Jurnal C3 - 172210101053 - Mutiara Dewi Parisa Kinanti
Jurnal C3 - 172210101053 - Mutiara Dewi Parisa Kinanti
Jurnal C3 - 172210101053 - Mutiara Dewi Parisa Kinanti
172210101053
Sistem Penghantaran Obat Kelas C
Formulasi dan IVIVC Patch Transdermal Drug-in-Adhesive Azasetron
Mual dan muntah yang diinduksi kemoterapi (CINV) merupakan dua gejala yang menjadi
efek samping kemoterapi paling serius sebab memiliki dampak signifikan pada 70-80%
perawatan kesehatan pasien kanker. Mekanisme utama pemblokiran reseptor 5-
Hydroxytryptamine3 (5-HT3R) memiliki peranan penting dalam mengendalikan CINV.
Azasetron merupakan salah satu antagonis selektif reseptor 5-HT3 (serotonin) yang poten
sebagai terapi preventif dan kuratif CINV sebab memiliki durasi terapetik yang lebih lama
dan afinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan antagonis 5-HT3 lainnya.
Terlepas dari aktivitas antiemetiknya yang sangat baik aplikasi klinis azasetron sangatlah
terbatas sebab, azasetron hanya tersedia dalam bentuk sediaan injeksi dan tablet. Dimana
tablet Azasetron hidroklorida dibuat untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien terkait
pemberian rute injeksi, namun pada pasien yang sulit menelan (disfagia) rute ini sulit untuk
diadministrasikan. Selain itu, kedua bentuk sediaan ini hanya efektif cenderung tidak
responsif terhadap CINV tertunda yang terjadi dalam kurun waktu ≥ 24 jam hingga beberapa
hari pasca-kemoterapi sehingga harus diberikan secara berulang. Hal ini sangat berpengaruh
terhadap kepatuhan pasien dan meningkatkan biaya perawatan kesehatan.
Dalam rangka mengatasi kekurangan tersebut maka sun et al (2012) mengembangkan
sistem penghantaran obat transdermal (TDDS) yang dirancang untuk memperpanjang durasi
terapi azasetron sehingga bermanfaat sebagai alternatif dari administrasi tersebut, dimana
korelasi antara pelepasan obat secara in vitro dan in vivo (IVIVC) akan dievaluasi.
Sebelumnya penelitian oleh Boccia et al. (2010) telah mengonfirmasi kelayakan antagonis 5-
HT3 melalui kulit untuk mendapatkan efek terapi yang lebih lama, mengobati CINV tertunda
sehingga meningkatkan kepatuhan pasien.
Efek dari berbagai bahan perekat berbasis pressure-sensitive adhesive (PSA), permeation
enhancers, dan muatan azasetron yang ada dalam formulasi patches terhadap permeasi
azasetron di karakterisasi secara in vitro dengan kulit kelinci menggunakan two-chamber
diffusion cells. Kemudian profil farmakokinetik dari formulasi optimal patch azasetron
diklarifikasi melalui studi in vivo aplikasi topikal patches transdermal dan pemberian injeksi
intravena azasetron.pada babi Bama berdasarkan metode model non-kompartemen. Formulasi
dengan kandungan DURO-TAK® 87-9301 sebagai bahan perekat, 5% isopropil miristat
(IPM) sebagai permeation enhancers, dan 5% azasetron memiliki profil permeasi in vitro
yang terbaik didukung pula dengan profil pelepasan yang berkelanjutan selama 216 jam
secara in vivo. Profil permeasi melalui kulit babi secara in vitro dan in vivo menunjukkan
bahwa azasetron secara efektif dapat menembus kulit dan masuk ke sirkulasi sistemik.
Model matematika IVIVC dekonvolusi digunakan untuk mempercepat pengembangan
patch transdermal azasetron sebagai studi tindak lanjut.
Kurva absorbsi secara in vivo pada babi Bama mini yang diperoleh melalui dekonvolusi
program WinNonlinR berkorelasi baik dengan kurva permeasi patch azasetron secara in
vitro.
Temuan sun et al (2012) menunjukkan bahwa formulasi bentuk sediaan patches
transdermal azasetron drug-in-adhesive memiliki potensi yang menjanjikan sebagai
pengobatan CINV yang tertunda. Kemudian, uji permeasi pada kulit secara in vitro
bermanfaat untuk memprediksi aktivitas in vivo dari patch transdermal azasetron.
PSA akrilik telah dikenal sejak lama karena sifatnya yang menguntungkan. Dalam
studi ini, efek dari tiga adhesives jenis akrilik yang berbeda diuji yaitu DURO-TAKR 87-
2852 dan 87-2677 yang memiliki gugus asam karboksilat, dan DURO-TAKR 87-9301 tanpa
gugus fungsional. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dan Tabel 1, ketika muatan
azasetron ditetapkan pada 5% (b/b, berdasarkan berat adhesives) jumlah kumulatif azasetron
yang meresap dari adhesives 87-9301 adalah 6,13 dimana 3,63 kali lebih tinggi dari
adhesives 87-2677 dan 87-2852. Menurut struktur kimia azasetron, ia memiliki enam
akseptor dan satu donor ikatan-H di dalamnya. Situs-situs ini dapat berinteraksi dengan gugus
asam karboksilat PSA dan menghasilkan pengurangan penetrasi yang signifikan. Oleh karena
itu, PSA DURO-TAKR 87-9301, yang tidak memiliki kelompok fungsional, sangat ideal
untuk pengembangan patch transdermal azasetron.
Menambahkan penetration enhancers dalam formulasi patches adalah pendekatan yang
paling efektif untuk mengatasi sifat penghalang SC secara reversibel. Dalam penelitian ini,
semua enhancer yang diuji (MT, azon, dan IPM) menunjukkan kurva penetrasi linier yang
mengindikasikan fluks steady-state (Gbr. 4).
Di antara mereka, patch yang berisi IPM memberikan fluks dan peningkatan tertinggi. Hasil
ini menunjukkan bahwa secara umum, jumlah kumulatif obat yang diserap dari formulasi
berhubungan dengan struktur dan lipofilisitas enhancers.
IPM dikenal aman dan telah digunakan untuk meningkatkan permeasi kulit pada sejumlah
besar obat, termasuk progesteron, estradiol, indometasin, metil nikotinat, benztropin, dan
amlodipin. Sudah diterima secara luas bahwa IPM bertindak sebagai fluidizer membran lipid
interseluler, sehingga mengurangi fungsi penghalang SC.
Untuk mengetahui efek dari variasi konsentrasi IPM, patches transdermal yang
mengandung 3%, 5%, dan 10% IPM dipreparasi dan prodil penetrasi in vitronya diselidiki.
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1, jumlah kumulatif azasetron yang diserap secara
signifikan lebih tinggi dicapai ketika konsentrasi IPM meningkat menjadi 5%. Tetapi
peningkatan konsentrasi IPM menjadi 10% tidak mengarah pada peningkatan lebih lanjut
jumlah kumulatif azasetron seperti yang diharapkan. masing-masing untuk 0%, 3%, 5%, dan
10% memiliki fluks 5,57 ± 0,63, 12,62 ± 2,33, 17,68 ± 0,99, dan 17,53 ± 0,44: g h −1 cm−2.
Dengan demikian, 5% dipilih sebagai konsentrasi akhir IPM karena tidak ada perbedaan yang
signifikan antara IPM 10% dan 5%.
Atas dasar percobaan yang disebutkan di atas, didapatkan jumlah kumulatif 430,54 ±
4,88 µg cm−2 dan fluks 17,68 ± 0,99 µg h−1 cm−2 selama 24 jam dari formulasi optimal patch
azasetron: azasetron 5%, IPM 5%, dan DURO-TAKR 87-9301 sebagai PSA.
Karena patch granisetron yang tersedia secara komersial dapat secara terus-menerus
mengirimkan bahan aktif ke dalam sirkulasi sistemik hingga 7 hari, patch azasetron juga
didesain serupa dalam penelitian ini. Kulit kelinci digunakan sebagai penghalang sebab
permeabilitasnya yang mudah. Sebagai penghalang alami yang mirip dengan kulit manusia,
kulit babi banyak digunakan dalam evaluasi in vitro dan in vivo untuk TDDS. Profil permeasi
kumulatif melalui kulit babi dari formulasi optimum diselidiki selama seminggu untuk
memberikan data in vitro yang akan dibentuk hubungan korelasi dengan data permeasi obat
in vivo. Kondisi eksperimental sama dengan yang digunakan dalam percobaan permeasi 24
jam, kecuali penambahan natrium azida (0,1%, b/v) ke kompartemen reseptor untuk
mencegah kulit dari pembusukan. Q168 melalui kulit babi adalah 483,34 ± 27,93 µg cm−2.
Pharmacokinetics Study
Untuk mengurangi risiko dan biaya dari studi manusia, maka digunakan hewan dalam studi
bioavailabilitas TDDS. Walaupun dimungkinkan tidak tepat memprediksi permeasi kulit
manusia, saat ini banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kulit babi tidak hanya mirip
dengan kulit manusia, tetapi juga kurang bervariasi daripada jenis kulit lainnya. Karena itu,
kulit babi bisa menjadi alternatif dari kulit manusia. Profil yang diperoleh dari konsentrasi
rata-rata azasetron dalam plasma vs waktu setelah i.v. injeksi atau aplikasi secara transdermal
ditunjukkan pada Gambar 5.
Parameter farmakokinetik setelah administrasi i.v. azasetron pada babi tetap ditentukan oleh
peneliti sebab tidak ada literatur yang tersedia. Data ini digunakan sebagai fungsi bobot untuk
mendapatkan profil absorbsi dari patch azasetron secara in vivo. Hasilnya diberikan dalam
Tabel 2.
Setelah injeksi i.v. azasetron 0,5 mg kg-1 melalui vena abdomen, konsentrasi plasma rata-rata
turun menjadi minimum pada jam ke-36. Sedangkan melalui rute pemberian transdermal,
Cmax azasentron 44,88 ± 7,16 ng mL− 1
dicapai pada Tmax 66,00 ± 22,98 jam dimana
konsentrasi obat dalam plasma masih dapat dideteksi pada jam ke-216. Selanjutnya, MRT
azasetron diperpanjang menjadi 81,87 ± 6,20 jam, 23 kali lebih tinggi dari pada injeksi
azasetron. Hal ini diyakini akibat penambahan obat ke dalam sirkulasi sistemik secara terus
menerus setelah pelepasan obat yang konstan dan terkontrol dari patch transdermal. Dengan
demikian, ditunjukkan bahwa patches azasetron lebih efisien dalam hal mengelola CINV
yang tertunda.
Setelah menghitung dosis normalisasi, F dari patch azasetron transdermal adalah
60,8%. Nilai ini menunjukkan bahwa rute transdermal adalah cara yang efisien untuk
azasetron untuk diserap ke dalam sirkulasi sistemik.
Hubungan IVIVC yang sangat baik ini menunjukkan bahwa percobaan in vitro dapat
digunakan untuk mengoptimasi formulasi dalam penelitian lebih lanjut untuk
mengembangkan produk patch akhir yang optimal.
Namun demikian, proses pembentukan IVIVC oleh dekonvolusi termasuk rumit, yang
mengharuskan diperolehnya profil penetrasi in vitro dan profil konsentrasi plasma in vivo dari
formulasi dengan tingkat pelepasan yang berbeda untuk dievaluasi prediktabilitas internal dan
eksternalnya.
Bukti lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi dan mereproduksi IVIVC dari
patches transdermal azasetron, dan dengan demikian, formulasi yang bekerja untuk
menyembuhkan CINV yang tertunda akan berhasil dikembangkan.