J. Agroland 16 (3) : 258 - 267, September 2009 ISSN: 0854 - 641X

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

J.

Agroland 16 (3) : 258 - 267, September 2009 ISSN : 0854 – 641X

POPULASI JAMUR MIKOTOKSIGENIK DAN KANDUNGAN


AFLATOKSIN PADA BEBERAPA CONTOH BIJI KAKAO
(Theobroma cacao L) ASAL SULAWESI TENGAH

Population of Mycotoxigenic Fungi and Aflatoxin Content in Some Cacao


Seed Samples from Central Sulawesi
A s r u l1)
1)
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako , Jl. Soekarno – Hatta Km 9 Palu 94118,
Sulawesi Tengah Telp/Fax : 0451 – 429738

ABSTRACT

The WHO and FAO regulation on the maximum level of 30 ppb aflatoxin in foods and feeds
has prompted consumer-countries from Europe and USA to put pressure on producer-countries of
cacao seeds to fulfill this requirement. It is reported that aflatoxin contamination produced by fungi
Aspergillus flavus in cacao seeds can occur in crops, in the field, at harvest, during postharvest
operations and in storage. This study aims at identifying mycotoxigenic fungi and their population, the
content of aflatoxin in cacao seed at farmer, collecting-traders and exporter levels, and correlation
between fungi population with aflatoxin content on cacao seed from Central Sulawesi. At a preliminary
study, survey was conducted to determine samples of farmers, collecting-traders and exporters, and
samples of cacao seeds (purposive sampling) in Donggala, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Buol and
Toli-toli districts as well as in Palu city. Six samples of cacao seed were taken from every district and
city (1 kg per seed sample). Fungi from cacao seeds were isolated using a planting method with Potato
Dextrosa Agar (PDA) as a media. The examination for other A. flavus and mycotoxigenic population
was determined microbiologically, whereas aflatoxin was determined using HPTLC (High
Performance Thin Layer Chromatography). The results of the study showed that the number of fungi
species (9 species), the density of fungi population (1.4 x 10 9) and the aflatoxin content (104.798 ppb)
in dried cacao seed trading at the farmer level were higher than that of at the collecting-trader level
(6 species; 6.5 x 107 population density; 61.305 ppb aflatoxin content) and at the exporter level
(5 species; 6.0 x 105 population density; 47.737 ppb aflatoxin content). The fungi found at the ecology
of cacao seed were Aspergillus flavus, A. fumigatus, A. niger, Peniciliium sp, Fusarium sp, Mucor sp,
Rhizopus sp, Geotrichum sp, Verticillium sp, Trichoderma viride dan Trichoderma sp.

Key words : Population, mycotoxigenic, aflatoxin

PENDAHULUAN merupakan peluang bagi Indonesia untuk


dapat memperoleh pendapatan devisa dari
Pemasaran biji kakao Indonesia telah komoditi ini. Pada tahun 2001, nilai ekspor
mencapai perdagangan pasar Internasional. kakao Indonesia sebesar 391,086 US dollar
Sebagian besar biji kakao Indonesia di ekspor dan pada tahun 2006 telah mencapai 667,993 US
dollar. Hal yang sangat menentukan tingkat
ke luar negeri, walaupun sudah ada beberapa
harga di perdagangan pasar Internasional
industri pengolahan biji kakao menjadi adalah mutu biji kakao. Oleh karena itu, mutu
produk setengah jadi. Perkembangan ekspor biji kakao yang akan di ekspor perlu
biji kakao dari Indonesia relatif menunjukkan mendapat perhatian dari produsen biji kakao
peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga ini terutama di Indonesia (Deperinda, 2007).

258 258
Dalam perdagangan kakao, salah satu FAO dan UNICEF telah menetapkan batas
penentu mutu biji kakao adalah adanya kandungan aflatoksin pada produk pertanian
kandungan jamur, dimana 3% adalah batas yang dikonsumsi, tidak lebih dari 30 ppb.
maksimal yang diperkenankan untuk grade I Bahkan Europan Commission menetapkan
dan maksimal 4% untuk grade II. Namun batas maksimal total aflatoksin lebih rendah
standar perdagangan kakao ini tidak menyentuh yakni 4 ppb untuk produk serelia (Miskiyah
aspek kontaminasi jamur sebagai penghasil dan Widaningrum (2008).
toksin ataupun metabolitnya (Rahmadi dan Aflatoksin diproduksi terutama
Fleet, 2008). Hal ini menyebabkan kurangnya oleh jamur Aspergillus flavus, A. parasiticus,
A. nomius, A. pseudotamarii dan
perhatian pemerintah dan masyarakat
A. ochraceoroseus. Kontaminasi aflatoksin
khususnya petani kakao akan bahaya yang pada komoditi pertanian lebih sering terjadi
ditimbulkan berupa metabolit sekunder di daerah beriklim tropik dan sub tropik
(toksin) yang diproduksi oleh jamur. karena suhu dan kelembabannya sesuai
Jamur dapat tumbuh dan berkembang untuk pertumbuhan jamur (Handajani dan
pada hasil-hasil pertanian sebelum panen, Setyaningsih, 2006).
hasil panen yang sedang disimpan maupun A. flavus sebagai penghasil utama
produk yang sedang atau telah diolah. Belum aflatoksin umumnya hanya memproduksi
dikuasainya teknologi penanganan pascapanen aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2).
biji kakao kering atau pengolahan pascapanen Sedangkan A. parasiticus memproduksi
yang kurang tepat dan tidak layak seperti AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2. A. flavus dan
pemanenan, sortasi, pencucian, penjemuran A. parasiticus tumbuh pada kisaran suhu yang
dan penyimpanan, menyebabkan mudahnya panjang, berkisar dari 10–120C sampai
terjadi kontaminasi mikroorganisme yang 42–430C dengan suhu optimum 32–330C
tidak diharapkan seperti jamur penghasil dan pH optimum 6 (Maryam, 2002). Handajani
toksin. Jamur tersebut akan mencemari biji dan Setyaningsih (2006) melaporkan,
kakao dan dapat menimbulkan perubahan- aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa
perubahan kimiawi di dalamnya, sehingga yang dapat menjadi penyebab terjadinya
komoditi ini tidak dapat dikonsumsi atau kanker pada manusia. Aflatoksin berpotensi
bahkan beracun. Rahmadi dan Fleet (2008) karsinogenik, mutagenik, teratogenik dan
melaporkan bahwa jamur mikotoksigenik bersifat imunosupresif. Diantara keempat
jenis aflatoksin tersebut, AFB1 memiliki efek
dapat tumbuh di produk kakao sehingga
toksik yang paling tinggi.
kemungkinan adanya mikotoksin diproduk
Sudjadi et al. (1999) melaporkan
kakao, coklat, kacang-kacangan dan sereal. bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang
Kontaminasi mikotoksin pada biji kakao tidak pria dan 15 orang wanita) menderita kanker
hanya berbahaya bagi kesehatan manusia namun hati. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada
juga dapat menimbulkan kerugian ekonomi contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan
yang cukup besar dan berpengaruh terhadap konsentrasi diatas 400 µg/kg.
perdagangan Internasional (Maryam, 2006). Kerusakan yang disebabkan oleh
Aflatoksin merupakan salah satu mikroba ini merupakan bentuk kerusakan
nama sekelompok senyawa yang termasuk yang paling merugikan dan berbahaya bagi
mikotoksin dan paling toksik dibanding kesehatan manusia karena aflatoksin yang
mikotoksin lainnya. Aflatoksin bersifat diproduksi serta proses kerusakannya
karsinogen dan banyak ditemukan pada berlangsung cepat. Menurut Buckel et al.,
produk pertanian. Aflatoksin dapat menyebabkan (1987), keamanan produk pertanian dari
kanker dan ginjal pada manusia bila kerusakan akibat serangan mikroba ditentukan
dikonsumsi secara berlebihan. Mengingat oleh jumlah dan spesies patogenik yang
bahaya yang ditimbulkannya, maka WHO, terdapat pada produk tersebut.

259
Propinsi Sulawesi Tengah merupakan Moutong, Poso, Morowali, Buol dan Toli-toli,
salah satu daerah penghasil kakao terbesar dengan kondisi geografis yang berbeda di
kedua di Indonesia setelah Sulawesi Selatan, wilayah Sulawesi Tengah. Setiap lokasi
dengan produksi kakao sebesar 137.000 ton / ha terdapat tiga petani dan tiga pedagang
atau 21,04% dari total produksi kakao pengumpul sebagai tempat pengambilan
nasional yakni 456.000 ton/ha. Sebagian contoh biji. Pengambilan contoh biji
besar kakao dari daerah ini di ekspor ke dilaksanakan secara purposive yaitu
beberapa negara di dunia (Deperinda, 2007). mengamati dan mengumpulkan contoh biji
Oleh karena propinsi Sulawesi kakao yang diduga terserang jamur
Tengah merupakan salah satu sentra produksi mikotoksigenik. Untuk pengambilan contoh
kakao di Indonesia, maka perlu dilakukan biji pada eksportir, diambil langsung dari tiga
suatu penelitian yang bertujuan untuk gudang penyimpanan biji kakao siap ekspor
mengetahui jenis-jenis jamur mikotoksigenik di Kota Palu sebagai basis ekspor produk-
yang tumbuh dan menginfeksi biji kakao produk komoditas pertanian Sulawesi Tengah
dan populasinya. ke luar daerah/negeri. Biji kakao yang
digunakan sebagai contoh, diambil masing-
BAHAN DAN METODE masing sebanyak 6 contoh biji pada setiap
lokasi (1 kg per contoh biji). Dengan demikian,
Tempat dan Waktu Penelitian terdapat 18 contoh biji (sampel) dari petani,
18 sampel dari pedagang pengumpul dan
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
3 sampel dari eksportir. Biji kakao yang telah
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan
dikumpulkan, diambil dan dimasukkan ke
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
dalam kantong plastik steril kemudian
Pertanian, UNTAD Palu. Pengambilan sampel
dibawa ke Laboratorium Hama dan Penyakit
dilakukan di satu Kota dan enam Kabupaten.
Tumbuhan, Jurusan Hama dan Penyakit
Percobaan dilaksanakan selama 10 bulan
Tumbuhan, Fakultas Pertanian, UNTAD Palu.
yaitu bulan Januari - November 2009.
Di laboratorium, dari setiap 1 kg
Bahan dan Alat contoh biji kakao, diambil sebanyak 100 biji
secara acak kemudian dijadikan sebagai
Bahan yang digunakan antara lain biji sampel dalam percobaan ini.
coklat, media PDA, alkohol 70%, NaOCl 1%,
Ultra Violet (UV), pewarnaan laktofenol Isolasi Jamur dari Contoh Biji Kakao
kotton blue, larutan asam laktat dan tripan Isolasi jamur menggunakan metode
blue, asam asetat, metanol, buffer salin fosfat, agar (PDA). Mula-mula biji kakao sebanyak
metil blue dan aquades. Peralatan yang 100 contoh biji, dicelupkan atau direndam ke
dipakai adalah cawan petri (diameter 15 cm) dalam larutan natrium klorida (NaOCl) 1%
dan tabung reaksi, erlemeyer, batang selama 30 detik dalam wadah, selanjutnya
pengaduk, gelas piala, gelas ukur, aluminium dibilas dengan air steril dan di keringanginkan.
foil, lampu spritus (bunsen), jarum isolasi, Kemudian contoh biji ditumbuhkan pada
vorteks, mikroskop, mikropipet, timbangan medium PDA dalam cawan petri (diameter
analitik, cover glass, ose dan pinset, autoklaf, 15 cm) secara aseptik dengan jarak antara biji
suntikan, kertas saring, tissue rol, gunting, tidak bersentuhan. Jumlah cawan petri
label dan lain-lain. yang digunakan sebanyak 10 cawan dengan
Metode Pelaksanaan masing-masing cawan berisi 10 contoh biji.
Cawan petri yang berisi biji kakao,
Pengumpulan Sampel diinkubasi antara 5–7 hari. Pertumbuhan
Survei dilakukan pada daerah/lokasi dan warna koloni jamur yang tumbuh
sentra produksi pertanaman kakao di Sulawesi pada medium agar, diamati. Setelah itu
Tengah yaitu di Kabupaten Donggala, Parigi jamur diisolasi pada medium PDA. Dari

260 260
hasil isolasi tersebut, jamur yang tumbuh Identifikasi Isolat jamur
diamati morfologinya secara mikroskopis
dan diidentifikasi spesiesnya dengan kunci Identifikasi isolat jamur dilakukan
identifikasi yang telah dideskrikpsikan oleh baik secara makroskopis maupun mikroskopis.
Raper dan Fennel (1973). Identifikasi secara makroskopis dilakukan
Koloni jamur mikotoksigenik yang dengan cara melihat langsung koloni yang
sudah berhasil diidentifikasi, dibuat biakan tumbuh pada media PDA setelah 48 jam masa
murninya pada beberapa cawan petri dan inkubasi pada suhu 28 – 300C. Koloni yang
tabung reaksi yang berisi medium PDA. tumbuh akan memiliki spora dengan bentuk
dan warna yang berbeda-beda tergantung
Penghitungan Populasi Mikotoksigenik spesies jamur, sedangkan identifikasi secara
Biakan murni jamur mikotoksigenik mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati
di ditumbuhkan pada medium agar (PDA) struktur jamur di bawah mikroskop. Pengamatan
miring dalam tabung reaksi selama 48 jam makroskopis meliputi warna koloni, tepi
pada suhu kamar. Kemudian dimasukkan koloni, permukaan koloni, penampakan/profil
10 ml air steril ke dalam tabung reaksi koloni serta sebalik koloni.
sehingga terbentuk suspensi jamur. Selanjutnya Analisis Aflatoksin
dilakukan pengenceran bertingkat dari 10-1
hingga di capai 10-8 dengan menggunakan Analisis kuantitatif dilakukan dengan
aquadest steril. Hasil pengenceran tersebut HPTLC pada kolom Resolve TM C18,
diinokulasikan pada PDA dalam cawan partikel sferis dengan ukuran 5 UM dengan
petri. Inokulasi jamur dilakukan dengan fasa gerak dipilih air-asetonitril 15:4. Deteksi
cara mengambil sebanyak 1 ml suspensi dilakukan dengan detektor fluorometer pada
dari masing-masing pengenceran kemudian panjang gelombang eksitasi 360 nm dan
disebarkan dan di ratakan pada permukaan emisi 425 nm. Nilai Rf (Rate of flow) dari
medium PDA yang sudah membeku dalam fluoresensi bercak sampel dan standar
cawan petri dengan menggunakan L-glass. dibandingkan. Aflatoksin dikatakan positif
Setiap pengenceran dibuat 3 ulangan cawan apabila Rf sampel sama dengan standar
petri. Kemudian diinkubasikan pada suhu
(deteksi aflatoksin secara kualitatif).
kamar dan diamati jumlah koloninya.
Pengamatan terhadap variabel populasi jamur Kadar aflatoksin pada sampel (deteksi
dilakukan pada 48 jam setelah inokulasi aflatoksin secara semi kuantitatif) diperoleh
Jumlah populasi jamur dihitung dengan membandingkan intensitas fluoresensinya
dengan rumus : dengan deret standar aflatoksin. Kadar
aflatoksin ditentukan dengan menggunakan
1 rumus sebagai berikut:
Pb  Jk x Fp  p x Vs
Fp , S x Y x V x Fp
Kadar aflatoksin (ppb) =
Pb = populasi jamur (cfu/ml) WxZ
Jk = jumlah koloni
Fp = faktor pengenceran Keterangan:
p = pengenceran S = volume aflatoksin standar (μl) yang
Vs = volume suspensi yang ditumbuhkan (ml) memberikan perpendaran setara dengan
dalam cawan petri Z μl sampel
Y = konsentrasi aflatoksin standar dalam μg/ml
Jumlah koloni yang dihitung
Z = volume ekstrak sampel yang dibutuhkan
berasal dari cawan petri yang dipilih dan
dihitung mengandung jumlah koloni antara untuk memberikan perpendaran setara
30 – 300 koloni. dengan S μl standar aflatoksin

261
V = volume pelarut yang digunakan untuk Berdasarkan hasil pengamatan pada
melarutkan sampel ekstrak akhir (μl) proses panen buah kakao di beberapa
W = volume sampel (ml) Kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah,
Fp = faktor pengenceran pemanenan buah kakao seringkali dilakukan
petani sebelum waktunya, yakni panen
Analisis aflatoksin menggunakan dilakukan saat buah kakao belum masak
HPTLC sesuai AOAC yang terdiri terdiri atas optimal dimana buah kakao masih berwarna
tahap ekstraksi (umumnya menggunakan hijau kekuningan atau merah bata sehingga
metanol), clean up (menggunakan kolom) biji yang dihasilkan masih muda. Buah
dan identifikasi. Pada tahap identifikasi kakao mencapai masak optimal apabila
menggunakan HPTLC, aflatoksin akan buah telah berwarna kuning tua (kuning
diderifatisasi terlebih dahulu menggunakan jingga) atau kekuning-kuningan (Haryadi dan
Tri Fluoro Acetic acid (TFA). Supriyanto, 1991).
Menurut Maryam (2006), biji yang
HASIL DAN PEMBAHASAN masih muda banyak memiliki kandungan air.
Hal ini sangat mendukung bagi pertumbuhan
Macam-macam Jamur dan perkembangan jamur pascapanen
Pada Tabel 1 tampak bahwa di tingkat terutama bila pengeringan yang dilakukan
petani, jumlah jamur yang menginfeksi biji tidak sempurna. Biji kakao dengan kandungan
air yang tinggi akan menimbulkan jamur
kakao sebanyak 9 spesies, pedagang
pada permukaan kulitnya saat penyimpanan
pengumpul 6 spesies dan eksportir 5 spesies.
dilakukan, sehingga dapat merusak citarasa
Ini berarti keragaman jumlah jamur yang dan penampakannya. Hal inilah yang
menginfeksi biji kakao di tingkat petani lebih menyebabkan biji kakao harus dikurangi
banyak dibanding pada tingkat pedagang kadar airnya sampai batas aman untuk
pengumpul dan eksportir. Kontaminasi jamur penyimpanan. Untuk menjaga agar komoditi
yang lebih tinggi di tingkat petani kakao tidak cepat rusak dan dapat disimpan
kemungkinan besar disebabkan teknik lama, kandungan air harus diturunkan
pengolahan biji kakao kering yang belum menjadi 7 - 9% melalui proses penjemuran di
tepat, seperti pemanenan, sortasi, pencucian, bawah terik matahari. Keuntungan yang
penjemuran dan penyimpanan. diperoleh dari proses tersebut adalah mutu
citarasanya lebih terjamin, asalkan tidak
Tabel 1. Keberadaan Jamur-jamur pada Biji
dipengaruhi oleh faktor-faktor perusak
Kakao di Berbagai Tingkat Tataniaga
lainnya (Amin, 2006). Pada penelitian ini,
Pedagang tidak dilakukan pengukuran kadar air setelah
Jamur Petani Eksportir
Pengumpul panen karena keterbatasan peralatan dan
Aspergillus flavus + + + kalaupun ada, sangat mahal sewa atau harganya.
Aspergillus niger + + + Kontaminasi jamur ditingkat petani
Aspergillus fumigatus + - -
kakao dapat pula di temukan dalam proses
Penicillium sp + + +
Fusarium sp + + -
penanganan pascapanen lainnya. Biji kakao
Trichoderma sp + + - yang berada dalam buah dan belum dibuka,
Trichoderma viride - - + relatif steril dari cemaran mikrobiologi.
Rhizopus sp + - - Namun, dalam proses pengeluaran biji kakao,
Mucor sp + + - kontaminasi terjadi dengan bantuan tangan
Verticillium sp + - - pekerja, melalui pisau yang digunakan,
Geotrichum sp - - + tempat yang tidak dicuci maupun polong-
Keterangan : - = tdk ada jamur polong kering yang tertinggal di wadah
+ = ada jamur fermentasi (Rahmadi dan Fleet, 2008).

262 262
Pada pengamatan lainnya terhadap yang dapat memisahkan biji kakao dengan
kegiatan penjemuran dan penyimpanan biji kotoran-kotoran. Menurut Maryam (2006),
kakao, menunjukkan bahwa proses penjemuran sortasi dengan cara tersebut dapat menurunkan
dan penyimpanan di tingkat petani konsentrasi aflatoksin pada produk pertanian.
berlangsung selama 1–3 hari. Alasan kebutuhan Sementara kegiatan sortasi ini sangat jarang
hidup yang mendesak menyebabkan petani dilakukan oleh petani kakao ketika biji
menjual cepat hasil pertaniannya meskipun akan disimpan untuk dijual (berdasarkan
biji kakaonya belum kering sempurna, wawancara dengan petani). Hal ini memudahkan
dengan lama simpan 1 sehari.Untuk di tingkat terjadinya kontaminasi jamur pada biji kakao
pedagang pengumpul, proses penjemuran dan sehat di tempat penyimpanan.
penyimpanan biji kakao dilaksanakan selama Demikian pula pada kegiatan
1–7 hari dan di tingkat eksportir selama penjemuran dan penyimpanan. Biji kakao
1–2 hari untuk penjemuran dan 2–60 hari yang akan disimpan harus berada dalam
untuk penyimpanan, menunggu keberangkatan keadaan kering dengan kadar air yang sesuai
kapal yang membawa komoditi biji kakao untuk penyimpanan. Untuk negara-negara
ke luar daerah. Periode penjemuran dan beriklim tropik seperti Indonesia dengan suhu
penyimpanan biji kakao di masing-masing dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal
tingkatan tataniaga yang berbeda-beda, untuk biji kakao berkisar antara 7–9% (Saleh,
memungkinkan munculnya spesies jamur yang 1995). Oleh karena lama penjemuran di
diperoleh tersebut berbeda pula. Perbedaan tingkat petani relatif pendek, yakni 1 – 2 hari
lama penjemuran produk selama dijemur dan maka biji kakao yang disimpan untuk dijual
lamanya produk disimpan mengakibatkan tidak berada dalam kondisi kering sempurna.
peluang kontaminasi jamur lebih besar. Hal ini menstimulir pertumbuhan jamur pada
Pencucian biji biasanya dilakukan biji kakao karena diduga kadar air biji masih
setelah proses fermentasi, tetapi pada berada pada kisaran aktif pertumbuhan jamur
umumnya petani tidak melakukan proses ini pascapanen di tempat penyimpanan. Menurut
(berdasarkan wawancara dengan petani). Ishak dan Amrullah (1985), jamur sering
Pencucian selain membersihkan sisa-sisa pulp dijumpai tumbuh dan berkembang pada
yang masih menempel juga untuk produk setengah kering dimana bakteri dan
menghentikan proses fermentasi serta khamir tidak dapat tumbuh.
mempercepat proses pengeringan dan Lama penjemuran yang dianjurkan
memperbaiki kenampakan biji. Menurut Maryam adalah maksimum 7 hari atau dapat lebih dari
(2006), kontaminasi jamur mikotoksigenik 10 hari tergantung dari keadaan cuaca dan
pada produk pertanian dapat dikurangi dengan lingkungan. Untuk memperoleh biji kakao
pencucian yang diikuti dengan penjemuran. dengan kadar air di bawah 7%, lama
Biji kakao yang sudah kering dari penjemuran yang diperlukan adalah 8–9 hari
proses penjemuran harus disortasi untuk (Yusianto et al., 2008).
memisahkan antara biji baik/sehat dari biji Lama penjemuran yang pendek belum
yang rusak akibat kerusakan mekanik, infeksi cukup bagi sinar matahari untuk dapat
jamur / busuk dan biji cacat berupa biji pecah,
mematikan semua jamur yang menginfeksi
kotoran-kotoran, atau benda asing lainnya
biji kakao. Menurut Rahmadi dan Fleet
seperti batu, kulit dan daun-daunan, agar
diperoleh biji yang seragam dan mengurangi (2008), kontaminasi jamur pada produk biji
penyebaran langsung jamur mikotoksigenik. kakao kering disebabkan oleh pengeringan
Sortasi dilakukan setelah 1–2 hari dikeringkan yang tidak sempurna (lama penjemuran yang
agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak pendek) dan kandungan kadar air biji yang
terlalu rapuh dan tidak mudah rusak. Sortasi masih cukup tinggi (>8%). Selanjutnya
dapat dilakukan dengan menggunakan ayakan Haryadi dan Supriyanto (1991) menambahkan,

263
kondisi yang sesuai untuk serangan jamur ini merupakan jamur saprofit yang umum
adalah pada biji kakao yang rusak terutama di tempat penyimpanan, bukan terbawa
pada biji yang pengeringannya tidak dari lapangan. Jamur prapanen seperti
sempurna. Untuk mengontrol pertumbuhan Verticillium sp, Geotrichum sp. dan Fusarium sp
jamur dapat dilakukan dengan merusak spora juga berhasil diisolasi dari biji kakao
melalui proses pemanasan. Sinar matahari walaupun telah melalui penjemuran. Jamur
mempunyai daya fungisidal karena memiliki ini kemungkinan terikut dari lapang saat
spektrum ultraviolet, sehingga dapat membunuh pengolahan biji kakao atau mengkontaminasi
biji kakao saat penjemuran dan penyimpanan
jamur secara langsung (Semangun, 1991)
melalui spora yang terbawa oleh udara
terutama bila penjemuran biji kakao lebih
atau media perantara lainnya.
lama waktunya.
Pada tingkat eksportir, jamur yang Populasi Jamur
ditemukan berada dalam jumlah yang relatif Hasil perhitungan kepadatan populasi
kurang. Hal ini disebabkan biji kakao yang berbagai spesies jamur pada setiap rantai
diperoleh dari pedagang pengumpul, telah tataniaga, disajikan pada Tabel 2.
melalui proses penjemuran yang panjang Berdasarkan Tabel tersebut, tataniaga
sehingga memungkinkan jamur yang tumbuh biji kakao kering pada tingkat petani, jamur
lebih sedikit bahkan mati akibat terpaan A. flavus, Fusarium sp dan Mucor sp
sinar matahari. memiliki kepadatan populasi paling tinggi
Jamur-jamur yang ditemukan pada yakni 108 cfu/ml, di ikuti Verticillium sp dan
biji kakao di tingkat petani, pedagang Penicillium sp masing-masing 107 cfu/ml.
pengumpul dan eksportir sebagian besar Sementara di tingkat pedagang pengumpul,
merupakan jamur pascapanen. Jamur Aspergillus Fusarium sp merupakan jamur tertinggi
flavus, A. niger dan Penicillium sp. merupakan dengan kepadatan populasinya yakni
jamur pascapanen yang ditemukan pada 7 6
10 cfu/ml, kemudian Mucor sp 10 cfu/ml,
setiap tingkatan tataniaga biji kakao. Jamur diikuti oleh A. flavus dan Penicillium sp.
tersebut bersifat kosmopolit (terdapat masing-masing 105 cfu/ml Di tingkat
dimana-mana) dan berpotensi menghasilkan eksportir, kepadatan populasi tertinggi
mikotoksin. Selain itu terdapat jamur terdapat pada jamur Trichoderma viride dan
pascapanen lainnya seperti Rhizopus sp dan A. niger masing-masing populasi 105 cfu/ml,
Mucor sp. meskipun tidak berada pada semua kemudian diikuti Geotrichum sp dan
tingkatan rantai tataniaga. Jamur pascapanen Penicillium sp masing-masing sebesar 104 cfu/ml.
Tabel 2. Kepadatan Populasi Jamur pada Tingkat Petani, Pedagang Pengumpul dan Eksportir (cfu/ml)

Jamur Petani Pedagang Pengumpul Eksportir


Aspergillus flavus 7,2 x 108 4,5 x 105 4,1 x 103
Aspergillus niger 4,7 x 106 9,0 x 106 5,1 x 105
Aspergillus fumigatus 3,3 x 104 - -
Penicillium sp 6,4 x 107 7,2 x 105 9,2 x 104
Fusarium sp 6,1 x 108 5,5 x 107 -
Trichoderma sp 4,4 x 105 6,1 x 104 -
Trichoderma viride - - 7,7 x 105
Rhizopus sp 5,3 x 106 - -
Mucor sp 3,9 x 108 4,8 x 106 -
Verticillium sp 5,6 x 107 - -
Geotrichum sp - - 6,0 x 104

264 264
Tabel 3 menyajikan hubungan selama proses penjemuran. Keadaan spora
kandungan aflatoksin B1 dengan kepadatan jamur yang kering dan mudah lepas
populasi jamur mikotoksigenik pada berbagai memudahkan spora tersebar oleh udara. Sifat
tingkatan tataniaga biji kakao. Semakin tinggi jamur yang mudah tumbuh dan menyebar
tingkat kepadatan populasi jamur mikotoksigenik, dengan spora yang terbawa oleh udara
semakin tinggi pula kandungan aflatoksin B1 dan media perantara lainnya, akan mudah
yang terdapat pada biji kakao kering. Total mencemari biji kakao terutama saat penjemuran
kepadatan populasi jamur tertinggi terdapat dan penyimpanan. Hal ini menyebabkan
pada tingkat petani, disusul pedagang terjadinya peningkatan populasi jamur.
pengumpul dan eksportir.
Kandungan Aflatoksin
Tabel 3. Rata-rata Kandungan Aflatoksin B1
Kandungan aflatoksin pada berbagai
dengan Total Kepadatan Populasi
Jamur Mikotoksigenik Diberbagai
rantai tataniaga, diuji dengan metode analisa
Tingkatan Tataniaga Biji Kakao HPTLC disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan
Tabel di atas, diperoleh informasi bahwa
Total Kepadatan Kandungan kandungan aflatoksin ditingkat petani lebih
Tataniaga
Populasi Jamur Aflatoksin (ppb) tinggi daripada di tingkat pedagang pengumpul
Petani 1,4 x 109 104,798 dan eksportir. Adanya pertumbuhan jamur
Pedagang yang ditemukan pada biji kakao ini
6,5 x 107 61,305
pengumpul merupakan indikator adanya kontaminasi
Eksportir 6,0 x 105 47,737 aflatoksin. Aflatoksin ini diperkirakan
berasal dari jamur yang mengkontaminasi biji
Tingginya kepadatan populasi jamur kakao ketika berada di lapang, saat proses
ditingkat petani diduga disebabkan oleh fermentasi berlangsung, ataupun kontaminasi
kondisi yang mendukung terjadinya pencemaran yang berasal dari kontak antara biji kakao
spora jamur, terutama saat penanganan dengan udara/debu. Pada tingkat pedagang
pascapanen biji kakao yang dilakukan secara pengumpul dan eksportir, meskipun telah
kurang tepat. Berdasarkan observasi di dilakukan penjemuran yang lama tetapi
lapangan, petani di Sulawesi Tengah kandungan aflatoksin tetap ada. Menurut
seringkali melakukan penjemuran biji kakao Maryam (2006), mikotoksin tidak dapat
diatas lantai semen tanpa penutup plastik rusak/hilang melalui proses pengolahan
transparan pada ruang terbuka. Plastik karena sifatnya relatif stabil dan tahan panas
transparan digunakan untuk menutupi biji sehingga senyawa ini tetap masih terdapat
kakao saat penjemuran berlangsung di atas pada produk pertanian. Demikian pula saat
lantai atau terpal. Penutup ini berguna untuk proses pencucian biji kakao dilakukan, dapat
melindungi biji kakao dari kontaminasi menurunkan jumlah jamur tetapi tidak
kotoran–kotoran atau mikroba yang tersebar dapat menghilangkan/mengurangi toksin
di udara dan agar temperatur yang diterima yang sudak terbentuk. Proses pemanasan
biji kakao relatif tinggi dan lebih merata melalui penjemuran sebenarnya dapat
sehingga lebih cepat kering. menurunkan kandungan mikotoksin, namun
Menurut Amin (2006), penjemuran sebagian besar mikotoksin tahan panas.
dibawah terik matahari pada tempat terbuka, Hasil temuan beberapa jamur yang
dapat dengan mudah terkena kotoran-kotoran tumbuh pada biji kakao diberbagai tataniaga,
seperti dari binatang, serangga, mikroba di jamur Aspergillus spp, Penicillium sp
udara, tanah atau kerikil-kerikil. Jamur yang dan Fusarium sp perlu mendapat perhatian
ditemukan pada biji kakao kemungkinan utama karena jamur tersebut termasuk
besar merupakan kontaminasi dari udara mikotoksinogenik, yaitu jamur-jamur yang

265
dapat menghasilkan mikotoksin. Berbeda melebihi standar yang sudah ditetapkan.
dengan jamur mikotoksigenik, jamur Aflatoksin dalam kadar tinggi bisa mematikan
Trichoderma, Mucor, Rhizopus, Verticillium mahluk hidup yang mengkonsumsinya dan
dan Geotrichum secara umum tidak pada kadar rendah dalam jangka panjang bisa
menghasilkan mikotoksin dan lebih merupakan menyebabkan kanker hati atau kanker ginjal
jamur yang mengkontaminasi biji kakao saat (Maryam, 2002).
proses penanganan pascapanen atau jamur Persyaratan kesehatan makanan di
yang terikut dari lapang. negara-negara maju tidak bisa mentolerir
Handajani dan Setyaningsih (2006) kadar aflatoksin di atas ambang batas yang
melaporkan, bahwa jamur A. niger dan sudah ditetapkan. Aflatoksin bukan lagi hanya
beberapa jamur lainnya dapat menghasilkan masalah kesehatan semata tapi juga masalah
okratoksin, Aspergillus sp dan Penicillium sp kerugian panen, yang tentunya akan menjadi
menghasilkan citrinin, A. flavus dan beberapa beban petani karena sikap pasar dan konsumen
jamur lain menghasilkan aflatoksin serta yang memberi penilaian dan aturan tegas
A. flavus menghasilkan asam siklopiazonik. untuk menolak impor produk-produk pertanian
Beberapa mikotoksin yang diproduksi oleh yang mengandung aflatoksin, atau diterima
Penicillium antara lain okratoksin, aflatoksin, namun dengan harga yang lebih rendah. Oleh
yellow rice toxin, tremorgenic toxin dan karena itu kepedulian akan bahaya aflatoksin
patulin. Sementara Fusarium menghasilkan ini perlu disebarluaskan ke semua pihak.
antara lain zearaleon, trikhoteken, nivalenol,
deoksinivalenol (vomitoksin) dan alimentary KESIMPULAN
toxic aleukia (Dube, 1993; Muis et al., 2002).
Berbagai jenis jamur telah ditemukan Berdasarkan hasil penelitian dapat
pada biji kakao dan mengandung aflatoksin disimpulkan bahwa jumlah jamur yang
jenis AFB1 dalam komoditi tersebut. menginfeksi biji kakao kering ada 11 spesies,
Aflatoksin yang ditemukan pada biji kakao masing-masing di tingkat petani sebanyak
di semua rantai tataniaga menunjukkan 9 spesies, pedagang pengumpul 6 spesies dan
bahwa jamur-jamur yang tumbuh pada biji eksportir 5 spesies.
tersebut berpotensi menghasilkan aflatoksin. Pada ekologi biji kakao kering
Jamur-jamur tersebut adalah A. flavus, A. niger, ditingkat petani ditemukan jamur Aspergillus
Penicillium sp dan Fusarium sp. Temuan flavus, A. niger, A. fumigatus, Penicillium sp,
sel hidup jamur tersebut merupakan indikasi Fusarium sp, Trichoderma sp., Rhizopus sp.,
kuat adanya kandungan aflatoksin pada Mucor sp. dan Verticillium sp. Di tingkat
produk biji kakao kering asal Sulawesi Tengah. pedagang pengumpul dijumpai jamur
Kandungan aflatoksin yang sangat A. flavus, A. niger, Penicillium sp., Fusarium
tinggi pada semua tataniaga biji kakao, baik sp., Trichoderma sp dan Mucor sp. dan di
di tingkat petani (104,798 ppb), pedagang tingkat eksportir ditemukan jamur A. flavus,
pengumpul (61,305 ppb) maupun eksportir A. niger, Penicillium sp, Trichoderma viridae
(47,737 ppb), menunjukkan bahwa nilai dan Geotrichum sp. Dengan demikian modus
tersebut melebihi ambang batas yang kontaminasi jamur terutama berasal dari
ditetapkan oleh WHO, yakni sebesar 30 ppb. tingkat petani yang belum menerapkan teknik
Ini berarti bahwa mutu biji kakao kering penanganan pascapanen biji kakao secara
asal Sulawesi Tengah masih jauh di bawah tepat. Namun demikian, kontaminasi jamur
standar yang diharapkan. Oleh karena itu tersebut ternyata ditemukan pula pada tingkat
perlu dilakukan upaya perbaikan penangan pedagang pengumpul dan eksportir.
pascapanen di semua tingkatan tataniaga biji Populasi total jamur mikotoksigenik
kakao, hingga kandungan aflatoksin tidak ditingkat petani, pedagang pengumpul dan

266 266
eksportir masing-masing sebesar 1,4 x 109 Jamur-jamur mikotoksigenik yang
cfu/ml, 6,5 x 107 cfu/ml dan 6,0 x 105 cfu/ml. ditemukan pada biji kakao kering baik
Kandungan aflatoksin B1 paling tinggi ditingkat petani, pedagang pengumpul
ditemukan pada tingkat petani (104,798 pbb) maupun eksportir menunjukkan adanya jamur
dari pada di tingkat pedagang pengumpul yang berpotensi menghasilkan aflatoksin
(61,305 pbb) dan eksportir (47,737 pbb). pada biji kakao kering asal Sulawesi Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, S. 2006. Biji Kakao di Jemur atau di Keringkan. Direktorat Teknologi Proses Industri-BPP Teknologi. Jember.

Buckel, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wooton. 1995. Ilmu Pangan. Terjemahan, Judl Asli: Food
Science. Penerjemah: H. Purnomo Adiono. UI Press, Jakarta.

Departemen Perindustrian. 2007. Kakao. Pusat Data dan Informasi. Jakarta.

Dube, H. C. 1983. An Introduction to Fungi. 2 nd Rev. Ed. Vikas Publishing House PVT LTD.

Handajani, N.S, dan R. Setyaningsih. Identifikasi Jamur dan Deteksi Aflatoksin B1 terhadap Petis Udang
Komersial. Biodiversitas 7 (3): 212 – 215.

Haryadi dan M. Supriyanto. 1991. Pengolahan Kakao Menjadi Bahan Pangan. Proyek Peningkatan Perguruan
Tinggi. Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Ishak, E dan S. Amrullah. 1985. Ilmu dan Teknologi Pangan. Universitas Hasanuddin, Makassar.

Maryam, R. 2002. Mewaspadai Bahaya Kontaminasi Mikotoksin Pada Makanan. Falsafah Sains. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Maryam, R. 2006. Pengendalian terpadu kontaminasi mikotoksin. Wartazoa 16 (1): 21 – 30.

Miskiyah dan Widaningrum. 2008. Pengendalian Aflatoksin pada Pascapanen Jagung Melalui Penerapan
HACCP. J. Standardisasi 10 (1): 1 – 10.

Muhilal dan D. Karyadi. 1985. Aflatoxin in Nuts and Grains. Gizi Indonesia. Vol X (1): 75 – 79

Rahmadi, A. dan Graham H. Fleet. 2008. Miko-ekologi Jamur Penghasil Toksin Dalam Produk Kakao Kering
Asal Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Jaya
.
Saleh, M. S. 1995. Teknologi Penanganan Benih Kakao (Theobroma cacao L.). Badan Penerbit Universitas Tadulako.

Semangun, H. 1990. Ekologi Patogen Tropika dan Pemanfaatannya Dalam Pengendalian Penyakit Tumbuhan.
Fakultas Pertanian Universitas gadjah Mada, Yogyakarta.

Sudjadi, S., Machmud, M., Damardjati, D.S., Hidayat, A. Widowati, S., Widiati, A. 1999. Aflatoxin Research in
Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamination in Peanut. Australian Centre for International
Agricultural Research. Canberra. Pp. 23 – 25.

Yusianto, T. Wahyudi dan Sulistyowati. 2008. Pascapanen. Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga
Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.

267

You might also like