Muh Alief Ramadhan Pemerintahan Sekuler Turki
Muh Alief Ramadhan Pemerintahan Sekuler Turki
Muh Alief Ramadhan Pemerintahan Sekuler Turki
10200121023
HTN A
Perbincangan tentang Khilafah, sebagaimana yang bisa disaksikan hari ini, menjadi
hal yang banyak muncul di tengah masyarakat. Betapapun pandangan pro dan
kontra nampak, Khilafah menjadi tema populer di hampir seluruh media
komunikasi baik cetak maupun digital. Beragam latar belakang masyarakat terlibat
dalam perbincangan tema ini, baik dari kalangan ulama, akademisi, dan tokoh
masyarakat yang lain hingga orang awam sekalipun. Khilafah telah menjadi
perbincangan yang melibatkan beragam lapisan masyarakat dengan segala
intonasinya.
Secara historis, Khilafah adalah sebuah pemerintahan yang berkembang
menjadi imperium transnasional multietnis di mana ikatan iman dan aturan syariah
merupakan dasar bagi pemerintahan yang terpusat. Khalifah sebelumnya
memerintah atas bagian - tetapi tidak semua - dari dunia Muslim antara abad
ketujuh dan kedua puluh, dan manifestasi terakhirnya, Khilafah Turki Usmani,
dihapuskan pada tahun 1924. Bagi umat Islam, konsep dan visi Khilafah telah
hidup sepanjang sejarah keberadaan mereka. Meskipun sesaat daya tarik terhadap
Khilafah pernah menghilang namun hari ini, sebagaimana yang diungkap sejumlah
peneliti barat, Khilafah telah memunculkan perdebatan panas lebih dari konsep
Islam lainnya.
Di tengah populernya isu tentang Khilafah dewasa ini, terdapat sejumlah hal
penting yang jadi menarik untuk ditinjau ulang. Hal tersebut diantaranya soal
bagaimana tanggapan masyarakat Islam terutama kalangan ulama atas pembubaran
Khilafah Usmani sesaat setelah peristiwa itu terjadi. Hal lain adalah soal kapan
awal ide perjuangan Khilafah ini muncul lalu mengapa perlahan menghilang ketika
itu. Peninjauan ulang tersebut perlu dilakukan agar terungkap informasi mendalam
tentang persepsi mayarakat terhadap isu Khilafah sepanjang berjalannya waktu.
1
Ketika Mustafa Kemal secara resmi menghapuskan Khilafah pada 3 Maret
1924, reaksi berdatangan dari berbagai wilayah, seperti Mesir, Libya, Suriah,
Afghanistan dan India. Berbagai reaksi itu mencerminkan adanya ikatan dengan
Khilafah, meskipun pada hakikatnya Khilafah telah runtuh bertahun-tahun yang
lalu. Keruntuhan Khilafah yang begitu tiba-tiba juga mengejutkan kalangan elit
politik dan pemuka agama di seluruh wilayah Timur Tengah dan negeri Muslim
pada umumnya. Situasi itu membuat Sharif Husain dari Hijaz menyatakan diri
sebagai khalifah untuk menjawab keraguan mayoritas umat Muslim di seluruh
dunia. Konferensi di Kairo pada 1926 dianggap sebagai upaya terselubung raja
Mesir, Ahmad Fu'ad, untuk merebut gelar khalifah. Konferensi itu sebenarnya
sudah dijadwalkan pada 1925, tetapi tertunda karena berbagai masalah politik.
Salah satunya adalah kegaduhan yang timbul akibat penerbitan buku berjudul al-
Islam wa Usul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan). Salah satu bagian
dalam buku itu menyatakan bahwa Khilafah sebenarnya merupakan institusi yang
tidak Islami dan bahwa Islam sama sekali tidak berkaitan dengan politik.
Pernyataan itu tentu saja bertentangan dengan pandangan yang selama ini
dipegang oleh umat Islam selama empat belas abad. Penulis merupakan seorang
lulusan al-Azhar bernama Ali Abdul-Raziq. Ia dijatuhi sanksi berupa pencabutan
ijazah dan pelarangan bekerja sebagai hakim. Sanksi itu diambil berdasarkan
keputusan bulat dalam sidang yang beranggotakan dua puluh empat rekannya.
Kemarahan dan protes terhadap penghapusan simbol sejarah Islam yang berusia
berabad-abad itu pada akhirnya memang mereda. Akan tetapi, pada 1930-an,
berbagai pertanyaan tentang Khilafah dan cita-cita penegakannya tidak lagi terlihat
relevan. Gagasan Khilafah justru terbengkalai dalam ruang politik.
Di Mesir penghapusan Khilafah telah membangkitkan sentimen dan emosi
Islam di seluruh kalangan masyarakat karena Khilafah dianggap sebagai faktor
pemersatu umat Islam dan bukti keberlangsungan sejarah mereka. Dalam
pertemuan dewan di al-Azhar pada 25 Maret 1924, para ulama merilis pernyataan
mengenai pandangan Islam bahwa Khilafah adalah "kepemimpinan umum dalam
urusan agama dan dunia,” perwakilan Rasulullah dalam "melindungi agama dan
penerapan hukum-hukumnya." Bahkan, mereka mengklaim bahwa "Khilafah
pimpinan Abdul Majid bukanlah Khilafah yang sah" karena "Islam tidak mengakui
khalifah" setelah kekuasaannya dipisahkan, dan karena baiat tidak diberikan
2
kepadanya oleh kaum Muslim dengan cara yang diakui syariah.
Semua penguasa saat itu, termasuk Raja Fu'ad, Sharif Hussain, dan Ibnu Saud,
pada awalnya berpura-pura tidak tertarik. Hussain sempat mengklaim bahwa ia
menduduki posisi itu dalam waktu singkat setelah mengambil sumpah dari
sejumlah pendukungnya. Akan tetapi, pernyataannya yang “prematur” tidak
dianggap serius oleh orang-orang di sekitarnya, apalagi oleh umat Muslim secara
luas. Seorang sejarawan Mesir, Ahmed Shafiq, mengatakan bahwa “di Mesir ada
kesepakatan atas wajibnya keberadaan Khilafah dalam bentuk apapun, dan bahwa
Husain bin Ali tidak akan menjadi khalifah.” Di Mesir isu Khilafah menjadi
dagangan politik antara Raja dengan pihak liberal. Beberapa pihak berpendapat
bahwa istana berada di belakang ulama al-Azhar. Pernyataan bahwa “Inggris
menginginkan Fu'ad menjadi khalifah” dianggap sebagai kebohongan oleh lawan
politiknya, terutama oleh Partai Konstitusional Liberal. Hal itu sangat ironis
mengingat bahwa keluarga yang mendirikan partai itu diketahui sebagai
pendukung Inggris di Mesir dan dikenal memiliki hubungan dekat dengan
Konsulat Inggris di Mesir, Lord Allenby. Konflik antara Raja dan partai Allenby
merupakan perebutan konstitusional dan legal yang tidak ada hubungannya dengan
al-Azhar. Akan tetapi, kegemparan timbul setelah penerbitan buku berjudul "Islam
dan Dasar-Dasar Pemerintahan" yang menantang konsep Islam klasik tentang
Khilafah. Situasi itu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak untuk saling
menjatuhkan.
Sang penulis buku, Ali Abdul-Raziq, merupakan lulusan al-Azhar dari
keluarga politisi yang mendirikan partai Konstitusional Liberal. Karena pengaruh
keluarga dan kemampuan finansial, ia dapat berkuliah di Universitas Oxford
sebelum pecahnya Perang Dunia I. Ia kembali ke Mesir untuk bekerja sebagai
hakim di pengadilan syariah. Di tengah-tengah kesedihan umat atas nasib Khilafah,
dan kesepakatan di Mesir bahwa Khilafah harus dibangun kembali dalam bentuk
tertentu, buku Raziq menampar ajaran Islam dan menantang pandangan saat itu.
Bagi Raziq, Khilafah ''tidak ada kaitannya dengan agama, begitu pun peradilan,
pemerintahan, dan negara'' yang "murni masalah politik." Agama "tidak mengakui
Khilafah, dan tidak juga menyangkalnya, dan tidak memiliki perintah atau larangan
apa pun tentang Khilafah.'' Agama membiarkannya begitu saja agar kita mengacu
kembali kepada aturan pemikiran, pengalaman bangsa-bangsa, dan dasar-dasar
3
politik.
4
secara membabi buta. Di sisi lain, Raziq tidak ubahnya seperti kritikus yang
"berpakaian Islami," yang memandang Islam seperti Kristen, dan Khilafah seperti
aturan Gereja. Oleh karena itu, bagi Raziq, sekularisme menjadi "solusi Islami bagi
masalah Islam.”
Rashid Rida menjadi salah satu pihak yang pertama mencela buku itu di al-
Manar. Ia menyebutnya sebagai "gagasan jahat" yang " sebelumnya tidak pernah
diucapkan oleh siapa pun yang mengaku Islam, apakah ia jujur atau tidak."
Faktanya, "Khilafah Islam adalah sistem terbaik yang dikenal manusia." Berbeda
dari apa yang dikatakan Raziq, Rida menyatakan bahwa "Muslim merupakan
bangsa terbesar ketika mereka menegakkan Khilafah," dan kemunduran terjadi
karena umat meninggalkannya. Ia kemudian mendorong 'ulama' lain untuk
mengecam Raziq karena telah “menolak Khilafah yang sejatinya merupakan
institusi Islam yang diwajibkan oleh syariah.”
Raziq dipanggil oleh Dewan Ulama dan bukunya dikaji oleh dua puluh empat
rekannya. Pada 12 November 1925, sebuah putusan dikeluarkan dengan suara bulat
untuk mengecam dan mengeluarkan Raziq dari jajaran ulama. Berbagai klaimnya
dianggap sesat yakni bahwa Islam hanyalah agama spiritual, bahwa sistem
pemerintahan Islam tidaklah jelas, atau bahwa aturan yang diterapkan oleh generasi
awal para pemimpin Muslim tidak didasarkan pada agama. Dewan memutuskan
bahwa "gagasannya cukup untuk menempatkannya sebagai kelompok khawarij dan
bukan bagian dari Muslim.” Langkah itu semakin menegaskan pemahaman
normatif tentang Khilafah dan politik dalam Islam tradisional.
Raziq menyatakan pembelaannya dengan mengatakan bahwa ia hanya
menciptakan "sebuah aliran pemikiran baru dalam masalah itu.” Keluarga dan
rekan-rekannya dari Konstitusional Liberal dan surat kabar, seperti corong partai
itu, al-Siyassa, bersatu melawan putusan dengan mengklaim bahwa itu adalah
bagian dari kebebasan berbicara. Raziq dipandang oleh para pendukungnya sebagai
"Luther dari Mesir," dan pandangannya dianggap sebagai seruan untuk
mengembalikan kedaulatan kepada umat yang menentang tipu daya Istana. Politisi
Mesir terkemuka lainnya, seperti Sa'ad Zaghloul, memiliki pendapat yang sangat
berbeda. Ia mengatakan bahwa ia “terheran-heran melihat seorang ulama Islam
menulis soal masalah Khilafah.” Meskipun “banyak membaca karya orientalis dan
yang sejenisnya," ia "tidak pernah menemukan salah satu dari mereka
5
menyerang Islam dengan amarah seperti itu." Di akhir, Zaghloul merasa bahwa
Raziq "tidak memahami dasar-dasar agama" karena "jika paham, bagaimana
mungkin ia dapat mengklaim bahwa Islam bukanlah sebuah peradaban, dan bahwa
Islam tidak memiliki sistem yang sesuai untuk memimpin?” Apa pun kelemahan
buku itu, faktanya, konfrontasi antara partai Liberal dan pemerintah sebagian besar
disebabkan oleh masalah lain, dan kontroversi buku itu dimanfaatkan hanya untuk
kepentingan politik.
Kemarahan terhadap buku itu terus berlanjut dengan terbitnya berbagai
bantahan yang ditulis oleh para ulama di dalam dan luar Mesir. Di Mesir, ulama al-
Azhar, Syekh Yusuf al-Dijwi, menulis bantahan terhadap Raziq di koran Mesir, al-
Akhbar. Penghinaan para pendukung Raziq terhadap bantahan itu semakin
meningkatkan ketegangan. Mohammad ibn 'Ashur dari Tunisia mengkritik klaim
bahwa ada aliran pemikiran dalam Islam yang meyakini bahwa khalifah
memperoleh kekuasaannya dari Allah. Ia juga membantah analogi para pemikir
Eropa, seperti Hobbes dan Locke, karena tidak ada dikotomi semacam itu dalam
pemikiran Islam. Sebaliknya, "Islam ditopang oleh negara" dan "negara adalah
bagian dari Islam karena agama dan negara menyatu.” Dengan demikian, Khilafah
adalah "pilar agama," atau lebih tepatnya "pelindung semua pilar agama."
Pernyataan Raziq bahwa Khilafah hanya murni politik pada hakikatnya
bertentangan dengan fakta bahwa baiat sejak generasi pertama Muslim dan
seterusnya selalu "diambil berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Dua bantahan yang paling komprehensif dan dinamis berasal dari Muhammad
al-Khidr Hussein, seorang ulama Tunisia yang menghabiskan waktu di penjara
Suriah karena melawan rezim Perancis, dan Muhammad Bakhit, kepala Universitas
al-Azhar saat itu. Bakhit menolak klaim Raziq karena tidak ada dalil Islami yang
mendukung berbagai klaim itu. Ia pun mengingatkan pembacanya bahwa
"penggalian berbagai isu tidak boleh dilakukan hanya berdasarkan pemikiran"
karena ijtihad dalam hukum Islam wajib dilakukan dengan "berlandaskan pada al-
Qur'an, as-Sunnah, ijma’, atau qiyas.” Ia juga mengecam pernyataan Raziq bahwa
Khilafah hanya menjadi “sumber malapetaka.” Berbeda dengan Raziq yang begitu
bangga terhadap bangsa Eropa, Bakhit justru berpendapat bahwa setelah wafatnya
Rasul, “kaum Muslim-lah yang pertama kali menerapkan aturan bahwa kekuasaan
ada di tangan umat, dan bahwa umatlah yang memilih pemimpinnya,” dan aturan
6
itu ditetapkan oleh syariah. Buku Bakhit dianggap sebagai kritik yang sangat tajam.
Buku setebal hampir seratus halaman itu merinci beberapa aspek politik negara di
bawah kepemimpinan Rasul (mulai dari penyelesaian sengketa hingga
korespondensi diplomatik dan propaganda), dan dilengkapi dengan celaan yang
begitu jelas terlihat terhadap Raziq.
Al-Khidr Hussain, yang juga teman dekat Raziq, mengesampingkan urusan
pribadinya dalam tulisannya berjudul Naqd Kitab Al-Islam wa Usul Al-Hukm
(Bantahan terhadap Buku '’Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan’.” Tulisan itu
membahas argumen Raziq dengan begitu detail. Menurutnya, "kekuasaan yang
diberikan kepada khalifah tidak lebih besar dari kekuasaan kepala pemerintahan
konstitusional" karena pemilihannya "hanya untuk periode yang ditetapkan," yakni
selama ia "menetapkan aturan syura yang semestinya" serta "mengerahkan segala
upaya untuk melindungi hak-hak umat dan tidak menghalangi kebebasan mereka.”
Seperti Ibn 'Ashur, ia juga menolak perbandingan dengan filsuf dan mazhab
pemikiran Eropa, khususnya pemikiran Hobbes.
Menurut pemahaman al-Khidr, Hobbes meyakini bahwa setiap individu harus
tunduk pada otoritas Raja, sedangkan para ulama Islam menyatakan bahwa
penguasa tidak boleh dipatuhi kecuali jika ia memerintah dengan kebenaran.
Hobbes mengklaim bahwa ketundukkan penguasa kepada rakyat bertentangan
dengan hakikat sebuah hierarki. Sebaliknya, para ulama Islam justru menyatakan
bahwa penguasa wajib tunduk bahkan kepada kalangan kelas bawah jika mereka
mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan. Selain itu,
Hobbes menyatakan bahwa agama tunduk kepada Raja, sedangkan para ulama
Islam mengatakan bahwa para penguasa wajib tunduk pada aturan Islam, yang
ditentukan dalam sumber-sumber hukum Islam atau yang berasal proses ijtihad.
Berbeda jauh dari sistem yang zhalim, "Islam justru mengobarkan perang melawan
segala bentuk kezhaliman” melalui Khilafah yang telah "membebaskan banyak
negeri dan memberikan mereka kesempatan merasakan manisnya keadilan setelah
mengalami berbagai siksaan, tekanan, dan penindasan.”
Sama seperti Bakhit, proses ijtihad yang sahih juga ditekankan oleh al-Khidr.
Ia menyatakan bahwa "sumber-sumber hukum syariah hanya terdiri dari
Kitabullah, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas.” Aturan khusus dari sumber-sumber itu
juga dianggap sebagai dalil yang dapat diterima untuk setiap hukum yang digali.
7
Dengan demikian, jika al-Qur'an tidak menjabarkan dalil yang jelas tentang
kewajiban Khilafah, dalil itu dapat diperoleh dari sumber-sumber hukum lain yang
telah disepakati. Setiap keputusan atau pendapat yang dilandasi oleh selain
sumber-sumber hukum itu tidak dianggap ijtihad. Oleh karena itu, alih-alih
dianggap sebagai "mazhab pemikiran baru," pendapat Raziq benar-benar dikecam
sebagai hasil ijtihad yang bertentangan dengan Islam dan tidak memiliki
kredibilitas religius sama sekali.
Batasan wacana dan ijtihad Islam dibangun dengan begitu kuat. Karena telah
keluar dari batas-batas ajaran Islam, buku itu justru diapresiasi oleh para sekularis
saat itu, termasuk Taha Hussain dan Mohammad Husain Haikal, yang umumnya
berpendapat bahwa Khilafah Islam telah menyimpang dari agama karena khalifah
bertindak zhalim. Mereka juga berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan dokumen
sejarah yang harus dibaca dalam konteks, bukan wahyu yang dapat dijadikan dasar
ijtihad. Raziq sendiri kemudian menarik pandangannya di kemudian hari dengan
menolak permintaan cetak ulang buku itu. Bahkan, menurut keluarganya, ia
menyusun bantahan terhadap bukunya sendiri menjelang kematiannya. Meskipun
begitu buku Raziq telah dan akan tetap memberikan kontribusi yang signifikan
bagi peran Islam dalam politik, meskipun faktanya, dari sudut pandang normatif,
gagasan Raziq dikecam pada saat itu. Walaupun berperan dalam pergulatan politik
Mesir pada 1920-an, buku itu tetap dianggap keluar dari batas-batas ajaran Islam
yang disepakati. Gagasan Raziq merupakan rujukan utama bagi mereka yang
menyatakan bahwa Khilafah bukanlah kewajiban Islam. Buku itu pun landasan
bagi klaim serupa setelah klaim yang dilontarkan kaum khawarij.
8
DAFTAR PUSTAKA
Agoston, Gabor dan Bruce Masters (ed.). Encyclopedia of the Ottoman Empire. New
York: Facts on File, 2008.
Al-Rasheed, Madawi, Carool Kersten dan Marat Shterin (ed.). Demystifying The
Caliphate: Historical Memory And Contemporary Contexts. New York: Oxford
University Press, 2015. hlm. 31-56.
Hassan, Mona. Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History. New
Jersey: Princeton University Press, 2017.
Kramer, Martin. Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses. New
York: Columbia University Press, 1985.
Niemeijer, A.C.. The Khilafat Movement in India 1919-19224. Leiden: Brill, 1972.
Oliver-Dee, Sean. The Caliphate Question: The British Government And Islamic
Governance. Lanham: Lexington Book, 2009.
Ozoglu, Hakan. From Caliphate to Secular State: Power Struggle in the Early
Turkish Reoublic. Santa Barbara: Praeger, 2011.
Pankhrust, Reza. Hizbut-ut-Tahrir: The Untold History of the Liberation Party.
London: C. Hurst & Co., 2016.
-----The Inevitable Caliphate?: A History Of The Struggle For Global Islamic
Union, 1924 To The Present. New York: Oxford University Press, 2013.
SEPTIAN A.W. adalah pegiat literasi kelahiran 13 September 1989. Pria yang pernah
mengenyam pendidikan S1 dan S2 studi Sejarah di kampus negeri ternama ini
telah menjadi bagian dari gerakan Hizbut Tahrir sejak 2005 dan menjadi editor
penerjemah buku The Inevitable Caliphate? edisi bahasa Indonesia pada 2019.