Soekarno

Buku Mustika Rasa Indonesia

Mustika Rasa merupakan pedoman untuk membuat resep makanan dengan harga terjangkau bagi masyarakat dengan tetap memenuhi dan memperhatikan standart Kesehatan, kecukupan gizi, serta berguna bagi rakyat. Resep makanan Mustika Rasa perlu disosialisakan dan dipratekkan di masyarakat, dan sekaligus sebagai Gerakan penyuluhan.

Selain itu, Mustika Rasa dapat menjadi pedoman dalam gerakan menanam tanam apa saja yang bisa di makan. Sebab dengan pedoman buku tersebut dapat diketahui kandungan kalori, protein dan lain-lainnya yang terkandung di setiap sumber pangan.

https://www.pdiperjuangan.id/detail-article/958/buku-mustika-rasa-indonesia

https://drive.google.com/file/d/1fvALvsLXMozCywbLe_sFwBoJkpBw70H4/edit

Dedication of Life Sukarno

Megawati Sukarnoputri memaknai dedication of life Sukarno sebagai regenerasi, sedangkan Sukarno sendiri mengartikannya sebagai pengabdian.

Oleh Hendri F. Isnaeni

GUBERNUR DKI Jakarta sekaligus kader PDI Perjuangan, Joko Widodo, membacakan pernyataan dedication of life Sukarno pada pembukaan Rapat Kerja Nasional III PDI Perjuangan di Ecopark Convention, Ancol (6/9).

Saya adalah manusia biasa / Saya tidak sempurna / Sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan / Hanya kebahagiaanku ialah dalam mengabdi kepada Tuhan, kepada Tanah Air, kepada bangsa / Itulah dedication of life-ku / Jiwa pengabdian inilah yang menjadi falsafah hidupku, dan menghikmati serta menjadi bekal hidup dalam seluruh gerak hidupku / Tanpa jiwa pengabdian ini saya bukan apa-apa / Akan tetapi, dengan jiwa pengabdian ini, saya merasakan hidupku bahagia dan manfaat. (Sukarno, 10 September 1966).

“Kenapa Pak Jokowi yang membaca? Karena, ya itu sebuah makna bahwa regenerasi itu berjalan dan pasti berlanjut,” kata Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, dikutip kompas.com (6/9). Mega juga mengatakan Jokowi memiliki “getaran” Sukarno. Khalayak pun menangkapnya sebagai sinyal pencalonan Jokowi sebagai calon presiden pada pemilihan umum 2014.

Bagi Sukarno, dedication of life bermakna pengabdian. Sukarno menyinggung soal dedication of life dalam beberapa kesempatan berpidato. Misalnya pidato di hadapan mahasiswa Universitas Gajah Mada di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta pada 1961 dan kontingen Indonesia yang akan mengikuti Asian Games IV di Jakarta pada 1962.

Pada pembukaan musyawarah nasional Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia (SOKSI) pada 1965, Sukarno kembali menyinggung soal dedication of life: “Saya pernah pidato terhadap olahragawan-olahragawan sebelum ada Asian Games, saya katakan: hai, engkau olahragawan-olahragawani, aku minta kepadamu agar kamu jangan ingat kepada diri sendiri saja, mencari medali untuk diri sendiri saja, tetapi carilah medali untuk bangsa Indonesia, untuk negara Indonesia. Saya minta kepadamu –kataku kepada olahragawan– agar supaya engkau mempunyai dedication of life– dedication itu artinya penyumbangan, pengabdian, life artinya hidup– hidupmu itu kau sumbangkan, kau abdikan…”

Pidato-pidato Sukarno yang menyinggung soal dedication of life punya substansi sama: mengajak segenap warga negara untuk melakukan pengabdian kepada bangsa dan negara. Dalam Warisilah Api Sumpah Pemuda: Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan Pemuda, 1961-1964, Sukarno mengatakan: “Dan aku bertanya kepadamu sekarang, saudara-saudara. Sudahkah engkau dedicate engkau punya hidup kepada something, kepada Indonesia? Dan aku bertanya bukan hanya kepada pemuda-pemuda, pemudi-pemudi saja, juga kepada para menteri yang duduk di sini, di situ, hai para menteri apa engkau sudah dedicate engkau punya hidup kepada Indonesia?”

Dalam pidatonya pada acara pemberian gelar doktor honoris causa dalam ilmu pengetahuan kemasyarakatan dari Universitas Indonesia, 2 Februari 1963, Sukarno menyatakan, “Saya dedicate saya punya hidup, I dedicate my life to what? To my country. To what? To my idealism. To what? To God, Allah Subhanahu Wataala.”

Maman S. Tegeg mengambil sepenggal dari pidato Sukarno tersebut dan menjadikannya sebuah puisi, yang dimuat dalam Puisi-puisi Revolusi Bung Karno, Volume 1.

Dedication of Life. Hanya manusia yang mempunyai / dan menyelenggarakan dedication of life / bisa menjadi manusia yang dinamis / bisa menjadi manusia yang bukan sekedar / ya, berbuat karena harus berbuat / tetapi menjadi manusia yang benar-benar manusia / manusia yang memiliki darma bakti / darma bakti bermacam-macam / darma bakti kepada tanah airnya / darma bakti kepada Tuhannya / darma bakti kepada diri sendiri.

https://historia.id/politik/articles/dedication-of-life-sukarno-P7MQD

"Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!"

Itulah sepatah kalimat yang diucapkan Sukarno, presiden pertama Republik Indo-nesia pada saat pidato terakhirnya pada hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang kedua puluh satu. "Jasmerah", singkatannya, merupakan semboyan yang mengajak kita untuk tidak melupakan apa yang sudah terjadi pada bangsa dan negara, dan menjadikannya sebagai sebuah pelajaran.

Berdasarkan kepada semboyan tersebut, kami dari subforum Sejarah & Xenology Kaskus mempersembahkan Jasmerah, sebuah majalah online yang menyorot ma-salah sejarah serta budaya Indonesia dan dunia. Jasmerah akan terbit dua bulan sekali, setiap tanggal 22 dan dapat diunduh secara gratis.

Dalam edisi pertama ini, berbarengan dengan banyak spanduk yang menyatakan bulan Juni ini adalah bulan Sukarno, kami akan mengupas sisi lain Sang Putra Fajar, di luar gonjang-ganjing kehidupan politiknya sebagai topik utama. Selain itu, kami juga akan membahas secara singkat biografi dua cendekiawan dunia, Nikola Tesla dan Al-Khawarizmi, dan kisah-kisah sejarah lainnya.

Akhir kata, kami haturkan selamat membaca, selamat mengikuti dan sampai jumpa lagi dalam edisi Jasmerah berikutnya yang akan terbit pada bulan Agustus. Semoga apa yang kami sajikan ini, berguna untuk pembaca sekalian.

what_a_joke

Ralat Edisi #01
Halaman 13 paragraf 3. Ada kalimat yang hilang/terpotong setelah kalimat "Heldy yang merasa dirinya masih terlalu muda secara halus menolak". Setelah kalimat tersebut seharusnya disambung dengan kalimat "mendengar jawaban Heldy seperti itu Bung Karno tidak marah ia hanya tersenyum".

Indonesia remains one of the few countries in the world where a significant percentage of its population still thinks positively about North Korea despite the burgeoning relationship between Indonesia and South
Korea. This phenomenon can partly be explained by looking at the
formation, strengthening, and the peak of Indonesia-North Korea relations, which took place during Indonesia’s own tumultuous period of the 1960s. In this period, Cold War politics, notably the Sino-Soviet split that led to China’s aggressive policies in East and Southeast Asia, converged with both Indonesia and North Korea’s foreign policy goals, leading to a deepening relationship between these three countries. Conversely, once these three countries—Indonesia, North Korea and China—no longer shared the same foreign policy objectives due to the dynamics of their own domestic politics, the tripartite relationship cooled, and as a result, the relationship between Indonesia and North Korea has been on the doldrums since then.

The phrase “the Chinese problem” is used to describe the fragmentation of the ethnic Chinese group from the Indonesian nation, and their subsequent discrimination . In other words, the failure for ethnic Chinese Indonesians to be accepted as ‘fully’ a part of the Indonesian imagined community- following the definition of a nation as an imagined community, provided by Anderson . Ethnic Chinese Indonesians are a minority group in Indonesia, large in number and strong in the economic and trade industries . Recorded to make up 3% of the population according to the latest 2010 census , they are not a homogenous group, as Chinese in Indonesia have historically come from diverse ethnic backgrounds including Hakka, Hokkein, Teochieu and Cantonese. The minority is also religiously diverse. However, it has become commonplace in the literature for the primary distinction to be made between totok (Chinese migrants) and pernanakan (ethnically ‘mixed’ Indonesian born) Chinese. There has existed an unshakeable tendency for discrimination towards the Chinese minority, that has manifested into violence several times since the beginning of the Suharto era. Although the Chinese have existed in Indonesia since the pre-colonial period and are in many ways another segment of the diversity that Indonesia is characterised by, there remains a distinct attitude from pribumi (indigenous Indonesians) of racialized animosity towards Chinese Indonesian groups. This was demonstrated in 2017, when huge riots occurred which resulted in the arrest of the ethnically Chinese former Jakarta governor Basuki Tjahaja Purnama (known by his Hakka nickname ‘Ahok’). This essay asks the question; What are the fundamental causes of this longstanding discrimination? The problem seems to boil down to a history of tension over several issues. Economic jealousy provides the dominant explanation, coupled with a nationalist suspicion of the peranakan as holding loyalties to China, not Indonesia. Homogenisation of peranakan and totok groups, a lack of cultural assimilation, and religious differences are also factors. All of the aforementioned causes have, at some point, been perpetuated by the actions (or inactions) of Indonesian governments. Ergo, this essay primarily uses a state centred approach, grounding its analysis in Indonesian political eras in order to better understand the history and origins of the discrimination of ethnic Chinese in Indonesia. It begins with an analysis of the colonial era at the end of the 19th century.

Soekarno
DI BAWAH BENDERA REVOLUSI JILID 2

https://drive.google.com/file/d/1GoaTa8-X0vutBvoCeaWJXTM01zS8PR_f/view?usp=drivesdk

#soekarno
#pikiransoekarno
#tulisansoekarno
#dibawahbenderarevolusi
#tokoh
#presidenri
#sejarah
#sejarahindonesia
#sejarahnusantara
#catatanindonesia
#catatannusantara

Nawaksara adalah pidato pembelaan Soekarno terhadap kasus G30S.  Akan tetapi, MPR tidak menerima pembelaan beliau walaupun beliau sudah menambahkannya dengan pelengkap nawaksara.  MPR kemudian malah memberhentikan Ir. Soekarno dari jabatan presiden dan menggantinya dengan Letnan Jendral Soeharto.

Soekarno
DI BAWAH BENDERA REVOLUSI JILID 1

https://drive.google.com/file/d/1IBSoinDq72C0XgzItDWypG6T7etzPP6o/view?usp=drivesdk

#soekarno
#pikiransoekarno
#tulisansoekarno
#dibawahbenderarevolusi
#tokoh
#presidenri
#sejarah
#sejarahindonesia
#sejarahnusantara
#catatanindonesia
#catatannusantara

https://www.instagram.com/p/CMgeWJNgXa7/

Indonesia merupakan bangsa yang tangguh semasa jaman penjajahan melanda Indonesia. Baik itu semasa pendudukan Belanda maupun masa pendudukan Jepang. Di masa pendudukan Belanda jelas terlihat kekuatan bangsa Indonesia yang dengan persenjataan seadanya dan senjata khas bambu runcingnya para pejuang bangsa bertempur habis-habisan. Terbukti dengan gugurnya para pejuang kemudian dilanjutkan dengan pejuang-pejuang muda berikutnya walaupun tetap berjatuhan korban tetapi ketangguhan bangsa Indonesia sangat menakjubkan. Hingga berakhirnya masa pendudukan Belanda dan datang bangsa jepang yang menjajah selama kurang lebih 3,5 tahun bangsa Indonesia tetap berjuang demi tanah air Indonesia. Walaupun bangsa Jepang menjajah dengan kekuatannya yang sangat besar namun rakyat Indonesia tetap bersikukuh mempertahankan tanah kelahirannya dari penjajah. Semangat terus bertempur dan pantang menyerah dari rakyat Indonesia terus nerkobar walaupun para pejuang terus berguguran. Generasi muda yang mempunyai semangat nasionalisme sangat besar selalu membangkitkan gairah berperang rakyat. Para pejuang banyak mendirikan organisasi yang menjadi wadah rakyat dalam mempertahankan harga diri dan martabat bangsa Indonesia. Banyak sekali tokoh-tokoh yang selalu berperan penting selain dengan strategi mengalahkan penjajah jug dengan dukungan motivasi semangat agar

"Kemerdekaan tidak datang ini hari atau besok pagi. Kemerdekaan hanyalah hasil suatu susunan dan usaha persatuan yang sesuatu rakyat harus kerjakan tak berhenti-hentinya dengan habis-habisan mengeluarkan keringat, membanting tulang, memeras tenaga". (Bung Karno, Indonesia Menggugat, 1930).

Menjabarkan perihal Marhaenisme. Marhaen itu bukan sekedar political theory, bukan sekedar teori politik, teori untuk mempersatukan atau untuk mencakup semua orang-orang Bangsa Indonesia melarat. Marhaenisme bukan sekedar political theory, tetapi Marhaenisme adalah teori perjuangan.

Konsepsi ini hendak menegaskan bahwa apa yang paling utama dari suatu pengetahuan, bukanlah pengetahuan itu sendiri, melainkan praktek yang didasarkan pada pengetahuan tersebut.

Bagi Bung Karno, mereka yang belajar tentang Marhaenisme, namun tidak melakukan praktek, tidak layak disebut Marhaenis. Suatu teori perjuangan adalah senjata untuk berjuang.

Kali ini saya coba akan mengulas tentang biografi Ir Soekarno, siapa yang tidak kenal dengan tokoh pemimpin no 1 di Indonesia ini, ya beliau adalah Ir Soekarno presiden pertama Republik Indonesia. Sebelumnya memang Ir Soekarno bukan seorang pebisnis, tetapi ada pelajaran dan persamaan karakter yang dapat kita ambil contoh dari beliau, yaitu proses dalam memimpin.

The history of regional sporting events in 20th century Asia yields insights into Western and Asian perspectives on what defines modern Asia, and can be read as a staging of power relations in Asia and between Asia and the West. The Far Eastern Championship Games began in 1913, and were succeeded after the Pacific War by the Asian Games. Missionary groups and colonial administrations viewed sporting success not only as a triumph of physical strength and endurance but also of moral education and social reform. Sporting competitions were to shape a "new Asian man" and later a "new Asian woman" by promoting internationalism, egalitarianism and economic progress, all serving to direct a “rising” Asia toward modernity. Over time, exactly what constituted a “rising” Asia underwent remarkable changes, ranging from the YMCA’s promotion of muscular Christianity, democratization, and the social gospel in the US-colonized Philippines to Iranian visions of recreating the Great Persian Empire.


      Based on a vast range of archival materials and spanning sixty years and three continents,Pan-Asian Sport and the Emergence of Modern Asia shows how pan-Asian sporting events helped shape anti-colonial sentiments, Asian nationalisms, and pan-Asian aspirations in places as diverse as Japan and Iran, and across the span of countries lying between them.

Sipatahoenan adalah koran berbahasa Sunda terbesar dan tersukses. Berumur lebih dari setengah abad, koran milik Paguyuban Pasundan ini memiliki spektrum pembaca yang luas dan tersebar hingga mancanegara. Koran akhirnya berhenti terbit setelah tak lagi bisa mengikuti perkembangan zamannya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan salah satu titik bagi presiden Soekarno untuk menuju suatu hegemoni politik nasional maupun internasional bagi dirinya. Meskipun sebelum dekrit ia sempat membuat suatu gebrakan dengan Konferensi Asia Afrika misalnya, namun belum begitu masif. Stabilitas politik yang pas sehingga membuat Presiden Soekarno semakin arogan dalam menentukan kebijakan, baik itu dalam negeri maupun luar negeri yakni setelah Dekrit muncul, Demokrasi terpimpin.  Indonesia meskipun sempat menjadi negara yang patut untuk diperhitungkan pada saat itu, namun keberadaannya tak luput dari bidikan kekuatan multinasional dalam usaha menggulingkan kekuasaan Soekarno. Bahwa bermula dari Dekrit 5 Juli 1959 itulah Soekarno lebih menjelma sebagai sosok pemimpin besar revolusi, sosok presiden seumur hidup dan merupakan ancaman bagi Amerika Serikat dan sekutunya karena Soekarno lebih dekat dengan PKI pada saat itu.
Komunisme dinilai oleh soekarno sebagai piranti dari revolusi itu sendiri. Tanpa adannya Komunisme, maka NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) yang merupakan cita-cita Soekarno sejak muda tidak bisa dipraktikan di Indonesia demi menunjang revolusi dan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Namun dalam hal tersebut membawa dampak yang serius, menguatnya PKI dan ormas-oramas dibawahnya membuat Militer-penggagas dan pendukung Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959- dan juga kalangan santri menjadi tidak suka dengan ulah PKI dalam mempraktikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang mentapkan suatu pembagian tanah yang sama rata, yakni land reform, reforma agraria. Reforma agraria merupakan unsur utama dalam kontroversi politik yang pahit.
Awal mula masalah yakni para petani didukung, dan banyak kasus bahkan dipimpin, oleh PKI tanpa sepengatahuan komite reforma agraria dalam proses pembagian tanah, hal inilah yang kemudian memunculkan konflik dengan pemilik tanah yang sebagian besar Kiai-Kiai desa dari golongan NU. PKI melakukan hal tersebut untuk manifestasi nyata perjuangan kelas. Selian itu banyak juga bentrok yang dilakukan oleh Militer dengan PKI, yang memang tugas militer adalah pengamanan wilayah dan PKI sering membuat keonaran, ini semakin memperuncing perselisihan antara PKI dan Militer.
Situasi tegang antara tentara dan PKI semakin memanas di tahun 1965. Banyak orang frustasi akibat memburuknya kondisi-kondisi ekonomi dan akibat kegagalan konfrontasi, mengakibatkan kemiskinan di dalam jenjang Angkatan Bersenjata yang lebih rendah, korupsi, “penyerobotan tanah oleh PKI”, dan konflik yang meningkat di antara sayap kanan tentara yang lebih berkuasa dengan organisasi-organisasi politik di pihak kiri yang meledak pada Oktober 1965 dalam peristiwa berdarah G30S. Slogan-slogan Soekarno tak mempan dengan semangat para Tentara dalam membasmi PKI sampai ke akar-akarnya. Pembantain ada dimana-mana, dari Sumatera sampai Sulawesi dan daerah timur lainnya. Korban tidak jelas berapa yang tercatat dibantai secara besar-besaran itu, namun dalam berbagai versi ada angka-angka yang pristisius, ada menyebut 76.000 jiwa, ada 500.000, 1 juta dan bahkan Sarwo Edhie Wibowo sebagai pemimpin pembantaian menyebutkan telah membantai orang PKI sebesar 3 juta. Hal inilah yang kemudian banyak disesali oleh banyak kalangan di kemduian hari. Sungguh banyak korban yang dijadikan tumbal oleh Orde Baru dalam menduduki pemerintahan. Menjadi pertanyaan sebelumnya apakah jika Presiden Soekarno tidak mengeluarkan dekritnya pada 5 Juli 1959 tidak akan terjadi peristiwa demikian? Sehingga tidak akan ada demokrasi terpimpin ataupun kekuatan PKI dan TNI semakin bergeliat saat diberlakukannya demokrasi terpimpin tersebut.  Sungguh mengapa peristiwa ini bisa terjadi? Nampaknya kita perlu menelusuri akar demi akar permasalahannya dari Indonesia masih bergulat dengan belanda di meja perundingan Konferensi Meja Bundar, kemudian saat Indonesia berbentuk RIS kemudian pemerintahan Demokrasi Liberal, Pemilu 1955, sidang kontituante dan sampai pembubaran konstituante dalam sebuah dekrit. Semua akan di lanjutkan dengan pembahasan secara rinci mengenai sepak terjang pemerintahan Soekarno dalam demokrasi terpimpin serta semakin berselisihnya PKI dengan Militer yang meletuskan G30S dan pembantaian massal 1965-1966. Jika semua ini dikaji lebih komprehensif melalui fakta demi fakta yang ditemukan, maka hal yang menjadi asumsi awal ini bisa terbukti bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah sebuah Blunder Politik dari Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan.

Artikel ini akan membahas tentang dinamika kebijakan politik mercusuar dengan Cina masa pemerintahan Soekarno. Tujuan penulisan artikel ini menekankan dampak kerja sama Cina-Indonesia di bidang ekonomi dan sosial. Dampak kerja sama yang ditimbulkan berpengaruh terhadap kondisi pembangunan di Indonesia.

Studi ini dilakukan untuk merekonstruksi pemikiran Ki Bagus dan Sukarno tentang karakter kepemimpinan. Dengan menggunakan metode sejarah pemikiran dan content analysis yang disajikan berdasarkan pola pikir sistemik, studi ini menemukan bahwa pemikiran Ki Bagus tentang pemimpin identik dengan paradigma psikologi kepemimpinan profetik (psycho-prophetic leadership). Paradigma ini menekankan pada konsep kepemimpinan moral-religius, sehingga Ki Bagus merumuskan delapan karakter mulia seorang pemimpin yang merupakan pantulan dari sifat-sifat dan nilai-nilai perjuangan para Nabi dan Rasul, serta dibangun di atas pilar Iman, Islam dan Ihsan. Berbeda dengan Ki Bagus, pemikiran Sukarno lebih identik dengan paradigma psikologi kepemimpinan politik (psycho-political leadership). Paradigma kepemimpinan rasional-politis ini digunakan Sukarno dalam merumuskan sepuluh karakter pemimpin yang diarahkan pada perubahan mental manusia Indonesia agar sesuai jiwa nasional berdasarkan amanat Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945. Dalam menjalankan kepemimpinan, Ki Bagus identik dengan tipe kharismatik-demokratik, dan Sukarno menerapkan gaya kepemimpinan kharismatik-otoriter. Sekalipun dua pahlawan nasional tersebut memiliki banyak perbedaan, tetapi Ki Bagus dan Sukarno sama-sama bercita-cita mulia, yaitu membangun dan merawat persatuan seluruh elemen bangsa.

In this paper, I introduce the concept of “anti-colonial internationalism” as the ideological source of Indonesia’s foreign policy between 1945 and 1965. Th is concept has been neglected by international relations scholars in favor of the rival idea of “liberal internationalism.” I argue that anti-colonial internationalism in Indonesia’s foreign policy has been rooted in three aspects, namely 1) decolonial thought that was developed by Indonesian anti-colonial intellectuals in early 20th century, 2) the political thoughts of nationalist leaders and debates during the state formation process in 1945, and 3) the memory of the diplomatic struggle during the revolutionary era (1945-1955). Th e inauguration of the Bandung Conference exemplifies the outreach of anti-colonial internationalism in world politics, which inspires the call for decolonization in world politics. Taking the Bandung Conference as the point of departure, this article will investigate the extent to which decolonial thought and anti-colonial nationalism works with an “internationalist” spirit in Indonesia’s foreign policy between 1945 and 1965.

Apakah gagasan soal persatuan tiga identitas ala Soekarno masih relevan dewasa ini? Saat masyarakat mengalami polarisasi yang makin curam akibat momentum pemilu, misalnya. Agama pun bisa jadi alat ampuh untuk pecah sekaligus bersatu. Bagaimana cara menggambarkan kompleksitas pemikiran Soekarno?

ABSTRAK Soekarno salah satu tokoh dari empat pendiri Republik Indonesia, pemikiran politiknya sangat luas, salah satu pemikiran politiknya tentang demokrasi yaitu demokrasi terpimpin menjadi kontroversi, mengingat di masa mudanya, Soekarno di kenal sebagai sosok pemikir politik yang sangat revolusioner, humanis dan progresif di zamannya. Sedangkan, pemikirannya tentang demokrasi terpimpin menempatkan sosoknya sebagai pemimpin yang dinilai otoriter oleh lawan-lawan politiknya. Tulisan ini merupakan studi pemikiran tentang Soekarno, khususnya pemikirannya tentang konsep demokrasi yang dia nilai sebagai konsep politik khas tradisi-budaya Indonesia. Kata kunci : Soekarno dan Demokrasi

ABSTRACT Soekarno is one of the leaders of the four founders of the Republic of Indonesia, his political thinking is very broad, one of his political thinking about democracy is guided democracy into controversy, in his youth Soekarno was known as a very revolutionary, humanist and progressive figure of political thinkers of his day. His thoughts on leading democracy put his figure as a leader judged authoritarian by his political opponents. This paper is a study of thought about Soekarno, especially his thinking about the concept of democracy which is considered as a political concept typical of Indonesian cultures.

The city’s morphology is a manifestation of politics, a stage for the history of power play, and a symbolization of ideology – in its three layers: morphologic (form, space, structure), sociologic (functions, activities, mechanisms), and spirit (meaning, philosophy, ideology).

Bandung is the best example of modern Dutch colonial town planning, urban design, and architecture in the tropics; planned as the capital of Dutch-East-Indies in 1930s; the model for other modern colonial cities in Indonesia; and best example of implementation of the Garden City concept in the tropics. It is the home of the largest collection of Art-Deco buildings in Southeast Asia and some best examples of “Indies-Tropical Style” (or “Indo-European Style” with strong Art Deco flavor) of modern Architecture in Asia.

Bandung rose onto the world stage as the venue for 1st Asia-Africa Conference and the announcement of “The Bandung Declaration” to form the Non-Aligned movement (“Non-Block” countries) in 1955.

Started from early 19th century as a colonial town – a town created out of jungle at the middle of “Grootepostweg”
by Daendels – as an administrative centre of plantations in Priangan highland region; it was soon growing into a pleasure haven for the European planters, a fast growing town of opportunities for the Chinese entrepreneurs, and a increasingly marginalized native kampong enclaves. At the peak of colonial period in 1920s, the city was planned to be the capital of Nederlands Indie – the ultimate symbol of colonial authority, commerce, culture – but at the same time it became the architectural laboratory for a new breed of modernism, the “Indies-Tropical Style” which embraced local traditions and mixed it with European rationalism.

Bandung – or romantically known as “Parijs van Java” – was the best representation of Dutch colonialism in the tropics. During the transition period from the declaration of independence in 1945 until the 1960s, Bandung was caught at the middle of conflicts and uprisings, such as Westerling putsch and Darul Islam rebellion, which led the city into the state of dilapidation, illegal occupation of green spaces, densification of kampong areas, and chaotic un-planned development.

Interestingly since 1920s and peaked in 1950s Bandung was obtained a new meaning as the graveyard of colonialism, where Soekarno used it to stage his powerful decolonization blows: his intellectual development in Bandung’s Technische Hogeschool, his defiance in the colonial court in Bandung’s
Landraad, and finally his choice of venue for the Asia Africa Conference in 1955 in Concordia club at the heart of the colonial capital city of Bandung.

Setahun sebelum pendulum sejarah berayun pada 1965, pada 17 Agustus 1964 Soekarno berpidato dengan judul ”Tahun Vivere Pericoloso” (Tahun Menyerempet Bahaya), yang mengingatkan adanya ranjau revolusi dan menekankan pentingnya keberanian menghadapi krisis serta kemandirian sebagai fondasi demokrasi.

Tulisan ini merupakan rangkuman dari catatan kuliah DR. H. Roeslan Abdulgani di perguruan tinggi di Malang yang berjudul "Perkembangan cita-cita sosialisme di Indonesia". Tulisan ini pun sebagai langkah awal untuk bekal dalam analisa sosial.

Seri Pemikiran Bung Karno yang diuraikan dalam Gerakan Massa dan Mahasiswa merupakan refleksi pemikiran keadaan bangsa kita. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang telah kita rebut dari penjajahan bukan hal mudah. Melalui pidato Bung Karno yang ditujukan kepada mahasiswa-mahasiswa seluruh Indonesia dari berbagai
universitas membuat kita merenung dan terkesima.

This book is dedicated to those six Indonesian generals, and to Lieutenant Tendean, who gave his life to save General Nasution's life, and to General Nasution's little daughter Irma, who died in the crossfire, and to my daughter Jennifer. Their untimely deaths only add to the significance of their lives. May they long be remembered.

Kompas, 12 Maret 1977 mengabarkan bahwa ruangan Monumen Nasional (Monas) yang berisi diorama kebanjiran. Akibatnya, Soeharto yang kala itu sudah menjabat sebagai presiden, gagal mengunjungi satu diorama yang dianggapnya sangat penting, yaitu diorama Surat Perintah 11 Maret, diorama yang berkali-kali dikoreksi dan diawasi langsung olehnya sendiri. Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi "subyek" dari diorama itu sendiri masih misterius. Ia raib. Konon, ada tiga versi Supersemar, dan tidak diketahui mana yang sungguhan. Perihal di mana ia disimpan, siapa sebenarnya pembuatnya, siapa yang pernah membaca, dan seterusnya, tidak diketahui. Hanya ada berita simpang siur dan banyak versi yang beredar di masyarakat. Maka, sebagaimana Supersemar itu tak diketahui rimbanya, maka dioramanya pun sebetulnya bisa dikatakan fiksi. Beberapa versi penggambaran terjadi, dan akhirnya Kompas 19 Maret 1977 memuat berita bahwa Soeharto telah berkunjung dan akhirnya versi final diorama dikeluarkan setelah sebelumnya ia merevisi berkali-kali perihal pakaian yang dikenakan dan posisinya yang mau dihadirkan di sana. Hasil akhir yang tampil kemudian seting peristiwa berada di ruang kamar tidur. Di sana ada Soeharto terbaring sakit mengenakan pakaian tidur. Kepalanya disangga tiga bantal. Di samping ranjang duduk berderet 3 tiga Jenderal, yakni Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf yang seperti sedang berbicara pada Soeharto. Seperti seorang pahlawan yang walaupun sakit tetap taat perintah, atau tetap "mengerjakan" tugasnya, Soeharto dihadirkan sedemikian rupa dalam diorama tersebut seperti sedang "menerima" "pesan" dari Soekarno. Hingga kini kita tak pernah tahu apa isi "pesan" itu. Dan dalam diorama yang terbentuk dari kumpulan ingatan dan cerita yang diceritakan kembali, kita sampai pada beberapa pertanyaan perihal siapa-siapa yang berhak membuat adegan itu seperti itu. Siapa yang pernah melihat langsung, atau memotret adegan di kamar itu. Tiga orang jenderal itu kemudian mengatakan apa terhadap peristiwa itu, ikut kah mereka dengan penentuan gambar dalam diorama tersebut, dan mengapa Soeharto 'meributkan' pakaian dan posisinya kala itu (sebaiknya) berbaring atau berdiri. Belum lagi pertanyaan semacam, harus kah kamarnya itu kamar dengan kondisi nyata seperti pada saat kejadian, ataukah bisa dikonstruksi hanya untuk memunculkan kesan kamar tidur, dan seterusnya. Maka, sebagaimana pengisahan yang melewati berbagai zaman dan berbagai pihak, pada akhirnya kita hanya tahu "dokumentasi" dari "dokumentasi," skenario dari skenario. Pendek kata, kita penonton hanya berada di lapis terluar. Kita menjadi, 'saksi' tapi saksi semu. Membahas perkara saksi ini bisa sangat menarik. Saksi itu bisa berupa kita sekarang, atau saksi yang tergambar di dalam diorama (sosok yang ada di sana,

Sebuah buku dokumentasi catatan harian seorang intelektual muda Indonesia (bernama Soe Hok-Gie) yang ditulis ketika dia berumur 15-27 tahun (1957-1969), tepat pada sebuah era dimana bangsa Indonesia mengalami pergulatan politik dan sejarah yang paling gelap sekaligus paling mencekam dalam sejarah bangsa Indonesia. Pada 50 tahun yang lalu,tepat pada tanggal 16 Desember 1969. Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhir di tanah tertinggi di Pulau Jawa karena (diduga kuat) menghirup gas beracun, pada usia 27 tahun kurang satu hari. Peristiwa kematiannya ini begitu menghebohkan banyak elemen masyarakat Indonesia pada masa itu, dari mulai para akademisi, wartawan, kaum aktivis mahasiswa, dan banyak pihak lainnya. Sampai-sampai ada sebagian masyarakat yang menduga Gie sebetulnya dibunuh oleh pihak pemerintah Orde Baru pada masa itu, karena dinilai terlalu keras mengkritik pemerintah. Gie menutup usia pada umur yang terbilang cukup muda (27 tahun), tapi buah pemikirannya, tulisan-tulisannya yang fenomenal, kritik tajamnya terhadap pemerintah, sampai skripsinya tentang sejarah pemberontakan tetap menjadi bahan diskusi dan perbincangan di kalangan akademisi kampus, mahasiswa, dosen-dosen, bahkan para professor dan peneliti sejarah dari generasi ke generasi hingga saat ini. Lantas sebetulnya apa sih yang spesial dari hidup Gie? Apa sih yang menyebabkan sebagian orang bahkan ada yang menduga bahwa kematiannya disebabkan karena percobaan pembunuhan? Apa sih yang bisa diraih oleh seorang anak muda hanya dengan 27 tahun hidupnya? Sampai-sampai namanya bak bagaikan legenda yang terus terdengar dari setiap generasi ke generasi angkatan mahasiswa selama 45 tahun terakhir. Baiklah, pada 50 tahun kematian Soe Hok Gie ini, saya mencoba untuk mengulas kembali kisah perjalanan hidup dari seorang legenda mahasiswa Indonesia. Pastinya, sebuah tulisan artikel seperti ini gak mungkin bisa merangkum kehidupan seseorang yang begitu panjang, begitu kompleks, dan begitu dalam dengan segala dinamika pemikiran dan emosi di dalamnya. Tapi moga-moga apa yang saya tulis di sini bisa menjadi perpanjangan tangan buat setiap generasi yang membaca tulisan ini, sehingga bisa kembali terinspirasi oleh potret pemuda Indonesia yang selalu gelisah, yang (walaupun sendirian) berani berdiri tegak dan berteriak lantang akan kebenaran pada sebuah masa-masa paling gelap dan berbahaya yang pernah dialami bangsa Indonesia. Latar Belakang Kehidupan Soe Hok Gie lahir pada 17 Desember 1942, ketika dunia berada di tengah puncak perang dunia kedua dan Indonesia masih dalam proses perjuangan menuju kemerdekaan di bawah kependudukan Jepang. Kalu kita mau bicara tentang hidup dan buah karya pemikiran Gie tentang Indonesia, sedikit banyak anda juga harus memahami tentang latar belakang lingkungan pada saat Gie dibesarkan. Untuk seseorang yang lahir di tahun 40an, anda bisa bayangkan bahwa Gie dibesarkan dan hidup ketika negara Indonesia ibarat bayi yang baru mulai merangkak untuk berdiri dan berjalan sendiri. Saat itu, pastinya Indonesia belum sekompak sekarang ini yang bisa begitu berapi-api membela timnas sepak bola saat melawan negara tetangga. Pada masa awal-awal berdirinya negara Indonesia, negara kita masih banyak diliputi kemelut dengan berbagai macam bentuk kepentingan. Pada masa-masa kecil-remaja Gie, saat itu Indonesia masih belajar untuk menemukan karakter dan jati diri bangsa yang sesungguhnya, di mana rakyat Indonesia sendiri dari Sabang sampai Merauke itu masih dalam proses mencintai negara yang baru saja berdiri. Sehingga seringkali masih "rewel" dan "bandel" dengan sederetan pemberontakan yang menuntut daerahnya untuk lepas dari kedaulatan RI seperti pemberontakan Madiun (1948), pemberontakan PERMESTA di Manado (1958-1961), pemberontakan

TJARA jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannja seorang jang maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan melebihi daripada segala-galanya ia tjinta kepada dirinya sendiri.

De na de oorlog in zijn vaderland ter dood veroordeelde Belg Pierre Marie Ernest Sweerts werd na afloop van de oorlog aanvankelijk niet opgepakt omdat hij, werkzaam binnen het Reichssicherheitshauptamt (RSHA; de politie-en veiligheidsafdeling van de SS), zijn diensten had aangeboden aan de Britten. Na de oorlog werd hij door de Britten als ondervrager tewerkgesteld in speciale kampen, die te maken hadden met het oprollen van weerwolforganisaties (nazi-ondergrondse weerstandsgroepen) en het opsporen van Abwehr-en SD-leden in gevangen- en vluchtelingenkampen.
Sweerts ging tijdens de Koude Oorlog werken voor diverse (privé-) inlichtingendiensten. De meest bekende was de dienst Hacke-Elsinga, beter bekend als Stichting Opleiding Arbeidskrachten Nederland (SOAN). Later ook voor de RMS. Hij werd geworven door Pieter Lokollo.
Sweerts kwam na de oorlog diverse keren in opspraak. Tijdens de paspoortenhandel met Frans Münninghoff, de Ratline naar Zuid-Amerika, zijn werkzaamheden voor de familie (Wim en Jo) Münninghoff inzake de handel in inlichtingendossiers, de Molukse zaak en wapenhandel.

The spectacle of 2014 Indonesian Presidential Election was not solely a collection of Prabowo’s self-image, but more likely of social relation which were mediated through Soekarno’s image. Social relation has shifted further into commodity relation, where the heroic, anti-capitalist Soekarno’s self-image; being used as political commodity for Prabowo’s interest in taking over all aspects of Soekarno’s life. Prabowo has impressed his admirer to copy and reproduce his self image during the campaign. The image that Prabowo has tried to present, as to dressed up similarly to Soekarno, was just a political performance in a battle to win the presidential seat.


Abstrak
Tontonan PEMILU 2014 ini bukanlah koleksi citra atau image, melainkan relasi sosial yang dimediasi melalui pencitraan Soekarno dalam diri Prabowo Subianto. Relasi sosial telah bergeser lebih jauh menjadi relasi komoditas, dimana citra diri Soekarno atau Bung Karno yang heroik dan anti kapitalis dijadikan komoditas politik kepentingan Prabowo Subianto untuk mengambilalih segala aspek kehidupan yang ditandai dengan relasi komoditas. Selain itu Prabowo juga telah menyihir penontonnya untuk menjiplak dan mereproduksi ulang citra-citra yang dipertontonkan selama masa kampanye Pemilu 2014. Pencitraan yang coba ditampilkan Prabowo Subijanto dengan berdandan ala Bung Karno ini, tidak lebih merupakan pertunjukan dalam sebuah pertarungan politik merebut kursi kepresiden.

Keywords: Prabowo, Jokowi, nasionalisme, Pemilu 2014

KUMPULAN PIDATO PRESIDEN SOEKARNO DAN FILM SOE HOK GIE Oleh: Siti Hediati Maulinda/1510631180143 dan Widia Eka Aprilianti/1510631180157 KUMPULAN PIDATO PRESIDEN SOEKARNO Indonesia Pilihlah Demokrasimu yang Sejati Terdapat tiga karakteristik dari abad ke-20, pertama, ialah dibentuk negaranegara nasional di Asia. Kedua, ialah berdirinya negara-negara sosialis, seperti Soviet Uni (Uni Soviet), Cekoslowakia, Yugoslavia, RRT, dan lain sebagainya. Ketiga, ialah revolusi atom yang menjadi suatu revolusi yang tidak membawa kebinasaan kepada kemanusiaan, tetapi suatu revolusi atom yang membawa kebahagiaan segenap kemanusiaan. Bangsa Indonesia menurut Presiden Soekarno, ketika itu mengalami fenomena yang pertama. Menurut Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang disampaikan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda mengemukakan bahwa, dus kita punya negara nasional itu belum terbentuk 100%, karena rasa kedaerahan masih belum lenyap seutuhnya. Selain rasa kedaerahan, penyakit yang masih diderita Indonesia adalah penyakit kepartaian. Presiden Soekarno menjelaskan bahwa di bulan November 1945, Indonesia membuat satu kesalahan yang amat besar, yaitu menganjurkan dibangunnya partaipartai.

Copyright 'A dialogue with the People. A two-way conversation between myself and the People, between my Ego and my Alter Ego. A two-way conversation between Sukarno-the-man and Sukarno-the-People. 'I feel like Dante in his Divina Commedia. I feel that our Revolution has suffered all kinds of tortures, from all kinds of devils, all the kinds of suffering of the Inferno, and now, with our return to the 1945 constitution, we experience purification so that later we can enter Heaven.… The devil of liberalism, the devil of feudalism, the devil of individualism, the devil of suku-ism, the devil of groupism, the devil of deviation, the devil of adventurism, the devil of four kinds of dualisms, the devil of corruption, the devil of scraping up wealth at one blow, the devil of the multi-party system, the devil of rebellion-all kinds of devils have jumped on us in the realm of the Inferno, and now we are undergoing purgatory in all fields.' 1. This is the generally accepted date, the one given in the official biographies, and claimed by Sukarno himself in his An Autobiography as Told to Cindy Adams (New York, 1965). Some scholars have cast doubt upon it. B. R. O'G. Anderson, for example, states that Sukarno was 45 years old in April 1945 (Some Aspects of Indonesian Politics Under the Japanese Occupation, Ithaca, 1961, p. 20), thus making the year of his birth 1899, if the 6 June date is retained, or possibly 1900 if it is not. Sukarno entered a Dutch Higher Elementary School in 1914 (see Note at the end of this chapter). If he was born in 1900 or 1899 this would mean that he would be 14 or 15 at the time, and that would presuppose a primary schooling of eight or nine years. It is unlikely that the primary schooling of a schoolmaster's son would have taken so long to complete. The 1901 date would thus appear to be the more likely. 2. M. Y. Nasution, Penghidupan dan Perdjuangan Ir. Sukarno [The Life and Struggle of Engineer Sukarno], Djakarta, 1951, p. 10. 3. In Bali emphasis is placed on the importance of the four orders (varnas) rather than upon caste differences within those orders. Marriage is allowed across status lines, but only according to certain rules. In particular, women may not marry into a lower class. See Hildred Geertz, 'Indonesian Cultures and Communities', in R. McVey (ed.), Indonesia, New Haven, 1963. 4. Nasution, op. cit., p. 11, has him named Kusno Sosro Sukarno from the beginning. In Sukarno's account he was at first named Kusno, but, after early illnesses, his father changed the name to Sukarno, after Karna, one of the warriors in the Mahabharata, so that he might start afresh (Autobiography, p. 26). 5. Autobiography, p. 18. 6. ibid., p. 17. 7. There is some disagreement among his biographers about the exact sequence and dates of these movements. Sukarno speaks of his family's move to Mojokerto when he was six. He refers subsequently to his life with his grandparents. The above account follows broadly that of Nasution, op. cit. 8. Sukarno, Sarinah, Tebingtinggi, 1948, Foreword. Sarinah was subsequently republished in successive editions with an expanded text and with the subtitle The Responsibility of Women in The Struggle of the Indonesian Republic. 9. Jago, a cock, but also used in the sense of 'leader', 'cock of the walk'.

Indonesia became one of arena of cold war between Uni Soviet and United States. both of them had a same interest, to spread their influences and ideology. in a row of time, cold war was not only an ideological war, but it turned to a war of sophisticated technologies and industries. and Indonesia got many benefits of that war. In the middle of 1950, Indonesia and Uni Soviet were getting closer.

Nasionalisme muncul pertama kali di barat setelah munculnya kapitalisme. Nasionalisme merupakan syarat mutlak bagi tumbuh suburnya Kapitalisme. Dan dari Nasionalisme barat ini pada tataran lebih tinggi munculnya imperalisme yang mengakibatkan penjajahan di negara dunia ketiga. Dari penjajahan ini pula lah yang melahirkan nasionalisme timur yang sangat berbeda dengan nasionalisme barat, nasionalisme yang manusiawi bukan nasionalisme modal.

Negara Kesatuan Republik Indonesia atau biasanya disingkat sebagai NKRI, merupakan salah satu negara berdaulat yang memiliki perjalanan dan perkembangan politik luar negeri yang cukup variatif di setiap pemerintahannya yang sedang berkuasa. Indonesia sendiri, telah dipimpin sebanyak tujuh presiden yang berbeda. Setiap presiden yang berkuasa tersebut, mereka memiliki perspektif dan kebijakan luar negeri yang berbeda-beda. Sehingga, politik luar negeri Indonesia pernah dan akan selalu melalui masa up and down dalam seputar dunia politik luar negeri Indonesia.