Case Report Child Abuse Fix
Case Report Child Abuse Fix
Case Report Child Abuse Fix
DISUSUN OLEH:
1102015040
NOVEMBER, 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
ABSTRAK
Introduction: In Indonesia, cases of sexual violence every year have increased, the victims are not just adults,
but now have reached teenagers, children and even toddlers. And more tragically the culprit is that most of the
family or environment around the child is located, among others, in their own homes, schools, educational
institutions, and children's social environments.
Case report: In this case, a girl aged 16 years was raped by her boyfriend who is 4-years-older more than 9
times, more than 5 times when she was sleepover in his house for 5 days and 4 times when she was hanging out
with him. She was forced and threatened to be abandoned if she don't want to. The perpetrator admitted that he
was tempted by the sexy body shape of the victim and regretted his actions.
Discussion: The result of psychological test showed that she had a post-traumatic dissorder, fearness, anxiety,
ashamed. The traumatic impacts of sexual abuse experienced by children are as follows: betrayal (betrayal or
trust crisis of the children towards adults); traumatic sexualization; powerlessness (helpless feeling); and
stigmatization. To prevent sexual abuse in children, we should talk about body parts early, and also teach them
that some of our body part are private. Islam has also taugh us to guard our eyes and our private parts, protect
our social lives, and dressing modestly.
Conclussion: Sexual violence that occurs can cause considerable trauma to the victims, both children and adults.
As a parent should be better monitor and more pay attention to their children so that similar things cannot
happen to their children.
Keywords: domestic violence, child abuse, rape
Pendahuluan: Di Indonesia, kasus kekerasan seksual setiap tahun telah meningkat, para korban bukan hanya
orang dewasa, tetapi sekarang telah mencapai remaja, anak-anak dan bahkan balita. Dan yang lebih tragis,
pelakunya adalah bahwa sebagian besar keluarga atau lingkungan di sekitar anak itu berada, antara lain, di
rumah mereka sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan sosial anak-anak.
Laporan kasus: Dalam kasus ini, seorang gadis berusia 16 tahun diperkosa oleh pacarnya yang berusia 21
tahun lebih dari 9 kali, lebih dari 5 kali dilakukan ketika dia menginap di rumahnya selama 5 hari dan 4 kali
ketika sedang jalan-jalan bersamanya. Dia dipaksa dan mengancam akan ditinggalkan jika dia tidak mau. Pelaku
mengakui bahwa dia tergoda oleh bentuk tubuh seksi korban dan menyesali perbuatannya.
Diskusi: Hasil tes psikologi menunjukkan bahwa korban mengalami gangguan pasca-trauma, rasa takut,
kecemasan, malu. Dampak traumatis pelecehan seksual yang dialami anak-anak adalah sebagai berikut:
pengkhianatan (pengkhianatan atau krisis kepercayaan anak-anak terhadap orang dewasa); seksualitas
traumatik; ketidakberdayaan (perasaan tak berdaya); dan stigmatisasi. Untuk mencegah pelecehan seksual pada
anak-anak, kita harus membicarakan bagian-bagian tubuh lebih awal, dan juga mengajari mereka bahwa
beberapa bagian tubuh kita adalah pribadi. Islam juga telah merawat kita untuk menjaga mata kita dan bagian
pribadi kita, melindungi kehidupan sosial kita, dan berpakaian sopan.
Kesimpulan: Kekerasan seksual yang terjadi dapat menyebabkan trauma yang cukup besar pada korban, baik
anak-anak maupun orang dewasa. Sebagai orang tua harus lebih baik memantau dan lebih memperhatikan anak-
anak mereka sehingga hal-hal serupa tidak dapat terjadi pada anak-anak mereka.
Kata kunci: kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan pada anak, pemerkosaan
PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan dimedia massa mengenai kekerasan yang terjadi pada anak
masih membuat masyarakat terkejut, baik itu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Anak
menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap kekerasan seksual karena anak selalu
diposisikan sebagai sosok lemah atau yang tidak berdaya dan memiliki ketergantungan yang
tinggi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya. Secara umum pengertian kekerasan seksual
pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi
sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang
bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang
dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual
atau aktivitas seksual (CASAT Programme, Child Development Institute; Boyscouts of
America; Komnas PA).
Pada tahun 2017 KPAI mencatat telah terjadi sebanyak 116 kasus. Sementara yang
tidak tercatat mungkin saja melebihi dari angka tersebut dikenal merupakan fenomena
gunung es. Menurut Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi
tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan
terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan
sebagainya.
Pesatnya perkembangan teknologi saat ini semakin canggih dan terus berkembang
disegala aspek kehidupan. Salah satunya yang tidak dapat dipungkiri adalah internet.
Hadirnya internet dalam kehidupan sehari-hari kita, baik dalam kegiatan sosialisasi, bisnis,
pendidikan, dsb, dapat memberikan berbagai manfaat dan kerugian. Sosial media merupakan
salah satu fenomena yang muncul seiring berkembangnya teknologi dan inovasi di internet.
Bagi masyarakat khususnya kalangan remaja, media sosial sudah menjadi candu yang
membuat penggunanya tiada hari tanpa membuka media sosial.
DESKRIPSI KASUS
Seorang ibu dan adik iparnya datang ke kantor polisi untuk melaporkan bahwa
anaknya, yaitu HN (16 tahun) telah mengalami kekerasan seksual beberapa kali oleh pelaku
yang merupakan pacar dari HN sendiri yang berinisial AI berumur 21 tahun. Semua berawal
saat kedua belah pihak bertemu melalui media sosial (facebook). Setelah selang beberapa
waktu, pada tanggal 27 Mei 2018 pukul 12.00, pelaku dan korban berjanji untuk bertemu di
rumah teman pelaku, setelah dari sana, pelaku mengajak korban ke rumahnya yang beralamat
di Gang Banten IX RT006/RW005 Kel. Balimester Kec. Jatinegara Jakarta Timur. Ternyata di
rumah AI sepi, tidak ada siapapun. Kemudian AI mengajak HN untuk ke kamar tidurnya dan
melepaskan semua pakaian yang digunakan HN dan memaksanya untuk bersetubuh. Setelah
itu AI mengajak HN jalan-jalan menggunakan motor dan di hari yang sama, pukul 23.00 AI
mengajak HN kembali kerumahnya dan melakukan kekerasan seksual tersebut untuk kedua
kalinya. Dan kejadian ini terus terjadi hingga hari-hari berikutnya ketika HN diajak bermalam
dirumah AI tanpa memberi tahu orang tua korban pada tanggal 31 mei 2018 sampai 4 juni
2018.
Setelah pulang dari rumah AI, HN bercerita pada ibunya tentang apa yang dialami
oleh dirinya selama ini. Ibu korban langsung melaporkan pelaku ke polisi dan mengantar Hn
melakukan visum. Sebelumnya, korban mengeluhkan nyeri saat buang air kecil. Hasil visum
yang didapankan adanya robekkan lama pada selaput dara arah jam empat, enam, sembilan
tidak sampai dasar. Lalu pada pemeriksaan psikologi didapatkan korban retardasi mental (IQ
<57), trauma paska kejadian, ketakutan, kebingungan, perasaan malu, dukungan keluarga
yang baik.
Pada tanggal 10 Agustus 2018, HN dikabarkan hilang lagi oleh orang tuanya, dan
ternyata ia bertemu dengan AI diluar sepengetahuan orang tuanya dan dibawa oleh AI ke
rumah temannya di Cipinang, dan melarangnya pulang sampai AI mendapatkan kerja. HN
yang tidak memiliki uang untuk pulang dan tidak mengetahui nomer telfon orang tuanya
akhirnya tinggal dirumah teman AI selama 3 hari sampai AI mendapatkan kerja. HN
diantarkan pulang oleh teman-teman AI. Sesampainya dirumah, HN dan teman AI langsung
dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
HN mengakui AI sudah melakukan kekerasan seksual ini lebih dari 9 kali hingga
terakhir tanggal 11 agustus 2018 dirumah teman AI. HN menjelaskan kalau AI memaksanya
dengan menarik tangannya, menguncinya dikamar lalu mengancamnya apabila ia tidak mau
melakukannya dengan memutuskan hubungan mereka dan setelah selesai dicabuli, AI berkata
pada HN untuk jangan bicara kepada siapapun dan ia siap bertanggung jawab apabila HN
hamil.
DISKUSI
Pada laporan kasus ini penulis ingin menyampaikan beberapa dampak yang timbul
dari penggunaan media sosial dan juga dampak psikis pada anak yang menjadi korban
pelecehan seksual pada kasus ini.
Dalam kasus ini, korban dan pelaku yang termasuk dalam kategori usia remaja
dimana masa remaja merupakan masa rentan, karena merupakan masa transisi dari kanak-
kanak menuju kedewasa yang ditandai dengan perkembangan yang sangat cepat dari aspek
fisik, biologis, dan social. Salah satu kegiatan yang sering dilakukan remaja adalah pacaran
(dating) yang melibatkan remaja perempuan dan remaja laki-laki. Mereka menyebutnya
dengan masa bercinta, pacaran, dating, hubungan romantis, ataupun istilah lainnya yang
melukiskan sebuah pola ketetarikan antara tubuh yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan
raga (Sony,2009). Tindakan kekerasan dalam suatu hubungan tidak hanya melanda pada
pasangan yang sudah menikah saja atau yang sering dikenal dengan KDRT. Tetapi kini
banyak perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan oleh pacar (Kartika, 2015). Anak
usia remaja biasanya merasa mampu mandiri sehingga tidak mengikuti upaya penyelamatan
diri yang dianjurkan. Sehingga dapat melakukan hubungan yang tidak sehat sampai
melakukan tindakan kekerasan dapat menimbulkan resiko yang fatal. Tindak kekerasan
dalam suatu hubungan yang kemudian meningkat pada paksaan untuk berhubungan seksual,
aborsi dan tindakan lainnya yang dapat mengancam nyawa korban (Anwar,2012).
Pada kasus ini, menurut American Medical Association (dalam Siswanto, 2007)
korban dapat dikategorikan mengalami kekerasan seksual pada anak karena korban
diikutsertakan dalam situasi seksual dengan orang dewasa atau anak yang lebih tua. Menurut
Sumiati (2009) tingginya angka kekerasan dalam berpacaran terjadi akibat banyaknya
perempuan yang tidak paham bentuk kekerasan fisik maupun psikis dalam sebuah hubungan,
seperti apa yang terjadi pada kasus ini, dimana korban mau disetubuhi karena ancaman yang
diberikan oleh pelaku.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh pelaku yang sebenarnya adalah pacar korban
ini berdasarkan identitas pelaku dapat dikategorikan kedalam familial abuse, yaitu kekerasan
seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian
dalam keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua,
misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak.
Sedangkan selain itu dikategorikan extrafamilial abuse, yaitu kekerasan yang dilakukan oleh
orang lain di luar keluarga korban. Pada pola pelecehan seksual di luar keluarga, pelaku
biasanya orang dewasa yang dikenal oleh sang anak dan telah membangun relasi dengan anak
tersebut, kemudian membujuk sang anak ke dalam situasi dimana pelecehan seksual tersebut
dilakukan, sering dengan memberikan imbalan tertentu yang tidak didapatkan oleh sang anak
di rumahnya (Noviana, 2015).
Ketika seseorang tertarik secara seksual terhadap orang yang di luar rentang usia atau
tahap perkembangannya, maka hal tersebut dinilai tidak wajar secara sosial, misalnya remaja
atau orang dewasa tertarik kepada anak-anak. Artinya, orang dewasa atau remaja yang lebih
tua yang tertarik secara seksual primer kepada anak-anak atau sebaliknya dinilai tidak
normal. Ketika secara sosial dianggap menyimpang, maka pelakunya sendiri juga sadar
bahwa hal tersebut menyimpang. Kemungkinan bentuk reaksinya ada dua: mengubah diri
atau memuaskan dorongan seksualnya secara diam-diam. Didalam melakukan kekerasan
seksual terhadap anak, biasanya ada tahapan yang dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini,
kemungkinan pelaku mencoba perilaku untuk mengukur kenyamanan korban. Jika korban
menuruti, kekerasan akan berlanjut dan intensif. Kekerasan seksual cenderung menimbulkan
dampak traumatis baik pada anak maupun pada orang dewasa. Namun, kasus kekerasan
seksual sering tidak terungkap karena adanya penyangkalan terhadap peristiwa kekerasan
seksual yang terjadi. Lebih sulit lagi adalah jika kekerasan seksual ini terjadi pada anak-anak,
karena anak-anak korban kekerasan seksual tidak mengerti bahwa dirinya menjadi korban.
Korban sulit mempercayai orang lain sehingga merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya
(Noviana, 2015).
Sementara itu, Weber dan Smith (2010) mengungkapkan dampak jangka panjang
kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada
masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian
hari. Ketidakberdayaan korban saat menghadapi tindakan kekerasan seksual di masa kanak-
kanak dan remaja, tanpa disadari digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau
perilaku seksual bisa dilakukan kepada figur yang lemah atau tidak berdaya. Selain itu,
kebanyakan korban yang mengalami kekerasan seksual merasakan kriteria psychological
disorder yang disebut post-traumatic stress disorder (PTSD), dengan gejala-gejala berupa
ketakutan yang intens terjadi, kecemasan yang tinggi, dan emosi yang kaku setelah peristiwa
traumatis, bahkan bahkan dapat timbul keinginan atau percobaan bunuh diri. Seperti yang
dituliskan pada hasil tes psikologis korban pada kasus ini yaitu adanya ketakutan, kecemasan,
trauma paska kejadian, kebingungan, perasaan malu. Menurut Beitch-man et.al (Tower,
2002), anak yang mengalami kekerasan seksual membutuhkan waktu satu hingga tiga tahun
untuk terbuka pada orang lain.
Finkelhor dan Browne (Tower, 2002) mengkategorikan empat jenis dampak trauma
akibat kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak, yaitu:
1. Pengkhianatan (Betrayal). Kepercayaan merupakan dasar utama bagi korban
kekerasan seksual. Sebagai seorang anak, mempunyai kepercayaan kepada
orangtua dan kepercayaan itu dimengerti dan dipahami. Namun, kepercayaan anak
dan otoritas orangtua menjadi hal yang mengancam anak.
2. Trauma secara Seksual (Traumatic sexualization). Russel (Tower, 2002)
menemukan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual cenderung
menolak hubungan seksual, dan sebagai konsekuensinya menjadi korban
kekerasan seksual dalam rumah tangga. Finkelhor (Tower, 2002) mencatat bahwa
korban lebih memilih pasangan sesama jenis karena menganggap laki-laki tidak
dapat dipercaya.
3. Merasa Tidak Berdaya (Powerlessness). Rasa takut menembus kehidupan korban.
Mimpi buruk, fobia, dan kecemasan dialami oleh korban disertai dengan rasa
sakit. Perasaan tidak berdaya mengakibatkan individu merasa lemah. Korban
merasa dirinya tidak mampu dan kurang efektif dalam bekerja. Beberapa korban
juga merasa sakit pada tubuhnya. Sebaliknya, pada korban lain memiliki intensitas
dan dorongan yang berlebihan dalam dirinya (Finkelhor dan Browne, Briere
dalam Tower, 2002).
4. Stigmatization. Korban kekerasan seksual merasa bersalah, malu, memiliki
gambaran diri yang buruk.
Selain itu dalam hasil test psikologi korban didapatkan bahwa ternyata korban
mengalami retardasi mental dimana korban memiliki IQ kurang dari 57 atau masuk dalam
kategori retardasi mental ringan. Dimana orang yang dalam kategori tersebut memiliki
karakteristik seperti Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampumenguasainya
untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Kesulitan biasanya dijumpai
dalam hal membaca, menulis, dan berhitung, sehingga biasanya retardasi mental ringan
ditemukan saat anak berada di sekolah dasar. Selain itu dalam hasil tes psikologi juga
dikatakan bahwa korban masih belum sepenuhnya mampu untuk melakukan penilaian sebab
akibat mengenai apa yang dialaminya (Moore, 2004). Diluar kegiatan pendidikan, anak
retardasi mental juga memiliki ketrampilan seperti mampu mengurus diri sendiri seperti
makan, mandi, berpakaian, bahkan mereka yang IQ nya lebih tinggi mampu menikah dan
berkeluarga, bekerja pada pekerjaan semiskilled, mampu mengatasi berbagai situasi sosial
secara baik, tetapi mereka membutuhkan bantuan dalam mengatur pendapatannya (Safrudin,
2015).
Dalam agama Islam perbuatan pelecehan seksual ini sangat tidak terpuji. Agama
Islam merupakan agama yang sangat fitrah. Dalam agama Islam sifat ini dipandang sebagai
perbuatan yang tercela karena agama Islam telah mengajarkan kepada umat-Nya untuk saling
menghormati kepada siapapun tanpa melihat posisi dan jabatan seseorang. Rasulullah pernah
bersabda yang diriwayatkan oleh salah seorang sahabat beliau,“Aku bertanya kepada
Rasulullah tentang pandangan yang cuma selintas atau tidak sengaja, kemudian beliau
memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku”. (HR Muslim no
5770). Hadist tersebut bermakna bahwa tidak diperkenankan dengan sengaja memandaang
kepada lawan jenis, memandang saja tidak dibolehkan dalam islam, sebab menimbulkan
hawa nafsu dan mudah sekali tergoda oleh bisikan syetan. Perbuatan yang dilarang ini disebut
juga dengan jarimah. Jarimah merupakan larangan-larangan Syara’ yang diancamkan oleh
Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Kerugian ini dapat berupa rasa trauma atau rasa malu
kepada keluarga atau masyarakat. Akibat jarimah perkosaan (zina) dibagi dua
yaitu: jika pelaku masih bujang maka ia dikenai hukuman had dengan hukuman dera 100
(seratus) kali dan pengasingan. Jika pelaku telah beristri atau bersuami maka hukumannya
adalah dirajam. Sebagian Ulama’ mewajibkan memberikan mahar bagi pelaku untuk
korbanya. Imam Malik mengatakan jika wanita yang diperkosa itu merupakan wanita yang
merdeka tidak budak baik wanita tersebut sudah menikah atau belum menikah maka pelaku
wajib memberikan mahar namun jika wania tersebut seorang budak maka, pelaku wajib
memberikan harta senilai kurang sedikit dari harta budak tersebut, sedangkan bagi wanita
yang diperkosa tidak mendapatkan hukuman. Pelaku yang melakukan pemerkosaan yang
menggunakan senjata hukumanya sama dengan pelaku perampokan, dengan hukuman
dibunuh, disalib, dipotong kaki dan tanganya dengan bersilang , diasingkan atau di buang
(Baits, 2011). Adapun perbedaan hukuman zina dengan hukuman tindak pidana pemerkosaan
adalah bahwa hukuman zina dikenakan kepada kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan).
Ketentuan aktifitas seksual tersebut dalam agam Islam hanya boleh dilakukan dengan
jalur yang telah ditentukan, yakni melalui jalur pernikahan yang sah, dengan mengikuti syarat
dan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang telah menciptakan manusia
dengan disertai hawa nafsu.
Dizaman modern seperti sekarang, pacaran juga dianggap sesuatu yang umum dan
dibangga-banggakan. Pacaran biasanya dilakukan untuk menjalin kasih sayang antara kedua
pelaku yaitu laki dan perempuan, hanya untuk saling mencintai sesaat aja. Namun yang perlu
kita perhatikan adalah bagaimana hukum pacaran dalam syariat Islam, ini kita sebagai umat
muslim wajib untuk mengetahuinya. Istilah pacaran dalam Islam tidak ada, tetapi pacaran
lebih menjurus pada maksiat dan zina.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’ [17] : 32)
Pacaran yang identik dengan berpandangan, berdekatan, dan lain-lain tidak sesuai dengan
perintah Allah kepada semua laki laki beriman untuk menjaga pandangan dan menjaga diri,
hendaknya setiap lelaki mukmin mengamalkannya dengan tidak menjalankan pacaran. Salah
satu cara menghindari pacaran bisa dengan menahan diri untuk tidak bertemu dengan lawan
jenis hanya berduaan saja.
فسإ بنن سثاَلبثسههسماَ النشقيِ س، أسلس لس يسقخلهسوُنن سرهجلُل بباَقمسرأسمة لس تسبحضُل لسهه
إبلن سمقحسرمم، طاَهن
“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya
karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila
bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734.)
KESIMPULAN
Kekerasan seksual yang terjadi dapat menimbulkan trauma yang cukup dalam pada
korbannya, baik itu anak-anak maupun dewasa. Dampak yang dapat terjadi pada korban
kasus pelecehan seksual berupa rasa terhiyanaati, ketakutan, kecemasan, menurunnya rasa
percaya diri, malu, bahkan dapat menimbulkan trauma seksual. Untuk korban anak-anak
ataupun remaja dapat menimbulkan dampak jangka panjang, yaitu korban memiliki potensi
untuk menjadi pelaku kekerasan seksual dimasa depannya dan dapat berpemikiran bahwa
kekerasan seksual dapat dilakukan pada orang-orang yang lemah. Untuk mencegah terjadinya
kekerasan seksual, Islam sudah ajarkan dalam hadis dan ayat-ayat al quran seperti menutupi
aurat, menjaga pandangan dan hawa nafsu, tidak melakukan sesuatu yang melakukan sesuatu
yang menjurus pada perzinaan. Selain itu, disarankan kepada orang tua untuk lebih
mengawasi dan memperhatikan anak-anaknya sehingga hal serupa tidak dapat terjadi pada
anaknya.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT yang atas berkat dan rahmat-Nya
saya dapat menyelesaikan case report ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada
POLRES JAKARTA TIMUR. Tak lupa saya ucapkan juga untuk pembimbing tutor saya,
yaitu dr. Werda Indriarti, Sp.S yang telah membimbing kelompok kepeminatan 2 kasus
KDRT sehingga case report ini dapat terselesaikan. Terima kasih kepada dr. Hj. RW.
Susilowati, Mkes dan DR. Drh. Hj. Titiek Djannatun sebagai koordinator blok elektif ini serta
kepada dr.Ferryal Basbeth, Sp.F sebagai dosen pengampuh. Kepada semua anggota kelompok
2 KDRT, terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Maslihah, Sri. 2006. “Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan Dampak Jangka
Panjang”. Edukid: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.I (1).25-33.
Moore DP, Jefferson JW.2004. Handbook of Medical Psychiatry: 2nd ed. Philadelphia:
Elsevier/Mosby
Noviana, Ivo. 2015. Kekerasan Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya. Sosio
Informa. Vol. 01(1)
Safrudin. 2015. Pendidikan Seks Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Grava Media
Sari KP, Suratini. 2015. Hubungan Keterpaparan Media Massa Dengan Kekerasan Dalam
Pacaran Di SMA Negeri I Sanden Bantul Tahun 2015. Yogyakarta: STIKES Aisyiyah
Sumiati, 2009. Kesehatan Jiwa Remaja dan Konseling. Jakarta: Trans Info Media.
Tower, Cynthia Crosson. 2002. Understanding Child Abuse and Neglect. Boston: Allyn &
Bacon.
Weber, Mark Reese., Smith, Dana M. 2010. Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of
laters Sexual Victimization. Journal of International Violence 26 (9): 1899-1905.
https://www.universitaspsikologi.com/2018/07/pengertian-bentuk-dan-gejala-child-
abuse.html diakses pada 16 November 2018