Makalah Pspi Kelompk 10

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PENGANTAR STUDI PEMIKIRAN ISLAM

ESENSI TASAWUF DAN PENCERAHAN JIWA (TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI)

DISUSUN OLEH:
ZAHWA AULIA SOFYAN (2217020144)
ANNISA CHAIRANI (2217020149)
SILVIA UTAMI PUTRI (2217020150)

DOSEN PENGAMPU:
SYILVIA YANI S.Fil.I,MA

PROGRAM STUDI SISTEM INFORMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UIN IMAM BONJOL PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik, hidayah, serta inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Esensi Tasawuf dan Pencerahan Jiwa (Takhalli, Tahalli, Tajalli)” dengan baik. Shalawat
dan salam juga tidak lupa kita hadiahkan kepada suri tauladan umat manusia Nabi Muhammad
SAW, semoga kita mendapatkan syafaatnya di yaumil akhir kelak.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada Ibu Sylvia Yani, S.
Fil, MA selaku dosen pengampu mata kuliah Pengantar Studi Pemikiran Islam yang telah
memberikan tugas ini. Sehingga, kami dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang ditekuni.

Pemakalah menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna serta kesalahan yang pemakalah yakini diluar batas kemampuan pemakalah. Maka dari
itu pemakalah dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca. Pemakalah berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Padang, 14 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
BAB I...............................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................5
1.3 Tujuan....................................................................................................................................5
BAB II.............................................................................................................................................6
PEMBAHASAN..............................................................................................................................6
A. Takhalli.................................................................................................................................6
B. Tahalli...................................................................................................................................9
1. Taubat..............................................................................................................................10
2. Cemas dan Harap............................................................................................................11
3. Al-Zuhd...........................................................................................................................11
4. Al-Faqr............................................................................................................................11
5. Ash-Shabru......................................................................................................................11
6. Ridho...............................................................................................................................12
7. Al-muqarabah..................................................................................................................12
C. Tajalli..................................................................................................................................13
1. Munajat...........................................................................................................................13
2. Zikrul maut......................................................................................................................14
BAB III..........................................................................................................................................16
PENUTUP.....................................................................................................................................16
A. Kesimpulan.........................................................................................................................16
B. Saran...................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tasawuf, sebagai salah satu cabang dalam Islam, telah menjadi subjek yang menarik
perhatian banyak individu, baik dalam dunia Muslim maupun di luarnya. Konsep-konsep dalam
Tasawuf, seperti takhalli (pembersihan), tahalli (penyucian), dan tajalli (penampakan), adalah
aspek-aspek penting dalam pemahaman praktik spiritual dan pencerahan jiwa dalam tradisi
Islam. Pengetahuan dan pemahaman tentang esensi Tasawuf dan konsep-konsep ini memiliki
implikasi yang mendalam dalam pembentukan karakter, spiritualitas, dan pandangan hidup
individu Muslim.

Tasawuf berasal dari kata "suf" yang berarti wol dalam bahasa Arab, dan konsepnya terkait
erat dengan pemahaman tentang penyucian diri dan pencarian kebenaran. Sufisme menekankan
hubungan pribadi dengan Allah, yang sering disebut sebagai "Tasawwuf" dalam literatur Islami.
Dalam perjalanan sejarah, Tasawuf telah mengalami perkembangan yang beragam dan
berinteraksi dengan berbagai budaya dan filosofi, sehingga memberikan kontribusi yang
signifikan dalam memperkaya warisan intelektual dunia Islam.

Takhalli, tahalli, dan tajalli adalah konsep-konsep kunci dalam Tasawuf yang digunakan
untuk merujuk kepada proses pemurnian dan peningkatan spiritual seseorang. Takhalli mengacu
pada proses membersihkan diri dari karakter negatif, seperti nafsu dan sifat-sifat buruk lainnya.
Tahalli adalah langkah berikutnya, di mana seseorang mencoba mengisi diri dengan sifat-sifat
baik dan positif. Terakhir, tajalli adalah saat ketika seseorang merasakan penampakan atau
pengungkapan langsung dari Allah dalam hidupnya.

Dalam makalah ini, kami akan mengeksplorasi lebih dalam tentang esensi Tasawuf dan
konsep-konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang
Tasawuf dan konsep-konsep tersebut, diharapkan pembaca dapat menggali potensi spiritual
mereka sendiri dan mencapai pencerahan jiwa yang lebih dalam dalam perjalanan kehidupan
mereka.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tasawuf secara bahasa dan istilah?
2. bagaimana asal-usul teori ilmu tasawuf?
3. Bagaimana Ilmu Tasawuf berhubungan dengan dasar-dasar Al-Qur'an dan Hadis?
4. Bagaimana konsep Maqam (tingkatan spiritual), Ahwal (kondisi batin), dan Tujuan (akhir
yang dicapai) dijelaskan dalam Ilmu Tasawuf ?

1.3 Tujuan
1. Memahami pengertian dan sejarah lahirnya tasawu?
2. mengetahui asal-usul teori ilmu tasawuf
3. Menggali kaitan antara Ilmu Tasawuf dan ajaran-ajaran Al-Qur'an serta Hadis.
4. Mendalami ke dalam konsep Maqam, Ahwal, dan Tujuan dalam Ilmu Tasawuf ,serta
bagaimana konsep-konsep ini membantu mencapai pemahaman mendalam tentang
Allah.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Takhalli

Takhalli, merupakan langkah pertama dalam perjalanan spiritual seorang sufi, Takhalli
menuntut individu untuk melakukan upaya pengosongan diri dari perilaku dan akhlak tercela.
Salah satu contoh akhlak tercela yang seringkali menjadi akar dari berbagai masalah adalah cinta
yang berlebihan terhadap urusan duniawi. Dalam konteks ini, Takhalli juga dapat diartikan
sebagai usaha untuk mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kenikmatan dan harta
duniawi. Tujuannya adalah untuk mencapai pembebasan diri dari perbudakan terhadap hal-hal
materi yang bersifat sementara.1
Mustafa Zahri mengungkapkan bahwa penafsiran takhalli adalah melibatkan pengosongan
diri dari seluruh sifat-sifat yang tercela. Dalam pandangan Mustafa Zahri, takhalli mencakup
usaha untuk menghilangkan semua sifat negatif yang dapat menghalangi individu dalam
mencapai pencerahan jiwa. Ini berarti bahwa individu harus bekerja keras untuk menjauhkan diri
dari segala bentuk sifat buruk dan perilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai spiritual. Di sisi
lain, Muhammad Hamdani Bakran adz-Dzaky memahami takhalli sebagai tata cara pengosongan
diri yang melibatkan proses pembebasan diri dari dosa dan pengingkaran terhadap Allah SWT.
Baginya, takhalli melibatkan pelaksanaan pertaubatan yang sungguh-sungguh (nasuha).2
Dalam konteks ini, manusia tidak diharapkan untuk sepenuhnya menghindar dari kenyataan
dunia atau untuk menghapuskan hawa nafsunya. Sebaliknya, manusia diajak untuk menggunakan
dunia ini sebagaimana mestinya, dengan tetap menjaga keseimbangan antara kebutuhan dunia
dan kestabilan pikiran serta perasaan.
Seorang individu dalam pandangan ini tidak boleh menyerah begitu saja kepada setiap
keinginan atau dorongan nafsunya, tetapi juga tidak boleh menekannya secara total. Sebaliknya,
dia diharapkan untuk menjaga kendali atas dorongan nafsunya sehingga tidak mengganggu
keseimbangan pikiran dan perasaannya.
Selanjutnya, individu diharapkan untuk memperlakukan segala sesuatu sesuai dengan
proporsinya. Artinya, dia tidak boleh terlalu terpaku pada keinginan dunia sehingga menjadi
terlalu materialistis atau rakus terhadap harta, tetapi juga tidak boleh memiliki kebencian
berlebihan terhadap dunia. Sebaliknya, dia diharapkan untuk menjalani kehidupan dengan
bijaksana, tanpa terlalu berambisi mencari kenikmatan duniawi, namun juga tanpa mematikan
sepenuhnya keinginan-keinginan yang bersifat manusiawi.
Dalam intinya, pendekatan ini menekankan pentingnya menjalani kehidupan dengan bijak
dan seimbang, tanpa terlalu terpaku pada dunia atau terlalu menjauh darinya, sehingga individu
1
Ismail Hasan, “Tasawuf : Jalan Rumpil Menuju Tuhan,” Jurnal An-Nuha 1, no. 1 (2014),hal.10
2
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling Dan Psikoterapi Islam : Penerapan Metode Sufistik
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002).

6
dapat mencapai stabilitas emosional dan spiritual yang diperlukan dalam perjalanan menuju
pencerahan jiwa.
Apabila hati seseorang terkena penyakit atau dipengaruhi oleh sifat-sifat tercela, maka
tindakan yang harus diambil adalah membersihkan hati tersebut terlebih dahulu. Ini dilakukan
dengan cara menghilangkan sifat-sifat negatif tersebut agar hati bisa menjadi tempat bagi sifat-
sifat yang baik dan terpuji. Tujuannya adalah untuk mencapai kebahagiaan yang sejati dan
hakiki.3
Seluruh sufi sependapat kalau tujuan terutama dari tasawuf merupakan mendapatkan ikatan
langsung dengan Tuhan, sehingga merasa serta siuman terletak dihadirat Tuhan. Keberadaan
dihadirat Tuhan itu dialami selaku kenikmatan serta kebahagiaan yang sangat hakiki. Bagi sufi,
rohani manusia memanglah yang bisa menggapai terletak dihadirat Tuhan, sebab roh manusia
ialah refleksi dari hakikat ketuhanan serta jiwa manusia merupakan pancaran dari Tuhan. Bagi sufi,
jalur supaya rohani manusia bisa berhubungan langsung dengan Tuhan merupakan dengan
kesucian jiwa sebab Tuhan merupakan zat yang suci serta menggapai kesucian jiwa ini, bagi
kalangan sufi triknya merupakan pengaturan perilaku mental serta pendisplinan tingkah laku yang
ketat, yang dengan metode ini manusia bisa mengenali dirinya dengan identitas ketuhanan. Buat
menggapai ini, dibutuhkan pembelajaran serta latihan mental.4
Menurut kalangan sufi, dunia hanya menawarkan kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat
sementara, sehingga bukanlah tujuan utama dalam hidup manusia. Sayangnya, kenyataannya
adalah banyak manusia yang justru menjadikan dunia sebagai fokus utama dalam hidup mereka.
Hal ini disebabkan oleh pengaruh kuat dari dorongan hawa nafsu, yang mengendalikan manusia
dan mendorong mereka untuk mengejar pemahaman dunia atau mencari kekuasaan di dalamnya.
Prinsip hidup semacam ini dapat berdampak negatif pada moralitas manusia dan dapat
mengarah pada pengabdian berlebihan terhadap dunia material. Oleh karena itu, dalam
pandangan sufi, untuk mencapai hadirat Tuhan, sangat penting bagi seseorang untuk memahami,
mengendalikan, bahkan menekan hawa nafsunya hingga pada tingkat yang paling rendah, atau
bahkan mungkin mematikannya sepenuhnya.
Kalangan sufi merancang praktik-praktik dan latihan spiritual yang menuntut untuk
mengendalikan dan memahami hawa nafsu dengan baik. Praktik-praktik ini merupakan langkah-
langkah pembinaan akhlak yang memerlukan dedikasi tinggi dan melibatkan usaha yang cukup
berat. Langkah awal yang ditekankan oleh kalangan sufi adalah takhalli, yang menekankan
pembebasan diri dari ketergantungan pada kenikmatan dunia serta menjauh dari pelanggaran
etika dalam segala bentuknya. Tujuan utamanya adalah mengatasi dorongan kuat hawa nafsu,
yang dianggap sebagai pemicu utama dari karakter negatif. Para sufi membagi pendekatan ini
menjadi dua jenis, yakni pendekatan umum dan pendekatan khusus dalam upaya mengatasi
keinginan duniawi.
3
Ismail Hasan, “Tasawuf : Jalan Rumpil Menuju Tuhan,” Jurnal An-Nuha 1, no. 1 (2014),hal.10
4
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015).

7
Pendekatan sufi yang umum menggambarkan sikap tidak suka terhadap kehidupan dunia,
tetapi tidak sampai melupakan tujuan utama, yaitu mendekatkan diri kepada Tuhan dan hadir di
hadirat-Nya. Dalam pendekatan ini, tidak diperlukan meninggalkan dunia secara total atau
mematikan nafsu, melainkan mencukupkan dengan mengendalikannya melalui disiplin hidup.
Singkatnya, tidak terlibat dalam perlombaan mencari kenikmatan dunia dan juga tidak memiliki
sikap alergi atau permusuhan terhadap dunia.
Pendekatan khusus yang ekstrim dalam komentar sufi menganggap dunia sebagai racun yang
mengancam cita-cita sufi, sehingga hawa nafsu harus sepenuhnya dimatikan karena dianggap
sebagai penyebab manusia terikat pada dunia. Hal ini menghambat kemampuan untuk mencapai
tujuan sejati, yaitu kenikmatan spiritual dan keridhaan Tuhan. Bagi sufi yang memiliki
pendekatan ekstrim, mencari keridhaan Tuhan tidak dapat disamakan dengan mencari
kenikmatan spiritual. Mereka meyakini bahwa penolakan terhadap ego dan pengabdian kepada
kehendak Tuhan adalah tindakan utama. Ego dipandang sebagai sumber kesombongan, dan
kesombongan ini dianggap sebagai bentuk penyembahan diri yang setara dengan praktek-praktek
berhala atau kemusyrikan.5
Dalam pelaksanaanya terdapat firman Allah swt dalam Surah Asy-Syams Ayat 7 sampai 10,
yang berbunyi:

Artinya: “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, Maka dia mengilhamkan kepadanya
(jalan) kejahatan dan ketakwaannya, Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu)
dan Sungguh rugi orang yang mengotorinya”.6
Menurut pandangan kelompok sufi, kejahatan dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu
ketidaktahuan eksternal dan internal, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Ketidaktahuan Lahir : Ini merujuk pada dosa-dosa yang terlihat secara fisik yang
dilakukan oleh individu. Dosanya bisa dihapuskan, tetapi penting untuk diingat bahwa dosa-dosa
internal, yang berasal dari dalam hati, adalah pemicu utama dosa-dosa fisik tersebut. Dalam
konteks ini, sulit untuk membersihkan dosa-dosa internal jika dosa-dosa fisik tidak dihilangkan
terlebih dahulu.
2. Dosa Batin: Ini adalah dosa-dosa yang berasal dari hati manusia. Dosa-dosa ini sangat
berbahaya dan tidak selalu terlihat seperti dosa-dosa fisik, karena seringkali dilakukan tanpa
kesadaran.7
5
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015).
6
Departemen Agama RI, Alquran Dan Terjemahan (Depok: Sabiq, 2009).
7
Ahmad Royani, Makalah Ilmu Tasawuf Takhalli, Tahalli Dan Tajalli (Hasanuddin: Fakultas Ushuluddin dan Adab,
2019).

8
Selain itu, karena Tahalli adalah tahap penyucian pikiran, jiwa, roh, dan moral, yang
memancar keluar dalam bentuk perilaku mulia dan terpuji. Ada lima metode teknis dalam tahap
Tahalli ini, yaitu:
a. Pemurnian dari Najis: Ini melibatkan membersihkan diri dari najis secara sah, dengan
cermat dan teliti, baik menggunakan air maupun tanah.
b. Pembersihan dari Kotoran: Proses ini mencakup mencuci tubuh secara menyeluruh dengan
cara yang benar, hati-hati, dan teliti.
c. Proses Penyaringan: Melibatkan mandi dengan air dan membersihkan diri dengan cermat,
hati-hati, dan dengan tindakan yang benar.
d. Pembersihan Fitrah: Ini melibatkan permohonan maaf kepada Allah SWT untuk meminta
pengampunan.
e. Pembersihan dari Yang Maha Suci: Dalam tahap ini, dilakukan dzikir dan mengingat Allah
dengan mengucapkan kalimat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.8
Jadi, dapat dipahami bahwa tindakan kejahatan dapat menghasilkan gangguan dalam hati
manusia seperti dengki, sombong, riya, dan lain sebagainya, yang semuanya berhubungan
dengan aspek spiritual. Karena itulah, dalam pendidikan tasawuf, diperlukan metode atau
pendekatan untuk membersihkan gangguan-gangguan ini yang ada dalam jiwa manusia. Dalam
konteks tasawuf, pendekatan ini dikenal dengan istilah takhalli, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
B. Tahalli
Setelah melewati tahap membersihkan diri dari semua karakter dan perilaku yang tidak baik,
langkah berikutnya adalah memasuki tahap pengaturan diri yang disebut tahalli. Dalam tahap ini,
fokusnya adalah mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, dengan sikap hormat baik secara
fisik maupun pikiran.
Proses mengisi hati dengan sifat-sifat terpuji, serta menjadikan hati penuh dengan ketaatan
baik lahir maupun batin, disebut sebagai tahap Tahalli. Dalam kondisi hati yang demikian,
seseorang dapat dengan mudah menerima cahaya ilahi (Nurullah). Oleh karena itu, segala
perbuatan dan tindakan yang dilakukan selalu didasarkan pada niat yang tulus (tanpa motivasi
riya) dan tujuannya adalah untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan cara ini, individu
seperti ini dapat mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, dan sebagai hasilnya, Allah SWT
senantiasa melimpahkan rahmat dan perlindungan kepada mereka.9
Menurut Amin Syukur, tahalli adalah proses menghiasi diri dengan perilaku dan tindakan
yang baik, serta sesuai dengan karakter yang diinginkan. Sementara itu, Mustafa Zahri
mendefinisikan tahalli sebagai upaya untuk menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. Untuk
mencapai tahap tahalli, langkah pertama adalah membina individu agar memiliki akhlak yang
mulia dan tetap konsisten dengan perubahan yang telah dimulai dalam tahap takhalli. Proses ini

8
Ahmad Royani, Makalah Ilmu Tasawuf Takhalli, Tahalli Dan Tajalli (Hasanuddin: Fakultas Ushuluddin dan Adab,
2019).
9
Totok jumantoro dan Samsul Munir Agus, Kamus Ilmu Tasawuf (Jakarta: Amzah, 2005)

9
melibatkan latihan jiwa yang kuat untuk mengadopsi perilaku yang baik, dengan harapan dapat
menciptakan manusia yang sempurna, atau yang dikenal sebagai insan kamil.10
Sesi Tahalli adalah tahap pengisian kembali jiwa setelah dikosongkan dalam tahap
sebelumnya. Karena jika satu kebiasaan ditinggalkan tanpa segera digantikan, kekosongan itu
bisa menimbulkan frustrasi. Oleh karena itu, setiap kebiasaan lama yang ditinggalkan harus
segera digantikan dengan kebiasaan baru yang positif. Dari satu latihan, ini akan menjadi
kebiasaan, dan dari kebiasaan, akan terbentuk karakter. Al-Ghazali menyatakan bahwa jiwa
manusia dapat diubah, dipahami, diganti, dan dibentuk sesuai dengan keinginan individu.11
Setelah melalui tahap pembersihan dan pengosongan diri dari semua sifat dan perilaku yang
buruk (Takhalli), langkah selanjutnya adalah Tahalli, yaitu mengisi dan menghiasi diri dengan
semua sifat, perilaku, dan tindakan yang baik. Tujuannya adalah agar dalam setiap aspek
kehidupan, seseorang selalu mengikuti prinsip-prinsip agama. Bagi kalangan sufi, mengisi diri
dengan tindakan baik setelah proses pengosongan adalah suatu keharusan, karena jika kebiasaan
baru tidak segera diterapkan, maka kekosongan itu bisa menyebabkan rasa frustrasi.12
Sikap mental dan kegiatan mulia yang harus ditanamkan dalam hati dalam rangka untuk
menjadi manusia yang dapat berhubungan dengan Tuhan adalah sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat adalah ekspresi sungguh-sungguh dari penyesalan yang mendalam di dalam hati,
yang disertai dengan permohonan ampun kepada Allah dan komitmen untuk meninggalkan
semua tindakan dosa. Dengan kata lain, taubat adalah usaha untuk kembali ke jalan yang benar
yang diterima oleh Allah setelah seseorang melakukan kesalahan. Menurut Kitab Riyadhus
Shalihin, terdapat beberapa syarat untuk taubat:

a. Wajib menghentikan tindakan dosa.


b. Perlu merasa menyesal atas perbuatan yang telah dilakukan.
c. Harus memiliki tekad yang sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut,
terutama jika dosa tersebut melibatkan hak orang lain.
d. Perlu menyelesaikan masalah dengan individu yang terkena dampaknya, baik dengan
meminta maaf, mengganti kerugian, atau mengembalikan apa yang seharusnya
dikembalikan.13

2. Cemas dan Harap


Cemas dan harap adalah perasaan khawatir yang muncul karena kesadaran atas banyaknya
kesalahan dan kelalaian dalam beribadah kepada Allah SWT. Ini juga muncul karena
menyadari ketidaksempurnaan dalam pengabdian kepada Allah SWT. Oleh karena itu, ada rasa
khawatir dan ketakutan bahwa Allah SWT mungkin akan murka, tetapi sejalan dengan itu,
seseorang selalu berharap akan mendapatkan ampunan dan keridhoan dari Allah SWT.
10
Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
11
Ismail Hasan, “Tasawuf : Jalan Rumpil Menuju Tuhan,” Jurnal An-Nuha 1, no. 1 (2014).
12
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)
13
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)

10
3. Al-Zuhd
Al-Zuhd adalah perilaku yang mengimplikasikan pembebasan diri dari ketergantungan pada
kehidupan dunia dengan memberikan prioritas pada kehidupan akhirat. Ini berarti seseorang
harus menerima rezeki yang diberikan oleh Tuhan dengan pasrah dan rela. Cara untuk
mencapai al-Zuhd adalah dengan mengendalikan hawa nafsu, karena dorongan hawa nafsu
adalah yang mendorong manusia untuk terlalu fokus pada kenikmatan dunia. Menurut Prof. Dr.
Haidar Putra Daulay, sikap zuhd dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Menempatkan dunia sebagai konsekuensi atau persiapan untuk akhirat.
b. Tidak berlebihan dalam mensyukuri nikmat dunia sehingga mengabaikan persiapan untuk
akhirat.
c. Hidup sederhana dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, dan sebagainya.
d. Kekayaan bukanlah sesuatu yang harus disyukuri, melainkan alat untuk beribadah kepada
Allah SWT. Oleh karena itu, komitmen terhadap kekayaan harus dilakukan dengan cara
yang benar dan sah.14

4. Al-Faqr
Al-Faqr merujuk pada sikap di mana seseorang tidak meminta lebih dari apa yang
dimilikinya saat ini dan merasa puas dengan apa yang sudah dimilikinya saat ini. Ini berarti
bahwa meskipun seseorang mungkin dalam keadaan miskin, mereka tidak akan meminta atau
menginginkan lebih dari itu. Dengan kata lain, Al-Faqr adalah tahap yang berada sebelum Al-
Zuhd dalam perjalanan spiritual.
Untuk mencapai perilaku Al-Faqr dan Al-Zuhd ini, seseorang harus berhati-hati (wara'). Ini
berarti bahwa seseorang harus berhati-hati dan bijaksana dalam menghadapi segala sesuatu
yang tidak jelas asal-usulnya, hukumnya, atau sifatnya. Lebih baik untuk menghindari atau
meninggalkan hal-hal yang kurang jelas perkaranya.
5. Ash-Shabru
Toleransi atau ketekunan, menurut para sufi, merujuk pada kondisi jiwa yang kuat, khas,
dan stabil dalam posisi seseorang. Jiwa tersebut tidak goyah dan tidak lemah, bahkan
dihadapkan pada tantangan yang sangat sulit sekalipun. Individu ini tetap teguh dan tidak
pernah menyerah, karena mereka menganggap bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari
kehendak Tuhan, termasuk ujian-ujian dalam hidup. Oleh karena itu, bagi sufi, ketabahan
merupakan aspek mental yang sangat penting dalam perjalanan mencapai tujuan hidup mereka,
terutama dalam menghadapi kendala dan cobaan yang seringkali datang.15
Dalam menghadapi berbagai gangguan yang bisa mempengaruhi kestabilan jiwa, Al-
Ghazali membedakan berbagai bentuk ketahanan mental dengan berbagai nama. Ketika
seseorang mampu mengendalikan dorongan hawa nafsu terkait dengan makanan dan aspek
seksualitas, maka kemampuan ini disebut sebagai iffah. Ketika seseorang dapat menguasai diri
untuk tidak mudah marah, ini disebut sebagai hilm. Kemampuan hati untuk menerima nasib apa

14
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)
15
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)

11
adanya disebut qana'ah, sementara ketahanan untuk tidak menyerah dalam mempertahankan
kebenaran disebut safa'ah.
6. Ridho
Perilaku mental yang disebut sebagai "ridho" adalah hasil dari kombinasi antara cinta
(mahabbah) dan ketabahan. Istilah "ridho" mengandung makna menerima dengan lapang dada
dan hati terbuka terhadap segala yang datangnya dari Allah SWT, baik dalam menjalani
peraturan agama maupun dalam hal takdir. Harun Nasution dalam bukunya tentang Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam menjelaskan bahwa ridho berarti menerima qada dan qadar (ketetapan
dan takdir Allah) dengan ketenangan hati. Ini berarti menghilangkan perasaan benci dari hati
dan hanya menyisakan perasaan bahagia dan senang. Seseorang merasa bahagia menerima
bencana sebagaimana dia bersukacita menerima nikmat. Dalam sikap ridho, seseorang tidak
memohon surga dari Allah SWT atau berdoa agar dihindarkan dari neraka.16
Perlu ditekankan bahwa ridho berbeda dengan sikap fatalis. Perbedaannya terletak pada
fakta bahwa ridho adalah menerima kondisi setelah kejadian terjadi. Ini berarti bahwa sebelum
kejadian tersebut terjadi, seseorang berusaha dengan tekun dan sungguh-sungguh, dan
kemudian menerima hasilnya dengan tulus, terlepas dari bentuk dan nilai hasil tersebut.
Sebaliknya, sikap fatalis adalah menyerah sebelum dan setelah melakukan usaha. Dalam
fatalisme, seseorang menyerah dan pasrah tanpa melakukan upaya apa pun.
7. Al-muqarabah
Seorang calon sufi, sejak awal telah diajarkan bahwa mereka selalu berada di bawah
pengawasan Allah SWT. Oleh karena itu, semua aspek kehidupan mereka harus diarahkan
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT sebanyak mungkin. Mereka menyadari bahwa
Allah SWT selalu memperhatikan mereka, sehingga mereka harus selalu melakukan introspeksi
diri atau merenungkan tindakan dan perilaku mereka secara sadar.17
Dapat dipahami, bahwa Tahalli merupakan salah satu langkah penting dalam perjalanan
spiritual seorang pencari (salik). Ini adalah tahap di mana seseorang mengisi diri dengan
perilaku dan sifat-sifat terpuji, sehingga mereka memiliki akhlak yang mulia dan kepribadian
yang kuat untuk menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, tahalli
juga membantu seseorang mencapai kesempurnaan dalam menjalani kehidupan yang selalu
diisi dengan hal-hal positif.
Penting untuk dicatat bahwa untuk mencapai tahap ini, seseorang membutuhkan bimbingan
dan bantuan seorang guru atau mursyid dalam tasawuf. Guru tersebut tidak hanya mengajarkan
pengetahuan, tetapi juga memberikan wawasan yang mendalam sehingga seseorang dapat
menerapkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari dengan mudah. Dalam konteks ini,
metode tahalli adalah salah satu pendekatan yang digunakan dalam pendidikan tasawuf untuk
membantu individu mencapai kesempurnaan dalam menerapkan sifat-sifat terpuji dalam hidup
mereka.

16
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)
17
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)

12
C. Tajalli
Dalam rangka memperkuat dan memperluas modul-modul yang telah ditempuh dalam tahap
tahalli, tahap tajalli diidealkan. Kata ini mengindikasikan pengungkapan Nur Ghaib (cahaya
yang tidak terlihat) untuk hati. Ketika jiwa dipenuhi dengan mutiara-mutiara etika dan organ-
organ tubuh melakukan perbuatan mulia, untuk memastikan hasil yang diperoleh tidak
berkurang, penting untuk merasakan alam surgawi dengan penuh pemahaman dan cinta yang
mendalam.
Para sufi sepakat bahwa ada satu cara yang sangat penting untuk mencapai tingkat kesucian
jiwa ini, yaitu dengan bertaqwa kepada Allah SWT dan mengembangkan kekaguman kepada-
Nya. Dengan kedalaman jiwa ini, seolah-olah pintu menuju Tuhan terbuka lebar. Tanpa cara ini,
sulit untuk memahami bagaimana mencapai tujuan tersebut, dan usaha yang dilakukan tidak
akan dianggap sebagai pencapaian yang besar.18
Muhammad Hamdani Bakran adz-Dzaky menyatakan bahwa "tajalli" secara khusus merujuk
pada munculnya atau perkembangan aspek-aspek yang tidak digunakan dalam individu, seperti
tindakan, perkataan, perilaku, dan perkembangan modern; hal-hal yang berkaitan dengan status
sosial dan modernitas, serta karakteristik dan sifat-sifat modern. Semua ini dianggap sebagai
hasil kemenangan dari Allah SWT. Kelahiran seseorang ke dalam realitas modern dan
pengembangan potensi yang tidak dimanfaatkan hanya terjadi karena campur tangan Allah SWT,
serta berkat doa para nabi yang diberkati yang menyertai usaha, perjuangan, penyesalan atas
dosa, dan disiplin diri yang luar biasa dalam menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya,
dan memahami ujian yang diberikan oleh-Nya.19
Sebagai sarana untuk memperdalam rasa ketuhanan, terdapat sebagian teori yang diajarkan
sufi, antara lain:
1. Munajat
Munajat adalah tindakan sederhana yang menggambarkan pengabdian diri kepada Allah
SWT dalam segala aktivitas yang dihadapi. Dalam munajat, seseorang mengungkapkan keluh
kesahnya, mengadukan nasibnya dengan kata-kata indah yang memuji kebesaran Allah SWT,
sambil menitikkan air mata. Biasanya, munajat dilakukan dalam keheningan malam setelah
shalat tahajjud. Dengan sepenuh hati dan air mata mengalir, suasana munajat membuat seseorang
merasa seperti berhadapan langsung dengan Tuhan.
Saat merasa berhadapan langsung dengan Allah, seseorang merasakan bahwa Allah terlihat
melalui hatinya. Dalam momen ini, perasaan cinta yang mendalam kepada Allah dan rindu yang
kuat kepada-Nya meledak, diungkapkan dalam bentuk pujian, syukur, dan pengagungan terhadap
kebesaran Ilahi yang mengalirkan air mata kebahagiaan. Doa dan air mata dalam munajat adalah
cara seseorang mengekspresikan cinta kepada Allah serta kerinduannya untuk selalu bersama-
Nya, tidak ingin berpisah dengan-Nya.20

18
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)
19
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling Dan Psikoterapi Islam : Penerapan Metode Sufistik (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002).
20
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)

13
2. Zikrul maut
Salah satu yang senantiasa diulang serta diingatkan oleh Alquran merupakan kematian yang
tentu hendak menemui manusia. Menyadari bahwa semua makhluk akan menghadapi kematian,
kaum sufi mengajarkan pentingnya terus-menerus mengingat kematian sebagai bagian dari
perkembangan spiritual mereka. Kehadiran kematian yang selalu diingatkan adalah bagian
penting dari upaya untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapinya. Dengan
berlatih zikrul maut, seseorang akan merasa mendorong untuk bekerja keras dalam melakukan
tindakan yang bermanfaat dan menjauhi tindakan yang merugikan dalam persiapan menuju alam
akhirat.
Pengingat akan kematian juga membantu mengurangi nafsu serakah dan memperkuat
hubungan spiritual dengan Tuhan. Dengan kata lain, zikrul maut berperan sebagai kendali yang
membantu manusia menghindari perilaku buruk dan menjaga kesadaran terhadap Tuhan dengan
konsisten.
Melalui proses yang telah dijelaskan oleh sufi, termasuk Takhalli, Tahalli, dan Tajalli beserta
elemen-elemennya, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan sufi, pengembangan akhlak akan
membawa manusia menuju kesempurnaan spiritual dan akan menjadi jalan yang sangat berharga
untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Dalam proses ini, akhlak yang baik menjadi jembatan
yang berharga menuju hubungan yang lebih mendalam dengan Tuhan.21
Lebih lanjut, Muhammad Hamdani Bakran adz-Dzaky menjelaskan tanda-tanda kelahiran
baru seseorang dalam beberapa tingkatan: pertama, tingkat fisik; kedua, tingkat menengah yang
melibatkan perkembangan sifat, sikap, dan perilaku yang baik; ketiga, tingkat atas yang
melibatkan kemampuan menerima mimpi, ilham, dan kasysyaf yang benar; keempat, tingkat
kesempurnaan yang melibatkan kehadiran semua tingkat sebelumnya dalam diri seseorang.
Selanjutnya, "nur" dari yang ghaib merupakan hasil dari proses takhalli dan tahalli. Dalam
konteks tasawuf, ini disebut sebagai tajalli, di mana Allah mengungkapkan eksistensi-Nya dan
memberikan karakteristik baru kepada individu. Hal ini adalah pertolongan langsung dari Allah.
Jika seseorang selalu mendekatkan diri kepada-Nya, Allah akan mendekatkan diri kepada
mereka, dan sebaliknya. Ini tidak berarti bahwa Allah tidak memiliki sifat rahman dan rahim; ini
lebih tentang etika manusia terhadap Penciptanya yang menciptakan manusia dan alam semesta.
Tajalli, seperti takhalli dan tahalli, memerlukan bimbingan guru atau mursyid. Namun, tajalli
dianggap lebih sulit karena melibatkan konsistensi dalam menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya dengan sebaik mungkin. Dalam konteks pendidikan tasawuf, hal ini
memerlukan metode atau cara untuk membantu individu dalam membuka tabir ketuhanan atau
nur yang selama ini tersembunyi.22

21
Miswar, Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami (Medan: Perdana Publishing, 2015)
22
Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling Dan Psikoterapi Islam : Penerapan Metode Sufistik (Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2002)

14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

16
17

Anda mungkin juga menyukai