Academia.eduAcademia.edu

Pemikiran Politik Islam Modern: Peran Majelis Ulama Indonesia

Paper ilmiah ini ditulis untuk diikutsertakan di dalam salah satu pemaparan panel UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Paper ini bertitiktolak dari pemikiran dan nilai-nilai keteladanan Ulama Nusantara tentang perdamaian, modernisme, toleransi, dan prinsip kebangsaan sebagai inspirasi peradaban muslim dunia yang berada di dalam kerangka pemikiran politik Islam modern, sejak dunia Islam mengkaji fatwa revolusioner dari Syeikh Muhammad Abduh. Paper ini dimulai dari penjelasan sejarah tentang definisi ulama, legitimasi ulama di dalam teks Al-Qur'an, kedudukan ulama di dalam agama Islam, kewenangan dan peran ulama di masa lampau, serta problematika umum yang dihadapi para ulama. Paper ini kemudian menjelaskan secara ringkas peran para ulama Nusantara, terutama para ulama di Aceh dan Betawi dan sejarah terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah wujud kebersatuan para ulama Indonesia pada masa pra-kemerdekaan. Paper ini berusaha mengkaji MUI secara ilmiah yang dimulai dengan pemberitaan MUI yang identik dengan lembaga fatwa. Setelah ditelusuri lebih lanjut, MUI memiliki modal yang besar dan cukup untuk menjadi lebih dari sekedar lembaga fatwa, tetapi sebagai sebuah organisasi Islam modern milik Indonesia yang khas dengan membawa nilai-nilai Islam Nusantara di dalam lima gagasan besar yang penulis temukan dan rangkum dari data sekunder berupa buku, artikel, jurnal, dan link Internet. Paper ini memiliki kesimpulan bahwa MUI telah memiliki kader-kader ulama Nusantara yang berusaha mewujudkan nilai-nilai Islam Nusantara ke dalam setiap pergerakan MUI baik lokal maupun internasional, walaupun program-program MUI tersebut harus lebih dioptimalkan dan lebih kreatif lagi, terutama terkait dengan warna politik NKRI yang senantiasa dinamis dan menghadapi tantangan global. Full Proceeding: http://uicihss.uhamka.ac.id/proceedings-uicihss-2017 http://uicihss.uhamka.ac.id/pemikiran-politik-islam-modern-peran-majelis-ulama-indonesia https://drive.google.com/open?id=0B-V-vumSXNylMUV0WHBVaU05dkE

Pemikiran Politik Islam Modern: Peran Majelis Ulama Indonesia Jeanne Francoise (mrfc.jen@gmail.com / www.jeannefrancoise.com) Peneliti profesional Paper ilmiah ini ditulis untuk diikutsertakan di dalam salah satu pemaparan panel UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Paper ini bertitiktolak dari pemikiran dan nilai-nilai keteladanan Ulama Nusantara tentang perdamaian, modernisme, toleransi, dan prinsip kebangsaan sebagai inspirasi peradaban muslim dunia yang berada di dalam kerangka pemikiran politik Islam modern, sejak dunia Islam mengkaji fatwa revolusioner dari Syeikh Muhammad Abduh. Paper ini dimulai dari penjelasan sejarah tentang definisi ulama, legitimasi ulama di dalam teks Al-Qur’an, kedudukan ulama di dalam agama Islam, kewenangan dan peran ulama di masa lampau, serta problematika umum yang dihadapi para ulama. Paper ini kemudian menjelaskan secara ringkas peran para ulama Nusantara, terutama para ulama di Aceh dan Betawi dan sejarah terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah wujud kebersatuan para ulama Indonesia pada masa pra-kemerdekaan. Paper ini berusaha mengkaji MUI secara ilmiah yang dimulai dengan pemberitaan MUI yang identik dengan lembaga fatwa. Setelah ditelusuri lebih lanjut, MUI memiliki modal yang besar dan cukup untuk menjadi lebih dari sekedar lembaga fatwa, tetapi sebagai sebuah organisasi Islam modern milik Indonesia yang khas dengan membawa nilai-nilai Islam Nusantara di dalam lima gagasan besar yang penulis temukan dan rangkum dari data sekunder berupa buku, artikel, jurnal, dan link Internet. Paper ini memiliki kesimpulan bahwa MUI telah memiliki kader-kader ulama Nusantara yang berusaha mewujudkan nilai-nilai Islam Nusantara ke dalam setiap pergerakan MUI baik lokal maupun internasional, walaupun program-program MUI tersebut harus lebih dioptimalkan dan lebih kreatif lagi, terutama terkait dengan warna politik NKRI yang senantiasa dinamis dan menghadapi tantangan global. Keywords: Islam, Politik Islam, Modernisme, Modern, MUI, Majelis Ulama Indonesia LATAR BELAKANG Paper ilmiah ini akan dipresentasikan di dalam UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Dua kata yang penting di dalam paper ini adalah “modern” dan “ulama”, yang akan penulis tuangkan menjadi sebuah konsep “ulama yang modern” di dalam peran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Terminologi modern yang dimaksud di dalam paper ini mengacu kepada sejarah dunia Islam Sunnī yang mencapai titik modern ketika khilafah dihapuskan berdasarkan keputusan Parlemen Nasional Turki tahun 1924 (Enayat, 2006, p.78,80), sebab banyak peristiwa-peristiwa Islami dunia yang dimulai dari titik modern ini, termasuk kritik terhadap peran ulama di dalam negara. Beberapa kajian-kajian ilmiah tentang peran ulama di dalam negara yang paling dikenal adalah pemikiran-pemikiran khūndz dih, Mīrz Husayn, dan T libov. Di negara-negara yang lebih dahulu mengenal agama Islam, terdapat revolusi terhadap peran ulama, contoh Revolusi Konstutisional Iran 1906 yang mengubah fungsi THE 1st UICIHSS | 399 ulama (Enayat, 2006, p.115-116). Di dalam sejarah pemikiran Islam modern, definisi ulama dan peran ulama dikatakan baru dikritisi sejak tahun 1970-an (Rahemtulla, 2007, p.1) karena mungkin terdapat pengamatan sejarah bahwa selama 200 tahun terakhir, fungsi dan peran ulama di dalam masyarakat melemah, hanya menjadi sekelompok “pemuka agama” saja (loc.cit., p.15). Dari gagasan-gagasan besar untuk mengkaji peran ulama itu, paper ini tidaklah bermaksud untuk menilai para ulama MUI pribadi per pribadi, sebab penulis tidak punya hak ilahi untuk itu, namun seperti Ibn Taymīyah yang menyampaikan pesan kepada ulama melalui puisi, penulis berusaha menyampaikan pemaparan lima gagasan kepada ulama MUI di dalam UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Sebelum membahas kelima gagasan kepada pada ulama MUI tersebut, berikut akan dijelaskan definisi dari kata “ulama” itu sendiri. Kata “ulama” merupakan bentuk plural dari kata singular “alim” yang artinya “orang yang berilmu”. Kata ulama tercantum sebanyak dua kali dalam Al Qur’an, yakni tertera di dalam Surat Al-Fathir 35:28 (tertera di atas lembaran paper ini) dan Al-Syu’arah 26:197 . Dalam pengertian yang paling sempit, ulama berarti mereka yang memahami ilmu fikih, bahkan dalam konteks masyarakat Indonesia, mereka yang mendirikan atau mempunyai pesantren bisa pula disebut ulama (M. Shoim, 2001, p.61). Sementara itu, James Piscatori and Dale F. Eickelman, di dalam buku “Muslim Politics”, mendefinisikan “ulama” sebagai “mereka yang menafsir” . METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat deskriptif analitis dengan data sekunder berupa buku, artikel, jurnal, penelitian sebelumnya, dan situs Internet. Penelitian ini menggunakan semua definisi terkait ulama dari para pemikir Islam modern. Kedudukan ulama di dalam agama Islam berbeda dengan kedudukan para imam. Walaupun pemikir Islam Iran, Hamid Enayat (2006, p.7), di dalam bukunya, “Modern Islamic Political Thought” tidak menjelaskan dengan jernih perbedaan ulama dengan imam, namun dikatakan para ulama tidak lain adalah para imam Islam yang muncul ketika terjadi pertentangan akidah agama Islam (loc.cit., p.18). Terkait dengan pertentangan akidah itu, para ulama besar pun memiliki gagasan persatuan Islam Sunni-Syiah di dalam konsep “The Unity of Islam”, antara lain Muhammad Abduh, Kubrawiyyah, Jam l ad-Dīn, Asad- b dī, Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rashīd Rid , Muhammad Nūrbakhsh, dan N dir Sh h. Terdapat pula para ulama seperti Syekh Kasyiful Ghitha’, Syekh Mohammad Jawwad, Mughniyah, dan Sayid Musa Shadr, yang telah membersihkan dunia Islam dari paham-paham yang berseberangan dari ajaran damai Rasulullah Muhammad SAW (Syak’ah, 2008, p.244). Tanpa mengurangi kadar sejarah untuk tidak terlalu menjelaskan bagaimana perbedaan ulama dengan imam di dalam paper ini, penulis meyakini di dunia Islam Sunni terdapat pula imam yang juga punya peran sebagai ulama, contohnya adalah Abū Hanīfah, Imam M lik, Imam Sh fi’ī, dan Ibn Hanbali (Enayat, 2006, p.21), sebab keempat orang beriman ini (semoga Allah SWT melindungi jiwa mereka) mengabdikan hidup mereka untuk mengajarkan tauhid dan akidah agama Islam, bahkan karya-karya 400 | THE 1st UICIHSS mereka menjadi abadi di dalam benak para pemikir Islam, serta menjadi way of life mayoritas Islam Sunni di Indonesia. Kedudukan ulama di dalam agama Islam juga berbeda dengan kedudukan para cendekiawan Muslim. Apabila cendekiawan Muslim mencerahkan pemikiran orang lain melalui nilai-nilai Islam yang damai, modern, toleran, dan nasionalis selama mereka hidup di dunia, para ulama memegang tanggung jawab yang lebih besar. Dakwah tentang Islam yang diajarkan para ulama akan dituntut pertanggungjawabannya, tidak hanya selama kehidupan duniawi, tetapi juga pada saat yaumul hisab. Apabila menafsir Surat Al-Baqarah 2:159, para ulama di akhirat nanti akan menjadi urutan pertama di baris depan ketika umat Islam digiring ke padang arafah dan berjalan di atas jembatan sirotul mustaqqim. Dogma tersebut tidak perlu dipertentangkan dengan nalar-nalar ilmiah, sebab dogma tersebut pada prinsipnya ingin menunjukkan bahwa para ulama merupakan ujung tombak agama Islam, sehingga para ulama selalu dituntut untuk menunjukkan jalan keselamatan dan kebenaran. Dalam kaitannya dengan peran , ulama memiliki dua peran, yakni sebagai penjaga akidah Islam dan pengawas umat Muslim, yang harus selalu terkait Sharī’ah antara halhal devosional ritual (‘ib d t) dan terkait hubungan sosial kemasyarakatan atau hubungan transaksi bisnis (mu’ mal t) (Enayat, 2006, p.110,118-119). Kedua peran ulama itu tidak bisa dilepaskan dari kapasitasnya sebagai pemegang otoritas ilmu pengetahuan dan keistimewaannya sebagai pewaris para nabi. ANALISIS Sejak tahun 1700-an, ulama terlihat memegang peran strategis di antara masyarakat Muslim, ada ulama yang juga menjadi hakim, konsultan, guru, diplomat, negosiator, dan pejabat bank (Rahemtulla, 2007, p.16). Bahkan di Mesir antara tahun 1700-an sampai dengan awal tahun 1800-an, ulama tidak hanya menjabat urusan administrasi, tetapi juga mengurus pembagian uang yang adil dari umat Muslim untuk disalurkan kepada mereka yang penghasilannya hampir tidak cukup untuk menghidupi keluarga mereka sendiri, serta masyarakat miskin yang susah hidup atau hanya bergantung kepada amal jariyah orang lain (loc.cit.,p.17). Sejarah India mencatat ulama juga mengelola madrasah bernama Deoband, yang terletak di desa terpencil wilayah India utara (sekarang bernama wilayah Uttar Pradesh) pada tahun 1867 (Zaman, 2007, p.11). Peran ulama semakin meluas ketika masuk ke dalam ranah politik. Sejarah mencatat ulama masuk ke ranah politik sejak tahun 1850-an, contoh di peristiwa Konsesi Reuter 1872, pembukaan Sungai Karun 1888, dan demo Tobako 1890-1892 (Enayat, 2006, p.239). Pada Agustus 1950, terdapat pula 150 ulama yang berkumpul di Al-Azhar, Mesir untuk menyerukan jihad bagi umat Muslim di seluruh dunia melawan Shah Iran yang amat pro-Israel (Enayat, 2006, p.68-69). Para ulama tinggi di Mesir sejak 1981 pada akhirnya juga terjun ke politik (Rahemtulla, 2007, p.102) yang bertujuan mengkonter paham sekulerisme yang sedang tumbuh-berkembang di negara itu. Ahmad Kasravī mengatakan hanya ulama Iran yang tidak tertarik masuk politik, berbeda dengan para imam-nya (Enayat, 2006, p.243). THE 1st UICIHSS | 401 Tanpa bermaksud mempersingkat unsur-unsur sejarah, penulis menekankan bahwa seorang ulama besar bernama Syekh Abdullah dari Arab Saudi pernah datang ke wilayah Asia Tengara dan berhasil mengislamkan Raja Quwaidah di Semenanjung Melayu pada tahun 1501 (Syak’ah, 2008, p.112). Proses Islamisasi di Asia Tenggara ini dikatakan lebih damai, dibandingkan Timur Tengah, maka penulis menyakini bahwa masuknya ulama ke Indonesia juga dengan cara yang damai. Sejarah Indonesia mencatat terdapat peran yang besar dari para ulama di Aceh dan Betawi dalam mengajarkan agama Islam dan juga menciptakan kemaslahatan umat di akar rumput. Ulama di Aceh dipanggil dengan sebutan ”Teungku” . Menurut sebuah penelitian tesis, ulama Aceh pernah berperan penting di dalam program lingkungan hidup pemerintah. Adanya peran besar ulama di Aceh itu juga merupakan salah satu pilar kehidupan masyarakat Aceh. Apabila di Aceh itu seorang ulama disebut dengan Teungku, di kalangan masyarakat Betawi, ulama disebut dengan Habib (Derani, 2013, p.16). Di Betawi, ulama merupakan kelompok elit yang paling dihormati. Dalam sejarah Betawi, para ulama lah yang memberi arahan, contoh, dan keteladanan kepada masyarakat. Berbeda dengan Jawa yang memiliki keraton, yang berperan merawat dan melestarikan tradisi Jawa, Betawi memiliki ulama. Para ulama-lah yang membentuk dan melestarikan nilai-nilai ke-Betawi-an (M. Syatibi AH dalam artikelnya “Islamisasi Pantai Utara Jawa: Menelusuri Penyiaran Islam di Tanah Betawi”, p.39). Mungkin ekslusifisme para ulama Betawi itu sama dengan para ulama di Maroko, yang membentuk komunitas sendiri selama dua dekade lebih pada abad 20. Monopoli pembacaan Al Quran oleh para ulama di Maroko pun mulai berkurang sejak tahun 1920-an ketika anak-anak Maroko mulai bersekolah di sekolah-sekolah Prancis (Rahemtulla, 2007, p.32). Apabila para ulama Aceh dan Betawi telah memiliki peran yang signifikan di dalam sejarah Indonesia, saat ini belum banyak ulama Indonesia yang dikenal secara luas di dunia dan melakukan dakwah sendirian tanpa lembaga agama seperti yang dahulu pernah dilakukan para ulama Nusantara. Namun, dunia Islam di luar sana amatlah mengenal Majelis Ulama Indonesia. Sebelum memberi detail apa itu MUI, bagi umat Muslim Indonesia, MUI memiliki kapasitas merumuskan pandangan umum terkait agama Islam dalam tradisi masyarakat Muslim melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Otoritas fatwa itu akan selalu diserahkan kepada ulama karena merekalah yang dipandang memiliki kapasitas dalam melakukan itjihad. Produk intelektual ulama di bidang hukum telah dijadikan sebagai legitimasi oleh masyarakat dalam menyikapi hubungan antaragama di Indonesia. Untuk dapat mengenal MUI dengan lebih baik, ada baiknya penulis mengutip kembali sejarah terbentuknya MUI yang tidak terlepas daripada masa kolonial di Indonesia. Dalam menghadapi politik pecah belah (divide et impera) pemerintah kolonial Belanda pada masa Perang Asia Timur Raya (1941-1945), umat Islam Indonesia menjadi terselamatkan karena para ulama dan pimpinan partai politik Islam berhasil menyatukan wawasan gerak juangnya dalam wadah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 dengan Ketua-nya, K.H. Abdoel Wahid Hasjim yang menjadikan ulama bersikap konsisten dalam perjuangan membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. 402 | THE 1st UICIHSS Pada 4 September 1942, ulama pertama kalinya diundang ke pertemuan bersama penjajah di Jakarta untuk menghidupkan kembali MIAI yang sempat vakum, dengan ketuanya W. Wondoamiseno, mantan pimpinan Partai Sjarikat Islam Indonesia. MIAI pun menjadi salah satu dari tujuh pergerakan Indonesia berbasis agama Islam (Suryanegara, 2010, p.7,10,37,38,40,47,53,161). MIAI kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya MUI pada tanggal 26 Juli 1975 sebagai sebuah gerakan Islam untuk wadah musyawarah dan tempat berkumpul para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Muslim yang dianggap paling kompeten dalam memecahkan masalah sosial keagamaan (ifat). MUI memiliki visi dan misi yang bertujuan untuk memajukan peradaban dan mewujudkan masyarakat madani (khairal ummah) yang menekankan nilai-nilai persamaan manusia (al-musawwa), keadilan (al-‘adalah), dan demokrasi (asy-Syūra) (Sugiarto, 2008, p.40,41) Penulis tidak menemukan alasan khusus tentang alasan dibalik penembatan kata “Majelis” di dalam kata MUI, sebab kata “Majelis” itu secara terminologinya memiliki konsekuensi untuk selalu mengemban amanah umat atau dapat dikatakan hampir setara dengan “Majelis” di dalam MPR. Dengan demikian, MUI dapat dikatakan setingkat dengan Dewan Penelitian Ilmiah dan Opini Legal Arab Saudi (CRLO/ Council for Scientific Research and Legal Opinion), sebuah lembaga resmi negara Arab Saudi yang berwenang mengeluarkan fatwa. Di dalam konteks Indonesia, apabila membicarakan tentang MUI, akan selalu membicarakan tentang fatwa dan apabila membicarakan fatwa, akan selalu terkait dengan MUI, padahal secara substansinya, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa fatwa itu harus berasal dari MUI saja. Apabila para ulama nusantara berkumpul lalu merumuskan suatu pandangan yang baik bagi umat Muslim dan bagi Indonesia, maka dapat saja bobot daripada keputusan itu disebut fatwa. Demikian pula apabila lembaga keagamaan lain, misalnya para ulama NU ataupun Muhammadiyah yang berkumpul lalu menghasilkan pandangan Islami tentang suatu isu tertentu, pandangan ini dapat juga disebut fatwa. Kata “fatwa” sendiri berasal dari kata “al-ifta” yang secara sederhana berarti “pembuatan keputusan”. Fatwa bukanlah keputusan hukum yang bisa dibuat seenaknya tanpa dasar (al-tahakkum), tapi juga terkait dengan otoritas memberi fatwa (ijâjaz al-iftâ), kode etik fatwa (adâb al-iftâ), dan metode penetapan hukum (al-istinbâth). Para ulama/ mufti (pemberi fatwa) harus memenuhi sejumlah persyaratan moral dan keilmuan (Ahmad, 2015, p.10-11). Fatwa itu mengikat dengan sendirinya (mulzim binasih) bagi orang yang merasa terikat dengan fatwa itu. Soal implementasinya, masyarakat punya saringan sendiri untuk memilih mana fatwa yang akan diikuti dan mana yang tidak (Ketua Umum NU K.H. Said Aqil Siradj yang dikutip dalam Ahmad, 2015, p.1). MUI tidak hanya memiliki Komisi Fatwa, tetapi juga memiliki 12 Komisi lain, termasuk Komisi Ukkuwah Islamiyah dan Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama. Terkadang, masyarakat kurang mengenal komisi-komisi ini dan MUI hanya di-identik-kan dengan “Cap Halal MUI”. Sejak pendiriannya tahun 1975 hingga tahun 2009 , MUI telah mengeluarkan delapan fatwa tentang hubungan antar-beragama. Pertama adalah fatwa tentang hubungan THE 1st UICIHSS | 403 antara umat Muslim yang terdiri dari lima fatwa dan kedua adalah fatwa tentang hubungan antara umat Muslim dan non-Muslim yang terdiri dari tiga fatwa. Kelima gagasan yang akan dituangkan di dalam paper ini berbeda dengan penelitian Hayati yang mengatakan bahwa “Salah satu perbedaan mendasar pemerintahaan Khulafaur Rasyidin dengan masa pemerintahan Islam dewasa ini adalah terpisahnya pemerintah dengan ulama. Pemerintah dan ulama masing-masing berjalan sendiri-sendiri, bahkan terkesan peran ulama sangat minim dalam rangka mengelola kepentingan publik, seperti penanggulangan kemiskinan dan peningkatan pendidikan masyarakat, tak terkecuali di Indonesia”, penulis justru memiliki pandangan yang berkebalikan; bahwa di masa kini fungsi, wewenang, kedudukan, dan peran MUI amat mengakar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, sehingga perlu ada kajian khusus tentang peran MUI tersebut agar tetap di dalam koridor berkebangsaan dan berkenegaraan Indonesia. Kelima gagasan yang akan penulis sampaikan berikut ini berfokus pada optimalisasi peran MUI, yang terdiri dari (1) Definisi dan Kewenangan MUI, (2) Restrukturisasi Organisasi MUI, (3) Peran MUI di Dalam Sistem Pertahanan Negara Indonesia, (4) Peran MUI di Dalam Pengentasan Kemiskinan Umat Muslim Indonesia, dan (5) Peran MUI di Dalam Diplomasi Luar Negeri Indonesia. Penulis berharap kelima gagasan ini akan melengkapi pemahaman pembaca yang telah lebih dahulu melakukan kajian ilmiah tentang MUI. Berikut uraiannya. 1. Definisi dan Kewenangan MUI Terkait dengan kapasitas keilmuannya, ulama terbagi ke dalam ulama fikih dan ulama sufi. Ulama fikih lebih berfokus kepada kapasitas ilmu agama Islam dan ulama sufi lebih membawa nilai-nilai Islami ke dalam spiritualitas masing-masing. Contoh ulama sufi adalah al-Hallaj dan Ibn Arabi dan ulama fikih adalah Ibnu ‘Atha’illah. Di Indonesia, ulama sufi lebih sedikit jumlahnya daripada ulama fikih, contoh ulama sufi yang terkenal di Tanah Jawa adalah Syekh Siti Jenar (Ahmad, 2015, p.286). Apabila dileburkan ke dalam kedua definisi itu, para ulama MUI dapat dikatakan termasuk ulama fikih dan ulama sufi, sebab MUI tidak hanya dituntut untuk menjelaskan ilmu agama Islam yang luas, tetapi juga mampu menginternalisasi nilai-nilai Islam yang damai, toleran, nasionalis, modern ke dalam fatwa-fatwa dan program-program nyatanya bagi kemaslahatan umat, melalui program-programnya yang kreatif dan bersifat lintasiman dan lintas-spiritualitas, tanpa kekakuan keagamaan yang kuno dan tradisionil, tetapi mampu menjadi agen-agen damai yang nyata. Sementara itu, terkait dengan perannya di ruang publik kemaslahatan umat, ulama terbagi ke dalam dua jenis, yakni ulama agama dan ulama politik. Hal ini amat terkait dengan konsep kepemimpinan di dalam Sharī’ah. Di dalam Sharī’ah, terdapat dua kategori pemimpin, yakni pemimpin yang menjelaskan abstraksi agama (ahk m-i awwaliyyah-i haqīqiyyah) dan pemimpin yang menjelaskan bagaimana mengatur aplikasinya di dalam dunia nyata. Ulama hanya berhak menjelaskan hal yang pertama, hal yang kedua hendaknya dilakukan oleh pemerintah (Enayat, 2006, p.252), walaupun pada kenyataannya di negara-negara Islam, ulama pada akhirnya pun terjun di dalam ranah politik. 404 | THE 1st UICIHSS Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula negara sekuler, serta memiliki UU Otonomi Daerah (dimana pemerintah daerah berhak mengatur enam hal, salah satunya adalah agama), yang secara tidak langsung memberikan tempat kepada MUI untuk dapat bergerak dengan leluasa sebagai organisasi para ulama agama dan juga ulama politik, serta hampir dapat dipastikan MUI akan mendapat peran yang begitu luas di 34 provinsi di Indonesia, terutama di provinsi-provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Di dalam kehidupan masa kini, para ulama MUI pun tidak dilarang mengikuti proses politik Pemilu dan Pilkada dan mendukung calon-calon tertentu. Peran MUI di dalam bidang agama dan politik itu hendaklah selalu selaras dengan tujuan-tujuan pembentukan negara Indonesia, sehingga MUI amatlah berperan dalam menjaga konsep awal Islam yang membawa nilai-nilai perdamaian, toleransi, nasionalisme, persatuan, keadilan, demokrasi, HAM, dan apabila perlu MUI dapat memurnikan kembali ajaran Islam agar agama Islam terlepas dari kepentingankepentingan politik praktis, ataupun hanya digunakan para politisi partai agar mendapat simpati politik. Dengan demikian, sama seperti para ulama Islam di seluruh dunia yang telah mengalami jatuh bangun dengan berbagai zaman, berbagai era, dan berbagai ideologi politik, dari mulai dominasi wahabbisme, komunisme, sosialisme, zaman kerajaan, zaman kolonial hingga demokrasi, MUI juga telah kenyang mengalami pergantian zaman dari mulai Orde Baru, Reformasi, Demokrasi, hingga kini, sehingga penulis amat mengapresiasi perjalanan MUI dalam mengukir perjalanan sejarah bangsa Indonesia, terlepas dari framing pemberitaan media dan masyarakat yang skeptis bahwa kerja MUI hanyalah identik dengan ke-Halal-an produk makanan. MUI jelas lebih terhormat daripada itu. Di dalam bidang politik, MUI haruslah berhati-hati dan cerdik menilai situasi. Sesuai dengan definisi kata ulama itu sendiri, bahwa ulama itu “mereka yang penuh akal”, oleh sebab itu para ulama MUI dapat membagikan ilmu agama dan ilmu-ilmu lain untuk memberi pencerahan dan dialog-dialog damai kepada para politisi agar berpolitik dengan baik dan beretika. Masuknya MUI ke dalam proses politik bernegara Indonesia itu bukanlah berarti MUI menjadi pengganggu keseimbangan “Trias Politica”, tetapi MUI menjadi aktor fungsional atau aktor penengah, agar tetap bertindak sesuai kemaslahatan umat di tengah-tengah kehidupan politik yang penuh godaan dan serba tidak pasti. Apabila belajar dari pengalaman di Mesir (ulama amat terlibat di dalam pemerintahan) dan pengalaman Arab Saudi (ulama dikritisi rakyat karena tidak mengenal modernisme), maka di masa depan MUI diharapkan mampu menempatkan diri di tengahtengah umat dan negara, tidak gampang dipengaruhi aktor-aktor politik, walaupun tetap menjalankan hak-hak politik, serta mendukung proses-proses modernisme, sembari menjaga kekhasan Islam Indonesia, yakni Islam Nusantara, sehingga kehadiran MUI diharapkan tidak menciptakan disparitas akidah sesama Muslim, mampu merangkul semua warga negara yang berbeda agama atau keyakinan, dan menerbitkan pemikiran-pemikrian yang dapat menjadi rujukan ilmiah bagi peneliti dunia tentang Islam Nusantara. Dengan definisi dan kewenangan MUI di Indonesia yang masih dapat dikaji lebih dalam lagi, MUI juga harus mampu menyediakan dan mempersiapkan para kader ulama THE 1st UICIHSS | 405 MUI sejak dini untuk mengantisipasi bertumbuh-kembangnya kebutuhan-kebutuhan umat Muslim ataupun untuk menjawab dinamika program-program kenegaraan. Apabila menafsir Surat Ali Imran: 34 dan Az-Zukhruf: 28, maka seorang ulama haruslah keturunan ulama juga. Namun Indonesia tidaklah seperti negara Maroko yang sempat mengalami krisis kaderisasi ulama, sehingga tidak harus ditetapkan kebijakan bahwa anak ulama harus jadi ulama. Indonesia memiliki kelimpahan lembaga-lembaga agama yang mampu memproduksi kader-kader ulama yang cerdas. Walaupun belum ada lembaga resmi yang menghitung jumlah kader pemimpin agama Islam Indonesia dan MUI sendiri tidak dapat memberikan data yang pasti seberapa banyak persentase kader ulamanya, namun MUI saat ini terdiri dari 73 organisasi Islam yang masing-masing organisasi itu memiliki sekolahsekolah agama, sehingga secara matematis, seharusnya MUI memiliki calon-calon ulama Nusantara yang berlimpah. Untuk menjadi seorang ulama MUI yang berkualitas itu sendiri juga tidak mudah, sebab ulama itu akan selalu dituntut selalu netralitas dan obyektif dalam menyikapi peristiwa politik, idealnya tidak berpartai, tidak mendukung politisi tertentu, ataupun membuat pernyataan politik. Apabila MUI bisa benar-benar terlepas dari pengaruh politik, idealnya MUI dapat bertahan hidup dari sumbangan umat dan sumbangan organisasi anggota saja, tidak hanya suntikan dana dari pemerintah pusat yang rentan akan lobi DPR, perubahan kekuasaan, dan arah prioritas kebijakan partai mayoritas, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam proses politik, MUI bisa saja akan dilibatkan dalam hal manajemen dana bantuan sosial. Namun maksudnya adalah tidak ada niat MUI terjun ke politik secara total (total politics). Karakter ulama sebagai pemimpin umat juga haruslah dapat bersikap adil, tidak egois, tidak mementingkan golongannya, tetapi mampu mengkritik pemerintah apabila ada kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Apabila seorang ulama MUI karakternya sudah kuat, maka MUI dapat mengelola lebih profesional lagi propertiproperti milik umat Islam, seperti masjid, musholla, pesantren, rumah sakit, dan universitas, sekaligus rajin membayar pajak, seperti yang dilakukan para ulama Nusantara sejak awal; mereka dikenal sebagai cendekiawan yang berwawasan luas, kreatif, dan produktif, serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan spirit. Mereka adalah agen-agen perubahan. Contohnya Hamzah Fanzuri, Bukhari Al-Jauha, Syamsudin Al-Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, dan Abdul Rauf Al-Singkili. Mereka tidak hanya telah meletakkan fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberi bukti nyata bagi perjalanan historiografi dakwah Islam di Nusantara yang menampakkan wajah Islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal (Siradj, 2015, p.105). Apabila ditarik ke dalam prinsip-prinsip modernisme, pemikiran-pemikiran para ulama Nusantara tidaklah haus dimakan zaman sebab terdapat penekanan bahwa Indonesia merupakan titik pangkal, sekaligus ujung tombak yang dapat bersanding dengan dakwah Islam, seperti petuah K.H. Hasyim Asyari bahwa dakwah agama dan spirit nasionalisme itu saling mendukung, ataupun kutipan pidato M. Yamin bahwa Pancasila dan Al-Qur’an itu tidak pernah bertentangan. Oleh sebab itu, di dalam konsep Indonesia yang modern, MUI diharapkan menjadi jembatan penenang dan arif bijaksana dalam menghadapi ketegangan rasa saling curiga yang masih terjadi di antara masyarakat Indonesia, meredam 406 | THE 1st UICIHSS ketakutan akan adanya kristenisasi ataupun islamisasi negara, ataupun politisasi agama oleh para partai politik penjual surga. Untuk memenuhi syarat-syarat menjadi ulama Nusantara itu, para ulama MUI haruslah memahami banyak aspek kehidupan dan memperjuangkan banyak hal pula, tidak hanya memahami agama Islam, tetapi juga menjadi rujukan pertama umat Muslim dalam memahami, bertindak, dan bersikap terhadap isu-isu masa kini, misalnya hak politik warga negara, hak reproduksi perempuan, hukuman mati, aborsi, mother newborn and child health (MNCH) , isu terorisme, isu imigrasi, dan isu lingkungan hidup. Para ulama MUI dapat mencontoh para ulama yang terkenal di dunia Islam dunia, yakni Imam Malik dan Abu Hanifah yang selalu menimbang suatu perkara dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari tekstual akidah yang sempit. 2. Restrukturisasi Organisasi MUI Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, MUI merupakan sebuah lembaga agama berbadan hukum, sehingga secara hukum nasional, kedudukan MUI itu sejajar dengan lembaga-lembaga agama lainnya, seperti NU, Muhammadiyah, dan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Namun, unsur-unsur sejarah yang telah dijelaskan sebelumnya membentuk MUI sebagai sebuah lembaga agama istimewa yang menampilkan diri sebagai perwakilan mayoritas Islam Sunni Indonesia yang mampu membuat fatwa dan memberikan pandangan Islami mewakili mayoritas umat Muslim Indonesia. Dalam hal proses lahirnya sebuah pandangan/ fatwa, MUI telah memiliki Mekanisme Munas (Ahmad, 2015, p.85-86) dan prosedur penetapan fatwa MUI (loc.cit., p.161-162). Fatwa MUI itu merupakan hasil daripada Sidang Fatwa MUI, yang terdiri dari tiga tahap; Wacana, Syara, dan Haram (Sugiarto, p.49). Di dalam negara demokrasi, fatwa merupakan produk demokrasi karena negara mengizinkan pembelaan agama, namun bukan berarti fatwa berada di atas hukum nasional. Fatwa merupakan pandangan hidup MUI dan tidak mengikat umat Islam secara paksa. Musyawarah Nasional (Munas) MUI itu juga sepatutnya dapat mencari solusi-solusi untuk menyelesaikan semua persoalan umat dan bangsa. MUI tidak perlu membedakan secara hierarkis para ulamanya seperti di Mesir, namun secara idealnya, MUI secara de facto menjadi pemimpin di antara lembagalembaga Islam lainnya untuk dapat bersama-sama membela kaum les misérables dan aktif bersama Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) dalam mewujudkan perdamaian antarumat dan toleransi antar umat beragama. Inilah restrukturisasi organisasi MUI yang perlu dituangkan dengan jelas dan jernih ke dalam visi dan misinya, sehingga fatwa-fatwa yang dihasilkan mencerminkan karakter ulama Nusantara dengan landasan Islam Nusantara yang mengandung nilai-nilai perdamaian, toleran, nasionalis, dan modern. 3. Peran MUI di Dalam Sistem Pertahanan Negara Indonesia Imam Besar Al-Azhar Kairo Shaikh Ahmad Al Tayyeb pernah mengatakan bahwa sudah menjadi tugas semua muslim untuk melawan paham ekstremisme. Senada dengan itu, pada tanggal 14 Agustus 2014, MUI bersama majelis agama lainnya mendeklarasikan THE 1st UICIHSS | 407 penolakan terhadap ISIS. Hal ini amatlah baik menunjukkan peran MUI yang nyata di dalam sistem pertahanan negara Indonesia bahwa secara lokal, MUI telah berekspresi dan beritikad baik untuk memberantas radikalisme. Sejatinya, para ulama MUI haruslah terbebas dari paham radikalisme dan mendukung program-program konter-radikal pemerintah, sebab kehadiran ulama sendiri merupakan wujud nyata Islam damai yang menolak kekerasan, terlebih berdasarkan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada 16 Desember 2003 dan Fatwa MUI No.3 Tahun 2004, dikatakan dengan jelas bahwa tindakan terorisme itu diharamkan di dalam agama Islam. MUI sebetulnya sudah memiliki Keputusan Komisi A Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tahun 2015 Tentang Radikalisme Agama dan Penanggulangannya (MUI, 2015, p.24-26) yang diterapkan oleh para ulama MUI dengan membangun dialog damai dengan para kelompok Islam yang keras. Oleh sebab itu, penulis amat mengapresiasi MUI yang selalu turut hadir aktif terlibat di dalam sekolah toleransi beragama, ceramah, seminar, dan konferensi ilmiah yang membawa tema Islam Nusantara, seperti yang telah digagas oleh FKUB. Di masa depan, optimalisasi peran para ulama MUI dapat berupa pengayaan materi di dalam program Bela Negara Kementrian Pertahanan ataupun menjadi staf pengajar Deradikalisasi di Universitas Pertahanan, sebab selain mengemban tugas liyatafaqqahu fiddin, yakni menggali, merumuskan, dan mengembangkan pemikiran keagamaan, ulama memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaan, yaitu tugas liyundziru qaumahum (membangun masyarakat), yakni membentuk kepribadian umat Muslim (Siradj, 2015, p.8). Banyaknya peran MUI di dalam program-program pertahanan negara tentulah wujud nyata peran ulama dalam menjaga pemikiran umat agar senantiasa cinta negara dan cinta tanah air yang merupakan bagian ber-iman Islam itu sendiri (hubbul wathan minal iman). 4. Peran MUI di Dalam Pengentasan Kemiskinan Umat Muslim Indonesia Di dalam bidang ekonomi, Islam telah memiliki konsep berbagi yang dinamakan zakat sebagai sarana merealisasikan kesejahteraan umatnya. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat. Berkaitan dengan hal tersebut, instrument zakat perlu dijalankan secara lebih intensif karena itu perlu adanya peran pemerintah dan ulama (Hayati, dalam artikel “Peran Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Zakat Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Pendidikan di Indonesia”, p.2). Peran MUI di dalam pengentasan kemiskinian masyarakat Muslim Indonesia dapat dimulai dari mengatur distribusi zakat dan bersama dengan pemerintah dapat mengupayakan beberapa hal, antara lain membuka koperasi simpan-pinjam MUI bagi petani dengan sistem subsidi yang memungkinkan para petani dan keluarganya dapat membayar iuran BPJS, meningkatkan proses produksi dan hasil produksi UKM dan hasil kerajinan lokal lainnya, mengelola dana bantuan sosial dari pemerintah pusat, turut menyumbang pembangunan fasilitas-fasilitas umum, ikut aktif terlibat di dalam kajian 408 | THE 1st UICIHSS ilmiah mikro-ekonomi dengan universitas yang memiliki lembaga inkubasi bisnis dan keuangan mikro, dan turut melakukan survei lapangan terkait kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari yang mungkin luput dari pengamatan kaum intelektualitas. Semua programprogram tersebut di dalam jangka panjang akan membantu mengentaskan kemiskinan umat Muslim Indonesia. 5. Peran MUI di Dalam Diplomasi Luar Negeri Indonesia Apabila MUI sudah semakin melakukan optimalisasi keempat perannya yang telah dijelaskan sebelumnya, maka sebagai pemimpin semua organisasi Islam Indonesia, MUI akan semakin kuat, solid, dan berpengaruh sebagai ujung tombak umat Muslim Indonesia dalam menanggapi persoalan-persoalan dunia, sehingga mampu memberi warna bagi diplomasi Indonesia di luar negeri. Falsafah dasar MUI dalam urusan luar negeri tersebut adalah Pancasila yang dilandasi dengan itikad baik para ulama MUI dan jiwa dasar organisasi MUI yang mengandung spirit Islam Nusantara. MUI telah acapkali mengirimkan perwakilannya ke konferensi ulama internasional dan memiliki keberpihakan politik internasional, serta berani tampil untuk membela keberpihakannya tersebut, misalnya Ketua MUI Prof. Dr. Din Syamsuddin pernah menjadi salah satu pembicara kunci sebuah konferensi internasional tentang kemerdekaan Palestina di Kantor Muhammadiyah Tugu Tani pada tahun 2013. Melalui modal sejarahnya yang besar dan para ulamanya yang dihormati dan dipercayai rakyat Muslim Indonesia, MUI dapat berperan lebih banyak lagi, misalnya aktif menjadi penentu arah program-program prioritas OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan menjadi inisiator pembentukan organisai para ulama tingkat ASEAN dan Asia Pasifik. Dengan demikian, MUI tidak hanya menjadi sebuah lembaga Islami penghasil fatwa ataupun organisasi Islami yang berperan secara lokal saja, tetapi menjadi suara perwakilan umat Muslim Indonesia terhadap peristiwa-peristiwa Islami dunia dan mendukung diplomasi Indonesia sebagai sebuah negara yang Non-Blok (bilad ‘adam al-inhiyad) dengan ciri khas politiknya yang bebas aktif. Demikianlah kelima gagasan yang penulis coba sampaikan kepada para ulama MUI di dalam UHAMKA 1st International Conference on Islamic Humanities and Social Sciences, 23-24 Maret 2017. Diharapkan MUI tetap dapat mewujudkan tujuan-tujuan negara melalui pergerakan dakwah Islami-nya yang khas dan historis, yakni membawa semangat dan spiritualitas Islam Nusantara dengan menjamin kader-kader ulama-nya memiliki karakter para ulama Nusantara. Dalam kaitannya dengna modernisme politik Indonesia, MUI juga perlu memperluas kewenangannya di dalam sistem demokrasi “Trias Politica”. Para ulama MUI tidak bisa memutuskan sebuah kebijakan politik seperti para ulama di Pakistan dan Arab Saudi, namun juga tidak bisa hanya diakui sebagai ahli agama Islam seperti di Turki dan Iran, sebab sejarah Indonesia memiliki sejarah hutang budi yang panjang dengan para ulama Islam yang berkontribusi besar atas kedaulatan dan keutuhan negeri Indonesia. KESIMPULAN THE 1st UICIHSS | 409 Dengan demikian, peranan batas yang jelas peran ulama MUI di masa depan adalah Trigatra dan Pancagatra NKRI itu sendiri. Para ulama MUI perlu sekali berperan di dalam urusan politik, apabila situasi dan keadaan politik dirasakan secara umum memerlukan kehadiran para ulama untuk tampil menenangkan umat Muslim Indonesia, yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh para politisi. Selain itu, di dalam melebarkan sayap diplomasinya di luar negeri, para ulama MUI diharapkan akan selalu berada di pihak Indonesia. Oleh sebab itu, kader-kader ulama MUI haruslah seorang Muslim yang berpikiran maju dan modern dengan nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam Islam Nusantara. Pada akhirnya, penulis berdoa dengan sungguh, semoga MUI semakin menegakkan nilai-nilai universal yang ada di dalam agama Islam, yakni kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), keadilan (al-’adalah/al-qisth), dan kedamaian (al-silm) (MUI, 2006, p.753). Tambahan nilai di dalam paper ini adalah modernisme sebagai sebuah paham yang mengakar kuat di dalam setiap peradaban, sebab inti daripada beragama adalah menanggapi perubahan-perubahan sosial yang ada melalui pengetahuan yang luas dan pemahaman yang benar. Apabila MUI tidak mendasarkan napas hidupnya melalui modernisme, maka MUI hanyalah lembaga Islami yang tidak punya kekuatan dalam mengikat umat Muslim Indonesia yang notabenenya sekarang sudah menjadi manusia modern. Rekomendasi-rekomendasi di dalam paper ini mungkin saja sedang diupayakan oleh MUI dan penulis yakin MUI memiliki pemikiran-pemikiran yang jauh lebih baik, misal saja suatu hari nanti MUI turut serta dalam pembangunan ekopesantren atau programprogram lain hasil turunan dari nilai-nilai Islam Nusantara. Akhir kata, semoga paper yang masih banyak kekurangan ini dapat menjadi sebuah karya ilmiah yang tetap inspiratif, segar, dan relevan dibaca oleh siapapun. Wallâhu’l-Muwaffiq ilâ Aqwami at-Tharîq. DAFTAR REFERENSI Abdurrahman, M.A., Prof. Dr. M. 2015. Politik dalam Islam: Ibrah Tarikhiyah wal Ru’yah Waqi’iyah. Majelis Ulama Indonesia. Adams, Charles C. 1933. Islam and Modernism: A Study of the Modern Reform Movement Inaugurated by Muhammad ‘Abduh. Kairo: The American University. Ahmad, Rumadi. 2015. Fatwa Hubungan Antaragama di Indonesia: Kajian Kritis tentang Karakteristik, Praktik, dan Implikasinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Bruinessen, Martin van. 1990. “Indonesia’s Ulama and Politics: Caught Between Legitimising the Status Quo And Searching for Alternatives”, Prisma — The Indonesian Indicator (Jakarta), No. 49 (1990), 52-69. http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/Ulama_and_politics .htm. Derani, Saidun. “Ulama Betawi: Perspektif Sejarah”, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Email: sderani@gmail.com. 410 | THE 1st UICIHSS Dewan Syariah Nasional MUI. 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Enayat, Hamid. 2006. Modern Islamic Political Thought: The Response of the Shī’ī and Sunnī Muslims to the Twentieth Century. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust. Farid, Syaikh Ahmad. Biografi 60 Ulama Ahlussunnah. Bekasi: Penerbit Darul Haq. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/ Fa’idah). Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 7 Tahun 2010 tentang Kopi Luwak. Hamzah. 2011. “Peranan Dakwah Para Ulama Sufi Abad ke-17 dan Abad ke-18 Masihi di Nusantara”, Diserahkan kepada Dekan Awang Had Salleh Graduate School of Arts and Sciences UUM College Arts and Sciences Universiti Utara Malaysia memenuhi sebahagian daripada keperluan pengijazahan ijazah Doktor Falsafah. Hayati, Mardhiyah. Artikel “Peran Pemerintah dan Ulama dalam Pengelolaan Zakat Dalam Rangka Usaha Penanggulangan Kemiskinan dan Peningkatan Pendidikan di Indonesia”. Lampung: Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan. Hidayat, Dr. Syamsul, dkk. 2012. Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis, dan Organisatoris. Surakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Dasar, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Holtzman, Livnat. 2012. “The Dhimmi’s Question on Predetermination and the Ulama’s Six Responses: The Dynamics of Composing Polemical Didactic Poems in Mamluk Cairo and Damascus”, Bar-Ilan University, Middle East Documentation Center, The University of Chicago, http://mamluk.uchicago.edu/MSR_XVI_2012_Holtzman_pp154.pdf. Jahroni, Jajang. 2004. “Defending the Majesty of Islam: Indonesia’s Front Pembela Islam (FPI) 1998-2003”, Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 11, Number 2, 2004. Jakarta: UIN. Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. 2010. Ulama Agents for Social Change: Muslim Scholars Speak for Mothers Rights. Islamabad, Pakistan: Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2003. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2006. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Pertama Tahun 2009. Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V Tentang Masalah Strategis Kebangsaan (Masail Asasiyah Wathaniyah) 2015. Mangunjaya, Dr. Fachruddin. 2014. Ekopesantren: Bagaimana Merancang Pesantren Ramah Lingkungan?. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Masrukhin, Mohammad Yunus. 2015. Biografi Ibn Arabi: Perjalanan Spiritual Mencari Tuhan Bersama Para Sufi. Depok: Keira Publishing. Nasution, Khoiruddin. Artikel “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): On Ahmadiyah”. NU. 2010. Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Oktav. 2014. Tesis “Analisis Wacana Radikalisme dalam Situs Radikal”. Sentul, Bogor: Universitas Pertahanan Indonesia. THE 1st UICIHSS | 411 Rahemtulla, Shadaab H. 2007. Master Thesis “Reconceptualizing The Contemporary Ulama: Al-Azhar, Lay Islam, and The Egyptian State in The Late Twentieth Century”, Master of Arts, Department of History, Simon Fraser University. Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada. Sati, Pakih. 2013. Syarah Al-Hikam: Kalimat-Kalimat Menakjubkan Ibnu ‘Atha’illah dan Tafsir Motivasinya. Jogjakarta: Diva Press. Shahab, Alwi. 2002. Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi. Jakarta: Penerbit Republika. Shoim, M. 2001. Skripsi “Peran Ulama dalam Al-Qur’an: Sebuah Kajian Tematik”, Jurusan Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin. Jogjakarta: Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga. Siradj, Prof.Dr.K.H. Said Aqil. 2015. Berkah Islam Indonesia: Jalan Dakwah Rahmatan Lil’Âlamîn. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sugiarto, Aidi. 2008. Skripsi “Fatwa MUI tentang Bunga Bank: Studi terhadap Pandangan Masyarakat Mlangi”, Ilmu Hukum Islam, Mu’amalah, Fakultas Syari’ah. Jogjakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah 2: Buku yang akan Menuntaskan Kepenasaran Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia. Bandung: Penerbit Salamadani. Syak’ah, Dr.Musthafa Muhammad. 2008. Islam Tanpa Mazhab. Solo: Penerbit Tiga Serangkai. Syatibi AH., M. Artikel “Islamisasi Pantai Utara Jawa: Menelusuri Penyiaran Islam di Tanah Betawi”. Zaman, Muhammad Qasim. 2007. “The Ulama in Contemporary Islam”. United States: Princeton University Press. www.jil.or.id www.mui.or.id www.nu.or.id http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=82653&lokasi=lokal http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/11/05/11/ll18kg-mui-terorisme-ituhukumnya-haram http://www.tribunnews.com/ramadan/2010/08/21/inilah-ulama-nusantara-terkenal-didunia http://beritasore.com/2014/01/03/indonesia-gagal-lahirkan-ulama-besar/ www.fkub.org 412 | THE 1st UICIHSS