Academia.eduAcademia.edu

MAKALAH Muhammad Nazhiri Asrory (220201095)

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN TATA CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN SERIKAT PEKERJA DAN SERIKAT BURUH Dosen pengampu: Apipuddin, S.H.I., LL.M. Disusun oleh: Muhammad nazhiri asrory (220201095) KELAS V/C HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM 2024/2025 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan, baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat. Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada Dosen serta teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan berupa moriil maupun materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari sekali, di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan-kekurangnya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah-makalah kami di lain waktu. Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah, mudah- mudahan apa yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambilhikmah dari judul ini (SERIKAT PEKERJA DAN SERIKAT BURUH) sebagai tambahan dalam menambahreferensi yang telah ada. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 2 DAFTAR ISI 3 BAB I 4 PENDAHULUAN 4 A. Latar belakang 4 B. Rumusan masalah 5 C. Tujuan 5 BAB II 6 PEMBAHASAN 6 A. Pengertian penyelesaian perselisihan serikat kerja/serikat buruh 6 BAB III 12 PENUTUP 12 A. Kesimpulan 12 DAFTAR PUSTAKA 13 BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Hubungan industrial (industrial relation) secara konseptual merupakan perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labour relations atau labour management relations), yang secara bebas dapat diartikan sebagai hubungan antar pihak-pihak yang terkait dalam proses produksi, yaitu pekerja/buruh (individual) dan/atau serikat pekerja/serikat buruh (kolektif) dengan pihak pengusaha atau pemberi kerja, serta pemerintah. Sentanoe Kertonegoro menyebutkan bahwa, “pada dasarnya hubungan industrial mencakup aspek yang sangat luas, yakni aspek sosial budaya, psikologi, ekonomi, politik, hukum, dan hankamnas sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja saja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas”. Hubungan industrial merupakan hubungan antara semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa di suatu perusahaan, pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam sebuah perusahaan terdiri dari: pengusaha atau pemegang saham yang sehari-hari diwakili manajemen; para pekerja dan serikat pekerja; para perusahaan pemasok; masyarakat konsumen; pengusaha pengguna, dan masyarakat sekitar (Luisza, Patrianto, & Widoyoko, 2020). Pasal 1 angka 1 UU PPHI pengertian dari perselisihan hubungan industrial adalah, “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan” (Turangan, 2016). Jenis perselisihan hubungan Industrial berdasarkan Pasal 2 UU PPHI meliputi: (a) perselisihan hak; (b) perselisihan kepentingan; (c) perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan (d) perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan (Charda, 2017). Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat pekerjaan (Kusmayanti, Karsona, & Fakhriah, 2020). Munculnya jenis perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan implikasi kebebasan berserikat organisasi serikat pekerja/serikat buruh pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (UU SP/SB). Rumusan masalah Perngertian penyelesaian perselisihan serikat pekerja dan serikat buruh Bagaimana pedoman penyelesaian perselisihan serikat kerja dan serikat buruh? Tujuan Mengetahui pengertian dari penyelesaian perselisihan serikat pekerja dan serikat buruh Mengetahui Bagaimana pedoman penyelesaian perselisihan serikat kerja dan serikat buruh BAB II PEMBAHASAN Pengertian penyelesaian perselisihan serikat kerja/serikat buruh Pada dasarnya konflik atau perbedaan pandangan adalah hal biasa. Konflik dapat terjadi di manapun dan menimpa siapapun yang memiliki kepentingan. Konflik dalam serikat buruh bahkan tidak dapat dipisahkan dari keseharian kerja organisasi buruh ini. Permasalahan selalu muncul dan kerap kali tercampur antara yang organisasional dengan yang personal. Tentu hal ini pun berlaku di banyak organisasi atau kelompok kepentingan lain. Beberapa literatur menyebutkan bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya konflik antara lain adanya perbedaan pendapat dan pandangan, perbedaan tujuan, ketidaksesuaian cara pencapaian tujuan, ketidakcocokan perilaku, pemberian pengaruh negatif dari pihak lain pada apa yang akan dicapai oleh pihak lainnya, persaingan, kurangnya kerja sama dan lain-lain. Secara sosiologis perselisihan dapat terjadi dimana-mana,di lingkungan rumah tangga, sekolah, pasar, terminal, perusahaan, kantor dan sebagainya. Secara psikologis perselisihan merupakan luapan emosi yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan orang lain. Masalah perselisihan merupakan hal yang lumrah karena telah menjadi kodrat manusia itu sendiri. Perselisihan di lingkungan kerja atau perusahaan merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan. Perselisihan yang terjadi di lingkungan perusahaan dikenal dengan istilah perselisihan perburuhan atau perselisihan hubungan industrial. Secara historis, perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,syarat-syarat kerjada/atau keadaan perburuhan (Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 1957). Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor-Kep 15.A/Men/1994 istilah perselisihan perburuhan diganti menjadi perselisihan hubungan industrial. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, bahwa perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 diatur bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi empat (4) macam, yaitu: Perselisihan hak Perselisihan kepentingan Perselisihan PHK Perselisihan serikat kerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan Penyelesaian melalui perundingan bipartit, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Hal ini berbeda dengan Lembaga Kerjasama Bipartit sebagaimana dimaksud UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa Lembaga Kerjasama Bipartit merupakan sebuah forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang anggotanya terdiri dari pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang sudah tercatat pada institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan atau unsur pekerja atau buruh. Istilah hubungan industrial berasal dari kata industrial relation, merupakan perkembangan dari istilah hubungan perburuhan (labour relation atau labour management relations). Pada dasarnya masalah hubungan industrial mencakup aspek yang sangat luas, yakni aspek sosial budaya, psikologi ekonomi, politik hukum dan hankamnas sehingga hubungan industrial tidak hanya meliputi pengusaha dan pekerja, namun melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam arti luas. Dengan demikian, penggunaan istilah hubungan industrial dirasakan lebih tepat daripada hubungan perburuhan. Perselisihan antar serikat pekerja dapat terjadi antara lain bila mereka tidak mempunyai persesuaian paham atau kesepakatan mengenai keanggotaan, penentuan perwakilan dalam panitia dan lembaga ketenagakerjaan, atau mengenai hak dan kewajiban masing-masing serikat pekerja. Setiap perselisihan antar serikat pekerja, diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja yang bersangkutan. Bila pihak yang berselisih tidak dapat menyelesaikannya secara bipartit atau musyawarah, mereka dapat menyelesaikan perselisihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yaitu melalui arbitrase atau pengadilan. Pedoman penyelesaian perselisihan serikat kerja/serikat buruh Berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 2004, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Berdasarkan beberapa literature hukum ketenagakerjaan, pada awalnya perselisihan hubungan industrial dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Perselisihan hak (rechtsgeschillen), yaitu perselisihan yang timbul karena salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian perburuhan atau ketentuan peraturan perundangan. Perselisihan kepentingan (belangengeschillen), yaitu perselisihan yang terjadi akibat dari perubahan syarat-syarat perburuhan atau yang timbul karena tidak ada persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Perselisihan perburuhan kolektif, yakni perselisihan terjadi antara pengusaha/majikan dengan serikat pekerja/serikat buruh, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. Perselisihan perburuhan perseorangan, yakni perselisihan antara pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha/majikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis perselisihan hubungan industrial meliputi empat macam: Perselisihan hak, yaitu perselsihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturanperusahaan, atau perjanjian kerja bersama.(Pasal 1 angka 2); Perselisihan kepentingan, yaitu perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3) Perselisihan pemutusan hubungan kerja, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4). Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, yaitu perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat-pekerjaan (Pasal 1 angka 5). Prinsip yang harus menjadi pegangan bagi para pihak dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial adalah: Wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/seikat buruh secara musyawarah untuk mufakat (Pasal 136 ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003). Bila upaya musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, maka pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui prosedur yang diatur undang-undang (Pasal 136 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2003). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial mengedepankan musyawarah untuk mufakat (melalui win-win solution) agar dengan demikian, proses produksi barang dan jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit (Pasal 3 - Pasal 7 UU Nomor 2 Tahun 2004). Setiap perselisihan hubungan industrial harus terlebih dahulu diselesaikan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerja dalam waktu tiga puluh hari (30) kerja dihitung sejak tanggal dimulainya perundingan. Dalam jangka waktu tiga puluh hari kerja apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak wajib mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui bipartite telah dilakukan. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase. Apabila para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam jangka waktu tujuh hari, maka instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat melimpahkan penyelesaian perselisihan melalui mediator. Setiap perundingan bipatit harus dibuat risalah yang isinya terdiri dari :nama lengkap dan alamat lengkap para pihak, tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah dan alasan perselisihan, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan serta tanggal dan tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Konsiliasi (Pasal 17- Pasal 28). Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator setelah para pihak mengajukan permintaan secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kedelapan mengadakan sidang konsiliasi pertama. Jika tercapai kesepakatan melalui konsiliasi, maka dibuat perjanjian bersama yang ditanda-tangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator serta didaftar di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Apabila tidak tercapai kesepakatan maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis yang harus sudah disampaikan kepada para pihak selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang konsiliasi pertama. Para pihak wajib memberikan jawaban secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis. Para pihak yang tidak memberikan pendapatnya/jawaban dianggap menolak anjuran tertulis. Apabila para pihak menyetujui anjuran tertulis ,konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama selambat-lambatnya tiga hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui yang kemudian didaftarkan di pengadilan hubungan industrial untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Konsiliator wajib menyelesaikan tugas konsiliasi selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja sejak menerima permintaan penyelesaian perkara. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Arbitrase (Pasal 29 - Pasal 54). Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan oleh arbiter berdasarkan kesepakatan tertulis para pihak yang berselisih. Arbiter wajib menyelesaiakan tugas arbitrase selambat-lambatnya tiga puluh hari kerja sejak penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter. Pemeriksaan atas perselisihan dilaksanakan selambat lambatnya tiga hari kerja setelah penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbiter dan atas kesepakatan para pihak arbiter berwenang memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial satu kali perpanjangan selambat-lambatnya empat belas hari kerja. Pemeriksaan oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain. Dalam sidang arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial oleh arbiter diawali denggan upaya mendamaikan kedua pihak yang berselisih. Apabila perdamaian tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib menbuat Akta Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau majelis arbiter, kemudian didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah arbiter mengadakan perdamaian. Apabila upaya perdamaian tersebut gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap. Putusan arbitrase didaftarkan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah arbiter menetapkan putusan. Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkan putusan arbiter. Perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak dapat diahukan ke pengadilan hubungan industrial. BAB III PENUTUP Kesimpulan dapat disimpulkan bahwa peranan serikat pekerja dalam menyampaikan aspirasi, serta upaya memperjuangkan kesejahteraan kesehatan, keselamatan kerja mempunyai makna signifikan. Model negoisasi dalam upaya mencapai mufakat lebih diutamakan. Serikat pekerja tingkat cabang berperan aktif sebagai pendampingan (advokasistakeholders) serta peran pemerintah selaku mediator memberi makna positif dalam rangka penegakan hukum, walaupun serikat pekerja menyadari adanya kendala maupun tantangan yang selalu menghadangnya. Namun demikian kontribusi serikat pekerja dalam melaksanakan fungsi dan peranan untuk membangun jalinan hubungan kerja yang kondusif serta proporsional memberi warna tersendiri dalam pembangunan nasional dibidang ketenagakerjaan DAFTAR PUSTAKA Apipuddin, A. (2019). RECHTSVINDING METHOD OF JUDGES IN FILLING LEGAL EMPTY "STUDY OF APPROACHES IN LEGAL DISCOVERY". Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 11(2), Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota Mataram). Al-IHKAM Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 14(2), Masnun, M. T., & Apipuddin, A. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”. ADHKI: JOURNAL OF ISLAMIC FAMILY LAW, 2(1), Anggraini, E. S. (2023). Peran Serikat Pekerja Dalam Hal Perselisihan Hubungan Kerja Yang Berdampak Pada Pemutusan Hubungan Kerja. Jurnal Syntax Admiration, 4(3), Fuqoha, F. (2020). Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Penyelesian Perselisihan non-Litigasi dalam Perselisihan Hubungan industrial. Indonesian State Law Review (ISLRev), 2(2), Siswanto, W., & Adityaningrum, N. (2022). Mediasi Penyelesaian Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Tingkat Perusahaan yang Berkeadilan pada Perusahaan Sektor Tekstil Sandang dan Kulit. Jurnal Multidisiplin Indonesia, 1(4), Simanjuntak, P. J. (2002). Undang-undang yang baru tentang serikat pekerja/serikat buruh. Kantor Perburuhan Internasional [ILO].