WADI’AH ( TITIPAN )
ANANDA NAMIRA SUARDI
FIRDAYANTI
RIDWAN
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
nandaaanara@gmail.com
firdayantisudirman24@gmail.com
maulanamalikridwan85@gmail.com
Abstrak
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui yang namanya titipan dalam islam disebut
dengan wadi’ah. Wadi’ah yaitu titipan murni dari satu pihak kepihak lain,baik individu
maupun badan hukum.Titipan pada dasar nya merupakan akad yang bersifat sosial,dan bukan
bersifat konmersil.akad titipan ini berdiri berdasarkan kasih sayang dan tolong menolong,
sehingga tidak mengharuskan adanya imbalan dalam menjaga titipan tersebut. Namun
permasalahan wadi’ah yang biasa terjadi di masyarakat yakni,akad perjanjian yang tidak
sempurna, cara penyimpanan dan perawatan barang titipan dan ganti rugi karena rusaknya
barang titipan
Kata Kunci : Wadi’ah , Titipan , Fikih Muamalah
A. Pendahuluan
Allah menjadikan manusia sebagai mahluk sosial agar kita saling tolong menolong dalam
segala urusan dan dalam masyarakat sosial dimana kita akan saling berhubungan satu dan yang
lainnya. Manusia dituntut agar dapat mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mengandung nilai
ibadah begitu pula hendaknya dalam bermuamalah kita harus jujur, adil, dan tidak merugikan
orang lain. 1
Islam adalah agama yang sangat sempurna. sehingga bisa dikatakan adalah agama yang
bersifat universal dan komprehensif. Islam adalah Agama yang sesuai pada setiap waktu dan
tempat yang berarti mencakup seluruh aspek kehidupan baik itu dalam bermuamalah maupun
ibadah. 2
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui yang namanya titipan dalam islam disebut
dengan wadi’ah. Wadi’ah yaitu titipan murni dari satu pihak kepihak lain,baik individu maupun
badan hukum.Titipan pada dasar nya merupakan akad yang bersifat sosial,dan bukan bersifat
konmersil.akad titipan ini berdiri berdasarkan kasih sayang dan tolong menolong,sehingga
tidak mengharuskan adanya imbalan dalam menjaga titipan tersebut. Transaksi wadi’ah atau
(penitipan) ini asalnya dibolehkan yakni semua orang bebas memilih apa yang akan dilakukan
untuk menjaga harta miliknya.
Dalam kepenulisan ini bertujuan agar kita dapat lebih memahami penerapan wadi’ah sesuai
dengan amanat dalam syariat islam.
B. Pembahasan
1.
Definisi Wadi’ah
Al-wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan,
atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari aspek teknis,
wadi‟ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki. 3
1
Skripsi Mariatul Ulia, Titipan Benda Pustaka Dalam Perpektif Fiqh Muamalah thn, 2013.
2
Muhammad Syafi‟I Antonio,Bank Syari‟ah Dari Teori ke Praktek, (Jakarta:Gema Insani,2001), h.1.
3
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: EKONOSIA,
2003), h.66.
Kata wadi’ah berasal dari akar kata wada’a, sinonim dari kata taraka yang artinya
meninggalkan. Sesuatu yang dititipkan dari salah satu pihak kepada pihak lain yang memiliki
tujuan untuk dijaga keamanan serta keutuhannya ini dinamakan wadi’ah karena barang tersebut
telah ditinggalkan oleh pemiliknya kepada pihak yang dititipi.4
Adapun dalam definisi syara‟ kata wadi’ah disebutkan untuk penitipan dan untuk benda
yang dititipkan. Dan yang lebih rajih, wadi‟ah adalah akad, hanya saja kata yang lebih benar
untuk akad penitipan ini adalah al-iidaa (penitipan), bukan wadii‟ah (barang titipan).5
Ada beberapa pendapat dari para ulama, di antaranya:
a. Hanafiah: al-Wadiah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk dipeliharakan
kepada orang lain.
b. Malikiah: al-Wadiah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang lain untuk
dipeliharakan.
c. Syafi’iah: al-Wadiah adalah sesuatu harta benda yang disimpan di tempat orang lain
untuk dipeliharakan.
d. Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk memeliharanya tanpa
adanya ganti rugi.
e. Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendakinya.6
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwasanya wadi’ah merupakan suatu
kegiatan akad dari penitipan dari pihak penitip (yang memiliki barang) kepada pihak dititipkan
(yang menjaga maupun menerima titipan) dengan persyaratan yang telah disetujui oleh kedua
belah pihak.
Nur Huda,” Perubahan Akad Wadi’ah,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VI, Edisi 1, (2015), h. 129.
Wahbah Az-Zuhailii, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta:Gema Insani, 2011), jilid 5, h. 556.
6
Any Widayatsari, “Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak Ketiga Bank Syariah”
Economic: Journal of Economic and Islamic Law Vol.3 No.1 (2013) h.1.
4
5
2. Dasar Hukum Wadi’ah
Ulama fikih sependapat, bahwa wadi‟ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka
tolong menolong antara sesama manusia. Sebagai landasannya firman allah di dalam al-Quran.
اس اَ ْن تَحْ ُك ُم ْوا بِا ْلعَ ْد ِل ۗ ا َِّن
ِ ّٰللا يَأْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاْلَمٰ ٰن
ِ َّت ا ِٰلٰٓى اَ ْه ِل َه ۙا َواِذَا َحك َْمت ُ ْم بَي َْن الن
َ ۞ ا َِّن ه
ُ ّٰللا نِ ِع َّما يَ ِع
َ ّٰللا ك
س ِم ْيعً ۢا بَ ِص ْي ًرا
َ َان
َ ظ ُك ْم بِ ٖه ۗ ا َِّن ه
َه
“ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kalian
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah sebaik baik yang memberi pengajaran
kepada kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” 7
Dasar dari ijma‟, yaitu ulama sepakat diperbolehkannya wadi‟ah. Ia termasuk ibadah
sunnah. Dalam kitab Mubdi disebutkan : “ijma‟ dalam setiap masa memperbolehkan wadi‟ah.
Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi‟ah termasuk ibadah sunnah dan
menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala. 8
َ سفَ ٍر َّولَ ْم تَ ِجد ُْوا كَاتِبًا فَ ِر ٰه ٌن َّم ْقبُ ْو
ُ ضةٌ ۗفَا ِْن اَ ِم َن بَ ْع
ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْليُؤ َِد الَّذِى
َ ۞ َوا ِْن ُك ْنت ُ ْم ع َٰلى
ۗ َّ اؤت ُ ِم َن اَمانَتَ ٗه و ْليَتَّق ّٰللا ربَّ ٗه ۗ و َْل تَ ْكتُموا ال
ْ
ّٰللاُ ِب َما
َ
َ ََ ِ ه
َ
ُ
ش َها َدةَ َو َم ْن يَّ ْكت ُ ْم َها فَ ِانَّ ٗ ٰٓه ٰاثِ ٌم قَ ْلبُ ٗه ۗ َو ه
ع ِل ْي ٌم
َ تَ ْع َملُ ْو َن
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
7
8
Q.S an Nisa (4):58
Skripsi Chairul, Penitipan Barang Pusaka Di Museum Negeri Jambi Ditinjau dari Fiqh Muamalah thn.2021.
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang
yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 9
Ayat diatas mengandung makna bahwa :
1. Bolehnya mengambil jaminan barang gadai baik ketika safar maupun tidak untuk
memperkuat akad transaksi.
2. Bolehnya tidak mengambil jaminan gadai apabila kedua belah pihak merasa aman akan
pembayaran utangnya dan tidak merasa takut pengutang akan mengingkari janjinya.
3. Keharaman menyembunyikan persaksian atau bersaksi palsu karena hal itu merupakan
dosa besar sebagaimana disebutkan dalam kitab shahih.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah amanat
kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianati.” (HR. Abu Daud. Menurut Tirmidzi hadist ini Hasan, sedangkan Imam Hakim
mengkategorikan sahih).
Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah saw telah bersabda, “ Tiada kesempurnaan
iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci”. (HR.
Thabrani) 10
Ijma‟ dari para ulama islam semenjak zaman Rasulullah SAW hingga sampai sekarang
memperbolehkan adanya akad wadi’ah (titipan). Para ulama tidak ada yang melarang ataupun
mengharamkan tentang adanya akad wadi’ah. Bahkan para ulama fikih yang telah mengamati
kondisi dan keadaan para umatnya pasti akan melihat bahwa akad wadi’ah ini merupakan suatu
bentuk kebutuhan bagi mereka secara umumnya. Berdasarkan dengan kondisi yang
sebenarnya, dapat ditarik kesimpulannya bahwa akad wadi’ah merupakan suatu kebutuhan
yang umum bagi masyarakat, bahkan bisa menjadi suatu kebutuhan yang bersifat darurat. Oleh
sebab itu, hukum kebolehannya juga dikarenakan akad wadi’ah merupakan suatu kebutuhan
yang darurat bagi manusia didalam kehidupan perekonominya. 11
9
Q,S al Baqarah (2):283
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga dan Keuangan Syariah,(Yogyakarta:Ekonisia,2003,h. 66
10
11
H.M Pudjihardjo,Fikih Muamalah Ekonomi Syariah, (Malang:UB Press, 2019),h. 133.
3. Hukum Menerima Barang Titipan
a. Sunnah
Bagi seseorang yang mempercayai dirinya bahwa dia sanggup menjaga titipan,
menerima dengan niat yang tulus serta ikhlas karena Allah. Dianjurkan untuk
melakukan akad wadi’ah, karena akan menemukan pahala besar disana, berdasarkan
pada hadist. “Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong
saudaranya.” (HR. Muslim).
b. Wajib
Ketika tidak terdapat lagi seseorang yang dapat dipercaya, kecuali hanya dia satu
satunya orang yang mampu dipercayai.
c. Haram
Sekiranya dia tidak sanggup untuk menjaganya, karena seakan memperkenankan pintu
kerusakan atau hilangnya barang titipan.
d. Makruh
Menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ada rasa tidak percaya,
dikhawatirkan di kemudian hari dapat berkhianat pada barang titipan tersebut. 12
4. Rukun dan Syarat Wadi’ah
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadi’ah adalah sebagai
berikut:
a. Barang yang dititipkan,
b. Orang yang menitipkan (penitip),
c. Orang yang menerima titipan atau penerima titipan,dan
d. Ijab Qobul. 13
Aturan-aturan dan Syarat-syarat dasar Wadi‟ah sebagai berikut:
a. Penawaran (ijab)dan penerimaan (qabul): Mayoritas ahli fiqh memiliki pandangan
bahwa di dalam kontrak wadi’ah harus dilakukan penawaran dan penerimaan yang
sahih (Zakariyya Al-Ansari, Asna Al-Matalib,6/179).
12
Desminar,”Akad Wadi’ah Dalam Perspektif Fiqih Muamalah”, Jurnal Menara Ilmu Vol 13 No. 3 (2019), h.
29.
13
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah,(Jakarta: PT Grasindo, 2005), h. 20.
b. Para pihak yang berkontrak: deposan dan wali haruslah individu-individu yang
berakal sehat (Al-Qarafi, AlDzakhirah, 7/304). Mazhab hanafi memandang bahwa
mencapai usia dewasa tidak wajib, asalkan memperoleh persetujuan dari orangtua
untuk melakukan bisnis (AlKasani, Bada‟i Al-Shana‟i, 6/326). Disisi lain,
kebanyakan ahli fiqh Muslim berbagi suatu pandangan lazim bahwa para pihak yang
berkontrak harus memenuhi syarat menjadi wakil, yakni mereka haruslah individuindividu yang berakal sehat, serta mencapai usia dewasa dan memiliki intelegensi
(Al-Qarafi, Al-Dzakhirah,7/304). Para ahli fiqh juga menyampaikan bahwa siapapun
yang memenuhi syarat menjadi wakil, diperbolehkan menjadi wali, dan siapapun
yang memenuhi syarat menjadi pihak yang diwakili, juga diperbolehkan menjadi
IAH (Al-Syarqawi, Hasyiyah alSyarqawi, 3/208). Lebih jauh lagi, wali harus
memastikan kemampuan untuk memelihara simpanan tersebut. Ia harus menarik diri
dari pengambilan simpanan tersebut bila ia tidak dapat memastikan bahwa ia akan
mengembalikannya kepada IAH pada waktu yang sudah ditentukan (Zakariyya AlAnsari, Asna Al-Matalib, 6/178).
c. Harta yang disimpankan: Harta yang disimpankan harus dimiliki dan dapat
disampaikan. Jenis barang yang disimpan harus berbentuk harta yang dapat dimiliki
secara fisik. 14
Persyaratan benda yang dapat dititipkan adalah :
a. Berupa benda yang dapat disimpan.
b. Harus berupa benda yang memiliki suatu nilai dan dipandang sebagai maal.
c. Sighat merupakan ijab dan qabul, persyaratan shigat yaitu ijab yang dinyatakan
menggunakan sebuah ucapan ataupun perbuatan. Adakalanya ucapan dengan tegas
(sharih) atau dengan sindiran (kinayah). Malikiyah memaparkan untuk melafalkan
dengan sindiran (kinayah) harus disertai adanya sebuah niat 15
14
International Shari'ah Research Academy For Islamic Finance, Sistem Keuangan Islam (Jakarta:Rajawali
Pers.2015) h.320.
15
Shochrul Rohmatul,Koperasi BMT :Teori, Aplikasi dan Inovasi,( Karanganyar: CV. Inti Media Komunika,
2018), h. 123.
5. Mekanisme Wadi’ah
Dalam Islam mekanisme Wadi’ah (Titipan) dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a. Titipan Wadi’ah Yad Amanah
Secara umum wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (muwaddi‟) yang mempenya
barang/asset kepada pihak penyimpan (mustawda‟) yang diberi amanah/kepercayaan, baik
individu maupun badan hukum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan,
kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki.
Barang/aset yang dititipkan adalah sesuatu yang berharga yang dapat berupa uang, barang,
dokumen, surst berharga, atau barang berharga lainnya. Dalam konteks ini, pada dasarnya
pihak penyimpan (custodian) sebagai penerima kepercayaan (trustee) adalah yad al-amanah
„tangan amanah yang berarti bahwa ia tidak diharuskan bertanggung jawab jika sewaktu dalam
penitipan terjadi kehilangan atau kerusakan pada barang/aset titipan, selama hal ini bukan
akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang/aset
titipan. Biaya penitipan boleh dibebankan kepada pihak penitip sebagai kompensasi atas
tanggung jawab pemeliharaan.
Dengan bentuk ini, pihak penyimpan tidak boleh menggunakan atau memanfaatkan
barang/aset yang dititipkan, melainkan hanya menjaganya. Selain itu, barang/aset yang
dititipkan tidak boleh dicampuradukkan dengan barang/aset lain, melainkan harus dipisahkan
untuk masing-masing barang/aset penitip. Karena menggunakan prinsip atau bentuk yad alamanah, akad titipan seperti ini bisa disebut Wadi’ah yad Amanah.16
Wadi’ah yad amanah memiliki beberapa karakteristik, antara lain:
1) Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh
penerima titipan.
2) Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan
berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
3) Sebagai konpensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya
kepada yang menitipkan.
16
Skripsi Hidayati, Ati “ Analisis Pelaksanaan Tabungan Wadi’ah Dalam Perspektif Fatwa Dsn-Mui Nomor:
86/Dsm-Mui/Xii/2012" thn 2019 h.57.
4) Barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan 17
b. Titipan Wadi’ah Yad Dhamanah
Wadi’ah yad dhamanah yaitu suatu akad penitipan barang dimana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dan harus
bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang titipan tersebut. Dengan
demikian, wadi’ah yad dhamah ialah suatu akad penitipan barang apabila pihak penerima
titipan meskipun tanpa izin dari pemilik barang titipan boleh memanfaatkan barang titipan
tersebut dan apabila barang tersebut rusak atau hilang setelah dipakai atau dimanfaatkan oleh
pihak penerima barang titipan tersebut, maka pihak. penerima titipan tersebut harus mengganti
serta membayar biaya ganti rugi dari barang yang dimanfaatkan tersebut.18
Wadi’ah yad dhamanah memiliki karakteristik, sebagai berikut:
a. Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh orang yang
menerima titipan.
b. Karena dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima
titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada orang yang menitipkan barang
tersebut.19
6. Sebab Terputusnya Wadi’ah
Terputusnya akad wadi’ah dapat disebabkan oelh hal-hal berikut :
a. Barang titipan diambil atau dikembalikan kepada pemiliknya. Jika pemilik barang
mengambil barang yang dia titipkan atau orang yang dititipi menyerahkan kepada
pemiliknya, maka akad Wadi’ah adalah akad tidak mengikat yang berakhir dengan
diambilnya barang titipan oleh pemiliknya, atau diserahkan oleh orang yang dititipi
kepada pemiliknya.
17
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), h.283.
18
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007),h. 36.
19
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), h 284.
b. Kematian orang yang menitipkan atau orang yang dititipi barang titipan. Akad
Wadi’ah ini berakhir dengan kematian salah satu pihak pelaku akad, karena akad
tersebut berlangsung antara dua pihak yang melakukan akad.
c. Gilanya atau tidak sadarnya salah satu pihak pelaku akad. Hal ini mengakibatkan
Gilanya
berakhirnya
akad
Wadi’ah
karena
hilangnya
kecakapan untuk
membelanjakan hartanya.
d. Orang yang dititipi dilarang membelanjakan harta (mahjur) karena kedunguan, atau
orang yang dititipi dilarang membelanjakan harta karena bangkrut. Hal ini dalam
rangka untuk menjaga kemaslahatan kedua pihak.
e. Berpindahnya kepemilikan benda yang dititipkan kepada orang lain. Akad Wadi’ah
ini berakhir dengan berpindahnya kepemilikan benda yang dititipkan kepada orang
lain, baik dengan jual beli, hibah maupun yang lain. 20
7. Hikmah Wadi’ah
Hikmah dari akad wadi’ah adalah kelebihan pahala bagi orang yang melakukan dan
Allah akan menolong orang tersebut karena berkat bantuanya untuk menjaga harta orang
lain.
Adapun hikmah lain melakukan wadi’ah dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Untuk keamanan harta dari kehancuran dan kehilangan, yang disebabkan pemiliknya
tidak sanggup menjaganya.
b. Meningkatkan kemakmuran masyarakat karena titipan (wadi’ah) baik berupa uang
atau harta dapat dimanfaatkan atau digunakan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi,
yang akan memperoleh keuntungan baik pihak penitip maupun pihak penerima
titipan.
c. Terciptanya tolong-menolong dalam kebaikan dan menguntungkan.
d. Meringankan beban orang yang menitipkan barang.
e. Sebagai sarana untuk melatih orang yang dititipi. 21
20
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Abdul Hayyie al-Kattani, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani,
2011), hlm. 563.
21
Skripsi Anggraini,Destalia,”Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nasabah Terhadap Produk
Tabungan Wadi’ah”,2016 h.68.
C. Kesimpulan
Wadi’ah adalah akad perjanjian antara pemilik barang ( mudi’) dengan penerima titipan
(wadi) baik dia individu maupun badan hukum, untuk menjaga harta atau barang dari
kerusakan atau kehilangan
Tujuan wadi’ah disini adalah untuk menjaga keamanan barang dari kerusakan dan
kehilangan yang dalam hal ini saling percaya mempercayai atau bersifat amanah. Dalam hal
ini dapat diambil suatu kejelasan tentang titipan uang atau benda
Dari kegiatan wadiah dapat kita tarik kesimpulan bahwa kegiatan bermuamalah ini akan
membentuk silaturahmi persaudaraan dan menumbukan rasa percaya antar belah pihak. Dari
kegiatan ini juga kita bisa meningkatkan kejujuran dalam diri sendiri.tidak hanya itu bagi yang
melakukan wadiah dengan amanah,mendapatkan janji pahala dari Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,Muhammad Syafi’I ,Bank Syari‟ah Dari Teori ke Praktek.Jakarta:Gema Insani,2001.
Any Widayatsari, “Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak Ketiga
Bank Syariah” Economic: Journal of Economic and Islamic Law Vol.3 No.1 (2013)
h.1-21
Az-Zuhaili,Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu.Jakarta:Gema Insani, 2011.
Desminar,”Akad Wadi’ah Dalam Perspektif Fiqih Muamalah”, Jurnal Menara Ilmu Vol 13
No. 3 (2019), h.25-35
Huda,Nur,” Perubahan Akad Wadi’ah,” Jurnal Ekonomi Islam, Vol. VI, Edisi 1, (2015), h.
129-154
International Shari'ah Research Academy For Islamic Finance, Sistem Keuangan Islam .
Jakarta:Rajawali Pers.2015.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah.Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2012.
Pudjihardjo ,H.M,Fikih Muamalah Ekonomi Syariah.Malang:UB Press,2019.
Rohmatul,Shochru,Koperasi BMT :Teori, Aplikasi dan Inovasi.Karanganyar: CV. Inti Media
Komunika, 2018.
Sudarsono,Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi.Yogyakarta:
Ekonosia, 2003.
Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah.Jakarta: PT Grasindo,
2005.
Zulkifli,Sunarto, Panduan Praktis Perbankan Syariah.Jakarta: Zikrul Hakim, 2007.
https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=h_NIZz0AAAAJ
&alert_preview_top_rm=2&citation_for_view=h_NIZz0AAAAJ:u5HHmVD_uO8C