Format 1 Imunologi

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 38

TUGAS PERBAIKAN NILAI IMUNOLOGI

REVIEW JURNAL TERKAIT REAKSI HIPERSENSITIVITAS

MELISA SATURNIA RAHMADANI

173145201175

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MEGAREZKY
MAKASSAR
2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................2

I. PENDAHULUAN....................................................................................................4

1. Latar Belakang....................................................................................................4

II. REVIEW JURNAL...................................................................................................6

1. Stevens Johnson Syndrome : Case Peport..........................................................6

2. Hipersensitivitas di Kedokteran gigi................................................................15

3. Penatalaksanaan dan Pencegahan Reaksi Hipersensitivitas Akut Akibat Media

Kontras.............................................................................................................24

4. Kajian Literatur : Alergi Makanan pada Anak dari Aspek Imunologi..............33

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................40
I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hipersensitivitas atau yang sering kta kenal dengan alergi, reaksi ini terjadi akibat

adanya respon yang berlebihan dari tubuh terhadap suatu alergen. Sistem klasifikasi reaksi

hipersensitivitas yang diperkenalkan Gell dan Coombs pada tahun 1963 yaitu tipe I hingga IV

masih menjadi standar.

Berbagai gejala klinis yang ditimbukan dari rekasi hipersensitivitas sesuai dengan organ

yang terpapar oleh allergen serta tergantung dari tipe reaksi hipersensitivitas yang terjadi, mulai

dari gejala ringan hingga syok anafilaksis pada tipe I, hingga penyakit autoimun kronis akibat tipe

III. Reaksi alergi dapat terjadi bukan hanya terjadi pada usia anak-anak tapi juga dapat

terjadi pada usia remah,dewasa maupun lansia dapat di katakana bahwa reaksi

hipersensitivitas dapat menyerang pada semua rentan usia. Menurut data dari World

Allergy Organization (WAO) reaksi hipersensitivitas meningkat tiap tahunya yaitu 22%

penduduk dunia, reaksi terhadap makanan penyebab yang sering di jumpai di lingkungan.

Rekasi dari respon imun terhadap molekul obat juga dapat menyebabkan berbagai

reaksi hipersensitivitas sehingga menyebabkan penyakit utamanya yang melibatkan kulit,

tapi dapat juga mempengaruhi organ lain, contohnya paru-paru,hati dan ginjal.

Banyak reaksi hipersensitivitas yang diinduksi oleh obat tampaknya tertunda selain

reaksi cepat yang diperantarai IgE terhadap obat. Banyak dari kta yang sering mendapati

seseorang alergi makanan, reaksi hipersensitivitas memiliki bagian, yaitu

hiperesponsivitas imunologik terhadap antigen yang spesifik, itu berasal dari makanan atau

mikroorganisme pathogen penyebab penyakit maupun produknya. Reaksi alergi terhadap

makanan sangat merugikan menjadi kekhawatiran karena dapat menyebabkan diet yang
ketat. Jenis makanan dan mekanismenya dapat memengaruhi seberapa parah reaksinya dan

sulit membedakannya dari diagnosis hipersensitivitas lainnya.


II. REVIEW JURNAL

1. Stevens Johnson Syndrome : Case Peport

Harryanto Agung Pratama, Asrawati Sofyan, dan


Nama penulis
Muhammad Ardi Munir.

1. Harryanto Agung Pratama

Medical Profession Program, Faculty of Medicine,

Universitas Tadulako – Palu, INDONESIA –

94118.

2. Asrawati Sofyan

Department of Dermatology and Venereology


Afiliansi Penulis
Diseases, Undata General Hospital – Central

Sulawesi, INDONESIA – 94118.

3. Muhammad Ardi Munir

Department of Research on Tropical Diseases and

Traumatology, Faculty of Medicine Tadulako

University.

Korespondensi harryantoagung310399@gmail.com.

Tahun & halaman 2023 / 7 halaman

Vol. 5 | No. 1 | Februari 2023 | Jurnal Medical


Seri jurnal
Profession (MedPro)

Abstrak Abstrack

Introduction : Stevens Johnson Syndrome (SJS) is an extremely

rare, acute and potentially life-


threatening event; it is an immune complex-mediated

hypersensitivity reaction often associated with drug use.Case report

: This report describes the case of a 38-year-old female patient with

complaints of burning and stinging that has been felt for the last 7

years, accompanied by a thickening in the lip area. Previously, in

the last few weeks the patient had taken drugs given from an

internal medicine doctor, namely Hydroxychloroquine sulfate and

curbexvit, after 2 days of taking the drug the patient began to feel

complaints that her face was getting sore. Conclusion : Treatment

of SJS must be done quickly to avoid complications that can

increase mortality, namely by avoiding the administration of drugs

suspected of being a trigger, overcoming life-threatening

conditions, providing topical treatment, and systemic drugs such as

anti-inflammatories and anti-pain. systemic anti-inflammatory and

anti-pain medications.

Keyword : Stevens Johnson syndrome (SJS), hypersensitivity

reactions, drug use

Abstrak

Pendahuluan : Stevens Johnson Syndrome (SJS) adalah kejadian

yang sangat jarang, akut, dan potensial mengancam nyawa;

merupakan reaksi hipersensitivitas diperantarai kompleks imun

yang sering berkaitan dengan penggunaan obat. Laporan kasus :

Laporan ini memaparkan kasus pasien perempuan usia 38 tahun

dengan keluhan wajah terasa seperti terbakar, dan perih yang

dirasakan 7 tahun terakhir, disertai adanya rasa menebal di area

bibir. Sebelumnya beberapa minggu terakhir pasien ada

mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dari dokter penyakit

dalam yaitu Hydroxychloroquine sulfate dan curbexvit, setelah 2


hari meminum obat tersebut pasien mulai merasakan keluhan

wajah yang semakin terasa perih. Kesimpulan :. Penanganan pada

SJS harus dilakukan dengan cepat untuk menghindari komplikasi

yang dapat meningkatkan mortalitas yaitu dengan menghindari

pemberian obat yang dicurigai sebagai pencetus, mengatasi

keadaan yang mengancam jiwa, memberikan pengobatan topikal,

dan obat-obatan sistemik berupa anti-inflamasi dan anti-nyeri.

Kata Kunci : Sindrome Steven Johnson (SSJ), reaksi

hipersensitivitas, penggunaan obat.

Latar Belakang Stevens Johnson Syndrome atau biasa di singkat

SJS adalah kejadian atau penyakit yang sangat jarang,

penyakit ini akut, dan berpotensi fatal terhadap

penderita. Penyakit ini adalah reaksi hipersensitivitas

yang sering ditimbulkan oleh penggunaan obat. SJS

menyebabkan pelepasan lapisan epidermis yang secara

luas serta pemisahan antara lapisan epidermal dan

dermal dengan melibatkan membran mukosa. Kondisi

umumnya bisa bervariasi dari kondisi yang ringan

hingga berat. Insidensi SJS berkisar 1,4-12,7 per 1 juta

penduduk per tahun, dengan angka kematian adalah 10-

40%.

Penyebab utama SJS adalah obat dengan 50-80% kasus

yang terjadi, diikuti infeksi, atau kombinasi infeksi dan

obat. Ada lebih dari 100 jenis obat-obatan telah

diketahui sebagai penyebab insidensi SJS. Faktor risiko


lainnya adalah genetik tertentu, factor usia di atas 40

tahun, dan jenis kelamin perempuan. Maka pentingnya

diagnosis SJS dilakukan secara dini agar dapat

mencegah komplikasi serta menurunkan angka kematian

dengan melakukan penatalaksanaan yang tepat.

Tujuan 1. Mempresentasikan/melaporkan kasus pasien

perempuan usia 38 tahun yang didiagnosis

menderita Stevens Johnson Syndrome (SJS)

berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik

yang menunjang diagnosis.

2. Mendiskusikan karakteristik klinis yang ditemukan

pada kasus tersebut sesuai dengan definisi dan ciri-

ciri SJS menurut literatur/buku teks/studi

sebelumnya.

3. Menganalisis faktor risiko, penyebab, patogenesis,

manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan

SJS secara umum berdasarkan hasil penelitian dan

studi terdahulu.

4. Menganalisis hubungan antara konsumsi obat-

obatan (Hydroxychloroquine sulfate dan curbexvit)

dengan munculnya gejala klinis pada pasien.

5. Membandingkan hasil pemaparan kasus dengan

definisi SJS secara umum untuk menegaskan


diagnosis.

6. Memberikan kesimpulan mengenai pentingnya

diagnosis dan penanganan dini SJS untuk

mencegah komplikasi dan menurunkan angka

kematian.

Jadi tujuan utamanya adalah melaporkan dan

mendiskusikan kasus SJS secara klinis berdasarkan hasil

penelitian/studi terdahulu.

IGD RS Madani dan sampel tunggal, yaitu pasien


Populasi dan sampel
perempuan berusia 38 tahun

penelitian studi kasus tunggal (single case study) dengan


Metode pengambilan
sampel/kasus pertama yang sesuai kriteria inklusi tanpa
sampel
adanya pendekatan kuantitatif.

Metode penelitian 1. Studi Kasus (Case Study)

- Mempresentasikan dan mendiskusikan satu kasus

pasien SJS secara mendalam.

2. Anamnesis

- Merekam riwayat medis, keluhan, dan faktor risiko

pasien melalui wawancara.

3. Pemeriksaan Fisik

- Melakukan observasi dan pemeriksaan fisik terhadap

gejala klinis yang muncul pada pasien.


4. Tinjauan Pustaka

- Meninjau literatur dan penelitian terdahulu untuk

mendapatkan definisi, patofisiologi, faktor risiko, gejala

klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan SJS.

5. Analisis dan Diskusi

- Menganalisis hasil penemuan kasus berdasarkan

tinjauan pustaka untuk mendiagnosis dan

mendiskusikan kasus.

6. Kesimpulan

- Menyimpulkan diagnosis pasien berdasarkan analisis

dan rekomendasi penatalaksanaan.

Pembahasan :

Secara patogenesis, SJS diyakini terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tubuh

terhadap obat atau infeksi, yang mengaktifkan limfosit T sitotoksik. Ini menyebabkan

apoptosis keratinosit secara non-proporsional pada lapisan epidermis di bawah keratinosit

dasar. Faktor genetik seperti ekspresi HLA tertentu seperti HLA-B*1502, HLA-B*5802,

dan HLA-A*3101 dikaitkan dengan peningkatan risiko SJS terhadap beberapa obat seperti

karbamazepin. Diagnosa pasti mengharuskan pemeriksaan histopatologi sampel biopsi

kulit yang menunjukkan nekrosis foki epidermis pada lapisan suprabasal. Komplikasi

utama SJS yang perlu diantisipasi antara lain infeksi kulit sekunder, kerusakan mata

permanen, dan disfungsi organ internal seperti paru-paru, ginjal, dan hati.
Diagnosis kasus ini didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien yang

menunjukkan gejala klinis yang konsisten dengan SJS seperti lesi makula eritematous di

wajah dan tubuh serta erosi di bibir. Faktor risiko pasien seperti jenis kelamin perempuan

dan usia 38 tahun sesuai dengan karakteristik umum penderita SJS. Penyebab

kemungkinan adanya SJS pada pasien ini adalah konsumsi obat Hydroxychloroquine

sulfate dan curbexvit beberapa minggu sebelumnya. Obat merupakan penyebab utama SJS

sesuai literatur.

Prinsip penatalaksanaan yang dilakukan sesuai dengan standar yaitu menghindari

pemberian obat pemicun, mencegah infeksi, memberi perawatan topikal dan sistemik

seperti steroid untuk mengurangi radang. Prognosis SJS umumnya baik jika

penatalaksanaan dilakukan tepat waktu untuk mencegah komplikasi dan mortalitas yang

dapat terjadi. Kasus ini pun diharapkan dapat pulih dengan baik.

Tentang diagnosis yang ditegakkan berdasarkan biopsi kulit, laporan kasus ini tidak

menyebutkan ada pemeriksaan biopsy yang dilakukan. Diagnosis didasarkan hanya pada

gejala klinis saja. Biopsi kulit sebenarnya penting untuk menegakkan diagnosis SJS secara

pasti. Mengenai obat yang diduga menjadi pemicunya, Hydroxychloroquine sulfate

umumnya aman dikonsumsi. Namun pasien ini mungkin memiliki faktor risiko tertentu

seperti genetik yang membuatnya lebih rentan terhadap efek samping obat ini.

Penatalaksanaan yang dianjurkan namun tidak disebutkan dalam laporan adalah pemberian

cairan dan elektrolit secara intravena untuk mencegah dehidrasi. Selain itu pengobatan

nutrisi juga penting. Prognosis SJS sangat tergantung seberapa parah kerusakan kulit dan

keterlibatan organ internal. Kasus ringan biasanya pulih dalam 1-2 minggu, sedangkan
berat bisa sampai 1-3 bulan. Follow up pasien setelah keluar dari rumah sakit perlu

dilakukan untuk memantau kesembuhan dan mencegah timbulnya komplikasi.

Kesimpulan

Pasien didiagnosis menderita Stevens Johnson Syndrome (SJS) berdasarkan gejala klinis

berupa lesi makula eritematous yang tersebar di wajah dan tubuh serta erosi di bibir, sesuai

dengan karakteristik SJS. Faktor risiko yang mungkin berperan adalah riwayat konsumsi

obat Hydroxychloroquine sulfate dan curbexvit beberapa minggu sebelumnya, dimana obat

merupakan penyebab utama terjadinya SJS. Prinsip penatalaksanaan yang diberikan sesuai

standar meliputi menghindari pemberian obat pemicun, perawatan topikal untuk mencegah

infeksi sekunder, pemberian steroid sistemik untuk mengurangi radang, serta manajemen

komplikasi. Dengan penatalaksanaan yang tepat dan mencegah komplikasi, prognosis

pasiendiduga baik untuk pulih dari SJS. Laporan kasus ini bermanfaat untuk memahami

presentasi klinis, etiologi, penatalaksanaan, serta prognosis pada pasien SJS sebagai acuan

diagnosis dan manajemen kasus serupa di masa depan.

Keunggulan

1. Membedah secara mendalam keluhan dan gejala klinis spesifik pasien SJS, sehingga

dapat memahami manifestasi awal penyakit secara klinis.

2. Melakukan korelasi antara konsumsi obat dengan munculnya gejala awal, sehingga

dapat mengetahui faktor pemicun kemungkinan.

3. Melakukan analisis yang mendukung dengan menggunakan data epidemiologi,

patogenesis, risiko dan gejala SJS pada umumnya dari literatur.

4. Mendiagnosis SJS secara akurat berdasarkan temuan fisik dan memberikan

rekomendasi penatalaksanaan sesuai protokol.


5. Bermanfaat untuk memahami pentingnya diagnosis dini dan penanganan cepat agar

dapat mencegah komplikasi berat.

6. Hasilnya dapat digunakan sebagai referensi bagi kasus serupa ke depannya.

7. Penelitian kasus tunggal lebih mudah dilakukan dibanding studi kohort besar.

8. Mempelajari kasus secara mendalam dan spesifik untuk diagnosa ilmiah.

Keunggulannya terletak pada analisis klinis mendalam pasien SJS beserta korelasinya

dengan literatur untuk mendukung diagnosis dan penatalaksanaan.

Kelemahan

a. Hanya melibatkan satu kasus (N=1), sehingga hasilnya kurang representatif dan tidak

dapat digeneralisasi.

b. Tidak ada kelompok kontrol untuk membandingkan hasilnya.

c. Subyektifitas dalam pencatatan gejala dan laporan pasien dapat mempengaruhi hasil.

d. Kesulitan untuk menetapkan hubungan sebab akibat secara pasti hanya berdasarkan 1

kasus.

e. Tidak ada analisis statistik karena hanya 1 kasus, sehingga kurang kuat secara statistik.

f. Bias recollection, yaitu kelalaian pasien dalam mengingat riwayat medis masa lalu.

g. Faktor penunjang diagnosa seperti pemeriksaan laboratorium dan biopsi kulit tidak

dijelaskan.

h. Tidak ada umpan balik hasil penatalaksanaan pasien setelah perawatan.

i. Keterbatasan informasi yang diberikan hanya berdasarkan ringkasan kasus.

Oleh karena itu, kelemahannya terletak pada keterbatasan generalisasi, validitas, dan

kuatnya bukti yang dihasilkan dari studi kasus tunggal.


2. Hipersensitivitas di Kedokteran gigi

Nama penulis Shelly Lelyana

Department of Oral Medicine, Faculty of Dentistry,


Afiliasi Penulis
Maranatha Christian University-Bandung, Indonesia

Korespondensi shelly.lelyana@gmail.com

Tahun & halaman 2020 / 10 halaman

Seri jurnal SONDE (Sound of Dentistry) Vol 5 No 2

Abstrak Abstract

Immune system is a part of body defense system towards

diseases, but the immune mechanism that normally defend the body

could react in reverse or in other word could destroy its own body. This

reaction is well known as hypersensitivity reaction. In dental practice,

practitioners are using a few materials and several drugs to treat their

patient, like metals, acrylics, antibiotics, hypnotics, anesthetics, to

name a few. When using all kinds of dental materials and medication,

dental practitioner should know how to handle the reaction that may

possibly happened, most importantly in worst case scenario like patient

hypersensitivity reaction the materials or medication. These

hypersensitivity reaction usually manifests throughout the body and as

a dental practitioner it is important to have an awareness on the signs

and symptoms in the oral cavity, so practitioner could describe the

cause and how to treat it. Dental practitioners should be aware on the

materials and drugs that could be aware on the material and drugs that

can be the potential allergens for the patient and the practitioner

himself. The aim of this literature review is to give information on

some of the most common hypersensitivity reaction in dentistry.


Keywords: Hypersensitivity, Allergy, Oral cavity

Abstrak

Sistem imun merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh

terhadap penyakit, namun mekanisme pertahanan tubuh yang secara

normal dapat bereaksi secara terbalik atau dengan kata lain dapat

merusak tubuhnya sendiri. Reaksi ini dikenal sebagai reaksi

hipersensitivitas. Dalam praktik kedokteran gigi, praktisi menggunakan

beberapa bahan dan beberapa obat untuk merawat pasiennya, seperti

logam, akrilik, antibiotik, hipnotik, anestesi, dan lain-lain. Dalam

menggunakan semua jenis bahan dan pengobatan gigi, praktisi gigi

harus mengetahui cara menangani reaksi yang mungkin terjadi,

terutama dalam skenario terburuk seperti reaksi hipersensitivitas pasien

terhadap bahan atau obat tersebut. Reaksi hipersensitivitas ini biasanya

bermanifestasi di seluruh tubuh dan sebagai praktisi gigi penting untuk

memiliki kesadaran akan tanda dan gejala pada rongga mulut, sehingga

praktisi dapat menjelaskan penyebab dan cara mengobatinya. Praktisi

kedokteran gigi harus mewaspadai materi dan obat yang bisa

diwaspadai pada materi dan obat yang bisa menjadi alergen potensial

bagi pasien dan praktisi itu sendiri. Tujuan dari tinjauan pustaka ini

adalah untuk memberikan informasi tentang beberapa reaksi

hipersensitivitas yang paling sering terjadi dalam kedokteran gigi.

Kata kunci: Hipersensitivitas, Alergi, Rongga mulut

Latar Belakang Hipersensitivitas merupakan reaksi abnormal dari sistem

kekebalan tubuh yang terjadi sebagai respon atas paparan

zat berbahaya. Reaksi hipersensitivitas dapat berupa

kelainan autoimun maupun alergi. Terdapat beberapa jenis


reaksi hipersensitivitas yaitu tipe 1 hingga 4.

Dalam praktik kedokteran gigi, sering digunakan berbagai

bahan dan obat-obatan seperti logam, akrilik, antibiotic,

hipnotik, anestesi dan lainnya. Hal ini menyebabkan risiko

terjadinya reaksi hipersensitivitas pada pasien. Oleh karena

itu, dokter gigi perlu memahami gejala-gejala dan cara

penanganan reaksi hipersensitivitas terutama pada kondisi

darurat.

Beberapa reaksi hipersensitivitas yang sering terjadi di

rongga mulut antara lain urtikaria dan angioedema, eritema

multiforme, kontak alergi mulut, reaksi lichenoid mulut,

serum sickness, serta alergi lateks. Reaksi-reaksi tersebut

dapat disebabkan oleh bahan kedokteran gigi, obat-obatan,

maupun makanan.

Memberikan informasi mengenai beberapa jenis reaksi

hipersensitivitas yang paling sering terjadi dalam praktik


Tujuan
kedokteran gigi, berdasarkan studi pustaka yang ada,

bukan melalui penelitian lapangan dengan subjek tertentu.

Jurnal ini merupakan tinjauan pustaka, yang tidak

melibatkan pengambilan populasi dan sampel. Penelitian


Populasi dan sampel
ini berdasarkan studi pustaka yang ada, bukan melalui

penelitian lapangan dengan subjek tertentu.

Metode pengambilan -
sampel

menggunakan metode penelitian tinjauan pustaka atau


Metode penelitian
literature review

Pembahasan :

Hipersensitivitas atau reaksi berlebihan adalah reaksi abnormal dari sistem

kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang secara normal tidak berbahaya. Reaksi

hipersensitivitas terjadi sebagai respon yang berlebihan/berlebihan dari sistem kekebalan

akibat terpapar zat berbahaya. Tingkat respons yang ditimbulkannya bervariasi dari ringan

hingga fatal. Reaksi hipersensitivitas mencakup gangguan autoimun dan alergi. Autoimun

adalah respon sistem kekebalan yang menyerang tubuh sendiri, sedangkan alergi adalah

respons terhadap zat asing dari lingkungan luar tubuh. Jadi secara ringkas, hipersensitivitas

adalah reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh yang berbahaya terhadap zat yang

seharusnya tidak berbahaya.(Lelyana, 2020)

Terdapat beberapa tipe reaksi hipersensitivitas, yaitu tipe 1 (anafilaksis), tipe 2

(sitotoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun), dan tipe 4 (hipersensitivitas tertunda).

Manifestasi klinisnya bervariasi mulai dari ringan seperti ruam hingga fatal seperti

anafilaksis, tergantung jenis dan tingkat respons hipersensitivitas yang terjadi.

Berikut tipe – tipe reaksi hipersensitivitas :

 Tipe 1 (reaksi anafilaksis): reaksi cepat yang dimediasi oleh IgE. Contohnya alergi

makanan dan obat-obatan seperti pensilin.


 Tipe 2 (citotoxic): disebabkan oleh antibodi terhadap antigen sel permukaan.

Contohnya penyakit hemolitik janus ikan.

 Tipe 3 (reaksi imun kompleks): disebabkan oleh deposisi kompleks imun pada

vascular dan jaringan. Contohnya serum sickness.

 Tipe 4 (hipersensitivitas tertunda): reaksi lambat yang dimediasi oleh limfosit T.

Contohnya kontak dermatitis, lupus eritematosus sistemik, penyakit crohn.

Beberapa contoh reaksi hipersensitivitas yang sering ditemukan di rongga mulut adalah:

 Urtikaria dan angioedema (tipe 1)

 Eritema multiforme (tipe 4)

 Contact allergic stomatitis (tipe 4)

 Oral lichenoid reaction (tipe 4)

 Serum sickness (tipe 3)

Penyebab-penyebab reaksi hipersensitivitas yang sering terjadi di rongga mulut antara lain:

 Bahan kedokteran gigi seperti logam berat, akrilik, komposit. Contohnya reaksi

terhadap amalgam, krom, nikel.

 Obat-obatan seperti antibiotik, anestesi lokal, antiseptik mulut. Contohnya reaksi

terhadap pensilin, lidokain.

 Makanan dan minuman seperti buah beri, kacang, cokelat, minuman karbonasi.

 Kosmetik seperti lipstik, pasta gigi.

 Agen infeksi seperti jamur Candida.

 Faktor lain seperti sindrom lichen planus, pemrosesan radiasi.

Beberapa gejala klinis yang umum dari jenis-jenis reaksi hipersensitivitas di rongga mulut,

antara lain:
 Urtikaria dan angioedema (tipe 1): ruam merah hampir bundar dan bengkak yang

gampang hilang.

 Eritema multiforme (tipe 4): lesi kulit berbentuk bulat pada mulut dan kulit.

 Contact allergic stomatitis (tipe 4): ruam merah, lesi bengkak pada area kontak

alergen.

 Oral lichen planus (tipe 4): warna putih atau abu-abu pada rongga mulut.

 Serum sickness (tipe 3): demam, ruam, pembesaran kelenjar getah bening.

 Reaksi sitotoksik (tipe 2): lesi bengkak, nekrosis pada jaringan oral.

Selain itu juga dijelaskan gejala khas masing-masing seperti sakit, gatal, bengkak, bisul,

adanya area kemerahan. Foto klinis juga disertakan untuk memvisualisasikan penampakan

lesi di rongga mulut. Ini berguna untuk diagnosis awal reaksi hipersensitivitas.

Penatalaksanaan awal yang direkomendasikan untuk berbagai reaksi hipersensitivitas di

rongga mulut antara lain:

 Menghentikan kontak dengan alergen yang mungkin menyebabkan reaksi.

 Memberikan obat antihistamin secara oral untuk mengurangi ruam dan gatal.

 Memberikan kortikosteroid topikal seperti krim untuk mengurangi bengkak dan nyeri.

 Membersihkan rongga mulut dengan garam fisiologis untuk membersihkan sisa

alergen.

 Memberikan anestesi topikal untuk mengurangi nyeri pada area lesi.

 Memberikan antasida atau H2 receptor antagonist untuk mencegah komplikasi gi.

 Mengontrol infeksi sekunder jika ditemukan jamur atau bakteri.

 Mengontrol faktor risiko seperti asap rokok, alkohol, obat-obatan.

 Konsultasi ke dokter gigi jika gejala tidak kunjung membaik.


Kesimpulan :

Praktisi kedokteran gigi perlu memahami berbagai jenis reaksi hipersensitivitas yang dapat

terjadi pada pasien, khususnya yang sering ditemukan di rongga mulut. Pengetahuan akan

gejala klinis dan penyebab reaksi tersebut diperlukan untuk melakukan diagnosis dan

penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, penting bagi dokter gigi untuk mencegah terjadinya

reaksi alergi dengan menghindari paparan alergen yang diketahui pada pasien. Tujuan

akhir dari tinjauan pustaka ini adalah meningkatkan pemahaman praktisi kedokteran gigi

mengenai kondisi hipersensitivitas umum serta pengelolaannya.

Keunggulan :

Beberapa keunggulan jurnal tinjauan pustaka ini antara lain:

 Materi yang dibahas sangat relevan dengan praktik kedokteran gigi, yaitu mengenai

berbagai jenis reaksi hipersensitivitas yang sering ditemukan di rongga mulut.

 Memperkenalkan klasifikasi dan penjelasan mengenai empat tipe reaksi

hipersensitivitas secara umum.

 Mendeskripsikan secara rinci berbagai kondisi reaksi hipersensitivitas spesifik yang

sering dijumpai di mulut beserta gejala khasnya.

 Mengulas penyebab-penyebab reaksi hipersensitivitas di mulut yang perlu diwaspadai

oleh dokter gigi.

 Membantu pemahaman mengenai manifestasi klinis dan gambaran lesi yang dapat

memudahkan diagnosis awal.

 Memberikan rekomendasi penatalaksanaan awal secara umum yang dapat dilakukan

dokter gigi

 Menyimpulkan secara jelas informasi penting yang dibahas secara sistematis.


 Didukung dengan ilustrasi foto klinis yang mempertegas penjelasan.

Secara keseluruhan, tinjauan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman

mengenai reaksi hipersensitivitas oral bagi tenaga kesehatan gigi.

Kekurangan :

Beberapa kekurangan dari jurnal tinjauan pustaka ini antara lain:

 Hanya meninjau literatur yang tersedia, belum melakukan penelitian lapangan untuk

pendalaman isu.

 Belum memberikan contoh kasus nyata yang dianalisis secara mendalam.

 Belum membahas diagnosis diferensial dari setiap kondisi hipersensitivitas yang

dideskripsikan.

 Belum mengulas aspek manajemen jangka panjang atau penatalaksanaan lanjutan

selain penatalaksanaan awal.

 Rekomendasi penatalaksanaan awal hanya bersifat umum, belum menjelaskan dosis

obat atau prosedur tertentu.

 Belum membahas faktor risiko spesifik yang berhubungan dengan timbulnya reaksi

hipersensitivitas oral.

 Belum membedah lebih detail mengenai mekanisme patogenesis masing-masing

kondisi.

 Referensi yang dicantumkan kurang representatif keseluruhan isu yang dibahas.

 Belum membahas topik terkini mengenai diagnosis dan penanganan reaksi

hipersensitivitas.

 Oleh karena bersifat tinjauan pustaka, jurnal ini masih perlu pengembangan lebih

lanjut untuk menyempurnakan informasi yang disampaikan.


3. Penatalaksanaan dan Pencegahan Reaksi Hipersensitivitas Akut Akibat Media

Kontras

Nama penulis Ni Made Nova Andari Kluniari Ketut Suardamana

1. Ni Made Nova Andari Kluniari, PPDS-1 Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana.

2. Ketut Suardamana, Alergi Dan Imunologi


Afiliasi Penulis
Departemen KSM Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Udayana RSUP Prof Dr IGG Ngoerah

Denpasar.

korespondensi Andarikung@gmail.com,

Tahun & halaman 2023/ 5 halaman

Seri jurnal Ganesha Medicina Journal, Vol 3 No 1 Maret 2023

Abstrak Abstract

The used of iodinated contrast media have increased in recent years. It

has been estimated that in the United States alone, 15 million procedures

a year contrast media. In 2008, approximately 2-3 % patient do

pyelogram and myelogram retrograde occurred anaphylactoid reaction.

The reaction event during procedure using iodinated contrast media

could be fatal. The activated mast cell was not mediated by

Immunoglobulin E (IgE). Although the use of Low Osmolarity iodinated

contrast media could lower the risk of allergic reaction, it was still

possible to occur anaphylactoid reaction during the procedure. Here we

reported allergic event after using contrast media during Percutaneous

Coronary Intervention procedure. The symptom was relieved with


steroid and antihistamine therapy. In this report we focus to discuss the

management of preventing allergic reaction and the therapy if the

allergic reaction occure.

Keywords: contrast, hypersensitivity reaction, steroid, antihistamine

Abstrak

Penggunaan media kontras meningkat dari tahun ke tahun. Di

Amerika diperkirakan penggunaan media kontras mencapai 15 juta

prosedur setiap tahunnya. Pada tahun 2008 Sekitar 2-3 % pasien yang

menjalani pyelogram dan myelogram dengan menggunakan media

kontras retrograde mengalami reaksi anafilaksis. Reaksi yang timbul

pada saat prosedur penggunaan kontras teriodinasi dapat berakibat fatal.

Aktivasi sel mast pada penggunaan media kontras tidak dimediasi oleh

Imunoglobulin E (IgE). Meskipun penggunaan media kontras teriodinasi

dengan osmolaritas yang rendah dapat menurunkan risiko reaksi alergi,

tetap ada kemungkinan munculnya reaksi anafilaksis selama prosedur.

Pada laporan kasus ini, kami melaporkan kejadian reaksi

hipersensitivitas akut yang muncul setelah prosedur Percutaneous

Coronary Intervention menggunakan media kontras. Gejala reaksi

hipersensitivitas akut membaik dengan pemberian steroid dan

antihistamin. Pada laporan ini kami berfokus pada pencegahan dan

penatalaksanaan reaksi hipersensitifitas akut akibat media kontras.

Kata kunci: kontras, reaksi hipersensitivitas, steroid, antihistamin

Latar Belakang Pada penggunaan media kontras dalam prosedur

diagnostik semakin meningkat setiap tahunnya, diperkirakan

telah mencapai 15 juta prosedur per tahun di Amerika.

Penggunaan media kontras dengan osmolaritas tinggi

menimbulkan efek samping pada 5-12% pasien, sedangkan


osmolaritas rendah 1-3%. Reaksi anafilaksis dapat terjadi

pada 2-3% pasien yang menjalani prosedur seperti

myelogram dan pyelogram retrograd. Reaksi yang timbul

selama prosedur penggunaan media kontras teriodinasi

dapat berakibat fatal.(Andari Kluniari & Suardamana, 2023)

Aktivasi sel mast terjadi secara langsung tanpa

mediasi IgE ketika menggunakan media kontras. Meskipun

media osmolaritas rendah dapat menurunkan risiko alergi,

tetap ada kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis.(Andari

Kluniari & Suardamana, 2023)

 Pelaporan mengenai kejadian reaksi hipersensitivitas

akut yang terjadi setelah prosedur Percutaneous

Coronary Intervention menggunakan media kontras.


Tujuan
 Memfokuskan pada penatalaksanaan serta pencegahan

reaksi hipersnsitivitas akut akibat penggunaan media

kontras.

Pasien pria berusia 50 tahun yang mengalami reaksi

hipersensitivitas akut setelah pemberian media kontrast


Populasi dan sampel
iopromide pada prosedur PCI.(Andari Kluniari &

Suardamana, 2023)

hanya satu kasus pasien saja yang dijadikan contoh untuk


Metode pengambilan sampel
dianalisis penatalaksanaan dan pencegahan reaksinya

Metode penelitian  Metode yang digunakan adalah studi kasus (case study)
dengan memilih 1 pasien sebagai subjek kasus.

 Dikumpulkan data pasien secara observasi dan

wawancara mengenai keluhan, riwayat penyakit, dan

pemeriksaan fisik serta laboratorium.

 Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, gejala

klinis, dan hasil pemeriksaan.

 Diberikan penatalaksanaan berupa obat-obatan dan

pemantauan perkembangan gejala.

 Kasus ini kemudian dianalisis untuk mempelajari

penatalaksanaan dan pencegahan reaksi serupa.

 Dilakukan pula telaah literatur terkait untuk membahas

pemberian premedikasi, patofisiologi, dan penanganan

reaksi hipersensitivitas akibat media kontrast.

 Namun tidak ada informasi mengenai rancangan

penelitian, instrumen pengumpulan data, atau analisis

statistik.

Pembahasan :

Reaksi hipersensitivitas terhadap media kontrast disebabkan oleh osmolalitas tinggi yang

secara langsung mengaktifkan sel mast, bukan melalui IgE. Hal ini berbeda dengan reaksi

alergi makanan atau obat yang melibatkan IgE. Aktivasi sel mast menyebabkan pelepasan

mediator inflamasi seperti histamin, kinin, leukotrien yang menimbulkan gejala seperti

urtikaria, angioedema, bronkospasme bahkan anafilaksis. Pemberian prednison oral 13


jam, 7 jam, 1 jam sebelum prosedur dapat menurunkan risiko reaksi hingga 80% dengan

cara menghambat pelepasan mediator sel mast. Difenhidramin dan ephedrin dapat

diberikan sebagai tambahan untuk menghambat reseptor H1 dan menurunkan pelarutan

vaskular yang disebabkan histamin. Bila terjadi reaksi berat seperti edema laring atau

bronkospasme disertai hipotensi, perlu adrenalin untuk mengangkat pembekuan bronkial

dan meningkatkan tekanan darah. Selain itu diberikan O2, beta agonist untuk melegakan

bronkospasme serta terapi suportif sesuai ACLS pada kondisi kritik. Pada reaksi ringan

cukup antihistamin, namun reaksi alergi media kontrast sulit diprediksi sehingga

pencegahan menjadi penting.

berikut adalah penatalaksanaan tergantung dari gejala klinis yang dialami pasien:
Tabel 1. Penatalaksanaan sesuai gejala klinis reaksi hipersensitivitas(Andari Kluniari & Suardamana,

2023)

Pasien dilakukan prosedur PCI dengan pemberian media kontrast iopromide. Setelah

prosedur, pasien mengeluh bengkak pada kelopak mata. Berdasarkan pemeriksaan,

didiagnosis pasien mengalami reaksi hipersensitivitas akut akibat pemberian media

kontrast iopromide. Penyebabnya adalah osmolaritas iopromide yang tinggi dapat

mengaktifkan sel mast secara langsung tanpa melalui IgE. Aktivasi sel mast menyebabkan

pelepasan mediator seperti histamin yang menimbulkan angioedema. Risiko reaksi

hipersensitivitas meningkat karena pemberian beta bloker bisoprolol rutin yang dikonsumsi

pasien. Beta bloker dapat meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap reaksi alergi.

Pengobatan yang diberikan adalah metilprednisolon oral dan antihistamin difenhidramin

untuk menghambat pelepasan mediator alergi. Bengkak kelopak mata pasien membaik

setelah pengobatan. Untuk mencegah kejadian serupa, perlu diberikan premedikasi seperti

kortikosteroid sebelum pemberian media kontrast pada pasien berisiko. Selain itu, gunakan

media kontrast dengan osmolaritas rendah.

Beberapa langkah pencegahan reaksi hipersensitivitas akut akibat media kontrast antara

lain:

1. Identifikasi faktor risiko pasien seperti riwayat alergi, penyakit paru obstruktif

kronis, penggunaan obat-obatan tertentu seperti beta blocker.

2. Pemberian premedikasi berupa kortikosteroid oral seperti prednison 50-100 mg 13-7

jam sebelum prosedur untuk mengurangi risiko reaksi hingga 80%.

3. Pemberian antihistamin oral seperti difenhidramin 50-100 mg 1 jam sebelum

prosedur untuk menghambat efek mediator histamin.


4. Pemilihan media kontrast dengan osmolaritas rendah seperti non-ionik untuk

menurunkan risiko reaksi akibat aktivasi sel mast.

5. Ketersediaan obat-obatan penanganan reaksi anafilaktik seperti adrenalin, serta

peralatan pendukung hidup.

6. Pelatihan petugas kesehatan dalam identifikasi dini gejala reaksi dan tindakan

pertolongan pertama.

7. Pemantauan pasien selama dan setelah prosedur untuk menangani komplikasi secepat

mungkin.

8. Pencatatan riwayat dan jenis reaksi sebelumnya untuk pengobatan berikutnya

9. Konsultasi dokter ahli alergi untuk pasien berisiko tinggi.

Kesimpulan :

Reaksi hipersensitivitas akut dapat terjadi setelah pemberian media kontrast iopromide

pada prosedur PCI seperti yang dialami pasien kasus. Aktivasi sel mast langsung tanpa

mediasi IgE merupakan mekanisme dasar timbulnya reaksi tersebut. Faktor risiko tinggi

meliputi riwayat alergi, riwayat reaksi terhadap prosedur/obat sebelumnya, dan

penggunaan obat seperti beta bloker. Diagnosis didasarkan pada riwayat, gejala klinis, dan

hasil pemeriksaan.

Penatalaksanaan sesuai protokol dengan pemberian metilprednisolon oral dan

difenhidramin IM pada kasus ini membuat gejala membaik.Pencegahan melalui pemilihan

jenis media non-ionik, pemberian premedikasi pada pasien berisiko, serta kesiapan tenaga

medis dalam mengenali dan menangani reaksi alergi dapat meminimalkan risiko kejadian.
Jadi kesimpulan secara umum adalah mengenai mekanisme, diagnosis, penatalaksanaan,

dan pencegahan reaksi hipersensitivitas akut setelah pemberian media kontrast.

Keunggulan :

keunggulan dari laporan kasus ini adalah:

 Mengulas secara rinci kasus nyata reaksi hipersensitivitas akut pasca pemberian media

kontrast. Ini berguna untuk memahami manifestasi klinis dan cara penanganannya.

 Membahas mekanisme terjadinya reaksi yaitu aktivasi langsung sel mast tanpa mediasi

IgE, yang merupakan pemahaman terbaru.

 Mengidentifikasi faktor risiko pasien seperti riwayat alergi atau penggunaan obat

tertentu. Hal ini penting untuk risk assessment.

 Mendiskusikan pentingnya protokol diagnosis dan penatalaksanaan sesuai standar,

seperti yang diterapkan pada kasus ini.

 Menegaskan kembali manfaat pemberian premedikasi pada pasien berisiko dan

pemilihan media kontrast non-ionik.

 Memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pencegahan dan penanganan dini

reaksi anafilaksis di unit-unit medis.

 Dapat meningkatkan kesadaran dokter untuk mempelajari faktor risiko pasien sebelum

prosedur.

Kekurangan :

Kekurangan laporan kasus ini antara lain:


 Hanya mengulas satu kasus pasien saja, tidak ada analisis terhadap sampel yang

lebih besar.

 Tidak menjelaskan desain penelitian yang jelas, seperti jenis studi, alat ukur, dan

statistik yang digunakan.

 Informasi tentang karakteristik pasien sangat terbatas, seperti riwayat medis

lengkap dan faktor risiko lain.

 Tidak ada dibandingkan dengan grup kontrol untuk mengetahui faktor prediktif

reaksi yang signifikan.

 Tidak dilakukan pengujian laboratorium untuk mendiagnosis reaksi secara spesifik,

seperti IgE.

 Detail gejala klinis dan tanda-tanda fisik pasien tidak dijabarkan secara mendalam.

 Evaluasi hasil penatalaksanaan hanya didasarkan pada pernyataan pasien, belum

ada pengukuran objektif.

 Tidak menganalisis kemungkinan faktor penyebab reaksi selain pemberian media

kontrast.

 Tidak memberikan rekomendasi lebih lanjut untuk penelitian selanjutnya.

Secara keseluruhan, laporan ini lebih bersifat deskriptif tanpa analisis mendalam.

Diperlukan informasi yang lebih rinci untuk menarik kesimpulan.


4. Kajian Literatur : Alergi Makanan pada Anak dari Aspek Imunologi

Sukma Diani Putri


Nama penulis
Yustina Nuke Ardiyan

1. Sukma Diani Putri, Studi DIII Keperawatan,

Politeknik Negeri Indramayu, Jawa Barat dengan

alamat Jl. Lohbener Lama No 8 Legok, Kec.

Lohbener, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.


Afiliasi Penulis
2. Yustina Nuke Ardiyan, Program Studi Kedokteran,

Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta

dengan alamat Jl. Dr.Wahidin Sudirohusodo 5-25

Yogyakarta.

Korespondensi
sdputri@polindra.ac.id
Tahun & halaman 2022/ 6 halaman

Seri jurnal Volume 11, Nomor 2, Tahun 2022

Abstrak ABSTRACT

Food allergies in children are a common disorder in our

circumstance. The basic theory of allergy is an excessive immune

response or hypersensitivity reaction in the body. The role of T-

helper (Th) cells is crucial in causing allergic reactions, including

food allergies. The purpose of this paper is to discuss the

phenomenon of food allergy in children in terms of immunological

aspects. The research method used in this paper is by searching for

articles from Google scholar related to food allergy. Results: Food

allergies in children are mediated by Th, cytokines, and IgE.


Several factors influence food allergy in children such as an

impaired oral tolerance, microbiota imbalance, fast food, and

cesarean delivery.

Keywords: food allergy, immune tolerance, children

ABSTRAK

Alergi makanan pada anak sering dijumpai di sekitar kita.

Dilihat dari berat ringannya gejala yang ditimbulkan, pada

prinsipnya alergi ini didasari oleh respon imun berlebihan atau

hipersensitivitas pada tubuh. Peran sel T-helper (Th) sangat penting

dalam menimbulkan reaksi alergi. Tujuan kajian literatur ini yaitu

melihat fenomena alergi makanan pada anak ditinjau dari aspek

imunologi. Metode yang digunakan yaitu dengan pencarian artikel

dari Google scholar. Hasil: Alergi makanan pada anak diperantarai

Th, sitokin, dan IgE. Faktor yang mempengaruhi adalah kerusakan

toleransi oral, ketidakseimbangan mikrobiota, makanan cepat saji,

dan kelahiran sesar.

Kata kunci: alergi makanan, toleransi imun, anak.

Latar Belakang Secara global, prevalensi alergi makanan pada anak

meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir. Di

dunia maju, prevalensinya mencapai lebih dari 10%

pada populasi anak-anak dan remaja. Alergi makanan

merupakan penyakit nomor dua dari semua jenis alergi

yang sering menyerang anak-anak. Reaksi alergi

makanan termasuk ke dalam reaksi hipersensitivitas tipe


1 yang melibatkan antibodi IgE dan merupakan reaksi

alergi tipe cepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya alergi makanan pada anak antara lain

kerusakan toleransi oral, ketidakseimbangan mikrobiota,

konsumsi makanan cepat saji, dan kelahiran dengan

proses sesar.

Mengkaji fenomena alergi makanan yang terjadi pada


Tujuan
anak ditinjau dari aspek imunologinya.

populasi adalah anak-anak pengidap alergi makanan

secara umum, sedangkan sampel tidak terdapat karena


Populasi dan sampel
jenis penelitiannya adalah literature review berdasarkan

hasil penelitian terdahulu.

a. Mencari artikel terkait topik penelitian ("alergi

makanan pada anak dari aspek imunologi") di

Google Scholar.

b. Batas waktu pencarian artikel yaitu tahun 2013-


Metode pengambilan
2022.
sampel
c. Jenis kajian yang digunakan adalah narrative

review, yaitu meninjau dan menganalisis isi artikel-

artikel terpilih secara utuh dan lengkap.

Metode penelitian metode penelitian yang digunakan adalah literature

review dengan metode analisis narrative review untuk

menganalisis hasil pencarian artikel di Google Scholar


sesuai kriteria yang ditetapkan

Pembahasan :

Berdasarkan review yang telah dilakukan, alergi merupakan istilah untuk menyebut

penyakit klinis yang dihasilkan dari respon imun yang berlebihan oleh sistem imun normal

akibat alergen. Berdasarkan dokumen, jenis-jenis reaksi hipersensitivitas menurut

klasifikasi Coombs dan Gell yang dibahas adalah:(Diani Putri & Yustina Nuke Ardiyan,

2022)

a. Reaksi Tipe I (hipersensitivitas tipe cepat)

 Menglibatkan IgE

 Reaksi berlangsung sangat cepat dalam hitungan menit

 Contohnya alergi asma, urticaria, angiodema, dan anafilaksis

b. Reaksi Tipe II (sitotoksik)

 Reaksi sitotoksik yang diperantarai antibodi

 Terjadi karena fiksasi IgG/IgM pada membran sel yang menginduksi lisis sel

 Contohnya reaksi transfusi dan ketidakcocokan Rhesus

c. Reaksi Tipe III (kompleks imun)

 Kompleks yang terbentuk dari ikatan antibodi IgG/IgM dengan antigen

 Mengakibatkan inflamasi lokal dan kerusakan jaringan

 Contohnya systemic lupus erythematosus


d. Reaksi Tipe IV (hipersensitivitas tertunda)

 Hipersensitivitas yang dimediasi sel T

 Tidak melibatkan antibodi

 Contohnya dermatitis kontak, sindrom Stevens-Johnson, erythema multiforme

Jadi inti pembahasannya menjelaskan jenis reaksi hipersensitivitas sesuai klasifikasi

Coombs dan Gell yang relevan dengan alergi makanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya alergi makanan pada anak, seperti gangguan toleransi oral, ketidakseimbangan

mikrobiota, pola makan cepat saji, dan kelahiran melalui sesar.terdapat beberapa

perbedaan gejala dan jenis makanan penyebab alergi antara anak-anak dan orang dewasa.

a. Gejala

 Pada anak-anak, gejala alergi makanan yang sering muncul antara lain gatal-gatal,

mengi, batuk, mual, muntah, dan diare. Gejala tersebut biasanya terjadi dalam

hitungan menit hingga jam setelah mengonsumsi makanan penyebab alergi.

 Sedangkan pada orang dewasa, gejala alergi makanan lebih bervariasi dan dapat

berupa gejala sistemik seperti anafilaksis yang lebih parah.

b. Jenis makanan penyebab

 Pada anak-anak, makanan penyebab alergi yang paling umum antara lain produk

susu, telur, gandum, dan kacang kedelai.

 Sedangkan pada orang dewasa, makanan penyebab alergi yang sering dijumpai

adalah kacang tanah, kacang pohon, ikan, dan kerang.


Kesimpulan :

 Alergi makanan pada anak-anak merupakan reaksi imun yang berlebihan terhadap

antigen makanan yang sebenarnya tidak berbahaya.

 Mekanisme terjadinya alergi makanan pada anak diperantarai oleh respon sel T

helper (Th)2 yang berlebihan, khususnya produksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13.

 Sitokin-sitokin Th2 akan menstimulasi produksi antibodi IgE oleh sel B. IgE

kemudian akan terikat pada reseptor FcεRI pada mastsel dan basofil.

 Ketika terjadi paparan kembali dengan antigen makanan penyebab alergi, akan

terjadi cross-linking antara IgE dan antigen yang memicu degranulasi sel darah

putih penghasil mediator seperti histamin.

Keunggulan :

terdapat beberapa keunggulan penelitian ini, yaitu:

1. Memahami mekanisme terjadinya alergi makanan secara mendalam dari sisi respon

imun, khususnya peran sel T helper, sitokin, dan antibodi IgE. Hal ini penting

untuk memprediksi dan mencegah terjadinya reaksi alergi.

2. Menganalisis faktor-faktor risiko terjadinya alergi makanan pada anak, seperti

gangguan toleransi oral, ketidakseimbangan mikrobiota, dan faktor lingkungan

lainnya. Informasi ini berguna untuk program preventif.

3. Membandingkan karakteristik gejala dan jenis makanan penyebab antara anak-anak

dan dewasa. Hal ini membantu diagnosis yang lebih tepat.

4. Menggunakan sumber artikel terpercaya dari database ilmiah seperti Google

Scholar yang telah dilakukan review oleh pakar.


5. Mengintegrasikan berbagai penelitian terkini dari tahun 2013 hingga 2022 sehingga

kajian ini relevan dengan perkembangan pengetahuan terbaru.

6. Hasil kajian dapat dimanfaatkan tenaga kesehatan dalam pencegahan, deteksi dini,

dan pengobatan yang tepat bagi pasien alergi makanan khususnya anak-anak.

Kekurangan :

1. Sumber artikel hanya didapatkan dari Google Scholar sehingga kemungkinan

belum menelusuri database lain seperti PubMed.

2. Jumlah artikel yang diteliti terbatas, sehingga informasi yang didapat belum

komplet dalam menjelaskan mekanisme alergi makanan.

3. Tidak ada kriteria inklusi dan eksklusi artikel yang jelas, sehingga kemungkinan

terdapat bias dalam pemilihan artikel.

4. Aspek imunologi hanya membahas respon sel T helper, sitokin, dan IgE saja,

belum lebih luas ke aspek genetik, lingkungan, dan lainnya.

5. Tidak ada analisis yang mendalam terhadap hasil penelitian terdahulu seperti

melalui meta-analisis.

6. Informasi yang disajikan bersifat deskriptif, belum ada analisis statistik untuk

menunjukkan hubungan antarvariabel.

7. Belum dinilai oleh pakar terkait melalui uji validity dan reliability hasil kajian.

Oleh karena itu, kajian ini perlu disempurnakan lagi dengan menambah sumber, kriteria

penelusuran, analisis yang lebih mendalam, serta penilaian ahli untuk meningkatkan

kualitas hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA

Andari Kluniari, N. M. N., & Suardamana, I. K. (2023). Penatalaksanaan Dan Pencegahan


Reaksi Hipersensitivitas Akut Akibat Media Kontras. Ganesha Medicine, 3(1), 1–5.
https://doi.org/10.23887/gm.v3i1.57851
Diani Putri, S., & Yustina Nuke Ardiyan. (2022). Kajian Literatur: Alergi Makanan Pada
Anak Dari Aspek Imunologii Aspek Imunologi. Al-Asalmiya Nursing: Jurnal Ilmu
Keperawatan (Journal of Nursing Sciences), 11(2), 146–151.
https://doi.org/10.35328/keperawatan.v11i2.2265
Lelyana, S. (2020). Hypersensitivity in Dentistry. SONDE (Sound of Dentistry), 5(2), 22–
31. https://doi.org/10.28932/sod.v5i2.2861
Pratama, H. A., Sofyan, A., & Munir, M. A. (2023). Sindrom Steven Johnson: Laporan
Kasus. Jurnal Medical Profession (MedPro), 5(1), 1–7.
sabri, Nasution, F. A., & Mokhammad Samsul Arif. (2020). Peran imunoterapi pada
tetelaksana alergi makanan Title. Electoral Governance Jurnal Tata Kelola Pemilu
Indonesia, 12(2), 6. https://talenta.usu.ac.id/politeia/article/view/3955

You might also like