2891 6064 1 PB
2891 6064 1 PB
2891 6064 1 PB
net/publication/322148704
Identifikasi Daerah Resapan Air di Sub Daerah Aliran Sungai Malino Hulu
Daerah Aliran Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa
CITATIONS READS
6 3,272
4 authors, including:
All content following this page was uploaded by Wahyuni Wahyuni on 28 February 2018.
Identifikasi Daerah Resapan Air di Sub Daerah Aliran Sungai Malino Hulu
Daerah Aliran Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa
ABSTRACT : Population increase encourages people to change land use in Malino sub watershed. The
forest area converted into non-forest areas such as agricultural or settlements. This study aims to determine the
status and potential of water absorbtion region. This research was conducted in the Malino sub watershed maps
using land units derived from overlapping maps of slope, soil type, rainfall and land use. Moreover, the
determination of the water absorbtion region refer to the Technical Plan for Forest and Soil rehabilitation - basin.
The results showed that up to 27,05% of the total Malino Sub Watershed is critical condition, normal condition as
much as 49,70% and a good conditions as much as 23.25%. The Malino sub watershed still good potential to
absorb water. In natural conditions, the use of land as dry bush agriculture to intervene it is advisable to
agroforestry or timber planted with long lasting in order to be a good absorbtion region, while for normal
condition advised to planting of agroforestry with pattern alley cropping.
1. PENDAHULUAN
Kondisi DAS akhir-akhir ini terindikasi semakin menurun karena tingkat kepadatan
penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif. Meningkatnya
kejadian tanah longsor, erosi, sedimentasi, banjir, dan kekeringan merupakan indikator menurunnya
daya dukung DAS. Daya dukung DAS terdiri atas daya dukung DAS yang dipertahankan dan daya
dukung DAS yang dipulihkan (PP37, 2012).
Salah satu hal yang dipertimbangkan untuk menentukan apakah daya dukung suatu DAS
dipertahankan atau dipulihkan adalah kualitas, kuantitas dan kontinuitas air. Kualitas, kuantitas dan
kontinuitas air saat ini telah mengalami gangguan disebagian besar wilayah Indonesia. Hal ini
dicirikan oleh sungai yang semakin keruh, rasio perbedaan antara debit maksimum dan minimum
yang sangat besar dan ketersediaan kebutuhan air setiap tahun tidak terjamin. Kondisi seperti itu oleh
Triweko (2014) menyatakan bahwa ketahanan air telah terganggu. Ketahanan air yang dimaksudkan
adalah kemampuan masyarakat untuk menjaga keberlanjutan dalam pemenuhan kebutuhan air dalam
hal jumlah yang mencukupi. Jumlah penduduk yang semakin bertambah menyebabkan kebutuhan
akan lahan juga meningkat, dan ini berdampak pada hutan yang akan diubah menjadi lahan
pertanian, dan selanjutnya lahan pertanian akan berubah menjadi permukiman. Perubahan tata guna
lahan tersebut pada akhirnya berdampak pada meningkatnya limpasan permukaan, menurunnya
kualitas air akibat pencemaran oleh limbah rumah tangga, perkotaan dan industri.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi
biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air. Daerah masuknya air dari permukaan tanah ke
dalam zona jenuh air sehingga membentuk suatu aliran air tanah yang mengalir ke daerah yang lebih
rendah disebut daerah resapan air (Wibowo, 2006). Fungsi daerah resapan air adalah untuk
menampung air hujan yang turun di daerah tersebut. Secara tidak langsung daerah resapan air
memegang peran penting sebagai pengendali banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau.
93
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
Daerah resapan air semakin berkurang karena adanya alih fungsi lahan di berbagai tempat
terutama lahan berhutan. Menurut Arsyad, U (2010) luas daerah berhutan pada hulu DAS Jeneberang
tahun 2006 sebesar 13,38%. Hal ini menggambarkan daerah berhutan telah mengalami perubahan
penggunaan lahan dikarenakan jumlah penduduk semakin bertambah yang menyebabkan kebutuhan
lahan juga semakin meningkat. Lahan yang dulunya merupakan daerah berhutan atau daerah
resapan air diubah fungsinya menjadi daerah tidak berhutan. Akibatnya areal yang dulunya mampu
meresapkan air dalam jumlah yang banyak akan menurun karena perubahan penggunaan lahan
tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi daerah resapan air adalah
dengan mengetahui parameter-parameter yang mempengaruhinya. Hastono, dkk (2012) menyatakan
bahwa parameter-parameter yang mempengaruhi daerah resapan air adalah jenis tanah atau batuan,
curah hujan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan.
Sub DAS Malino merupakan salah satu Sub DAS dari DAS Jeneberang yang secara
administratif terletak di Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa yang memiliki luas 8.683 ha
atau sekitar 10,96% dari luas DAS Jeneberang (Kementerian Kehutanan, 2012) dalam (Ashab, 2014).
Pertambahan jumlah penduduk akan mendorong masyarakat untuk melakukan alih fungsi lahan yang
awalnya hutan menjadi lahan pertanian pada Sub DAS Malino (Ashab, 2014). Wiwoho (2008)
menyatakan perubahan penggunaan lahan yang menghasilkan permukaan lahan yang kedap air
mengakibatkan air hujan yang jatuh tidak dapat meresap ke dalam tanah. Hujan akan langsung
menjadi aliran permukaan, dan meningkatkan potensi banjir dan genangan di kawasan tersebut.
Informasi mengenai kondisi dan potensi daerah resapan air di Sub DAS Malino masih sangat kurang.
Padahal informasi mengenai hal tersebut dianggap sangat perlu karena dapat dijadikan landasan
dalam pengambilan keputusan untuk menentukan daerah resapan air pada wilayah konservasi dan
rehabilitasi lahan serta hutan yang diharapkan dapat memperbaiki ketahanan air di Sub DAS Malino.
Karena itu dianggap perlu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi daerah resapan air di Sub
DAS Malino.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini telah dilaksanakan selama tiga bulan yaitu mulai Bulan Februari sampai
dengan Bulan April 2016 melalui dua tahapan kegiatan yaitu kegiatan lapangan dan analisis data.
Kegiatan lapangan dilakukan di Sub Daerah Aliran Sungai Malino sedangkan untuk analisis data
dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin.
Tahap pertama dilakukan delineasi batas Sub DAS Malino dengan menggunakan data dari
Aster DEM, kemudian tahap kedua menentukan lokasi penelitian berdasarkan peta jenis tanah,
kemiringan lereng, peta penggunaan lahan yang ditumpang susun menghasilkan peta unit lahan,
untuk menentukan titik lokasi penelitian. Jumlah unit lahan yang terbentuk sebanyak 20 unit lahan.
Selanjutnya dilakukan pengumpulan data di lapangan, berupa data kelerengan, pengambilan
sampel tanah, dan pengamatan laju infiltrasi pada setiap titik pengamatan.
Analisis data yang dimaksudkan adalah analisis untuk menentukan infiltrasi potensial dan
infiltrasi aktual dengan menggunakan metode overlay. Menurut RTkRHL-DAS (2010), infiltrasi
potensial dipengaruhi oleh faktor kemiringan lereng, curah hujan dan tanah. Sedangkan untuk infiltrasi
94
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
aktual dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Keempat faktor tersebut kemudian disajikan dalam bentuk
peta.
a. Kemiringan Lereng
Peta kemiringan lereng dibuat berdasarkan analisis Aster DEM yang selanjutnya dilakukan
klasifikasi menjadi beberapa kelas dan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Lereng dan Penotasiannya
No Kelas Deskripsi Lereng (%) Notasi Skor
1 I Datar <8 A 5
2 II Landai 8 – 15 B 4
3 III Bergelombang 15 – 25 C 3
4 IV Curam 25 – 40 D 2
5 V Sangat curam > 40 E 1
b. Curah Hujan
Peta curah hujan yang dioverlay dibuat berdasarkan data curah hujan yang diperoleh dari
Global Weather. Data ini diperlukan untuk mengetahui nilai infiltrasi rata-rata per tahun setiap stasiun
pengukur curah hujan pada daerah penelitian. Perhitungan infiltrasi rata-rata per tahun dihitung
dengan menggunakan rumus Hastono, dkk. (2012), sebagai berikut:
RD = 0,01 x P x Hh
dimana:
RD = faktor hujan infiltrasi
P = curah hujan tahunan (mm/tahun)
Hh = jumlah hari hujan tiap tahun (berapa hari hujan dalam setiap tahun)
Hasil perhitungan nilai RD tersebut dalam kaitannya dengan potensial infiltrasinya dapat
diklasifikasikan seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Nilai Hujan Infiltrasi
No Kelas Deskripsi Nilai “hujan infiltrasi” RD Notasi Skor
c. Tanah
Peta jenis tanah di Sub DAS Malino didasarkan pada pembagian jenis tanah dan diperoleh
dari Data sistem lahan (land system) Regional Physical Project for Transmigration (RePPProt) Badan
Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional Tahun 1987. Setelah jenis tanah diketahui akan dilakukan
pengambilan sampel tanah untuk menghitung permeabilitasnya, dan kemudian melakukan
pembobotan pada setiap jenis tanah dalam mengidentifikasi daerah resapan air, yang mengacu pada
Tabel 3.
95
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
d. Penggunaan Lahan
Analisis pada penggunaan lahan didasarkan pada peta penggunaan lahan dari Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VII. Data ini diperlukan untuk mengukur kriteria dan
indikator kinerja DAS, untuk klasifikasi penggunaan lahan dan penotasiannya dapat dilihat pada Tabel
4.
Tabel 4. Klasifikasi Penggunaan Lahan
No Kelas Deskripsi Tipe Penggunaan Lahan Notasi
1 I Besar Hutan lebat A
2 II Agak besar Hutan produksi, perkebunan B
3 III Sedang Semak, padang rumput C
4 IV Agak kecil Hortikultura (landai) D
5 V Kecil Pemukiman, Sawah E
Peta kemiringan lereng, tanah, curah hujan dan penggunaan lahan dioverlay untuk
menghasilkan peta baru yang menggambarkan kondisi daerah resapan. Selain itu, untuk
mengidentifikasi kondisi daerah resapan air dilakukan dengan membandingkan antara nilai infiltrasi
potensial dengan nilai infiltrasi aktualnya.
Klasifikasi daerah resapan air didasarkan pada Kriteria dan Tata Cara Penyusunan Rencana
Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) tahun 2010, dengan
kriteria sebagai berikut:
1. Kondisi Baik, yaitu jika nilai infiltrasi aktual lebih besar dibanding nilai infiltrasi potensial, misalnya
dari e menjadi A, atau dari d menjadi B dan seterusnya.
2. Kondisi Normal Alami, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sama atau tetap seperti nilai infiltrasi
potensialnya, misalnya dari b menjadi B, atau dari c menjadi C dan seterusnya.
3. Kondisi Mulai Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun setingkat dari nilai infiltrasi
potensialnya, misalnya dari a menjadi B, atau dari c menjadi D dan seterusnya.
4. Kondisi Agak Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun dua tingkat dari nilai infiltrasi
potensialnya, misalnya dari a menjadi C, atau dari b menjadi D dan seterusnya.
5. Kondisi Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual sudah turun tiga tingkat dari nilai infiltrasi potensialnya,
misalnya dari a menjadi D, atau dari b menjadi E.
6. Kondisi sangat Kritis, yaitu jika nilai infiltrasi aktual berubah dari sangat besar menjadi sangat
kecil, misalnya dari a menjadi E.
96
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
Cara identifikasi kelas kondisi daerah resapan air selengkapnya ditunjukkan pada Gambar1.
a. Kemiringan Lereng
Hasil analisis peta kemiringan lereng diketahui sebaran kelas kemiringan lereng Sub DAS
Malino. Luas area, kelas lereng dan nilai skornya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Data Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Malino
No. Kelas Lereng Luas (ha) Persentase Deskripsi Notasi Skor
Luasan (%)
1 0-8% 1399, 57 16,12 Datar a 5
2 8-15% 1080, 38 12,45 Landai b 4
3 15-25% 2803, 33 32,30 Agak Curam c 3
4 25-40% 1763, 20 20,31 Curam d 2
5 >40% 1633, 40 18,82 Sangat Curam e 1
Total 8679, 88 100
Tabel 5 menunjukkan bahwa kondisi topografi di Sub DAS Malino secara umum persentase
luasannya yaitu agak curam, curam dan sangat curam ini menyebabkan kurangnya air yang dapat ter
infiltrasi, karena sebagian besar air hujan akan menjadi aliran permukaan. Tetapi pada wilayah datar
dan landai akan berdampak baik dalam proses infiltrasi, dikarenakan air yang jatuh terlebih dahulu
menggenang di atas permukaan tanah dan kemudian akan terinfiltrasi ke dalam tanah.
b. Curah Hujan
Nilai hujan infiltrasi (RD) rata-rata diperoleh dengan mengumpulkan data curah hujan harian
selama 10 tahun (2004-2013) yang diambil dari The National Center of Environment Prediction. Sub
DAS Malino terbagi atas dua wilayah stasiun curah hujan. Data curah hujan tersebut kemudian diolah
97
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
untuk mendapatkan nilai hujan infiltrasi (RD) rata-rata dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6 dan
Tabel 7
Tabel 6. Hujan Infiltrasi Tahunan Rata-rata dari Tahun 2004-2013 pada Stasiun 1
Koordinat Tahun Hujan Hujan Infiltrasi Keterangan Notasi Skor
Infiltrasi Rata-rata (RD)
mm/tahun
X Y
119, -5,15178 2004 7943,73 7833,345 sangat besar E 1
688004 2005 9781,56
2006 5753,9
2007 9472,75
2008 8159,19
2009 8649,61
2010 21023,13
2011 2207,76
2012 1689,83
2013 3651,99
Tabel 7. Hujan Infiltrasi Tahunan Rata-rata dari Tahun 2004-2013 pada Stasiun 2
Koordinat Tahun Hujan Hujan Keterangan Notasi Skor
Infiltrasi Infiltrasi
X Y
Rata-rata
(RD)
mm/tahun
120 -5,15178 2004 5774,86 11037,63 sangat besar e 1
2005 8482,71
2006 4029,55
2007 8059,68
2008 6904,14
2009 5994,15
2010 18343,23
2011 17558,36
2012 15559,3
2013 19670,32
Curah hujan infiltrasi yang terdapat di Sub DAS Malino jika mengacu pada RTkRHL-DAS
tahun 2010 termasuk dalam kisaran kondisi sangat besar, yaitu >5500 mm. Berdasarkan Tabel 6 dan
Tabel 7, diketahui bahwa hujan infiltrasi rata-rata (RD) di Sub DAS Malino sebesar 7833,35 dan
11037,63 dengan jumlah hari hujan rata-rata 245 hari/tahun dan 292 hari/tahun. Semakin tinggi dan
lama curah hujan, semakin besar skornya karena pada dasarnya semakin banyak air yang dapat
meresap ke dalam tanah (Wibowo, 2006).
c. Tanah
Berbagai tipe/jenis tanah mempunyai kepekaan terhadap laju infiltrasi, permeabilitas dan
kapasitas menahan air yang berbeda-beda. Sampel tanah yang diambil, dianalisis di laboratorium
guna mengetahui tekstur dan permeabilitas tanah pada lokasi penelitian.
Berikut klasifikasi jenis tanah dan laju permeabilitas di wilayah Sub DAS Malino dan
notasinya pada Tabel 8.
98
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
Tabel 8 menunjukkan bahwa permeabilitas tanah di Sub DAS Malino terdiri atas empat
kelas, yaitu agak cepat, sedang, agak lambat dan lambat. Permeabilitas tanah sangat dipengaruhi
oleh tekstur tanah dan kelerengan, tanah yang bertekstur kasar mempunyai kapasitas infiltrasi
yang tinggi (Utomo (1989) dalam Muhajirin (2015). Pada unit lahan 17 yang tekstur tanahnya liat,
permeabilitas agak cepat, ini terjadi karena kelerengan pada unit lahan 17 terdapat pada kelas
lereng datar yakni sebesar 6,99%. Sedangkan pada unit lahan 18 yang tekstur tanahnya lempung
berpasir, permeabilitas agak lambat, ini disebabkan unit lahan 18 memiliki kelerengan 29,62%
yaitu pada kelas lereng curam. Ini mengindikasikan bahwa faktor yang paling berpengaruh
terhadap permeabilitas tanah adalah kelerengan. Menurut Maro’ah (2011) permeabilitas meningkat
99
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
seiring peningkatan laju infiltrasi, ini berarti bahwa permeabilitas berbanding lurus dengan laju
infiltrasi.
a. Penggunaan Lahan
Tabel 9, diketahui bahwa yang mendominasi penggunaan lahan di Sub DAS Malino
adalah pertanian lahan kering campur semak (60,61%) dengan notasi D. Ini menggambarkan
bahwa kondisi Sub DAS Malino memiliki infiltrasi aktual yang kurang baik, sehingga air hujan yang
jatuh akan sedikit meresap kedalam tanah dan menjadi aliran permukaan. Gambar 2,
menunjukkan data penggunaan lahan dalam bentuk diagram batang di Sub DAS Malino
Identifikasi daerah resapan air dilakukan dengan membandingkan infiltrasi potensial dan
infiltrasi aktual. Infiltrasi potensial diperoleh dari faktor kemiringan lereng, curah hujan, dan tanah
yang nilai-nilainya ditransformasi dan menghasilkan data yang disajikan pada Tabel 10.
100
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
Menurut kriteria dalam RTkRHL-DAS (2010), bentuk penggunaan lahan merupakan aspek
di bawah pengaruh kegiatan manusia, mempunyai implikasi yang berbeda terhadap infiltrasi. Jika
aspek alami mencerminkan kondisi ”potensial”, maka aspek penggunaan lahan mencerminkan
kondisi ”aktual”. Dengan cara menumpang tindihkan aspek alami dan aspek aktual (pengaruh
manusia), maka dapat dibuat peta hasil overlay yang baru. Peta tersebut disajikan pada Gambar 3
dan data unit lahan pada Tabel 11.
101
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
Kritis
11 13,16 7833,35 4,7 d Semak Belukar C 27 Baik
12 41,42 7833,35 0,3 e Perkebunan B 4 Baik
13 19,43 7833,35 0,2 d Hutan Lahan Kering B 3 Baik
Sekunder
14 5,24 11037,63 0,9 c Pertanian Lahan D 9,24 Mulai
Kering Campur Semak Kritis
15 17,63 11037,63 9,5 d Perkebunan B 66,12 Baik
16 46,63 11037,63 8,7 e Pertanian Lahan D 100,52 Baik
Kering Campur Semak
17 6,99 11037,63 7,5 d Hutan Tanaman B 32,84 Baik
18 29,62 11037,63 1,2 e Sawah E 11,32 Normal
Alami
19 2,62 11037,63 0,6 d Hutan Tanaman B 5,08 Baik
20 31,53 11037,63 1,8 e Perkebunan B 15,76 Baik
Dari Tabel 11, diketahui bahwa setiap unit lahan memiliki nilai infiltrasi potensial dan
infiltrasi aktual yang beragam sehingga menghasilkan kondisi resapan air baik, normal alami, dan
mulai kritis. Hasil perbandingan nilai infiltrasi potensial dan nilai infiltrasi aktual diperoleh kombinasi
identifikasi resapan air yang terdapat pada Tabel 12.
Tabel 12. Kombinasi Identifikasi Kondisi Daerah Resapan Air di Sub DAS Malino
No Notasi Keterangan
1 eB, eD, dB, dC dan cB Baik
2 eE dan dD Normal Alami
3 dE dan cD Mulai Kritis
Identifikasi kondisi daerah resapan air Sub DAS Malino dari kombinasi pada Tabel 12
menghasilkan peta kondisi daerah resapan air dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4, menunjukkan bahwa kondisi normal alami adalah kondisi yang mendominasi
daerah resapan air di Sub DAS Malino. Hasil perhitungan kondisi daerah resapan air dalam
cakupan Sub DAS Malino ditunjukkan dalam Tabel 13.
102
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
Tabel 13. Luas Area dan Persentase Luasan Resapan Air Sub DAS Malino
No Luas Area (ha) Persentase Luasan (%) Kriteria
1 2018,08 23,25 Kondisi Baik
2 4314,22 49,70 Kondisi Normal Alami
3 2347,58 27,05 Kondisi Mulai Kritis
Total 8679,88 100,00
Berdasarkan hasil analisis spasial wilayah Sub DAS Malino diketahui bahwa wilayah yang
mendominasi adalah kondisi daerah resapan normal alami seluas 4.314,22 ha (49,70%). Data ini
mengindikasikan bahwa Sub DAS Malino masih dalam kondisi normal sebagai daerah resapan air.
Diketahui bahwa daerah resapan air dipengaruhi oleh faktor curah hujan, kemiringan
lereng, permeabilitas tanah dan penggunaan lahan. Keempat faktor ini memiliki pengaruhnya
masing-masing dalam menentukan kondisi daerah resapan air. Berikut dijelaskan kondisi daerah
resapan air di Sub DAS Malino yang diketahui berdasarkan empat faktor tersebut:
1. Kondisi Daerah Resapan Baik
Daerah dengan kondisi resapan baik yang memiliki luas sebesar 2.018,08 ha atau
23,25% dari total luas Sub DAS Malino. Termasuk dalam intensitas curah hujan sangat besar,
menempati seluruh kelas lereng mulai dari kelas lereng datar sampai sangat curam. Permeabilitas
tanah mulai dari lambat sampai agak cepat dengan nilai laju infiltrasi 82,36 cm/jam. Sedangkan,
untuk penggunaan lahannya berupa Pertanian lahan kering campur semak, hutan lahan kering
sekunder, hutan tanaman, semak belukar dan perkebunan.
2. Kondisi Daerah Resapan Normal Alami
Daerah dengan kondisi resapan normal alami memiliki luas sebesar 4.314,22 ha atau
49,70% dari total luas Sub DAS Malino. Termasuk dalam intensitas curah hujan sangat besar.
Kondisi daerah resapan ini menempati kelas lereng datar sampai curam. Terdapat permeabilitas
tanah agak lambat, sedang dan agak cepat dengan laju infiltrasi 24,8 cm/jam. Sedangkan untuk
penggunaan lahannya berupa pertanian lahan kering campur semak dan sawah.
3. Kondisi Daerah Resapan Mulai Kritis
Daerah dengan kondisi resapan mulai kritis memiliki luasan sebesar 2.347,58 ha atau
27,05% dari total luas Sub DAS Malino. Termasuk dalam intensitas curah hujan sangat besar.
Kondisi daerah resapan ini menempati kelas datar, agak curam dan curam. Permeabilitas tanah
termasuk dalam kategori sedang dengan laju infiltrasi sebesar 22,08 cm/jam. Sedangkan untuk
penggunaan lahannya berupa sawah dan pertanian lahan kering.
Tipe penggunaan lahan berupa pertanian lahan kering campur semak pada kondisi mulai
kritis, dapat dilakukan kegiatan agroforestry ataupun hutan rakyat. Untuk penggunaan lahan
berupa sawah dapat dilakukan pola agroforestry alley cropping.
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
a. Kondisi daerah resapan air di Sub DAS Malino secara umum dalam keadaan baik dengan
klasifikasi kondisi baik sebesar 2.018,08 ha (23,25%), kondisi normal alami sebesar 4.314,22
ha (49,70%) dan kondisi mulai kritis sebesar 2.347,58 ha (27,05%).
b. Potensi kawasan resapan air dalam area penelitian di kawasan Sub DAS Malino umumnya
dalam keadaan baik dan normal alami dengan luas keduanya sebesar 6.332,30 ha atau
72,95% dari total luas lokasi penelitian.
103
Jurnal Hutan dan Masyarakat. Vol. 9 (2): 93-104, Desember 2017
Diserahkan : 2017-11-21 ; Diterima: 2017-12-27
ISSN: 1907-5316. ISSN ONLINE: 2613-9979
4.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, U. 2010. Analisis Erosi Pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng di
Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu. Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Ashab, T. 2014. Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan
Pada Sub DAS Malino DAS Jeneberang. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hastono, F. D., Bambang Sudarsono dan Bandi Sasmito. 2012. Identifikasi Daerah Resapan Air
Dengan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Sub DAS Keduang). Universitas
Diponegoro. Semarang.
Maro’ah, S. 2011. Kajian Laju Infiltrasi dan Permeabilitas Tanah Pada Beberapa Model Tanaman
(Studi Kasus: Sub DAS Keduang, Wonogiri). Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Menteri Kehutanan. 2010. Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan
Daerah Aliran Sungai. Kementerian Kehutanan RI. Jakarta.
Muhajirin. 2015. Klasifikasi Kondisi Daerah Resapan Air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bonto Saile
Kabupaten Kepulauan Selayar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2012. PP Nomor 37 Tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Jakarta.
Sitorus, S.R.P. 1989. Survai Tanah dan Penggunaan Lahan. Laboratorium Perencanaan
Sumberdaya Lahan Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Triweko, R.W. 2014. Ketahanan Air Untuk Indonesia: Pandangan Akademisi. www.indonesia-
wlw.com. diakses tanggal 20 Januari 2016.
Wibowo, M. 2006. Model Penentuan Kawasan Resapan Air Untuk Perencanaan Tata Ruang
Berwawasan Lingkungan. Jurnal Hidrosfer, Vol 1, No 1 Hal 1-7. Jakarta.
Wiwoho, B.S. 2008. Analisis Potensi Daerah Resapan Air Hujan di Sub DAS Metro Malang Jawa
Timur. Jurusan Geografi FMIPA Universitas Negeri Malang. Surabaya.
104