pasien ?
2. Apa jenis kelamin pasien?
3 Berapakah umur pasien?
4 Dimanakah alamat pasien?
5 Apa keluhan utama pasien?
6 Kapan dirasakan keluhan utama
pasien?
7 Deskripsi keluhan ( progresivitas,
intensitas, faktor pemberat, faktor
peringan)?
8 Apakah pernah merasakan hal yang
sama sebelumnya?
9 Apakah ada keluhan lainnya? (Selain
keluhan utama)
10 Apakah ada keluarga pasien yang
mengalami hal yang sama?
11 Bagaimana kebiasaan pasien dalam
kegiatan sehari-hari? (Misalnya
kegiatan membaca, menggunakan
gadget ataupun pekerjaan yang
berhubungan dengan proses
fisiologis penglihatan)
12 Apakah pasien sebelumnya memiliki
riwayat operasi pada mata?
14 Apa saja pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan untuk
menegakkan diagnosis pasien?
15 Bagaimana tatalaksana (pengobatan)
yang sudah dilakukan?
CHECKLIST OBSERVASI
GEJALA GANGGUAN REFRAKSI

1. Miopia
No Gejala Ada Tidak
1 Pengelihatan yang kabur ketika melihat objek yang
jaraknya jauh, namun mata tetap berfungsi baik untuk
melihat objek-objek yang jaraknya dekat
2 Sakit kepala dan mata merasa cepat lelah
3 Juling dan celah kelopak mata sempit
4 Mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk
mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek
pinhole
(American Optometric Association, 2006).

2. Hipermetropia
No Gejala Ada Tidak
1 Adanya penurunan visus
2 Astenophia (mata lelah)
3 Sensitif terhadap cahaya
4 Ambliopia isoametrop (penurunan visus meskipun
dengan koreksi terbaik ketajaman visual)
5 Strabismus
6 Mata merah dan berair, sering mengedip
(Ilyas & Yulianti, 2014).

3. Astigmatisma
No Gejala Ada Tidak
1 Pandangan kabur
2 Astenophia (mata lelah)
3 Sakit kepala
4 Sering membaca atau melihat objek dengan jarak lebih
dekat
(Tasman, 2004).

4. Presbiopia
No Gejala Ada Tidak
1 Keterlambatan saat memfokuskan pada jarak dekat
2 Mata terasa tidak nyaman, berair, dan sering terasa
pedas
3 Sakit kepala
4 Astenopia
5 Menyipitkan mata saat membaca
6 Kelelahan atau mengantuk saat membaca dekat
7 Membutuhkan cahaya yang lebih terang untuk membaca
(Ilyas & Yulianti, 2014).

Anda mungkin juga menyukai