Penyangraian Kopi Robusta

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

OPTIMASI SUHU DAN LAMA PENYANGRAIAN KOPI ROBUSTA (Coffea

canephora Pierre ex A.Froehner) GREEN BEAN TERHADAP MUTU KOPI


BUBUK

RTM Sutamihardja1), Ade Ayu Oksari2)*, Neneng Hasanah3)


1)
Progam Studi Kimia, FMIPA, Universitas Nusa Bangsa, Bogor
2)
Progam Studi Biologi, FMIPA, Universitas Nusa Bangsa, Bogor
3)
Progam Studi Kimia, FMIPA, Universitas Nusa Bangsa, Bogor
Jl. KH Sholeh Iskandar KM 4 Cimanggu Tanah Sereal, Bogor 16166,
Indonesia
*email : adeayuoksari@gmail.com

ABSTRACT

Optimization Temperature And Roasting Duration Robusta Coffee (Coffea Canephora Pierre
Ex A.Froehner) Green Bean to Quality Of Ground Coffee

Robusta coffee beans dominate coffee plantations in Indonesia because they have superior properties and very fast
growing. Bogor Regency is one of the largest coffee producers in West Java. Roasting is a post-harvest handling process
that can affect the quality of ground coffee. The quality of coffee can be increased if the roasting process is carried out at the
right temperature and roasting duration. This study aims to determine the temperature and duration of roasting the optimum
robusta coffee and roasted coffee ground compared to the quality with branded coffee on the market. Roasti ng robusta
coffee beans using a stainless steel skillet equipped with an iron thermometer. The temperature and roasting duration used
are 170 ° C, 180 ° C, 190 ° C for 10 and 15 minutes. Sample of ground coffee analyzed were robusta ground coffee from
Cipanas and branded coffee. The quality of roasted coffee is compared to branded ground coffee. Phytochemical tests
showed robusta ground coffee samples containing secondary metabolites of alkaloids, flavonoids, saponins, and tannins.
The optimum temperature and roasting duration is 190 ° C for 10 minutes with quality according to the requirements set by
SNI 01-3542-2004. The quality of roasted ground coffee is the same as branded ground coffee.

Key words: Robusta Coffee, Roasting, Quality of Ground Coffe.

ABSTRAK

Biji kopi jenis robusta mendominasi perkebunan kopi di Indonesia karena mempunyai sifat yang lebih unggul dan
sangat cepat berkembang. Kabupaten Bogor merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di Jawa Barat. Penyangraian
merupakan proses penanganan pasca panen yang dapat mempengaruhi mutu kopi bubuk. Mutu kopi dapat ditingkatkan bila
proses penyangraian dilakukan pada suhu dan lama penyangraian yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suhu
dan lama penyangraian kopi robusta yang optimum serta kopi bubuk hasil penyangraian dibandingkan mutunya dengan kopi
bermerek yang beredar di pasaran. Penyangraian biji kopi robusta menggunakan wajan stainless steel yang dilengkapi
termometer besi. Suhu dan lama penyangraian yang digunakan adalah 170 °C, 180 °C, 190 °C selama 10 dan 15 menit.
Sampel kopi bubuk yang dianalisis adalah kopi bubuk robusta yang berasal dari Cipanas dan kopi bermerek. Mutu kopi hasil
penyangraian dibandingkan dengan kopi bubuk bermerek. Uji fitokimia menunjukan sampel kopi bubuk robusta
mengandung metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, saponin, dan tanin. Suhu dan lama penyangraian optimum adalah 190
°C selama 10 menit dengan mutu sesuai persyaratan yang telah ditetapkan SNI 01-3542-2004. Mutu kopi bubuk hasil
penyangraian sama dengan kopi bubuk bermerek.

Kata kunci:Kopi Robusta, Penyangraian, Mutu Kopi Bubuk.

PENDAHULUAN

Kopi merupakan salah satu hasil komoditi perkebunan yang memiliki nilai ekonomis yang
cukup tinggi di antara tanaman perkebunan lainnya dan berperan penting sebagai sumber devisa
negara (Yusdiali, 2008). Cita rasa minuman kopi sangat lezat dan bersifat khas sehingga banyak
digemari oleh segala lapisan masyarakat di dunia. Akibatnya, permintaan kopi meningkat pesat dari
tahun ke tahun. Alasan inilah yang menyebabkan kopi menjadi komoditas perdagangan yang
potensial untuk dikembangkan, khususnya di Indonesia (Rachmawati, 2010). Sebagian kopi bubuk
yang dihasilkan di Indonesia adalah berasal dari kopi robusta green bean. Kopi robusta green bean
merupakan biji kopi hijau dari jenis robusta yang telah dikupas kulit arinya (Henza, 2015). Biji kopi
jenis robusta mendominasi perkebunan kopi di Indonesia karena mempunyai sifat yang lebih unggul
dan sangat cepat berkembang. Kabupaten Bogor merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di
Jawa Barat. Kopi yang mendominasi adalah varietas robusta dengan produksi kopi robusta per tahun
adalah 1,3 kg/Ha (Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Bogor, 2016).
Penanganan pasca panen yang tidak tepat mengakibatkan rendahnya mutu biji kopi yang
dihasilkan sehingga mempengaruhi pengembangan produksi akhir kopi. Salah satu penanganan pasca
panen terhadap kopi adalah penyangraian. Kualitas biji kopi dapat ditingkatkan bila proses
penyangraian dilakukan pada suhu dan lama penyangraian yang tepat. Penyangraian dapat
menyebabkan perubahan kimia, aktivitas biologis, serta akan terbentuk suatu reaksi terutama reaksi
Maillard karena terjadi degradasi gula pereduksi, asam amino, dan asam klorogenat (Wang et al.,
2011). Rachmawati (2010) melakukan penelitian mengenai penyangraian kopi (robusta dan arabika)
menggunakan kompor dengan wajan stainless steel dan wajan tanah liat dengan variasi waktu
penyangraian adalah 1, 5, 13, 16, dan 20 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
wajan stainless steel menghasilkan rendemen yang lebih besar dibandingkan dengan wajan tanah liat
dan mutu kopi bubuk yang dihasilkan sesuai persyaratan SNI 01-3542-2004 akan tetapi pada
penelitian tersebut tidak diukur suhu pada setiap variasi waktu penyangraian. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai proses penyangraian kopi robusta
green bean menggunakan kompor dengan variasi suhu dan lama penyangraian. Suhu dan lama
penyangraian yang digunakan adalah 170 ºC ,180 ºC dan 190 ºC selama 10 menit dan 15 menit.

BAHAN DAN METODE


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah aluminium foil, akuades, amonia (NH4OH), asam klorida (HCl
pekat), buffer pepton water (BPW), etanol, feri klorida (FeCl3), kalsium karbonat (CaCO3), kapas,
kloroform (CHCl3), media Tryptone Soya Agar (TSA), media Sabouraud Dextrose Agar (SDA),
pereaksi mayer, pereaksi wagner, pereaksi dragendorff, pita magnesium, sampel biji basah kopi
robusta yang berasal dari Cipanas, Bogor, kopi bubuk bermerek, dan standar kafein.
Alat yang digunakan adalah autoklaf, blender, cawan petri, cawan porselen, corong, corong
pisah, colony counter, desikator, hotplate, inkubator, kertas saring, kompor gas, sudip, neraca
analitik, oven, penyaring ukuran 60 mesh, peralatan gelas, plat tetes, pH meter ohaus,
spektrofotometer UV-Vis optizen, tanur thermo scientific, termometer, termometer besi, wajan
stainless steel, dan water bath.

Metode
Tahapan metode penelitian antara lain pengolahan kopi robusta greean bean, uji fitokimia,
kadar air, kadar kafein, derajat keasaman (pH), kadar sari, kadar abu dan cemaran mikroba.

Pengolahan Kopi Robusta Green Bean


Biji kopi basah robusta sebanyak 6 kg dicuci dengan air mengalir. Biji kopi basah dikeringkan
di bawah sinar matahari selama 14 hari dan dikupas kulit arinya dengan menggunakan huller (kopi
beras / green bean). Green bean robusta sebanyak 250 g disangrai dengan kompor menggunakan
wajan stainless steel dan menggunakan termometer besi. Suhu penyangraian yang digunakan adalah
suhu 170 °C, 180 °C dan 190 °C selama 10 dan 15 menit. Sampel digiling dengan blender hingga
menjadi kopi bubuk. Kopi bubuk disaring dengan penyaring ukuran 60 mesh.

Uji fitokimia (Harborne, 1987).


Pembuatan Ekstrak Kopi
Sampel kopi bubuk ditimbang sebanyak 2 g dan ditambahkan 100 mL air mendidih (95°C).
Sampel kopi bubuk diaduk selama 2 menit. Sampel kopi bubuk disaring sehingga diperoleh ekstrak
kopi bubuk.
1. Alkaloid
Ekstrak kopi sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 1 ml larutan ammonia dan 1 ml
kloroform lalu dikocok, kemudian ditunggu hingga terpisah menjadi dua bagian. Bagian atas
larutan tersebut dibagi menjadi tiga bagian kemudian ditambahkan pereaksi Wagner, Mayer, dan
Dragendorrf. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat (Wagner),
putih atau kuning (Mayer), merah kecoklatan (Dragendorff). Alkaloid dianggap positif jika
terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari percobaan diatas.
2. Saponin
Ekstrak kopi sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml akuades lalu dipanaskan diatas penangas air.
Filtrat dikocok dengan kuat dan didiamkan selama 15 menit. Adanya saponin ditunjukkan
dengan terbentuknya busa yang stabil.
3. Flavonoid
Ekstrak kopi sebanyak 1 ml ditambahkan etanol lalu dipanaskan. Larutan ditambahkan sedikit
pita Mg dan 5 tetes HCl pekat dari sisi tabung. Terbentuknya warna jingga menunjukkan adanya
flavonoid.
4. Tanin
Ekstrak kopi sebanyak 1 ml ditambahkan 2 ml akuades lalu dipanaskan diatas penangas air.
Filtrat ditambahkan FeCl3 5 % Adanya tanin ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau, biru
tua, atau hitam kehijauan.

Kadar Air (SNI 01-2891-1992)


Sampel kopi bubuk ditimbang sebanyak 1-2 g pada cawan porselen yang telah dikeringkan dan
diketahui bobot kosongnya. Sampel dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam dengan suhu 105 oC.
Sampel disimpan di dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang kembali untuk mengetahui
bobot setelah pemanasan. Kadar air dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
W1
Kadar Air = ×100%
W
Keterangan:
W=Bobot sampel sebelum dikeringkan (gram)
W1=Kehilangan bobot setelah dikeringkan (gram)

Kadar Kafein (Fitri, 2008).


1. Pembuatan Larutan Standar Kafein
Standar kafein sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam labu ukur 1000 mL dan ditepatkan
hingga tanda batas dengan akuades (100 ppm). Larutan standar tersebut kemudian dipipet
sebanyak 0; 0,25; 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 7,5; 10 mL ke dalam labu takar 50 mL dan ditepatkan hingga
tanda batas dengan akuades untuk mendapatkan konsentrasi larutan standar sebesar 0; 0,5; 1; 2;
4; 6; 8; 10; 15; 20 mg/L. Larutan standar tersebut diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang maksimum (250-300 nm) dan kemudian dibuat kurva kalibrasi hubungan
antara absorbansi dengan konsentrasi larutan standar.
2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Kafein
Larutan standar kafein sebanyak 4 mL dengan konsentrasi 100 ppm dan larutan dipipet lalu
dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, diencerkan dengan akuades hingga garis tanda dan
dihomogenkan. Larutan standar diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 250 – 300 nm. Sebagai uji blanko digunakan akuades.
3. Ekstraksi Kafein
Sampel kopi bubuk sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam gelas piala, ditambahkan 150 mL air
panas dan diaduk selama 2 menit. Larutan kopi disaring melalui corong dengan kertas saring ke
dalam erlenmeyer. Serbuk CaCO3 sebanyak 1,5 gram dan larutan kopi dan dimasukkan ke dalam
corong pisah lalu diekstraksi sebanyak 4 kali, masing-masing dengan penambahan 25 mL
kloroform. Ambil lapisan bawah (fraksi kloforom), diuapkan dengan water bath hingga
membentuk ekstrak kering. Ekstrak kering tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan
diencerkan dengan akuades hingga 100 mL. Larutan sampel diukur absorbansi pada panjang
gelombang maksimum (250-300 nm). Perhitungan kadar kafein pada kopi bubuk adalah sebagai
berikut:

%b/b ¿
konsentrasi ( mgL )× volume sampel ( L ) × fp × 100%
mg sampel
Derajat Keasaman (pH)
Sampel kopi bubuk sebanyak 2 g dilarutkan dengan 150 ml air mendidih. Larutan sampel
diukur dengan pH meter. Hasil pengukuran dibaca dan diukur sebanyak 3 kali pengulangan.

Sari Kopi (SNI 01-3542-2004)


Sampel kopi bubuk ditimbang 2 g dan dimasukkan ke dalam gelas piala 500 mL. Air mendidih
ditambahkan sebanyak 200 mL dan didiamkan selama 1 jam. Larutan sampel disaring ke dalam labu
ukur 500 mL, dibilas dengan air panas sampai larutan menjadi jernih. Larutan dibiarkan sampai suhu
kamar, air ditambahkan hingga tepat pada tanda tera. Larutan dipipet 50 mL ke dalam cawan porselen
yang telah diketahui bobotnya kemudian dipanaskan di atas water bath sampai mengering. Cawan
dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 ± 2 °C selama 2 jam. Sampel didinginkan di desikator
dan ditimbang hingga bobot tetap. Nilai kadar sari dihitung dengan rumus:
W 1 × 500
Kadar Sari = ×100%
W 2 × 50
Keterangan:
W1 = Bobot ekstrak (gram)
W2 = Bobot sampel (gram)
500= Volume pengenceran sampel (mL)
50 = Volume pengambilan sampel (mL)

Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)


Sampel kopi bubuk ditimbang sebanyak 2-3 g pada cawan porselen yang telah dikeringkan dan
diketahui bobot kosongnya. Sampel diarangkan di atas pembakaran dan abukan menggunakan tanur
pada suhu 550 ºC sampai pengabuan sempurna. Abu dipijarkan kembali di dalam tanur, disimpan di
dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang kembali untuk mengetahui bobot setelah pemanasan.
Kadar abu dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
W1
Kadar Abu = ×100%
W
Keterangan:
W = Bobot sampel (gram)
W1 = Bobot abu (gram)

Cemaran Mikroba
1. Sterilisasi Kering Alat
Alat gelas yang akan digunakan untuk analisis cemaran mikroba dibungkus dengan kertas,dan
dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 180 oC
2. Pembuatan Larutan Pengencer Buffer Pepton Water (BPW)
Pembuatan larutan pengencer dilakukan dengan menimbang BPW sebanyak 4,5 g lalu
dilarutkan dalam 500 mL akuades dan diaduk diatas pemanas berpengaduk hingga homogen.
Larutan BPW yang sudah homogen dituang sebanyak 45 mL ke dalam erlenmeyer dan dituang
sebanyak 9 mL ke dalam tabung reaksi. Erlenmeyer dan tabung reaksi disumbat dengan kapas
dan ditutup dengan aluminium foil, lalu disterilkan dengan autoklave selama 15 menit pada suhu
121 oC .
3. Pembuatan Media Tryptone Soya Agar (TSA)
Pembuatan media agar dilakukan dengan cara menimbang TSA sebanyak 4 g lalu dilarutkan
dalam 100 mL akuades, diaduk diatas pemanas berpengaduk hingga mendidih dan disterilkan
dengan autoklave selama 15 menit pada suhu 121oC.
4. Pembuatan Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Pembuatan media agar dilakukan dengan cara menimbang SDA sebanyak 6,5 g lalu
dilarutkan dalam 100 mL akuades, diaduk diatas pemanas berpengaduk hingga mendidih dan
disterilkan dengan autoklave selama 15 menit pada suhu 121 oC.
5. Persiapan Sampel
Sampel kopi ditimbang sebanyak 1 gram dan dituang ke larutan BPW 9 mL, dikocok hingga
homogen dan didiamkan hingga sampel mengendap. Sampel dibuat variasi pengenceran ke
dalam tabung reaksi pengenceran 10-2 (untuk ALT), sampai pengenceran 10-1 (Untuk AKK).
6. Pengujian Angka Lempeng Total
Larutan sampel dipipet sebanyak 1 mL ke dalam cawan petri dan dituangkan 12 mL media
TSA steril dengan suhu 40oC, dihomogenkan dan dibiarkan hingga media memadat. Cawan petri
dimasukan dalam inkubator dengan suhu 30-35 oC selama 5 hari dalam posisi terbalik. Sebagai
kontrol digunakan media TSA.
7. Pengujian Angka Kapang
Larutan sampel dipipet sebanyak 1 mL kedalam cawan petri dan dituangkan 12 mL media
SDA steril dengan suhu 40oC, dihomogenkan dan dibiarkan hingga media memadat. Cawan petri
dimasukan dalam inkubator dengan suhu 20-25oC selama 5-7 hari dalam posisi terbalik. Sebagai
kontrol digunakan media SDA.
8. Perhitungan
Jika koloni lebih dari 1 :
jumlah koloni
ALT/AK (Koloni/gram) = x 100%
v x fp
Jika koloni 0 :
1
ALT/AK (Koloni/gram)= < x 100%
v x fp terkecil
Keterangan:
v = volume sampel dalam cawan petri
fp = faktor pengenceran

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan Kopi Robusta Green Bean


Pengolahan biji kopi basah robusta dilakukan dengan metode kering. Metode kering dipilih
karena prosesnya yang relatif sederhana. Metode kering dilakukan dengan cara langsung
mengeringkan biji kopi robusta yang telah dikupas kulitnya menggunakan sinar matahari selama 14
hari (Pastiniasih, 2012). Proses penyangraian menggunakan wajan stainless steel karena merupakan
konduktor panas yang lebih baik dibandingkan dengan wajan tanah liat. Perpindahan panas dari
sumber panas (kompor) ke wajan lebih cepat begitupun dari wajan ke bahan, mengakibatkan
penguapan air dari bahan ke udara lebih cepat. Akan tetapi, pada wajan stainless steel dapat
menyebabkan terjadinya peristiwa case hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian luar
(permukaan) bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah (Rachmawati, 2010).
Berikut ini adalah desain alat penyangraian (Gambar 1).

Gambar 1. Desain Alat Penyangraian


Suhu dan lama penyangraian mempengaruhi warna biji kopi yang dihasilkan. Semakin tinggi
suhu dan lama penyangraian maka warna biji kopi menjadi kecoklatan dan semakin gelap. Hal ini
dikarenakan faktor yang mempengaruhi reaksi Maillard adalah suhu dan waktu pemanasan.
Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu penyangraian maka reaksi Maillard akan semakin
mudah terjadi (Eriksson, 1981). Reaksi Maillard adalah reaksi browning non enzimatik yang
terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dengan gugus amin bebas dari asam amino atau
protein (Nugroho et al., 2009). Biji kopi setelah penyangraian dilakukan penggilingan dengan
blender dan penyaringan dengan ukuran saringan sebesar 60 mesh. Ukuran ini dipilih karena pada
ukuran 40 mesh kopi bubuk yang dihasilkan tersebut merupakan hasil penggilingan coarse (bubuk
kasar) (Ridwansyah, 2003). Berikut ini adalah hasil penyangraian biji kopi robusta (Gambar 2).

(a) (b) (c) (d) (e) (f)


Gambar 2. Biji Kopi Robusta Setelah Penyangraian (a. Suhu 170 °C selama 10 menit; b. suhu 170
°C selama 15 menit; c. Suhu 180 °C selama 10 menit; d. Suhu 180 °C selama 15 menit;
e. Suhu 190 °C selama 10 menit; f. Suhu 190 °C selama 15 menit).

Fitokimia
Sampel kopi bubuk robusta mengandung metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid,
saponin, dan tanin. Sampel dinyatakan positif mengandung alkaloid apabila paling tidak
menghasilkan uji positif pada dua dari tiga pereaksi yang digunakan (Harborne, 1987). Hasil uji
fitokimia menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan lama penyangraian maka intensitas warna
yang dihasilkan semakin berkurang. Hasil uji kualitatif ini sesuai dengan dengan pernyataan
Panggabean (2011) yang menyatakan bahwa penurunan kadar kafein setelah penyangraian disebabkan
karena sebagain kafein akan menyublim menjadi kafeol. Kafein merupakan senyawa alkaloid yang
terdapat dalam kopi yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Kandungan kafein pada kopi
robusta yaitu 1,6 % - 2,4 % (Widyotomo dan Sri, 2007). Berikut ini adalah hasil uji fitokimia (Tabel
1).
Tabel 1. Hasil Fitokimia Kopi Bubuk Robusta

Parameter
Nama
Alkaloid
Sampel Flavonoid Saponin Tanin
Wagner Mayer Dragendorff
170 °C, 10 +++ +++ - + + ++
menit
170 °C, 15 ++ ++ - + + ++
menit
180 °C, 10 ++ + - + + +++
menit
180 °C, 15 ++ ++ - +++ ++ +++
menit
190 °C, 10 ++ + - ++ ++ ++
menit
190 °C, 15 ++ ++ - +++ + +++
menit
Merek A + + - ++ + +++
Merek B ++ + - ++ ++ +++
Tanpa +++ + - + + +++
Sangrai

Keterangan :
- : Tidak terdeteksi
+++ : Sangat pekat
++ : Pekat
+ : Kurang pekat
Sampel hasil penyangraian dan merek positif mengandung flavonoid. Semakin tinggi suhu
dan lama penyangraian maka intensitas warna yang dihasilkan hampir sama. Flavonoid yang terdapat
pada kopi adalah katekin (Kreicbergs, 2011). Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang
berpotensi sebagai antioksidan dan memiliki korelasi positif dalam terapi diabetes (Shiyan et al.,
2017).
Sampel kopi bubuk hasil penyangraian dan merek positif mengandung tanin. Dari hasil
pengamatan terlihat bahwa semakin tinggi suhu dan lama penyangraian maka intensitas warna yang
dihasilkan hampir sama. Hal ini dikarenakan asam klorogenat yang termasuk ke dalam golongan
senyawa tanin mempunyai sifat tidak stabil pada suhu tinggi (Farah, 2012). Kopi merupakan sumber
yang kaya akan senyawa fenolik terutama asam klorogenat, asam amino, dan gula pereduksi (Xu et
al., 2012). Asam klorogenat yang terkandung dalam kopi robusta sekitar 7-10%. Asam klorogenat
memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi (Wiranata, 2016).
Saponin yang terdapat dalam kopi robusta adalah kafestol dan kahweol (Farah, 2012).
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang bersifat sama seperti sabun sehingga dapat
menimbulkan buih. Saponin dalam tanaman berkerja sebagai anti mikroba yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur (Robinson, 1995).

Kadar Air
Kandungan air dalam bahan menentukan daya tahan terhadap serangan mikroorganisme
(Winarno, 1992). Semakin rendah kadar air kopi bubuk yang dihasilkan maka dapat meningkatkan
daya tahan kopi bubuk tersebut karena dapat meningkatkan ketahanan kopi bubuk dari kerusakan
akibat mikroorganisme. Hasil pengujian kadar air kopi bubuk (Gambar 3) menunjukkan bahwa
semakin tinggi suhu dan lama penyangraian maka kadar air akan semakin menurun. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Estiasih dan Ahmadi (2009), bahwa semakin besar perbedaan suhu antara
medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin
cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Perubahan massa air akan terjadi ketika kandungan air
pada bahan telah sampai pada kondisi jenuh, sehingga menyebabkan air yang terkandung di dalam
bahan berubah dari fase cair menjadi uap (Rahayoe et al., 2009). Kadar air yang dihasilkan berkisar
antara 0,52-4,83 % b/b. Kadar air yang dihasilkan pada semua sampel sesuai SNI 01-3542-2004
dengan batas maksimum yaitu 7 % b/b. Kadar air kopi beras (green bean) merupakan kadar air yang
tertinggi dengan kadar air yaitu 4,83% b/b. Hal ini disebabkan pada kopi beras (green bean) setelah
pengeringan di bawah sinar matahari selama 14 hari dan langsung dilakukan penggilingan sehingga
kadar air yang terdapat pada sampel masih tinggi. Berikut ini adalah kadar air sampel kopi bubuk
(Gambar 3).
6
5 4.57 4.83

4
Kadar Air (% b/b)

3 2.37
1.91
2 10 menit
1.24
1 0.65 0.61
0.85 15 menit
0.52

0
170 °C 180 °C 190 °C Merek Merek Tanpa
A B Sangrai

Sampel Kopi Bubuk

Gambar 3. Kadar Air Kopi Bubuk

Kadar Kafein
Analisis kadar kafein menggunakan metode spektrofotometri hal ini dikarenakan penggunaan
metode spektrofotometri lebih efisien dalam segi biaya dan waktu dibanding dengan penggunaan
metode KCKT (Sabrina, 2012). Penggunaan metode spektrofotometri dipilih karena konsentrasi
kafein pada pada kopi robusta yang tinggi yaitu berada pada kisaran 2,26 g /100 g, lebih tinggi
dibandingkan kopi Arabika 1,61 g/ 100 g (Ling et al., 2000). Oleh karena itu, metode
spektrofotometri dapat digunakan untuk analisis kadar kafein pada kopi robusta. Panjang gelombang
maksimum adalah panjang gelombang yang memiliki nilai absorbansi tertinggi. Dari hasil
pengamatan terlihat bahwa kafein terdeteksi pada daerah UV yaitu pada panjang gelombang 275 nm.
Berikut ini adalah panjang gelombang maksimum kafein (Gambar 4).
0.5

0.4

0.3
Absorbansi

0.2

0.1
0
0
240 250 260 270 280 290 300 310
Panjang Gelombang (nm)

Gambar 4. Panjang Gelombang Maksimum Kafein

Panjang gelombang maksimum yang diperoleh dari deret standar kafein selanjutnya akan
digunakan untuk pengukuran kadar kafein. Hasil deret standar kafein kemudian dibuat kurva standar
kafein. Kurva tersebut merupakan hubungan antara konsentrasi (sumbu x) dengan absorbansi (sumbu
y) sehingga diperoleh persamaan garis yang selanjutnya akan digunakan untuk perhitungan kadar
kafein kopi bubuk. Persamaan regresi linear serta koefisien korelasi yang berfungsi untuk mengetahui
hubungan antara konsentrasi dengan absorbansi larutan baku kafein. Standar kafein menghasilkan
persamaan regresi y= 0,0498x - 0,0017 dengan koefisien korelasi sebesar 0,9979. Hasil koefisien
korelasi yang didapat dinyatakan baik untuk standar kafein, karena nilai koefisien korelasi yang
diperoleh berada di atas batas minimum menurut Association of Official Analytical Chemist (AOAC,
2005) yaitu sebesar > 0,9900 (Gambar 5).
1.2
1
0.8 f(x) = 0.05 x − 0
Absorbansi

R² = 1
0.6
0.4
0.2
0
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi (mg/L)

Gambar 5. Kurva Standar Kafein

Kadar kafein kopi bubuk hasil penyangraian dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu dan
lama penyangraian, maka kadar kafein akan semakin turun. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Panggabean (2011) yang menyatakan bahwa penurunan kadar kafein setelah penyangraian disebabkan
karena sebagain kafein akan menyublim menjadi kafeol. Kadar kafein yang diperoleh berkisar antara
1,40 – 2,23% b/b. Kadar kafein pada kopi merek A dan merek B mempunyai kadar yang lebih rendah
dibandingkan dengan sampel hasil penyangraian. Hal ini disebabkan cara pengolahan kopi merek
yang sudah ditambah dengan bahan tambahan saat penyangraian seperti beras, ketan dan jagung akan
menyebabkan kadar kafein semakin rendah (Yulia et al., 2016). Berikut ini adalah kadar kafein
sampel kopi bubuk (Gambar 6).

2.5 2.23
1.92
2 1.79 1.771.7
Kadar Kafein (% b/b)
1.66
1.63 1.55
1.5 1.4

1
10 menit
0.5 15 menit
0
170 °C 180 °C 190 °C Merek Merek Tanpa
A B Sangrai

Sampel Kopi Bubuk

Gambar 6. Kadar Kafein Kopi Bubuk

Kadar kafein yang dihasilkan pada semua sampel kopi bubuk hasil penyangraian sesuai SNI
01-3542-2004 dengan rentang yaitu 0,9-2% b/b kecuali pada kopi beras (green bean) tanpa perlakuan
sangrai yang mempunyai kadar kafein 2,23% b/b. Hal ini disebabkan green bean langsung dilakukan
penggilingan dan tidak dilakukan penyangraian. Alasan ini menyebabkan kadar kafein pada sampel
ini masih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aulia (2010) yang menyatakan bahwa kadar kafein
yang terkandung di dalam biji kopi robusta sebelum penyangraian adalah 1,5 - 2,5% b/b. Tinggi
rendahnya kadar kafein kopi salah satunya dipengaruhi oleh varietas. Varietas kopi robusta setelah
penyangraian mempunyai kadar kafein yang tinggi yaitu 2% b/b (Clarke dan Macrae, 1987).

Derajat Keasaman (pH)


Menurut Panggabean (2011), kadar asam karboksilat pada biji kopi robusta adalah 1,6%.
Jenis asam karboksilat pada biji kopi diantaranya asam format, asam asetat, asam sitrat, asam piruvat,
asam laktat, asam malat, dan asam kuinat. Asam yang berperan terhadap pembentukan komponen cita
rasa asam yaitu asam asetat, asam malat, asam sitrat, dan asam fosfat. Asam-asam yang terkandung
dalam kopi mempengaruhi derajat keasamannya. Berikut ini adalah pH kopi bubuk (Gambar 7).
7 6.45 6.58
6.53
6.1 6.32
5.84
6 5.33
5.23 5.02
5
4
3
pH

2 10 menit
1 15 menit
0
170 °C 180 °C 190 °C Merek Merek Tanpa
A B Sangrai

Sampel Kopi Bubuk

Gambar 7. pH Kopi Bubuk


pH kopi bubuk yang diperoleh berkisar antara 5,02 - 6,58. Green bean mempunyai nilai pH
tergolong asam yaitu 5, dengan semakin naiknya suhu dan lama penyangraian pH semakin mendekati
netral. Pada sampel merek A dan B pH yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan kopi bubuk hasil
penyangraian yaitu pada kisaran 6,10 - 6,32. Penurunan nilai keasaman ini disebabkan menguapnya
beberapa zat asam pada saat kopi disangrai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulato (2002) yang
menyatakan bahwa biji kopi secara alami mengandung berbagai jenis senyawa volatil seperti
aldehida, furfural, keton, alkohol, ester, asam format, dan asam asetat yang mempunyai sifat mudah
menguap. Perubahan kimiawi biji kopi selama penyangraian dapat dimonitor dengan perubahan nilai
pH. Semakin lama dan tinggi suhu penyangraian, jumlah ion H + bebas di dalam seduhan makin
berkurang secara signifikan (Sulistyowati, 2002).

Kadar Sari
Kadar sari kopi bubuk menunjukkan jumlah zat yang terlarut dalam air selama penyeduhan
(Nopitasari, 2010). Zat yang terlarut dalam air selama penyeduhan mempengaruhi cita rasa seduhan
kopi. Kadar sari yang diperoleh dari beberapa perlakuan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu
dan lama penyangraian maka kadar sari pada kopi bubuk akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil
pengamatan diperoleh hasil bahwa pada kopi bubuk hasil penyangraian pada suhu 180 °C selama 15
menit, 190 °C selama 10 menit, 190 °C selama 15 menit, merek A, dan merek B masuk ke dalam
persyaratan SNI 01-3542-2004 dengan rentang yaitu 20 - 36% b/b. Kopi bubuk hasil penyangraian
pada suhu 170 °C selama 10 menit, 170 °C selama 15 menit, 180 °C selama 10 menit, dan sampel
tanpa sangrai (green bean) kadar sari yang dihasilkan tidak masuk ke dalam persyaratan. Semakin
tinggi suhu dan lama penyangraian maka nilai kadar sari kopi bubuk akan semakin meningkat. Kadar
sari sangat erat kaitannya dengan ukuran partikel dan luas permukaan. Permukaan yang semakin luas
akan meningkatkan jumlah zat yang dapat larut dalam air ketika penyeduhan. Semakin halus hasil
gilingan semakin baik cita rasa yang dihasilkan dari seduhannya. Menurut Yeretzian et al (2012),
semakin halus partikel kopi semakin mudah melepas komponen kopi bubuk. Berikut ini adalah kadar
sari kopi bubuk (Gambar 8).
35 31.68
30
25.81
25 22.26 23.51
21.43
Kadar Sari (% b/b)

20
15.1
15
10.92
10
9.33 10 menit
15 menit
5 2.58
0
170 °C 180 °C 190 °C Merek Merek Tanpa
A B Sangrai

Sampel Kopi Bubuk

Gambar 8. Kadar Sari Kopi Bubuk

Sampel hasil penyangraian dengan kadar sari yang tidak masuk ke dalam persyaratan karena air
yang digunakan suhunya kurang dari 95 °C. Hal ini dapat menyebabkan komponen-komponen dalam
kopi tidak sempurna larut dalam air sehingga kadar sari pada kopi bubuk robusta rendah dan tidak
masuk ke dalam persyaratan. Hal ini berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan
yaitu suhu, waktu, dan luas permukaan. Suhu dan lama waktu ekstraksi merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju ekstraksi. Pada proses ekstraksi, laju ekstraksi akan meningkat seiring dengan
naiknya suhu ekstraksi. Selain itu, lama kontak dengan pelarut akan meningkatkan kelarutan material
yang akan diekstrak sehingga kecepatan ekstraksi juga meningkat (Ramadhan dan Phaza, 2010).
Pengecilan ukuran partikel bertujuan untuk memperluas permukaan bahan sehingga mempercepat
penetrasi pelarut ke dalam bahan yang akan diekstrak (Tambun et al., 2016).

Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan jumlah material yang terdapat dalam suatu bahan (Pastiniasih, 2012).
Kandungan material pada kopi dapat berupa unsur yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhan.
Kadar abu yang dihasilkan berkisar antara 3,61-21,81% b/b. Kadar abu pada kopi bubuk hasil
penyangraian pada suhu 190 °C selama 10 menit, 190 °C selama 15 menit, merek A dan merek B
memiliki kadar abu yang sesuai persyaratan SNI 01-3542-2004 dengan batas maksimum yaitu 5%
b/b. Pada kopi bubuk hasil penyangraian pada suhu 170 °C selama 10 menit, 170 °C selama 15 menit,
180 °C selama 10 menit, 180 °C selama 15 menit, dan tanpa sangrai kadar abu yang dihasilkan tidak
masuk ke dalam persyaratan. Hal ini dikarenakan pada proses pengabuan yang belum sempurna
sehingga belum semua sampel menjadi abu. Menurut Estiasih (2012) pengabuan yang sempurna
dilakukan sampai warna sampel menjadi seragam dan berwarna abu-abu sampai putih, serta bebas
dari sisa sampel yang tidak terbakar. Hal ini dapat menyebabkan kadar abu pada sampel perlakuan
tersebut masih tinggi.
Kadar abu pada kopi bubuk robusta mengalami penurunan dengan semakin tinggi suhu dan lama
penyangraian. Menurut Asrawaty (2011) menyatakan bahwa peningkatan kadar abu terjadi karena
semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu pengeringan maka akan semakin banyak air yang
teruapkan dari bahan. Sampel dengan kadar air yang tinggi akan menguapkan air lebih banyak.
Sudarmadji et al (1997), bahwa kadar abu tergantung pada jenis bahan, cara pengabuan, waktu dan
suhu yang digunakan saat pengeringan. Semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu pengeringan
akan menaikkan kadar abu karena air yang keluar dari dalam bahan semakin tinggi. Tingginya kadar
abu pada green bean disebabkan karena tidak dilakukan penyangraian sehingga kotoran-kotoran yang
terdapat pada sampel masih tinggi. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab tingginya kadar abu
pada sampel. Menurut Yuhandini et al (2008), perbedaan kadar abu kopi disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya mutu kopi. Kadar abu yang tinggi menunjukkan mutu bahan pangan yang kurang
bersih (Nopitasari, 2010). Berikut ini adalah kadar abu kopi bubuk robusta (Gambar 9).
25
21.81
20
KadarAbu (% b/b)

15
10.23
9.62
10 8.72
6.63 10 menit
5 4.12
3.92 3.89 3.61 15 menit

0
170 °C 180 °C 190 °C Merek Merek Tanpa
A B Sangrai

Sampel

Gambar 9. Kadar Abu Kopi Bubuk


Cemaran Mikroba
Nilai cemaran mikroba diukur menggunakan dua parameter, yaitu angka lempeng total dan
angka kapang. Kedua nilai tersebut mempengaruhi kualitas suatu sampel bahan pangan, semakin
tinggi nilai keduanya maka semakin buruk kualitas bahan pangan tersebut. Hasil analisis cemaran
mikroba menunjukkan bahwa kopi bubuk hasil penyangraian, kopi merek A dan merek B sesuai
dengan persyaratan SNI 01-3542-2004 dengan batas maksimum untuk angka lempeng total yaitu 10 6
dan kapang 104 koloni/g.
Green bean memiliki hasil cemaran mikroba yang paling tinggi karena baik ALT maupun AK
memiliki hasil yang tidak bisa untuk dihitung. Hal ini dikarenakan pada green bean (tanpa sangrai)
tidak dilakukannya penyangraian sehingga kadar air yang dihasilkan cenderung masih tinggi yaitu
4,83% b/b. Hal ini menyebabkan hasil cemaran mikroba masih tinggi. Menurut Winarno (1992)
menyatakan bahwa kandungan air dalam bahan menentukan daya tahan terhadap serangan
mikroorganisme. Hasil cemaran mikroba untuk sampel merek B baik ALT maupun AK memiliki hasil
yang paling baik dibandingkan sampel merek A dan kopi bubuk hasil penyangraian. Kopi bubuk hasil
penyangraian jika dibandingkan dengan sampel merek A dan merek B hasil cemaran mikrobanya
lebih baik sampel merek A dan merek B. Kopi bubuk pada penyangraian suhu 190 °C selama 10
menit merupakan kopi bubuk dengan cemaran mikroba terbaik karena baik ALT maupun AK
menghasilkan jumlah koloni yang paling rendah yaitu 190 koloni/g dan 95 koloni/g dibandingkan
sampel penyangraian lainnya. Kopi bubuk hasil penyangraian dengan suhu 190 °C selama 15 menit
mengalami jumlah koloni yang meningkat dibandingkan kopi bubuk hasil penyangraian dengan suhu
190 °C selama 10 menit. Hal ini dikarenakan proses pengemasan kopi yang kurang steril sehingga
memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme pada kopi bubuk yang menyebabkan jumlah koloni
meningkat. Berikut ini hasil cemaran mikroba kopi bubuk robusta (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Cemaran Mikroba Kopi Bubuk Robusta
No. Sampel Analisis Hasil Hasil
Cemaran Pengamata (koloni/
Mikroba n (koloni) g)
1. Sampel Bermerek A ALT 0 99,89
AK 1 9,99
2. Sampel Bermerek B ALT 0 99,50
AK 1 9,95
3. Tanpa Sangrai ALT TBUD TBUD
AK TBUD TBUD
4. 170, 10 menit ALT 88 8230
AK 19 178
5. 170, 15 menit ALT 8 751
AK 13 122
6. 180, 10 menit ALT 5 500
AK 11 110
7. 180, 15 menit ALT 4 386
AK 14 135
8. 190, 10 menit ALT 2 190
AK 10 95
9. 190, 15 menit ALT 3 295
AK 11 109
Keterangan:
ALT : Angka Lempeng Total
AK : Angka Kapang
TBUD : Tidak Bisa Untuk Dihitung

Pertumbuhan kapang pada bahan makanan maupun bahan baku obat tradisional dapat
mengurangi kualitas makanan atau obat tradisional menghasilkan toksin yang berbahaya bagi tubuh
manusia. Jenis kapang tertentu dapat menghasilkan toksin yaitu mikotoksin. Mikotoksin adalah
metabolit sekunder dari kapang yang dapat menyebabkan efek toksis pada manusia dan hewan
disebut mikotoksik. Salah satu contohnya adalah aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus.
Aspergillus bersifat saprofit pada tanah dan dapat mencemari bahan pokok seperti beras, ubi kayu,
kacang-kacangan dan rempah-rempah. Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik
yang dapat dijumpai secara alamiah (Dewi, 2016).

KESIMPULAN
Suhu dan lama penyangraian optimum kopi robusta Bogor adalah 190 °C selama 10 menit
dan mutu kopi bubuk hasil penyangraian sama dengan kopi bubuk bermerek.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Bapak Dr. Ridha Arizal, M.Sc selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas
Nusa Bangsa. Bapak Dian Arrisujaya, S.Pd., M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia Universitas
Nusa Bangsa. Bapak Prof. Dr. RTM Suthamihardja, M.Agr (Chem) selaku pembimbing I, Ibu Ade
Ayu Oksari, S.Si., M.Si selaku pembimbing II, Ibu Nurlela, S.Si., M.Si, dan Dr. Lany Nurhayati,
S.Si., M.Si selaku penguji. Ayah, ibu, adik tercinta, dosen beserta seluruh staff Fakultas MIPA
Universitas Nusa Bangsa, Annisa, Nova, dan staff laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Association of Official Analytical Chemist . 2005. Official Method of Analysis of AOAC International.
Edisi ke-18. AOAC International. Maryland.

Asrawaty. 2011. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap mutu tepung pandan. Jurnal KIAT
edisi juni. Universitas Alkhairaat. Palu.

Aulia, N. 2010. Pedoman Budidaya Tanaman Kopi. Tim Karya Tani Mandiri. Bandung

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2000. Inventaris Tanaman Obat Indonesia.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, 75. Jakarta.

Clarke, R.J. dan R. Macrae. 1987. Coffee Volume 1 Coffee Chemistry. Elsevier Applied Science.
London and New York.

Dewi, M. 2016. Uji Angka Kapang/Khamir (AKK) dan Angka Lempeng Total (ALT) pada Jamu
Gendong Temulawak di Pasar Tarumanegara Magelang. Skripsi. Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta.

Dinas Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Bogor. 2016. Statistik Perkebunan Kopi
Kabupaten Bogor 2016-2017. Bogor. Direktorat Jenderal Perkebunan.

Eriksson, C. 1981. Maillard Reaction in Food: Chemical, Physiological and Technological Aspects.
Pergamon Press. Oxford

Farah, A. 2012. Coffe: Emerging Health Effects and Disease Prevention. Blackwell. Amazon.

Fitri, N.S. 2008. Pengaruh Berat dan Waktu Penyeduhan Terhadap Kadar Kafein dari Bubuk Teh.
Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara.
Medan.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.
Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwan Sudiro. ITB. Bandung.
Henza, P. 2015. Pengaruh Suhu dan Durasi Penyangraian Kopi Arabika dan Kopi Robusta Green
Bean maupun Hulls Bean Terhadap Sifat Fisikokimia dan Sensori Kopi Bubuk. Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Kaholik Soegijapranata.Semarang.

Kreicbergs, V., F. Dimins., V. Mikelsone., I. Cinkmanis. 2011. Biologically Active Compounds In


Roasted Coffee. Food Balt. Latvia

Ling l. S, N. I. N. Daud, dan O. Hassan. 2000. Determination Of Coffee Content In Coffee Mixtures.
Journal of Analytical Sciences. Malaysia.

Mulato, S. 2002. Pelarutan Kafein Biji Robusta dengan Kolom Tetap Menggunakan Pelarut Air.
Pelita Perkebunan. Jakarta.

Nopitasari, I. 2010. Proses Pengolahan Kopi Bubuk (Campuran Arabika dan Robusta) Serta
Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

Nugroho, J.W.K, L. Juliyanti, R. Sri. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian Terhadap Sifat
Fisik-Mekanis Biji Kopi Robusta. Jurnal Teknik Produk Pertanian. Yogyakarta.

Panggabean, E. 2011. Buku Pintar Kopi. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Pastiniasih, I. 2012. Pengolahan Kopi Instan Berbahan Baku Kopi Lokal Buleleng, Bali (Campuran
Robusta Dan Arabika). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Rachmawati, T. 2010. Pengaruh Penambahan Bahan Aditif Dalam Proses Pengolahan Kopi Bubuk
dan Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.Insititut
Pertanian Bogor. Bogor.

Rahayoe, S., J.. Lumbanbatu., W.K.J. Nugroho. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian
terhadap Sifat Fisik-Mekanis Biji Kopi Robusta. Jurnal Penelitian. UGM. Yogyakarta.
Ramadhan, A. dan H. Phaza. 2010. Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu, dan Jumlah Stage Pada
Ekstraksi Oleoresin (Zingiber officinale Rosc) Secara Batch. Skripsi. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Ridwansyah. 2003. Pengolahan Kopi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.

Robinson, T. 1995. Kandungan senyawa organik tumbuhan tinggi. Diterjemahkan oleh prof. Dr.
Kosasih padnawinata. ITB. Bandung.

Sabrina, K., S. Wonorahardjo, N. Zakia. 2012. Perbandingan Metode Spektrofotometri UV-Vis dan
KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) pada Analisis Kadar Asam Benzoat dan Kafein
dalam Teh Kemasan. Jurnal UNM. Malang.

Shiyan, S., D. Herlina, E. Arsela, Latifah. Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanolik Daun Kopi Robusta
(Coffea Canephora) Pada Tikus Diabetes Tipe 2 Yang Diberi Diet Lemak Tinggi Dan
Sukrosa. Jurnal MIPA. Palembang.

Standar Nasional Indonesia. 2004. SNI-01-3542-2004 Kopi Bubuk

Standar Nasional Indonesia. 1992. SNI-01-2891-1992 Cara Uji Makanan dan Minuman.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan
dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sulistyowati. 2002. Beberapa Teknik Penyajian Kopi Seduhan. Warta Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao. Jember.

Tambun, R., H.P Limbong., C. Pinem., E. Manurung. 2016. Pengaruh Ukuran Partikel Waktu Dan
Suhu Pada Ekstraksi Fenol Dari Lengkuas Merah. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 5, No. 4.
Medan

Wang, H.Y., H. Qian, dan W.R Yao. 2011. Melanoidins Produced by The Maillard Reactions:
Structure of Biological Activity. Food Chemistry. 128: 573-584.

Widyotomo, S., M. Sri. 2007. Kafein: Senyawa Penting Pada Biji Kopi. Warta Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia. Vol 23 (1): 44-50.

Wiranata, R. 2016. Pengaruh Tingkat Penyangraian Terhadap Karakteristik Fisik Dan Kimia Kopi
Robusta (Coffea canephora L). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Xu JG, Q.P Hu, dan Y.Liu. 2012. Antioxidant and DNA-protective activities of chlorogenic acid
isomers. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 60: 11625-11630

Yeretzian, C., E.C Pascual., dan B.A Goodman. 2012. Effect of roasting condition and grinding on
free radical contents of coffee beans stored in air. Food Chemistry. 131: 811-816.

Yuhandini, I., A. Rejo, dan Hasbi. 2008. Analisis Mutu Kopi Sangrai Berdasarkan Tingkat Mutu Biji
Kopi Beras. Program Studi Teknik Pertanian Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Yulia, R., Z. A Adek., dan P. P Deddi. 2016. Analisis Kadar Kofein Kopi Luwak dengan Variasi Jenis
Kopi, Spesies Luwak dan Cara Pengolahan dengan Metoda TLC Scanner. Jurnal Sains
Farmasi & Klinis , 2. 1; 171-175.

Yusdiali, W. 2008. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian terhadap Tingkat Kadar Air dan
Keasaman Kopi Robusta (Coffea robusta). Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Sumber Internet:

Estiasih, T. 2012. Analisis Kadar Abu dan


Mineral. http://blog.ub.ac.id/dermolen/files/2012/04/4._Analisis_Kadar_Abu_dan_Mineral.pd
f. Diakses Pada Tanggal 25 Juli 2018

You might also like