Partai Komunis Indonesia

Pasca disahkannya Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960, PKI (Partai Komunis Indonesia), gencar melakukan aksi sepihak mengambil tanah-tanah yang dimiliki oleh tuan tanah untuk diberikan kepada petani kecil. Hal itu dilandaskan pada tujuan politik PKI dan teori dari Karl Marx bahwa sumber alam tanah harus dibagikan secara merata kepada semua pihak. Aksi sepihak yang dilakukan PKI cenderung ofensif dan menimbulkan konflik antar masyarakat, terutama kyai dan santri.
Jawa Timur merupakan daerah yang sering terjadi konflik karena aksi sepihak yang berujung kekerasan, dimana pertentangan kaum santri dan komunis sangat kental terasa. Makalah ini akan memberikan penjelasan singkat akan hal itu.

Sebagai agama dengan jumlah pemeluk terbesar di indonesia, dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia, Islam pernah bersinggungan dengan ideologi marxisme. SI Merah (yang kemudian perkembang menjadi PKI) lahir dari dialektika internal Sarekat Islam maupun pemuka agama Islam di daerah-daerah, banyak yang mengamini marxisme sebagai jalan politik yang dianggap mampu mendatangkan kemerdekaan Indonesia. Islam sendiri memiliki visi yang sama dengan marxisme (ataupun varian sosialisme yang lain) karena mencita-citakan masyarakat adil makmur tanpa penghisapan antar manusia. Namun ditataran epistemologis, Islam bagaimanapun juga tidak mampu bersepakat dengan materialisme yang menjadi pandangan-dunia marxisme. Namun, perjumpaan Islam dengan gerakan kiri di Indonesia ini memberikan sebuah cara pandang unik mengenai bagaimana masyarakat Islam Indonesia mampu menuju keadilan sosial, demokrasi, dan kemoderatan.

Untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia tentunya juga tidak dapat menafikan undang2 yang masih berlaku. Sayangnya di Indonesia para pejuang HAM [terutama mengenai kasus pelanggaran HAM 65] masih sering melompati batas2 konstitusi. Memang sulit untuk tidak mencampur aduk penyebaran faham komunis dengan perjuangan menuntut Hak Asasi Manusia yg menyangkut hal tersebut. Namun batas setipis kertas tissue itu seharusnya mampu disikapi secara tak tis oleh orang2 yg memiliki kepentingan dengan penegakan HAM mengenai kasus 65.

Tanpa mempelajari bahkan menabrak konstitusi maka pergerakan mereka hanya akan menimbulkan chaos baru untuk Indonesia. Warga negara yang baik pasti memperjuangkan sesuatu untuk kemaslahatan nasional bukan golongan. Oleh karenanya konstitusi adalah hal penting untuk dpelajari, dimengerti dan disikapi sebelum mengambil langkah.

Karena siapapun yang menimbulkan kekacauan di masyarakat adalah musuh negara yang harus diperangi bersama. Berjuanglah untuk Hak Asasi Anda, namun tetap pada jalur konstitusional dan jangan menimbulkan keresahan.

Buku ini terdiri dari 13 Bab. Berisi tentang kegagalan dan kekejaman Ideologi komunis dalam memperjuangkan cita-cita mereka untuk meraih kekuasaan.

Dalam bab pertama, buku ini menjelaskan tentang jumlah korban nyawa yang dihasilkan selama Ideologi ini memimpin. Selama 74 tahun di 76 negara dunia, tidak ada institusi negara manapun yang berhasil menandingi rekor hebat Marxis-leninis-Stalin-Maois-Polpotis dalam mencabut nyawa manusia. Setelah penelitian selama 8 tahun, Rummel mendapatkan hasil yang sangat fantastis. ada 110 juta korban pembantaian yg di hasilkan oleh partai palu arit ini. Itu berarti ada 1.621.621 orang selama setahun,135.135 orang sebulan,4.504 orang perhari, 187,6 orang perjam, 3 orang permenit, 20 detik per orang. Empat algojo terbesarnya adalah Lenin sebanyak 500.000 orang 1917-1923, stalin (rusia sovyet) 46 juta orang 1925-1953, Mao Tsesung (RRC) 70 juta orang 1947-1976, Pol pot (kamboja) 2,5 juta orang,1975-1979.
Jika dibandingkan dengan korban seluruh perang dunia  dan domestik abad XX adalah 38.000.000 orang. Sedangkan korban idiologi palu arit  hampir 3 kali lipat itu, yaitu antara 100.000.000-120.000.000. sangat mengerikan manusia waras.

Baru-baru ini muncul ke permukaan, kabar bahwa Presiden Jokowi melakukan rekonsiliasi kepada korban kasus HAM yang pernah terjadi di Indonesia. Beberapa kasus seperti tragedy Trisakti, Semanggi, Petrus di Lampung, dan penumpasan PKI akan ditangani oleh tim bentukan Presiden. Bukan hal yang mudah memang melakukan rekonsiliasi terlebih lagi kasus tersebut mulai kehilangan jejak dan bukti dimata hokum. Namun Komnas HAM dan beberapa kelompok menyambut baik berita ini. Bobroknya institusi hukum dan KKN yang merajalela Pra-Orde Baru memang menjadikan Indonesia rusak seperti saat ini. Kondisi politik yang tidak karuan, ditambah banyaknya kasus korupsi dan penyelewengan kekuasaan, membutuhkan perubahan dari dalam pemerintah itu sendiri. Revolusi Mental yang digaungkan Jokowi pada masa pemerintahannya ini bukan hanya kampanye semata.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum & HAM, Luhut Pandjaitan dengan tegas menolak ide dan rencana permintaan maaf ini dengan dalih PKI adalah organisasi yang terlarang di Indonesia. Bahkan kepada pihak-pihak yang menuntut permintaan maaf, Luhut ingin adanya bukti yang sah seperti makam para korban untuk membuktikan adanya kesalahan dan kelalaian pemerintah pada saat itu. Disinilah timbul pertanyaan dari masyarakat. Kenapa pemerintah begitu bersikeras untuk menolak meminta maaf pada para korban?
Disinilah andil Mahasiswa sebagai agen perubahan untuk lebih mau bergerak untuk melihat adanya konspirasi dalam pemerintahan kita sendiri. Bukan hanya melulu dengan demo, namun dengan gerakan-gerakan seperti peluncuruan petisi dan tuntutan Mahasiswa kepada pemerintah. Bayangkan Indonesia memiliki pemerintahan yang dewasa layaknya Negara Jerman yang meminta maaf pada kaum Yahudi selepas perang dunia II, maka kepercayaan masyarakat dengan sendirinya akan tumbuh. Mungkin tidak akan langsung berdampak secara signifikan pada kondisi Negara. Namun tidak membuang asa akan terjadinya penurunan praktik KKN dan penyelewengan kekuasaan di Republik ini. Analisis ini terbukti karena melihat kondisi politik yang baik pada Negara yang terlebih dahulu menjunjung tinggi HAM layaknya Negara Eropa dan Amerika Utara. Mahasiswa sebagai kaum intelektual dengan menggandeng rakyat, bisa melakukan perubahan kepada pemerintah terlebih lagi beberapa pergantian rezim seperti Orde Lama-Orde Baru dan Orde Baru-Reformasi dilakukan oleh aksi kritis Mahasiswa. Indonesia pun akan kembali ke jalur yang benar untuk mencapai cita-cita para pendiri Bangsa, untuk menuju Indonesia sejahtera.

Bali pada tahun 1965 setelah pemerintahan dialihkuasakan nyaris mengalami perang saudara. Maka, saat itu yang digadang-gadang meredam suasana adalah pasukan RPKAD dan unit Komando Daerah Militer Brawijaya dari Surabaya tiba di Bali 1. Di Bali, sebelum peristiwa 65 bergejolak konflik antara para pendukung sistem kasta tradisional Bali melawan orang-orang yang menolak nilai-nilai tradisional itu. Ada 2 poros media saat itu, Bali Adnyana vs Surya Kantha. Bahkan, 2 poros media tersebut secara terbuka menunjukan perseteruannya. Hingga perseteruan tersebut melebur menjadi perseteruan Bali Utara VS Bali Selatan. 2 Paham-paham komunisme diterima baik oleh sebagian masyarakat Bali melalui Lekra dan empati dari simpatisan PKI membantu masyarakat Bali menghadapi Bencana Alam Gunung Agung meletus tahun 1962. Bahkan, Siswa SMP Sudah Ikut di IPPI. IPPI merupakan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia, underbow dari PKI. Mereka aktif mengikuti pidato, kesenian janger dan vokal grup. Sejalan dengan konsep kesenian dari Partai Komunis itu sendiri yaitu Lekra(Lembaga Kebudyaan Rakyat). Kader-Kader PKI di Bali memang dikenal sangat militan. Bagi PKI, orang lain terutama dari kalangan pemeluk agama Hindu yang taat dan identik dengan PNI seperti Wedastra Suyasa, Sutamba, I Nyoman Mantik, dan lainnya., adalah pihak yang kolot, ketinggalan zaman. Orang PKI selalu mengklaim dirinya sebagai simbol keintelektualan. Permusuhan antara PNI dan PKI diperuncing oleh konflik soal kepemilikan tanah garapan. Pada 1965. salah satu onderbow PKI yakni Barisan Tani Indonesia (BTI). Pada suatu suatu ketika, massa BTI melakukan aksi besar-besaran pembabatan hutan di kawasan Gunung Prapat Agung, di ujung paling barat Pulau Bali, di bagian selat Bali yang paling sempit. Hutan di satu gunung itu langsung gundul dalam satu hari. Protes pun datang dari seluruh lapisan masyarakat Bali, namun tidak ada tindakan apapun dari pemerintah.Beberapa hari setelah aksi BTI, Persatuan Tani Nasional Indonesia (Petani) yang berafiliasi dengan PNI melakukan tindakan serupa dengan merambah hutan lindung sepanjang jalan antara Cekik dan Sumber Kelampok. Ribuan orang dari berbagai ormas simpatisan PNI menebang hutan, mengubah kawasan yang tadinya padat pepohonan menjadi gundul. Gerakan pembabatan hutan besar-besaran ini merupakan aksi tandingan terhadap aksi yang dilakukan onderbow PKI.

Marak terdengar beberapa waktu terakhir mengenai polemik pemutaran kembali film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984) besutan sutradara Arifin C. Noer. Polemik yang muncul ikut membawa isu-isu seperti kekhawatiran akan kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia, substansi film yang dianggap penuh propaganda Orde Baru, “pelurusan” sejarah kejadian tersebut, hingga pada masalah haruskah pemerintah “meminta maaf” pada korban-korban penumpasan PKI pasca tragedi itu. Tahun 1926 dan 1948 menjadi lingkup temporal dua kejadian di mana kata “Maaf” dari bangsa ini kerap terlupa. Setelah pemberontakan 1926, PKI mempersulit pergerakan nasional akibat ulahnya. Sedangkan dalam pemberontakan 1948, PKI membantai bangsanya sendiri. Dalam dua kejadian getir itu tidak pernah ada kata maaf yang sempat disampaikan terbuka pada rakyat Indonesia oleh PKI. Bahkan seusai pemberontakan Madiun, PKI sempat bangkit lagi di bawah D.N. Aidit sejak 1950. Inilah bukti Indonesia telah berkali-kali bertoleransi memberi “Maaf” pada PKI.

Preman di Film dokumenter The Act of Killing, dosen pembimbing utama Dr. Hj. Nuryah Asri Sjafirah, M.Si sebagai pembimbing utama dan Gumgum Gumilar, S.Sos.,M.Si sebagai pembimbing pendamping. Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadajaran Jatinangor. Penelitian yang dilakukan penulis ini bertujuan untuk mengetahui cara Joshua Oppenheimer sebagai sutradara The Act of Killing merepresentasikan preman pada level teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Metode yang digunakan adalah kualitatif analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk. Bahan kajian yang penulis lakukan untuk penelitian kali ini adalah naskah dan gambar dalam film Jagal/ The Act of Killing yang diberlatar di Sumatera Utara khususnya di Medan, film ini juga berdurasi 2 jam 39 menit dan 41 detik. Hasil penelitian menunjukan bahwa Anwar yang menjadi pemeran utama sekaligus narasumber dalam film ini tidak berdiri sendiri, melainkan dibantu dan disempurnakan perannya oleh preman dalam menjalan kan tugasnya sebagai eksekutor pembunuh orang-orang PKI. Hal itu bukan hanya berlaku di depan kamera, bahkan pada kenyataanya Anwar memang mendapatkan bantuan dari preman. Film ini juga menjadi perjalanan emosi Anwar, ketika awal Anwar masih berbangga dan jemawa karena dirinya menjadi sosok yang ditakuti sekaligus disegani, sedikit demi sedikit berubah menjadi ketakutan dan rasa bersalah atas apa yang pernah ia perbuat. Pada level kognisi sosial, penulis bisa menyimpulkan bahwa preman mendapat kekuatan karena ada dukungan dari pemerintah berupa otoritas dan kebebasan bertindak untuk menghabisi PKI di Medan. Preman juga dijadikan alat yang dimanfaatkan pemerintah saat itu untuk memuluskan jalan pemerintah dalam menghabisi PKI. Pada konteks sosial penulis bisa melihat usaha Joshua untuk menolak lupa tragedi kemanusiaan yang memakan banyak jiwa tersebut sehingga kedepannya tidak lagi terulang genosida demi melanggengkan kekuasaan satu pihak semata.

Problem bagi saya ketika mendengar kata rekonsiliasi adalah bagaimana memahaminya secara sederhana. Pikir punya pikir, ternyata makna rekonsiliasi itu mirip dengan makna ‘baikan’ (bedakan dengan ‘balikan’). Tentu saja pemikiran sederhana ini jauh dari usaha untuk menyederhanakan keseluruhan makna dan keruwetan dari pemahaman akan rekonsiliasi itu sendiri. Tentu saja rekonsiliasi tak sesedernaha ‘baikan’. Jika sesederhana itu, pasti kita di Indonesia ini khususnya tidak butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Nyatanya, kita masih saja ruwet dengan masalah rekonsiliasi itu hingga hari ini.

Kembali lagi soal rekonsiliasi sebagai ‘baikan’ di atas. Peristiwa rekonsiliasi atau ‘baikan’ hanya mungkin terjadi ketika ada minimal dua pihak yang terlibat di dalamnya. Karena ‘baikan’ yang hanya mengandaikan satu pihak yang nyata — dalam pengertian pihak yang secara fisik dan material bisa diindrai entah dengan bantuan teknologi tertentu atau dalam arsip-arsip tertentu— hanya mungkin terjadi di dalam doa. Untuk ‘baikan’ yang demikian, bukan tempatnya tulisan ini untuk membicarakan ketulusan doa seorang yang taqwa. Hal yang penting selain pihak yang terlibat dalam peristiwa, pada ‘baikan’ juga terbersit makna perubahan kualitas yakni dari yang buruk menjadi lebih baik.

Offering important new understandings of the Indonesian independence struggle, this fine-grained study explores the international activities in the capitals of interwar Europe of the Perhimpoenan Indonesia (PI), an Indonesian nationalist student organisation based in the Netherlands. Operating in a vibrant political environment, the PI interacted with different anticolonial movements in cities across Europe. Focusing on the period between 1917 and 1931, the book follows the personal journeys of different students to cities such as Zürich, Paris, Brussels and Berlin as they established contacts, joined associations and attended international conferences. Here, the complex reality of movement building is examined, going beyond superficial suggestions of contact and collaboration.
    The study shows that the activities of the PI reverberated in the Indonesian political landscape, where the new collaborations in Europe were followed with great interest. In this way, the book offers new findings for multiple audiences – Indonesianists and scholars of anticolonial resistance alike. However, it also demonstrates that the political awakening of Indonesian elites should be understood not just as an indigenous response to Dutch rule but also as part of global anticolonial movements and struggles.

This book:
• Explores Indonesian transnational political networks in the late colonial period.
• Connects the history of Indonesian nationalism with that of anticolonial internationalism and transnational activism.
• Adds an international dimension to our understanding of the nationalist and anticolonial movement in the Netherlands Indies.