Moderasi Beragama Dalam Kearifan Lokal Pada Masyarakat Pesisir Barat Provinsi Lampung

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama

Vol.03 No.1 (2023)


ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

MODERASI BERAGAMA DALAM KEARIFAN LOKAL


PADA MASYARAKAT PESISIR BARAT PROVINSI LAMPUNG

Khoiruddin1
Juhratul Khulwah2
UIN Raden Intan Lampung
khoiruddin@radenintan.ac.id

Received Revision Published


Desember 2022 Juni 2023 Juli 2023

Abstract: The issue of moderation is not just a matter for individuals, but for groups and people,
society and the state, especially now that various extreme groups have shown their faces under the
pretext of religious interpretations that are very far from the essence of Islam. One thing that needs to
be discussed is religious moderation in local wisdom culture. The local cultural approach can be the
key to building a paradigm and attitude of religious moderation. On the other hand, it can also
withstand the influence of the penetration of religious radicalism. An accommodative attitude towards
local culture can deliver an inclusive and tolerant religious attitude and create an atmosphere of
peaceful, dynamic and vibrant religious life. Religion does not come to muzzle local variants that
approach it. On the other hand, religion must be present and then enter and diffuse to give effect to
the face of the culture of a community without losing its cultural identity. Thus religion and local
culture are intertwined and complement each other which is manifested in cultural attitudes of
religious wisdom and culture based on religion. This is what happened in the West Coast community
of Lampung. The local wisdom that exists on the West Coast and has been maintained to this day,
namely pitu likokh, ngejalang kubokh, ngumbai atakh dan ngumbai lawok.
Keywords: religious moderation, local knowledge, ngejalang, ngumbai.

Abstrak: Persoalan moderasi bukan sekedar urusan orang perorang, melainkan kelompok dan umat,
masyarakat dan negara, terlebih ketika saat ini beragam kelompok ekstrem yang telah menampakkan
wajah dengan dalih penafsiran agama yang sangat jauh dari hakikat Islam. Salah satu yang perlu
dibahas adalah moderasi beragama dalam budaya kearifan lokal. Pendekatan kebudayaan lokal dapat
menjadi kunci membangun paradigma dan sikap moderasi beragama. Di sisi lain, dapat pula menahan
pengaruh penetrasi radikalisme beragama. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal dapat
mengantarkan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran serta menjadikan suasana kehidupan
keagamaan yang damai, dinamis dan semarak. Agama tidak datang untuk memberanguskan varian
lokal yang menghampirinya. Sebaliknya agama mesti hadir untuk kemudian masuk dan berdifusi
hingga memberikan pengaruh pada wajah kebudayaan sebuah komunitas tanpa menghilangkan
identitas kebudayaannya. Dengan demikian agama dan kebudayaan lokal, berjalin kelindan dan saling
mengisi satu sama lain yang terwujud dalam sikap kearifan agama yang berbudaya dan budaya yang
berlandaskan agama. Inilah yang terjadi di masyarakat Pesisir Barat Lampung. Kearifan lokal yang ada
di Pesisir Barat dan terus terjaga sampai saat ini, yaitu pitu likokh, ngejalang kubokh, ngumbai atakh
dan ngumbai lawok.
Kata Kunci: Moderasi Beragama, kearifan lokal, ngejalang, ngumbai.

Pendahuluan
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki
keragamaan, maka sikap dan praktik moderat harus menjadi titik tekan dalam upaya

76
https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/moderatio/index
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

melerai perbedaan dan menciptakan kebersamaan di antara umat beragama. Mengapa


kita perlu moderasi beragama, beberapa alasan untuk itu: Pertama, agama merupakan
petunjuk yang diberikan oleh Tuhan untuk menjaga martabat manusia sebagai
mahluk Allah yang mulia, sehingga di setiap agama memiliki misi kedamaian dan
keselamatan. Kedua, agama telah hadir sejak ribuan tahun, demikian pula manusia
semakin bertambah baik suku, bangsa, ras. Dengan demikian, agama pun turut
berkembang dan hal ini juga turut memengaruhi terhadap teks-teks agama yang
ditulis oleh ulama terdahulu dianggap tidak lagi memandai untuk mewadahi seluruh
kompleksitas persoalan kemanusian, sehingga teks-teks agama pun mengalami
multitafstir, kebenaran menjadi beranakpinak; sebagian pemeluk agama tidak lagi
berpegang teguh pada esensi dan hakekat agamanya, melainkan bersikap fanatic pada
tafsir kebenaran yang disukainya, dan terkadang tafsir yang sesuai dengan
kepentingan politiknya. Maka, konflik pun tak terelakkan. Ketiga, salah satu strategi
untuk merawat kerukunan diperlukan sebuah sikap dan perilaku yang moderat dalam
memahami sebuah keragaman. Karena Indonesia merupakan bangsa yang heterogen
dengan berbagai suku, budaya, tradisi dan kearifan lokal, maka nilai-nilai agama dalam
hal ritual agama dapat dipadukan berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.1
Persoalan moderasi bukan sekedar urusan orang perorang, melainkan
kelompok dan umat, masyarakat dan negara, terlebih ketika saat ini beragam
kelompok ekstrem yang telah menampakkan wajah dengan dalih penafsiran agama
yang sangat jauh dari hakikat Islam.
Secara kultural, ide moderasi beragama sudah tertanam dalam warisan leluhur
yang memberi arah untuk saling memahami dan memiliki rasa toleran kepada sesama
yang berbeda keyakinan. Moderasi agama adalah beragama secara moderat dengan
menoleransi keberagaman keyakinan. Warisan leluhur tersebut tercermin pada
kearifan lokal. Kearifan lokal mempunyai nilai-nilai luhur yang menjadi alat
pemersatu masyarakat dan menjadi perekat keberagaman di Indonesia. Kearifan lokal
juga dapat membangun moderasi beragama di Indonesia.
Masyarakat multikultur tidak selamanya bisa hidup berdampingan
sebagaimana yang seharusnya terjadi. Tantangan masyarakat yang memiliki
keragaman kultur, budaya, ras bahkan agama pada suatu waktu akan menjadi
persoalan bangsa. Sejumlah tragedi yang telah terjadi di bangsa ini, sebagai akibat
kekurang-arifan dalam mengelola keberagaman yang berujung pada konflik horisontal
yang mengakibatkan terjadinya perpecahan dan konflik sebagai sebuah pengalaman
pahit bangsa. Dalam upaya mengantisipasi hal tersebut, maka salah satu pendekatan
yang dianggap tepat oleh berbagai pakar yakni memperkuat falsafah lokal atau
kearifan lokal yang penuh dengan pesan-pesan kedamaian, yang tentunya tetap
dibarengi paham keagamaan yang bijak dengan mengkampanyekannya sesuai dengan
kultur masyarakat Indonesia yang multikultur.2
Kearifan lokal atau local wisdom menjadi salah satu alternatif dalam
membingkai keragaman pada masyarakat plural. Kearifan lokal dapat maknai sebagai
gagasan-gagasan setempat (lokal) yang melahirkan sikap bijaksana, bersifat baik dan

1 Kementerian Agama, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementeian Agama RI,
2019), h. 8-11.
2 Fariduddin, “Moderasi Beragama di Indonesia: Akar dan Model” dalam buku Moderasi Beragama Jihad

Menyelamatkan Umat dan Negeri dari Bahaya Hoax (Jakarta: PSN Nusantara Press, 2019), h. 77-80.

77
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

telah diikuti dan dipraktikkan pada sebuah masyarakat secara turun temurun dan
menjadi pengikat kebersamaan di antara kelompok masyarakat secara internal
maupun kelompok yang berbeda suku, ras maupun agamanya. Kearifan lokal dapat
pula dikonsepsikan sebagai local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious
(kecerdasan setempat).
Pendekatan kebudayaan lokal dapat menjadi kunci membangun paradigma
dan sikap moderasi beragama. Di sisi lain, dapat pula menahan pengaruh penetrasi
radikalisme beragama. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan lokal dapat
mengantarkan sikap keberagamaan yang inklusif dan toleran serta menjadikan
suasana kehidupan keagamaan yang damai, dinamis dan semarak. Agama tidak datang
untuk memberanguskan varian lokal yang menghampirinya. Sebaliknya agama mesti
hadir untuk kemudian masuk dan berdifusi hingga memberikan pengaruh pada wajah
kebudayaan sebuah komunitas tanpa menghilangkan identitas kebudayaannya.
Dengan demikian agama dan kebudayaan lokal, berjalin-kelindan dan saling mengisi
satu sama lain yang terwujud dalam sikap kearifan agama yang berbudaya dan budaya
yang berlandaskan agama.
Konflik memang kerap terjadi pada masyarakat, namun disisi lain pun masih
menemukan praktik-praktik toleransi beragama yang tulus di masyarakat. Praktik
yang ditemukan di masyarakat didasari oleh kuatnya kearifan lokal sebagai pengikat di
antara mereka dalam diwujudkan toleransi aktif tanpa canggung di antara mereka
yang berbeda. Praktik-praktik itu, masih dapat ditemukan di berbagai daerah di mana
masyarakat membangun toleransi secara alamiah, baik pada masyarakat yang pernah
berkonflik maupun masyarakat yang belum tersentuh dengan konflik.
Harus diakui bahwa dengan ada kemajemukan dalam masyarakat potensi
perbedaan-perbedaan paham yang dapat mengakibatkan timbulnya rasa curiga antar
kalangan suku dan umat beragama rentan terjadi, apabila hal ini tidak diatasi secara
tepat akan menyebabkan perpecahan di kalangan suku dan umat beragama, termasuk
di Kabupaten Pesisir Barat. Tentu ini terjadi karena jika masih adanya sikap fanatisme
diantara suku dan umat beragama yang masih menyatukan antara wilayah esoteris dan
eksoteris dalam transeden keagamaan, sehingga masyarakat tidak akan pernah
mencapai titik temu.
Namun dalam kenyataanya warga Pesisir Barat hidup secara rukun
berdampingan, bahkan dapat dikatakan paling rukun dibandingkan kabupaten lain
yang ada di Lampung. Sebagai masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai suku
dan agama, yaitu suku Lampung, Bali, Palembang, Semendo, sedangkan agama terdiri
dari agama Islam, Hindu, Kristen, namun dalam kehidupan masyarakatnya kerukunan
tetap terjaga. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Pesisir Barat tetap menjaga nilai-
nilai sosial, budaya dan Agama dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dalam kehidupan bermasyarakat. Mengingat sangat sensitifnya isu-isu
mengenai konflik suku dan agama juga melahirkan pertanyaan bagi peneliti mengenai
bagaimana pola pembinaan yang dilakukan kepada masyarakat dalam meningkatkan
kerukunan antar suku dan umat beragama agar dapat berjalan secara harmonis dan
toleran.
Kasus-kasus konflik yang terjadi Kabupaten lain di Lampung, seperti
pembakaran pasar Probolinggo Lampung Timur oleh suku Bali, perang suku
jawa/bali dengan Lampung (29 Desember 2010), Jawa dengan Lampung (September

78
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

2011), Sidomulyo Lampung Selatan dengan Bali (Januari 2011), dan Sidomulyo
Lampung Selatan (Oktober 2012). Konflik-konflik ini merupakan contoh konflik
antar suku, bahkan sebagian mengarah ke konflik agama, yang terjadi di Lampung.
Namun di Kabupaten Pesisir Barat moderasi beragama tetap terjaga, belum
pernah terjadi konflik antar suku apalagi agama. Terciptannya moderasi beragama
dengan adanya kerukukan antar suku dan agama di Pesisir Barat tentu tidak lepas dari
peran tokoh agama, adat, pemuda dan pemerintah setempat, dengan pendekatan
kearifan lokal masyarakat setempat, baik dibidang agama, sosial dan budaya. Dari itu
penelitian mencoba untuk mengungkap lebih dalam tentang moderasi beragama yang
tertanam dalam kearifan lokal sehingga konflik tidak terjadi di Pesisir Barat.

Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitan lapangan (field research). Dalam penelitian
ini peneliti terjun langsung ke kabupaten Pesisir Barat untuk mendapatkan data dari
penelitian ini. Pada penilitian ini sumber data primer adalah para perangkat pekon,
tokoh masyarakat, tokoh agama dan masyarakat disetiap pekon Kabupaten Pesisir
Barat, sebab data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari obyek
yang diteliti.3 Sementara, sumber data sekunder dalam penelitian ini digunakan untuk
mendukung dan menguatkan data primer tentang moderasi beragama dalam kearifan
lokal yang ada di Kabupaten Pesisir Barat berupa penelitian, buku, media cetak
maupun media yang lain.
Pengumpulan data pada penelitian ini diantaranya menggunakan: observasi,
wawancara, dan interview. Observasi dilakukan untuk memperoleh fakta nyata
tentang moderasi beragama dalam kearifan lokal pada masyarakat Kabupaten Pesisir
Barat, baik itu modelnya, maupun peran para pihak (tokoh) yang berkaitan dengan
terjadinya moderasi beragama tersebut, kemudian melakukan pencatatan.4
Wawancara dalam penelitian ini yaitu pengumpulan data dengan cara komunikasi
langsung dengan informan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian.5
Adapun informan yang akan diwawancarai, yaitu tokoh pemeritahan, tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pemuda, pengamat netral, dan masyarakat setempat.
Sementara, dokumentasi dalam penelitian ini berupa bahan tertulis dan tidak tertulis,
yang bertujuan untuk mendapatkan data sekunder sebagai pelengkap dari kedua cara
dalam memperoleh data.
Penelitian ini menggunakan beberapa macam pendekatan penelitian yaitu
pendekatan agama (Islam), sosiologis, historis dan antropologis. Pendekatan agama
dilakukan dengan bagaimana nilai-nilai Islam melihat kearifan lokal bidang budaya di
masyarakat. Pendekatan sosiologis digunakan untuk melihat keadaan sosial
keagamaan masyarakat. Sedangkan pendekatan historis merupakan penelaahan serta
sumber-sumber lain yang berisi informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan
secara sistematis. Pendekatan antropologi adalah suatu pendekatan yang dilakukan
terhadap budaya manusia yang meliputi asal-usul, kepercayaan serta ritus.6

3 Rianto Andi, Metodologi penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2005), h. 57
4 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2006), h.
169.
5 Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 186.
6 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: LKiS, 2002), h. 17.

79
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

Antropologi juga memberi konsep-konsep tentang kehidupan masyarakat


yang dikembangkan oleh kebudayaan yang akan memberi pengertian untuk mengisi
latar belakang dari peristiwa sejarah yang menjadi bahan pokok penelitian. 7
Pendekatan antropologi juga merupakan salah satu upaya dalam memahami agama
dengan cara melihat wujud praktek yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat.8 Pendekatan antropologi dalam penelitian adalah antropologi budaya,
yaitu proses pengumpulan data dan mencatat bahan-bahan guna mengetahui keadaan
masyarakat yang bersangkutan dalam keadaan sekarang, tanpa melupakan masa
lampau. Ini digunakan untuk melihat wujud praktek moderasi beragama dalam
kearifan lokal yang dijalankan oleh masyarakat di Kabupaten Pesisir Barat.

Kearifan Lokal Masyarakat Pasisir Barat


Masyarakat Pesisir Barat merupakan mayoritas beragama Islam, namun dalam
kehidupan beragama dan sosial masyarakat saling hormat menghormati dan
ketersalingan antar masyarakat. Hal ini tercermin dari motto Pesisir Barat yaitu
“Helauni Kikbakhong” yang berarti “Bagusnya jika bersama-sama”. Apapun yang
dilakukan harus bersama-sama. Dalam pengertian luas, segala sesuatu akan lebih
bagus jika dilakukan bersama-sama.
Disamping motto tersebut, masyarakat Lampung Pesisir Barat Lampung
Pesisir mempunyai prinsip, yaitu:
a. Ghepot Dalom Mufakat (prinsip persatuan);
b. Teranggah Tetanggah (prinsip persamaan);
c. Bupudak Waya (prinsip penghormatan);
d. Ghopghama Delom Bekeghja (prinsip kerja keras).
e. Bupiil Bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan.9
Masyarakat Lampung memiliki suatu semboyan yang disebut dengan Piil
Pesenggiri. Walaupun semboyan ini pada asalnya dimiliki oleh Lampung pepadun,
namun dalam perkembangannya Lampung Pesisir menggunakan semboyan yang
sama dalam kehidupannya. Semboyan ini mencerminkan kepribadian orang-orang
Lampung.
Piil Pesenggiri didukung oleh empat unsur, yaitu:
a. Juluk Adok (Bernama dan Bergelar)
Dengan Juluk-adok ini seharusnya masyarakat Lampung harus
memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya dalam wujud prilaku pergaulan
kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adok merupakan asas identitas dan sebagai
sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung untuk dapat menempatkan
hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam setiap perilaku dan
karyanya. Khusus dalam beragama.
b. Nemui Nyimah (Terbuka Tangan)
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan masyarakat
dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial dan rasa
setia kawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap nilai-nilai

7 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi I (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 69.


8 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitan Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2001), h. 62. Lihat juga. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo, 2000), h. 35.
9 Wawancara dengan Bapak Mat Bangsawan, Tokoh adat Lampung Saibatin, Pesisir Barat.

80
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi kerja keras,


jujur dan tidak merugikan orang lain. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam untuk
silaturrahmi kepada orang lain, dan mengikat tali persaudaraan.
c. Nengah Nyappur (Hidup Bermasyarakat)
Masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk
dapat menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam
sikap perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah
harus siap mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi
dengan tertib dan bermakna.
d. Sakai Sambayan (Tolong Menolong/ Gotong Royong)
Sebagai masyarakat Lampung tentunya mampu untuk berpartisipasi
dalam suatu kegiatan kemasyarakatan. Perilaku ini menggambarkan sikap
toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan memberikan apa saja secara suka
rela apabila pemberian itu memiliki nilai manfaat bagi orang atau anggota
masyarakat lain yang membutuhkan.
Bahkan masyarakat Lampung Pesisir Barat mengenal berbagai tradisi atau
upacara yang tidak trerlepas dari unsur keagamaan. Dalam masyarakat Lampung ada
beberapa bagian siklus kehidupan seseorang yang dianggap penting sehingga perlu
diadakan upacara-upacara adat yang bercampur dengan unsur agama Islam.
Diantaranya adalah:
a. Upacara kuruk limau, disaat kandungan umur 7 bulan;
b. Upacara saleh darah, yaitu upacara kelahiran;
c. Upacara mahan manik, yaitu upacara turun tanah, bayi berumur 40 hari;
d. Upacara khitanan, bila bayi berumur 5 tahun;
e. Upacara serah sepi, bila anak berumur 17 tahun;
f. Upacara perkawinan;
g. Upacara kematian.
Disamping itu sangat menjunjung nilai-nilai budaya yang ada dipadukan
dengan ajaran Islam. Prinsip-prinsip moderasi dalam beragama dipraktikkan oleh
masyarakat di Pesisir Barat. Hal ini tercermin dari kearifan lokal atau tradisi yang
secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Pesisir Barat, dengan mamasukkan
ajaran Islam dalam tradisi tersebut. Ini menunjukkan bahwa masyarakat berfikir dan
beragama secara moderat, dengan tetap mengakomodir budaya dan terus dilestarikan,
namun ajaran Islam tetap terjaga.
Kearifan lokal yang masih terus dilestarikan dan disisipkan ajaran Islam di
Pesisir Barat, dan ini menjadikan masyarakat punya sikap pertengahan dalam
beragama, budaya dijalan dan ajaran Islam juga tetap dilaksankan. Kearifan lokal yang
ada di Pesisir Barat dan terus terjaga sampai saat ini, yaitu pitu likokh, ngejalang
kubokh, ngumbai atakh dan ngumbai lawok.
a. Pitu Likokh
Trandisi Pitu Likokh ini dalam praktiknya memadukan antara budaya yang
ada di Pesisir Barat dan ajaran agama Islam. Dimana pitu likokh adalah sebuah proses
upacara yang dilakukan oleh masyarakat (suku) Lampung pada saat malam dan pagi
hari ke-27 puasa ramadhan. Pada malam ke-27 bulan ramadhan, setelah dilakukan
tarawih bersama warga melakukan doa dan makan bersama di Masjid atau suatu
tempat yang telah disediakan. Sedangkan pada pagi harinya dilakukan bersih-bersih

81
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

kubur dan ziarah kubur secara bersama-sama di desa setempat.10


Untuk makna dan tujuan dari tradisi pitu likokh yang dilakukan oleh
masyarakat Lampung Pesisir Barat adalah tradisi menyambut lailatul qodar pada bulan
ramadhan, juga sebagai sedekah dari wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan
Allah SWT dan ajang silaturahim antar warga desa setempat dan dari luar desa.11
b. Ngejalang Kubokh
Pelaksanaan tradisi ngejalang memberikan nuansa tersendiri bagi masyarakat
Lampung. Tradisi ngejalang merupakan budaya bulan Ramadhan dan hari raya Idhul
Fitri. Secara umum prosesi ngejalang, termasuk pitu likokh dan ngejalang kubokh
akan dijelaskan sebagai berikut:
1) Prosesi Ngejalang Kukhuk
Ngejalang kukhuk yaitu tradisi ngejalang yang pelaksanaanya sebelum
masuk puasa. Dalam pelaksanaan ngejalang kukhuk keluarga atau masyarakat
berkumpul dipemakanan umum dengan maksud membersihkan makam dan
berziarah kemakam nenek moyang atau keluarga yang telah meninggal untuk
mengirim do’a dan membaca Surat Yasin, selanjutnya pemangku adat atau
pemuka agama ngewakhah kepada nenek moyang atau keluarga yang telah
meninggal bahwa sebentar lagi akan tiba Bulan Suci Ramadhan, agar arwah
keluarga yang telah meninggal bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga yang
masih hidup.
2) Prosesi Ngejalang Pangan
Ngejalang Pangan merupakan tradisi yang dilakukan setiap tahun pada saat
2 Syawal, acara Ngejalang Pangan secara bergantian yang dipusatkan dimasjid-
masjid. Dalam tradisi Ngejalang Pangan, setiap Pekon yang mendapat giliran,
mengundang saudara atau kerabat dari pekon-pekon tetangga. Acara Ngejalang
Pangan dimulai dengan penyambutan tamu dan di iringi dengan pukulan canang
dan gong, kemudian sambutan-sambutan dari pihak pengundang dan doa
bersama yang dipimpin oleh seorang ulama setempat. Biasanya, setiap Pekon
mengadakan acara Ngejalang Pangan, juga menyiapkan makanan berupa kue-kue
dan dilanjutkan dengan makan nasi dengan lauk-pauk yang terbaik, sebagai
sedekah yang merupakan wujud syukur atas nikmat yang diterima. Makanan
tersebut disajikan diatas Pahar (nampan khusus) yang dikumpulkan dari setiap
kepala keluarga yang tinggal di daerah tersebut. Acara ini dihadiri oleh Pemangku
Adat, Pemuka Agama, Tokoh masyarakat dan Peratin Setempat.

3) Prosesi Ngejalang Kubokh


Tradisi Ngejalang Kubokh dilaksanakan diantara 1-4 Syawal. Masyarakat
sekitar mengawali kegiatan ini dengan membersihkan kuburan keluarga masing-
masing, setelah itu dilanjutkan dengan bersama baca Surat Yasin dan do’a. Usai
peramalan tersebut kemudian masyarakat berkumpul dan duduk di tikar
bersama-sama memanjang (pisah duduknya dengan ibu-ibu/kaum wanita). Acara
dimulai diawali sambutan dari pengurus masjid kemudian dilanjutkan dengan
tahlilan dan doa. Setelah itu acara dilanjutkan dengan makan kue bersama di atas

10 Wawancara dengan Bapak H. Robian Munir, tokoh Agama Krui Kabupaten Pesisir Barat.
11 Ibid.

82
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

pahakh. Kalau buak (kue) tidak habis maka dapat dibawa pulang yang
dimasukkan dalam kantong plastik.
4) Prosesi ngajalang tuha.
Ngejalang ini dilakukan pada 4 syawal. Untuk yang ngejalang tuha khusus
diperuntukkan bagi jurai atau keturunan Paksi Buay Bejalan Diway (ningrat) yang
tinggal dan menetap di pekon (desa) setempat. Ketiga tradisi ngajalang ini
semuanya dilakukan oleh warga (suku) Lampung pada Lebaran Idul Fitri,
tepatnya setelah selesai menjalankan ibadah Puasa Ramadhan.
Tradisi ngejalang ini biasanya dipimpin oleh tokoh adat yang berada
ditempat penyelenggaraan tradisi itu. Pelaksanaan Ngejalang diawali dengan
penyambutan para tamu yang diiringi musik tradisional dan lantunan syair nasihat
keagamaan. Susunan acara pada pelaksanaan tradisi ini biasa diawali dengan
pembacaan ayat suci al-Quran, lalu pembacaan shalawat (pujian untuk Nabi
Muhammad SAW dalam agama Islam), dilanjutkan dengan penyampaian
sambutan dari para tokoh adat setempat, dilanjutkan dengan membacakan ayat
suci al-Qur’an (Q.S Yasin) dan memanjatkan doa untuk kerabat yang sudah
meninggal. Kemudian acara dilanjutkan dengan proses menikmati hidangan yang
sudah dibawa oleh masing-masing keluarga. Sebelum menikmati makanan yang
dihidangkan di atas Pahakh biasanya para tetua dan tokoh adat akan melantunkan
Muwayyak salah satu sastra lisan Lampung yang isinya berupa harapan dan doa
untuk para anggota keluarga yang sudah meninggal agar dilapangkan kuburnya.
Selain itu, muwayyak mempersilahkan semua yang hadir untuk mulai memakan
hidangan yang pertama, yakni hidangan kue lalu dilanjutkan memakan hidangan
nasi dan lauk. Kegiatan ini diakhiri dengan berziarah kubur kekuburan keluarga
masing-masing.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa ngejalang ini terdiri dari
empat bentuk, yaitu ngejalang kukhuk, ngejalang keluarga, ngejalang pangan, dan
ngejalang kubokh. Pada zaman dahulu tradisi ngejalang ini secara keseluruhan
dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahmi antar marga-marga yang hidup
berdampingan terjalin hubungan yang baik.
Pelaksanaan tradisi ngejalang memberikan makna sebagai ugkapan rasa
syukur kepada Allah SWT karena telah dipertemukan kembali dengan bulan suci
Ramadhan, dan juga sebagai pengingat kepada masyarakat akan kematian,
dengan tujuan sebagai ajang silaturahmi antar marga dan masyarakat. Tradisi
ngejalang, akan tetap dilaksanakan mengingat tradisi ngejalang merupakan warisan
nenek moyang yang harus dijaga kelestariannya. Sehingga generasi yang akan
datang tetap akan melaksanakan tradisi ngejalang tersebut. Dalam hal ini, tokoh
adat memiliki peran sebagai pengontrol dan pengingat supaya tradisi yang ada
tetap dilaksanakan sehingga kelestariannya terjaga
Jika dilihat dari satu persatu makna ngejalang, yaitu: untuk makna dan
tujuan dari ngejalang pangan dan ngejalang keluarga adalah sebagai sedekah dari
wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dan ajang silaturahim
dan sarana untuk saling bermaaf-maafan antar warga. Sedangkan makna dan
tujuan ngejalang kukhuk dan ngejalang kubokh adalah sebagai ajang bersih-
bersih kuburan desa dan ziarah kubur.
Secara lebih rinci, ngejalang kubokh adalah salah satu tradisi yang

83
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

bertujuan selain sebagai ajang silaturahmi antar sesama sanak family, juga sebagai
sarana kirim do’a atau sambung doa kepada keluarga yang telah berpulang ke
Rahmatutullah. Dari itu, ngejalang kubokh adalah tradisi yang tepat sebagai ajang
silaturahmi, karena biasanya jelang memasuki Ramadhan mereka yang telah
berada di luar pekon/desa baik untuk bekerja atau sekolah di luar daerah, pulang
untuk bersama-sama merayakan malam pertama Sahur bersama keluarga besar
nya di pekon tersebut.
Perbuatan yang berhubungan dengan Islam tersebut merupakan budaya
yang masih dipraktekkan oleh masyarakat Lampung, atau dengan istilah lain,
bahwa tradisi-tradisi tersebut masih tetap dan terus dilestarikan dan diwariskan
secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jika dilihat dari
apa yang dilakukan oleh masyarakat di Lampung, tradisi tersebut merupakan
penyatuan nilai-nilai agama dan budaya setempat. Tradisi ini dimungkinkan
pengaruh dari beberapa ajaran nenek moyang, hindu dan Islam yang datang
kemudian dimana nilai-nilai ajaran Islam disisipkan di dalamnya.
Melalui tradisi ngejalang ini baik ngejalang pangan, ngejalang kubokh dan
negejalang tuha, tampak bahwa nilai-nilai harmoni, keramahan dan keterbukaan,
tolong-menolong dan gotong-royong, dan pandai bergaul muncul sebagai
cerminan dari sikap yang diharapkan dalam menjujung tinggi nilai-nilai yang
ditanamkan para sesepuh adat tentang falsafah hidup yang terangkum dalam
konsep piil pesenggiri. Secara keseluruhan, hasil dari penelitian ini adalah adanya
temuan yang berhubungan dengan studi budaya, yaitu adanya konsep identitas
kaitannya dengan konsep Piil Pesenggiri, nemui nyimah tercermin pada saat
masyarakat Lampung membawa pahakh yang berisi sajian makanan dan saling
berbagi makanan sajian antar warga pekon (kampung) tersebut, nengah nyappur
tercermin pada saat masyarakat tersebut bermusyawarah akan mengadakan kapan
acara nngejalang tersebut dilaksanakan. Selain itu, nengah nyappur tercermin pada
masyarakat pekon Penggawa lima ataupun Penengahan memiliki hubungan baik
antar masyarakat dan lingkunganya pada saat mereka makan bersama, Sakai
Sambaian tercermin pada saat masyarakat pekon (desa) berziarah kubur dan
bergotong-royong membersihkan kuburan. Konsep-konsep itu mencerminkan
bahwah masyarakat Lampung masih mengaktualisasi nilai-nilai luhur petuah adat
dari sesepuh/tokoh-tokoh adatnya.

c. Ngumbai Atakh
Masyarakat Masyarakat Pesisir Barat sejak dulu melestarikan budaya
“Ngumbai Atakh” sebagai bentuk doa yang dilakukan pada bulan atau musim haji.
Setiap tahun masyarakat melaksanakan tradisi turun-temurun itu. Kebiasaan
masyarakat ini dilakukan saat memasuki bulan haji, yang bertujuan untuk
memanjatkan doa agar tanaman perkebunan maupun pertanian dapat tumbuh subur.
Tradisi “Ngumbai Atakh” bentuk harapan masyarakat Lampung Pesisir Barat, agar
terhindar dari malapetaka.Tradisi ini dilakukan masyarakat, guna memanjatkan doa
kepada Tuhan, agar dijauhkan dari malapetaka dan roh jahat yang dapat mengganggu
masyarakat saat melakukan aktivitas perkebunan, 12

12 Wawancara dengan Zaidan masyarakat Pesisir Barat.

84
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

Bagi masyarakat Pesisir Barat ngumbai atakh bermanfaat sebagai ajang


silaturahmi masyarakat, sehingga jalinan tersebut dapat terjaga dengan baik. Ritual
“Ngumbai Atakh” menjadi salah satu tradisi masyarakat Lampung Pesisir Barat saat
memasuki bulan haji.Tradisi tersebut sebagai upaya pengharapan dan penolak bala,
agar diberikan kelancaran dalam melakukan aktivitas perkebunan, sehingga dapat
selamat dan mendapatkan hasil panen yang berlimpah. Doa bersama masyarakat yang
dilakukan setiap tahun itu, dipimpin oleh ustadz, ritual tersebut sama sekali tidak
menggunakan sesaji.
Tradisi yang disebut ngumbai atakh yang dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai “berdoa bersama”. Ngumbai atakh adalah suatu bentuk
pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar hasil perkebunan yang menjadi
matapencaharian warga masyarakat meningkat dan dijauhkan dari segala musibah
ataupun adanya roh jahat yang bermaksud untuk mengganggu kesuburan tanaman.
Adapun pelaksanaannya umumnya dilakukan pada hari pertama bulan atau musim
haji.13
Ngumbai atakh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa ini dipimpin oleh seorang
ustadz yang dianggap mampu atau menguasai ilmu agama. Sementara
penyelenggaranya adalah warga masyarakat pemilik perkebunan. Agar lebih afdol,
acara ini umumnya juga mengundang para tokoh agama, tokoh masyarakat, dan
perangkat pekon setempat. Mereka secara berjamaah memanjatkan doa tanpa
menyediakan sesajen di lokasi perkebunan agar diberikan peningkatan hasil
perkebunan, kemudahan rezeki, dan dijauhkan dari segala musibah yang datang secara
tidak terduga. Sebagai catatan, selain untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang
Maha Kuasa, tradisi ngubai atakh ini juga dapat dijadikan sebagai ajang mempererat
tali silaturrahim antarwarga di masing-masing pekon (desa).14
d. Ngumbai Lawok
Ngumbai lawok terdiri dari dua suku kata, yaitu ngumbai dan lawok. Ngumbai
adalah suatu upacara membebaskan orang atau tempat dari nasib buruk yang akan
menimpa.15 Sedangkan lawok (laut) adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang
banyak atau luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua dan pulau-
pulau.16
Jadi ngumbai lawok adalah suatu bentuk upacara yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh masyarakat pantai atau nelayan untuk membebaskan orang dari
nasib buruk atau mala petaka yang akan menimpa masyarakat pantai tersebut.
Ngumbai lawok adalah suatu upacara dalam rangka menjalin hubungan
dengan penguasa laut yang bernama matu yaitu agar terjalin perdamaian antara
mahluk kasar dan halus (manusia dengan bangsa gaib), agar mendapatkan
keselamatan di saat melautan serta mendapat kan hasil ikan yang banyak.17
Dengan demikian bahwa maksud dengan ngumbai lawok adalah suatu
kepercayaan masyarakat pantai atau nelayan, dalam menghadapi kehidupanya
mendapat keselamatan, baik terhindar dari marabahaya ataupun dimurahkan rizki
13 Ibid.
14 Irvan Setiawan dkk, “Inventarisasi Karya Budaya di Kabupaten Pesisir Barat”, Laporan Penginventarisasian
dan Pencatatan Karya Budaya Kabupaten Pesisir Barat, Bandung: BPNB Jabar, 2018.
15 Departemen P Dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 762.
16 Ibid.
17 Wanwancara dengan bapak Yuhdi, tertua adat Pesisir Barat.

85
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

berupa hasil tangkapan ikan yang melimpah, dengan melaksanakan upacara yang
dinamakan upacara ngumbai lawok. Tujuan yang lain, yaitu agar para nelayan
terhindar dari segala macam malapetaka yang disebabkan oleh penghuni laut, baik
mahluk halus maupun yang lainnya.18
Dijelaskan bahwa pada mulanya ngumbai lawok ini dulunya dilaksanakan
setiap pemimpin marga yang disebut sultan atau saibatin. Diantaranya sultan
waynapal, sultan tenumbang dan yang lainya. Pada mulanya ngumbai lawok ini
dinamakan ngumbai matu (penguasa laut). Menurut kepercayaan orang dulu matu
adalah negara atau tempat tinggal bagi mahluk halus yang berada di tengah-tengah
laut, yang dipercaya bisa keluar ke daratan menyerupai manusia yang begitu cantik
apabila perempuan dan begitu tampan apabila laki-laki. Tujuan makhlu ini keluar ke
daratan adalah untuk memberikan peringatan kepada manusia yang di daratan supaya
memberikan sesembahan kepada laut berupa kepala kerbau atau sapi jantan, aneka
kembang, wawangian dan makanan yang disusun menjadi satu komponen yang
kemudian di arak menuju laut dan dihayutkan menggunakan jukung lunik atau rakit
yang di buat khusus oleh masyarakat dikala itu, agar tidak terjadi bencana dan petaka
yang bisa saja terjadi, baik itu berupa sunami atau tenggelamnya para nelayan yang
mencari ikan di laut.19
Dengan demikian bahwa tradisi ngumbai lawok ini dilaksanakan hingga turun
temurun oleh masyarakat Pesisir Barat. Tradisi dan budaya lokal ini dalam praktiknya
dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga di era yang modern saat ini tradisi ngumbai
lawok pun tetap dilaksanakan oleh masyarakat Lampung Pesisir Barat dengan maksud
dan tujuanya memohon kepada Allah SWT.
Ngumbai lawok ini merupakan kearifan lokal masyarakat pesisir krui yang
dilaksanakan pada satu tahun sekali, yaitu pada bulan muharram. Dalam
pelaksanaannya diawali dengan pembentukann panitia terlebih dahulu hingga
pengumpulan dana baik dari tokoh-tokoh adat maupun dari masarakat itu sendiri,
setelah dana terkumpul barulah semua panitia dan masyarakat membeli ataupun
membuat perlengkapan ngumbai lawok baik dari makanan, ataupun bahan-bahan
lainya.
Lebih jelasnya mengenai rangkaian pelaksanan ngumbai lawok, yaitu: pertama,
sebelum acara ngumbai lawok dimulai para masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh adat
dan pemerintah desa, mengadakan pertemuan untuk membahas pelaksanaan ngumbai
lawok, yaitu penentuan hari, panitia pelaksanaan, peralatan yang dibutuhkan,
sumbangan masyarakat dan sebagainya.
Kedua, satu hari sebelum hari dilaksanakannya ngumbi lawok atau sore hari
menjelang pelaksanan sekitar jam. 16.00 dilaksanakan doa bersama dan pembacaan
silsilah yang dilakukan di tepi pantai dan dilengkapi dengan beberapa sesajian, seperti
ayam, pembakaran kemeyan, bunga-bunga, beras yang sudah diberi warna kuning dan
dicampur dengan uang logam dan kembang kelapa, yang akan dihamburkan di tengah
masyarakat yang sedang melihat ditempat pembacaan tersebut dan minyak wangi.
Adapun pungsi dari pembacaan silsilah dan beberapa sesajian tersebut adalah sebagai
tawasul untuk menghantarkan maksud tujuan dan hajat dari pada masyarakat nelayan.

18 Ibid.
19 Ibid.

86
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

Ketiga, pada malam harinya memasuki hari pertama seluruh masyarakat berkumpul di
tempat yang sudah disediakan oleh panitia, untuk mengadakan selamatan dalam
bentuk doa bersama maksudnya adalah sebagai tawasul agar hajat yang diinginkan
dikabulkan oleh Allah SWT.
Adapun perbedaan dengan pembacaan silsilah yang dibaca pada sore hari
dengan silsilah doa bersama selamatan yang diakan pada malam hari, walaupun sama-
sama tawasul namun berbeda tujuan yaitu: pembacaan silsilah Abdul Qadir Jailani
sebagai tawasul (pengantar) terhadap hajat yang diinginkan masyarakat terhadap dewa
atau roh didaerah pantai tersebut. Sedangkan riungan dan doa selamatan yang
diadakan pada malam harinya juga sebagaia tawasul (pengantar) terhadap hajat yang
inginkan masyarakat pesisir (nelayan) lakukan semuanya bertujuan hanya terhadap
Allah SWT.

Moderasi Beragama dalam Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Barat


Dengan apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Pesisir Barat dengan tetap
menjalankan tradisi atau kearifan lokal (ngejalang kukhuk, ngejalang keluarga, ngejalang
pangan, ngejalang kubokh) dan ajaran Islam juga tetap terjaga dengan memadukan
keduanya, ini nenunjukkan bahwa masyarakat Pesisir Barat telah menciptakan
moderasai beragama dalam kearifan lokal, beragama dengan happy dan
menyenangkan. Demikian juga prinsip-prinsip moderasi beragama juga
teraktualisasikan dalam tradisi budaya di Pesisir Barat, yaitu prinsip:
a. Tawassuth (mengambil jalan tengah)
Tawasuth adalah pemahaman dan pengalaman agama yang tidak ifrath. yakni
berlebih-lebihan dalam beragama dan tafrith, yaitu mengurangi ajaran agama,
tawassuth adalah sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua sikap, yaitu tidak
terlalau jauh ke kanan (fundamentalis) dan terlalu jauh ke kiri (liberalis). Dengan sikap
tawasuth ini, Islam akan mudah diterima di segala lapisan masyarakat. karakter
tasamuth dalam Islam adalah titik tengan diantara dua ujung dan hal itu merupakan
kebaikan yang sejak semua telah diletakkan Allah SWT.
b. Tawazun (berkesinambungan)
Tawazun adalah pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang
meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam
menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan), dan
ikhtilaf (perbedaan). Kehidupan manusia bisa seimbang, jika segala aspek yang
mempengaruhinya juga diseimbangkan. Misalnya, ketika seseorang mencari
keberhasilan di dunia, ia harus menyeimbangkannya dengan kesuksesan akhirat. Iringi
kerja keras di dunia dengan ibadah kepada Allah SWT, niscaya Allah akan
menyeimbangkan kehidupannya dan menentramkan hatinya. Sehingga tidak ada lagi
kegelisahan serta keraguan baginya.
c. I'tidal
Secara bahasa i'tidal memiliki arti luas dan tegas, maksudnya adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban secara proporsional. I'tidal merupakan bagian dari penerapan keadilan dan
etika bagi setiap Muslim. Keadilan yang diperintahkan Islam diterngkan oleh Allah
supaya dilakukan secara adil, yaitu bersifat tengah-tengah dan seimbang dalam segala
aspek kehidupan dengan menunjukkan perilaku ihsan. Adil berarti mewujudkan

87
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

kesamaan dan keseimbangan diantara hak dan kewajiban.


d. Tasamuh (toleransi)
Tasamuh berarti toleransi. di dalam kamus lisan al-arab kata tasamuh diambil
dari bentuk asal kata samah-samahah yang dekat dengan makna kemurahan hati,
pengampunan, kemudahan dan perdamaian. secara etimologi tasamuh adalah
menoleransi atau menerima perkara secara ringan. sedabfkan sevara terminologi,
tasamuh berarti menoleransi atau menerima perbedaan dengan ringan hati. tasamuh
merupakan pendirian atau sikap seseorang yang termanifestasikan pada kesediaan
untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beraneka ragam, meskipun
tidak sependapat dengannya.
e. Musawah (egaliter)
Secara bahasa musawah berarti persamaan. secara istilah musawah adalah
persamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Allah, semua
manusia memiliki harkat dan martabat yang sama tanpa memamndang jenis kelamin,
ras maupun suku bangsa. musawah dalam Islam memiliki prinsip yang harus
diketahui oleh setiap muslim, yaitu persamaan adalah buah dari keadilan dalam Islam.
setiap orang sama, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan yang lain,
memelihara hak-hak non muslim, persamaan laki-laki dan perempuan dalam
kewajiban agama dan lainnya, serta persamaan didasarkan pada kesatuan asal bagi
manusia.
f. Syura' (musyawarah)
Kata syura berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil
sesuatu, syaura' atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau
saling meminta dan menukar pendapat mengenai sesuatu perkara. di samping
merupakan bentuk perintah Allah, musyawarah pada hakikatnya juga dimaksudkan
untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang demokratis. di sisi lain,
pelaksanaan musyawarah juga merupakan bentuk penghargaan kepada tokoh dan
para pemimpin masyarakat untuk berpartisipasi dalam urusan dan kepentingan
bersama.

Peran para Pihak dalam Menciptakan Moderasi Beragama dalam Kearifan


Lokal Masyarakat di Pesisir Barat
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa moderasi beragama merupakan
salah satu langkah untuk menghargai perbedaan keyakinan di tengah masyarakat.
Dengan selalu bertindak adil, seimbang, dan tidak ekstrem dalam praktik beragama,
akan membawa keharmonisan dan kerukunan dalam kehidupan beragama antar
umat, termasuk dalam budaya.
Untuk menguatkan moderasi beragama dalam kearifan lokal atau tradisi yang
dijalankan pada masyarakat Pesisir Barat, tentunya tidak lepas dari peran semua
pihak, baik tokoh agama, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, suku, dan
pemuda yang ada di Pesisir Barat. Dengan didukung oleh semua pihak tradisi pitu
likokh, ngejalang kubokh, ngumbai atakh dan ngumbai lawok dapat dilestarikan di
Pesisir Barat. Kearifan lokal ini masih terus dilestarikan dan dipadukan dengan ajaran
Islam. Ini menjadikan masyarakat punya sikap pertengahan dalam beragama, budaya
dijalan dan ajaran Islam juga tetap dilaksankan di Pesisir Barat.
Faktor Pendukung dan Penghambat moderasi beragama dalam kearifan lokal

88
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

Pesisir Barat
Moderasi beragama mampu memberi wawasan, bagaimana beragama dengan
baik. Akan tetapi harus pandai-pandai menjelaskan moderasi beragama yang
sebenarnya, agar semua kalangan, khususnya generasi muda mampu meletarikan
kearifan lokal yang ada dengan tetap dipadukan dengan ajaran agama Islam. Dengan
penanaman moderasi beragama juga, masyarakat mampu memiliki wawasan luas
dengan cara berfikir kritis dan tidak mudah terpengaruh dari adanya paham-paham
baru. Dimana tradisi bukanlah suatu penyimpangan ajaran jika dipadukan dengan
ajaran agama Islam.
Diera digital sekarang wawasan masyarakat memiliki jaringan yang sangat luas
(global) dan bersentuhan dengan beragam kultur, cara berfikir dan bahkan beragam
keyakinan. Dilihat dari hal tersebut penanaman budaya disatukan dengan agama atau
moderasi beragama harus ditanamkan lebih lanjut guna menambah wawasan
masyarakat untuk mengerti arti sebuah keberagamaan.
Tentunya dalam hal sebuah tradisi ada yang pro dan ada yang kotra. Maka
diperlukan untuk masyarakat yang mampu berpikir kritis dan terbuka sehingga
membuat mereka memiliki wawasan yang luas, karena dapat mengutarakan
pendapatnya dan menghargai pendapat orang lain yang berbeda-beda. Namun
berpikir moderasi beragama harus diutamakan, dengan menghagai kearifan lokal
masyarakat. Masyarakat dengan wawasan luasnya harus mampu membentengi dirinya
dengan nilai-nilai moderasi beragama dari maraknya penyebaran paham radikalisme.
Dengan terus menjaga kearifan lokal yang ada dan pengenalan moderasi beragama
mampu membangun dan membina masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dengan
isu-isu yang beredar, yaitu ajaran yang radikal, bahwa budaya atau tradisi bertentangan
dengan ajaran agama Islam.
Maksud dari penanaman moderasi beragama dalam kearifan lokal pada
masyarakat agar masyarakat bisa menjalankan agama dengan baik, dan membuat
masyarakat tidak salah kaprah memahami agama dan tidak saling menyalahkan satu
sama lain. Dengan adanya masyarakat yang cemerlang dalam menghadapi segala
perbedaan yang ada, mampu mengarahkan dirinya untuk selalu menanamkan sikap
saling menghargai, menghormati dan menerima pendapat orang lain.
Masalah yang terus menerus dibicarakan adalah masalah masyarakat yang
telah bergelut didunia digital. Bahkan generasi muda harus siap atau tidak dalam
mengambil alih tanggun jawab dalam menghargai perbedaan, dengan demikian harus
ada upaya penanaman moderasi beragama dalam kearifan pada generasi muda.
Generasi muda yang penuh dengan sikap kepribadian yang belum stabil, emosional
dengan meniru dan mencari-cari pengalaman baru, serta berbagai komplik yang
dialami. Jadi penanaman moderasi beragama dalam kearifan lokal harus dengan
melakukan pengamalan dan membimbinya, agar mereka meniru dan
mengamalkannya, bukan hanya memberikan penanaman moderasi beragama secara
teori tapi generasi secara juga butuh yang namanya praktek untuk ditiru, yaitu dalam
tradisi budaya yang ada.
Perlu pembinaan penanaman moderasi beragama dalam kearifan lokal agar
masyarakat, khusunya generasi muda tidak mudah terjerumus dalam intoleransi, yang
akan memunculkan suatu kekerasan, tidak menghargai dan menghormati pendapat
dan budaya orang lain. Tantangan itu sendiri harus dihadapi oleh para tokoh agama

89
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

agar generasi penerus tidak mudah menerima paham-paham yang tidak


mencerminkan atau tidak mengarahkan pada kebenaran. Jadi, ketika masih ada
generasi yang tidak menerima suatu sikap moderasi beragama maka harus bisa
memberi pemahaman mendalam terkait apa itu moderasi beragama, dan memberi
penjelasan bahwa kita tidak hidup sendiri, kita hidup bersama dengan indetitas lain,
yang dimana dengan konsep keyakinan kita berbeda, paham kita berbeda, tapi dalam
urusan kebersamaan yang termuat nilai-nialai kebaikan yang sesuangguhnya tidak
bertentangan dengan apa yang diyakini harus dibersatukan untuk mensukseskan
kerukunan dalam perbedaan.

Kesimpulan
Kabupaten Pesisir Barat memiliki motto “Helauni Kikbakhong” yang berarti
“bagusnya jika bersama-sama”. Dalam pengertian luas, segala sesuatu akan lebih
bagus jika dilakukan bersama-sama. Lampung Pesisir Barat juga mempunyai prinsip,
yaitu: Ghepot Dalom Mufakat (prinsip persatuan), Teranggah Tetanggah (prinsip
persamaan), Bupudak Waya (prinsip penghormatan), Ghopghama Delom Bekeghja
(prinsip kerja keras), Bupil Bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Sedangkan kearifan lokal yang masih dilesatraikan, yaitu pitu likokh, ngejalang
kubokh, ngumbai atakh dan ngumbai lawok.
Untuk menguatkan moderasi beragama dalam kearifan lokal atau tradisi yang
dijalankan pada masyarakat Pesisir Barat, tentunya tidak lepas dari peran semua
pihak, baik tokoh agama, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh adat, suku, dan
pemuda yang ada di Pesisir Barat. Dengan didukung oleh semua pihak tradisi pitu
likokh, ngejalang kubokh, ngumbai atakh dan ngumbai lawok dapat dilestarikan di
Pesisir Barat. Kearifan lokal ini masih terus dilestarikan dan dipadukan dengan ajaran
Islam. Ini menjadikan masyarakat punya sikap pertengahan dalam beragama, budaya
dijalan dan ajaran Islam juga tetap dilaksankan di Pesisir Barat.
Penanaman moderasi beragama dengan melakukan pengamalan dan
membimbing generasi muda, agar mereka meniru dan mengamalkannya, bukan hanya
memberikan teori tapi generasi juga butuh yang namanya praktek untuk ditiru, yaitu
dalam tradisi budaya yang ada. Karena generasi muda ini salah satu ujung tombak
penghambat dan pendukung dalam menjalan moderasi beragama yang ada dalam
keraifan lokal atau tradisi budaya di Pesisir Barat.

Daftar Pustaka
Andi, Rianto, Metodologi penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2005.
Connolly, Peter, Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta:
LKiS, 2002.
Departemen P Dan K. Kamus Besar Bahasa Indonesia. .Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaa. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2006.
Fariduddin, “Moderasi Beragama di Indonesia: Akar dan Model” dalam buku
Moderasi Beragama Jihad Menyelamatkan Umat dan Negeri dari Bahaya
Hoax, Jakarta: PSN Nusantara Press, 2019.

90
Moderatio : Jurnal Moderasi Beragama
Vol.03 No.1 (2023)
ISSN print : 2797-5096, E-ISSN : 2798-0731

Kementerian Agama. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat


Kementeian Agama RI, 2019.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi I, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2006.
Setiawan, Irvan dkk. “Inventarisasi Karya Budaya di Kabupaten Pesisir Barat”:
Laporan Penginventarisasian dan Pencatatan Karya Budaya Kabupaten
Pesisir Barat. Bandung: BPNB Jabar, 2018.
Suprayogo, Imam, dan Tobroni, Metodologi Penelitan Sosial-Agama, Bandung:
Remaja Rosd Karya, 2001.

91

You might also like