Pemikiran Politik Islam Modern:
Peran Majelis Ulama Indonesia
Jeanne Francoise
(mrfc.jen@gmail.com / www.jeannefrancoise.com)
Peneliti profesional
Paper ilmiah ini ditulis untuk diikutsertakan di dalam salah satu pemaparan panel UHAMKA 1st
International Conference on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Paper
ini bertitiktolak dari pemikiran dan nilai-nilai keteladanan Ulama Nusantara tentang perdamaian,
modernisme, toleransi, dan prinsip kebangsaan sebagai inspirasi peradaban muslim dunia yang
berada di dalam kerangka pemikiran politik Islam modern, sejak dunia Islam mengkaji fatwa
revolusioner dari Syeikh Muhammad Abduh.
Paper ini dimulai dari penjelasan sejarah tentang definisi ulama, legitimasi ulama di dalam
teks Al-Qur’an, kedudukan ulama di dalam agama Islam, kewenangan dan peran ulama di masa
lampau, serta problematika umum yang dihadapi para ulama. Paper ini kemudian menjelaskan
secara ringkas peran para ulama Nusantara, terutama para ulama di Aceh dan Betawi dan sejarah
terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah wujud kebersatuan para ulama
Indonesia pada masa pra-kemerdekaan.
Paper ini berusaha mengkaji MUI secara ilmiah yang dimulai dengan pemberitaan MUI
yang identik dengan lembaga fatwa. Setelah ditelusuri lebih lanjut, MUI memiliki modal yang
besar dan cukup untuk menjadi lebih dari sekedar lembaga fatwa, tetapi sebagai sebuah
organisasi Islam modern milik Indonesia yang khas dengan membawa nilai-nilai Islam
Nusantara di dalam lima gagasan besar yang penulis temukan dan rangkum dari data sekunder
berupa buku, artikel, jurnal, dan link Internet. Paper ini memiliki kesimpulan bahwa MUI telah
memiliki kader-kader ulama Nusantara yang berusaha mewujudkan nilai-nilai Islam Nusantara
ke dalam setiap pergerakan MUI baik lokal maupun internasional, walaupun program-program
MUI tersebut harus lebih dioptimalkan dan lebih kreatif lagi, terutama terkait dengan warna
politik NKRI yang senantiasa dinamis dan menghadapi tantangan global.
Keywords: Islam, Politik Islam, Modernisme, Modern, MUI, Majelis Ulama Indonesia
LATAR BELAKANG
Paper ilmiah ini akan dipresentasikan di dalam UHAMKA 1st International Conference
on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Dua kata yang penting di
dalam paper ini adalah “modern” dan “ulama”, yang akan penulis tuangkan menjadi
sebuah konsep “ulama yang modern” di dalam peran Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Terminologi modern yang dimaksud di dalam paper ini mengacu kepada sejarah dunia
Islam Sunnī yang mencapai titik modern ketika khilafah dihapuskan berdasarkan
keputusan Parlemen Nasional Turki tahun 1924 (Enayat, 2006, p.78,80), sebab banyak
peristiwa-peristiwa Islami dunia yang dimulai dari titik modern ini, termasuk kritik
terhadap peran ulama di dalam negara. Beberapa kajian-kajian ilmiah tentang peran ulama
di dalam negara yang paling dikenal adalah pemikiran-pemikiran khūndz dih, Mīrz
Husayn, dan T libov.
Di negara-negara yang lebih dahulu mengenal agama Islam, terdapat revolusi
terhadap peran ulama, contoh Revolusi Konstutisional Iran 1906 yang mengubah fungsi
THE 1st UICIHSS | 399
ulama (Enayat, 2006, p.115-116). Di dalam sejarah pemikiran Islam modern, definisi
ulama dan peran ulama dikatakan baru dikritisi sejak tahun 1970-an (Rahemtulla, 2007,
p.1) karena mungkin terdapat pengamatan sejarah bahwa selama 200 tahun terakhir, fungsi
dan peran ulama di dalam masyarakat melemah, hanya menjadi sekelompok “pemuka
agama” saja (loc.cit., p.15).
Dari gagasan-gagasan besar untuk mengkaji peran ulama itu, paper ini tidaklah
bermaksud untuk menilai para ulama MUI pribadi per pribadi, sebab penulis tidak punya
hak ilahi untuk itu, namun seperti Ibn Taymīyah yang menyampaikan pesan kepada ulama
melalui puisi, penulis berusaha menyampaikan pemaparan lima gagasan kepada ulama
MUI di dalam UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social
Sciences, 23-24 Maret 2017. Sebelum membahas kelima gagasan kepada pada ulama MUI
tersebut, berikut akan dijelaskan definisi dari kata “ulama” itu sendiri.
Kata “ulama” merupakan bentuk plural dari kata singular “alim” yang artinya
“orang yang berilmu”. Kata ulama tercantum sebanyak dua kali dalam Al Qur’an, yakni
tertera di dalam Surat Al-Fathir 35:28 (tertera di atas lembaran paper ini) dan Al-Syu’arah
26:197 . Dalam pengertian yang paling sempit, ulama berarti mereka yang memahami
ilmu fikih, bahkan dalam konteks masyarakat Indonesia, mereka yang mendirikan atau
mempunyai pesantren bisa pula disebut ulama (M. Shoim, 2001, p.61). Sementara itu,
James Piscatori and Dale F. Eickelman, di dalam buku “Muslim Politics”, mendefinisikan
“ulama” sebagai “mereka yang menafsir” .
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif analitis dengan
data sekunder berupa buku, artikel, jurnal, penelitian sebelumnya, dan situs Internet.
Penelitian ini menggunakan semua definisi terkait ulama dari para pemikir Islam modern.
Kedudukan ulama di dalam agama Islam berbeda dengan kedudukan para imam.
Walaupun pemikir Islam Iran, Hamid Enayat (2006, p.7), di dalam bukunya, “Modern
Islamic Political Thought” tidak menjelaskan dengan jernih perbedaan ulama dengan
imam, namun dikatakan para ulama tidak lain adalah para imam Islam yang muncul
ketika terjadi pertentangan akidah agama Islam (loc.cit., p.18).
Terkait dengan pertentangan akidah itu, para ulama besar pun memiliki gagasan
persatuan Islam Sunni-Syiah di dalam konsep “The Unity of Islam”, antara lain
Muhammad Abduh, Kubrawiyyah, Jam l ad-Dīn, Asad- b dī, Muhammad ‘Abduh,
Muhammad Rashīd Rid , Muhammad Nūrbakhsh, dan N dir Sh h. Terdapat pula para
ulama seperti Syekh Kasyiful Ghitha’, Syekh Mohammad Jawwad, Mughniyah, dan
Sayid Musa Shadr, yang telah membersihkan dunia Islam dari paham-paham yang
berseberangan dari ajaran damai Rasulullah Muhammad SAW (Syak’ah, 2008, p.244).
Tanpa mengurangi kadar sejarah untuk tidak terlalu menjelaskan bagaimana
perbedaan ulama dengan imam di dalam paper ini, penulis meyakini di dunia Islam Sunni
terdapat pula imam yang juga punya peran sebagai ulama, contohnya adalah Abū
Hanīfah, Imam M lik, Imam Sh fi’ī, dan Ibn Hanbali (Enayat, 2006, p.21), sebab
keempat orang beriman ini (semoga Allah SWT melindungi jiwa mereka) mengabdikan
hidup mereka untuk mengajarkan tauhid dan akidah agama Islam, bahkan karya-karya
400 | THE 1st UICIHSS
mereka menjadi abadi di dalam benak para pemikir Islam, serta menjadi way of life
mayoritas Islam Sunni di Indonesia.
Kedudukan ulama di dalam agama Islam juga berbeda dengan kedudukan para
cendekiawan Muslim. Apabila cendekiawan Muslim mencerahkan pemikiran orang lain
melalui nilai-nilai Islam yang damai, modern, toleran, dan nasionalis selama mereka
hidup di dunia, para ulama memegang tanggung jawab yang lebih besar. Dakwah tentang
Islam yang diajarkan para ulama akan dituntut pertanggungjawabannya, tidak hanya
selama kehidupan duniawi, tetapi juga pada saat yaumul hisab.
Apabila menafsir Surat Al-Baqarah 2:159, para ulama di akhirat nanti akan
menjadi urutan pertama di baris depan ketika umat Islam digiring ke padang arafah dan
berjalan di atas jembatan sirotul mustaqqim. Dogma tersebut tidak perlu dipertentangkan
dengan nalar-nalar ilmiah, sebab dogma tersebut pada prinsipnya ingin menunjukkan
bahwa para ulama merupakan ujung tombak agama Islam, sehingga para ulama selalu
dituntut untuk menunjukkan jalan keselamatan dan kebenaran.
Dalam kaitannya dengan peran , ulama memiliki dua peran, yakni sebagai penjaga
akidah Islam dan pengawas umat Muslim, yang harus selalu terkait Sharī’ah antara halhal devosional ritual (‘ib d t) dan terkait hubungan sosial kemasyarakatan atau hubungan
transaksi bisnis (mu’ mal t) (Enayat, 2006, p.110,118-119). Kedua peran ulama itu tidak
bisa dilepaskan dari kapasitasnya sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan dan
keistimewaannya sebagai pewaris para nabi.
ANALISIS
Sejak tahun 1700-an, ulama terlihat memegang peran strategis di antara masyarakat
Muslim, ada ulama yang juga menjadi hakim, konsultan, guru, diplomat, negosiator, dan
pejabat bank (Rahemtulla, 2007, p.16). Bahkan di Mesir antara tahun 1700-an sampai
dengan awal tahun 1800-an, ulama tidak hanya menjabat urusan administrasi, tetapi juga
mengurus pembagian uang yang adil dari umat Muslim untuk disalurkan kepada mereka
yang penghasilannya hampir tidak cukup untuk menghidupi keluarga mereka sendiri, serta
masyarakat miskin yang susah hidup atau hanya bergantung kepada amal jariyah orang
lain (loc.cit.,p.17). Sejarah India mencatat ulama juga mengelola madrasah bernama
Deoband, yang terletak di desa terpencil wilayah India utara (sekarang bernama wilayah
Uttar Pradesh) pada tahun 1867 (Zaman, 2007, p.11).
Peran ulama semakin meluas ketika masuk ke dalam ranah politik. Sejarah
mencatat ulama masuk ke ranah politik sejak tahun 1850-an, contoh di peristiwa Konsesi
Reuter 1872, pembukaan Sungai Karun 1888, dan demo Tobako 1890-1892 (Enayat, 2006,
p.239). Pada Agustus 1950, terdapat pula 150 ulama yang berkumpul di Al-Azhar, Mesir
untuk menyerukan jihad bagi umat Muslim di seluruh dunia melawan Shah Iran yang amat
pro-Israel (Enayat, 2006, p.68-69). Para ulama tinggi di Mesir sejak 1981 pada akhirnya
juga terjun ke politik (Rahemtulla, 2007, p.102) yang bertujuan mengkonter paham
sekulerisme yang sedang tumbuh-berkembang di negara itu. Ahmad Kasravī mengatakan
hanya ulama Iran yang tidak tertarik masuk politik, berbeda dengan para imam-nya
(Enayat, 2006, p.243).
THE 1st UICIHSS | 401
Tanpa bermaksud mempersingkat unsur-unsur sejarah, penulis menekankan bahwa
seorang ulama besar bernama Syekh Abdullah dari Arab Saudi pernah datang ke wilayah
Asia Tengara dan berhasil mengislamkan Raja Quwaidah di Semenanjung Melayu pada
tahun 1501 (Syak’ah, 2008, p.112). Proses Islamisasi di Asia Tenggara ini dikatakan lebih
damai, dibandingkan Timur Tengah, maka penulis menyakini bahwa masuknya ulama ke
Indonesia juga dengan cara yang damai. Sejarah Indonesia mencatat terdapat peran yang
besar dari para ulama di Aceh dan Betawi dalam mengajarkan agama Islam dan juga
menciptakan kemaslahatan umat di akar rumput.
Ulama di Aceh dipanggil dengan sebutan ”Teungku” . Menurut sebuah penelitian
tesis, ulama Aceh pernah berperan penting di dalam program lingkungan hidup
pemerintah. Adanya peran besar ulama di Aceh itu juga merupakan salah satu pilar
kehidupan masyarakat Aceh. Apabila di Aceh itu seorang ulama disebut dengan Teungku,
di kalangan masyarakat Betawi, ulama disebut dengan Habib (Derani, 2013, p.16). Di
Betawi, ulama merupakan kelompok elit yang paling dihormati. Dalam sejarah Betawi,
para ulama lah yang memberi arahan, contoh, dan keteladanan kepada masyarakat.
Berbeda dengan Jawa yang memiliki keraton, yang berperan merawat dan melestarikan
tradisi Jawa, Betawi memiliki ulama. Para ulama-lah yang membentuk dan melestarikan
nilai-nilai ke-Betawi-an (M. Syatibi AH dalam artikelnya “Islamisasi Pantai Utara Jawa:
Menelusuri Penyiaran Islam di Tanah Betawi”, p.39).
Mungkin ekslusifisme para ulama Betawi itu sama dengan para ulama di Maroko,
yang membentuk komunitas sendiri selama dua dekade lebih pada abad 20. Monopoli
pembacaan Al Quran oleh para ulama di Maroko pun mulai berkurang sejak tahun 1920-an
ketika anak-anak Maroko mulai bersekolah di sekolah-sekolah Prancis (Rahemtulla, 2007,
p.32).
Apabila para ulama Aceh dan Betawi telah memiliki peran yang signifikan di
dalam sejarah Indonesia, saat ini belum banyak ulama Indonesia yang dikenal secara luas
di dunia dan melakukan dakwah sendirian tanpa lembaga agama seperti yang dahulu
pernah dilakukan para ulama Nusantara. Namun, dunia Islam di luar sana amatlah
mengenal Majelis Ulama Indonesia.
Sebelum memberi detail apa itu MUI, bagi umat Muslim Indonesia, MUI memiliki
kapasitas merumuskan pandangan umum terkait agama Islam dalam tradisi masyarakat
Muslim melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Otoritas fatwa itu akan selalu diserahkan
kepada ulama karena merekalah yang dipandang memiliki kapasitas dalam melakukan
itjihad. Produk intelektual ulama di bidang hukum telah dijadikan sebagai legitimasi oleh
masyarakat dalam menyikapi hubungan antaragama di Indonesia.
Untuk dapat mengenal MUI dengan lebih baik, ada baiknya penulis mengutip
kembali sejarah terbentuknya MUI yang tidak terlepas daripada masa kolonial di
Indonesia. Dalam menghadapi politik pecah belah (divide et impera) pemerintah kolonial
Belanda pada masa Perang Asia Timur Raya (1941-1945), umat Islam Indonesia menjadi
terselamatkan karena para ulama dan pimpinan partai politik Islam berhasil menyatukan
wawasan gerak juangnya dalam wadah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada 21
September 1937 dengan Ketua-nya, K.H. Abdoel Wahid Hasjim yang menjadikan ulama
bersikap konsisten dalam perjuangan membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda.
402 | THE 1st UICIHSS
Pada 4 September 1942, ulama pertama kalinya diundang ke pertemuan bersama penjajah
di Jakarta untuk menghidupkan kembali MIAI yang sempat vakum, dengan ketuanya W.
Wondoamiseno, mantan pimpinan Partai Sjarikat Islam Indonesia. MIAI pun menjadi
salah satu dari tujuh pergerakan Indonesia berbasis agama Islam (Suryanegara, 2010,
p.7,10,37,38,40,47,53,161).
MIAI kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya MUI pada tanggal 26 Juli 1975
sebagai sebuah gerakan Islam untuk wadah musyawarah dan tempat berkumpul para
ulama, zu’ama, dan cendekiawan Muslim yang dianggap paling kompeten dalam
memecahkan masalah sosial keagamaan (ifat). MUI memiliki visi dan misi yang bertujuan
untuk memajukan peradaban dan mewujudkan masyarakat madani (khairal ummah) yang
menekankan nilai-nilai persamaan manusia (al-musawwa), keadilan (al-‘adalah), dan
demokrasi (asy-Syūra) (Sugiarto, 2008, p.40,41)
Penulis tidak menemukan alasan khusus tentang alasan dibalik penembatan kata
“Majelis” di dalam kata MUI, sebab kata “Majelis” itu secara terminologinya memiliki
konsekuensi untuk selalu mengemban amanah umat atau dapat dikatakan hampir setara
dengan “Majelis” di dalam MPR. Dengan demikian, MUI dapat dikatakan setingkat
dengan Dewan Penelitian Ilmiah dan Opini Legal Arab Saudi (CRLO/ Council for
Scientific Research and Legal Opinion), sebuah lembaga resmi negara Arab Saudi yang
berwenang mengeluarkan fatwa.
Di dalam konteks Indonesia, apabila membicarakan tentang MUI, akan selalu
membicarakan tentang fatwa dan apabila membicarakan fatwa, akan selalu terkait dengan
MUI, padahal secara substansinya, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa fatwa itu
harus berasal dari MUI saja. Apabila para ulama nusantara berkumpul lalu merumuskan
suatu pandangan yang baik bagi umat Muslim dan bagi Indonesia, maka dapat saja bobot
daripada keputusan itu disebut fatwa. Demikian pula apabila lembaga keagamaan lain,
misalnya para ulama NU ataupun Muhammadiyah yang berkumpul lalu menghasilkan
pandangan Islami tentang suatu isu tertentu, pandangan ini dapat juga disebut fatwa.
Kata “fatwa” sendiri berasal dari kata “al-ifta” yang secara sederhana berarti
“pembuatan keputusan”. Fatwa bukanlah keputusan hukum yang bisa dibuat seenaknya
tanpa dasar (al-tahakkum), tapi juga terkait dengan otoritas memberi fatwa (ijâjaz al-iftâ),
kode etik fatwa (adâb al-iftâ), dan metode penetapan hukum (al-istinbâth). Para ulama/
mufti (pemberi fatwa) harus memenuhi sejumlah persyaratan moral dan keilmuan (Ahmad,
2015, p.10-11).
Fatwa itu mengikat dengan sendirinya (mulzim binasih) bagi orang yang merasa
terikat dengan fatwa itu. Soal implementasinya, masyarakat punya saringan sendiri untuk
memilih mana fatwa yang akan diikuti dan mana yang tidak (Ketua Umum NU K.H. Said
Aqil Siradj yang dikutip dalam Ahmad, 2015, p.1).
MUI tidak hanya memiliki Komisi Fatwa, tetapi juga memiliki 12 Komisi lain,
termasuk Komisi Ukkuwah Islamiyah dan Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama.
Terkadang, masyarakat kurang mengenal komisi-komisi ini dan MUI hanya di-identik-kan
dengan “Cap Halal MUI”.
Sejak pendiriannya tahun 1975 hingga tahun 2009 , MUI telah mengeluarkan
delapan fatwa tentang hubungan antar-beragama. Pertama adalah fatwa tentang hubungan
THE 1st UICIHSS | 403
antara umat Muslim yang terdiri dari lima fatwa dan kedua adalah fatwa tentang hubungan
antara umat Muslim dan non-Muslim yang terdiri dari tiga fatwa.
Kelima gagasan yang akan dituangkan di dalam paper ini berbeda dengan
penelitian Hayati
yang mengatakan bahwa “Salah satu perbedaan mendasar
pemerintahaan Khulafaur Rasyidin dengan masa pemerintahan Islam dewasa ini adalah
terpisahnya pemerintah dengan ulama. Pemerintah dan ulama masing-masing berjalan
sendiri-sendiri, bahkan terkesan peran ulama sangat minim dalam rangka mengelola
kepentingan publik, seperti penanggulangan kemiskinan dan peningkatan pendidikan
masyarakat, tak terkecuali di Indonesia”, penulis justru memiliki pandangan yang
berkebalikan; bahwa di masa kini fungsi, wewenang, kedudukan, dan peran MUI amat
mengakar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, sehingga perlu ada
kajian khusus tentang peran MUI tersebut agar tetap di dalam koridor berkebangsaan dan
berkenegaraan Indonesia.
Kelima gagasan yang akan penulis sampaikan berikut ini berfokus pada
optimalisasi peran MUI, yang terdiri dari (1) Definisi dan Kewenangan MUI, (2)
Restrukturisasi Organisasi MUI, (3) Peran MUI di Dalam Sistem Pertahanan Negara
Indonesia, (4) Peran MUI di Dalam Pengentasan Kemiskinan Umat Muslim Indonesia, dan
(5) Peran MUI di Dalam Diplomasi Luar Negeri Indonesia. Penulis berharap kelima
gagasan ini akan melengkapi pemahaman pembaca yang telah lebih dahulu melakukan
kajian ilmiah tentang MUI. Berikut uraiannya.
1. Definisi dan Kewenangan MUI
Terkait dengan kapasitas keilmuannya, ulama terbagi ke dalam ulama fikih dan ulama sufi.
Ulama fikih lebih berfokus kepada kapasitas ilmu agama Islam dan ulama sufi lebih
membawa nilai-nilai Islami ke dalam spiritualitas masing-masing. Contoh ulama sufi
adalah al-Hallaj dan Ibn Arabi dan ulama fikih adalah Ibnu ‘Atha’illah. Di Indonesia,
ulama sufi lebih sedikit jumlahnya daripada ulama fikih, contoh ulama sufi yang terkenal
di Tanah Jawa adalah Syekh Siti Jenar (Ahmad, 2015, p.286).
Apabila dileburkan ke dalam kedua definisi itu, para ulama MUI dapat dikatakan
termasuk ulama fikih dan ulama sufi, sebab MUI tidak hanya dituntut untuk menjelaskan
ilmu agama Islam yang luas, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai-nilai Islam yang
damai, toleran, nasionalis, modern ke dalam fatwa-fatwa dan program-program nyatanya
bagi kemaslahatan umat, melalui program-programnya yang kreatif dan bersifat lintasiman dan lintas-spiritualitas, tanpa kekakuan keagamaan yang kuno dan tradisionil, tetapi
mampu menjadi agen-agen damai yang nyata.
Sementara itu, terkait dengan perannya di ruang publik kemaslahatan umat, ulama
terbagi ke dalam dua jenis, yakni ulama agama dan ulama politik. Hal ini amat terkait
dengan konsep kepemimpinan di dalam Sharī’ah. Di dalam Sharī’ah, terdapat dua kategori
pemimpin, yakni pemimpin yang menjelaskan abstraksi agama (ahk m-i awwaliyyah-i
haqīqiyyah) dan pemimpin yang menjelaskan bagaimana mengatur aplikasinya di dalam
dunia nyata. Ulama hanya berhak menjelaskan hal yang pertama, hal yang kedua
hendaknya dilakukan oleh pemerintah (Enayat, 2006, p.252), walaupun pada kenyataannya
di negara-negara Islam, ulama pada akhirnya pun terjun di dalam ranah politik.
404 | THE 1st UICIHSS
Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler, serta memiliki UU
Otonomi Daerah (dimana pemerintah daerah berhak mengatur enam hal, salah satunya
adalah agama), yang secara tidak langsung memberikan tempat kepada MUI untuk dapat
bergerak dengan leluasa sebagai organisasi para ulama agama dan juga ulama politik, serta
hampir dapat dipastikan MUI akan mendapat peran yang begitu luas di 34 provinsi di
Indonesia, terutama di provinsi-provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di
dalam kehidupan masa kini, para ulama MUI pun tidak dilarang mengikuti proses politik
Pemilu dan Pilkada dan mendukung calon-calon tertentu.
Peran MUI di dalam bidang agama dan politik itu hendaklah selalu selaras dengan
tujuan-tujuan pembentukan negara Indonesia, sehingga MUI amatlah berperan dalam
menjaga konsep awal Islam yang membawa nilai-nilai perdamaian, toleransi,
nasionalisme, persatuan, keadilan, demokrasi, HAM, dan apabila perlu MUI dapat
memurnikan kembali ajaran Islam agar agama Islam terlepas dari kepentingankepentingan politik praktis, ataupun hanya digunakan para politisi partai agar mendapat
simpati politik.
Dengan demikian, sama seperti para ulama Islam di seluruh dunia yang telah
mengalami jatuh bangun dengan berbagai zaman, berbagai era, dan berbagai ideologi
politik, dari mulai dominasi wahabbisme, komunisme, sosialisme, zaman kerajaan, zaman
kolonial hingga demokrasi, MUI juga telah kenyang mengalami pergantian zaman dari
mulai Orde Baru, Reformasi, Demokrasi, hingga kini, sehingga penulis amat
mengapresiasi perjalanan MUI dalam mengukir perjalanan sejarah bangsa Indonesia,
terlepas dari framing pemberitaan media dan masyarakat yang skeptis bahwa kerja MUI
hanyalah identik dengan ke-Halal-an produk makanan. MUI jelas lebih terhormat daripada
itu.
Di dalam bidang politik, MUI haruslah berhati-hati dan cerdik menilai situasi.
Sesuai dengan definisi kata ulama itu sendiri, bahwa ulama itu “mereka yang penuh akal”,
oleh sebab itu para ulama MUI dapat membagikan ilmu agama dan ilmu-ilmu lain untuk
memberi pencerahan dan dialog-dialog damai kepada para politisi agar berpolitik dengan
baik dan beretika. Masuknya MUI ke dalam proses politik bernegara Indonesia itu
bukanlah berarti MUI menjadi pengganggu keseimbangan “Trias Politica”, tetapi MUI
menjadi aktor fungsional atau aktor penengah, agar tetap bertindak sesuai kemaslahatan
umat di tengah-tengah kehidupan politik yang penuh godaan dan serba tidak pasti.
Apabila belajar dari pengalaman di Mesir (ulama amat terlibat di dalam
pemerintahan) dan pengalaman Arab Saudi (ulama dikritisi rakyat karena tidak mengenal
modernisme), maka di masa depan MUI diharapkan mampu menempatkan diri di tengahtengah umat dan negara, tidak gampang dipengaruhi aktor-aktor politik, walaupun tetap
menjalankan hak-hak politik, serta mendukung proses-proses modernisme, sembari
menjaga kekhasan Islam Indonesia, yakni Islam Nusantara, sehingga kehadiran MUI
diharapkan tidak menciptakan disparitas akidah sesama Muslim, mampu merangkul semua
warga negara yang berbeda agama atau keyakinan, dan menerbitkan pemikiran-pemikrian
yang dapat menjadi rujukan ilmiah bagi peneliti dunia tentang Islam Nusantara.
Dengan definisi dan kewenangan MUI di Indonesia yang masih dapat dikaji lebih
dalam lagi, MUI juga harus mampu menyediakan dan mempersiapkan para kader ulama
THE 1st UICIHSS | 405
MUI sejak dini untuk mengantisipasi bertumbuh-kembangnya kebutuhan-kebutuhan umat
Muslim ataupun untuk menjawab dinamika program-program kenegaraan. Apabila
menafsir Surat Ali Imran: 34 dan Az-Zukhruf: 28, maka seorang ulama haruslah keturunan
ulama juga. Namun Indonesia tidaklah seperti negara Maroko yang sempat mengalami
krisis kaderisasi ulama, sehingga tidak harus ditetapkan kebijakan bahwa anak ulama
harus jadi ulama. Indonesia memiliki kelimpahan lembaga-lembaga agama yang mampu
memproduksi kader-kader ulama yang cerdas. Walaupun belum ada lembaga resmi yang
menghitung jumlah kader pemimpin agama Islam Indonesia dan MUI sendiri tidak dapat
memberikan data yang pasti seberapa banyak persentase kader ulamanya, namun MUI saat
ini terdiri dari 73 organisasi Islam yang masing-masing organisasi itu memiliki sekolahsekolah agama, sehingga secara matematis, seharusnya MUI memiliki calon-calon ulama
Nusantara yang berlimpah.
Untuk menjadi seorang ulama MUI yang berkualitas itu sendiri juga tidak mudah,
sebab ulama itu akan selalu dituntut selalu netralitas dan obyektif dalam menyikapi
peristiwa politik, idealnya tidak berpartai, tidak mendukung politisi tertentu, ataupun
membuat pernyataan politik. Apabila MUI bisa benar-benar terlepas dari pengaruh politik,
idealnya MUI dapat bertahan hidup dari sumbangan umat dan sumbangan organisasi
anggota saja, tidak hanya suntikan dana dari pemerintah pusat yang rentan akan lobi DPR,
perubahan kekuasaan, dan arah prioritas kebijakan partai mayoritas, walaupun tidak bisa
dipungkiri bahwa di dalam proses politik, MUI bisa saja akan dilibatkan dalam hal
manajemen dana bantuan sosial. Namun maksudnya adalah tidak ada niat MUI terjun ke
politik secara total (total politics).
Karakter ulama sebagai pemimpin umat juga haruslah dapat bersikap adil, tidak
egois, tidak mementingkan golongannya, tetapi mampu mengkritik pemerintah apabila ada
kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Apabila seorang ulama MUI
karakternya sudah kuat, maka MUI dapat mengelola lebih profesional lagi propertiproperti milik umat Islam, seperti masjid, musholla, pesantren, rumah sakit, dan
universitas, sekaligus rajin membayar pajak, seperti yang dilakukan para ulama Nusantara
sejak awal; mereka dikenal sebagai cendekiawan yang berwawasan luas, kreatif, dan
produktif, serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan spirit.
Mereka adalah agen-agen perubahan. Contohnya Hamzah Fanzuri, Bukhari Al-Jauha,
Syamsudin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf Al-Singkili. Mereka tidak
hanya telah meletakkan fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberi bukti
nyata bagi perjalanan historiografi dakwah Islam di Nusantara yang menampakkan wajah
Islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal (Siradj, 2015, p.105).
Apabila ditarik ke dalam prinsip-prinsip modernisme, pemikiran-pemikiran para
ulama Nusantara tidaklah haus dimakan zaman sebab terdapat penekanan bahwa Indonesia
merupakan titik pangkal, sekaligus ujung tombak yang dapat bersanding dengan dakwah
Islam, seperti petuah K.H. Hasyim Asyari bahwa dakwah agama dan spirit nasionalisme
itu saling mendukung, ataupun kutipan pidato M. Yamin bahwa Pancasila dan Al-Qur’an
itu tidak pernah bertentangan. Oleh sebab itu, di dalam konsep Indonesia yang modern,
MUI diharapkan menjadi jembatan penenang dan arif bijaksana dalam menghadapi
ketegangan rasa saling curiga yang masih terjadi di antara masyarakat Indonesia, meredam
406 | THE 1st UICIHSS
ketakutan akan adanya kristenisasi ataupun islamisasi negara, ataupun politisasi agama
oleh para partai politik penjual surga.
Untuk memenuhi syarat-syarat menjadi ulama Nusantara itu, para ulama MUI
haruslah memahami banyak aspek kehidupan dan memperjuangkan banyak hal pula, tidak
hanya memahami agama Islam, tetapi juga menjadi rujukan pertama umat Muslim dalam
memahami, bertindak, dan bersikap terhadap isu-isu masa kini, misalnya hak politik warga
negara, hak reproduksi perempuan, hukuman mati, aborsi, mother newborn and child
health (MNCH) , isu terorisme, isu imigrasi, dan isu lingkungan hidup. Para ulama MUI
dapat mencontoh para ulama yang terkenal di dunia Islam dunia, yakni Imam Malik dan
Abu Hanifah yang selalu menimbang suatu perkara dari berbagai sudut pandang, bukan
hanya dari tekstual akidah yang sempit.
2. Restrukturisasi Organisasi MUI
Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, MUI
merupakan sebuah lembaga agama berbadan hukum, sehingga secara hukum nasional,
kedudukan MUI itu sejajar dengan lembaga-lembaga agama lainnya, seperti NU,
Muhammadiyah, dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Namun, unsur-unsur
sejarah yang telah dijelaskan sebelumnya membentuk MUI sebagai sebuah lembaga agama
istimewa yang menampilkan diri sebagai perwakilan mayoritas Islam Sunni Indonesia
yang mampu membuat fatwa dan memberikan pandangan Islami mewakili mayoritas umat
Muslim Indonesia.
Dalam hal proses lahirnya sebuah pandangan/ fatwa, MUI telah memiliki
Mekanisme Munas (Ahmad, 2015, p.85-86) dan prosedur penetapan fatwa MUI (loc.cit.,
p.161-162). Fatwa MUI itu merupakan hasil daripada Sidang Fatwa MUI, yang terdiri dari
tiga tahap; Wacana, Syara, dan Haram (Sugiarto, p.49). Di dalam negara demokrasi, fatwa
merupakan produk demokrasi karena negara mengizinkan pembelaan agama, namun
bukan berarti fatwa berada di atas hukum nasional. Fatwa merupakan pandangan hidup
MUI dan tidak mengikat umat Islam secara paksa. Musyawarah Nasional (Munas) MUI itu
juga sepatutnya dapat mencari solusi-solusi untuk menyelesaikan semua persoalan umat
dan bangsa.
MUI tidak perlu membedakan secara hierarkis para ulamanya seperti di Mesir,
namun secara idealnya, MUI secara de facto menjadi pemimpin di antara lembagalembaga Islam lainnya untuk dapat bersama-sama membela kaum les misérables dan aktif
bersama Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dalam mewujudkan perdamaian
antarumat dan toleransi antar umat beragama. Inilah restrukturisasi organisasi MUI yang
perlu dituangkan dengan jelas dan jernih ke dalam visi dan misinya, sehingga fatwa-fatwa
yang dihasilkan mencerminkan karakter ulama Nusantara dengan landasan Islam
Nusantara yang mengandung nilai-nilai perdamaian, toleran, nasionalis, dan modern.
3. Peran MUI di Dalam Sistem Pertahanan Negara Indonesia
Imam Besar Al-Azhar Kairo Shaikh Ahmad Al Tayyeb pernah mengatakan bahwa sudah
menjadi tugas semua muslim untuk melawan paham ekstremisme. Senada dengan itu, pada
tanggal 14 Agustus 2014, MUI bersama majelis agama lainnya mendeklarasikan
THE 1st UICIHSS | 407
penolakan terhadap ISIS. Hal ini amatlah baik menunjukkan peran MUI yang nyata di
dalam sistem pertahanan negara Indonesia bahwa secara lokal, MUI telah berekspresi dan
beritikad baik untuk memberantas radikalisme.
Sejatinya, para ulama MUI haruslah terbebas dari paham radikalisme dan
mendukung program-program konter-radikal pemerintah, sebab kehadiran ulama sendiri
merupakan wujud nyata Islam damai yang menolak kekerasan, terlebih berdasarkan
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 16 Desember 2003 dan Fatwa MUI No.3
Tahun 2004, dikatakan dengan jelas bahwa tindakan terorisme itu diharamkan di dalam
agama Islam.
MUI sebetulnya sudah memiliki Keputusan Komisi A Masalah Strategis
Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V
Tahun 2015 Tentang Radikalisme Agama dan Penanggulangannya (MUI, 2015, p.24-26)
yang diterapkan oleh para ulama MUI dengan membangun dialog damai dengan para
kelompok Islam yang keras. Oleh sebab itu, penulis amat mengapresiasi MUI yang selalu
turut hadir aktif terlibat di dalam sekolah toleransi beragama, ceramah, seminar, dan
konferensi ilmiah yang membawa tema Islam Nusantara, seperti yang telah digagas oleh
FKUB.
Di masa depan, optimalisasi peran para ulama MUI dapat berupa pengayaan materi
di dalam program Bela Negara Kementrian Pertahanan ataupun menjadi staf pengajar
Deradikalisasi di Universitas Pertahanan, sebab selain mengemban tugas liyatafaqqahu
fiddin, yakni menggali, merumuskan, dan mengembangkan pemikiran keagamaan, ulama
memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis yang berkaitan
dengan masalah sosial dan kebangsaan, yaitu tugas liyundziru qaumahum (membangun
masyarakat), yakni membentuk kepribadian umat Muslim (Siradj, 2015, p.8). Banyaknya
peran MUI di dalam program-program pertahanan negara tentulah wujud nyata peran
ulama dalam menjaga pemikiran umat agar senantiasa cinta negara dan cinta tanah air
yang merupakan bagian ber-iman Islam itu sendiri (hubbul wathan minal iman).
4. Peran MUI di Dalam Pengentasan Kemiskinan Umat Muslim Indonesia
Di dalam bidang ekonomi, Islam telah memiliki konsep berbagi yang dinamakan zakat
sebagai sarana merealisasikan kesejahteraan umatnya. Zakat merupakan rukun Islam yang
ketiga setelah Syahadat dan Sholat. Berkaitan dengan hal tersebut, instrument zakat perlu
dijalankan secara lebih intensif karena itu perlu adanya peran pemerintah dan ulama
(Hayati, dalam artikel “Peran Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Zakat Dalam
Rangka Usaha Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Pendidikan di Indonesia”,
p.2).
Peran MUI di dalam pengentasan kemiskinian masyarakat Muslim Indonesia dapat
dimulai dari mengatur distribusi zakat dan bersama dengan pemerintah dapat
mengupayakan beberapa hal, antara lain membuka koperasi simpan-pinjam MUI bagi
petani dengan sistem subsidi yang memungkinkan para petani dan keluarganya dapat
membayar iuran BPJS, meningkatkan proses produksi dan hasil produksi UKM dan hasil
kerajinan lokal lainnya, mengelola dana bantuan sosial dari pemerintah pusat, turut
menyumbang pembangunan fasilitas-fasilitas umum, ikut aktif terlibat di dalam kajian
408 | THE 1st UICIHSS
ilmiah mikro-ekonomi dengan universitas yang memiliki lembaga inkubasi bisnis dan
keuangan mikro, dan turut melakukan survei lapangan terkait kebutuhan hidup masyarakat
sehari-hari yang mungkin luput dari pengamatan kaum intelektualitas. Semua programprogram tersebut di dalam jangka panjang akan membantu mengentaskan kemiskinan
umat Muslim Indonesia.
5. Peran MUI di Dalam Diplomasi Luar Negeri Indonesia
Apabila MUI sudah semakin melakukan optimalisasi keempat perannya yang telah
dijelaskan sebelumnya, maka sebagai pemimpin semua organisasi Islam Indonesia, MUI
akan semakin kuat, solid, dan berpengaruh sebagai ujung tombak umat Muslim Indonesia
dalam menanggapi persoalan-persoalan dunia, sehingga mampu memberi warna bagi
diplomasi Indonesia di luar negeri.
Falsafah dasar MUI dalam urusan luar negeri tersebut adalah Pancasila yang
dilandasi dengan itikad baik para ulama MUI dan jiwa dasar organisasi MUI yang
mengandung spirit Islam Nusantara. MUI telah acapkali mengirimkan perwakilannya ke
konferensi ulama internasional dan memiliki keberpihakan politik internasional, serta
berani tampil untuk membela keberpihakannya tersebut, misalnya Ketua MUI Prof. Dr.
Din Syamsuddin pernah menjadi salah satu pembicara kunci sebuah konferensi
internasional tentang kemerdekaan Palestina di Kantor Muhammadiyah Tugu Tani pada
tahun 2013. Melalui modal sejarahnya yang besar dan para ulamanya yang dihormati dan
dipercayai rakyat Muslim Indonesia, MUI dapat berperan lebih banyak lagi, misalnya aktif
menjadi penentu arah program-program prioritas OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan
menjadi inisiator pembentukan organisai para ulama tingkat ASEAN dan Asia Pasifik.
Dengan demikian, MUI tidak hanya menjadi sebuah lembaga Islami penghasil fatwa
ataupun organisasi Islami yang berperan secara lokal saja, tetapi menjadi suara perwakilan
umat Muslim Indonesia terhadap peristiwa-peristiwa Islami dunia dan mendukung
diplomasi Indonesia sebagai sebuah negara yang Non-Blok (bilad ‘adam al-inhiyad)
dengan ciri khas politiknya yang bebas aktif.
Demikianlah kelima gagasan yang penulis coba sampaikan kepada para ulama
MUI di dalam UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social
Sciences, 23-24 Maret 2017. Diharapkan MUI tetap dapat mewujudkan tujuan-tujuan
negara melalui pergerakan dakwah Islami-nya yang khas dan historis, yakni membawa
semangat dan spiritualitas Islam Nusantara dengan menjamin kader-kader ulama-nya
memiliki karakter para ulama Nusantara.
Dalam kaitannya dengna modernisme politik Indonesia, MUI juga perlu
memperluas kewenangannya di dalam sistem demokrasi “Trias Politica”. Para ulama MUI
tidak bisa memutuskan sebuah kebijakan politik seperti para ulama di Pakistan dan Arab
Saudi, namun juga tidak bisa hanya diakui sebagai ahli agama Islam seperti di Turki dan
Iran, sebab sejarah Indonesia memiliki sejarah hutang budi yang panjang dengan para
ulama Islam yang berkontribusi besar atas kedaulatan dan keutuhan negeri Indonesia.
KESIMPULAN
THE 1st UICIHSS | 409
Dengan demikian, peranan batas yang jelas peran ulama MUI di masa depan adalah
Trigatra dan Pancagatra NKRI itu sendiri. Para ulama MUI perlu sekali berperan di dalam
urusan politik, apabila situasi dan keadaan politik dirasakan secara umum memerlukan
kehadiran para ulama untuk tampil menenangkan umat Muslim Indonesia, yang mungkin
tidak dapat dilakukan oleh para politisi. Selain itu, di dalam melebarkan sayap
diplomasinya di luar negeri, para ulama MUI diharapkan akan selalu berada di pihak
Indonesia. Oleh sebab itu, kader-kader ulama MUI haruslah seorang Muslim yang
berpikiran maju dan modern dengan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Islam
Nusantara.
Pada akhirnya, penulis berdoa dengan sungguh, semoga MUI semakin menegakkan
nilai-nilai universal yang ada di dalam agama Islam, yakni kemerdekaan (al-hurriyah),
persamaan (al-musawah), keadilan (al-’adalah/al-qisth), dan kedamaian (al-silm) (MUI,
2006, p.753). Tambahan nilai di dalam paper ini adalah modernisme sebagai sebuah
paham yang mengakar kuat di dalam setiap peradaban, sebab inti daripada beragama
adalah menanggapi perubahan-perubahan sosial yang ada melalui pengetahuan yang luas
dan pemahaman yang benar. Apabila MUI tidak mendasarkan napas hidupnya melalui
modernisme, maka MUI hanyalah lembaga Islami yang tidak punya kekuatan dalam
mengikat umat Muslim Indonesia yang notabenenya sekarang sudah menjadi manusia
modern.
Rekomendasi-rekomendasi di dalam paper ini mungkin saja sedang diupayakan oleh
MUI dan penulis yakin MUI memiliki pemikiran-pemikiran yang jauh lebih baik, misal
saja suatu hari nanti MUI turut serta dalam pembangunan ekopesantren atau programprogram lain hasil turunan dari nilai-nilai Islam Nusantara. Akhir kata, semoga paper yang
masih banyak kekurangan ini dapat menjadi sebuah karya ilmiah yang tetap inspiratif,
segar, dan relevan dibaca oleh siapapun.
Wallâhu’l-Muwaffiq ilâ Aqwami at-Tharîq.
DAFTAR REFERENSI
Abdurrahman, M.A., Prof. Dr. M. 2015. Politik dalam Islam: Ibrah Tarikhiyah wal Ru’yah
Waqi’iyah. Majelis Ulama Indonesia.
Adams, Charles C. 1933. Islam and Modernism: A Study of the Modern Reform
Movement Inaugurated by Muhammad ‘Abduh. Kairo: The American University.
Ahmad, Rumadi. 2015. Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia: Kajian Kritis tentang
Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bruinessen, Martin van. 1990. “Indonesia’s Ulama and Politics: Caught Between
Legitimising the Status Quo And Searching for Alternatives”, Prisma — The
Indonesian Indicator (Jakarta), No. 49 (1990), 52-69.
http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/Ulama_and_politics
.htm.
Derani, Saidun. “Ulama Betawi: Perspektif Sejarah”, Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Email:
sderani@gmail.com.
410 | THE 1st UICIHSS
Dewan Syariah Nasional MUI. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Enayat, Hamid. 2006. Modern Islamic Political Thought: The Response of the Shī’ī and
Sunnī Muslims to the Twentieth Century. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Farid, Syaikh Ahmad. Biografi 60 Ulama Ahlussunnah. Bekasi: Penerbit Darul Haq.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/ Fa’idah).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7 Tahun 2010 tentang Kopi Luwak.
Hamzah. 2011. “Peranan Dakwah Para Ulama Sufi Abad ke-17 dan Abad ke-18 Masihi di
Nusantara”, Diserahkan kepada Dekan Awang Had Salleh Graduate School of Arts
and Sciences UUM College Arts and Sciences Universiti Utara Malaysia memenuhi
sebahagian daripada keperluan pengijazahan ijazah Doktor Falsafah.
Hayati, Mardhiyah. Artikel “Peran Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Zakat
Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Pendidikan di
Indonesia”. Lampung: Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan.
Hidayat, Dr. Syamsul, dkk. 2012. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis,
dan Organisatoris. Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Holtzman, Livnat. 2012. “The Dhimmi’s Question on Predetermination and the Ulama’s
Six Responses: The Dynamics of Composing Polemical Didactic Poems in Mamluk
Cairo and Damascus”, Bar-Ilan University, Middle East Documentation Center, The
University of Chicago, http://mamluk.uchicago.edu/MSR_XVI_2012_Holtzman_pp154.pdf.
Jahroni, Jajang. 2004. “Defending the Majesty of Islam: Indonesia’s Front Pembela Islam
(FPI) 1998-2003”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume
11, Number 2, 2004. Jakarta: UIN.
Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. 2010. Ulama Agents for Social
Change: Muslim Scholars Speak for Mothers Rights. Islamabad, Pakistan: Johns
Hopkins Bloomberg School of Public Health.
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2003.
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2006.
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2009.
Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tentang Masalah Strategis
Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) 2015.
Mangunjaya, Dr. Fachruddin. 2014. Ekopesantren: Bagaimana Merancang Pesantren
Ramah Lingkungan?. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Masrukhin, Mohammad Yunus. 2015. Biografi Ibn Arabi: Perjalanan Spiritual Mencari
Tuhan Bersama Para Sufi. Depok: Keira Publishing.
Nasution, Khoiruddin. Artikel “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): On Ahmadiyah”.
NU. 2010. Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Oktav. 2014. Tesis “Analisis Wacana Radikalisme dalam Situs Radikal”. Sentul, Bogor:
Universitas Pertahanan Indonesia.
THE 1st UICIHSS | 411
Rahemtulla, Shadaab H. 2007. Master Thesis “Reconceptualizing The Contemporary
Ulama: Al-Azhar, Lay Islam, and The Egyptian State in The Late Twentieth Century”,
Master of Arts, Department of History, Simon Fraser University.
Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada.
Sati, Pakih. 2013. Syarah Al-Hikam: Kalimat-Kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan
Tafsir Motivasinya. Jogjakarta: Diva Press.
Shahab, Alwi. 2002. Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi. Jakarta: Penerbit
Republika.
Shoim, M. 2001. Skripsi “Peran Ulama dalam Al-Qur’an: Sebuah Kajian Tematik”,
Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin. Jogjakarta: Institut Agama Islam Negeri
Sunan Kalijaga.
Siradj, Prof.Dr.K.H. Said Aqil. 2015. Berkah Islam Indonesia: Jalan Dakwah Rahmatan
Lil’Âlamîn. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Sugiarto, Aidi. 2008. Skripsi “Fatwa MUI tentang Bunga Bank: Studi terhadap Pandangan
Masyarakat Mlangi”, Ilmu Hukum Islam, Mu’amalah, Fakultas Syari’ah. Jogjakarta:
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2: Buku yang akan Menuntaskan
Kepenasaran Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia. Bandung: Penerbit
Salamadani.
Syak’ah, Dr.Musthafa Muhammad. 2008. Islam Tanpa Mazhab. Solo: Penerbit Tiga
Serangkai.
Syatibi AH., M. Artikel “Islamisasi Pantai Utara Jawa: Menelusuri Penyiaran Islam di
Tanah Betawi”.
Zaman, Muhammad Qasim. 2007. “The Ulama in Contemporary Islam”. United States:
Princeton University Press.
www.jil.or.id
www.mui.or.id
www.nu.or.id
http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=82653&lokasi=lokal
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/11/05/11/ll18kg-mui-terorisme-ituhukumnya-haram
http://www.tribunnews.com/ramadan/2010/08/21/inilah-ulama-nusantara-terkenal-didunia
http://beritasore.com/2014/01/03/indonesia-gagal-lahirkan-ulama-besar/
www.fkub.org
412 | THE 1st UICIHSS