Format 1 Imunologi
Format 1 Imunologi
Format 1 Imunologi
173145201175
DAFTAR ISI..................................................................................................................2
I. PENDAHULUAN....................................................................................................4
1. Latar Belakang....................................................................................................4
Kontras.............................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................40
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hipersensitivitas atau yang sering kta kenal dengan alergi, reaksi ini terjadi akibat
adanya respon yang berlebihan dari tubuh terhadap suatu alergen. Sistem klasifikasi reaksi
hipersensitivitas yang diperkenalkan Gell dan Coombs pada tahun 1963 yaitu tipe I hingga IV
Berbagai gejala klinis yang ditimbukan dari rekasi hipersensitivitas sesuai dengan organ
yang terpapar oleh allergen serta tergantung dari tipe reaksi hipersensitivitas yang terjadi, mulai
dari gejala ringan hingga syok anafilaksis pada tipe I, hingga penyakit autoimun kronis akibat tipe
III. Reaksi alergi dapat terjadi bukan hanya terjadi pada usia anak-anak tapi juga dapat
terjadi pada usia remah,dewasa maupun lansia dapat di katakana bahwa reaksi
hipersensitivitas dapat menyerang pada semua rentan usia. Menurut data dari World
Allergy Organization (WAO) reaksi hipersensitivitas meningkat tiap tahunya yaitu 22%
penduduk dunia, reaksi terhadap makanan penyebab yang sering di jumpai di lingkungan.
Rekasi dari respon imun terhadap molekul obat juga dapat menyebabkan berbagai
tapi dapat juga mempengaruhi organ lain, contohnya paru-paru,hati dan ginjal.
Banyak reaksi hipersensitivitas yang diinduksi oleh obat tampaknya tertunda selain
reaksi cepat yang diperantarai IgE terhadap obat. Banyak dari kta yang sering mendapati
hiperesponsivitas imunologik terhadap antigen yang spesifik, itu berasal dari makanan atau
makanan sangat merugikan menjadi kekhawatiran karena dapat menyebabkan diet yang
ketat. Jenis makanan dan mekanismenya dapat memengaruhi seberapa parah reaksinya dan
94118.
2. Asrawati Sofyan
University.
Korespondensi harryantoagung310399@gmail.com.
Abstrak Abstrack
complaints of burning and stinging that has been felt for the last 7
the last few weeks the patient had taken drugs given from an
curbexvit, after 2 days of taking the drug the patient began to feel
anti-pain medications.
Abstrak
40%.
sebelumnya.
studi terdahulu.
kematian.
penelitian/studi terdahulu.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
mendiskusikan kasus.
6. Kesimpulan
Pembahasan :
terhadap obat atau infeksi, yang mengaktifkan limfosit T sitotoksik. Ini menyebabkan
dasar. Faktor genetik seperti ekspresi HLA tertentu seperti HLA-B*1502, HLA-B*5802,
dan HLA-A*3101 dikaitkan dengan peningkatan risiko SJS terhadap beberapa obat seperti
kulit yang menunjukkan nekrosis foki epidermis pada lapisan suprabasal. Komplikasi
utama SJS yang perlu diantisipasi antara lain infeksi kulit sekunder, kerusakan mata
permanen, dan disfungsi organ internal seperti paru-paru, ginjal, dan hati.
Diagnosis kasus ini didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien yang
menunjukkan gejala klinis yang konsisten dengan SJS seperti lesi makula eritematous di
wajah dan tubuh serta erosi di bibir. Faktor risiko pasien seperti jenis kelamin perempuan
dan usia 38 tahun sesuai dengan karakteristik umum penderita SJS. Penyebab
kemungkinan adanya SJS pada pasien ini adalah konsumsi obat Hydroxychloroquine
sulfate dan curbexvit beberapa minggu sebelumnya. Obat merupakan penyebab utama SJS
sesuai literatur.
pemberian obat pemicun, mencegah infeksi, memberi perawatan topikal dan sistemik
seperti steroid untuk mengurangi radang. Prognosis SJS umumnya baik jika
penatalaksanaan dilakukan tepat waktu untuk mencegah komplikasi dan mortalitas yang
dapat terjadi. Kasus ini pun diharapkan dapat pulih dengan baik.
Tentang diagnosis yang ditegakkan berdasarkan biopsi kulit, laporan kasus ini tidak
menyebutkan ada pemeriksaan biopsy yang dilakukan. Diagnosis didasarkan hanya pada
gejala klinis saja. Biopsi kulit sebenarnya penting untuk menegakkan diagnosis SJS secara
umumnya aman dikonsumsi. Namun pasien ini mungkin memiliki faktor risiko tertentu
seperti genetik yang membuatnya lebih rentan terhadap efek samping obat ini.
Penatalaksanaan yang dianjurkan namun tidak disebutkan dalam laporan adalah pemberian
cairan dan elektrolit secara intravena untuk mencegah dehidrasi. Selain itu pengobatan
nutrisi juga penting. Prognosis SJS sangat tergantung seberapa parah kerusakan kulit dan
keterlibatan organ internal. Kasus ringan biasanya pulih dalam 1-2 minggu, sedangkan
berat bisa sampai 1-3 bulan. Follow up pasien setelah keluar dari rumah sakit perlu
Kesimpulan
Pasien didiagnosis menderita Stevens Johnson Syndrome (SJS) berdasarkan gejala klinis
berupa lesi makula eritematous yang tersebar di wajah dan tubuh serta erosi di bibir, sesuai
dengan karakteristik SJS. Faktor risiko yang mungkin berperan adalah riwayat konsumsi
obat Hydroxychloroquine sulfate dan curbexvit beberapa minggu sebelumnya, dimana obat
merupakan penyebab utama terjadinya SJS. Prinsip penatalaksanaan yang diberikan sesuai
standar meliputi menghindari pemberian obat pemicun, perawatan topikal untuk mencegah
infeksi sekunder, pemberian steroid sistemik untuk mengurangi radang, serta manajemen
pasiendiduga baik untuk pulih dari SJS. Laporan kasus ini bermanfaat untuk memahami
presentasi klinis, etiologi, penatalaksanaan, serta prognosis pada pasien SJS sebagai acuan
Keunggulan
1. Membedah secara mendalam keluhan dan gejala klinis spesifik pasien SJS, sehingga
2. Melakukan korelasi antara konsumsi obat dengan munculnya gejala awal, sehingga
7. Penelitian kasus tunggal lebih mudah dilakukan dibanding studi kohort besar.
Keunggulannya terletak pada analisis klinis mendalam pasien SJS beserta korelasinya
Kelemahan
a. Hanya melibatkan satu kasus (N=1), sehingga hasilnya kurang representatif dan tidak
dapat digeneralisasi.
c. Subyektifitas dalam pencatatan gejala dan laporan pasien dapat mempengaruhi hasil.
d. Kesulitan untuk menetapkan hubungan sebab akibat secara pasti hanya berdasarkan 1
kasus.
e. Tidak ada analisis statistik karena hanya 1 kasus, sehingga kurang kuat secara statistik.
f. Bias recollection, yaitu kelalaian pasien dalam mengingat riwayat medis masa lalu.
g. Faktor penunjang diagnosa seperti pemeriksaan laboratorium dan biopsi kulit tidak
dijelaskan.
Oleh karena itu, kelemahannya terletak pada keterbatasan generalisasi, validitas, dan
Korespondensi shelly.lelyana@gmail.com
Abstrak Abstract
diseases, but the immune mechanism that normally defend the body
could react in reverse or in other word could destroy its own body. This
practitioners are using a few materials and several drugs to treat their
name a few. When using all kinds of dental materials and medication,
dental practitioner should know how to handle the reaction that may
cause and how to treat it. Dental practitioners should be aware on the
materials and drugs that could be aware on the material and drugs that
can be the potential allergens for the patient and the practitioner
Abstrak
normal dapat bereaksi secara terbalik atau dengan kata lain dapat
memiliki kesadaran akan tanda dan gejala pada rongga mulut, sehingga
diwaspadai pada materi dan obat yang bisa menjadi alergen potensial
bagi pasien dan praktisi itu sendiri. Tujuan dari tinjauan pustaka ini
darurat.
maupun makanan.
Metode pengambilan -
sampel
Pembahasan :
kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang secara normal tidak berbahaya. Reaksi
akibat terpapar zat berbahaya. Tingkat respons yang ditimbulkannya bervariasi dari ringan
hingga fatal. Reaksi hipersensitivitas mencakup gangguan autoimun dan alergi. Autoimun
adalah respon sistem kekebalan yang menyerang tubuh sendiri, sedangkan alergi adalah
respons terhadap zat asing dari lingkungan luar tubuh. Jadi secara ringkas, hipersensitivitas
adalah reaksi berlebihan sistem kekebalan tubuh yang berbahaya terhadap zat yang
Manifestasi klinisnya bervariasi mulai dari ringan seperti ruam hingga fatal seperti
Tipe 1 (reaksi anafilaksis): reaksi cepat yang dimediasi oleh IgE. Contohnya alergi
Tipe 3 (reaksi imun kompleks): disebabkan oleh deposisi kompleks imun pada
Beberapa contoh reaksi hipersensitivitas yang sering ditemukan di rongga mulut adalah:
Penyebab-penyebab reaksi hipersensitivitas yang sering terjadi di rongga mulut antara lain:
Bahan kedokteran gigi seperti logam berat, akrilik, komposit. Contohnya reaksi
Makanan dan minuman seperti buah beri, kacang, cokelat, minuman karbonasi.
Beberapa gejala klinis yang umum dari jenis-jenis reaksi hipersensitivitas di rongga mulut,
antara lain:
Urtikaria dan angioedema (tipe 1): ruam merah hampir bundar dan bengkak yang
gampang hilang.
Eritema multiforme (tipe 4): lesi kulit berbentuk bulat pada mulut dan kulit.
Contact allergic stomatitis (tipe 4): ruam merah, lesi bengkak pada area kontak
alergen.
Oral lichen planus (tipe 4): warna putih atau abu-abu pada rongga mulut.
Serum sickness (tipe 3): demam, ruam, pembesaran kelenjar getah bening.
Reaksi sitotoksik (tipe 2): lesi bengkak, nekrosis pada jaringan oral.
Selain itu juga dijelaskan gejala khas masing-masing seperti sakit, gatal, bengkak, bisul,
adanya area kemerahan. Foto klinis juga disertakan untuk memvisualisasikan penampakan
lesi di rongga mulut. Ini berguna untuk diagnosis awal reaksi hipersensitivitas.
Memberikan obat antihistamin secara oral untuk mengurangi ruam dan gatal.
Memberikan kortikosteroid topikal seperti krim untuk mengurangi bengkak dan nyeri.
alergen.
Praktisi kedokteran gigi perlu memahami berbagai jenis reaksi hipersensitivitas yang dapat
terjadi pada pasien, khususnya yang sering ditemukan di rongga mulut. Pengetahuan akan
gejala klinis dan penyebab reaksi tersebut diperlukan untuk melakukan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, penting bagi dokter gigi untuk mencegah terjadinya
reaksi alergi dengan menghindari paparan alergen yang diketahui pada pasien. Tujuan
akhir dari tinjauan pustaka ini adalah meningkatkan pemahaman praktisi kedokteran gigi
Keunggulan :
Materi yang dibahas sangat relevan dengan praktik kedokteran gigi, yaitu mengenai
Membantu pemahaman mengenai manifestasi klinis dan gambaran lesi yang dapat
dokter gigi
Kekurangan :
Hanya meninjau literatur yang tersedia, belum melakukan penelitian lapangan untuk
pendalaman isu.
dideskripsikan.
Belum membahas faktor risiko spesifik yang berhubungan dengan timbulnya reaksi
hipersensitivitas oral.
kondisi.
hipersensitivitas.
Oleh karena bersifat tinjauan pustaka, jurnal ini masih perlu pengembangan lebih
Kontras
Udayana.
Denpasar.
korespondensi Andarikung@gmail.com,
Abstrak Abstract
has been estimated that in the United States alone, 15 million procedures
contrast media could lower the risk of allergic reaction, it was still
Abstrak
prosedur setiap tahunnya. Pada tahun 2008 Sekitar 2-3 % pasien yang
Aktivasi sel mast pada penggunaan media kontras tidak dimediasi oleh
kontras.
Suardamana, 2023)
Metode penelitian Metode yang digunakan adalah studi kasus (case study)
dengan memilih 1 pasien sebagai subjek kasus.
statistik.
Pembahasan :
Reaksi hipersensitivitas terhadap media kontrast disebabkan oleh osmolalitas tinggi yang
secara langsung mengaktifkan sel mast, bukan melalui IgE. Hal ini berbeda dengan reaksi
alergi makanan atau obat yang melibatkan IgE. Aktivasi sel mast menyebabkan pelepasan
mediator inflamasi seperti histamin, kinin, leukotrien yang menimbulkan gejala seperti
cara menghambat pelepasan mediator sel mast. Difenhidramin dan ephedrin dapat
vaskular yang disebabkan histamin. Bila terjadi reaksi berat seperti edema laring atau
dan meningkatkan tekanan darah. Selain itu diberikan O2, beta agonist untuk melegakan
bronkospasme serta terapi suportif sesuai ACLS pada kondisi kritik. Pada reaksi ringan
cukup antihistamin, namun reaksi alergi media kontrast sulit diprediksi sehingga
berikut adalah penatalaksanaan tergantung dari gejala klinis yang dialami pasien:
Tabel 1. Penatalaksanaan sesuai gejala klinis reaksi hipersensitivitas(Andari Kluniari & Suardamana,
2023)
Pasien dilakukan prosedur PCI dengan pemberian media kontrast iopromide. Setelah
mengaktifkan sel mast secara langsung tanpa melalui IgE. Aktivasi sel mast menyebabkan
hipersensitivitas meningkat karena pemberian beta bloker bisoprolol rutin yang dikonsumsi
pasien. Beta bloker dapat meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap reaksi alergi.
untuk menghambat pelepasan mediator alergi. Bengkak kelopak mata pasien membaik
setelah pengobatan. Untuk mencegah kejadian serupa, perlu diberikan premedikasi seperti
kortikosteroid sebelum pemberian media kontrast pada pasien berisiko. Selain itu, gunakan
Beberapa langkah pencegahan reaksi hipersensitivitas akut akibat media kontrast antara
lain:
1. Identifikasi faktor risiko pasien seperti riwayat alergi, penyakit paru obstruktif
6. Pelatihan petugas kesehatan dalam identifikasi dini gejala reaksi dan tindakan
pertolongan pertama.
7. Pemantauan pasien selama dan setelah prosedur untuk menangani komplikasi secepat
mungkin.
Kesimpulan :
Reaksi hipersensitivitas akut dapat terjadi setelah pemberian media kontrast iopromide
pada prosedur PCI seperti yang dialami pasien kasus. Aktivasi sel mast langsung tanpa
mediasi IgE merupakan mekanisme dasar timbulnya reaksi tersebut. Faktor risiko tinggi
penggunaan obat seperti beta bloker. Diagnosis didasarkan pada riwayat, gejala klinis, dan
hasil pemeriksaan.
jenis media non-ionik, pemberian premedikasi pada pasien berisiko, serta kesiapan tenaga
medis dalam mengenali dan menangani reaksi alergi dapat meminimalkan risiko kejadian.
Jadi kesimpulan secara umum adalah mengenai mekanisme, diagnosis, penatalaksanaan,
Keunggulan :
Mengulas secara rinci kasus nyata reaksi hipersensitivitas akut pasca pemberian media
kontrast. Ini berguna untuk memahami manifestasi klinis dan cara penanganannya.
Membahas mekanisme terjadinya reaksi yaitu aktivasi langsung sel mast tanpa mediasi
Mengidentifikasi faktor risiko pasien seperti riwayat alergi atau penggunaan obat
Memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pencegahan dan penanganan dini
Dapat meningkatkan kesadaran dokter untuk mempelajari faktor risiko pasien sebelum
prosedur.
Kekurangan :
lebih besar.
Tidak menjelaskan desain penelitian yang jelas, seperti jenis studi, alat ukur, dan
Tidak ada dibandingkan dengan grup kontrol untuk mengetahui faktor prediktif
seperti IgE.
Detail gejala klinis dan tanda-tanda fisik pasien tidak dijabarkan secara mendalam.
kontrast.
Secara keseluruhan, laporan ini lebih bersifat deskriptif tanpa analisis mendalam.
Yogyakarta.
Korespondensi
sdputri@polindra.ac.id
Tahun & halaman 2022/ 6 halaman
Abstrak ABSTRACT
cesarean delivery.
ABSTRAK
proses sesar.
Google Scholar.
Pembahasan :
Berdasarkan review yang telah dilakukan, alergi merupakan istilah untuk menyebut
penyakit klinis yang dihasilkan dari respon imun yang berlebihan oleh sistem imun normal
klasifikasi Coombs dan Gell yang dibahas adalah:(Diani Putri & Yustina Nuke Ardiyan,
2022)
Menglibatkan IgE
Terjadi karena fiksasi IgG/IgM pada membran sel yang menginduksi lisis sel
Coombs dan Gell yang relevan dengan alergi makanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya alergi makanan pada anak, seperti gangguan toleransi oral, ketidakseimbangan
mikrobiota, pola makan cepat saji, dan kelahiran melalui sesar.terdapat beberapa
perbedaan gejala dan jenis makanan penyebab alergi antara anak-anak dan orang dewasa.
a. Gejala
Pada anak-anak, gejala alergi makanan yang sering muncul antara lain gatal-gatal,
mengi, batuk, mual, muntah, dan diare. Gejala tersebut biasanya terjadi dalam
Sedangkan pada orang dewasa, gejala alergi makanan lebih bervariasi dan dapat
Pada anak-anak, makanan penyebab alergi yang paling umum antara lain produk
Sedangkan pada orang dewasa, makanan penyebab alergi yang sering dijumpai
Alergi makanan pada anak-anak merupakan reaksi imun yang berlebihan terhadap
Mekanisme terjadinya alergi makanan pada anak diperantarai oleh respon sel T
helper (Th)2 yang berlebihan, khususnya produksi sitokin IL-4, IL-5, dan IL-13.
Sitokin-sitokin Th2 akan menstimulasi produksi antibodi IgE oleh sel B. IgE
kemudian akan terikat pada reseptor FcεRI pada mastsel dan basofil.
Ketika terjadi paparan kembali dengan antigen makanan penyebab alergi, akan
terjadi cross-linking antara IgE dan antigen yang memicu degranulasi sel darah
Keunggulan :
1. Memahami mekanisme terjadinya alergi makanan secara mendalam dari sisi respon
imun, khususnya peran sel T helper, sitokin, dan antibodi IgE. Hal ini penting
6. Hasil kajian dapat dimanfaatkan tenaga kesehatan dalam pencegahan, deteksi dini,
dan pengobatan yang tepat bagi pasien alergi makanan khususnya anak-anak.
Kekurangan :
2. Jumlah artikel yang diteliti terbatas, sehingga informasi yang didapat belum
3. Tidak ada kriteria inklusi dan eksklusi artikel yang jelas, sehingga kemungkinan
4. Aspek imunologi hanya membahas respon sel T helper, sitokin, dan IgE saja,
5. Tidak ada analisis yang mendalam terhadap hasil penelitian terdahulu seperti
melalui meta-analisis.
6. Informasi yang disajikan bersifat deskriptif, belum ada analisis statistik untuk
7. Belum dinilai oleh pakar terkait melalui uji validity dan reliability hasil kajian.
Oleh karena itu, kajian ini perlu disempurnakan lagi dengan menambah sumber, kriteria
penelusuran, analisis yang lebih mendalam, serta penilaian ahli untuk meningkatkan
kualitas hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA