Geopolitik

"The Charter … will be expanded and improved as time goes on. No one claims that it is now a final or a perfect instrument. It has not been poured into a fixed mold. Changing world conditions will require readjustments-but they will be readjustments of peace and not of war." (President Harry S. Truman) Is there a connection between the German right-wing tradition (Nazi ideology) and politics of prevarication regarding the purposes and principles of the UN Charter?

Mackinder merumuskan ide serta langkah kebijakan bagi pemerintahan negara-negara Barat terutama Inggris Raya, bahwa pemimpin harus menyadari hubungan antara realita geografis dengan kekuasaan. Dengan adanya pemahaman realita tersebut, Mackinder melihat bahwa dalam perebutan kekuasaan antar negara dilatar belakangi oleh geografis. Persaingan perebutan kekuasaan atas kekuatan geografi tersebut didominasi oleh negara-negara perairan/kepulauan dengan negara-negara semenanjung atau daratan, misalnya, antara Inggris yang terkenal dengan penguasaan wilayah laut yang kuat dengan kekuatan negara benua Eropa lainnya yang berupa daratan luas. Dari konflik-konflik tersebut, Mackinder melihat bahwa apapun bentuk negara tersebut, baik berupa kontinental maupun kepulauan, tetap memerlukan potensi kekuatan darat terutama yang mempunyai kekayaan alam. Dalam konteks geopolitik, suatu negara harus mempunyai kekuatan letak geografis daratan yang bagus, lokasi, iklim, dan mempunyai sumber daya alam yang melimpah dapat menentukan keadaan politiknya. Mackinder juga menyatakan bahwa kekuatan militer suatu negara sangat bergantung pada penguasaan tanah yang subur dan banyak terdapat sumber daya alam serta mempunyai letak yang sangat strategis yang dapat memudahkan akses dan mobilitas ke area-area yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah.

Geopolitik merupakan pemahaman tentang keterkaitan antara bumi dan juga politik dimana membahas pula tentang hal-hal yang ada di bumi seperti ilmu sosial dan sejarah serta hubungannya dengan politik atau pembentukan kekuasaan suatu negara. Beberapa pendapat ahli tentang geopolitik dan juga teori-teorinya. Negara Indonesia mengacu pada geopolitik yang berhubungan erat dengan wawasan nusantara. Wawasan Nusantara sendiri memiliki pengertian hal-hal yang menyangkut pandangan tentang segala sisi kehidupan suatu negara yang ada di nusantara atau di negara yang berada di antara dua benua dan dua samudera yaitu, Indonesia. Wawasan nusantara memiliki fungsi-fungsi, unsur-unsur, dan juga factor-faktor yang mempengaruhi Wawasan Nusantara yang bermanfaat bagi Bangsa Indonesia. Dijelaskan pula tentang bagaimana contoh-contoh Wawasan Nusantara di Indonesia serta implementasinya di kehidupan masyarakat.


Kata Kunci – Geopolitik, politik, Indonesia, wawasan, nusantara

Politik kelautan adalah sebuah judul mata kuliah yang penulis ambil pada semester ini, dan mata kuliah ini cukup menarik perhatian penulis mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang 2/3 wilayahnya adalah laut dan hal tersebut menjadikan Indonesia primadona dunia yang menarik negara-negara besar untuk dapat menguasainya.

Die Diskrepanz zwischen den lautstarken pro-ukrainischen Äußerungen Berlins auf der einen Seite und den nur zögerlichen Entscheidungen über militärische Hilfe für Kyjiw sowie Sanktionen gegen Moskau auf der anderen Seite irritiert nach wie vor Deutschlands Verbündete in West und Ost. Für einen vollständigen Neustart der Berliner Außenpolitik braucht Deutschland mehr als ein paar politische Reden und Talkshow-Diskussionen. Eine tiefere Untersuchung und breitere Debatte über das gesamte Spektrum der vergangenen Missgeschicke sollte dazu beitragen, endlich aus dem geopolitischen Wolkenkuckucksheim, in dem viele Deutsche immer noch leben, auszuziehen.

Die euro­päi­schen Bestre­bun­gen der Ukraine, Geor­gi­ens und Moldaus wurden von der EU-Kom­mis­sion und dem Rat bereits öffent­lich und wie­der­holt aner­kannt. Darüber hinaus hat das Euro­päi­sche Par­la­ment die Exe­ku­tiv­or­gane der EU mehr­fach auf­ge­for­dert, den drei post­so­wje­ti­schen Ländern endlich eine klare Bei­tritts­per­spek­tive zu bieten. Im März 2022 wurde die Ukraine vom Euro­päi­schen Rat gar als Teil „unserer euro­päi­schen Familie“ bezeich­net – was auch immer das heißen mag. Keine dieser offi­zi­el­len, aber fol­gen­lo­sen Erklä­run­gen haben der Ukraine, Geor­gien und Moldau bisher den Weg zum Bei­tritt geebnet.

BANDUNG 2015 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Alaah SWT yang telah memberikan Rahmat, Hidayah, serta Pertolongan-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Dampak Eksploitasi Pasir Oleh Singapura Terhadap Lingkungan, Wilayah dan Batas Maritim Indonesia ".

2018 Raum: Topographie und Topologie des Films – Geopolitik des Kinos | mit Matthias Christen | Hrsg. Bernhard Groß/Thomas Morsch | Handbuch Filmtheorie | Springer Wiesbaden

Der Raum ist ein konstitutives Element filmischer Darstellungs- und Wahrnehmungsformen. Als solches unterliegt er in der Filmtheorie und -ästhetik einer langen Reihe zunehmend feinerer kategorialer und funktionaler Ausdifferenzierungen innerfilmischer Bezüge. Über das Begriffspaar Topografie und Topologie öffnet sich das Nachdenken über den Film zugleich auf dessen außer-, vor- und nachfilmische Verortungen. Das Konzept der Geopolitik markiert schließlich mit seinen Bezügen zu außerfilmischen sozialen und politischen Lebenswelten einen raumwissenschaftlichen Ansatz, unter dem sich seit den 1990er-Jahren auch andere Disziplinen mit dem Film weitgehend unabhängig von den einschlägigen fimlwissenschaftlichen und -theoretischen Diskurstraditionen beschäftigen.

Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai sesuai dengan misi Islam sebagai agama rahmatan li al-'ālamīn. Ada lima teori masuknya Islam ke Nusantara, terutama jika dilihat dari aspek tempat asal pembawanya, yaitu teori Arab, teori Cina, teori Persia, teori India, dan teori Turki. Adapun strategi penyebaran Islam di Nusantara dilakukan melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, pendidikan, dan islamisasi kultural. Jika kita menilik sistem penyebaran dengan dakwah, kebudayaan Indonesia mempunyai peran penting sebagai alat dakwah untuk memperkenalkan Islam kepada komunitas masyarakat nusantara dalam konteks sosial dan kebudayaan yang tidak bisa lepas keterkaitannya dengna agama. Berikutnya, dari sisi sendi-sendi kebudayaan mengakibatkan adanya kontribusi kepada efektivitas penyampaian pesan nilai-nilai keislaman. Akhirnya, kemunculan istilah konsep Islam Nusantara hadir sebagai bentuk implementasi kulturisasi nilai-nilai agama yang mencakup hukum agama (fiqh), kepercayaan (tauhid), serta etika (akhlak). Dalam konsep Islam Nusantara pula, ada delapan pendekatan yang digunakan dimana kesemuanya memposisikan islam yang memengaruhi budaya Indonesia dan keberhasilannya dalam berdialog dengan budaya Indonesia. Kata kunci-Islam, budaya, nusantara, islam nusantara. I. PENDAHULUAN Islam sebagai agama rahmatan li al-'ālamīn diterima di masyarakat karena ajaran yang dibawa mudah dimengerti yakni tentang aqidah, syariah, dan akhlak (Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Nusantara hal.4). Di dalamnya tidak terdapat perbedaan antara suku, ras, dan negara. Semuanya satu dalam naungan Islam. Ajaran ini tersebar melalui perdagangan, pendidikan, dan budaya bukan dengan menjajah. Hal ini yang membedakan dengan ajaran lain sehingga membutuhkan waktu lama untuk diterima oleh masyarakat. Sebagai agama, pesan-pesan yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad memerlukan proses transmisi agar bisa sampai kepada penerima pesan. Sehingga diperlukan berbagai pendekatan untuk dapat menemukan hakikat dari dakwah itu sendiri. Dengan proses dalam penegakkan tauhid, menumbuhkan persamaan, persaudaraan, kesejahteraan, keadilan dan menciptakan tatanan masyarakat yang menyelamatkan umat manusia. Tentu, tujuan yang ingin dicapai agar dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki dan bukan kebahagiaan semu yang bersifat temporer dan fatamorgana. (Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), hlm. 3). Jurnal ini pertama kali di-submit pada tanggal 29 Juli 2019. Jurnal ini akan masuk dalam rubrik khusus website: gooroe.com dan juga kanal artikel: medium.com. Jurnal ini dissuport oleh tim Gooroe Ex Creaturae (Guru from the creation) yang berusaha memberikan edukasi, insight, dan juga memberikan konten-konten kreatif untuk khalayak umum. Namun perlu ditinjau untuk diketahui bersama, kelompok-kelompok dalam agama islam memiliki beberapa klasifikasi dalam pandangan hadirnya Islam. Kelompok pertama berambisi menyeragamkan seluruh budaya yang ada di dunia menjadi satu, sebagaimana yang dipraktekkan Nabi Muhammad. Budaya yang berbeda dianggap bukan sebagai bagian dari Islam. Kelompok ini disebut kelompok fundamentalis (Kasdi 2000, 20). Sementara kelompok kedua menginginkan Islam dihadirkan sebagai nilai yang bisa memengaruhi seluruh budaya yang ada. Islam terletak pada nilai, bukan bentuk fisik dari budaya itu. Kelompok ini disebut kelompok substantif. Ada satu lagi kelompok yang menengahi keduanya, yang menyatakan, bahwa ada dari sisi Islam yang bersifat substantif, dan ada pula yang literal. Kesenian kebudayaan yang dimanfaatkan sebagai instrumen dapat menyalurkan konten dakwah melalui kreasi yang ditunjukkan oleh para pendakwah. Melalui Kesenian dan akulturasi kebudayaan tersebut, totalitas dakwah dapat eksis di kalangan komunitas Nusantara maupun mayarakat pada umumnya. Kebudayaan bisa tergolong sebagai media dalam berdakwah karena selalu bersentuhan dengan komunikasi pesan-pesan yang berkembang dalam pergaulan tradisional yang dapat menarik perhatian orang banyak sehingga menjadi sistem kebudayaan tersendiri. (A. L. Kroeber dan C. Kluckhohn, Culture, a Critical review of Concepts and Definitions (Cambridge: Peabody Museum of American Archeology, 1952)). Peranan antara kebudayaan dan akulturasi islam inilah yang selanjutnya memunculkan konsep Islam Nusantara. Ekspresi Islam Nusantara dihadirkan terkait dengan kenyataan bahwa, berkat dinamika tersebut, budaya nusantara mengembangkan ciri-ciri yang khas, yakni unsur-unsur yang menekankan pada kedamaian, harmoni dan silaturahim (kerukunan dan welas asih), yang sebenarnya hanya merupakan manifestasi dari inti ajaran Islam itu sendiri. Memang, kenyataan ini disumbang baik oleh budaya khas nusantara pra-Islam maupun oleh kenyataan bahwa Islam yang dihayati oleh mayoritas Muslim di negeri ini didasarkan pada wasatiyah (modernisasi), tawazun (keseimbangan) dan tasamuh (toleransi) (Mizan, 2016:10). Dalam proses ini pembaruan Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. al-Qur'an adalah harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam salat, sebab hal ini telah merupakan norma. Sedang terjemahan al-Qur'an hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, bukan menggantikan al-Qur'an sendiri (Wahid, 2016:35).

Timur Tengah merupakan daerah yang mencakup dua puluh satu negara dengan keberagaman yang tinggi, terletak meliputi Afrika Utara hingga tepi Asia Tengah dan Laut Merah. Dinamika yang terjadi di Timur Tengah menjadi bagian menarik dalam dunia geopolitik dan geostrategi. Meskipun secara teritori dan budaya Timur Tengah memiliki banyak keseragaman, namun perdamaian tidak serta-merta dapat dicapai. Permasalahan politik dimana banyak ditemukan kepemimpinan otoriter, ekonomi dan demokrasi internal secara signifikan masih mewarnai dinamika Timur Tengah. Akibatnya wilayah ini rawan akan ketegangan dan konflik. Sedangkan dari faktor eksternal, negaranegara Timur Tengah, sedari dulu telah menjadi incaran dari berbagai negara berpengaruh di dunia karena lokasinya yang menjembatani dunia 'barat dan timur', serta kekayaan sumber daya minyak dan gas menjadikan persaingan geopolitic dan geostrategi penguasaan Timur Tengah menjadi cukup ketat. Dan Kawasan Timur Tengah telah sejak lama memiliki nilai strategis kawasan semenjak masa kolonialisme dahulu. Hal ini terbukti dengan adanya toeri penguasaan lautan oleh Alfred Thayer Mahan pada tahun 1902. Mahan melihat nilai strategis kawasan di Teluk Persia. Dalam tulisannya, The Persian Gulf and International Relations. 1 Mahan menyarakan Inggris untuk memperkuat armada lautnya, demi untuk mengamankan jalur perdagangan dan komunikasi Inggris, yang saat itu menjajah India dan juga Mesir. Apa yang diungkapkan oleh Mahan, bukan berarti tanpa alasan, laut dipilih, dikarenakan untuk menghadapi ancaman ekpansi Rusia, serta pengembangan rel kereta api Jerman, Berlin-Baghdad.

Übersicht 1.) Einführung 2.) Vergleich der Lebensläufe, Werke und Universitäts-Veranstaltungen 3.) Haushofer & Ratzel bei Wikipedia 4.) Ratzel in der Zeitschrift für Geopolitik 5.) Ratzels Einfluss auf Haushofers Denken 6.) "Friedrich Ratzel als raum-und volkspolitischer Gestalter" (Haushofer, 1940

Salah satu negara yang ikut serta dalam Proyek BRI adalah Malaysia. Namun demikian, perlu diketahui terdapat pendekatan geoekonomi yang dilakukan oleh Tiongkok untuk menarik suatu negara dalam kerja sama BRI. Penekanan konsep win-win solutions yang ditawarkan oleh Tiongkok dengan bentuk lima kerja sama ekonomi berupa ruang lingkup integrasi, investasi, infrastruktur, finansial dan pertukaran sosial-budaya.  Sehingga menjadi nilai lebih yang dapat mempermudah langkah Tiongkok berupa implementasi kebijakan BRI tersebut.

Angela Merkel war bei ihrem Amtsantritt 2005 wie kaum eine andere westeuropäische Politikerin auf die Herausforderungen an der EU-Ostgrenze vorbereitet. Allerdings hatte Berlin mit seiner Einladung Putins in den Bundestag 2001, der Initiierung der Nord-Stream-Projekte 2005 und seiner Behandlung Georgiens 2008 früh falsche Signale an die neoimperiale Führung in Moskau gesendet. Folgenreiche Fehlentscheidungen vor und nach Merkels Machtantritt brachten die deutsche Ostpolitik auf einen falschen Pfad. 2014 kam es lediglich zu einer Teilkorrektur des von Gerhard Schröder gesetzten Russlandkurses. Heute dürften sich viele Politiker, Diplomaten und Experten in Moskau fragen, was seit der Krim-Annexion in die Deutschen gefahren ist: Waren russische Sonderrechte im postsowjetischen Raum nicht ein von Berlin akzeptiertes ungeschriebenes Gesetz osteuropäischer Geopolitik nach dem Kalten Krieg? 

________ *Per questa versione del paper immessa in questa fondativa giornata nel Web, mi è d'obbligo fare tre ringraziamenti: alla Biblioteca Oriani di Ravenna, centro di eccellenza italiano ed internazionale della cultura storica, per la pazienza del suo personale alle mie insistenti richieste di documenti, a Giovanni Giorgini, il cui magistero mi ricorda che il liberalismo è una forma di vita culturalmente non statica e che possiede al suo interno forti capacità di emendarsi (anche se non è proprio detto che il sottoscritto e Giorgini concordino sulle forme in cui questo possa avvenire) ed infine, a Ugo Uguzzoni per la sua disponibilità riguardo ad una mia richiesta di precisazioni intorno ad una parola, proveniente da un'altra disciplina, che ho introdotto in questa nuova versione del testo e che penso possieda un promettente campo semantico nell'ambito della filosofia politica; una richiesta che ad altri sarebbe risultata indubbiamente bizzarra ma che Uguzzoni, per le doti empatiche derivategli dalla sua professione ma, soprattutto, per la sua innata gentilezza, ha esaudito prontamente e con dovizia di riferimenti. In questo triste inverno per la democrazia in Italia ed in Europa, questa apparentemente piccola cortesia è stata personalmente un conforto non da poco.

Personaggio controverso al centro di numerosi tentativi di interpretazione, la figura di Karl Haushofer è paradigmatica dello sviluppo di una disciplina, la geopolitica, perennemente incompiuta. Incapace di rispondere alle eccessive aspettative che le sono rivolte, essa si dibatte insicura tra discontinuità con il passato, sguardo al presente e impossibili previsioni del futuro.
Con il pretesto di trattare aspetti poco noti del magistero geopolitico di Karl Haushofer, questo articolo intende essere un omaggio a una disciplina che in tanti praticano ma che ancora attende la propria consacrazione.

Karl Haushofer and IsMEO. The Influence of German Geopolitics on Fascist Orientalism.

The collaboration between the German geopolitician Karl Haushofer (1869–1946) and the Italian Institute for the Middle and Far East (IsMEO), from the mid–1930s to the early 1940s, has received scant attention in the extant historiography. So far, scholars have mainly focused on the two conferences that Haushofer held in 1937 and 1941 at IsMEO, claiming them as evidence of a common Eurasianist vision shared by both Haushofer and Giuseppe Tucci (1894–1984). By reconstructing the development of Haushofer’s relations with IsMEO from 1934 onwards, this essay interprets the collaboration in a different light by highlighting the role of the National Socialist leadership in promoting Haushofer’s cultural–political activities abroad, the impact of geopolitical theories on IsMEO’s view of Japanese foreign policy, and the existence of a German–Italian Japanological network.

カール・ハウスホーファーとIsMEO ファシスト 的オリエンタリズムにおけるドイツ地政学の影響ニコラ・バッソーニ

1930年代半ばから1940年代初頭にかけて、ドイツの地政学者カール・ハウスホーファー（1869–1946）とイタリアの中亜極東協会（IsMEO）との間に存在した協力関係は、既存の歴史学ではほとんど注目されてこなかった。先行研究は主に、ハウスホーファーがIsMEOで1937年と1941年に開催した会議に注目し、これをもってハウスホーファーとジュゼッペ・トゥッチ（1894–1984）が共通のユーラシア主義的ビジョンを持っていたことの根拠としてきた。本論では、ハウスホーファーが海外において文化的・政治的活動を推進するうえで国家社会主義者が果たした指導的役割、日本の外交政策に関するIsMEOの見方に地政学的理論がおよぼした影響、そして独伊の日本学ネットワークの存在に焦点をあてる。それにより、1934年以降にみられたハウスホーファーとIsMEOの関係の発展を再構築し、両者の協力関係に従来とは異なる解釈を提示する。

The history of Italian geopolitics started in mid-1930s, as the young geographer Ernesto Massi adopted thesis and methods of German geopolitics. In 1939 Massi and Giorgio Roletto published Geopolitica, the geopolitical journal of fascist Italy. In order to understand the Italian reception of German geopolitics, as well as the relationship between fascist and National Socialist geopolitics, historians generally focus on this period. However, Italian geographers (such as Roberto Almagià) began dealing with German geopolitics since early-1920s, and hence they played a role of the utmost importance in preparing the ground for the following reception of German geopolitics in the Italian intellectual circle. The present study analyses this neglected phase of relations between Italian political geography and German geopolitics, by reconstructing the first reactions of Italian geographical journals to the «Zeitschrift für Geopolitik» and Karl Haushofer’s works from both theoretical and political sides.

Resumen: El presente trabajo constituye una contribución a la biografía intelectual de Franz Rosenzweig. Frente a la habitual división de su trayectoria espiritual, se establece un vínculo entre Hegel y el Estado (1914) y La estrella de la redención (1921) por medio de sus Escritos sobre la guerra (1917). Con este fin, se analiza la interpretación rosenzweiguiana de la Primera Guerra Mundial, en clave geopolítica, como el comienzo de un proceso de globalización del mundo. A partir de la crítica de Rosenzweig a la Realpolitik bismarckiana, se expone su concepción del mencionado proceso como camino cristiano hacia la redención y se la compara con la doctrina de los grandes espacios de Carl Schmitt. Por último, se presenta la solución de Rosenzweig al gnosticismo de Marción, a saber, su concepción relacional de judaísmo y cristianismo como agentes de la redención.

Abstract: This paper constitutes a contribution to Franz Rosenzweig’s intellectual biography. It aims to establish a connection between Hegel and the State (1914) and The Star of Redemption (1921) by means of Rosenzweig’s Writings on War (1917) and in contrast to the usual division of Rosenzweig’s intellectual development into two irreconcilable blocks. To this end, Rosenzweig’s geopolitical interpretation of the First World War as the beginning of a process of world globalization is presented. Taking as its starting point Rosenzweig’s critique of Bismarck’s Realpolitik, this process is expounded as the Christian path towards redemption and is compared to Carl Schmitt’s Großraum theory. Lastly, Rosenzweig’s solution to Marcion’s Gnosticism, namely his relational conception of Judaism and Christianity as mutually dependent redemptive agents, is briefly described.

Kerangka besar penelitian ini mengkaji “kebenaran” strategi pembangunan ekonomi sebagai geostrategi dalam disertasi Sarundajang berjudul Geostrategi Provinsi Sulawesi Utara sebagai Pintu Gerbang Indonesia di Kawasan Asia Pasifik agar tidak terjadi kekeliruan
penerapan dan/atau perujukan ilmiah di kemudian hari. Pengkajian menggunakan metode
kualitatif interpretif phenomenologi deduktif dengan sasaran antara epistemologi geostrategi.
Sebagai bahan kajian adalah pendapat para ahli geostrategi yang terekam dalam dokumen ilmiah dan disertasi Sarundajang. Untuk mengurai konsepsi pemikiran Sarundajang
digunakan pendekatan kompleks wilayah. Berdasarkan hasil pengujian bahwa strategi pembangunan ekonomi yang diwacanakan Sarundajang di luar perifer geostrategi, meskipun
ditemukan beberapa bukti yang menunjukkan keberlakuan geostrategi. Makalah ini merupakan publikasi bagian ketiga hasil penelitian—bagian pertama: epistemologi geostrategi; bagian kedua: uji falsifikasi strategi pembangunan ekonomi sebagai geostrategi—di mana disertasi Sarundajang direinterpretasi ke kajian geoekonomi dengan analisis interpretif berdasarkan sepuluh penciri geoekonomi dari Klaus Solberg Søilen.

The article inquires into the conditions of effective leadership of states in international politics, and develops a framework for the study of so-called (new) regional powers such as Brazil, China, India, and South Africa in processes of regional institution-building. Various theoretical strands will be discussed as to the requirements of effective leadership in international affairs. Most importantly, the relationship between power, leadership and hegemony will be outlined. It is argued that the connection between leadership and hegemony is one of co-constitution. Leadership is necessarily based on hegemony, while hegemony can only be sustained through leadership. Furthermore, it will be shown that both leadership and hegemony are essentially political in character, whereas power has no such insinuation but has to be translated into leadership and hegemony through discursive means. Finally, the analysis asks for the preconditions of leadership in East Asia, using China's and J...

Il general-maggiore bavarese Karl Haushofer (1869-1946) è stato uno dei pensatori geopolitici più controversi della prima metà del Novecento. Riprendendo le idee di Ratzel e capovolgendo quelle di Mackinder, ha fatto della geopolitica un'“arma intellettuale” per restituire alla Germania il rango di grande potenza dopo la catastrofe della Prima guerra mondiale. Si mise al servizio del Terzo Reich promuovendo una politica delle alleanze che ponesse fine al predominio delle potenze marittime.

Il general-maggiore bavarese Karl Haushofer (1869-1946) è stato uno dei pensatori geopolitici più controversi della prima metà del Novecento. Riprendendo le idee di Ratzel e capovolgendo quelle di Mackinder, ha fatto della Geopolitica un’“arma intellettuale” per restituire alla Germania il rango di grande potenza dopo la catastrofe della Prima guerra mondiale. Si mise al servizio del Terzo Reich promuovendo una politica delle alleanze che ponesse fine al predominio delle potenze marittime.

In ihrer 2012 erschienenen wegweisenden Studie "Warum Nationen scheitern: Die Ursprünge von Macht, Wohlstand und Armut" identi zierten Daren Acemoglu (MIT) und James A. Robinson (University of Chicago) die Beulenpest von 1346-1353 nicht nur als eine der größten Katastrophen der Menschheit. Der Schwarze Tod-wie diese Pandemie meist genannt wird-war auch ein kritischer Wendepunkt der europäischen politischen Geschichte. Während die Pest des 14. Jahrhunderts die allmähliche Abscha ung des Feudalismus in Westeuropa auslöste, führte sie in Osteuropa-nicht zuletzt in Teilen der heutigen Ukraine-zur sogenannten Zweiten Leibeigenschaft. Der Schwarze Tod hat das Europa des späten Mittelalters grundlegend verändert-mit Konsequenzen, die bis in die heutige Zeit reichen. Die Covid-Pandemie 2019 wird vermutlich weit weniger Opfer haben als die Beulenpest, an der insgesamt zwischen 70 und 200 Millionen Menschen starben. Es scheint jedoch, dass die Corona-Virus-Krise auch zu einem kritischen Wendepunkt der Weltgeschichte werden könnte, mit weitreichenden Auswirkungen sowohl auf das innere Leben vieler Staaten als auch auf die Beziehungen zwischen ihnen.

Questa lezione del paper Aesthetica Fascistica II, Gesamtkunstwerk Res Publica, presentato nell'ottobre del 2007 a Coimbra, è pienamente giustificata dalla strana combinazione delle sue insufficienze di origine e della sua analisi apparentemente profetica sull'attuale fase turbo-capitalistica, in cui le morenti democrazie si tramutano malignamente in autoritarie e criptofasciste postdemocrazie (come mostrano le ultime vicende politiche italiane col governo Monti e, come, in forma ancora più plastica e drammatica, si vede con la tragedia del popolo greco; un'azione di distruzione, quella verso il popolo greco, che se fosse compiuta manu militari da qualche dittatorello non facente parte dell'UE avrebbe immediatamente scatenata una guerra di reazione da parte delle potenze occidentali con successivo giudizio davanti ai tribunali internazionali del dittatorello stesso, mentre, siccome la perdizione del popolo greco è stata decisa per soddisfare gli interessi della Germania e del turbo-capitale finanziario, il tutto viene rubricato dai mezzi di distrazione di massa come una dolorosa vicenda, magari frutto della cecità politica della cancelliera tedesca o della burocrazia europea e non, come dovrebbe essere, se s'impiegasse un minimo di onestà intellettuale, un crimine contro l'umanità portato avanti con mezzi non militari ma economici). Analisi in realtà molto piatta e di buon senso ma che almeno umilmente accettava di essere guidata dai giganti sulle cui spalle ci si era limitati a salire. Ovvio dire che un rinnovato repubblicanesimo che voglia uscire dall'attuale stato di sterile dibattito accademico storico-filologico sulle sue origini ed indicare una via d'uscita dall'attuale stato delle cose poliarchico-postdemocratico a guida turbo-capitalistica di morte della democrazia debba almeno dimostrare eguale umiltà verso tutta la migliore tradizione filosofica e filosoficopolitica occidentale di liberazione dell'uomo. E inutile aggiungere che questo rinnovato repubblicanesimo dovrà fare ammenda anche di molte di quelle pecche rappresentate in questo paper. Ma delle quali si omette una pur minima indicazione sia perché la loro scoperta è continua e sempre in evoluzione anche per l'autore stesso e, soprattutto, perché questo continuo cercare e rettificare costituisce forse l'elemento più importante per una reale Vita Activa, in cui il perdono che ci viene concesso per le nostre azioni e le sue irreversibili ed imprevedibili conseguenze, questo paper compreso, è l'elemento più importante per poter ogni volta ricominciare, riscrivere le narrazioni e conferire così senso alla vita dello zoon politikon e della polis; una eterna riscrittura individuale e collettiva che costituisce l'orizzonte della vera azione di liberazione contro i decreti apparentemente inappellabili, ma invece sempre continuamente ridiscussi e rovesciati, di ogni potere autoritario e del destino apparentemente mortale dell'uomo ma invece sicuramente immortale attraverso l'incessante suo agire generatore dei suoi eterni simboli e narrazioni. Questa riscrittura di Aesthetica Fascistica II del febbraio 2012 è quindi dedicata all'oggi martire ma immortale popolo greco. P. 2 di 39. IV COLOQUIO "TRADIÇÃO E MODERNIDADE NO MUNDO IBEROAMERICANO"-COIMBRA 1, 2, 3 DE OUTUBRO DE 2007. MASSIMO MORIGI, GESAMTKVNSTWERK RES PVBLICA. ULTIMATO: 25/02/2012 P. 3 di 39. IV COLOQUIO "TRADIÇÃO E MODERNIDADE NO MUNDO IBEROAMERICANO"-COIMBRA 1, 2, 3 DE OUTUBRO DE 2007. MASSIMO MORIGI, GESAMTKVNSTWERK RES PVBLICA. ULTIMATO: 25/02/2012 1 Sul fallimento del progetto futurista di egemonizzare la cultura fascista e sull'errore di identificare il fascismo politico con le spinte libertarie futuriste, fondamentale C. Salaris, Artecrazia. L'avanguardia futurista negli anni del fascismo, Firenze, La Nuova Italia, 1992. P. 4 di 39. IV COLOQUIO "TRADIÇÃO E MODERNIDADE NO MUNDO IBEROAMERICANO"-COIMBRA 1, 2, 3 DE OUTUBRO DE 2007. MASSIMO MORIGI, GESAMTKVNSTWERK RES PVBLICA. ULTIMATO: 25/02/2012 P. 5 di 39. IV COLOQUIO "TRADIÇÃO E MODERNIDADE NO MUNDO IBEROAMERICANO"-COIMBRA 1, 2, 3 DE OUTUBRO DE 2007. MASSIMO MORIGI, GESAMTKVNSTWERK RES PVBLICA. ULTIMATO: 25/02/2012

Wie wird die weltpolitische Ordnung nach der Corona-Krise aussehen? Die beiden Autoren wagen eine umfassende Prognose welche geopolitischen Auswirkungen die Pandemie auf das internationale System sowie die Stellung der Ukraine darin haben wird. Für die Ukraine steht besonders viel auf dem Spiel. Die Krise birgt für das Land jedoch auch die Chance von der Peripherie ins Zentrum internationaler Entscheidungsfindung zu rücken. Im Gegensatz zu anderen Autoren sehen Klimkin und Umland keine Schwächung inter- und supranationaler Institutionen, auch wenn es zunächst zu einer Stärkung nationalstaatlicher Einrichtungen kommen wird. EU und NATO könnten sogar gestärkt aus der Krise hervorgehen.

Geopolitik merupakan permasalahan yang sangat penting pada dua abad terakhir ini. Permasalahan ini menjadi penting karena manusia yang telah berbangsa membutuhkan wilayah sebagai tempat tinggalnya yang kemudian di kenal dengan Negara. Dalam perkembangannya pengertian tidak saja diartikan sebagai intuisi yang secara minimal meliputi unsur wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berkuasa. Unsur rakyat suatu negara disamping warga negara juga meliputi bukan warga negara. Agar negara mencapai tujuan nasional aman dan sejahtera (Pembukaan UUD '45 Alinea IV) perlu pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan yang dimaksud agar warga negara Indonesia tahu tentang hak dan kewajiban, serta mampu berdiri dan tetap menjaga dirinya di tengah arus globalisasi. Seperti yang dikatakan Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 dihadapan sidang BPUPKI bahwa orang dan tempat tak dapat dipisahkan atau rakyat tak dapat dipisahkan dari bumi yang ada dibawah kakinya. Oleh karena itu, setelah membangsa orang menyatakan tempat tinggal sebagai negara. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian negara tidak hanya tempat tinggal, tetapi diartikan lebih luas lagi yang meliputi institusi, yaitu pemerintah, rakyat, kedaulatan, dan lain-lain. Karena orang dan tempat tinggalnya tak dapat dipisahkan, ruang yang menjadi hal yang menimbulkan konflik antar manusia, keluarga, masyarakat, dan bangsa hingga kini, meskipun bentuknya dapat secara fisik maupun non fisik. Untuk dapat mempertahankan ruang hidupnya, suatu bangsa harus mempunyai kesatuan cara pandang yang dikenal sebagai wawasan nasional. Para ilmuan politik dan militer menyebutnya sebagai geopolitik yang merupakan kepanjangan dari geografi politik.

Persoalan-persoalan yang melibatkan hubung kait antara perubahan iklim dan hak asasi manusia merupakan persoalan kontroversional yang seringkali dibahaskan di peringkat global. Pelbagai perkara yang dibincangkan dalam memastikan status perubahan iklim yang berlaku di sesebuah negara itu adalah 1 Dalam laporan OHCHR (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rigths) (2009),

Personaggio controverso al centro di numerosi tentativi di interpretazione, la figura di Karl Haushofer è paradigmatica dello sviluppo di una disciplina, la geopolitica, perennemente incompiuta. Incapace di rispondere alle eccessive aspettative che le sono rivolte, essa si dibatte insicura tra discontinuità con il passato, sguardo al presente e impossibili previsioni del futuro. Con il pretesto di trattare aspetti poco noti del magistero geopolitico di Karl Haushofer, questo articolo intende essere un omaggio a una disciplina che in tanti praticano ma che ancora attende la propria consacrazione.Controversial figure at the center of numerous studies, the figure of Karl Haushofer is paradigmatic of the development of a discipline, geopolitics, perpetually unfinished. Under the pretext of dealing little-known aspects of the thinking of geopolitician Karl Haushofer, this article is meant to be a tribute to a discipline practiced by many but still awaiting its consecration

Dario Fabbri limes Putin is an emerging property of Russia PaleontoLogicaMindly, like anyone else "apparent leader" and since the beginning of "instant history" (ed: compared to the evolutionary PaleontoLogicaMente):

https://youtu.be/gnhPsR0QtTk


In this Zoom conference on nation’s wars “origin” Dario Fabbri hinges on “collective” UNCONSCIOUS quantum consciousness:

https://youtu.be/V84l0pg_woI

PS: When we set off, now more than 20 years ago, with my beloved and deceased Professor Gianfranco Miglio to extend from Switzerland to Italy with a "historical" model of "ethnic" federation for "armed" freedom, CERTAIN NOT WE IMAGED THAT THIS “REAL” MODEL CAN EXTEND “consciously / quantumly” FROM ITALY TO EYROPA AND TO THE WORLD.  So we were in our turn unconsciously unaware that IT CAN STILL BE CONSCIOUSLY-EXTENDED to all the geopolitical dynamics towards a QNWO (Quantum Butterfly New Word Order).

MEDIA POST TRUTH IN A RELATIVISTIC-ETERNAL-MIND AND BEARDED HUMAN-TIME SPACE to the unconscious henchmen of Bossi and his equally reckless cronies, unscrupulously engaged in grabbing money, using our precious contributions as toilet paper to wrap their petty scam goals international financials with Berlusconi, Gaddafy, Putin, and helicopters to the Indians (as is now evident a very dangerous and "unconsciously unconscious" and narrow-minded, a game with explosives of improvised petty criminals.

For indisputable "circumstantial" historical confirmation - cf.  also Bossi's autograph at Villa Berni during the Constituent Parliament of Padania di Mantova 1996, on my copy of Walker Connor's "Etnonationalism" https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691025636/ethnonationalism.

Dario Fabbri limes Putin è una proprietà emergente della Russia PaleontoLogicaMindly, come chiunque altro "leader apparente" e fin dall'inizio della "storia istantanea" (ndr: rispetto all'evoluzionista PaleontoLogicaMente):

https://youtu.be/gnhPsR0QtTk

In questa conferenza Zoom sull'"origine" delle guerre nazionali, Dario Fabbri fa perno sulla coscienza quantistica INCONSCIA "collettiva":

https://youtu.be/V84l0pg_woI

PS: Quando siamo partiti, ormai più di 20 anni fa, con il mio amato e defunto professor Gianfranco Miglio  per estendere dalla Svizzera all'Italia con la un modello “storico” di federazione “etnica” per la libertà "armata", CERTO NON IMMAGINAVAMO CHE QUESTO  MODELLO “REALE” PUÒ ESTENDERSI “coscienteMente/QuantisticaMente” DALL’ITALIA  ALL’EYROPA ED AL MONDO. Quindi eravamo a nostra volta inconsapevolmente inconsapevoli che  TUTTORA esso PUÒ ESSERE COSCIENTE-MENTE ESTESO A tutte le dinamiche geopolitiche verso un QNWO (Quantum Butterfly New Word Order).

POST TRUTH MEDIATICO IN UNO SPAZIO TEMPO UANTISTICO RELATIVISTICA-MENTE ETERNO ED IN BARBA agli scagnozzi inconsci di Bossi ed i suoi altrettanto incoscienti compari, impegnati senza scrupoli ad arraffare soldi, usando i nostri preziosi contributi come carta igienica per avvolgervi i loro meschini obiettivi di truffe finanziarie internazionali con Berlusconi, Gheddafy, Putin, e gli elicotteri agli indiani (come ormai è evidente un pericolosissimo e "inconsciamente inconscienti" e gretti, un gioco con esplosivi di piccoli criminali improvvisati. 

Ad indiscutibile conferma storica “circostanziale” - cfr. anche l’’autografo di Bossi a Villa Berni durante il Parlamento costituente della Padania di Mantova 1996, sulla mia copia di "Etnonationalism" di Walker Connor:

'https://press.princeton.edu/books/paperback/9780691025636/ethnonationalism
.

Indonesia dengan sebagian besar wilayahnya merupakan lautan sudah selayaknya kembali pada masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang memiliki kekuatan system pertahanan maritim. Tidak hanya untuk kepentingan Negara, sumberdaya maritim yang sangat besar ini perlu dikelola dan diberdayagunakan sebagai aset ekonomi bangsa.

A short and positive review of the book. The reviewer stresses the relevance of geopolitical ideas today and the fact that the book connects history, politics and geography. Most importantly, the review was published in Austria, spreading the information about the book beyond Germany and Japan.