11649-Article Text-28545-1-10-20191221
11649-Article Text-28545-1-10-20191221
11649-Article Text-28545-1-10-20191221
Masalah seksual adalah sebuah realitas yang nyata adanya, karena itu siapapun pasti tidak
menjadi dewasa telah diberi oleh Allah swt. naluri seksual demi kebaikan dan kemaslahatan
umat manusia.1Naluri seksual disalurkan melalui pernikahan tergambar pada (QS adz Dzariyat:
49), dan di dalam sunnah Nabi saw. menganjurkan kepada umatnya untuk menikah dan
mengharamkan membujang.
dengan fitrah manusia, membuat umat menjadi lumpuh dan membuatnya terancam kepunahan,2
sehingga menganjurkan nikah karena nikah melahirkan unsur-unsur sakinah, mawaddah, dan
warahmah. (QS. Rum (30): 21) agar menghasilkan keturunan yang dapat menjamin
kelangsungan eksistensi manusia di permukaan bumi,3dan juga untuk menjaga harkat dan
Al-Qur'an menegaskan bahwa berpasangan atau kawin adalah merupakan ketetapan ilahi
bagi makhluk-Nya dan Rasul-Nya menegaskan bahwa nikah adalah sunnahnya, akan tetapi hal
Murthada al-Amili yang harus terpenuhi dalam nikah kontrak adalah: baligh, berakal, tidak ada
suatu halangan syar‟i untuk berlangsungnya perkawinan tersebut, seperti adanya nasab, saudara
1
Ja'far Murtadha Al-'Amili, Nikah Mut'ah dalam Islam, Terj. Husain Al-Habsyi dari judu:
AlZuwaj Al-Muaqqad fi Al-Islam (Surakarta: Yayasan Al-Abna Al-Husain, 2002), h.5.
2
Muhammad Washfi, Mencapai Keluarga Barakah, Terj. Humaidi Syuhud dan Ahmadi Adianto
Al-Rajul wa Al-Mar'at fi Al-Islam (Yokyakarta: Mitra Pustaka, 2005), h. 287.
3
Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV (Cet.I;Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996), h.1329.
4
Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafakat Ushul al-Ahkam, Juz II (Beirut:Dar al-Kutub al„Ilmiah,
2003), h.2-3.
5
Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur'an Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Ummat (Bandung:
Mizan, 2000), h. 192.
yang telah dinyatakan dalam al-Qur‟an. Setelah habis waktu yang disepakati, wanita tersebut bila
hendak kawin dengan laki-laki lain dia harus melakukan iddah selama dua bulan.6
Terkait hal ini, ulama Sunni berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak sah, sementara ulama
Syi‟ah membolehkan jenis pernikahan tersebut.Kedua pendapat inimemiliki persepsi dan praktek
yang berbeda tidak hanya tentang hukumnya, tetapijuga tentang waktu pengharamannya dari
mut’ah secara mutlak terdiri dari kalangan sahabat seperti ibnu Umar dan Ibnu Abi
Umrah al-Anshari. Dari kalangan fuqaha' ialah Abu Hanifah, Maliki, Syafi'i, Ahmad bin
hukum nikah mut’ah adalah halal. Demikian sumber riwayat dari kalangan sahabat, di antaranya,
Asma binti Abu Bakar, Jabir ibn Abdullah, Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Muawiyah, Amar ibn
Hurais, Abu Said al-Khudri. Dari kalangan Tabi‟in, Tawus, Ata‟, Said ibn Jubair, dan Fuqaha‟
Mekkah. Pendapat ini dikukuhkan oleh golongan Syi‟ah Imamiah dan Rafidah.9
Dalam dokumentasi Islam, nikah mut’ah pernah dilakukan oleh sebagian orang Islam
pada masa Rasulullah saw. dalam beberapa situasi dan keadaan tertentu kemudian selanjutnya
diharamkan untuk selama-lamanya, sesudah Rasulullah saw. wafat perilaku nikah mut’ah masih
ada yang mempraktekkannya. Perbedaan pemahaman ini, menjadi menarik untuk dikaji lebih
6
Ja‟far Murthada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian dalam Berbagai Mazhab, Terj Abu
Muhammad Jawwad (Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992), h. 17-19.
7
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Jus. VII (SuriyahDamsyik: Dar al-Fikr,
1405H/1985M), h. 117.
8
Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Madzahibu Al-Arba‟ah, Jilid 4 (Beirut: Darul fikr, 1989),
h. 90-93.
9
Muhammad asy-Syaukani, Nailul Auţar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-Akhyar,
diterjemahkan oleh Adib Bisri Mustafa dkk (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), h.145.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pengertian perkawinan sama
dengan pengertian pernikahan, karena kata perkawinan berasal dari kata “kawin” yang berarti
“nikah.”10 Kata ini adalah bentuk mashdar dari kata َكاح- يُكخ- َكخyang asal mula artinya adalah
Perkawinan dalam literatur bahasa Arab disebut dengan dua kata yaitu al-nikah atau al-
zawaj. Dua kata ini sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak disebut
di dalam literatur Al-Qur‟an dan Hadis.12Secara etimologi, al-nikah atau al-zawaj dimaknai
Mut’ah berasal dari derivasi kata: يرﻌح-يرع- يًرعartinya “membawa suatu barang”. Mut’ah
bisa juga diartikan barang yang menyenangkan, diambil dari kata istimta‟ yaitu bersenang-
senang.14Mut’ah juga berarti, memungut (mengambil, memetik) hasil atau buah; kesenangan,
mendefinisikan kata mut’ah dengan bersenang-senang dengan perempuan, tetapi kamu tidak
10
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), h.
676.
11
M. Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Revisi (Jakarta:
Difa Publisher, 2000), h. 211.
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), h. 35.
13
Al-Shan‟ani, Subul al-Salam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad (Surabaya: Al-Ikhlas,
1995), h.393.
14
Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF), Menolak Mut’ah dan Sirri Memberdayakan Perempuan dan Asas-
asas Fiqh Munakahat, atas dukungan Ford Foundation (Yogyakarta: t.tp, 2002), h. 3.
15
Thomas Patrick Hughas, Dictionary of Islam (Delhi: Cosmo Publications, 1982), h. 424.
16
Muhammad bin Mukarran bin Manzur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Juz IIIV (Bairut: Dar Sadir,
T.th), h.328. dan Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi al-Lugah (Beirut: al-Katolikiyah, 1953), h. 549.
waktu tertentu, atau tidak ditentukan tetapi bersifat sementara tidak untuk selamanya. 17 Dan ada
jugadefenisikan sebagai perkawinan yang diadakan hanya untuk beberapa waktu tertentu, seperti
minggu atau beberapa bulan saja. Nikah mut’ah biasa juga disebut “ ”صٔاج انًؤقاخyang berarti
perkawinan ditentukan waktunya, dan atau “ ”صٔاج انًُقطعberarti perkawinan yang terputus
setelah waktu yang ditentukan habis.18 Ada juga mengatakan bahwa perkawinan sementara atau
terputus, karena laki-laki yang mengawini perempuanya itu untuk satu hari, seminggu atau
sebulan. Di mana kawin mut’ah karena laki-lakinya bermaksud untuk bersenang-senang untuk
sementara waktu saja, tidak untuk selamanya sampai akhir hayat. 19 Hal senada dinyatakan
bersenang-senang sementara waktu saja.21 Dalam pernikahan mut’ah, segala sesuatu tergantung
kepada ketentuan yang mereka putuskan bersama. Dalam pernikahan permanen, pihak isteri atau
suami, baik mereka suka atau tidak, akan saling berhak menerima warisan secara timbal balik,
mut’ahuntuk melepaskan hawa nafsu dan bersenang-senang dengan wanita untuk sementara
waktudengan waktu terbatas dan tujuannya tidak sesuai dengan tujuan yang disyariatkan oleh
Agama.
17
Mustafa al-Khin, Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyah (Beirut: Ar-Risalah, 2003), h.
585.
18
Muhammad Ismail al-Kahlani al-Shan‟ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram min Adillat al-
Ahkam, Juz III (T.tp: Maktabah Dahlan, T.th), h. 16.
19
Imam Ghazali, Benang Tipis antara Halal & Haram (Surabaya: Putra Pelajar,2002), 195-196.
20
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Ghufron A. Mas‟adi (terj.) (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002), h. 291.
21
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, Jilid II (Beirut: Dar Al-Fikr, T.th), h. 28.
22
Murtadha Muthahhari, The Rights Women in Islam (Teheran: WOFIS, 1981), h.15.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode pendekatan yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder dan disebut juga penelitian
sumber bacaan yang diperoleh dari bahan pustaka dengan pendekatan tekstual, yaitu dengan cara
mendekati masalah yang diteliti dengan mendasarkan pada teks nikah mut’ah pada hadis Nabi
Muhammad saw. sebagai bahan penulisan dari tulisan ini dengan menggunakan dua jenis data
yaitu: Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari kutubuh tis’ah. Data sekunder,
yaitu data yang diperoleh dengan cara mempelajari dokumen dan litaratur yang berhubungan
C. Asbab al-Wurud
Asbab al-wurud dari hadis mut’ah ditemukan dengan dua versi yaitu: Al-Maziri
menjelaskan bahwa nikah mut’ah dibolehkan pada permulaan Islam. Nikah mutah dilakukan
oleh para sahabat Nabi saw. ketika mereka sedang berpergian ke medan perang untuk
mempertahankan diri dari serangan musuh Islam. Nikah tersebut mereka lakukan karena mereka
jauh dari istri, sementara tuntutan biologis sangat mendesak (shabrahum ‘anhunna qalil) dan ke
dua mengatakan bahwa hadis tersebut muncul ketika sahabat bersama-sama dengan Rasulullah
saw. dalam suatu peperangan. Ketika itu tidak ada kaum wanita di tengah-tengah mereka, maka
sahabat bertanya kepada Rasullullah saw. untuk mengebiri diri. Namun Rasulullah saw.
melarang melakukan hal itu. Pada saat itulah beliau memberikan kemudahan kepada sahabat
untuk menikahi seorang wanita dalam jangka waktu tertentu dengan maskawin pakaian.24
23
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetr (Bogor: Ghalia Indonesia,
1990), h. 9.
24
Al-Imam Muslim dan al-Imam an-Nawawi. Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Juz V (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 180 dan 182.
Penelusuran terhadaphadis yang diperlukan dalam pengkajian terhadap nikah mut’ah ini
dilakukan dengan bantuan al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis an-Nabawi karangan A.J.
1) Shahih al-Bukhari, 7 riwayat no. 4723, 4724, 4725. 3894, 5098, 6446. dan3894.
4) Sunan an-Nasa‟i,6 riwayat no. 3312, 3313, 3314, 3315, 4260, dan 4261.
9) Musnad Ahmad bin Hanbal, 21 riwayat no.324, 347, 994, 3789, 3904,13955, 14305,
14387, 14542, 14796,14797, 14802, 14803, 14804, 14805, 14806, 14808, 14810,
E. Fikih Hadis
Hadis tentang nikah mut’ah menjadi kontradiksi dalam pembukuan sejarah Islam, hal ini
dapat di lihat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum nikah mut’ah,paling tidak ada dua
pendapat yaitu:
1. Pendapat pertama mengatakan nikah mut‟ah adalah haram,Hal ini diperkuat oleh
kalangan sahabat, antara lain Ibn Umar, Ibn Abi Umrah al-Ansari, Ali Ibn Abi Thalib,
dan lain-lain, sebagai sumber riwayat. Pada periode-periode berikutnya, dikuatkan oleh
25
A.J. Wensick, Concordance et Indices De Ela Tradition Musulmane, diterjemahkan kedalam
bahasa Arab oleh Muhammad Fu„ad Abd al-Baqi dengan judul: al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadis
al-Nabawiy, juz. 6 (Leiden: E.J. Brill, 1936), h, 167.
misalnya, hadis Ali yang menyatakan larangan nikah mut’ah pada perang Khaibar27
berbeda dengan hadis Sabrah ibn Ma‟bad yang menjelaskan larangan Nabi pada Fath
Makkah.28
2. Pendapat kedua mengatakan nikah mut‟ah adalah halal,hal ini diperkuat oleh riwayat
dari kalangan sahabat, di antaranya, Asma binti Abu Bakar, Jabir ibn Abdullah, Ibn
Mas‟ud, Ibn Abbas, Muawiyah, Amar ibn Hurais, Abu Said al-Khudri. Dari kalangan
Tabi‟in, Tawus, Ata‟, Said ibn Jubair, dan Fuqaha‟ Mekkah. Pendapat ini dikukuhkan
Untuk melihat ke dua pandangan di atas, maka penulis memaparkan masing-masing dalil
yang dipergunakan yaitu jalur pelarangan nikah mut‟ah melalui al-Nasa‟iyang berbunyi:
س ِن بْ ِن ُم َح َّم ٍد َو َع ْب ِد اللَّ ِو بْ ِن ُم َح َّم ٍد ِّ الزْى ِر ُ َس َم ُع َواللَّ ْف ِ ِ ِ ِ ُ أَ ْخب رنَا مح َّم ُد بن م ْنصوٍر والْحا ِر
َ ْح
َ ي َع ْن ال ُّ ظ لَوُ َع ْن ُس ْفيَا َن َع ْن َ ث بْ ُن م ْسكي ٍن ق َر
ْ اءةً َعلَْيو َوأَنَا أ َ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ََ
)ْح ُم ِر ْاْلَ ْىلِيَّ ِة يَ ْو َم َخ ْيبَ َر(رواه النساى ِ اح الْمت ع ِة وعن ل ِ ِ ٍ َّال َعلِ ٌّي ِِلبْ ِن َعب
َ اس إِ َّن النَّبِ َّي
ُ ْ َ َ َ ْ ُ ِ صلَّى اللَّوُ َعلَْيو َو َسلَّ َم نَ َهى َع ْن ن َك
ُ ُحوم ال َ َع ْن أَبِي ِه َما قَالَ َق
Artinya:
(Nasa‟i- 4260) : Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Manshur dan Al Harits bin
Miskin dengan membacakan riwayat dan saya mendengar, lafazhnya adalah lafazh Al Harits
dari Sufyan dari Az Zuhri dari Al Hasan bin Muhammad dan Abdullah bin Muhammad dari
ayah mereka, ia berkata; Ali berkata kepada Ibnu Abbas; sesungguhnya Nabi saw. melarang
dari nikah mut'ah dan daging keledai jinak pada saat perang Khaibar.
Sedangkan hadis yang membolehkan nikah mut’ah berasal dari jalur Muslim yaitu:
ِ َّ ْد َع ْث َذ
ُ َُّللا يَق
ُٕٔل ُكَُّا ََ ْغ ُض ٍ َّللا ت ٍِْ َُ ًَي ٍْش ا ْنَٓ ًْذَاَِ ُّي َد َّذثََُا أَ ِتي َٔ َٔ ِكي ٌع َٔاتٍُْ ِت ْش ٍش ع ٍَْ إِ ْع ًَ ِﻌي َم ع ٍَْ قَ ْي
ُ ظ قَا َل َع ًِﻌ ِ َّ َد َّذثََُا ُي َذ ًَّ ُذ تٍُْ َع ْث ِذ
ب إِنَى أَ َج ٍم
ِ ََّْٕ نََُا أَ ٌْ ََ ُْ ِك َخ ْان ًَشْ أَجَ ِتانث
َ ََّّ ك ثُ َّى َس ِ ْظ نََُا َِ َغا ٌء فَقُ ْهَُا أ َ َُل ََ ْغرَ ْخ
َ ِصي فَََُٓاََا ع ٍَْ َرن َ َّللاُ َعهَ ْي ِّ َٔ َعهَّ َى نَي
َّ صهَّى ِ َّ َي َع َسعُٕ ِل
َ َّللا
26
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 35–37.
27
Shafi al-Rahman al-Mubarakfuri al-Rakhiq al-Makhtum, terj. Hanif Yahya dkk., Perjalanan Hidup Rasul
yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Cet. I; PT Megatama Sofwa Pressindo,
2004), h. 502.
28
Shafi al-Rahman al-Mubarakfuri al-Rakhiq al-Makhtum, terj. Hanif Yahya dkk., Perjalanan Hidup Rasul
yang Agung Muhammad saw: Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir, h. 541.
29
Muhammad asy-Syaukani, Nailul Auţar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid al-
Akhyar, Juz VI, h. 144.
adalah salah satu dari sigat nahi yang secara eksplisit berarti melarang. Para fuqaha Safi‟iyah,
Malikiyah, Hanafiyah dan sebagian dari kalangan Mutakalliminmenyebutkan bahwa kata nahadi
atasmenunjukkan ketidakbolehan baik dari sudut bahasa maupun dari sudut pandangan syara‟. 31
Jika merujuk pada redaksi hadis di atas, maka dipahami secara tekstual bahwa nikah
mut’ah hanya dilarang pada saat terjadinya perang Khaibar,32 tetapi jika dipahami secara
kontekstual, maka pelarangan nikah mut’ah bukan saja berlaku ketika perang Khaibar, tapi untuk
selamanya. Ini dapat dipahami bahwa illat nikah Mut’ah adalah darurat, sehingga bagi penganut
kaum Syiah berpendapat bahwa walau telah terjadi perang Khaibar, dan di mana seseorang
30
Kata naha berarti صجش عُّ تانقٕل أٔ تانفﻌم. Louis Ma‟luf, Al-Munjid fī al-Lugah (Beirut: al-
Katolikiyah, 1953), h. 647.
31
Saifuddin al- Amidi, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), h. 322.
32
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992), h. 536.
dalam perzinahan, maka nikah mut’ah dibolehkan, bahwa menurut mereka nikah mut’ah adalah
Menurut Imam Nawawi di dalam syarahnya Shahih Bukhari bahwa keharaman dan
kemubahan itu terjadi dua kali, yang pertama diperbolehkan nikah mut’ah sebelum perang
Khaibar, Kemudian pada akhirnya dalam perang Khaibar diharamkan. Kedua diperbolehkan
nikah mut’ah dalam perang Fathu Makkah, kemudian yang pada akhirnya diharamkan
selamanya.34
Jika “menegok” catatan sejarah pada masa hidup Rasulullah saw. maka Rasulullah saw.
pernah melegalkan nikah mut‟ah dengan berdasarkan berbagai riwayat hadis kedua yang
dilatarbelakangi keinginan para sahabat yang sedang berperang di tempat jauh dan membutuhkan
waktu lama, namun tidak membawa istri-istri mereka, untuk melakukan kebiri tidak dizinkan,
untuk melakukan onani, apalagi puasa, juga tidak dapat izin, Rasulullah saw. tidak saja
mengkhawatirkan umatnya yang masih lemah imannya, tapi juga kepada mereka yang kuat
imannya. Banyak di antara mereka yang berniat mengebiri dirinya sendiri agar bisa menahan
syahwat seksualnya. Untuk mengatasi problem tersebut, maka solusi sementara adalah nikah
mut’ah.35
Adapun hadis-hadis yang termaktub dalam kitab sembilan tentang kebolehan nikah
mut’ahyaitu:
33
Muh. Faishal Hasanuddin, Madzhab Syiah dengan Pendekatan Sunnah (Cet, I; Makassar: Pustaka al-
„Adl, 2005), h. 79.
34
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari Fi Syarhi Shahihi Bukhari Wan Nasyri Wat
Tauzi', Juz X (Bairut: Dar al-Fikri, T.th), h.211.
35
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Juz 2 (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-
„Arabiyyah), h. 43.
dari nikah mut'ahdan 4725. Kitab : Nikah. Bab : Rasulullah saw. dilarang dari
nikah mut'ah.
2. Shahih Muslim 5 riwayat, no: 2150. Kitab : Haji, Bab: Bolehnya tamattu' : 2493,
Kitab : Nikah, Bab : Nikah mut'ah. 2494 Kitab: Nikah Bab : Nikah mut'ah, 2495,
Kitab: Nikah, Bab: Nikah mut'ah. 2496, Kitab: Nikah,Bab: Nikah mut'ah.
3. Sunan al-Tirmidzi 1 riwayat, no: 1041. Kitab: Nikah, Bab: Keharaman nikah mut'ah.
4. Musnad Ahmad ibn Hanbal 5 riwayat:, 3789, Kitab : Musnad sahabat yang banyak
meriwayatkan hadits. Bab: Musnad Abdullah bin Mas'ud Ra. 3904, Kitab : Musnad
sahabat yang banyak meriwayatkan hadits, Bab : Musnad Abdullah bin Mas'ud Ra.
14542, Kitab: Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, Bab : Musnad
Jabir bin Abdullah Ra. 15907, Kitab : Musnad penduduk Madinah, Bab: Hadis
Salamah bin Al Akwa' Ra. Dan 15937 Kitab : Musnad penduduk Madinah, Bab :
Riwayat Hadis Nabi saw. yang melarang mut’ah dan memakan daging keledai negeri di
masa perang Khaibar, terdapat berbagai periwayat hadis yang terdapat di dalam kitab sembilan
yaitu:
1. Shahih al-Bukhari 4 riwayat, no: 3894, Dalam Kitab Peperangan Bab. Pertempuran
Khaibar. 4723, Dalam Kitab nikah Bab. Rasulullah saw. dilarang dari nikah mut‟ah..
5098, Dalam Kitab Penyenbelian dan Perburuan, Bab Daging Keledai Jinak. 6446.Dalam
2. Shahih Muslim 5 riwayat, no: 2510, dalam Kitab Nikah, Bab, Nikah Mut‟ah, 2511,
dalam Kitab Nikah, Bab, Nikah Mut‟ah 2512, dalam Kitab Nikah, Bab, Nikah Mut‟ah ,
2513, dalam Kitab Nikah, Bab, Nikah Mut‟ah 3581, dalam Kitab Buruan, Sembelian, dan
Keledai Jinak.
4. Sunan al-Nasai 5 riwayat, no: 3312, Dalam Kitab Pernikahan, Bab, Diharamkan Nikah
Mut‟ah. 3313, Dalam Kitab Pernikahan, Bab, Diharamkan Nikah Mut‟ah 3314, Dalam
Kitab Pernikahan, Bab, Diharamkan Nikah Mut‟ah 4260, Dalam Kitab Buruan dan
Sembelian, Makanan, bab Menyantap Keledai Jinak. dan 4261.Dalam Kitab Buruan dan
5. Sunan Ibn Majah 1 riwayat, no: 1951. Dalam Kitab Nikah, Bab, larangan Nikah mut’ah.
6. Musnad Ahmad ibn Hanbal 1 riwayat, no: 994. Dalam Kitab Musnad Sepuluh Sahabat
yang dijamin Masuk Syurga, Bab, Musnad Ali bin Abu Thalib Ra.Nikah, Bab, Nikah
Mut‟ah.
7. Muwaththa‟ Malik 1 riwayat, no: 994. Dalam Kitab Nikah, Bab. Nikah mut’ah.
8. Sunan al-Darimi 1 riwayat, no: 2100. Dalam Kitab Nikah, Bab Larangan Nikah mut’ah.
Pada hadis lainnya, terdapat larangan nikah mut’ah pada saat Fath Makkah, hal ini dapat
1) Shahih Muslim 1 riwayat, Kitab Nikah hadis nomor 2509Kitab: Nikah, Bab: Nikah
mut'ah.
2) Sunan al-Nasai 1 riwayat, nomor 3315. Kitab : Penikahan, Bab : Diharamkan nikah
mut'ah.
3) Sunan Abu Daud 2 riwayat, hadis nomor 1774 dalam Kitab: Nikah, Bab : Nikah Mut'ah,
4) Sunan Ibn Majah 1 riwayat, hadis nomor 1952. Kitab: Nikah, Bab : Larangan nikah
mut'ah.
5) Musnad Ahmad ibn Hanbal 10 riwayat, no: 14796, Kitab : Musnad penduduk Makkah.
Bab : Hadis Sabrah bin Ma'bad ra. 14797, Kitab : Musnad penduduk Makkah, Bab :
Sabrah bin Ma'bad ra. 14803, Kitab : Musnad penduduk Makkah, Bab : Hadits Sabrah
bin Ma'bad ra. 14804, Kitab : Musnad penduduk Makkah, Bab : Hadits Sabrah bin
6) Sunan al-Darimi 2 riwayat, hadis nomor 2098 Kitab : Kitab nikah, Bab: Larangan nikah
mut'ah, dan 2099. Kitab: Kitab nikah, Bab: Larangan nikah mut'ah.
Larangan hadis yang dilakukan oleh Umar ibn Khaththab untuk melakukan nikah mut’ah,
4 riwayat, no: 2135, Kitab: Haji, Bab: Menyambung haji dengan umrah. 2192, Kitab : Haji, Bab :
Memendekkan rambut dalam umrah. 2497,Kitab: Nikah, Bab: Nikah mut'ah dan 2498.Kitab:
Nikah, Bab : Nikah mut'ah,Sunan Ibn Majah 1 riwayat, no: 1953.Kitab: Nikah, Bab: Larangan
nikah mut'ah.Musnad Ahmad ibn Hanbal 5 riwayat, no: 324, 347, 13955, 14305, dan
14387.Adapun nikah mut„ah yang pernah dilakukan beberapa sahabat di zaman kekhalifahan
Solusi dari periwayatan hadis yang membolehkan dan melarang (ta’arrud) antara dua
hadis di atas, maka ulama hadis konsensusuntuk menyelesaikanya, namun ulama berbeda
pendapat dalam proses penyelesaiannya. Menurut penulis solusi dari dua hadis yang nampak
bertentangan merujuk pada teori yang dipergunakan oleh M. Syuhudi Ismail yaitu:
membolehkan dan melarang telah dilacak melalui takhrij hadis secara matan
2. Meneliti susunan lafal berbagai matan yang semakna;pada susunan kata hadis
azina dan rukhsah. Pada lafal hadis yang melarang nikah mut‘ahsama
3. Meneliti kandungan matan. 37Dalam satu sisi, Nabi saw. mengizinkan atau
memberikan keringanan untuk nikah mut‘ah, tetapi pada sisi yang lain, Nabi
Dari teori di atas, ada juga pendapat lain misalnya al-Syafi„iy menempuh cara al-
Ahmad al-Adlabi menggunakan metode al-jam’u, kemudian al-tarjih.39 Lain halnya yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain-lain menempuh empat tahap yaitu:
36
Muhy al-Din al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim ibn al-Hajjaj, juz IX (Cet. III; Beirut: Dar al-
Ma‟rifah, 1996), h. 182.
37
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 121-
122.
38
Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi„iy, Kitab Ikhtilaf al-Hadis (Beirut: Dar al-Fikr,
1983), h. 598-599.
39
Shalah al-Din bin Ahmad al-Adlabi, Manhaj al-Naqd al-Matn (Beirut: Dar al-Afaq alJadidah,
1983), h. 273.
2. Al-nasikh wa al-mansukh.
3. Al-tarjih.40
4. Al-tauqif.41
III. Penutup
Kesimpulan
Berdasar hadis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadis-hadis nikah mut’ah yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah perkawinan yang diselengarakan dalam beberapa waktu
tertentu, misalnya seminggu atau beberapa bulan saja tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Terlepas dari pandangan pemahaman dari kalangan Syi‟ah dan Sunni, maka nikah
mut’ah secara umum adalah haram, dan keharamannya berlaku sampai hari kiamat. Kesimpulan
ini dirumuskan dengan berdasar matan hadis yang menjelaskan bahwa secara temporal nikah
mut’ah pernah dibolehkan, yang kemudian diikuti larangan, dan larangan itu berlaku untuk
selamanya.
Bila ditinjau dari segi maslahah, maka hakikat nikah adalah untuk sakinah, mawaddah,
wa rahmah atau dengan kata lain bahwa kesejahteraandan kebahagiaan di dunia dan di akhirat
kelak, sedangakan nikah mut’ah hanyalah kesenangan sesaat, tidak abadi, sementara, dan tidak
langgeng, pada ujung-ujung perkawinan mut’ah yang mengalami banyak kerugian adalah wanita.
Wallahu „alam.
40
Tarjih adalah upaya mencari keunggulan salah satu dari dua dalil yang sama atas yang
lain.Satria Effendi, Ushul Fiqih(Cet. III; Jakarta: Kencana, 2009), h. 284.
41
Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Ibn Hajar al-Asqalani, Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbah
al-Fikr (Cet. II; Kairo: al-Istiqamah, 1368 H), h. 24-25.
Al-'Amili,Ja'far Murtadha,Nikah Mut'ah dalam Islam, Terj. Husain Al-Habsyi dari judu:
AlZuwaj Al-Muaqqad fi Al-Islam, Surakarta: Yayasan Al-Abna Al-Husain, 2002.
al-Atsqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar, athul Bari Fi Syarhi Shohihi Bukhari Wan Nasyri
Wat Tauzi', Juz X, Bairut: Dar al-Fikri, T.th.
Al-Imam Muslim dan al-Imam an-Nawawi. Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Juz V,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
al-Makhtum, Shafi al-Rahman al-Mubarakfuri al-Rakhiq, terj. Hanif Yahya dkk., Perjalanan
Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw. dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir,
Cet. I; PT Megatama Sofwa Pressindo, 2004.
al-Shan‟ani, Muhammad Ismail al-Kahlani,Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram min Adillat
al-Ahkam, Juz III, T.tp: Maktabah Dahlan, T.th.
Al-Shan‟ani, Subul al-Salam, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, Surabaya: Al-
Ikhlas, 1995.
al-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafakat Ushul al-Ahkam, Juz II, Beirut:Dar al-Kutub
al„Ilmiah, 2003.
asy-Syaukani, Muhammad, Nailul Auţar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits Sayyid
al-Akhyar diterjemahkan oleh Adib Bisri Mustafa dkk, Semarang: CV. Asy-Syifa,
1994.
Dahlan, Abdul Azis, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid IV, Cet.I; Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1996.
Fajri, M. Zul, dan Ratu Aprillia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Revisi,
Jakarta: Difa Publisher, 2000.
Al-Ghazali, Imam ,Benang Tipis antara Halal & Haram, Surabaya: Putra Pelajar,2002.
Ja‟far Murthada al-Amili, Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian dalam Berbagai Mazhab,
Terj Abu Muhammad, Jawwad, Jakarta: Yayasan As -Sajjad, 1992.
Ma‟luf, Louis, Al-Munjid fi al-Lugah, Beirut: al-Katolikiyah, 1953.
Muh. Faishal Hasanuddin, Madzhab Syiah dengan Pendekatan Sunnah, Cet, I; Makassar:
Pustaka al-„Adl, 2005.
Muthahhari, Murtadha, The Rights Women in Islam,Teheran: WOFIS, 1981.
Rusyd, Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Juz II, Indonesia : Dar Ihya al-
Kutub al-„Arabiyyah.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, II, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetr, Bogor: Ghalia
Indonesia, 1990.
Syarifuddin,Amir,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Cet. I; Jakarta: Djambatan, 1992.
Washfi, Muhammad, Mencapai Keluarga Barakah, Terj. Humaidi Syuhud dan Ahmadi
Adianto Al-Rajul wa Al-Mar'at fi Al-Islam, Yokyakarta: Mitra Pustaka, 2005.
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.
Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF), Menolak Mut’ah dan Sirri Memberdayakan Perempuan
dan Asas-asas Fiqh Munakahat, atas dukungan Ford Foundation, Yogyakarta: t.tp, 2002.