Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan: ISSN: 2086-4639

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 138

ISSN : 2086-4639

ISSN
Volume 10 No. 1 Maret 2020 ISSN

Jurnal
PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN
Journal of Natural Resources and
Environmental Management
Volume 10 No. 1 Maret 2020

sulee
psl-ipb
JURNAL
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 1-11. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.1-11
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Strategi dan Kebijakan dalam Pengelolaan Wisata Konservasi Orangutan


Sumatera (Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara
Strategy and policy in the management of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) conservation
tourism on the Lawang Hill in the Langkat district of North Sumatera
Susilawatia, Akhmad Fauzib, Cecep Kusmanac, Nyoto Santosod
a Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, Indonesia
b Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Indonesia
c Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Departemen Sivikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Indonesia
d Staf Pengajar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan; Program Studi Ilmu Pengelolaan
Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, Indonesia

Article Info: Abstract: This study aims to analyze the constraints and opportunities of the
Received: 18 - 05 - 2019 Bukit Lawang Orangutan Conservation Tourism (WKOB) management and
Accepted: 26 - 02 - 2020
also to formulate an alternative policy strategy in overcoming the obstacles
Keywords: of managing the WKOB. Method used in this research is involving several
AHP, Bukit Lawang, ISM, experts related to this research. The results showed the main constraints in
WKOB. the management of WKOB are the lack of integration of costs and entry fees,
Corresponding Author:
poor infrastructure to WKOB, lack of facilities, and too many entrances. Other
Susilawati: constraints are the lack of stakeholder roles, particularly the local
LEMHANNAS RI, Jl. Medan government of Langkat Regency, the lack of strict enforcement of regulations
Merdeka Selatan No. 10. Jakarta on environment and cleanliness, the lack of information and promotion of
10110
Email: sisiwitt@yahoo.com
tourism, and the low mindset and public awareness of the importance of
ecotourism and conservation. The threat of environmental damage to Gunung
Leuser National Park, especially river rock mining (the existence of
excavation C) in Bahorok river. An alternative strategy to overcome obstacles
in managing WKOB is the need for integrated and professional sustainable
tourism management.
How to cite (CSE Style 8th Edition):
Susilawati, Fauzi A, Kusmana C, Santoso N. 2020. Strategi dan kebijakan dalam pengelolaan wisata konservasi Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) di Bukit Lawang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. JPSL 10(1): 1-11. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.1-
11.

PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan kegiatan fenomena ritual inversi. Ritual inversi adalah kecenderungan seseorang
untuk mengunjungi tempat baru yang berbeda dari lingkungan atau tempat biasa mereka tinggal dalam waktu
sementara, bertujuan untuk memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru, atau sekedar melepaskan
kepenatan. Oleh karena itu, wisatawan akan cenderung mencari tempat-tempat yang indah, unik, serta berbeda
dari tempat biasanya mereka hidup untuk sementara (Hermawan, 2017). World Tourism Organization (WTO)
mendefenisikan wisata adalah orang yang melakukan perjalanan untuk kesenangan dalam periode waktu
tertentu. Ekowisata adalah kegiatan wisata yang berbasis ekologi. Perkembangan ekowisata disebabkan oleh
semakin langkanya tatanan alam yang memiliki keaslian dan kekhasan, semakin meningkatnya isu lingkungan
hidup, semakin meningkatnya kebijakan negara-negara untuk melindungi potensi alam dan budayanya,
1
Susilawati, Fauzi A, Kusmana C, Santoso N

semakin meningkatnya sarana dan prasarana perhubungan baik antar kota, wilayah ataupun antar negara dan
semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan dan pelestarian alam (Alikodra dan Hadi,
2002).
Orangutan telah menjadi salah satu obyek wisata yang menarik. Hal ini karena orangutan (Pongo spp)
merupakan salah satu kera besar yang masih bertahan di wilayah Asia Tenggara. Kera besar lainnya hidup di
Afrika yaitu gorilla (Gorilla gorrila), simpanse (Pan Troglodytes) dan bonobo (Pan Paniscus). Orangutan
memiliki ketergantungan dengan kondisi hutan yang masih asri dan ekologi alam yang terjaga, serta
merupakan primata frugivorus (hewan yang memakan buah-buahan). Orangutan memerlukan buah-buahan
sebagai sumber makanan utamanya dan bahan makanan ini sesungguhnya sangat mudah diperoleh di hutan
(Prayogo et al., 2014).
Kabupaten Langkat merupakan salah satu tujuan daerah wisata Provinsi Sumatera Utara. Selama periode
tahun 2014-2016 jumlah wisatawan yang datang ke Kabupaten Langkat mengalami penurunan yang cukup
signifikan baik yang berasal dari wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Langkat mencatat bahwa jumlah wisatawan domestik tahun 2014 mencapai 40 433 orang menurun
menjadi 13 715 Tahun 2016, sedangkan wisatawan mancanegara dari 8 567 orang Tahun 2014 turun menjadi
4 855 orang tahun 2016. Jumlah wisatawan yang datang ke Kabupaten Langkat mengalami penurunan dari
tahun 2014 sebesar 62% sampai tahun 2016 (BPSKL, 2017a). Wisata konservasi orangutan di Bukit Lawang
merupakan konservasi nasional yang berada di kawasan hutan lindung Taman Nasional Gunung Leuseur
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dan telah menjadi salah satu obyek alam yang sangat menarik. Konservasi
ini memiliki karakteristik khusus yaitu dihuni oleh Orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Penurunan kunjungan wisata konserrvasi Orangutan di Bukit Lawang (WKOB) diakibatkan oleh
beberrapa hal diantaranya: terjadinya pengaturan keuangan antarapusat dan daerah, sentralisasi menjadi
desentralisasi dimana setiap daerah berusaha untuk mencari sumber pendapatan daerah dari wilayahnya
(keariftan lokal) sehingga obyek wisata yang memiliki warisan yang tinggi tidak mendapat perhatian yang
optimal dari Pemerintah Daerah setempat. Akibatnya lingkungan penyangga tereksploitasi sebagai contoh
konversi lahan untuk perkebunan sehingga mengancam keberadaan habitat yang ada di dalamnya, penebangan
kayu illegal yang berdampak banjir bandang, penambangan batu kali (galian C) di Sungai Bahorok dan
kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan kelestarian sungai yang rendah. WKOB ini adalah wisata
minat khusus yang banyak diminati oleh wisatawan mancanegara yang berasal dari seluruh dunia, khususnya
Eropa.
Menurut kajian dari Kementerian Pariwisata, menurunnya kunjungan wisman dari pasar Eropa antara lain
Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda pada November 2014 sampai tahun 2015, antara lain karena dampak
dari melemahnya mata uang Euro terhadap dolar AS, sehingga banyak yang mengalihkan liburannya ke negara
terdekat. Selain itu, karena sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Langkat, khususnya
Wisata Konservasi Orangutan Bukit Lawang datang melalui Malaysia dan Singapura. Sementara pada saat
bersamaan di Malaysia juga terjadi penurunan kunjungan wisman, yang salah satu penyebabya akibat pengaruh
cuaca tingginya curah hujan yang menyebabkan banjir bandang dan tanah longsor di beberapa negara bagian
Malaysia (Kompas, 2015).
Sismudjito dan Daulay (2018) telah melakukan penelitian pengembangan masyarakat berbasis sektor
pariwisata untuk pertumbuhan ekonomi Bukit Lawang Kabupaten Langkat menggunakan metode penelitian
partisipatif. Hasil dari proses dedikasi, masyarakat di Bukit lawang memanfaatkan sumber daya alam sebagai
kegiatan ekonomi. Sumber daya alam tersebut yakni sungai Bahorok di Bukit Lawang, Kabupaten Langkat,
yang kini juga dikenal sebagai lokasi rekreasi bagi wisatawan. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui terjadi
peningkatan ekonomi masyarakat utamanya dari pengelolaan atraksi Sismudjito dan Daulay (2018). Namun
demikian penelitian tersebut belum menunjukkan secara jelas nilai ekonomi yang didapatkan dari wisata
konservasi orangutan di Bukit Lawang tersebut.
Dalam pengembangan strategi dan kebijakan ekowisata maka sangat perlu juga diketahui nilai ekonomi
wisata konservasi orangutan di wilayah Bahorok tersebut melalui valuasi ekonomi. Terkait penilaian ekonomi

2
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 1-12

Krause et al. (2017) telah melakukan penilaian jasa ekonomi ekosistem berdasarkan persepsi komunitas
pedesaan di Ethiopia yang menyimpulkan bahwa terdapat perubahan signifikan dalam penggunaan lahan dari
waktu ke waktu karena sumber mata pencaharian utama dalam komunitas kemitraan. Penilitian Krieger (2001)
telah menilai ekonomi ekosistem hutan dari ketersediaan air (watersheet service), stabilisasi tanah dan kontrol
erosi, kualitas udara, pengaturan iklim dan carbon, keanekaragaman hayati, rekreasi dan parawisata/turisme,
produk komersial hutan non kayu, dan nilai budaya. Pendekatan yang digunakan dalam mengukur nilai
tersebut adalah metode biaya perjalanan (travel cost method) dengan pendekatan harga hedonic (hedonic
approach). Pada penelitian ini valuasi eknonomi didekati melalui Cost Benefit Analysis yang merupakan
sebuah pendekatan dengan proses yang sistematis dan analitis dengan membandingkan manfaat dan biaya
dalam mengevaluasi keinginan suatu proyek atau program yang bersifat sosial. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala kunci dalam pengelolaan wisata konservasi orangutan di Bukit
Lawang serta mengetahui strategi alternatif kebijakan yang tepat untuk mengatasi kendala pengelolaan
kawasan wisata konservasi orangutan di Bukit Lawang.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah V Bahorok Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara,
tepatnya Wisata Konservasi Bukit Lawang. Lokasi wisata merupakan pusat konservasi khusus Orangutan
Sumatera Langka dan sudah banyak dikunjungi wisatawan mancanegara sejak dibukanya wisata alam di Bukit
Lawang, Langkat pada tahun 1985 hingga saat ini. Pada tahun tersebut baru dibuka secara resmi untuk umum
sebagai obyek wisata minat khusus (wisata konservasi). Namun dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi
penurunan dari wisatawan mancanegara dan peminat dari wisata domestik, padahal terdapat objek wisata
konservasi orangutan yang langka di dunia.

Metode Pengumpulan Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer pada penelitian diperoleh
dari hasil jastifikasi pakar melalui wawancara secara mendalam dan diskusi-diskusi dengan key person atau
pakar berdasarkan kuesioner Interpretative Structural Modelling (ISM) dan Analitical Hierarchy Process
(AHP). Kuesioner dirancang berdasarkan literatur, kunjungan lapangan dan diskusi-diskusi serta konfirmasi
dengan para key person/pakar. Jastifikasi pakar/key person yang dituangkan dalam masing kuesioner
kemudian diolah dengan software ISM untuk hasil kuesioner ISM dan kedalam Expert Choice 2000 untuk data
justifikasi pakar AHP. Key person/pakar yang memberikan jastifikasi dalam penelitian ini sebanyak 11 orang,
yang mewakili BBTNGL, yaitu dari SPTN V sebanyak empat orang (kepala SPTN V, dua Pengolahan Data
Perencanaan, Perlindungan & Pengawetan TN Wilayah, polisi hutan senior), satu kepala Bidang Perencanaan
BBTNGL, kasie operasional dan pelayanan, satu orang pakar konservasi dan ekowisata, Tokoh masyarakat
Bukit Lawang, Pelaku Pariwisata (pengusaha tour & travel serta mewakili asosiasi pariwisata Bukit Lawang),
Konsultan Pariwisata dan Pakar analisis pariwisata dan lingkungan.

Metode Analisis Data


Metode pengolahan data dilakukan dengan menginputkan data justifikasi masing-masing kuesioner
pendapat pakar ke dalam piranti lunak (software) System ISM untuk kuesioner ISM, kemudian lakukan proses
running sampai keluar hasil akhir dalam bentuk gambar matriks driver power-dependence elemen dan gambar
strukturnya. ISM digunakan untuk melakukan analisis kendala dalam pengelolaan wisata konservasi Orangutan
Bukit Lawang dan kelembagaan WKOB agar efektif. Penysunan elemen-elemen dan sub-elemen untuk
kebutuhan analisis ISM dalam penelitian ini, disusun berdasarkan literatur, kondisi di lapangan dan konfirmasi

3
Susilawati, Fauzi A, Kusmana C, Santoso N

beberapa pakar/key person yang benar-benar memahami WKOB, terutama pengelola SPTN V, pelaku usaha
pariwisata setempat dan tokoh masyarakat di Bukit Lawang. Berdasarkan hasil penelitian hanya empat elemen
yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian dari Sembilan elemen dalam Saxena (1990), yaitu elemen
kendala utama, elemen stakeholder yang terlibat (kelembagaan), elemen kebutuhan program dan elemen
perubahan yang harus dilakukan. Dalam penyusunan elemen dan sub-elemen, peneliti melakukan kajian
literature, kunjungan awal dan observasi langsung ke lokasi penelitian dan melakukan konfirmasi kepada para
pakar/key person.
Empat elemen utama yang dianalisis dengan menggunakan ISM adalah 1). Lembaga atau stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan WKOB, 2) Kendala utama WKOB, 3) Kebutuhan program WKOB, dan 4)
Perubahan yang harus dilakukan. Keempat elemen tersebut masing-masing dijabarkan ke dalam bebepa sub-
elemen yang diperoleh dari kajian beberapa literature dan pengamatan langsung di lapangan serta konfirmasi
pakar, kemudian dituangkan dalam bentuk kuesioner ISM. Berdasarkan kuesioner ISM diperoleh jastifikasi
masing-masing pakar berupa matriks V, A, X dan O.
Berdasarkan hasil penelitian baik kajian literatur, hasil kunjungan lapang dan konfirmasi pakar sub-
elemen/unsur masing-masing elemen adalah sebagai berikut. Lembaga atau stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan WKOB terdiri dari unsur: 1). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2) Kementerian
Pariwisata, 3) Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), 4) Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Langkat, 5) Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Langkat, 6) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Langkat, 7) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Langkat (Bappeda), 8) Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Kabupaten Langkat, 9) Lembaga Swadaya Masyarakat, 10) Lembaga Pendidikan/Universitas,
11) Pelaku Bisnis Pariwisata, 12) Masyarakat, dan 13) Wisatawan.
Elemen Kendala utama WKOB terdiri dari (1) Ancaman kerusakan lingkungan TNGL (galian C dan
sampah), (2) Belum terintegrasinya retribusi dan tarif masuk, (3) Buruknya infrastruktur menuju WKOB, (4)
Kurangnya sarana dan prasarana serta fasilitas, (5) Konflik satwa liar, (6) Kurangnya penunjuk arah, (7)
Banyaknya pintu masuk, (8) Alih fungsi lahan, (9) Kurangnya peran stakeholders terutama Pemerintah, (10)
Kurang tegasnya penegakan peraturan terutama terkait dengan lingkungan dan kebersihan, (11) Kurangnya
informasi dan promosi wisata, (12) Masih rendahnya pola pikir dan kesadaran masyarakat akan pentingnya
ekowisata dan konservasi.
Elemen Kebutuhan program WKOB terdiri dari sub-elemen: (1) Pengembangan kebijakan kerjasama
dengan Kementerian dan Pemerintah Daerah, (2) SDM pengelolaan yang berkualitas, (3) Sarana dan prasarana
pengelolaan kawasan konservasi, (4) Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, (5) Penangkaran satwa, (6)
Integrasi program konservasi antar stakeholders, (7) Tenaga penyuluh dan pendamping untuk masyarakat, (8)
Pemberian mata pencaharian alternatif bagi masyarakat, (9) Perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas dan
(10) Peningkatan infrastruktur. Elemen Perubahan yang harus dilakukan harus dilakukan (1) Sinkronisasi dan
kerjasama antar stakeholders dalam meningkatkan pengelolaan dan pelayanan wisata konservasi, (2)
Menyediakan penangkaran satwa, (3) Menerapkan sanksi tegas terhadap perusakan lingkungan, (4) Penerapan
kebijakan tiket masuk terintegrasi dan pelayanan satu pintu masuk, (5) Sosialisasi kepada masyarakat tentang
perizinan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, (6) Pengadaan sarana dan prasarana serta fasilitas di kawasan
konservasi, (7) Diadakannya event rutin seluruh stakeholders dalam upaya menjaga lingkungan, (8) Peningkatan
pengetahuan dan pembinaan terhadap masyarakat tentang manfaat hutan termasuk ekowisata, (9) Peningkatan
keterampilan dan kreativitas masyarakat, (10) Penataan lingkungan hidup, ketertiban dan kebersihan serta
kenyamanan dan (11) Penyediaan sarana dan prasarana untuk pemeliharaan lingkungan.
Sementara untuk alternatif solusi pengeloalan WKOB menggunakan AHP dengan bantuan piranti lunak
Expert Choice 2000. Data yang diolah pada AHP menggunakan Expert Choice 2000 berdasarkan jastifikasi
seluruh pakar.

4
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 1-12

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis Kelembagaan dan Kendala dengan ISM

Struktur elemen analisis kendala dan peluang dalam pengelolaan Wisata Konservasi Orangutan Bukit Lawang
(WKOB) dianalisis dengan metode ISM berdasarkan jastifikasi ke-11 pakar/key person yang telah diwawancara
secara mendalam dengan instrumen kuesioner ISM. Hasil jastifikasi masing-masing pakar pada empat elemen
utama yang harus diperhatikan dalam menentukan kebijakan, yaitu 1). Lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan WKOB, 2) Kendala utama WKOB, 3) Kebutuhan program WKOB, dan 4) Perubahan yang harus
dilakukan yang berupa matriks V, A, X dan O yang diinputkan ke dalam sistem ISM. Output dari sistem ISM
berupa klasifikasi penilaian berdasarkan diagram Kartesius ISM, nilai driver power (DP) dan nilai dependence (D) dan
membentuk struktur elemen. Secara garis besar klasifikasi elemen tersebut digolongkan dalam empat sektor yaitu
(Eriyatno 2003 dan Marimin 2008):

1. Sektor I : Weak driveri-weak dependent variabels (AUTONOMUS). Sub-elemen yang masuk dalam
sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit,
meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
2. Sektor I : Weak driveri-weak dependent variabels (AUTONOMUS). Sub-elemen yang masuk dalam
sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan mungkin mempunyai hubungan sedikit,
meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
3. Sektor II : Weak driver-strongly dependent variabels (DEPENDENT). Umumnya sub-elemen yang
masuk dalam sektor ini adalah sub-elemen yang tidak bebas.
4. Sektor III : Strong driver-strongly dependent variabels (LINKAGE). Sub-elemen yang masuk dalam
sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar sub-elemen tidak stabil. Setiap tindakan
pada sub-elemen akan memberikan dampak terhadap sub-elemen lainnya dan pengaruh umpan baiknya
dapat memperbesar dampak.
5. Sektor IV : Strong driver-weak dependent variabels (INDEPENDENT). Sub-elemen yang masuk dalam
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut perubah bebas.

Hasil analisis dengan ISM untuk kendala dan peluang dalam pengelolaan wisata konservasi Orangutan
di Bukit Lawanng berupa elemen 1) Lembaga yang terlibat dalam pengelolaan WKOB, 2) Kendala utama
WKOB, 3) Kebutuhan program WKOB, dan 4) Perubahan yang harus dilakukan secara lengkap dijelaskan
berikut.

Lembaga atau Stakeholder yang Terlibat

Elemen lembaga yang terlibat dalam rangka mengetahui kendala dan peluang pengelolaan WKOB
berdasarkan kajian literature, pengamatan langsung dan konfirmasi para pakar/key person terdiri dari 13 sub
elemen, yaitu 1). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2) Kementerian Pariwisata, 3) Balai Besar
Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), 4) Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, 5)
Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Langkat, 6) Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat, 7) Badan
Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Langkat (Bappeda), 8) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kabupaten Langkat, 9) Lembaga Swadaya Masyarakat, 10) Lembaga Pendidikan/Universitas, 11) Pelaku
Bisnis Pariwisata, 12) Masyarakat, dan 13) Wisatawan. Hasil analisis dengan sistem ISM berupa matriks driver
power-dependence untuk elemen Lembaga atau kelompok yang terlibat dalam pengelolaan WKOB dapat
dilihat pada Gambar 1.
Hasil analisis matriks pada Gambar 1 menunjukkan bahwa sub elemen Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser berada pada sektor

5
Susilawati, Fauzi A, Kusmana C, Santoso N

IV (independent), sub elemen ini sebagai driver power (daya pendorong utama paling besar dengan tingkat
ketergantungan terhadap sub elemen lembaga atau kelompok yang terlibat dalam pengelolaan WKOB lainnya
paling rendah). Artinya, lembaga utama yang terlibat dalam pengelolaan WKOB adalah Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.
Ketiga lembaga tersebut akan mempengaruhi lembaga yang lain (terkait sub elemen lainnya yang dikaji).
Sub elemen Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten
Langkat, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Kabupaten Langkat, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Langkat dan Lembaga
Pendidikan/Universitas berada pada sector III/linkage yang merupakan kekuatan penggerak yang besar
terhadap pengelolaan WKOB. Artinya, yang menjadi faktor penggerak atau yang dapat memberikan dampak
lebih besar terhadap lembaga lainnya adalah sub elemen yang telah disebutkan. Sub elemen Lembaga Swadaya
Masyarakat, Pelaku bisnis pariwisata, Masyarakat dan Wisatawan berada pada (sector II/dependent)
keberadaan sub elemen ini bergantung pada sub elemen lainnya. Artinya, keempat sub elemen dipengaruhi
oleh lembaga atau kelompok yang menjadi kunci utama (daya pendorong terkuat). Secara lengkap struktur
hirarki elemen Lembaga yang terlibat dalam pengelolaan WKOB dapat dilihat pada Gambar 2.
Lembaga yang terlibat dalam pengembangan wisata konservasi di Bukit Langkat sangat dibutuhkan dalam
upaya peningkatan pariwisata di Bukit Lawang, selain untuk menjaga keberlangsungan wisata konservasi
orangutan juga agar dapat bekerjasama dalam meningkatkan promosi (Yusnikusumah dan Sulystiawati 2016).

Kendala Utama
Hasil analisis dengan sistem ISM berupa struktur hierarki untuk elemen Kendala utama dalam
pengelolaan WKOB dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa sub elemen Belum
terintegrasinya retribusi dan tarif masuk, Buruknya infrastruktur menuju WKOB, Kurangnya sarana dan
prasarana serta fasilitas, dan Banyaknya pintu masuk berada pada sektor IV (independent), sub elemen ini
sebagai driver power (daya pendorong utama paling besar dengan tingkat ketergantungan terhadap sub elemen
Kendala utama dalam pengelolaan WKOB lainnya paling rendah). Artinya, kendala utama dalam pengelolaan
WKOB adalah belum terintegrasinya retribusi dan tarif masuk, buruknya infrastruktur menuju WKOB,
kurangnya sarana dan prasarana serta fasilitas, dan banyaknya pintu masuk. Keempat kendala tersebut akan
mempengaruhi kendala yang lain. Buruknya pengelolaan terhadap sarana dan prasarana kawasan wisata di
Bukit Lawang sesuai dengan penelitian yang dilkukan oleh Idihan (2004).
Sub elemen kurangnya peran stakeholders terutama pemerintah, kurang tegasnya penegakan peraturan
terutama terkait dengan lingkungan dan kebersihan, kurangnya informasi dan promosi wisata, dan masih
rendahnya pola pikir dan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekowisata dan konservasi berada pada sector
III/linkage yang merupakan kekuatan penggerak yang besar terhadap pengelolaan WKOB. Artinya, yang
menjadi faktor penggerak atau yang dapat memberikan dampak lebih besar terhadap kendala utama lainnya
adalah sub elemen kurangnya peran stakeholders terutama Pemerintah Daerah, kurang tegasnya penegakan
peraturan terutama terkait dengan lingkungan dan kebersihan, kurangnya informasi dan promosi wisata, dan
masih rendahnya pola pikir dan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekowisata dan konservasi. Sub elemen
ancaman kerusakan lingkungan TNGL (galian C dan sampah), konflik satwa liar, kurangnya penunjuk arah
dan alih fungsi lahan berada pada (sector II/dependent) keberadaan sub elemen ini bergantung pada sub elemen
lainnya. Artinya, keempat sub elemen dipengaruhi oleh lembaga atau kelompok yang menjadi kunci utama
(daya pendorong terkuat).

6
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 1-12

Kebutuhan Program

Pada elemen Kebutuhan program dalam upaya pengelolaan WKOB, hasil analisis dengan sistem ISM
berupa struktur hierarki untuk elemen kebutuhan program dalam pengelolaan WKOB dapat dilihat pada
Gambar 4. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa sub elemen Pengembangan kebijakan kerjasama dengan
Kementerian dan pemerintah daerah, SDM pengelola yang berkualitas, dan Sarana dan prasarana pengelolaan
kawasan konservasi driver power (daya pendorong utama) dan fakto kunci. Artinya, Kebutuhan program
dalam pengelolaan WKOB adalah Pengembangan kebijakan kerjasama dengan Kementerian dan pemerintah
daerah, SDM pengelola yang berkualitas, dan Sarana dan prasarana pengelolaan kawasan konservasi. Ketiga
kebutuhan program tersebut akan mempengaruhi kebutuhan program yang lain (terkait sub elemen lainnya
yang dikaji). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Siburian (2006), pemerintah daerah telah
menerbitkam SK Bupati Kepala Daerah Tingkat II 071-673/SK/tahun 1998 tanggal 23 September 1998 tentang
Pembentukan Panitia Sosialisasi Komitmen Tokoh Masyarakat dan Adat terhadap Ekosistem Leuser, hal
tersebut dilakukan dalam upaya kepedulian terhadap kelestarian TNGL terutama di Bukit Lawang.
Sub elemen Pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, Integrasi program konservasi antar stakeholder,
Tenaga penyuluh dan pendamping untuk masyarakat, Perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas,
Peningkatan infrastruktur berada pada sector III/linkage yang merupakan kekuatan penggerak yang besar
terhadap pengelolaan WKOB. Sub elemen tersebut harus dikaji dengan hati-hati, sebab hubungan antar sub
elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen bisa memberikan dampak pada sub elemen lain, dan
umpan balik memperbesar dampak. Artinya, yang menjadi faktor penggerak atau yang dapat memberikan
dampak lebih besar terhadap kebutuhan program lainnya adalah sub elemen pendidikan dan pelatihan bagi
masyarakat, integrasi program konservasi antar stakeholder, tenaga penyuluh dan pendamping untuk
masyarakat, perbaikan sarana dan prasarana serta fasilitas, peningkatan infrastruktur.
Sub elemen penangkaran satwa, dan pemberian mata pencaharian alternatif bagi masyarakat berada pada
(sector II/dependent) keberadaan sub elemen ini bergantung pada sub elemen lainnya. Artinya, kedua sub
elemen dipengaruhi oleh lembaga atau kelompok yang menjadi kunci utama (daya pendorong terkuat).

Perubahan yang Harus Dilakukan


Pada elemen perubahan yang memungkinkan dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan WKOB hasil
analisis ISM menunjukkan bahwa sub elemen sinkronisasi dan kerjasama antar stakeholder dalam
meningkatkan pengelolaan dan pelayanan wisata konservasi, dan penerapan kebijakan tiket masuk terintegrasi
dan pelayanan satu pintu masuk berada pada sektor IV (independent), sub elemen ini sebagai driver power
(daya pendorong utama paling besar) dan faktor kunci dalam pengelolaan WKOB. Artinya, perubahan yang
memungkinkan dapat dilakukan dalam pengelolaan WKOB agar efektif dan optimal adalah melakukan
sinkronisasi dan kerjasama antar stakeholder dalam meningkatkan pengelolaan dan pelayanan wisata
konservasi. Kedua perubahan yang memungkinkan tersebut akan mempengaruhi perubahan yang lain (terkait
sub elemen lainnya yang dikaji).
Sub elemen menerapkan sangsi tegas terhadap perusakan lingkungan, sosialisasi kepada masyarakat
tentang perizinan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, diadakannya event rutin seluruh stakeholder dalam
upaya menjaga lingkungan, peningkatan pengetahuan dan pembinaan terhadap masyarakat tentang manfaat
hutan termasuk ekowisata, peningkatan keterampilan dan kreativitas masyarakat berada pada sector III/linkage
yang merupakan kekuatan penggerak yang besar terhadap pengelolaan WKOB. Sub elemen tersebut harus
dikaji dengan hati-hati, sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen bisa
memberikan dampak pada sub elemen lain, dan umpan balik memperbesar dampak. Artinya, yang menjadi
faktor penggerak atau yang dapat memberikan dampak lebih besar terhadap kebutuhan program lainnya adalah
sub elemen menerapkan sangsi tegas terhadap perusakan lingkungan, sosialisasi kepada masyarakat tentang
perizinan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, diadakannya event rutin seluruh stakeholder dalam upaya

7
Susilawati, Fauzi A, Kusmana C, Santoso N

menjaga lingkungan, peningkatan pengetahuan dan pembinaan terhadap masyarakat tentang manfaat hutan
termasuk ekowisata, peningkatan keterampilan dan kreativitas masyarakat.

Analisis Alternatif Solusi Pengelolaan WKOB dan Kebijakan

Analisis alternatif solusi dalam rangka pengelolaan WKOB berdasarkan jastifikasi para pakar sebanyak
11 orang orang. Jastifikasi pakar diperoleh berdasarkan hasil pengisian kuesioner AHP melalui wawancara
mendalam langsung. Goal dari analisis ini adalah pemilihan alternatif solusi pengelolaan WKOB, dengan
kriteria Efisiesi biaya, kriteria kedua Ramah Lingkungan dan Efektifitas dalam pengelolaan. Penyusunan
hirarki AHP melalui dekomposisi permasalahan berdasarkan literatur, pengamatan langsung peneliti saat
beeberapa kali berkunjung ke WKOB dan dikonfirmasi dengan beberapa orang pakar yang benar-benar faham
dengan WKOB.
Jastifikasi masing-masing pakar berupa angka perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang
diperoleh dalam matriks kuesioner, kemudian diinputkan ke dalam piranti lunak Exper Choice 2000.
Kuesioner setiap pakar setelah diinputkan, kemudian langsung dikompilasi sampai diperoleh sintesis hasilnya
berupa bobot komposit untuk setiap alternatif strategi, faktor dan sub-faktornya. Hasil akhir jastifikasi seluruh
pakar AHP yang diolah diperoleh dengan melakukan kompilasi seluruh pakar yang diinputkan ke dalam piranti
lunak Expert Choice, dengan cara melakukan kompilasi pendapat gabungan, dalam piranti lunak tersebut sudah
tersedia menu combine individual.
Berdasarkan hasil akhir analisis AHP dengan piranti lunak Expert choice menurut jastifikasi seluruh
pakar, menunjukkan bahwa alternatif solusi pengelolaan WKOB (hasil sintesis goal) utama adalah pengelolaan
wisata terintegrasi dan profesional serta berkelanjutan dengan bobot sebesar 0.419 (41.9%). Artinya alternatif
utama yang dilakukan untuk mengelola WKOB adalah dengan cara pengelolaan wisata yang terintegrasi dan
dijalankan secara professional serta berkelanjutan. Alternatif selanjutnya adalah melakukan Pembinaan dan
pemberdayaan masyarakat/wisatawan dengan bobot sebesar 0.263 (26.3%), alternatif yang ketiga adalah
Penyediaan infrastruktur, sarpras dan fasilitas dengan bobot sebesar 0.062 (6.3%), sedangkan alternatif
keempat dan kelima adalah Promosi wisata dan penyebaran informasi (0.097) dan Pengembangan atraksi dan
produk (0.062). Secara keseluruhan, hasil olah data disajikan pada Gambar 6.
Dalam usaha pengembangan wisata alam minat khusus atau ekowisata, partisipasi pemerintah sangat
diharapkan sekali terutama dalam menyusun rencana tata ruang dengan baik dan matang. Beberapa usaha
Pemerintah dalam pengendalian kepariwisataan yakni pengembangan wisata alam di Bukit Lawang seperti
yang disampaikan oleh Sinuhaji (2009), adalah: menyediakan kantor tourist information, pembinaan terhadap
industri partiwisata di Bukit Lawang dan sekitarnya, mengurus atau mengeluarkan surat izin masuk kawasan
Hutan Taman Nasional, membuat tanda-tanda larangan dilokasi kegiatan wisata lintas alam dan membuat
rambu – rambu pariwisasta menuju objek wisata Bukit Lawang
Alternatif solusi yang terpilih diperoleh dari sintesis pengolahan AHP pendapat seluruh pakar dalam
pengelolaan WKOB, yaitu pengelolaan wisata terintegrasi dan professional serta berkelanjutan (0,419)
dipengaruhi dan harus didukung beberapa kriteria, terutama kriteria Efektivitas dengan bobot sebesar 0.540
(54%). Artinya dalam pengelolaan WKOB, khususnya untuk pengelolaan wisata konservasi yang terintegrasi,
professional dan berkelanjutan faktor “efektifitas” menjadi hal utama yang harus diperhatikan, baik itu
efektifitas dari sisi ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana fasilitas pendukung, kerjasama antar
pemangku kepentingan, kebijakan, dan lain-lainnya. Faktor lain Ramah lingkungan dengan bobot sebesar
0.297 (29.7%), dan Efisiensi biaya dengan bobot sebesar 0.163 (16.3%) juga harus diperhatikan agar solusi
strategis dalam pengelolaan WKOB menjadi optimal dan dapat diterapkan. Tentunya untuk keberhasilan
implementasi strategi tersebut harus benar-benar di dukung oleh peran lembaga/stake holder yang terlibat
sebagai faktor kunci, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata dan Balai
Besar Taman Nasional Gunung Leuser (SPTN V Bukit Lawang) serta Pemda (Sumut maupun Kabupaten
Langkat) melalui Dinas Pariwisata.

8
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 1-11

Implikasi Manajerial
Sejak diberlakukannya sistem pengelolaan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi dengan
harapan daerah bisa membangun wilayahnya secara mandiri sesuai dengan kearifan lokal masing-masing
daerah yang akhirnya memacu kerja keras untuk mencari sumber APBD bagi daerahnya, apa yang dapat
diperbaharui serta diberdayakan untuk mendapatkan keuntungan profit yang kemudian tanpa disadari atau
tidak disadari memberikan akibat terhadap kerusakan lingkungan. Karena seringkali sumber daya alam di
daerah yang lebih mudah untuk dieksploitasi menjadi sumber pendapatan dan sering melupakan dampak
kerusakan yang pada akhirnya mengakibatkan bencana alam bagi daerah tersebut yang tentunya kembali malah
merugikan masyarakat setempat. Maksud dari eksplorasi/eksploitasi sumber daya alam untuk mendukung
kehidupan yang lebih baik dan sejahtera namun karena melupakan bahwa sejatinya manusia hidup harus
berdampingan dengan alam sehingga masyarakat menjadi korban dari eksploitasi tersebut. Biodiversity yang
dimiliki oleh alam Indonesia sejatinya dapat menjadi sumber kekayaan bukan semata keuntungan profit dengan
mendatangkan wisatawan tetapi juga kekayaan pengetahuan yang dapat memberikan kesadaran bagi
masyarakat, dengan kekayaan biodiversity yang dimiliki Indonesia menjadi sebuah warisan yang tidak dimiliki
negara lain, dari nilai heritage tentu ini sangat mahal dan tidak dapat dinilai dengan uang untuk
keberlangsungan hidup ke depan.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah juga terus memastikan dengan tegas batas zona hutan konservasi
Orangutan dengan kebun masyarakat agar tidak terjadi konflik satwa yang berakibat terganggunya habibat
Orangutan, dan diharapkan mampu mengelola dan menerapkan kebijakan yang seimbang antara ekonomi,
lingkungan dan masyarakat. Tidak semua sumber daya alam dieksploitasi besar-besaran demi mendapatkan
sumber keuangan yang besar apabila pada akhirnya juga mengakibatkan bencana bagi lingkungan yang
merugikan semua pihak. Dengan terjadinya bencana banjir bandang di sungai Bahorok pada tahun 2006
sebagai bukti dapat dijadikan pelajaran berharga bagi semua utama Pemerintah untuk kedepankan menjaga
lingkungan atau sumber daya alam yang suistanable.
Dalam rangka mewujudkan pengelolaan wisata konservasi Orangutan di Bukit Lawang, perlu
diperhatikan beberapa kendala utama diantaranya adalah belum terintegrasinya retribusi dan tarif masuk,
buruknya infrastruktur menuju WKOB, kurangnya sarana dan prasarana serta fasilitas, dan banyaknya pintu
masuk. Alternatif strategi kebijakan dalam mengatasi kendala pengelolaan WKOB adalah dengan pengelolaan
wisata terintegrasi dan profesional serta berkelanjutan dengan memperhatikan faktor efektivitas, baik
efektivitas dari sisi ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana fasilitas pendukung, kerjasama antar
pemangku kepentingan, kebijakan dan lain-lainnya. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah ramah
lingkungan dan efisiensi biaya agar solusi strategis dalam pengelolaan WKOB menjadi optimal dan dapat
diterapkan. Tentunya untuk keberhasilan implementasi strategi tersebut harus benar-benar didukung oleh peran
lembaga yang terlibat sebagai faktor kunci yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian
Pariwisata dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuseur (SPTN V Bukit Lawang) serta Pemda (Sumut
maupun Kabupaten Langkat) melalui Dinas Pariwisata.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Kendala utama dalam pengelolaan WKOB
adalah (a) belum terintegrasinya retribusi dan tarif masuk, (b) buruknya infrastruktur menuju WKOB, (c)
kurangnya sarana dan prasarana serta fasilitas dan (d) banyaknya pintu masuk. Keempat kendala tersebut akan
mempengaruhi kendala yang lain (terkait sub elemen lainnya yang dikaji). Kendala lainnya kurangnya peran
stakeholders terutama Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, kurang tegasnya penegakan peraturan terutama
terkait dengan lingkungan dan kebersihan, kurangnya informasi dan promosi wisata, dan masih rendahnya
pola pikir dan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekowisata dan konservasi. Ancaman kerusakan
lingkungan TNGL terutama galian C dan sampah merupakan hal yang tidak bisa dianggap sepele. Apabila
9
Susilawati, Fauzi A, Kusmana C, Santoso N

tidak dilakukan tindakan tegas terutama Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat maupun Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara maka hal ini dapat mengancam kerusakan lingkungan dan ekosistem. 2) Alternatif strategi
kebijakan dalam mengatasi kendala pengelolaan WKOB adalah Pengelolaan wisata terintegrasi dan
profesional dengan bobot sebesar 0.419 (41.9%), artinya alternatif utama yang dilakukan untuk mengelola
WKOB adalah dengan cara pengelolaan wisata yang terintegrasi dan dijalankan secara profesional. Alternatif
selanjutnya adalah melakukan pembinaan dan pemberdayaan masyarakat/wisatawan dengan bobot sebesar
0.263 (26.3%), alternatif yang ketiga adalah penyediaan infrastruktur, sarpras dan fasilitas dengan bobot
sebesar 0.160 (16%), sedangkan alternatif keempat dan kelima adalah promosi wisata dan penyebaran
informasi (0.097) dan pengembangan atraksi dan produk (0.062).

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pakar/key person yang telah bersedia memberikan
jastifikasi dan berbagai masukan dalam penelitian ini dan kepada seluruh staf BBTNGL, khususnya pimpinan
dan staf SPTN Bukit Lawang yang telah membantu memberika data dan menjadi sarana penelitian.

DAFTAR PUSTAKA
[BPSKL] Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. 2016a. Kabupaten Langkat Dalam Angka 2017. Langkat
(ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat
[BPSKL] Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat. 2016b . Satistik Kabupaten Langkat 2017. Langkat (ID):
Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat.
Alikodra, Hadi S. 2012. Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Yogjakarta (ID). UGM Press.
Eriyatno FS. 2007 . Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor (ID): IPB Press.
Hermawan H. 2017. Geowisata, Pengembangan Pariwisata Berbasis Konservasi. ICT [Internet].Idihan A.
(2004). Upaya pengembangan kawasan wisata Bukit Lawang dalam Rangka Peningkatan pendapatan
asli daerah kabupaten Langkat. Respository USU (ID): Medan.
Kompas. 2015. Diunduh pada 22 Februari 2019) Tersedia pada
https://travel.kompas.com/read/2015/01/09/170500127/Kunjungan.Turis.Asing.Sempat.
Krieger, DJ. 2001. The Economic Value of Forest Ecosystem Service: A Review. Washington (US). The
Wilderness Society.
Marimin. 2008. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): PT Grasaindo.
P Alexander, Jan Philipp Dietrich, Hermann Lotze-Campen, David Klein, Nico Bauer, Michael Krause, Tim
Beringer, Dieter Gerten and Ottmar Edenhofer. 2011. The economic potential of bioenergy for climate
change mitigation with special attention given to implications for the land system. Environmental
Research Letters. 6(3).
Prayogo H, Thohari AM, Sholihin DD, Prasetyo LB, Sugardjito. 2014. Karakter kunci pembeda antara
Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dengan Orangutan sumatera (Pongo abelii). Bionatura-Jurnal
Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik. 16(1) 61-68.
Saxena JP, P Vrat, Shusil. 1990. Hierarchy and classification of program plan element using interpretive
structural modeling, System Practice. 5(6): 651-670.
Siburian R. 2006. Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuseur bagian Bukit Lawang berbasis promowisata.
Jurnal masyarakat dan dan Budaya. 8(1): 67-100.
Sinuhaji. 2009. Pengendalian kawasan wisata alam dan hubungannya dengan ketataruangan. Jurnal Geografis.
1(1): 73-76.
Sismudjito, Daulay H. 2018. Community development based on tourism sectors for economic growth area
Districts Bahorok District Langkat. IJTRD. 5(1): 85-88.
Warsono, Soetriono, Januar J. 2014. Strategi Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan konservasi Taman Wisata
Alam Gunung Baung dalam upaya mengurangi perambahan Hutan. JSEP. 7(2):62-7.
10
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 1-11

Yusnikusumah R, Sulystiawati E. 2016. Evaluasi pengelolaan ekowisata di Kawasan Ekowisata Tangkahan


Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera Utara. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 27(3): 173-
189.

11
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 12-24. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.12-24
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Pemodelan Kesesuaian Habitat Katak Serasah (Leptobrachium Hasseltii Tschudi


1838) dengan Sistem Informasi Geografis di Pulau Jawa
Modelling the Habitat Suitability of Hasselt’s Litter Frog (Leptobrachium hasseltii Tschudi 1838)
using Geographic Information System in Java Island
Anika Putri, Mirza Dikari Kusrini, Lilik Budi Prasetyo
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga,
Bogor 16680, Indonesia

Article Info: Abstract: Hasselt’s litter frogs (Leptobrachium hasseltii Tschudi 1838) is a
Received: 24 - 07 - 2019 wide spread species in Java and Sumatra, however, the specific distribution
Accepted: 05 - 09 - 2019
map for this species is not available. The purpose of this study is to identify
Keywords: the distribution of hasselt’s litter frogs in Java and to examine the suitability
Habitat suitability, hasselt’s litter map of the species by using maximum entropy method. We used presence data
frog, maxent, GIS, modeling. and environment variables consist of elevation, slope, NDVI (Normalized
Corresponding Author:
Difference Vegetation Index), distance from the river, temperature,
Anika Putri precipitation, and land cover types to develop the distribution model of this
Departemen Konservasi Sum- species. Hasselt’s litter frogs in Java depends on forested area with a wide
berdaya Hutan dan Ekowisata, range of elevation (lowland to mountain forests), moderate slope, temperature
Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor;
between 20-21oC and rainfall over 2500 mm/year. The highest number of
Email: anikaputrip@gmail.com frogs are found in secondary forest land cover, NDVI values between 0.8 to
0.9 and relatively close to the river. Habitat model constructed are robust with
AUC (Area Under Curve) value of 0.951. Environmental variables that most
affectted habitat for hasselt’s litter frog are land cover, temperature, and
slope.
How to cite (CSE Style 8th Edition):
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB. 2019. Pemodelan kesesuaian habitat Katak Serasah (Leptobrachium Hasseltii Tschudi 1838) dengan
sistem informasi geografis di Pulau Jawa. JPSL 10(1): 12-24. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.12-24.

PENDAHULUAN
Pemetaan terkait amfibi di Pulau Jawa tergolong masih jarang dilakukan. Penelitian terbaru yang
dilakukan Afrianto (2015) mendata sebanyak 38 jenis amfibi yang terbagi ke dalam 7 famili di Pulau Jawa.
Data tersebut berdasarkan spesimen amfibi yang terdapat di Laboratorium Herpetologi MZB (Museum
Zoologicum Bogoriense) dan dari berbagai literatur penelitian di bidang amfibi. Katak serasah (Leptobrachium
hasseltii Tschudi 1838) merupakan salah satu jenis amfibi yang terdapat di Pulau Jawa. Berudu katak serasah
tergolong sensitif terhadap kondisi kekurangan mineral lingkungan pada air, berudu akan gagal
bermetamorfosis dan tetap menjadi berudu selama hidupnya (Iskandar, 1998). Hal ini dapat menjadikan berudu
jenis ini sebagai bio-indikator dari kualitas air.
Katak serasah (Leptobrachum hasseltii Tschudi 1838) merupakan jenis dari famili Megophrydae dan
genus Leptobrachium. Ciri khusus dari jenis katak ini yaitu iris berwarna hitam (Hamidi dan Matsui, 2010),
ukuran kepala yang lebar, badan ramping, dan kaki tergolong pendek, sehingga pergerakannya tergolong
lambat seperti merayap. Katak serasah memiliki penyebaran yang luas di Indonesia yakni Jawa, Sumatra,
Madura dan Kangean (IUCN ver 3.1 2016; Iskandar, 1998) dan Borneo (Lathrop et al., 1998). Namun

12
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 12-24

penyebarannya secara spesifik di Pulau Jawa belum banyak diketahui. Umumnya data mengenai penemuan
katak serasah didapatkan dari hasil inventarisasi keanekaragaman amfibi. Penelitian terkait habitat katak
serasah telah dilakukan oleh Sasikirono (2007) menggunakan 6 variabel lingkungan yaitu komposisi vegetasi,
penutupan tajuk, suhu, kelembaban udara, ketebalan dan kelembaban serasah. Hasil yang didapatkan lebih
bersifat mikrohabitat, sehingga untuk melakukan kajian habitat katak serasah secara luas diperlukan teknologi
Sistem Informasi Geografis (SIG) dan pemodelan spasial.
SIG merupakan sebuah alat bantu manajemen berupa informasi berbantuan komputer yang terkait
dengan sistem pemetaan dan analisis terhadap segala sesuatu, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka
bumi (Qoriani, 2012). Penelitian mengenai pemodelan distribusi spesies untuk katak di Jawa telah dilakukan
oleh Lubis (2010), namun dengan menggunakan metode PCA (Principal Component Analysis). Metode lain
yang dapat digunakan yaitu dengan metode maxent, yaitu suatu program yang digunakan untuk mengestimasi
probabilitas distribusi perjumpaan suatu spesies yang ditentukan oleh variabel lingkungan yang ada (Philips et
al., 2006). Penggunaan maxent tergolong masih jarang di Indonesia. Kelebihan maxent yaitu hanya
menggunakan data kehadiran dan variabel lingkungan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi sebaran katak serasah di Pulau Jawa dan untuk
menelaah kesesuaian habitat katak serasah dengan aplikasi Maximum Entrophy Modelling (Maxent). Hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan model penyebaran secara spesifik dari katak serasah di Pulau
Jawa, sehingga dapat menjadi pertimbangan perlindungan pada kawasan yang memiliki kesesuaian habitat
tinggi bagi jenis ini, baik di dalam kawasan konservasi maupun di luar kawasan konservasi.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-September 2016 di Laboratorium Analisis Lingkungan dan
Pemodelan Spasial, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor, dan Laboratorium Herpetologi MZB, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain software Arc View 10.3, software Modis Reprojection
Tool (MRT), microsoft excel, komputer, dan software Maximum Entropy Modelling (Maxent) version 3.3.3k
yang tercantum pada Tabel 1. Objek penelitian yaitu data penemuan katak serasah dan berbagai variabel
lingkungan Pulau Jawa.
Tabel 1 Alat yang digunakan dalam penelitian.
Alat Fungsi
1. Software ArcView 10.3 Untuk mengolah data spasial
2. Software Modis Reprojection Tool (MRT) Untuk mengolah data NDVI dari citra Modis
3. Microsoft excel Untuk mengolah data kehadiran
4. Laptop Untuk menjalankan software
5. Software Maximum Modelling (Maxent) version Untuk mengolah data kesesuaian habitat
3.3.3k

Jenis data yang digunakan untuk data kehadiran termasuk ke dalam data sekunder, yakni data-data dari
penemuan katak serasah berdasarkan penelitian sebelumnya. Data variabel lingkungan yang digunakan
merupakan data pihak ketiga yang sudah melalui pengolahan awal. Data variabel lingkungan yang digunakan
yaitu ketinggian, kelerengan, jarak dari sungai, suhu, curah hujan, NDVI (Normalized Difference Vegetation
Index), dan tutupan lahan. Penggunaan jenis data bertipe sekunder maupun dari pihak ketiga berdasarkan

13
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB

pertimbangan dari segi waktu maupun dana. Tabel 2 memaparkan mengenai jenis data, sumber data, metode
pengumpulan data, dan tipe data yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 2 Jenis data, sumber data, metode pengumpulan data, dan tipe data yang dikumpulkan.
No Jenis data Sumber Metode Tipe data
pengumpulan data
1 Data kehadiran satwa Kusrini et al. (2006,2007), Afrianto Studi literature -
(2015), Sasikirono (2007), Irvan
(2014), Kurniati et al. (2001),
Kurniati (2002), Kurniati (2005),
Irvan (2014), Riyanto A (2010),
Eprilurahman et al. (2010), dan
spesimen MZB
2 Peta dasar Bakosurtanal.go.id Pengunduhan -
3 Ketinggian (ASTER Earthexplorer.usgs.gov Pengunduhan Continuous
GDEM)
4 Kelerengan (ASTER Earthexplorer.usgs.gov Pengunduhan, Continuous
GDEM) Studi literature
5 Jaringan sungai Bakosurtanal.go.id Pengunduhan Continuous
6 Suhu (30 arc-seconds http://www.worldclim.org/bioclim Pengunduhan Continuous
= 1km, tile 39)
7 Curah hujan (30 arc- http://www.worldclim.org/bioclim Pengunduhan Continuous
seconds = 1km, tile 39)
8 NDVI (MOD13Q1, 16 Lpdaac.earthexplorer.usgs.gov Pengunduhan Continuous
days, 250 m)
9 Tutupan lahan BAPLAN 2014 Pengunduhan Categorical

Pengolahan Data
Data titik koordinat penemuan katak serasah dimasukkan ke dalam Ms. Excel kemudian disimpan ke
dalam bentuk comma delimited (csv). Variabel lingkungan yang digunakan pada proses maxent harus dalam
bentuk format ascii (asc) dan harus memiliki koordinat, ukuran sel, serta extend (batas terluar model) yang
sama, sehingga dalam proses penyamaan tersebut dilakukan pada modelbuilder yang terdapat pada ArcView
10.3 yang sebelumnya tiap variabel lingkungan yang digunakan melalui proses pengolahan awal sebagai
berikut.

Pengolahan Data Variabel Lingkungan


Pengolahan data variabel lingkungan secara menyeluruh dilakukan di software Arcview 10.3, kecuali
untuk NDVI yang pengolahan awalnya dilakukan di software MRT. Tahap pembuatan peta ketinggian,
kelerengan, jarak dari sungai, suhu, curah hujan, dan tutupan lahan terdapat pada Gambar 1.

14
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 12-24

(a)

(b) (c)

(d) (e)
Gambar 1 Diagram alir pembuatan (a) peta ketinggian dan kelerengan (b) peta jarak dari sungai (c) peta
suhu (d) peta curah hujan (e) peta tutupan lahan.

NDVI merupakan suatu nilai indeks vegetasi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kondisi
vegetasi yang ada dan menghitung indeks kanopi tanaman hijau pada data multispectral pengideraan jauh.
Data NDVI yang digunakan merupakan data citra modis 16 hari dengan resolusi spasial 250 tipe MOD13Q.
Data NDVI didapatkan dengan cara mengesktrak produk MOD13Q dengan menggunakan software MRT,
kemudian data tersebut diolah dengan menggunakan software ArcView 10.3. Tahap pembuatan peta NDVI
disajikan pada Gambar 2.
15
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB

Gambar 2 Diagram alir pembuatan peta NDVI.

Proses Pembuatan Model


Setiap variabel lingkungan yang sudah melalui proses pengolahan awal, kemudian disamakan koordinat,
ukuran sel, dan batas terluarnya. Koordinat yang digunakan yaitu WGS 1984, ukuran selnya yaitu 0.0027, dan
batas terluarnya adalah batas Pulau Jawa. Proses penyamaan ini dilakukan di modelbuilder.

Pengolahan Sebaran Katak Serasah


Proses pengolahan sebaran katak serasah yakni dengan menggunakan data penemuan katak serasah yang
sudah ada lalu dihubungkan dengan tipe tutupan lahan, kelerengan, suhu, curah hujan, ketinggian, nilai NDVI,
dan jarak dari sungai. Hal ini untuk melihat pengaruh dari variabel lingkungan terhadap penemuan katak
serasah.

Pengolahan Maxent
Proses pengolahan pada software maxent dilakukan dengan memasukkan data titik koordinat berformat
csv dan data lingkungan berformat asc. Pengaturan pada menu maxent harus dilakukan pada empat menu yakni
utama, basic, advanced, dan experimental. Pengaturan pada menu utama variabel lingkungan dengan
menceklis format categorical untuk tutupan lahan dan kelerengan dan format continuous untuk variabel
lingkungan yang lain, serta menceklis auto features untuk threshold. Pengaturan pada menu basic semua
pilihan diceklis kecuali skip if output exist. Pada random test percentage di isi sebesar 30%, regularization 1,
maximal number of backgroud points 10000, replicates 15 dengan type run subsample. Pengaturan pada menu
advanced semua diceklis kecuali append summary results to maxentResult.csv file, mengubah iterations
sebesar 5000, dan memilih 10 percentile training presence untuk threshold type, lalu pengaturan lain bersifat
default. Pengaturam pada menu experimental dengan menceklis logscale raw/cumulative pictures, write
backgroud predictions, show exponent in response curves dan fade by clamping, serta membiarkan pengaturan
lain bersifat default.

Analisis Data

Analisis Tumpang Susun (Overlay)


Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tumpang tindih dari titik penemuan katak serasah dengan
variabel lingkungan yang digunakan. Kemudian dilakukan pengkelasan tiap nilai variabel lingkungan yang
bertumpang tindih dengan titik koordinat penemuan katak serasah.

16
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 12-24

Analisis Multikolinearitas
Analisis multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan korelasi antar variabel lingkungan yang
digunakan, apabila timbul multikolinearitas maka akan mempengaruhi hasil dari pemodelan yang dibuat dan
bersifat negatif (Pearson et al., 2007). Pengaruh negatif dari keberadaan mulitikolinearitas ini akan membuat
pemodelan yang dihasilkan menjadi overconfident dikarenakan pengaruh dua atau lebih variabel yang saling
berhubungan. Nilai ambang batas yang menunjukkan suatu kumpulan variabel memiliki multikolinearitas atau
tidak yaitu apabila nilai dari pengolahan yang dihasilkan kurang dari atau sama dengan -0.75 maupun melebihi
0.75, maka salah satu variabel lingkungan tersebut harus dihilangkan. Metode analisis multikolinearitas yang
dilakukan yakni dengan menggunakan Band Collection statistic yang terdapat pada ArcView 10.3.

Validasi Model
Validasi model yakni dengan melihat nilai Area Under Curve (AUC) test yang didapatkan berdasarkan
pengolahan maxent yang dilakukan. AUC merupakan daerah dibawah Receiver Operating Curve (ROC) dan
merupakan metode standar untuk mengidentifikasi akurasi prediksi model distribusi (Lobo et al., 2008).
Aturan penggunaan nilai AUC test yang didapatkan yaitu bila nilai di bawah 0.5 maka model tidak bisa
diterima, nilai antara 0.5 sampai 0.7 menunjukkan nilai akurasi yang rendah, nilai antara 0.7 sampai 0.9
menunjukkan bahwa model dapat digunakan dengan nilai akurasi yang tergolong sedang, dan bila melebihi
0.9 maka model memiliki nilai akurasi yang tergolong tinggi (Swets, 1988).

Rentang Kelas Kesesuaian Katak Serasah


Peta kesesuaian habitat katat serasah terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas kesesuaian rendah, kelas
kesesuaian sedang, dan kelas kesesuaian tinggi. Rumus yang digunakan dalam penentuan selang pembagian
kelas berdasarkan Supranto (2000) yaitu nilai peluang tertinggi dikurangi nilai peluang terendah dan kemudian
dibagi banyaknya kelas kesesuaian seperti dijabarkan persamaan berikut.

Keterangan
C = Perkiraan besarnya selang
Xn = Nilai peluang kesesuaian habitat tertinggi
X1 = Nilai peluang kesesuaian habitat terendah
(untuk X1 menggunakan nilai 10 percintile training presence logistic threshold)
K = Banyaknya kelas kesesuaian habitat

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif digunakan untuk menganalisis hasil dari aplikasi maxent yang terdiri dari distribusi
penyebaran spesies, data terkait faktor lingkungan yang paling berpengaruh, dan data terkait kemungkinan
perjumpaan dengan spesies ini di lokasi penelitian. Analisis ini digunakan karena pada program ini, hasil
langsung didapatkan oleh pengguna atau user sehingga hal penting yang harus dilakukan adalah interpretasi
dari hasil yang disajikan dari software ini.

17
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Sebaran Katak Serasah di Pulau Jawa

Hutan sekunder merupakan jenis tutupan lahan dengan titik jumlah penemuan terbesar yakni sebesar
57,14% dari 77 titik penemuan katak serasah yang digunakan, bila dibandingkan dengan 18 tipe tutupan lahan
lain yang terdapat di Pulau Jawa. Kondisi yang mendukung banyaknya jumlah penemuan ini dapat
dihubungkan dengan nilai NDVI di lokasi titik katak serasah yang berkisar antara 0.8-0.99. Nilai NDVI
menggambarkan mengenai tutupan kanopi tajuk suatu wilayah, apabila mendekati angka 1 menandakan bahwa
wilayah tersebut memiliki kanopi tajuk yang rapat dan hijau. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iskandar (1998)
yaitu bahwa katak serasah hidup di daerah berhutan di tengah-tengah serasah hutan.
Jumlah titik penemuan katak serasah cenderung merata pada ketinggian antara 1000 sampai 2000 mdpl
yang merupakan hutan pegunungan, namun terjadi ketidakmerataan pada ketinggian di bawah 1000 mdpl yang
merupakan hutan dataran rendah. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi hal ini yaitu faktor pencarian yang
lebih banyak dilakukan di daerah hutan pegunungan dan inventarisasi satwa yang bersifat umum untuk semua
herpetofauna dan tidak difokuskan hanya pada katak serasah. Gambar 3 menunjukan hubungan ketinggian
dengan jumlah titik penemuan katak serasah.

Gambar 3 Hubungan ketinggian dengan jumlah titik penemuan katak serasah.

Kelerangan akan memengaruhi variasi genetik pada amfibi yang diakibatkan lereng yang curam akan
menghalangi pergerakan amfibi (Zawacki, 2009). Hal ini menjadi perhatian khusus dikarenakan selain banyak
ditemukan di daerah landai (tipe kelas lereng 2) sebesar 27.27%, amfibi juga banyak ditemukan pada daerah
curam (tipe kelas lereng 4) sebesar 24.68%.
Katak serasah ditemukan pada rentang suhu antara 14.5 sampai 27oC dengan jumlah titik penemuan yang
tergolong bervariasi. Faktor yang dapat memengaruhi antara lain periode pencarian, lokasi, dan kondisi cuaca.
Suhu akan memengaruhi aktivitas dan fitur suara katak (Prohl, 2007) yang akan memengaruhi pembiakan dari
amfibi (Carey dan Alexander, 2003). Hal ini menjadikan suhu merupakan variabel lingkungan yang penting
bagi katak.
Variabel lingkungan lain yang tergolong penting bagi amfibi adalah keberadaan air. Hal ini didukung oleh
pernyataan Ryan et al. (2015) bahwa amfibi memiliki hubungan negatif dengan kekeringan dan Walls et al.
(2013) yang menghubungkannya dengan kemampuan bertahan hidup, reproduksi, dan pergerakan anakan
dewasa amfibi. Berdasarkan hal ini, hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa amfibi tergolong menyebar

18
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 12-24

merata pada rentang curah hujan antara 2400 sampai 3000 mm/tahun dan kecenderungan peningkatan jumlah
titik penemuan pada curah hujan 2500 mm/tahun yang disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan rentang hujan dengan jumlah titik penemuan katak serasah.

Katak serasah merupakan jenis yang berasosiasi dengan keberadaan sungai (Iskandar 1998). Hasil yang
didapatkan yaitu titik penemuan katak serasah tergolong dekat dengan badan air. Hal ini didukung dengan
hasil penelitian Sasikirono (2007) yang menunjukan bahwa anakan serasah tergolong menyebar dekat dengan
sungai, katak jantan tergolong menyebar merata, dan katak betina cenderung jauh dari sungai tapi masih dapat
ditemukan pada jarak kurang dari 100 m dari pinggir sungai.

Besaran Nilai Pengaruh Antar Variabel Lingkungan

Data antar variabel lingkungan yang telah dianalisis dengan menggunakan Band Collection Statistic
menunjukkan bahwa terdapat hubungan korelasi ganda antara layer 1 (ketinggian) dengan layer 5 (suhu).
Besaran nilai multikolinearitas yang dihasilkan yaitu sebesar -0.97835. Nilai tersebut menunjukkan bahwa
terdapat hubungan negatif antara ketinggian dengan suhu dan juga sebaliknya. Makna nilai negatif tersebut
yaitu apabila nilai ketinggian semakin besar maka nilai suhu akan semakin mengecil. Keberadaan kedua
variabel tersebut dalam suatu pemodelan akan membuat pemodelan yang dihasilkan menjadi overconfident,
sehingga salah satu dari data variabel tersebut harus dihilangkan. Pengujian untuk membandingkan hasil yang
lebih baik antar kedua variabel tersebut dengan menghilangkan salah satu variabel dalam pemodelan, hasil
yang didapatkan menunjukkan bahwa layer 5 memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan layer 1,
sehingga hasil pemodelan yang digunakan yaitu yang menggunakan data variabel layer 5 (suhu). Besaran nilai
pengaruh antar variabel lingkungan tersebut tersaji pada tabel 3.

Tabel 3 Hasil analisis multikolinearitas


Layer 1* 2* 3* 4* 5* 6* 7*
1* 1.00000 0.18007 0.39937 0.59466 -0.97835 -0.00214 -0.25850
2* 0.18007 1.00000 0.25817 0.28829 -0.18938 0.00359 -0.07350
3* 0.39937 0.25817 1.00000 0.40442 -0.37054 -0.00802 -0.09640
4* 0.59466 0.28829 0.40442 1.00000 -0.58266 -0.00126 -0.25516
5* -0.97835 -0.18938 -0.37054 -0.58266 1.00000 0.00096 0.27443
6* -0.00214 0.00359 -0.00802 -0.00126 0.00096 1.00000 0.27443
7* -0.25850 -0.07350 -0.09640 -0.25516 0.27443 -0.00475 1.00000
*Keterangan : layer 1=ketinggian; 2=NDVI; 3=curah hujan; 4=kelerengan; 5=suhu; 6=jarak dari sungai; 7=tutupan
lahan

19
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB

Kesesuaian Habitat Katak Serasah dengan Aplikasi Maxent

Pengaruh variabel lingkungan pada pemodelan kesesuaian habitat katak serasah ditunjukan berdasarkan
hasil dari operasi jacknife. Metode ini merupakan suatu cara untuk menduga kepentingan atau kontribusi tiap
variabel lingkungan yang digunakan pada pemodelan (Negga 2007). Hasil dari operasi ini menunjukkan bahwa
tutupan lahan, suhu, dan kelerengan memberikan pengaruh terbesar pada pemodelan yang terdapat pada
Gambar 5 dan Gambar 6. Penilaian yang dilihat pada operasi jacknife yaitu besaran nilai AUC test dan nilai
test gain yang didapatkan akibat dari perlakuan variabel lingkungan yang telah ditentukan. Elith et al. (2011)
menyatakan test gain adalah satuan statistik yang menduga seberapa baik prediksi distribusi sesuai dengan
data kehadiran yang dibandingkan dengan distribusi seragam. Semakin besar nilai AUC test dan test gain yang
didapatkan dari penggunaan variabel lingkungan tertentu, maka variabel lingkungan tersebut tergolong
memengaruhi pemodelan yang dibuat. Kriteria lain untuk menentukan seberapa besar pengaruh suatu variabel
lingkungan yaitu dengan melihat besaran nilai test gain maupun AUC yang turun ataupun berkurang ketika
tidak digunakan dalam pemodelan. Lalu kriteria lainnya untuk variabel lingkungan yaitu apabila memberikan
kontribusi tertinggi pada nilai test gain dan AUC ketika hanya menggunakan variabel tersebut, lalu besaran
nilai tersebut dibandingkan dengan nilai AUC test dan test gain ketika menggunakan semua variabel. Apabila
besaran test gain maupun AUC tidak berbeda jauh maka variabel tersebut merupakan variabel yang
memberikan kontribusi tertinggi pada pemodelan tersebut.

Gambar 5 Pengaruh variabel lingkungan terhadap nilai test gain yang didapatkan.

Gambar 6 Pengaruh variabel lingkungan terhadap nilai AUC test yang didapatkan.

(Keterangan : ras_ndvi30=NDVI, ras_rh30=curah hujan, ras-slope30=kelerengan, ras_suhu30=suhu, ras_sungai30=jarak dari sungai,


ras_tupla30=tutupan lahan)
(Keterangan : warna biru muda hanya menggunakan salah satu variabel lingkungan; warna biru tua tidak menggunakan salah satu
variabel lingkungan; warna merah menggunakan seluruh variabel lingkungan)

20
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 12-24

Tutupan lahan memberikan pengaruh terbesar bagi pemodelan terlihat dari nilai AUC dan test gain yang
didapatkan. Becker et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan tutupan lahan merupakan salah satu faktor
terpenting pada penurunan jumlah amfibi secara global. Hal ini menunjukkan bahwa amfibi merupakan satwa
yang sangat peka terhadap perubahan tutupan lahan. Selain itu, tutupan lahan menjadi faktor pemilihan habitat
bagi suatu satwa untuk memenuhi keperluan hidupnya yakni pakan, cover, shelter, dan air.
Variabel lingkungan lainnya yaitu suhu dan kelerengan. Variabel suhu berkaitan erat dengan pembiakan,
sedangkan variabel kelerengan akan memengaruhi peluang perjumpaan antar katak serasah di alam. Perbedaan
suhu yang terdapat di pegunungan dan dataran rendah akan membuat perbedaan batas toleransi kenaikan suhu
pada tiap individu katak serasah yang akan memengaruhi kemampuan bertahan hidupnya. Selain itu, secara
morfologis katak serasah tergolong memiliki kaki yang pendek sehingga pergerakannya lambat dan
kelerengan yang tergolong ekstrim akan menjadi pembatas pergerakan katak serasah.
Nilai AUC test adalah nilai yang didapatkan pada pengujian 30% sampel yang diambil secara acak. Nilai
pemodelan yang didapatkan tergolong tinggi yakni 0.951 yang didapatkan dengan menjumlahkan tiap kotak
persegi yang terletak di bawah garis merah. Nilai yang didapatkan tersebut menunjukkan bahwa pemodelan
yang dibuat dapat digunakan dan memiliki akurasi yang tinggi. Pemilihan metode AUC dalam proses validasi
karena metode ini merupakan metode standar untuk menguji validitas suatu pemodelan, selain itu AUC juga
memberikan keuntungan bagi pengguna yakni menghindari subjektivitas pada proses pemilihan batas (Lobo
et al., 2008). Gambar 7 merupakan ilustrasi dari nilai AUC test yang didapatkan pada pemodelan.

Gambar 7 Ilustrasi nilai AUC test yang didapatkan pada pemodelan.

Kelas kesesuaian habitat katak serasah terbagi menjadi 4 kelas yaitu tidak sesuai, kesesuaian rendah,
kesesuaian sedang, dan kesesuaian tinggi. Rentang nilai yang didapatkan antara 0 sampai 0.9664, lalu dengan
pemilihan penggunaan 10 percentile training presence logistic threshold maka daerah yang dianggap sesuai
harus memiliki nilai lebih dari 0.2036. Penggunaan 10 percentile training presence threshold lebih
memberikan hasil yang signifikan secara ekologi bila dibandingkan dengan penggunaan threshold lain yang
tergolong lebih kaku (Redon dan Luque, 2010). Tabel 4 disajikan rentang tiap kelas kesesuaian habitat katak
serasah.

21
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB

Tabel 4 Kelas kesesuaian habitat katak serasah di Pulau Jawa.


No Kelas kesesuaian Selang kelas kesesuaian Persentase (%)
1 Tidak sesuai 0.0000 – 0.2036 92.37
2 Kesesuaian rendah 0.2036 – 0.4579 5.44
3 Kesesuaian sedang 0.4579 – 0.7121 1.74
4 Kesesuaian tinggi 0.7121 – 0.9664 0.45

Nilai yang lebih besar dari nilai 10 percentile training presence logistic threshold kemudian dibuat
menjadi 3 kelas dengan menggunakan ketentuan persamaan dari Supranto (2000) yang telah mengalami
modifikasi. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa luasan wilayah yang tergolong memiliki kesesuaian
tinggi tergolong paling sedikit bila dibandingkan dengan kelas kesesuaian yang lain. Lalu habitat tersebut
menyebar dari dataran rendah dan juga pegunungan yang tergolong memiliki tutupan hutan yang tergolong
rapat. Hal ini diketahui dengan melakukan tumpang susun (overlay) dengan basemap world imagery di
Arcview. Ilustrasi kesesuaian habitat katak serasah disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Peta kesesuaian habitat katak serasah dengan 4 kelas kesesuaian.

SIMPULAN

Katak serasah di Pulau Jawa tersebar dari hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan dengan tutupan
vegetasi hijau dan dekat dengan sungai. Sebaran tertinggi ditemukan di wilayah dengan ciri-ciri hutan
sekunder, tingkat kelerengan landai, rentang suhu 20-21oC, dan curah hujan >2500 mm/tahun. Pemodelan yang
dibuat dapat diterima dengan AUC = 0.951. Kontribusi variabel lingkungan tertinggi yakni tutupan lahan,
suhu, dan kelerengan.

22
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 12-24

UCAPAN TERIMA KASIH


Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Mirza Dikari Kusrini, MSi dan Prof Dr Ir Lilik Budi
Prasetyo MSc yang telah memberikan arahan dan saran dalam pengerjaan karya ilmiah ini, serta kepada
Muhammad Irfansyah Lubis, Shut, MDev Prac, dan Dr Yudi Setiawan atas segala bantuan yang telah
diberikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada pihak Museum Zoologicum Bogoriense yang
telah mengizinkan penulisan untuk menggunakan data spesimen katak serasah.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto A. 2015. Pemetaan penyebaran amfibi di Pulau Jawa menggunakan aplikasi sistem informasi
geografis (SIG). Skripsi. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Becker CG, Fonseca CR, Haddad CFR., Batista RF, Prado PI. 2007. Habitat split and the global decline of
amphibians. Science. 318: 1775-1776.
Carey C, Alexander MA. 2003. Climate change and amphibian declines: is there a link. Diversity and
Distribution. 9: 111-121.
Elith J, Phillips SJ, Hastie T, Dudík M., Chee YE, Yates CJ. 2011. A statistical explanation of MaxEnt for
ecologists. Diversity and Distributions. 17: 43–57.
Eprilurahman R., Qurniawan TF, Kusuma KI, Chomsun HK. 2010. Studi awal keanekaragaman herpetofauna
di Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Zoo Indonesia. 19: 19-30.
Hamidi A., Matsui M. 2010. A new species of blue-eyed Leptobrachium (Anura: Megophryidae) from
Sumatra, Indonesia. Zootaxa. 2395: 34-44.
Irvan. 2014. Perbandingan keanekaragaman dan sebaran spasial amfibi di Pulau Peucang dan Cidaon Taman
Nasional Ujung Kulon. Skripsi. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata,
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawad dan Bali-Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang-LIPI.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resource. 2016. Amphibians on the IUCN
Red List [terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/initiatives/amphibians [2 Agustus 2016].
Kurniati H, Crampton W, Goodwin A, Lockett, Sinkiss S. 2001. Herpetofauna diversity of Ujung Kulon
National Park an inventory result in 1990. Berkala Penelitian Hayati. 6: 113-128.
Kurniati H. 2002. Frogs and toads of Ujung Kulon, Gunung Halimun, and Gede Pangrango National Park.
Berita Biologi. 6(1): 75-84.
Kurniati H. 2005. Species richness and habitat preferences of herpetofauna in Gunung Halimun National Park
West Java. Berita Biologi. 7(5): 263-271.
Kusrini MD, Fitri A. 2006. Final report ecology and conservation of frogs of mount salak, West Java,
Indonesia. Bogor: Tidak dipublikasikan.
Kusrini, MD (Ed). 2007. Frogs of Gede Pangrango: a follow up project for the Conservation of Frogs in West
Java Indonesia. Book 1: Main Report. Bogor: Technical report submitted to the BP Conservation
Programme.
Lathrop A, Murphy RW, Orlov NL, Ho CT. 1998. Two new species of Leptobrachium (Anura: Megophrydae)
from the central highlands of vietnam with a redescription of Leptobrachium chapaense. Russian
Journal of Herpetology. 1(5): 51-60.
Lobo JM, Valverde AJ, Real R. 2008. AUC: a misleading measure of the performance of predictive distribution
models. Global Ecology and Biogeography. 17: 145-151.
Lubis MI. 2008. Pemodelan Spasial Habitat Katak Pohon Jawa (Rhacophorus javanus Boettger 1893) dengan
menggunakan Sistem Informasi Geografis Dan Penginderaan Jarak Jauh di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Negga HE. 2007. Predictive modelling of amphibian distribution using ecological survey data: a case study
of Central Portugal. Tesis. Enschede: International Institute for Geo-Information Science and Earth
Observation.

23
Putri A, Kusrini MD, Prasetyo LB

Pearson RG, Raxworthy CJ, Nakamura M, Peterson AT. 2007. Predicting species distributions from small
numbers of occurence records: a test case using cryptic geckos in Madagascar. Journal of Biogeography.
34: 102-117.
Prohl H, Hagemann S, Karsch J, Hobelt G. 2007. Geographic variation in male sexual signals in strawberry
poison frogs (Dendrobates pumilio). Ethology. 113: 825-837.
Redon M., Luque S. 2010. Presence-only modelling for indicator species distribution: biodivesity monitoring
in the French Alps. 6th Spatial Analysis and Geomatics International Conference (SAGEO 2010).
November 2010, Toulouse, France. Universite de Toulouse 1, pp. 42-45.
Riyanto A. 2010. Herpetofauna community structure and habitat associations in Gunung Ciremai National
Park, West Java, Indonesia. Biodiversitas. 12: 38-44.
Ryan, MJ, Scott, NJ, Cook JA, Willink B, Chaves G, Bolanos F, Rodriguez AG, Latella I.M, Koerner SK.
2015. Too wet for frogs: changes in a tropical leaf litter community coincede with la nina. Ecosphere.
6: 1-10.
Sasikirono. 2007. Studi karakteristik habitat sekitar sungai dan danau serta biologi katak serasah
Leptobrachium hasseltii Tschudi, 1838 di Situ Gunung Sukabumi. Skripsi. Bogor: Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Supranto J. 2000. Statistik: Teori dan Aplikasi Jilid 1 Ed ke-6. Jakarta: Erlangga.
Swets JA. 1988. Measuring the Accuracy of Diagnostic Systems. [terhubung berkala].
http://www.jstor.org/stable/1701052?seq=1&cid=pdf-refence#references_tab_contents [30 September
2016].
Qoriani HF. 2012. Sistem informasi geografis untuk mengetahui tingkat pencemaran limbah pabrik di
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Lingkungan. 17(2): 1-8.
Walls SC, Barichivich WJ., Brown ME. 2013. Drought, deluge, and declines: the impact of precipitation
extremes on amphibians in changing climate. Biology. 2: 399-418.
Zawacki CLR. 2009. Effects of slope and riparian habitat connectivity on gene flow in an endangered
panamanian frog Atelopus varius. Diversity and Distributions. 15: 796-806.

24
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 25-33. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.25-33
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Analisis Prediksi dan Hubungan antara Debit Air dan Curah Hujan pada Sungai
Ciliwung di Kota Bogor
Prediction and Correlation Analysis between Water Discharge and Rainfall in Ciliwung River,
Bogor City

Alfred Jansen Sutrisnoa, Kaswantob, Hadi Susilo Arifinb


a Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia
b Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia

Article Info: Abstract: Water demand should be balanced with water availability. The
Received: 07 - 07 - 2017 population of Bogor City was increased every year, so that water demand
Accepted: 11 - 10 - 2019
become increased. Currently, Government of Bogor City only utilizes the
Keywords: Cisadane river as a source for drinking water, even though Bogor City has 2
Rainfall, regression analysis, rivers there are Cisadane river and Ciliwung river. Therefore, Ciliwung river
water discharge, water level can be solution for this problem. Water discharge and rainfall influence water
Corresponding Author: availability. Distribution log pearson type 3 used to predict the water
Alfred Jansen Sutrisno discharge and rainfall and linier regression analyzed the relationship between
Program Studi Arsitektur water discharge as dependent variable with rainfall as X1 and water level as
Lanskap, Sekolah Pascasarjana, X2 as independent variable. The result of distribution log pearson type 3 every
Institut Pertanian Bogor;
Tel. +62-812-47333930
return period 2, 5, 10, 25, and 50 years is water discharge and rainfall were
Email: increased. Average increase of water discharge every return period is 1.6 m3/s
alfredjsmanurung@gmail.com and average increase of rainfall every return period is 89.25 mm. Partially,
water discharge influenced by water level and rainfall 97.7%. Water level and
rainfall cannot be ignored because 𝜌 = 0.000 < 𝛼 = 0.05 with regression
model 𝑌̂ = -3.01 + 0.002 X1 + 0.202 X2.
How to cite (CSE Style 8th Edition):
Sutrisno AJ, Kaswanto, Arifin HS. 2019. Analisis Prediksi dan Hubungan antara Debit Air dan Curah Hujan pada Sungai Ciliwung di
Kota Bogor. JPSL 10(1): 25-33. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.25-33.

PENDAHULUAN
PDAM Tirta Pakuan merupakan perusahaan daerah yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan
air masyarakat Kota Bogor. Berdasarkan laporan produksi dan pencatatan pelanggan tahun 2011, PDAM Tirta
Pakuan telah melayani 103.841 pelanggan atau sekitar 56.18% penduduk Kota Bogor (PDAM Tirta Pakuan,
2011). Sementara, target yang harus dicapai berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor
tahun 2011-2031 ialah 87.71% (Bappeda, 2011) dan Target MDG’s kehutanan adalah 67% penduduk
Indonesia dengan proporsi 80% penduduk daerah perkotaan harus memiliki akses terhadap sumber air minum
bersih (Bappenas, 2013).
Hal yang menjadi penyebab rendahnya cakupan pelayanan PDAM Tirta Pakuan pada tahun 2011 ialah
penurunan debit mata air Tangkil dari 170 liter/detik menjadi 124 liter/detik, debit mata air Bantarkambing
dari 170 liter/detik menjadi 150 liter/detik, dan debit mata air Kotabatu dari 61 liter/detik menjadi 48 liter/detik,
Selain penurunan produksi penambahan jumlah penduduk dapat menjadi masalah dalam pemenuhan target
pelayanan PDAM Tirta Pakuan (PDAM Tirta Pakuan, 2011). Pada tahun 2014, penduduk Kota Bogor
berjumlah 1.030.720 orang, jika dibandingkan dengan tahun 2013 jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun

25
Sutrisno AJ, Kaswanto, Arifin HS

2014 bertambah sebanyak 17.701 orang atau meningkat sebanyak 1.75% (BPS, 2015). Penurunan produksi
dan Peningkatan jumlah penduduk Kota Bogor mengakibatkan PDAM Tirta Pakuan belum mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat Kota Bogor.
Penurunan produksi air tidak hanya terjadi di Kota Bogor. Namun juga, terjadi pada daerah lain seperti
Kab. Kudus dan Kota Magelang. Kab. Kudus mengalami penurunan produksi air sebesar 11204 juta liter dan
Kota Magelang sebesar 462 juta liter (Muliranti dan Hadi, 2013). Berdasarkan kondisi tersebut sangat penting
untuk mendapatkan sumber air alternatif. Kota Bogor memiliki Sungai Ciliwung yang melintas tepat di tengah
– tengah kota. Namun, Sungai Ciliwung belum dimanfaatkan dengan baik. Sungai Ciliwung dahulunya
dimanfaatkan untuk kebutuhan irigasi, namun perubahan penggunaan lahan yang begitu cepat membuat lahan
pertanian berkurang dan Sungai Ciliwung menjadi jarang dimanfaatkan untuk kebutuhan irigasi. Hal ini dapat
menjadi peluang untuk mempertimbangkan Sungai Ciliwung menjadi sumber air alternatif bagi PDAM Tirta
Pakuan.
Debit air dan curah hujan merupakan faktor penting yang mempengaruhi produksi air pada suatu sumber
air. Sehingga, pentingnya melakukan prediksi debit air pada sumber air untuk jangka waktu panjang (Herrera
et al., 2010) dan prediksi curah hujan yang menjadi faktor penting dalam mempengaruhi debit air pada sumber
air permukaan. Penelitian yang dilakukan pada Sub DAS Lowokwaru menghasilkan terjadinya peningkatan
rata – rata curah hujan sebesar 80.45 mm/hari yang kemudian hasil penelitian ini dimanfaatkan untuk
memenuhi ketersediaan air bagi masyarakat Kota Malang (Rachmawati, 2010). Kompenen input dalam suatu
DAS ialah curah hujan dan komponen outputnya ialah debit air, limpasan, erosi, dan sebagainya (Paimin et al.,
2006). Kondisi iklim seperti curah hujan sangat mempengaruhi fluktuasi debit air dibandingkan dengan
pengaruh tutupan lahan pada suatu DAS (Murdiyarso dan Kurninto, 2007). Nilai R2 pada Sungai Mamasa
sebesar 0,65 membuktikan bahwa terdapat hubungan antara debit air dan curah hujan (Muchtar A. dan
Abdullah N., 2007).
Tulisan ini bertujuan untuk mendapatkan frekuensi debit air Sungai Ciliwung dan curah hujan Kota Bogor
untuk periode ulang 2, 5, 10, 25, dan 50 tahun dengan menggunakan distribusi log pearson tipe 3 dan
mendapatkan hubungan antara debit air sebagai variabel tidak bebas terhadap curah hujan dan tinggi muka air
sebagai variabel bebas. Diharapkan nantinya tulisan ini bisa menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan
pemanfaatan Sungai Ciliwung sebagai sumber air alternatif.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung meliputi 347 km2 dengan panjang sungai 117 km (BPLHD DKI
Jakarta, 2014; Sutrisno et al., 2018). Penelitian ini dilakukan pada segmen Kota Bogor dengan panjang sungai
14.5 km dengan waktu pelaksanaan dari Juni 2017 sampai Desember 2017. Segmen tersebut melintasi 13
kelurahan. Kota Bogor terletak di antara 106°43’30”BT - 106°51’00”BT dan 30’30”LS – 6°41’00”LS dengan
ketinggian minimal 190 MDPL dan maksimal 350 MDPL (Gambar 1).

Metode Pengumpulan Data


Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini ialah data curah hujan, debit air, dan tinggi muka air
pada tahun 1994 – 2013. Data curah hujan, debit air, dan tinggi muka air berasal dari laporan Balai Besar
Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung – Cisadane tahun 2013. Berdasarkan laporan tersebut bahwa terdapat
empat pencatat hujan otomatis yaitu pos hujan Empang, pos hujan Katulampa, pos hujan Atang Sanjaya, dan
stasiun klimatologi Dramaga. Pengukuran debit air dan tinggi muka air Sungai Ciliwung dilakukan di stasiun
Katulampa. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
Microsoft Excel, ArcGIS 10.4, SPSS 16 dan Microsoft Word untuk melakukan pengolahan data.

26
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 25-33

Gambar 1 Lokasi Penelitian di Kota Bogor.

Metode Analisis Data

Analisis Frekuensi
Data curah hujan dan debit air akan dianalisis menggunakan distribusi log pearson tipe 3. Analisis ini
merupakan analisis frekuensi untuk mendapatkan curah hujan dan debit air pada periode ulang yang ditentukan
yaitu 2, 5, 10, 25, dan 50 tahun (Jun et al., 2015).
log Q T = log ̅
X + Gs1
dimana:
QT = Curah hujan dan debit air dengan periode ulang T tahun
̅
log X = rata – rata
G = koefisien yang digunakan tergantung pada nilai kemencengan (Cs) dan periode ulang (T)
S1 = standar deviasi

Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi


Penelitian ini menggunakan metode Kolmogorov-smirnov dan metode Chi-square untuk menguji
kesesuaian (goodness of fit) dari distribusi frekuensi sampel data terhadap distribusi peluang yang diperkirakan
(Wesli, 2008). Syarat pada metode kolmogorov-smirnov dan chi-square ialah jika D < Dcr dan χ2 < χcr, berarti
frekuensi hasil observasi tidak menyimpang dari frekuensi harapan, sehingga hal ini menunjukan kesesuaian
yang baik dan distribusi frekuensi yang digunakan dapat diterima. Jika D > Dcr dan χ2 > χcr, berarti frekuensi

27
Sutrisno AJ, Kaswanto, Arifin HS

hasil observasi menyimpang dari frekuensi harapan, sehingga hal ini menunjukan kesesuaian yang tidak baik
dan distribusi frekuensi yang digunakan tidak dapat diterima.

Analisis Regresi Linier


Analisis regresi dilakukan untuk mengetahui hubungan linier antara debit air sebagai variabel bebas
dengan curah hujan dan tinggi muka air sebagai variabel tidak bebas. Sehingga, pola hubungan klausal sebab
akibat antara variabel bebas dan tidak bebas dapat diketahui (Harto, 2009). Penelitian ini menggunakan curah
̂) sebagai variabel bebas.
hujan (X1) dan tinggi muka air (X2) sebagai variabel tidak bebas dan debit air (Y
̂ = a + b1X1 + b2X2 ϵ
Y
dimana :
̂
Y = variabel tidak bebas yaitu debit air
a = koefisien konstanta
b1 dan b2 = koefisien regresi variabel tidak bebas
X1 = variabel independen pertama yaitu curah hujan
X2 = variabel independen kedua yaitu tinggi muka air
ϵ = error

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi ini menggunakan data debit air dan curah hujan dari laporan BBWS Ciliwung –
Cisadane 2013. Data debit air (Tabel 1) dan curah hujan (Tabel 2) yang digunakan ialah data 1994 – 2013.
Kemudian, Data tersebut dianalisis dengan menggunakan distribusi log pearson tipe 3 untuk mendapatkan
debit air dan curah hujan rencana pada periode ulang 2, 5, 10, 25, dan 50 tahun. Hasil analisis frekuensi
menunjukkan adanya peningkatan debit air dan curah hujan rencana pada periode ulang 2, 5, 10, 25, dan 50
tahun. Debit air rencana dan curah hujan rencana (QT) pada setiap periode ulang (T) di dapat dari nilai Log.
QT (Tabel 3). Peningkatan debit air rencana dimulai dari T = 2, dimana debit air rencana sebesar 8.2 m3/d dan
terus mengalami peningkatan sampai pada saat T = 50, dimana debit air rencana menjadi 14.6 m3/d (Gambar
2).

Tabel 1 Data rata-rata debit air pertahun 1994 – 2013.


No. Tahun Rata-rata (m3/d) No. Tahun Rata-rata (m3/d)
1 1994 8.1 11 2004 6.8
2 1995 9.7 12 2005 9.4
3 1996 6.3 13 2006 6.6
4 1997 4.8 14 2007 7.3
5 1998 7.2 15 2008 12.4
6 1999 6.5 16 2009 14.2
7 2000 5.9 17 2010 12.6
8 2001 8.6 18 2011 8.1
9 2002 8.2 19 2012 9.1
10 2003 6.6 20 2013 9.3
Sumber: laporan BBWS Ciliwung - Cisadane tahun 2013

28
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 25-33

Tabel 2 Data jumlah curah hujan pertahun 1994 – 2013.


No. Tahun Jumlah (mm) No. Tahun Jumlah (mm)
1 1994 2770 11 2004 2928
2 1995 3559 12 2005 3479
3 1996 3556 13 2006 2852
4 1997 2293 14 2007 3384
5 1997 4081 15 2008 3298
6 1999 3827 16 2009 3440
7 2000 3128 17 2010 3936
8 2001 3880 18 2011 3486
9 2002 2939 19 2012 3165
10 2003 2992 20 2013 3339
Sumber: laporan BBWS Ciliwung - Cisadane tahun 2013
Tabel 3 Hasil analisa frekuensi debit air dan curah hujan.
Debit air Curah hujan
T
Log. QT QT (m3/d) Log. QT QT (mm)
2 0.9118 8.2 3.515 3272
5 1.0082 10.2 3.520 3313
10 1.0615 11.5 3.536 3432
25 1.1228 13.3 3.554 3580
50 1.1632 14.6 3.560 3629

16
14
13,3 14,6
12
Debit air (m3/d)

11,5
10 10,2
8 8,2
6
4
2
0
2 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Periode ulang (tahun)

Gambar 2 Analisis frekuensi debit air rencana.


Hasil analisis ini menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan debit air rencana dari periode ulang 2, 5, 10,
25, dan 50 tahun ialah sebesar 1.6 m3/d. Peningkatan debit air rencana pada setiap periode ulang dapat menjadi
peluang untuk pemanfaatan sumber daya air pada Sungai Ciliwung menjadi sumber air baku bagi masyarakat
Kota Bogor. Hal yang sama juga terjadi terhadap analisis frekuensi curah hujan rencana, dimana curah hujan
rencana mengalami peningkatan pada setiap periode ulang. Peningkatan curah hujan rencana di mulai dari T
= 2, dimana curah hujan rencana sebesar 3272 mm dan tidak mengalami penurunan sampai pada saat T = 50,
curah hujan rencana menjadi 3629 mm (Gambar 3). Dimana, rata-rata peningkatan curah hujan rencana dari
periode ulang 2, 5, 10, 25, dan 50 tahun ialah sebesar 89.25 mm.
Peningkatan curah hujan di Kota Bogor dapat disebabkan oleh topografi Kota Bogor yang bervariasi yaitu
diantara < 120 mdpl sampai > 400 mdpl. Bahkan daerah lain seperti Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung
yang memiliki ketinggian > 300 mdpl juga diprediksi mengalami peningkatan curah hujan berbeda dengan
Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung yang memiliki ketinggian < 150 mdpl justru mengalami penurunan
29
Sutrisno AJ, Kaswanto, Arifin HS

atau cenderung stabil (Manik et al., 2014). Penelitian di Provinsi Bali menunjukkan bahwa terdapat koefisien
regresi yang bernilai positif antara pengaruh kenaikan topografi terhadap peningkatan curah hujan (Marpaung,
2010). Topografi memiliki pengaruh 70% terhadap peninggkatan curah hujan semakin tinggi topografi suatu
wilayah, maka semakin tinggi juga curah hujan di daerah tersebut (Loo et al., 2015). Sehingga, bisa dikatakan
bahwa topografi memiliki efek terhadap peningkatan curah hujan (Suzuki et al., 2004). Terdapat tiga proses
bagaimana hubungan antara curah hujan dan topografi. Pertama ialah topografi yang mengakibat pembelokan
awan dan membentuk masa lembap dalam arah vertikal, kedua ialah topografi dapat menentukan perubahan
sistem tekanan rendah, dan ketiga ialah topografi dapat mengakibatkan terjadinya arus konveksi lokal (Juaeni
et al., 2006). Pada penelitian lainnya seperti di Kota Mataram dengan menggunakan metode distribusi log
pearson tipe 3, curah hujan dan debit air mengalami peningkatan pada periode ulang 1, 2, 5, 10, 25, 50, 100
dan 200 (Budianto et al., 2015).
3700
3600
3580 3629
Curah hujan (mm)

3500
3432
3400
3300 3313
3272
3200
3100
3000
2 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
Periode ulang (tahun)

Gambar 3 Analisis frekuensi curah hujan rencana.

Uji Kesesuaian Distribusi Frekuens

Hasil uji kesesuaian (goodness of fit) analisa frekuensi curah hujan dengan menggunakan metode
Kolmogorov-smirnov didapatkan Dhitung = 0.0912 < Dcr = 0.29, sementara untuk analisa frekuensi debit air
Dhitung = 0.1481 < Dcr = 0.29. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesesuaian pada kedua analisa frekuensi
tersebut baik dan dapat diterima, dimana frekuensi hasil observasi tidak menyimpang dengan frekuensi
2 2
harapan dengan tingkat kepercayaan 95%. Pada metode chi-square nilai 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1.8680 < 𝜒cr = 9.3905
2 2
untuk analisa frekuensi curah hujan dan untuk analisa frekuensi debit air bahwa 𝜒ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 4.1753 < 𝜒cr =
9.3905. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi nilai observasi tidak menyimpang dari frekuensi harapan.
Sehingga, kesesuaian pada kedua analisa frekuensi ini baik dan dapat diterima dengan tingkat kepercayaan
95%.

Analisis regresi linier

Data rata-rata tinggi muka air (Tabel 4) digunakan sebagai (X2) dalam analisis regresi linier. Data yang
digunakan ialah data pada tahun yang sama dengan debit air dan curah hujan.

30
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 25-33

Tabel 4 Data rata-rata tinggi muka air tahun 1994 – 2013.


No. Tahun Rata-rata (cm) No. Tahun Rata-rata (cm)
1 1994 57.62 11 2004 50.71
2 1995 65.66 12 2005 63.47
3 1996 44.49 13 2006 46.11
4 1997 41.17 14 2007 53.67
5 1998 50.00 15 2008 76.05
6 1999 46.00 16 2009 83.74
7 2000 42.03 17 2010 76.60
8 2001 58.38 18 2011 55.08
9 2002 56.17 19 2012 62.00
10 2003 49.40 20 2013 63.00
Sumber: laporan BBWS Ciliwung – Cisadane tahun 2013

Nilai R2 yang diterapkan = 0.977 (97.7%) menunjukkan bahwa perubahan debit air pada Sungai Ciliwung
dipengaruhi oleh perubahan tinggi muka air dan curah hujan (Gambar 4). Sementara, sisanya (100% - 97.7%
= 2.3%) dipengaruhi oleh faktor lain. Estimasi standar kesalahan menentukan ketepatan dari model regresi
dalam memprediksi variabel dependen. Nilai estimasi standar kesalahan pada model ini sebesar 0.36299,
sehingga dapat dikatakan model regresi ini tepat untuk memprediksi debit air (Tabel 5) .
Tabel 5 Ringkasan modelb.
Estimasi
Model R R2
R2 yang diterapkan standar kesalahan
1 0.990a 0.980 0.977 0.36299
a. Prediktor: (Konstan), tinggi muka air, curah hujan
b. Variabel tidak bebas: debit air

Nilai F hitung = 410.509 dengan probabilitas 0.000, dimana 𝜌 = 0.000 < 𝛼 = 0.05. Maka, curah hujan (X1)
dan tinggi muka air (X2) terdapat pengaruh yang berarti terhadap debit air (𝑌̂). Hal ini juga berarti nilai
koefisien determinasi R2 tidak sama dengan nol, atau signifikan (Tabel 6).
Tabel 6 ANOVAb.
Rata-rata
Model df F Sig.
Jumlah kuadrat kuadrat
1 Regresi 108.177 2 54.088 410.509 0.000a
Sisa 2.240 17 .132
Total 110.416 19
a. Prediktor : (Konstan), tinggi muka air, curah hujan
b. Variabel tidak bebas: debit air

Nilai koefisien B tidak standar merupakan persamaan model regresi, dimana model regresi yang
dihasilkan ialah 𝑌̂ = -3.01 + 0.002 X1 + 0.202 X2 (Tabel 7). Koefisien konstanta yang bernilai negatif
menyatakan bahwa ketika mengasumsikan ketiadaan variabel curah hujan dan tinggi muka air. maka, debit air
akan cenderung mengalami penurunan. Koefisien regresi curah hujan dan tinggi muka air bernilai positif hal
ini menyatakan bahwa tidak dapat meniadakan variabel curah hujan. Jika, debit air mengalami perubahan
sebesar satu satuan, maka curah hujan akan berubah sebesar 0.002 satuan pada arah yang sama dan tinggi
muka air akan berubah sebesar 0.202 satuan pada arah yang sama.

31
Sutrisno AJ, Kaswanto, Arifin HS

Tabel 7 Koefisiena.
Koefisien tidak Koefisien
t Sig.
Model standar standar
B Std. kesalahan Beta
1 (Konstan) -3.010 .514 -5.857 .000
Curah hujan .002 .002 -.009 -.256 .801
Tinggi muka air .202 .007 .992 27.453 .000
a. Variabel tidak bebas: Debit air

.
Gambar 4 Kurva model regresi linier.

SIMPULAN
Curah hujan mengalami peningkatan pada setiap periode ulang 2, 5, 10, 25, 50 tahun dengan rata-rata
peningkatan sebesar 89.25 mm. Begitu juga dengan debit air yang mengalami peningkatan, dimana rata-rata
peningkatan sebesar 1.6 m3/s. Hal ini membuktikan bahwa Sungai Ciliwung dapat dijadikan salah satu sumber
air baku. Hasil regresi linier menyatakan bahwa tinggi muka air dan curah hujan mempengaruhi besarnya debit
air pada Sungai Ciliwung. Namun, terdapat faktor lain sebesar 2.3% yang mempengaruhi debit air Sungai
Ciliwung.

DAFTAR PUSTAKA
[Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bogor. 2011. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bogor Tahun 2011-2031. Bogor (ID): Bappeda Kota Bogor.
[Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. 2013. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milinium Di
Indonesia 2011. Jakarta. [terhubung berkala]. http://bappenas.go.id [19 mei 2017].
[BPLHD] Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta. 2014. Laporan Pelaksanaan Kualitas Sungai.
Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2015. Kota Bogor dalam Angka. Bogor.
[PDAM] Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Pakuan Kota Bogor. 2011. Review Rencana Induk SPAM PDAM
Tirta Pakuan Kota Bogor. Bogor (ID): PDAM Tirta Pakuan.

32
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 25-33

Budianto MB, Yasa IW, Hanifah L. 2015. Analisis karakteristik curah hujan untuk pendugaan debit puncak
dengan metode rasional di Mataram. Spektrum Sipil. 2(2): 137 – 144.
Harto S. 2009. Hidrologi. Yogyakarta(ID): Nafiri Offset..
Herrera M, Torgo L, Izquierdo J, Pe rez-Garcia R. 2010. Predictive models for forecasting hourly urban water
demand. J. Hydrol. 387: 141-150.
Juaeni et al. 2006, Periode Curah Hujan Dominan dan Hubungannya dengan Topografi. Jurnal Sains dan
Teknologi Modifikasi Cuaca, UPT Hujan Buatan BPPT. 7(2).
Jun W, Zhongmin L, Yiming L, Dong W. 2015. Modified weighted function method with the incorporation of
historical floods into systematic sample for parameter estimation of pearson type three distribution.
Hydrology J. 527: 958-966.
Loo YY, Billa L, Singh A. 2015. Effect of climate change on seasonal monsoon in asia and its impact on the
variability of monsoon rainfall in southeast asia. Geoscience Frontiers J. 6: 817-823.
Manik TK, Rosadis B, Nurhayati E. 2014. Mengkaji Dampak Perubahan Iklim Terhadap Distribusi Curah
Hujan Lo/kal di Propinsi Lampung. Forum Geografi. 28(1): 73-86.
Marpaung S. 2010. Pengaruh Topografi terhadap curah hujan musiman dan tahunan di Provinsi Bali
berdasarkan data observasi resolusi tinggi. Prosiding Seminar Penerbangan dan Antariksa 2010.
Serpong
Muchtar, Asikin, Abdullah N. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Debit Sungai Mamasa. Jurnal
Hutan dan Masyarakat. 2(1).
Mudiyarso D dan Kurnianto S. 2007. Peranan vegetasi dalam mengatur pasokan air. Makalah Workshop
”Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS”, di Surakarta, 22 November
2007. Balai Penelitian Kehutanan Solo.
Muliranti S, Hadi, PM. 2013. Kajian ketersediaan air meteorologis untuk pemenuhan kebutuhan air domestik
di Provinsi Jawa Tengah dan DIY. J. Bumi Indonesia. 2: 23-32.
Paimin, Sukresno, dan Purwanto. 2006. Sidik cepat degradasi sub DAS. Bogor(ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam.
Rachmawati A. 2010. Aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk evaluasi sistem jaringan drainase di
Sub DAS Lowokwaru Kota Malang. J. Rekayasa Sipil. 4: 111 – 123.
Sutrisno AJ, Kaswanto RL, Arifi HS. 2018. Spatial and temporal distribution of nitrate concentration in
Ciliwung River, Bogor City. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. 179(2018).
Suzuki et al. 2004. Study On Rainfall-Topography Relationships in Japan with Regard to the Spatial Scale of
Mountain Slopes . Sixth International Symposium On Hydrological Applications Of Weather Radar,
Melbourne, Australia.
Wesli. 2008. Drainase Perkotaan. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.

33
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 34-42. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.34-42
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Kajian Efektivitas Penggantian Alat Tangkap Cantrang Menjadi Gillnet


Millenium di Banyutowo, Pati, Jawa Tengah
The Effectiveness of Fishing Gear’s Replacement from Cantrang into Gillnet Millennium at
Banyutowo, Pati Residence

Neneng Evy Yulienya, Achmad Fahrudinb, Nimmi Zulbainarnic


a
Inspektorat Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, Gedung Mina Bahari IV, Jakarta, 10110, Indonesia
b Program Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus
IPB Darmaga, Bogor, Jawa Barat 16128, Indonesia
c
Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor. Kampus IPB Gunung Gede Bogor, 16128, Indonesia

Article Info: Abstract: This study’s background was based on the prohibition of
Received: 10 - 07 - 2019 cantrang’s operation. To reduce impact of this ban, the Government was
Accepted: 17 - 09 – 2019
replacing cantrangs with another fishing gears which are considered more
Keywords: environmentally friendly. In Banyutowo, Pati Residence, “cantrang” was
Banyutowo, Cantrang, replaced with Gillnet Millennium. This study aims to determine the pattern of
Gillnet millenium, fishing season of some of the dominant fish species caught around Banyutowo
Replacement Fishing Gear and to analyze the effectiveness of replacing fishing gear, from cantrangs into
Corresponding Author: gillnet millenium at Banyutowo. Based on the analysis of fishing season
Neneng Evy Yulieny patterns and types of fishing gear for seven months a year (January, February,
Inspektorat Jenderal March, April, May, October and December) it is known that cantrang can
Kementerian Kelautan dan catch more types of fish compared to gillnet, whereas gillnet is more selective
Perikanan, Jakarta
Tel. 081293182145 in catch fish compared to cantrang. The evaluation of the effectiveness of
Email: evy.neneng@gmail.com replacing cantrang into the gillnet millennium in Banyutowo at the process
stage shows ineffective results, and at the output stage shows very ineffective
results. The change of fishing gear needs to consider its suitability with the
fishing fleet used in addition to assistance so that the fishermen who receive
the program are proficient in using the fishing gear.

How to cite (CSE Style 8th Edition):


Yulieny NE, Fahrudin A, Zulbainarni N. 2019. Kajian Efektivitas Penggantian Alat Tangkap Cantrang Menjadi Gillnet
Millenium di Banyutowo, Pati, Jawa Tengah. JPSL 10(1): 34-42. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.34-42.

PENDAHULUAN
Potensi perikanan di perairan Indonesia harus tetap dijaga agar dapat dikelola untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat nelayan Indonesia (Ruchimat, 2013 dalam Hermanto et al., 2019), namun beberapa
wilayah di Indonesia telah mengalami penurunan sumber daya, antara lain Pantai Utara Jawa Tengah
terindikasi telah mengalami over fishing, dimana salah satu penyebabnya adalah tekanan penangkapan yang
didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil yang banyak beroperasi di perairan pantai (Triarso, 2013).
Simbolon dan Girsang (2009) dalam Hidayat et al. (2019) mengemukakan bahwa penurunan stok ikan dapat
diantipasi dengan menghindari tangkapan kategori tidak layak tangkap secara biologis, penggunaan alat
tangkap selektif hanya terhadap ikan kategori layak tangkap secara biologis, serta perencanaan operasi
penangkapan ikan pada musim tertentu ketika ikan kategori layak tangkap dominan di perairan, dan
pengendalian jumlah upaya penangkapan sesuai dengan potensi lestari (carrying capacity).
Terkait dengan upaya untuk mengantisipasi penurunan stok ikan tersebut serta pencapaian visi
pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia, yaitu mewujudkan pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan yang berkelanjutan antara lain dengan menghentikan tindakan perusakan eksploitasi
34
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 34-42

dan pengelolaan yang tidak ramah lingkungan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 2 Tahun 2015 tentang Pelarangan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik (Seine
Nets), termasuk di dalamnya alat tangkap cantrang. Terbitnya peraturan ini berdasarkan pada temuan di
lapangan bahwa para nelayan memodifikasi alat tangkap tersebut sehingga menyebabkan alat tangkap tersebut
tidak ramah lingkungan (Nababan et al., 2018). Di sisi lain, pelarangan penggunaan cantrang ini menimbulkan
gejolak sosial di masyarakat dan mempengaruhi perekonomian masyarakat (Zulbainarni et al., 2016). Untuk
mengatasi gejolak sosial yang terjadi, Kementerian Kelautan dan Perikanan berupaya melakukan peralihan
alat tangkap cantrang menjadi alat tangkap ramah lingkungan, yaitu gillnet millennium. Salah satu lokasi
penerapan kebijakan ini adalah di Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI) Banyutowo. Dibutuhkan suatu penelitian yang bertujuan menganalis pola musim penangkapan
beberapa jenis ikan yang ditangkap menggunakan cantrang dan gillnet; serta menganalisis efektivitas
penggantian cantrang menjadi alat tangkap gillnet millenium, khususnya di PPI Banyutowo Kab. Pati tersebut.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di PPI Banyutowo, Kec. Dukuhseti Kabupaten Pati, Propinsi Jawa Tengah, mulai
dari bulan Desember 2017 hingga Januari 2018.

Metode Pengumpulan Data


Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para responden yang ditentukan dengan teknik
purposive sampling, yaitu nelayan yang menerima penggantian cantrang menjadi gillnet millennium. Jumlah
responden adalah 16 orang atau 88.69% dari seluruh penerima penggantian cantrang dengan gillnet millennium
(18 orang). Adapun data sekunder, yaitu data runtun waktu hasil tangkapan (bulanan) beberapa jenis ikan yang
dominan tertangkap oleh nelayan cantrang dan gillnet selama tahun 2009-2017, diperoleh dari instansi terkait
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pati dan Balai Besar Penangkapan Ikan (BPPI) Semarang.

Metode Analisis Data


Analisis Pola Musim Penangkapan Ikan
Data time series bulanan hasil tangkapan selama tahun 2009-2017 tersebut dianalisis menggunakan
analisis deret waktu terhadap data hasil tangkapan (Dajan, 1986).
Kriteria Indeks Musim Penangkapan (IMP) (Simarmata et al., 2014)
IMP < 50% : musim paceklik
50% <IMP<100% : bukan musim penangkapan (BMP)
IMP>100% : musim penangkapan
Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan IMP berdasarkan jenis ikan dan bulan, selanjutnya
dilakukan analisis sidik ragam/ Analisis of variance (Anova) terhadap hasil IMP. Analisis dilakukan dengan
bantuan Microsoft excel.
Hipotesis yang akan diuji sebagai berikut:
H01 : Tidak terdapat perbedaan nyata IMP beberapa jenis ikan di Banyutowo berdasarkan bulan
H11 : Terdapat perbedaan nyata IMP beberapa jenis ikan di Banyutowo bulan berdasarkan bulan

H02 : Tidak terdapat perbedaan nyata IMP bulanan beberapa jenis ikan di Banyutowo
H12 : Terdapat perbedaan nyata IMP bulanan beberapa jenis ikan di Banyutowo

35
Yulieny NE, Fahrudin A, Zulbainarni N

Efektivitas Penggantian Cantrang dengan Gillnet Millenium


Dalam penelitian ini akan dilakukan penilaian efektivitas dengan model evaluasi sistem analisis pada
tahap proses dan keluaran (Wirawan, 2016). Dalam manajemen, sistem diformulasikan dalam bentuk linier
produksi yang terdiri dari input, proses, keluaran, akibat dan pengaruh. Dari setiap segmen tersebut dapat
dievaluasi untuk menentukan nilai dan manfaat keseluruhan sistem, dan dalam model evaluasi sistem analisis
ini evaluasi pada setiap tahap dapat dilakukan terpisah (Wirawan, 2016).
Variabel penilaian efektivitas pada tahap proses meliputi apakah identifikasi dan validasi calon penerima
sesuai ketentuan, apakah penerima mengetahui tujuan kegiatan, apakah telah mengikuti kegiatan sosialisasi,
apakah penerima penggantian mengetahui mengenai alternatif alat tangkap pengganti, apakah penerima
penggantian telah mengikuti pelatihan, dan apakah ada kegiatan pendampingan atau pemantauan setelah
penggantian alat tangkap.
Variabel penilaian efektivitas pada keluaran/ouput penggantian cantrang menjadi gillnet millennium
meliputi apakah penerima penggantian memilih gillnet millennium sebagai alat tangkap pengganti,
pemanfaatan gillnet millennium sebagai alat tangkap pengganti, kemampuan merakit dan mengoperasikan
gillnet millennium, kesesuaian perahu yang dimiliki untuk mengoperasikan gillnet millennium serta
kesesuaian gillnet millennium untuk digunakan di perairan sekitar Banyutowo.
Analisis efektivitas kegiatan pada tahap proses dan keluaran dilakukan dengan nilai rasio antara realisasi
dengan target kegiatan (%), dengan rumus sebagai berikut:

𝑅
Efektivitas kegiatan per tahap = 𝑋100%
𝑇
Dimana:
R= Realisasi
T = Target

Acuan yang dipakai untuk mengukur efektivitas pada Tabel 2 menggunakan kriteria kuantitatif dengan
pertimbangan (Arikunto dan Jabar 2008), tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2 Kriteria tingkat efektivitas .
Nilai Tingkat Efektivitas
Di bawah 40% Sangat tidak efektif
40% - 55.99% Tidak efektif
56% - 65.99% Cukup efektif
66-79.99% Efektif
Di atas 80% Sangat efektif

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pola Musim Penangkapan Ikan
Alat tangkap yang banyak dioperasikan di perairan sekitar Banyutowo adalah gillnet (198 unit) dan
cantrang (21 unit) (Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Pati, 2017). Diketahui tujuh jenis ikan yang
ditangkap oleh cantrang di Banyutowo, yaitu Kuniran (Upeneus sp), Pari (Dasyatis sp), Beloso (Sauryda sp),
Manyung (Arius sp), Kuro (Eleutheronema tetradactylum), Tigawaja (Nibea sp) dan Cumi-cumi (Loligo sp),
sedangkan gillnet hanya menangkap empat jenis ikan, yaitu manyung (Arius sp), kuro (Eleutheronema
tetradactylum) dan Tigawaja (Nibea sp). Data time series sepanjang tahun 2009-2017 menunjukkan musim
penangkapan tujuh jenis ikan di perairan Banyutowo berbeda-beda (Tabel 3). Rerata bulanan IMP ikan
demersal dan cumi-cumi di perairan Banyutowo berkisar antara 75.20%-136.58% (Tabel 3), menunjukkan
bahwa secara umum tidak ada bulan paceklik di Banyutowo (Gambar 2). Hasil penelitian sebelumnya di
perairan Laut Jawa menunjukkan hasil yang serupa, dimana ikan demersal dan Cumi-cumi dapat ditangkap
sepanjang tahun dan tidak nampak adanya perbedaan sebaran ikan demersal antara musim barat dan musim
peralihan (Imron 2008, Priatna dan Natsir 2008).
36
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 34-42

Bulan April (musim peralihan) merupakan musim penangkapan bagi sebagian besar jenis ikan yang
dianalisis dalam penelitian ini, yaitu ikan Kuniran (Upeneus sp), Manyung (Arius sp), Pari (Dasyatis sp),
Beloso (Sauryda sp), Tigawaja (Nibea sp) dan Cumi-cumi (Loligo sp). Musim peralihan ini merupakan masa
yang paling disukai oleh nelayan untuk melakukan penangkapan ikan. Selain karena kecepatan angin di Laut
Jawa pada bulan-bulan tersebut lebih rendah dibandingkan pada musim barat dan musim timur, juga karena
ukuran ikan yang ditangkap lebih besar dibandingkan musim Barat (Priatna dan Natsir 2008).

Tabel 3 Indeks Musim Penangkapan Beberapa Jenis Ikan di PPI Banyutowo Tahun 2009-2017.
Bulan IMP (%)
Tiga Ket
Kuniran Cumi Pari Beloso Manyung Kuro Waja Rerata
Jan 104.22 110.42 95.62 76.14 57.29 77.56 95.96 88.17 BMP
Feb 124.52 85.05 82.11 87.63 101.59 81.35 94.00 93.75 BMP
Mar 114.76 99.80 84.51 90.82 70.89 83.72 86.67 90.17 BMP
Apr 112.68 109.70 102.64 113.74 141.01 85.81 113.96 111.36 MP
Mei 116.28 139.44 140.32 132.02 49.52 81.81 90.67 107.15 MP
Jun 67.84 77.55 127.49 91.78 78.30 107.07 115.94 95.14 BMP
Jul 45.96 50.44 81.37 76.63 94.20 95.31 82.53 75.20 BMP
Ags 55.49 51.67 83.08 71.27 165.56 107.06 75.12 87.04 BMP
Sep 62.04 58.52 83.94 86.15 110.91 118.21 130.16 92.85 BMP
Okt 137.36 160.42 92.53 143.90 103.42 88.25 96.18 117.44 MP
Nov 81.42 78.52 116.86 69.49 136.96 138.06 114.75 105.15 MP
Des 177.43 178.45 109.53 160.43 90.35 135.81 104.05 136.58 MP
BMP = Bukan Musim Penangkapan
MP = Musim Penangkapan

200,00 IMP (%) Rerata

IMP (%) Batas MP


150,00
IMP (%) Batas
130,16
Paceklik
113,96 115,94 114,75
104,05
IMP (%) Manyung
100,00 95,96 96,18
94,00 86,67 90,67 82,53
75,12 IMP (%) Tiga Waja

50,00 IMP (%) Kuniran

IMP (%) Cumi


0,00
IMP (%) Pari
MP : Musim Penangkapan Ikan
BMP : Bukan Musim Penangkapan Ikan IMP (%) Beloso
Aprilnya mana??
Gambar 1 Perbandingan IMP Beberapa jenis Ikan di Banyutowo.

Nilai rata-rata IMP tertinggi (136.58%) di Banyutowo terjadi pada bulan Desember, dan merupakan
musim puncak bagi ikan Kuniran (Upeneus sp), Beloso (Sauryda sp) dan Cumi-cumi (Loligo sp) dan musim
penangkapan bagi ikan Pari (Dasyatis sp), Kuro (Eleutheronema tetradactylum), Tigawaja (Nibea sp). Kondisi
ini juga dijumpai pada perairan Laut Jawa lainnya, dimana di Tegal puncak tertinggi musim Ikan Kuniran
(Upeneus sp, Pari (Dasyatis sp), Beloso (Sauryda sp) dan Cumi-cumi (Loligo sp) juga terjadi pada bulan
Desember (Imron 2008). Pada musim barat ini, meskipun curah hujan dan kecepatan angin tinggi namun
diduga kelimpahan ikan tersebut cukup tinggi. Tingginya kelimpahan ikan diduga terkait dengan dengan
37
Yulieny NE, Fahrudin A, Zulbainarni N

tingginya kesuburan perairan pada musim ini, yang ditunjukkan oleh konsentrasi bentos, plankton dan larva
pada musim Barat di perairan Jawa Tengah yang sangat tinggi (Priatna dan Natsir, 2008). Kesuburan perairan
ini terkait dengan tingginya material dari sungai yang kaya nutrisi (Hendiarti et al., 2004, Hendriarti, 2005
dalam Prasetyo et al., 2017). Kecamatan Dukuh Seti dimana PPI Banyutowo berlokasi merupakan muara
bagi beberapa sungai, yaitu Sungai Lenggi, Sungai Pengarep dan Sungai Ngarengan.
Kaitan kesuburan perairan dengan musim ikan demersal dan Cumi-cumi tidak secara langsung, namun
berpengaruh terhadap rantai makanan. Saat kesuburan perairan meningkat, akan meningkatkan konsentrasi
fitoplankton. Tingginya konsentrasi fitoplakton akan mengundang kehadiran pemakan fitoplankton, yaitu
zooplankton dan ikan–ikan pelagis pemakan fitoplankton. Selanjutnya peningkatan jumlah zooplankton dan
ikan-ikan pemakan fitoplanton ini akan mengundang kedatangan ikan-ikan pemangsa (karnivora), termasuk
dalam hal ini ikan demersal dan cumi (Prasetiyo et al., 2014).
Bulan Agustus merupakan puncak musim penangkapan bagi ikan Manyung (Arius sp). Jika dikaitkan
dengan pola angin muson, puncak musim ikan Manyung terjadi pada musim timur. Hal ini disebabkan oleh
adanya proses divergensi di perairan utara Kecamatan Keling dan utara Kecamatan Donorojo, Kab. Jepara,
yang merupakan wilayah penangkapan (fishing ground) nelayan Banyutowo. Proses tersebut menyebabkan
nutrien yang berada di lapisan bawah terangkat dan meningkat konsentrasinya sehingga menyebabkan
peningkatan kesuburan fitoplankton, diindikasikan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a di wilayah tersebut.
Nilai IMP terendah ikan Bulan November merupakan saat dimana nilai IMP ikan Beloso (Sauryda sp)
paling rendah (69.49%). Hal ini diduga karena belum pulihnya sumber daya ikan setelah mengalami tekanan
penangkapan yang tinggi pada bulan Oktober. Sementara itu, rendahnya nilai IMP Beloso di musim Timur
dan musim Barat, diduga terkait dengan kondisi cuaca tidak menentu dan angin kencang, membuat nelayan
mengurangi aktivitas penangkapan.
Hasil pengujian Anova untuk mengetahui perbedaan IMP beberapa jenis ikan berdasarkan bulan
menunjukkan nilai F hitung (2.718247) lebih besar dibandingkan F tabel (1.937) sehingga H01 ditolak dan H11
diterima pada taraf kepercayaan 5%. Dengan kata lain terdapat perbedaan nyata IMP berdasarkan bulan.
Hasil pengujian anova untuk mengetahui perbedaan IMP berdasarkan jenis ikan menunjukkan nilai F
hitung (0.0000000163) lebih kecil dibandingkan F tabel (2.23948), sehingga H02 diterima dan H12 ditolak pada
taraf kepercayaan 5%, atau tidak terdapat perbedaan IMP berdasarkan jenis ikan. Meskipun demikian, patut
dicermati bahwa hasil tangkapan ikan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tunggal, namun merupakan interaksi
beberapa faktor yang saling terkait, diantaranya faktor alam (kesuburan perairan dan kondisi cuaca) serta faktor
teknologi (jumlah trip kapal, jumlah kapal yang beroperasi serta alat tangkap yang digunakan) (Prasetyo et al.
2014).
Pola musim penangkapan ikan di Banyutowo berdasarkan jenis ikan dan alat tangkapnya dapat dilihat
pada Tabel 4, yang memberikan gambaran mengenai musim penangkapan masing-masing jenis ikan dengan
alat penangkapannya. Berdasarkan Tabel 4 tentang Pola Musim Penangkapan Ikan dan Jenis Alat Tangkap
selama tujuh bulan dalam setahun (Januari, Februari, Maret, April, Mei, Oktober dan Desember) cantrang
mampu menangkap lebih banyak jenis ikan yang sedang musim dibandingkan dengan gillnet. Selama empat
bulan dalam setahun (Juni, Agustus, September dan Oktober) jumlah jenis ikan yang ditangkap oleh gillnet
sama dengan cantrang. Pada bulan Juli baik cantrang maupun gillnet tidak cocok digunakan untuk menangkap
ikan yang sedang musim di Banyutowo. Secara umum cantrang dapat menangkap lebih banyak jenis ikan
dibandingkan dengan gillnet, sedangkan gillnet lebih selektif dalam menangkap jenis ikan dibandingkan
cantrang. Wijayanto et al. (2019) menyatakan bahwa cantrang mempunyai fishing power yang lebih besar
dibandingkan dengan gillnet. Cantrang juga mampu menangkap berbagai jenis dan ukuran ikan, termasuk ikan
yang menjadi sasaran penangkapan gillnet.

38
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 34-42

Tabel 4 Pola Musim Penangkapan Ikan di PPI Banyutowo Tahun 2009-2017 berdasarkan Jenis Ikan dan Alat
Tangkap.
Jenis Ikan Frekuensi MP Per Jenis
Alat Tangkap

Bulan
Kuniran Cumi Pari Beloso Manyung Kuro Tiga Waja Cantrang Gillnet
(C) (G)

Jan C C 2 0
Feb C C/G 2 1
Mar C 1 0
Apr C C C/G C C/G C/G 6 3
Mei C C C/G C 4 1
Jun C/G C/G C/G 3 3
Jul 0 0
Ags C/G C/G 2 2
Sep C/G C/G C/G 3 3
Okt C C C C/G 4 1
Nov C/G C/G C/G C/G 4 4
Des C C C/G C C/G C/G 6 2

Keterangan :
C : Musim Penangkapan Ikan, menggunakan alat tangkap cantrang
G : Musim Penangkapan Ikan, menggunakan alat tangkap gillnet
C/G : Musim Penangkapan Ikan, menggunakan cantrang atau gillnet
: Bukan musim penangkapan ikan

Efektivitas Penggantian Alat Tangkap Cantrang dengan Gillnet Millenium


Penerima penggantian cantrang menjadi gillnet millennium di Banyutowo berjumlah 18 orang,
seluruhnya berasal dari KUB Mina Lestari. Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan terhadap 16
responden (88.89%). Usia responden berkisar antara 30-65 tahun. Pendidikan terakhir SD sebanyak 13 orang
(81,3%), SMP sebanyak 2 orang (12.5%), SMA sebanyak 1 orang (6.3%). Seluruh reponden telah menikah.
Saat pelaksanaan penelitian, 11 orang nelayan (68.8%) masih memiliki 1 unit cantrang, 4 orang nelayan masih
memiliki 2 unit cantrang dan 1 orang responden masih memiliki 3 cantrang. 11 orang reponden (68.9%) telah
menggunakan cantrang selama lebih dari 10 tahun. 5 orang responden (31.1%) telah menggunakan cantrang
selama 2-5 tahun.
Untuk indikator identifikasi dan verifikasi pada tahap proses, dinilai berdasarkan analisis terhadap
dokumen hasil identifikasi dan verifikasi calon penerima penggantian alat tangkap cantrang dari Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pati tahun 2016.

Evaluasi Proses
Hasil analisis menunjukkan nilai rata-rata sebesar 47.92%, artinya tidak terjadi efektivitas pada proses
penggantian alat tangkap cantrang menjadi gillnet. Tingkat efektivitas ini sangat dipengaruhi oleh rendahnya
pengetahuan nelayan terhadap tujuan penggantian alat tangkap serta kurangnya pendampingan dan
pemantauan. Meskipun variabel kegiatan sosialisasi menunjukkan hasil cukup efektif. Sosialisasi tersebut
belum sepenuhnya memberikan pemahaman tujuan kepada para nelayan penerima bantuan.

39
Yulieny NE, Fahrudin A, Zulbainarni N

Tabel 5 Analisis Efektivitas Tahapan Proses Penggantian Cantrang dengan Gillnet Millenium.
Efektivitas
No. Indikator Evaluasi Proses Target Realisasi (%) Kategori
1 Identifikasi dan validasi calon penerima 18 18 100.00% Sangat Efektif
sesuai ketentuan
2 16 2 12.50% Sangat tidak
Pengetahuan terhadap tujuan efektif
3 Sosialisasi 16 9 56.25% Cukup efektif
4 Informasi alternatif alat tangkap pengganti 16 9 56.25% Cukup efektif
5 Pelatihan 16 9 56.25% Cukup efektif
6 Pendampingan atau pemantauan 16 1 6.25% Sangat tidak
efektif
Rata-rata 47.92% Tidak Efektif

Indikator identifikasi dan validasi calon penerima dilakukan melalui analisis dokumen, selanjutnya
dibandingkan dengan kriteria yang diatur dalam Petunjuk Teknis Bantuan Sarana Perikanan Tangkap Tahun
2016. Hasil identifikasi dan validasi dokumen tersebut menunjukkan bahwa identifikasi dan validasi calon
penerima telah sesuai dengan petunjuk teknis (KKP, 2016).
Pemantauan terhadap pelaksanaan penggantian alat tangkap, merupakan salah satu variabel penting
dalam keberhasilan kegiatan antara lain mengetahui kesesuaian pelaksanaan dibandingkan dengan rencana,
dan dapat segera mengetahui penyebab ketidaksesuaian program sehingga dapat disusun langkah perbaikan
(Arikunto dan Jabar, 2008). Penilaian responden terhadap terhadap pemantauan sangat tidak efektif, yaitu
hanya 6,25%. Sebagian besar responden menyampaikan bahwa tidak ada petugas yang melakukan pemantauan
setelah penggantian alat tangkap, sehingga permasalahan-permasalahan yang terjadi lambat diketahui, dan
lambat ditindaklanjuti.

Evaluasi Keluaran
Analisis terhadap penggantian cantrang dengan gillnet millenium menunjukkan nilai rata-rata 33,75%,
atau sangat tidak efektif. Variabel pemilihan gillnet millennium sebagai alat tangkap pengganti cantrang
menunjukkan tingkat efektifitas 25% (sangat tidak efektif). Hasil ini berbeda dengan hasil indikator identifikasi
dan verifikasi pada tahapan proses yang menunjukkan hasil sangat efektif. Berdasarkan dokumen, seluruh
calon penerima memilih gillnet millennium sebagai pengganti cantrang, namun berdasarkan analisis persepsi
sebagian besar calon penerima menjawab tidak memilih gillnet millennium. Setelah ditelusuri lebih lanjut , hal
ini disebabkan pada saat mengusulkan secara tertulis alat tangkap yang dipilih, anggota kelompok mengikuti
saran pengurus kelompok untuk memilih gillnet millennium sebagai alat tangkap pengganti cantrang. Kondisi
ini menunjukkan kurang tepatnya metode identifikasi, dimana pemilihan jenis alat tangkap pengganti hanya
pada berdasarkan pada keinginan dan minat nelayan, tanpa dilengkapi informasi memadai mengenai kondisi
dan potensi kelimpahan sumber daya ikan di suatu perairan.
Variabel pemanfaatan alat tangkap pengganti menunjukkan nilai 37.5%, (sangat tidak efektif) karena
tingkat pemanfaatan gillnet millennium cukup rendah. Hasil wawancara dengan nelayan penerima diketahui
hasil tangkapan menggunakan gillnet millennium sangat sedikit, akibatnya sebagian besar nelayan penerima
alat tangkap tersebut kembali menggunakan cantrang. Sebagian kecil nelayan penerima tetap bertahan
menggunakan gillnet millennium dengan melakukan modifikasi terhadap alat tangkap tersebut, yaitu
menyatukan beberapa gillnet millennium atau membagi dua gillnet millennium secara horizontal kemudian
disatukan. Penggunaan alat tangkap ini tidak rutin dan hasil tangkapannya belum tercatat dengan baik.
Meskipun demikian, perlu diapresiasi upaya para nelayan tersebut dengan keyakinan bahwa hasil tangkapan
ikan akan meningkat seiring dengan semakin mahirnya mereka dalam menggunakan alat tangkap tersebut. Hal
ini terkait erat dengan hasil analisis terhadap variabel kemampuan merakit dan mengoperasikan gillnet

40
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 34-42

millenium yang menunjukkan nilai 43.75% (tidak efektif). Diketahui dari hasil pelatihan bahwa sebagian besar
nelayan belum mampu/ tidak mau merakit alat tangkap dan atau mengoperasikannya.
Penolakan untuk menggunakan oleh sebagian besar nelayan penerima maupun adanya upaya sebagian
kecil nelayan penerima gillnet millennium disebabkan adanya ketidaksesuaian alat tangkap tersebut dengan
armada penangkapan yang digunakan. Perahu untuk mengoperasikan cantrang berlunas lebar dan ukurannya
pendek (Nababan et al., 2018), sedangkan untuk mengoperasikan gillnet millennium diperlukan perahu yang
lebih kecil dibandingkan perahu untuk mengoperasikan cantrang.

Tabel 6 Analisis Efektivitas Tahapan Keluaran Penggantian Cantrang dengan Gillnet Millenium.
No. Indikator Evaluasi Proses Target Realisasi Efektivitas (%) Kategori

1 Pemilihan gillnet millennium 16 4 25.00% Sangat tidak efektif


sebagai alat tangkap pengganti
2 Pemanfaatan alat tangkap 16 6 37.50% Sangat tidak efektif
pengganti
3 Kemampuan merakit dan 16 7 43.75% Tidak efektif
mengoperasikan gillnet
millenium
4 Kesesuaian kapal/ perahu 16 0 0.00% Sangat tidak efektif
untuk mengoperasikan gillnet
millenium
5 Kesesuaian gillnet millenium 16 10 62.50% Cukup Efektif
untuk digunakan di perairan
sekitar Banyutowo
Rata-rata 33.75% Sangat Tidak efektif

SIMPULAN
Berdasarkan kondisi biofisik perairan dan data hasil tangkapan, diketahui bahwa Cantrang dapat
menangkap lebih banyak jenis ikan dibandingkan dengan gillnet. Hal ini disebabkan gillnet lebih selektif dalam
menangkap jenis ikan dibandingkan cantrang. Artinya kebijakan penggantian cantrang dengan gillnet
millennium sudah sesuai dan mendukung pencapaian tujuan pembangunan kelautan dan perikanan secara
berkelanjutan. Meskipun demikian, agar upaya penggantian alat tangkap ini dapat mencapai tujuannya secara
optimal, dibutuhkan upaya penyempurnaan program sebagai berikut: a) Mempertimbangkan kesesuaian antara
alat tangkap dengan armada penangkapan yang digunakan; b) Pendampingan yang lebih daripada sekedar
memberi pelatihan kepada para nelayan penerima program, sehingga mereka dapat menguasai dengan baik
penggunaan alat tangkap pengganti yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun
2015 tentang Pelarangan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik (seine Nets). Jakarta (ID)
[internet]. [diunduh pada 2016 Jan 20] tersedia
http://infohukum.kkp.go.id/index.php/hukum/download/645/?type_id=1
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2016. Petunjuk Teknis
Bantuan Sarana Perikanan Tangkap Tahun 2016. Jakarta. (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Arikunto S, Jabar CSA. 2008. Evaluasi Program Pendidikan. Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan
Praktisi Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Badrudin, Aisyah, Ernawati T. 2011. Kelimpahan stok sumber daya ikan demersal di Perairan Sub Area Laut
Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11–21.
41
Yulieny NE, Fahrudin A, Zulbainarni N

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.15578/jppi.17.1.2011.11-21.
Budiani, NW. 2009. Efektivitas program penanggulangan pengangguran karang taruna “Eka Taruna Bhakti”
Desa Sumerta Kelod Kecamatan Denpasar Timur Kota Denpasar. Jurnal Ekonomi dan Sosial. I N P U
T. 2(1): 49-57.
Dajan A. 1986. Pengantar Metode Statistik Jilid I. Jakarta (ID): LP3ES.
Damora, A., Ernawati, T. 2011. Beberapa aspek biologi ikan beloso (Saurida micropectoralis) di perairan
utara Jawa Tengah. Bawal. 3: 363–367. https://doi.org/10.15578/bawal.3.6.2011.363-367.
Hendiarti N, Siegel H, Ohde T. 2004. Investigation of different coastal processes in Indonesian waters using
SeaWiFS data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography. 51 (1–3): 85–97.
https://doi.org/10.1016/J.DSR2.2003.10.003.
Hermanto D, Kusumastanto T, Adrianto L, Supartono. 2019. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap
berbasis daya dukung lingkungan perairan Di WPPNRI 711. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Lingkungan. 9(1): 105–113. https://doi.org/10.29244/jpsl.9.1.
Hidayat EF, Pujiyati S, Suman A, Hestirianoto T. 2019. Estimating potential zones of pelagic fish in WPPNRI
711 (Study case of Natuna Sea). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. 9(1): 92–96.
https://doi.org/10.29244/jpsl.9.1.92-96.
Imron M. 2008. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Demersal Yang Berkelanjutan Di Perairan Tegal Jawa
Tengah (Institut Pertanian Bogor). Retrieved from
https://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/40993/2008mim.pdf?sequence=15&isAllowed
=y.
Nababan BO, Solihin A, Christian Y. 2018. Dampak Sosial Ekonomi Kebijakan Larangan Pukat Hela dan
Pukat Tarik di Pantai Utara Jawa. Bogor(ID): Indonesia.
Prasetyo BA, Hartoko A, Hutabarat S. 2014. Sebaran spasial Cumi-cumi (Loligo Spp.) dengan variabel suhu
permukaan laut dan klorofil-a data Satelit Modis Aqua di Selat Karimata Hingga Laut Jawa. Jurnal
Management of Aquatic Resources. 3(1): 51–60.
Prasetyo DA, Kunarso K, Satriadi A. 2017. Keterkaitan varibilitas angin terhadap perubahan kesuburan dan
potensi daerah penangkapan ikan di Perairan Jepara. Jurnal Oseanografi. 6(1): 158–164.
Priatna A, Natsir M. 2008. Pola sebaran ikan pada musim barat dan peralihan di Perairan Utara Jawa Tengah.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14(1): 67–76.
Simarmata R, Boer M, Fahrudin A. 2014. Analisis sumberdaya Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di
Perairan Selat Sunda yang didaratkan di PPP Labuan, Banten. Marine Fisheries. 5(2): 149–154.
Triarso I. 2013. Potensi dan peluang pengembangan usaha perikanan tangkap di Pantura Jawa Tengah. Jurnal
Saintek Perikanan. 8(2): 6–17.
Wijayanto D, Sardiyatmo, Setyanto I, Kurohman F. 2019. Bioeconomic analysis of the impact of ‘cantrang’
(Danish seine) toward gill net in Pati regency, Indonesia. AACL Bioflux. 12(1):25–33.
Wirawan. 2016. Evaluasi Teori, Model, Metodologi, Standar, Aplikasi dan Profesi (Edisi Revisi). Jakarta.
(ID): Rajagrafindo Persada.
Zubainarni N, Yani,A. Faradissa. 2016. Kajian Valuasi Dampak Ekonomi dan Sosial Pelarangan Alat Tangkap
Cantrang di Jawa Tengah. Bogor (ID) : Agro Maritim.

42
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 43-51. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.43-51
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman kayu putih dan implikasinya


terhadap teknik silvikultur
Land Suitability for Cajuput Development and its Inference on Silviculture Strategy

Ronggo Sadonoa, Djoko Soeprijadia, Pandu Y.A.P. Wirabuanab


aDepartemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jln. Agro No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281
bDepartemen Penelitian dan Pengembangan, Trofsit, Jln. Kaliurang km 16, Yogyakarta 55281

Article Info: Abstract: Cajuput is a plant that plays a key role for forest industry
Received: 06 - 09 - 2019 development. Its leaves contain essential oil and become one of the non-timber
Accepted: 21 - 11 - 2019
forest products. The productivity of cajuput leaves is affected by certain
Keywords: factors, one of them are the level of land suitability. This study identified the
Cajuput, land suitability, land suitability for cajuput establishment and its inference on silviculture
strategy, silviculture strategy. Study location was situated in Forest Resort Gubugrubuh,
Corresponding Author: Gunungkidul District. Data collection was conducted in 3 site that was
Pandu Y.A.P. Wirabuana converted as the priority site of cajuput plantation namely site 75, site 78, and
Departemen Penelitian dan site 80. We used six variables of land attributes covering altitude, slope,
Pengembangan, Trofsit; rainfall, temperature, soil acidity, and soil organic carbon. Land suitability
Telp. +6281-226887738
E-mail:
was determined by qualitative approach using storie and root square method.
pyapwirabuana92@gmail.com Results demonstrated the level of land. land suitability was classified into N1
(currently not suitable) referring to the storie method while it was categorized
into S3 (marginally suitable) according to the root square method. This study
also recorded the difference land attributes which became the limiting factors
of cajuput growth in every site. The best silviculture strategies for supporting
cajuput development in each site were terrace construction, fertilization, and
spacing management.
How to cite (CSE Style 8th Edition):
Sadono R, Soeprijadi D, Wirabuana PYAP. 2019. Kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman kayu putih dan implikasinya
terhadap teknik silvikultur. JPSL 10(1): 43-51. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.43-51.

PENDAHULUAN
Kayu putih merupakan tanaman yang memiliki peranan penting untuk pembangunan industri kehutanan.
Tanaman ini memberikan berbagai manfaat secara ekologi, ekonomi, dan sosial (Junaidi et al., 2015). Kayu
putih termasuk kategori fast growing species (FGS) yang dapat digunakan untuk mempercepat proses suksesi
pada lahan kritis seperti kawasan karst (Page et al., 2009) serta restorasi ekosistem gambut (Tata &
Pradjadinata 2015). Spesies ini juga dapat dikembangkan sebagai tanaman remediasi pada tanah
terkontaminasi (Mohd et al. 2013). Kayu putih sangat adaptif untuk dibudidayakan melalui sistem agroforestri
sehingga meningkatkan peluang untuk mendukung program ketahanan pangan (Suryanto et al., 2017). Daun
kayu putih mengandung minyak atsiri yang bermanfaat untuk industri obat-obatan dan kosmetik. Hingga saat
ini, minyak kayu putih menjadi produk hasil hutan non kayu (HHNK) yang bernilai ekonomi tinggi dengan
potensi pasar yang cukup prospektif (Budiadi dan Ishii, 2010). Sebagai komoditi kehutanan, kayu putih telah
banyak dikembangkan baik di hutan negara maupun hutan rakyat. Pengelolaan kayu putih secara intensif telah
banyak diupayakan, salah satunya di Pulau Jawa (Budiadi et al., 2006). Potensi kayu putih sebagai produk
HHNK berkontribusi positif terhadap pendapatan perusahaan ketika suplai kayu dari hutan negara mulai
43
Sadono R, Soeprijadi D, Wirabuana PYAP

menurun. Produktivitas kayu putih bervariasi tergantung karakteristik lahan yang menjadi habitatnya (Budiadi
et al., 2005; Helfiansah et al., 2013).
Lahan merupakan sumberdaya yang mempunyai posisi strategis dalam mendukung industri pertanian dan
kehutanan (Memarbashi et al., 2017). Sifat-sifat lahan meliputi iklim, topografi, dan tanah memiliki pengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan tanaman (Malekian dan Jafarzadeh, 2011). Karakteristik lahan dapat
berfungsi sebagai katalisator maupun inhibitor bagi pertumbuhan tanaman (Sharififar, 2012). Pemanfaatan
lahan secara optimal dapat menghasilkan produktivitas tanaman yang tinggi. Kondisi tersebut sangat
ditentukan oleh kelas kesesuaian lahan dalam mendukung prasyarat tumbuh tanaman (Girma et al., 2015).
Dalam konteks tersebut, kesesuaian lahan merupakan landasan informasi untuk menentukan strategi
pengelolaan hutan tanaman yang meliputi (1) pemilihan alternatif jenis tanaman yang berinteraksi positif
dengan atribut lahan (Nethononda et al., 2014); (2) penyusunan strategi silvikultur untuk meningkatkan
kualitas tanah melalui skenario manipulasi lingkungan terhadap faktor pembatas lahan (Zhang et al., 2015);
(3) penentuan teknik konservasi tanah dan air untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi erosi
(Dengiz et al., 2010); serta (4) pengaturan pola tanam untuk mengendalikan kompetisi antar tanaman sehingga
dapat menghasilkan pertumbuhan yang optimal (Bhagat, 2012).
Meskipun memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai variasi kondisi lingkungan, Sudaryono
(2010) dan Dibia (2015) mendokumentasikan bahwa kayu putih secara prinsip akan tumbuh dengan baik pada
lahan yang terletak di dataran rendah dengan konfigurasi relatif datar. Tanaman ini dapat berkembang dengan
baik pada kondisi tergenang maupun kering. Akan tetapi, rendemen minyak kayu putih akan lebih banyak
dihasilkan oleh tanaman yang tumbuh di daerah kering dengan curah hujan tahunan < 1.500 mm /tahun.
Kemasaman tanah yang netral dengan kandungan bahan organik yang rendah sangat sesuai untuk pertumbuhan
tanaman kayu putih.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat kesesuaian lahan pada lokasi pengembangan hutan
tanaman kayu putih yang terletak di Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Gubugrubuh. Informasi ini selanjutnya
akan digunakan untuk untuk merumuskan teknik silvikultur yang dapat digunakan untuk mendukung upaya
pengembangan kayu putih pada kawasan tersebut. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan mekanisme
perbandingan antara prasyarat tumbuh kayu putih dengan karakteristik lahan yang terdapat pada lokasi studi.
Data prasyarat tumbuh kayu putih dikumpulkan dari studi literatur yang mengkaji tentang tanaman kayu putih.
Dilain pihak, survey lapangan dilaksanakan untuk mengukur karateristik lahan pada setiap petak prioritas yang
digunakan sebagai zona produksi tanaman kayu putih.

METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RPH Gubugrubuh, Kabupaten Gunungkidul. Kawasan ini secara geografis
terletak antara 7.92 – 7.95 0LS dan 110.48 – 110.55 0BT. Luas RPH Gubugrubuh mencapai 645 ha yang
mencakup 5 wilayah pedesaan yaitu Banaran, Getas, Ngleri, Ngunut, dan Bleberan. Bentang lahan di wilayah
penelitian didominasi oleh perbukitan karst yang termasuk zona Ledok-Wonosari. Elevasi kawasan bervariasi
antara 100 - 200 m dpl dengan tingkat kelerengan mencapai 8 – 25%. Kondisi iklim di kawasan ini termasuk
kategori C menurut Schimdt dan Fergusson dengan curah hujan berkisar 1 700 – 2 000 mm /tahun. Suhu
lingkungan mencapai 22.3 – 32.4 0C dengan kelembaban nisbi sekitar 80 – 85%. RPH Gubugrubuh memiliki
2 tipe tanah yaitu alfisol dan vertisol. Komoditi kehutanan yang dikembangkan di wilayah ini terdiri dari 2
jenis yaitu jati dan kayu putih (Haryanto, 2012).

44
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 43-51

Gambar 1 Lokasi penelitian pada kawasan hutan tanaman RPH Gubugrubuh (Sumber: Sadono et al., 2019).

Metode Pengumpulan Data


Proses pengumpulan data dimulai dengan melakukan identifikasi petak yang menjadi area prioritas untuk
penanaman kayu putih. Hasil pengamatan awal menunjukkan terdapat 3 petak yang menjadi prioritas lokasi
pengembangan kayu putih yaitu petak 75, 78, dan 80. Selanjutnya dilakukan pengukuran karakteristik lahan
yang meliputi elevasi, kelerengan, suhu, curah hujan, kemasaman tanah, dan kandungan bahan organik tanah.
Elevasi diukur dengan altimeter, sedangkan kelerengan diestimasi dengan klinometer. Pengukuran dilakukan
secara random dengan 3 replikasi pada setiap petak.
Data tentang curah hujan dan suhu diperoleh dari stasiun pengamatan cuaca terdekat dari lokasi penelitian.
Sedangkan analisis sifat tanah dilaksanakan melalui pengambilan sampel tanah secara terusik. Dalam konteks
ini, sampel tanah dikumpulkan secara acak dari lapisan permukaan pada kedalaman 0 – 15 cm (Lin et al.,
2014) dengan 3 replikasi pada setiap petak. Sampel tersebut selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diuji
tingkat kemasaman dan kadar bahan organik. Penentuan nilai kemasaman tanah diukur dengan metode pH
meter (Van Reeuwijk, 1993), sedangkan kadar bahan organik dianalisis dengan metode Walkey & Black
(Black, 1965).
Tabel 1 Prasyarat lahan untuk pertumbuhan tanaman kayu putih.
Kriteria Simbol Satuan Sub Kriteria Nilai
*
Elevasi A m dpl 30-100 100
101-200 80
201-300 60
301-400 40
>400 20
**
Kelerengan S % 0-8 100
9-15 80
16-30 60
30-50 40
>50 20
Suhu* T 0
C 26-28 100
29-31;23-25 80

45
Sadono R, Soeprijadi D, Wirabuana PYAP

Kriteria Simbol Satuan Sub Kriteria Nilai


32-35;20-22 60
36-38;17-19 40
>38;<17 20
**
Curah hujan R mm/tahun 1.201-1.500 100
1.501-1.800;801-1.200 80
1.801-2.000;601-800 60
2.001-2.250;<600 40
>2.250 20
Kemasaman tanah* pH - 6.01-6.50 100
6.51-7.00;5.51-6.00 80
7.01-7.50;5.01-5.50 60
7.51-8.00;4.51-5.00 40
>8.00;<4.51 20
C organik** SOC % 3,01-4,00 100
4,01-8,00;2,01-3,00 80
8,01-12,00;1,01-2,00 60
12,01-15,00;0,51-1,00 40
>15,00;<0,51 20
Sumber : *Dibia (2015); ** Sudaryono (2010)

Metode Analisis Data


Data yang diperoleh selanjutnya direkapitulasi untuk disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabulasi.
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan melalui pola matching systems yaitu membandingkan antara karakteristik
lahan dengan prasyarat tumbuh tanaman kayu putih (Tabel 1). Selanjutnya dilakukan perhitungan nilai indeks
lahan dengan metode storie dan root square melalui persamaan matematis (Sys et al., 1991) :
a. Metode Storie
𝐵 𝐶
𝐼 =𝐴𝑥 𝑥 𝑥 …. (1)
100 100
b. Metode Root Square
𝐴 𝐵
𝐼 = 𝑅𝑚𝑖𝑛 √100 𝑥 100
𝑥… (2)

dimana I merupakan indeks lahan. A,B,C, …. merepresentasikan skor kesesuaian lahan dengan prasyarat
tumbuh kayu putih. Rmin adalah skor minimum kesesuaian atribut lahan terhadap prasyarat tumbuh kayu putih.
Berdasarkan nilai indeks lahan yang diperoleh selanjutnya ditentukan klasifikasi kesesuaian lahan (Tabel 2).
Penentuan alternatif strategi silvikultur dirumuskan berdasarkan sifat lahan yang menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan kayu putih, ditandai dengan skor kesesuain terendah.

46
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 43-51

Tabel 2 Klasifikasi kelas kesesuaian lahan berdasarkan nilai indeks lahan.


Indeks lahan Kelas kesesuaian Simbol
75-100 Sangat sesuai S1
50-75 Sesuai S2
25-50 Sesuai marginal S3
12.5-25 Tidak sesuai saat ini N1
0-12.5 Tidak sesuai permanen N2
Sumber : Albaji et al. (2009)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 3 memperlihatkan perbandingan karakteristik lahan pada setiap petak pengembangan kayu putih.
Elevasi pada ketiga lokasi dikategorikan sebagai dataran rendah karena terletak pada rentang kurang dari 700
m dpl (Nakashizuka, 1991). Lokasi penanaman tertinggi berada pada petak 78 dengan kisaran 200 – 203 m
dpl. Berpedoman pada klasifikasi kelerengan lahan (Pramanik, 2016), bentang lahan pada lokasi
pengembangan kayu putih didominasi oleh daerah landai dengan tingkat kelerengan mencapai 8 – 15%. Akan
tetapi, terdapat petak penanaman yang memiliki kondisi lahan agak curam yaitu petak 75 dengan kisaran
kelerengan mencapai 16 – 25%.

Tabel 3 Karakteristik lahan pada petak prioritas pengembangan kayu putih di RPH Gubugrubuh.
Parameter lahan Petak 75 Petak 78 Petak 80
Elevasi (m dpl) 163 - 171 200 - 203 172 - 185
Kelerengan (%) 16 - 25 8 - 15 8 - 15
0
Suhu ( C) 23.2 - 32.4 23.2 - 32.4 23.2 - 32.4
Curah hujan (mm/tahun) 1 850 – 2 000 1 850 – 2 000 1 500 – 1 750
Kemasaman tanah 6.10 - 6.50 5.50 - 6.00 5.50 - 6.00
C organik (%) 2.48 - 3.23 2.56 - 3.11 1.57 - 2.2

Tabel 3 menunjukkan bahwa variasi suhu dari setiap petak memiliki rentang yang sama yaitu 23.2 – 32.4
0
C, namun terdapat perbedaan curah hujan pada petak penanaman. Secara umum curah hujan di ketiga lokasi
termasuk kategori rendah dengan kisaran 1 500 – 2 000 mm/tahun (Sarfaraz, 2014). Curah hujan terendah
ditemukan pada petak 80 yang mencapai 1 500 – 1 750 mm/tahun. Selain variabel curah hujan, komponen sifat
tanah baik kemasaman tanah maupun kandungan bahan organik juga memperlihatkan perbedaan pada setiap
petak. Kemasaman tanah terendah terdapat pada petak 75 yang mencapai 6.10 – 6.50. Sedangkan kandungan
bahan organik terendah ditemukan pada petak 80 yang berkisar 1.57 – 2.20%. Berdasarkan klasifikasi tingkat
kemasaman tanah dan kandungan bahan organik (Nandini dan Narendra, 2012), ketiga petak memiliki tingkat
kemasaman tanah yang termasuk kategori agak masam dengan kadar bahan organik dari rendah sampai tinggi.
Hasil penilaian kesesuaian lahan dengan metode storie menunjukkan bahwa kelas kesesuaian lahan pada
ketiga petak termasuk kategori N1 (tidak sesuai untuk saat ini). Ouput ini berbeda dengan metode root square
yang memperlihatkan bahwa kesesuaian lahan dari ketiga lokasi termasuk kategori S3 (sesuai marginal).
Atribut lahan yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan kayu putih berbeda untuk setiap petak. Kelerengan
lahan dan curah hujan menjadi faktor pembatas pengembangan kayu putih pada petak 75, sedangkan
kandungan bahan organik menjadi aspek penghambat pertumbuhan kayu putih pada petak 80. Sifat lahan yang
menjadi pembatas pertumbuhan kayu putih di petak 78 adalah elevasi dan curah hujan (Tabel 4).

47
Sadono R, Soeprijadi D, Wirabuana PYAP

Tabel 4 Kelas kesesuaian lahan pada petak pengembangan kayu putih.


Indeks kesesuaian lahan
Faktor
Petak Kelas Kelas
Storie Root Square Pembatas
Kesesuaian Kesesuaian
75 23.04 N1 28.80 S3 SR
78 23.04 N1 38.40 S3 AR
80 24.58 N1 39.66 S3 SOC

Dibandingkan metode storie, ouput evaluasi kesesuaian lahan dengan metode root square menyajikan
informasi yang lebih relevan dalam konteks pengembangan tanaman secara komersial. Argumen ini
dirumuskan berdasarkan fakta bahwa tanaman kayu putih di RPH Gubugrubuh mampu menghasilkan produksi
daun yang cukup menjanjikan meskipun terdapat variasi hasil panen dari setiap petak. Pernyataaan ini juga
didukung dengan hasil penelitian lain yang menyebutkan bahwa prosedur evaluasi kesesuaian lahan berbasis
metode root square menghasilkan luaran informasi yang lebih realistis untuk digunakan sebagai acuan dalam
budidaya sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan (Jafarzadeh et al., 2008; Albaji et al., 2009; Dengiz et
al., 2010)
Berpedoman pada hasil penilaian kesesuaian lahan, terdapat 4 sifat lahan yang berperan sebagai faktor
pembatas untuk mendukung budidaya kayu putih di RPH Gubugrubuh yaitu elevasi, kelerengan lahan, curah
hujan, dan kadar bahan organik. Elevasi merupakan atribut lahan yang berpengaruh terhadap perubahan suhu
(Chua et al., 2015). Variabel ini termasuk aspek topografi yang tidak dapat dimanipulasi melalui intervensi
silvikultur (Dahlgren dan Ehrlen, 2009). Namun, studi ini tidak menemukan adanya perbedaan variasi suhu
antar petak meskipun terdapat perbedaan rentang elevasi.
Kelerengan lahan dan curah hujan merupakan sifat lahan yang berhubungan dengan potensi erosi.
Semakin tinggi level kelerengan dan intensitas curah hujan, maka potensi erosi semakin besar (Mu et al.,
2015). Erosi dapat menyebabkan penurunan kesuburan tanah karena menyebabkan proses pelindihan hara
(Murthy et al. 2016). Dalam rangka mengurangi resiko erosi, pembuatan terasering dan pengaturan kerapatan
pola tanam dapat menjadi alternatif teknik silvikultur. Strategi ini secara konsisten berpotensi untuk
menghambat laju aliran permukaan yang menjadi faktor penyebab erosi.
Konsentrasi bahan organik tanah memiliki keterkaitan dengan ketersediaan nutrisi yang dapat diserap
oleh tanaman kayu putih. Kadar bahan organik yang rendah dapat ditingkatkan melalui kegiatan pemupukan.
Hasil penelitian telah banyak membuktikan bahwa pemupukan secara signifikan dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah. Akan tetapi, pemberian pupuk harus dilakukan secara terkontrol agar tidak
meningkatkan kemasaman tanah (Makinde et al., 2009; Liu et al., 2014; Rakkar et al., 2015). Studi lain juga
membuktikan bahwa penambahan bahan organik tanah secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah sehingga berpotensi mengurangi erosi (Silva et al., 2011; Arevalo-Gardini et al., 2015; Brar et
al., 2015).

SIMPULAN
Evaluasi kesesuaian lahan dengan metode root square memperlihatkan hasil yang lebih relevan daripada
metode storie. Kelas kesesuaian lahan pada petak pengembangan kayu putih di RPH Gubugrubuh secara
keseluruhan termasuk kategori S3 (sesuai marginal). Atribut lahan yang menjadi faktor pembatas pertumbuhan
kayu putih bervariasi untuk setiap petak mencakup elevasi, kelerengan, curah hujan, dan kandungan bahan
organik. Teknik silvikultur yang dapat diterapkan untuk meningkatan daya dukung lahan terhadap tanaman
kayu putih meliputi pembuatan teras, pengaturan pola tanam, dan pemupukan. Berdasarkan hasil penelitian ini
kami menyarankan untuk melakukan proses identifikasi kesesuaian lahan bagi pengembangan tanaman kayu
putih di lokasi lain yang dimaksudkan untuk kepentingan komersial sehingga produktivitas kayu putih dapat
ditingkatkan dengan preskripsi silvikultur yang tepat.

48
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 43-51

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami menyampaikan rasa terima kasih kepada para pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan
penelitian ini di antaranya adalah Dr. Priyono Suryanto yang telah memfasilitasi untuk menjalin kerjasama
penelitian dengan KPH Yogyakarta serta pengelola RPH Gubugrubuh yang telah mengizinkan implementasi
kegiatan penelitian di wilayahnya. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada reviewer yang telah
memberikan saran dan masukan dalam memperbaiki naskah artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA
Albaji M, Naseri A, Papan P, Nasab S. 2009. Qualitative evaluation of land suitability for principal crops in
the west shoush plain, southwest Iran. Bulgarian Journal of Agricultural Science. 2(15):135-145.
Arevalo-Gardini E, Canto M, Alegre J, Loli O, Julca A, Baligar V. 2015. Changes in soil physical and chemical
properties in long term improved natural and traditional agroforestry management systems of cacao
genotypes in Peruvian Amazon. PLOS ONE. 10(7):1-29.
Bhagat VS. 2012. Use of remote sensing techniques for robust digital change detection of land : A review.
Recent Pattern Space Technology. 2:124-144.
Black CA. 1965. Chemical and mikrobiological properties. In : Methods of soil analysis. Wisconsin-Madinson:
American Society.
Brar BS, Singh J, Singh G, Kaur G. 2015. Effect of long term application of inorganic and organic fertilizer
on soil organic carbon and physical properties in maize-wheat rotation. Agronomy. 5:220-238.
Budiadi, Ishii HT, Sabarnurdin MS, Suryanto P, Kanazawa Y. 2006. Biomass cycling and soil properties in an
agroforestry-based plantation system of kayu putih (Melaleuca leucadendron LINN) in East Java,
Indonesia. Agroforestry Systems. 67:135-145.
Budiadi, Ishii HT. 2010. Comparison of carbon sequestration between multiple-crop, single-crop and
monoculture agroforestry systems of melaleuca in Java, Indonesia. Journal of Tropical Forest Science.
22(4):378-388.
Budiadi, Kanazawa Y, Ishii HT, Sabarnurdin MS, Suryanto P. 2005. Productivity of kayu putih (Melaleuca
leucadendron LINN) tree plantation managed in non-timber forest production systems in Java,
Indonesia. Agroforestry Systems. 64:143-155.
Chua IY, King PJ, Ong KH, Sarbini SR, Yiu PH. 2015. Influence of light intensity and temperature on
antioxidant activity in Premna serratifolia L. Journal of Soil Science and Plant Nutrition. 15(3):605-
614.
Dahlgren JP, Ehrlen J. 2009. Linking environmental variation to population dynamics of a forest herbs. Journal
of Ecology. 97:666-674.
Dengiz O, Gol C, Sarioglu FE, Edis S. 2010. Parametric approach to land evaluation for forest plantation.
African Journal of Agriculture Research. 5(12):1482-1496.
Dibia IY. 2015. Land suitability evaluation for cajuput development (Melaleuca leucadendra) in western
plantation Bali (Grograk Sub-District), Buleleng District. Agrotrop. 5 (2):194-205.
Girma R, Moges A, Quraishi S. 2015. GIS based physical land suitability evaluation for crop production in
eastern Ethiopia : a case study in Jello Watershed. Agrotechnology. 5(1):2-7.
Haryanto, S. 2012. Planning of cajuput plantation management. Yogyakarta Forest Management Unit Official,
Yogyakarta.
Helfiansah R, Sastrohamidjojo H, Riyanto. 2013. Isolation, identification and purification cinneol materials
1.8 of cajuput oil (Melaleuca leucadendron). ASEAN Journal of Systems Engineering. 1(1):19-24.
Jafarzadeh AA, Alamdari P, Neyshabouri MR, Saedi S. 2008. Land suitability evaluation of Bilverdy Research
Station for wheat, barley, alfalfa, maize, and safflower. Soil and Water Resource. 3(1):81-88.

49
Sadono R, Soeprijadi D, Wirabuana PYAP

Junaidi E, Winara A, Siarudin M, Indrajaya Y, Widiyanto A. 2015. Spatial distribution of plant cajuput oil in
Wasur National Park. Journal of Wallacea Forestry Research. 4(2):101-113.
Liu CW, Sung Y, Chen BC, Lai HY. 2014. Effects of nitrogen fertilizers on the growth and nitrate content of
lettuce (Lactuca sativa L.). International Journal of Environmental Research and Public Health.
11:4427-4440.
Makinde EA, Eniola HT, Fagbola O. 2009. Effect of organic, organomineral, and NPK fertilizers on soil pH,
organic matter, and micronutrient content in two soil types. Research on Crops. 10:77-85.
Malekian A, Jafar zadeh AA. 2011. Qualitative land suitability evaluation of the Khajeh Research Station for
wheat, barly, alfafa, maize, and safflower. Research in Plant Biology. 1(5):33-40.
Memarbashi E, Azadi H, Barati AA, Mohajeri F, Van Passel S, Witlox F. 2017. Land-use suitability in
Northeast Iran : application of AHP-GIS hybrid model. International Journal of Geo-Information.
6(396):1-15.
Mohd SN, Majid NM, Shazili NM, Abdu A. 2013. Growth performance, biomass, and phytoextraction
efficiency of Acacia mangium and Melaleuca cajuput in remediating heavy metal contaminated soil.
American Journal of Environmental Science. 9(4):310-316.
Mu W, Yu F, Li C, Xie Y, Tian J, Liu J, Zhao N. 2015. Effects of rainfall intensity and slope gradient on runoff
and soil moisture content on different growing stages of spring maize. Water. 7:2990-3008.
Murthy IK, Dutta S, Varghese V, Joshi PP, Kumar P. 2016. Impact of agroforestry systems on ecological and
socio-economy system : a review. Global Journal of Science Frontier Research. 16(5):15-27.
Nakashizuka T. 1991. Altitudinal zonation of forest communities in Selangor, Peninsular Malaysia. Journal
of Tropical Forest Science. 4(3):233-244.
Nandini R, Narendra BH. 2012. Critical land characteristics of former eruption of Batur Mount in Bangli
District, Bali. Journal of Forest Research and Nature Conservation. 9(3):199-211.
Nethononda LO, Odhiambo JO, Paterson DG. 2014. Land suitability for specific crop ranges using dynamic
land suitability evaluation guidelines for small-scale communal irrigation schemes. Bulgarian Journal
of Agricultural Science. 20(6):1349-1360.
Page S, Hoscilo A, Wosten H, Jauhiainen J, Silvius M, Rieley J, Limin S. 2009. Restoration ecology of lowland
tropical peatlands in Southeast Asia : current knowledge and future directions. Ecosystems. 12:888-905.
Pramanik MK. 2016. Site suitability analysis for agricultural land use of Darjeeling District using AHP and
GIS techniques. Modeling Earth Systems and Environment. 2(56):1-22.
Rakkar MK, Franzen DW, Chatterjee A. 2015. Evaluation of soil potassium test to improve fertilizer
recommendations for corn. Open Journal of Soil Science. 5:110-122.
Sadono R, Soeprijadi D., Wirabuana PYAP. 2019. Effect of soil chemical properties on the growth of cajuput
stand (Melaleuca leucadendron (L.) Linnaeus). Journal of Wallacea Forestry Research. 8(1):1-7.
Sarfaraz S. 2014. The sub-regional classification of Pakistan's winter precipitation based on principal
components analysis. Pakistan Journal of Meteorology. 10(20):57-66.
Sharififar A. 2012. Assessment of different methods of soil suitability classification for wheat cultivation.
Journal of Agrobiology. 29(2):47-54.
Silva GL, Lima HV, Campanha MM, Gilkes RJ, Oliveira TS. 2011. Soil physical quality of luvisols under
agroforestry, natural vegetation and conventional crop management systems in the Brazilian semi-arid
region. Geoderma. 167-168:61-70.
Sudaryono. 2010. Land suitability evaluation for cajuput in Buru District, Maluku Province. Journal of
Environmental Enginering. 11(1):105-116.
Suryanto P, Tohari, Putra E, Alam T. 2017. Minimum soil quality determinant for rice and 'kayu putih' yield
under hilly areas. Journal of Agronomy. 16:115-123.

50
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 43-51

Sys C, Vanranst E, Debaveye J. 1991. Method in land evaluation. In : Land evaluation. Ghent: Internasional
training center for post graduate soil scientist and Ghent University.
Tata HL, Pradjadinata S. 2015. Native species for degraded peat swamp forest rehabilitation. Journal of
Tropical Silviculture. 7:580-582.
Van Reeuwijk LP. 1993. Technology paper. In : Procedure for soil analysis. Wageningen: Internasional Soil
Reference and Information Center, Wageningen.
Zhang J, Su Y, Wu J, Liang H. 2015. GIS based land suitability assessment for tobacco production using AHP
and fuzzy set in Shandong province of China. Computation Electronical Agriculture. 114:202-211.

51
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 52-65. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.52-65
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Komposisi Jenis Tumbuhan dan Analisis Sebaran Langkap (Arenga obtusifolia


Mart.) di Taman Nasional Ujung Kulon
Composition of Plants and Spread Analysis of Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) in Ujung
Kulon National Park

Indra Febrianaa, Cecep Kusmanab, U. Mamat Rahmatc


a Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Darmaga, Bogor 16680, Indonesia [+6281310318349]
b Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680
c Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

Article Info: Abstract: Langkap (Arenga obtusifolia) is one of the species of the Arenga
Received: 15 - 10 - 2019 clan, which has a wide distribution in Ujung Kulon National Park (UKNP).
Accepted: 18 - 12 - 2019
The Langkap dominance has serious implications for the forest dynamics,
Keywords: including the plant diversity that feeding the Javan Rhino in the park. The aim
Arenga obtusifolia, the spread of study was to determine the pattern of spreading langkap in order to support
analysis, dominance, Ujung the management of Javan Rhino habitat. The vegetation analysis method used
Kulon National Park
is a combination method between the line method and the path method.
Corresponding Author: Langkap is the dominant species in UKNP at the sapling growth rate, with a
Indra Febriana density of 480-624 individuals/ha and INP value of 61.47% -78.30%, while
Program Studi Pengelolaan the catch density at seedling growth rate is 900- 2,200 individuals/ha with INP
Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Sekolah value of 21.31% -49.41%. The standard Morisita coefficient value of langkap
Pascasarjana Institut Pertanian in each research block and growth rate is obtained in the range of values (-
Bogor; 0.32) - 0.51, the spreading pattern shows a clustered spread pattern (Ip> 0)
Tel. +62-81310318349 and uniform (Ip <0). The tendency of langkap domination in the research
Email: ifebriana@gmail.com
block can be seen from the ratio of catch density compared to the total density
or its relative density at various growth rates. This shows that in the dominant
catchment area there is a reduction in the density of plants other than langkap,
especially the Javan Rhino feed plants.

How to cite (CSE Style 8th Edition):


Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM. 2019. Komposisi Jenis Tumbuhan dan Analisis Sebaran Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) di
Taman Nasional Ujung Kulon. JPSL 10(1): 52-65. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.52-65.

PENDAHULUAN
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki keane-
karagaman hayati tinggi, khususnya satwa langka badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822). Pada
saat ini badak jawa hanya terdapat di TNUK Provinsi Banten dengan populasi yang relatif kecil. Ukuran
populasi yang kecil dan areal penyebaran yang sangat terbatas menyebabkan dinamika ekosistem di kawasan
yang menjadi habitat badak jawa akan mempengaruhi perkembangan populasinya. Salah satu aspek penting
dari tekanan biologis yang berhubungan dengan hal tersebut adalah suksesi vegetasi, khususnya adanya
kecenderungan invasi langkap (Arenga obtusifolia) dan kaitannya dengan penyediaan tumbuhan pakan badak
jawa (Putro, 1997).

52
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

Langkap (A. obtusifolia) merupakan salah satu spesies dari marga Arenga, yang sebarannya cukup luas
di TNUK. Langkap merupakan salah satu spesies invasif yang bukan merupakan spesies asing, namun menjadi
bersifat invasif karena pertumbuhannya tidak terkendali dan mengganggu keberadaan spesies lokal lainnya.
Menurut Muntasib dan Putro (1992) diacu dalam Putro dan Siswoyo (1997), langkap memiliki potensi
regenerasi yang sangat tinggi karena dapat berbunga sepanjang musim. Kondisi tajuk langkap cukup rapat
sehingga menghambat penetrasi cahaya matahari ke lantai hutan. Hal ini berdampak pada terhambatnya
regenerasi tumbuhan pakan badak jawa yang umumnya bersifat intoleran, dimana distribusi suatu jenis
tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi lingkungannya (Gunawan et al., 2011).
Sampai dengan saat ini, Balai TNUK telah melakukan pembinaan habitat badak jawa melalui
pengendalian spesies invasif langkap. Namun pemetaan langkap di seluruh kawasan TNUK khususnya di
Semenanjung Ujung Kulon belum dilakukan secara detil (Rahmat, 2012). Pemetaan ini akan membantu dalam
menentukan lokasi-lokasi yang tepat untuk dilakukan pengendalian langkap sebagai dasar pengelolaan habitat
badak jawa di TNUK, serta menentukan pola sebaran spasial langkap merupa-kan hal yang perlu dilakukan
untuk mengetahui pengaruh sebaran langkap terhadap pengelolaan habitat badak jawa.
Hasil penelitian sebelumnya memberikan indikasi bahwa invasi langkap merupakan penyebab utama
terjadinya degradasi habitat badak jawa secara alami dan dalam jangka panjang diduga menyebabkan
penurunan populasi satwa tersebut serta menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati (biodiversity) di
kawasan TNUK (Putro, 1997; Supriatin, 2000; Hariyadi et al., 2012). Berkenaan dengan hal tersebut, maka
ketersediaan informasi sebaran langkap sangat diperlukan dalam menjaga kelestarian habitat badak jawa di
TNUK. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola penyebaran langkap dalam rangka mendukung pengelolaan
habitat badak jawa.

METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Semenanjung Ujung Kulon, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yang
termasuk dalam kawasan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Pulau Handeuleum. Secara
administratif lokasi ini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Provinsi
Banten, sedangkan secara geografis berada pada posisi geografis 06º38’30”– 06 º52’30” LS dan 105º12’00” –
105º37’30” BT. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi Penelitian.

53
Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM

Alat dan Bahan


Peralatan lapangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: kamera, Global Positioning System (GPS),
pita ukur diameter, kompas dan perangkat lunak komputer (SPSS Statistics 19, ArcGIS 9.3, dan ERDAS
Imagine 9.1). Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi: citra LANDSAT 8 path/row 121/65
akuisisi 30 Maret 2016, peta batas kawasan Taman Nasional Ujung Kulon, peta jaringan sungai, peta jaringan
jalan dan peta jenis tanah.

Metode Pengumpulan Data


Dalam studi ini, data struktur vegetasi dan komposisi jenis dikumpulkan melalui metode analisis vegetasi.
Analisis vegetasi ini dilakukan dengan cara pengambilan sampling pada lokasi penelitian (Gambar 2). Metode
yang digunakan adalah metode kombinasi antara metode garis berpetak dengan metode jalur. Lokasi
pengambilan plot contoh pada 4 (empat) lokasi yang telah ditentukan Balai TNUK dalam rangka kegiatan
prioritas pengendalian langkap, yaitu terdiri dari 25 petak contoh di Semenanjung Ujung Kulon untuk masing-
masing lokasi prioritas (Gambar 2).
Ukuran petak contoh berbentuk persegi dengan ukuran 20m x 20m. Total petak contoh yang dibuat
sebanyak 100 petak contoh sehingga luas petak contoh seluas 4 ha. Analisis vegetasi yang dilakukan pada sub
petak berupa pengamatan terhadap tumbuhan mulai dari tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan
pohon, dengan desain pengamatan petak contoh disajikan pada Gambar 3.
Petak A digunakan untuk pengamatan tumbuhan tingkat pohon (diameter ≥20 cm) dengan luas petak
sebesar 20 m x 20 m, petak B untuk pengamatan tingkat tiang (diameter 10 sampai <20 cm) dengan luas 10 m
x 10 m, petak C untuk pengamatan tingkat pancang (diameter <10 cm, tinggi >1,5 m) dengan luas 5 m x 5 m
dan petak D untuk pengamatan ting-kat semai dan tumbuhan bawah (tinggi <1,5 m; di-ameter <3 cm) dengan
luas petak sebesar 2 m x 2 m.

Gambar 3 Desain petak contoh vegetasi.

Variabel yang diamati


Variabel yang diamati pada masing-masing tingkat pertumbuhan jenis tumbuhan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
 Tumbuhan tingkat semai: jenis tumbuhan, jumlah individu tiap jenis.
 Tumbuhan tingkat pancang: jenis tumbuhan, jumlah individu tiap jenis, diameter setinggi dada (dbh).
 Tumbuhan tingkat tiang: jenis tumbuhan, jumlah individu tiap jenis, diameter setinggi dada (dbh) dan
tinggi vegetasi.
 Tumbuhan tingkat pohon: jenis tumbuhan, jumlah individu tiap jenis, diameter setinggi dada (dbh) dan
tinggi vegetasi.

54
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

Metode Analisis Data


Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menentukan dominansi suatu jenis terhadap jenis yang lain.
Menurut Mueller dan Dumbois (1974), nilai INP merupakan penjumlahan dari kerapatan relatif (KR),
dominansi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) dengan perhitungan sebagai berikut.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Kerapatan (ind/ha) = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Kerapatan Relatif (%) = 𝐾𝑒𝑟𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝑥 100%

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Frekuensi =
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡

𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Frekuensi Relatif (%) = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠
𝑥 100%

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟


Dominansi (m2/ha) = 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ

𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠


Dominansi Relatif (%) = 𝑥 100%
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠

INP (%) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif (untuk tingkat semai, tumbuhan bawah, dan pancang)

INP (%) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif + Dominansi Relatif (untuk tingkat tiang dan pohon)

Indeks Keanekaragaman Jenis


Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk membandingkan dua komuni-tas,
terutama untuk mempelajari pengaruh gangguan biotik, untuk mengetahui tingkatan suksesi atau kestabilan.
Keanekaragaman jenis ditentukan dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener (Ludwig dan Reynold, 1988).
Bahkan Menurut Magurran (2004) dalam penentuan indeks keanekaragaman jenis rumus Shanon-Wiener
paling banyak digunakan karena rumus ini memiliki sensitivitas yang tinggi untuk menggambarkan struktur
komunitas dan berfungsi untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada jenis-jenis tidak dominan, dengan
rumus sebagai berikut.
𝑛𝑖 𝑛𝑖
H ′ = − ∑ ( 𝑁 𝑙𝑛 𝑁 ), dimana:

H’ = Indeks keanekaragaman Shanon-Weiner


ni = INP jenis ke-i
N = Total INP
Menurut Magurran (2004), nilai indeks keanekaragaman jenis umumnya berada pada kisaran antara 1.0
sampai 3.5. Jika indeks jenis (H’) mendekati 3.5 maka menggambarkan tingkat keanekaragaman yang semakin
tinggi.

Indeks Kekayaan Jenis


Perhitungan indeks kekayaan jenis menggunakan rumus Margallef (Ludwig dan Reynold 1988), yaitu :
R1 = S-1/ln (N), dimana:

55
Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM

R1 = Indeks kekayaan jenis Margallef


S = Jumlah jenis
N = Jumlah total individu
Indeks Margallef dapat digunakan untuk mengetahui kekayaan jenis di suatu kawasan. Menurut Magurran
(2004) besaran R1<3.5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, R1 = 3.5–5.0 menunjukkan kekayaan
jenis tergolong sedang, R1>5.0 kekayaan tergolong tinggi.

Indeks Dominansi
Indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis di dalam suatu komunitas sehingga dapat
ditentukan posisi dominansi dipusatkan (Misra 1980). Indeks dominansi ditentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut.
C= , dimana:
C = Indeks dominansi
Ni = INP tiap jenis
N = Total INP seluruh jenis
Nilai indeks dominansi mendekati satu (1) apabila dipusatkan pada satu jenis dan sebaliknya apabila nilai
indeks dominansi mendekati nol (0) menunjukkan jika pada areal tersebut didominasi secara bersama-sama.

Indeks Penyebaran Jenis


Analisis pola sebaran langkap menggunakan Indeks Morisita yang terstandar (Standardized Morisita’s
Index) (Morisita, 1962 dalam Krebs, 1989). Pada umumnya jenis tumbuhan memiliki pola penyebaran yang
berbeda. Krebs (1989) menyatakan bahwa untuk melihat pola penyebaran suatu jenis dihitung dengan rumus:
∑ 𝑥2− ∑ 𝑥
Id = 𝑛 [(∑ 𝑥)2 − ∑ 𝑥], dimana:

Id = Indeks Penyebaran Morisita


x = Jumlah individu yang ditemukan pada setiap petak
n = Jumlah petak pengamatan
2
𝜒0.975 −𝑛+∑ 𝑥𝑖
Uniform Indeks = Mu = (∑ 𝑥𝑖 )−1

2
𝜒0.025 −𝑛+∑ 𝑥𝑖
Clumped Indeks = Mc = (∑ 𝑥𝑖 )−1

Keterangan :
2
𝜒0.975 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 97,5% area ke sebelah kanan kurva
2
𝜒0.025 = Nilai dari tabel dengan df (n-1) yang memiliki 2,5% area ke sebelah kanan kurva
∑ 𝑥𝑖 = Jumlah individu dalam kuadrat i (i=1,2,...n)
n = Jumlah kuadrat

Berdasarkan hasil indeks Mc atau Mu di atas maka Indeks Morisita Standar (Ip) dihitung berdasarkan salah
satu dari empat persamaan berikut ini:
I −Mc
1. Jika Id ≥ Mc > 1 : Ip= 0,5+0,5( d )
n−Mc
I −1
2. Jika Mc > Id ≥ 0 : Ip= 0,5(Md −1)
u
I −1
3. Jika 1 > Id > Mu : Ip= -0,5( d )
Mu −1

56
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

I −Mu
4. Jika 1 > Mu > Id : Ip= -0,5+0,5( dM )
u

Indeks Morisita yang distandarkan (Ip) ini berkisar antara -1 hingga 1. Jika Ip = 0 maka pola penyebaran
acak, Ip < 0 pola penyebaran seragam dan Ip > 0 pola penyebaran mengelompok.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Komposisi Jenis Tumbuhan
Analisis vegetasi dilakukan pada 4 (empat) blok penelitian, yaitu Blok Citalanca, Blok Cikarang, Blok
Cigenter dan Blok Cilintang. Hasil analisis vegetasi diketahui bahwa terdapat 205 jenis tumbuhan yang
merupakan jumlah keseluruhan dari tingkat tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang dan pohon. Hasil analisis
vegetasi pada seluruh blok penelitian berdasarkan tingkat pertumbuhan disajikan pada Tabel 1.
Langkap merupakan salah satu spesies dari suku Arecaceae dan termasuk dalam tumbuhan Monokotil,
dengan ciri morfologi batang diantaranya: tegak, bulat dan berbatang lurus, berijuk sedikit dan berbuku-buku,
tidak berbanir dan tidak bercabang (Putro dan Siswoyo 1997). Salah satu ciri yang lain dari Suku Arecaceae
ini adalah tidak memiliki kambium sejati.

Tingkat Tumbuhan Bawah


Berdasarkan hasil analisis vegetasi dari seluruh blok penelitian pada tingkat tumbuhan bawah ditemukan
sebanyak 29 jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Anadendrum microtachyum (Areuy lolo) merupakan
jenis dominan yang memiliki nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 98.46%, selanjutnya Daemonorops sp.
(Rotan merah) (INP=76.89%) dan Ficus Montana (Areuy mata) (INP=63.92%). Daftar tiga jenis tumbuhan
bawah dengan nilai INP tertinggi pada seluruh blok penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Daftar jumlah jenis tumbuhan pada lokasi penelitian.
Tingkat Pertumbuhan Jumlah Jenis
Tumbuhan bawah 29
Semai 46
Pancang 41
Tiang 37
Pohon 52
Tabel 2 Daftar tiga jenis tumbuhan bawah dengan nilai INP tertinggi pada seluruh blok penelitian.
No Nama Jenis Nama Latin Nilai INP (%)
I. Blok Citalanca
1 Rotan merah Daemonorops sp. 76.89
2 Areuy Lolo Anadendrum microtachyum 49.05
3 Areuy kutak Piper bantamense 19.22
II. Blok Cikarang
1 Areuy kupu Uvaria sp. 61.41
2 Areuy Lolo Anadendrum microtachyum 30.20
3 Rotan merah Daemonorops sp. 25.77
III. Blok Cigenter
1 Areuy mata Ficus montana 63.92
2 Areuy Kolebahe Trema orientalis 35.08
3 Pepedesan - 18.78
IV. Blok Cilintang
1 Areuy Lolo Anadendrum microtachyum 98.46
2 Rotan Daemonorops sp. 27.12
3 Sayar Caryota mitis 19.49

57
Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM

Tingkat Semai
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dari seluruh blok penelitian pada tingkat semai ditemukan sebanyak
46 jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Diospyros macrophylla (Kicalung) merupakan jenis dominan
yang memiliki nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 68.98%, selanjutnya Cynometra ramiflora (Kibatok)
(INP=68.76%) dan Diospyros macrophylla (Kicalung) (INP=51.78%). Daftar tiga jenis semai dengan nilai
INP tertinggi pada seluruh blok penelitian disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Daftar tiga jenis semai dengan nilai INP tertinggi pada seluruh blok penelitian.
No Nama Jenis Nama Latin Nilai INP (%)
I. Blok Citalanca
1 Kicalung Diospyros macrophylla 68.98
2 Langkap anakan Arenga obtusifolia 49.41
3 Kibatok Cynometra ramiflora 25.61
II. Blok Cikarang
1 Kicalung Diospyros macrophylla 51.78
2 Langkap anakan Arenga obtusifolia 47.32
3 Kibatok Cynometra ramiflora 17.03
III. Blok Cigenter
1 Kibatok Cynometra ramiflora 68.76
2 Kiendog Cynocroches axillaris 38.52
3 Langkap anakan Arenga obtusifolia 29.43
IV. Blok Cilintang
1 Kililin - 42.20
2 Kijahe Croton auypelas 25.20
3 Langkap anakan Arenga obtusifolia 21.31

Tingkat Pancang
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dari seluruh blok penelitian pada tingkat pancang ditemukan sebanyak
41 jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Arenga obtusifolia (Langkap) merupakan jenis dominan yang
memiliki nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 78.30%, selanjutnya Arenga obtusifolia (Langkap)
(INP=67.63%) dan Arenga obtusifolia (Langkap) (INP=62.95%). Daftar tiga jenis pancang dengan nilai INP
tertinggi pada seluruh blok penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tingkat Tiang
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dari seluruh blok penelitian pada tingkat tiang ditemukan sebanyak 37
jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Diospyros javanica (Kigeunteul) merupakan jenis dominan yang
memiliki nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 96.62%, selanjutnya Orophea hexandra (Sauhen) (INP=66.19%)
dan Eugenia sp. (Jajambuan) (INP=52.58%). Daftar tiga jenis tiang dengan nilai INP tertinggi pada seluruh
blok penelitian disajikan pada Tabel 5.

Tingkat Pohon
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dari seluruh blok penelitian pada tingkat pohon ditemukan sebanyak
52 jenis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Eugenia polyantha (Salam) merupakan jenis dominan yang
memiliki nilai INP paling tinggi yaitu sebesar 98.35%, selanjutnya Ficus benyamina (Kiara) (INP=78.27%)
dan Lagerstromeia speciosa (Bungur) (INP=74.01%). Daftar tiga jenis pohon dengan nilai INP tertinggi pada
seluruh blok penelitian disajikan pada Tabel 6.

58
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

Tabel 4 Daftar tiga jenis pancang dengan nilai INP tertinggi pada seluruh blok penelitian.
No Nama Jenis Nama Latin Nilai INP (%)
I. Blok Citalanca
1 Langkap dewasa Arenga obtusifolia 67.63
2 Kibatok Cynometra ramiflora 39.42
3 Lampeni Ardisia humilis 13.19
II. Blok Cikarang
1 Langkap dewasa Arenga obtusifolia 62.95
2 Kikeper - 41.89
3 Kibatok Cynometra ramiflora 37.63
III. Blok Cigenter
1 Langkap dewasa Arenga obtusifolia 78.30
2 Kibatok Cynometra ramiflora 34.42
3 Kikacang Strombosia javanica 16.93
IV. Blok Cilintang
1 Langkap dewasa Arenga obtusifolia 61.47
2 Sauhen Orophea hexandra 57.03
3 Kigeunteul Diospyros javanica 21.28

Tabel 5 Daftar tiga jenis tiang dengan nilai INP tertinggi pada seluruh blok penelitian.
No Nama Jenis Nama Latin Nilai INP (%)
I. Blok Citalanca
1 Kigeunteul Diospyros javanica 96.62
2 Jajambuan Eugenia sp 52.58
3 Huru batu Litsea vulva 26.29
II. Blok Cikarang
1 Kicalung Diospyros macrophylla 51.91
2 Kikeper - 47.01
3 Kigeunteul Diospyros javanica 35.88
III. Blok Cigenter
1 Kicalung Diospyros macrophylla 43.74
2 Ipis kulit Decaspermum fruticosum 42.19
3 Sauhen Orophea hexandra 23.94
IV. Blok Cilintang
1 Sauhen Orophea hexandra 66.19
2 Kililin Phaleria octendre 34.68
3 Kijahe Croton auypelas 31.51

59
Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM

Tabel 6 Daftar tiga jenis pohon dengan nilai INP tertinggi pada seluruh blok penelitian.
No Nama Jenis Nama Latin Nilai INP (%)
I. Blok Citalanca
1 Bungur Lagerstromeia speciosa 74.01
2 Kiara Ficus benyamina 65.09
3 Kicalung Diospyros macrophylla 27.71
II. Blok Cikarang
1 Kiara Ficus benyamina 78.27
2 Bungur Lagerstromeia speciosa 43.57
3 Kigelam - 25.31
III. Blok Cigenter
1 Salam Eugenia polyantha 98.35
2 Kiara Ficus benyamina 49.12
3 Bungur Lagerstromeia speciosa 29.75
IV. Blok Cilintang
1 Kigeunteul Diospyros javanica 29.49
2 Dahu Dracontomelon dao 25.32
3 Kipelah - 22.44

Kerapatan individu pada tingkat tumbuhan bawah dan semai lebih banyak didominasi oleh jenis tumbuhan
yang merupakan sumber pakan badak jawa, diantaranya kicalung, ipis kulit, dan sulangkar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa langkap (Arenga obtusifolia) merupakan jenis yang memiliki
kerapatan paling tinggi kedua dalam populasi tingkat pancang yaitu sebesar 624 individu/ha, dengan
penyebaran individu yang merata. Tabel 7. menggambarkan lima jenis tumbuhan masing-masing tingkat
pertumbuhan dengan kerapatan tertinggi pada seluruh blok penelitian. Berdasarkan Tabel 7. diketahui bahwa
Areuy mata (Ficus Montana) merupakan jenis yang memiliki kerapatan tertinggi pada tingkat tumbuhan bawah
yaitu sebesar 14.800 individu/ha. Adapun jenis tumbuhan pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon yang
memiliki kerapatan tertinggi secara berurutan yaitu Kililin (Phaleria octendre) sebesar 12.400 individu/ha,
Sauhen (Orophea hexandra) sebesar 752 individu/ha, Kigeunteul (Diospyros javanica) sebesar 32 individu/ha
dan Bungur (Lagerstromeia speciosa) sebesar 28 individu/ha.
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan

Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)

Keanekaragaman jenis tumbuhan di blok penelitian berdasarkan Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-
Weiner termasuk dalam kategori sedang (1<H’<3,32) dengan kisaran nilai indeks sebesar 2.00-2.60 (Tabel 8.).
Keanekaragaman jenis yang tertinggi pada tingkat pohon (2.60), sedangkan keanekaragaman jenis terendah
pada tingkat tumbuhan bawah (2.00). Secara umum blok penelitian Cilintang mempunyai keanekaragaman
jenis paling tinggi dibandingkan dengan blok penelitian yang lain, dengan rata-rata nilai indeks
keanekaragaman setiap tingkat pertumbuhan sebesar 2.37.
Pada tingkat semai, tiang dan pohon blok penelitian Cilintang mempunyai keanekaragaman jenis
tumbuhan tertinggi. Blok penelitian Cilintang umumnya mempunyai kondisi hutan yang cukup baik dengan
naungan dan kerapatan pohon yang tinggi dibandingkan dengan blok penelitian yang lain, sehingga banyak
jenis yang dapat tumbuh di lokasi tersebut. Tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui berdasarkan indeks
dominansi, indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan jenis (Istomo dan Sari 2018).

60
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

Tabel 7 Lima jenis tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan dengan kerapatan tertinggi di seluruh blok
penelitian.
Nama Jenis Nama Latin Famili Kerapatan (Ind./ha)
Tumbuhan Bawah
Areuy mata Ficus montana Moraceae 14.800
Areuy Lolo Anadendrum microtachyum Araceae 9.900
Areuy kupu-kupu Uvaria sp. Annonaceae 8.500
Areuy Kolebahe Trema orientalis Cannabaceae 5.400
Rotan merah Daemonorops sp. Arecaceae 5.200
Semai
Kililin Phaleria octendre Thymelaeaceae 12.400
Kijahe Croton auypelas Euphorbiaceae 8.500
Kisariawan Symplocos conchinchinensis Symplocaceae 6.100
Leungsir Pometia pinnata Sapindaceae 5.100
Kicalung Diospyros macrophylla Ebenaceae 4.500
Pancang
Sauhen Orophea hexandra Annonaceae 752
Langkap Arenga obtusifolia Arecaceae 624
Kibatok Cynometra ramiflora Leguminosae 608
Kikeper Engelhardia spicata Junglandaceae 528
Kigeunteul Diospyros javanica Ebenaceae 208
Tiang
Kigeunteul Diospyros javanica Ebenaceae 32
Ipis kulit Decaspermum fruticosum Myrtaceae 28
Kicalung Diospyros macrophylla Ebenaceae 28
Sauhen Orophea hexandra Annonaceae 28
Kikacang Strombosia javanica Olacaceae 16
Pohon
Bungur Lagerstromeia speciosa Lythraceae 28
Salam Eugenia polyantha Myrtaceae 14
Kicalung Diospyros macrophylla Ebenaceae 12
Kiara Ficus benjamina Moraceae 10
Kikacang Strombosia javanica Palmae 8
Tabel 8 Nilai indeks keanekaragaman jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan.
Blok Penelitian
Tingkat Pertumbuhan Rata-rata
Citalanca Cikarang Cigenter Cilintang
Tumbuhan bawah 1.91 2.09 2.21 1.77 2.00
Semai 1.96 1.92 2.00 2.62 2.13
Pancang 2.23 2.04 2.19 2.00 2.12
Tiang 1.92 2.22 2.03 2.40 2.14
Pohon 2.46 2.53 2.34 3.08 2.60

Indeks Kekayaan Jenis (R1)


Hasil analisis kekayaan jenis di blok penelitian berdasarkan Indeks Kekayaan Jenis Margallef
menghasilkan kisaran nilai indeks antara 2.30-5.04 (Tabel 9) dengan rata-rata sebesar 3.44, hal ini
mengindikasikan bahwa kekayaan jenis tergolong rendah.
Pada tingkat pertumbuhan pohon blok penelitian Cilintang mempunyai kekayaan jenis tertinggi (6.53),
hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat jenis pohon dan jumlah individu yang cukup banyak.

61
Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM

Tabel 9 Nilai indeks kekayaan jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan.


Blok Penelitian
Tingkat Pertumbuhan Rata-rata
Citalanca Cikarang Cigenter Cilintang
Tumbuhan bawah 2.46 1.95 2.42 2.38 2.30
Semai 2.78 3.13 2.78 3.55 3.06
Pancang 3.16 2.90 4.12 2.87 3.26
Tiang 2.20 3.06 5.17 3.64 3.52
Pohon 4.09 4.91 4.64 6.53 5.04

Indeks Dominansi (C)


Hasil analisis dominansi jenis berdasarkan Indeks Dominansi menunjukkan bahwa nilai indeks dominansi
tidak ada yang mendekati satu, yaitu kisaran nilai indeks antara 0.12-0.21 (Tabel 10.) sehingga dapat dikatakan
bahwa indeks dominansi jenis di blok penelitian tergolong rendah dan tidak ada jenis yang mendominasi
kawasan. Menurut Magurran (2004), nilai C akan bernilai 1 atau mendekati 1 apabilai dominansi dipusatkan
pada satu atau sedikit jenis. Sebaliknya, jika beberapa jenis mendominasi secara bersama-sama maka nilai C
akan bernilai rendah atau bahkan mendekati 0.
Tabel 10 Nilai indeks dominansi pada berbagai tingkat pertumbuhan.
Blok Penelitian
Tingkat Pertumbuhan Rata-rata
Citalanca Cikarang Cigenter Cilintang
Tumbuhan bawah 0.23 0.16 0.16 0.28 0.21
Semai 0.21 0.15 0.19 0.10 0.16
Pancang 0.17 0.19 0.20 0.20 0.19
Tiang 0.18 0.12 0.08 0.11 0.12
Pohon 0.13 0.12 0.16 0.05 0.12

Populasi Langkap

Langkap merupakan jenis yang dominan di TNUK pada tingkat pertumbuhan pancang (langkap dewasa),
dengan kerapatan 480-624 individu/ha dan nilai INP sebesar 61.47%-78.30%, sedangkan kerapatan langkap
pada tingkat pertumbuhan semai (langkap anakan) sebesar 900-2.200 individu/ha dengan nilai INP 21.31%-
49.41%. Struktur populasi langkap di TNUK menggambarkan bahwa jumlah individu permudaan lebih banyak
dari pada tingkat pertumbuhan diatasnya, hal ini terlihat dari jumlah kerapatan langkap pada tingkat
pertumbuhan semai lebih banyak dibandingkan kerapatan langkap pada tingkat pertumbuhan pancang.
Hasil analisis vegetasi di 4 (empat) blok penelitian menunjukkan bahwa langkap merupakan jenis yang
dominan dengan nilai INP tertinggi dibandingkan jenis lainnya sebesar 78,30% pada tingkat pertumbuhan
pancang di blok penelitian Cigenter. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan pertumbuhan langkap untuk
menginvasi kawasan di sekitarnya lebih luas karena jumlah permudaan langkap yang banyak. Nilai INP
langkap di setiap blok penelitian disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Nilai INP langkap di setiap blok penelitian.
Blok Penelitian Nilai INP
Citalanca 67,63
Cikarang 62,95
Cigenter 78,30
Cilintang 61,47

62
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

Secara umum seluruh blok penelitian memiliki kerapatan langkap yang relatif tinggi pada tingkat per-
tumbuhan semai dan pancang, tetapi pada tingkat pertumbuhan pohon dan tiang memiliki kerapatan yang
rendah. Blok penelitian Citalanca memiliki kerapatan langkap pada tingkat pertumbuhan pancang yang tinggi
dibandingkan blok penelitian yang lain, yaitu 624 individu/ha, sedangkan pada tingkat per-tumbuhan semai
kerapatan langkap tertinggi pada blok penelitian Citalanca dan Cikarang yaitu masing-masing 2.200
individu/ha. (Gambar 2). Tingginya kerapatan langkap pada blok penelitian Citalanca dikarenakan pada blok
penelitian tersebut mempunyai penutupan tajuk yang rapat sehingga sangat mendukung pertumbuhan langkap.
Kecenderungan dominasi langkap di blok penelitian dapat diketahui dari rasio kerapatan langkap dibandingkan
dengan kerapatan total atau kerapatan relatifnya pada berbagai tingkat pertumbuhan. Diketahui bahwa semakin
besar kerapatan langkap pada tingkat pertumbuhan pancang, semakin besar pula kerapatan langkap pada
tingkat pertumbuhan semai. Kondisi tersebut menunjukkan tingginya stabilitas regenerasi langkap di blok
penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa pada kawasan langkap yang dominan maka terjadi pengurangan
kerapatan tumbuhan selain langkap, sehingga akan menyebabkan kecenderungan dominansi langkap semakin
kuat.

Cilintang
Blok Penelitian

Cigenter

Cikarang

Citalanca

0 500 1000 1500 2000 2500


Kerapatan (ind/ha)

Pancang Semai

Gambar 2 Kerapatan dan struktur populasi langkap.

Pola Penyebaran Langkap


Krebs (1989) dalam Usmadi (2015) menyatakan bahwa Indeks Morisita merupakan metode yang
digunakan untuk mengetahui pola penyebaran jenis dalam ekosistem. Hasil analisis dan perhitungan terhadap
populasi langkap di setiap blok penelitian diperoleh nilai indeks penyebaran Morisita (Id) pada setiap tingkat
pertumbuhan bervariasi dengan nilai 1.01-1.37 (Tabel 12.). Selanjutnya nilai indeks penyebaran Morisita
tersebut dilakukan pengujian untuk dicari dua titik kritisnya yaitu indeks Mu (Uniform Indeks) dan Mc
(Clumped Indeks) melalui uji chi-square, selain itu juga perlu dilakukan standarisasi sehingga diperoleh nilai
koefisien Morisita standar (Ip).
Nilai koefisien Morisita standar pada setiap blok penelitian dan tingkat pertumbuhan diperoleh kisaran
nilai 0.32 – 0.51, maka pola penyebaran langkap menunjukan pola penyebaran mengelompok (Ip>0). Nilai
indeks Morisita terstandar dan pola penyebaran langkap pada setiap tingkat pertumbuhan dan blok penelitian
disajikan pada Tabel 12.
Hasil pengamatan di lapangan diketahui bahwa sebaran langkap tiap blok penelitian dijumpai menge-
lompok dengan jumlah individu langkap sedikit sampai sangat banyak di setiap plot contoh (20 m x 20 m),
kisaran 5-150 individu per plot contoh. Pola penyebaran langkap yang mengelompok diindikasikan adanya
pengaruh faktor perkembangbiakan dan faktor lingkungan.

63
Febriana I, Kusmana C, Rahmat UM

Tabel 12 Nilai indeks Morisita Langkap.


Blok Penelitian Id Mu Mc Ip Pola Penyebaran
Citalanca
Langkap dewasa 1.06 0.98 1.02 0.50 Mengelompok
Langkap anakan 1.04 0.99 1.01 0.50 Mengelompok
Cikarang
Langkap dewasa 1.04 0.98 1.03 0.50 Mengelompok
Langkap anakan 1.10 0.99 1.00 0.50 Mengelompok
Cigenter
Langkap dewasa 1.18 0.98 1.03 0.50 Mengelompok
Langkap anakan 1.37 0.99 1.02 0.51 Mengelompok
Cilintang
Langkap dewasa 1.01 0.98 1.03 0.32 Mengelompok
Langkap anakan 1.08 0.99 1.01 0.50 Mengelompok

Langkap dapat berkembangbiak secara vegetatif melalui tunas akar (Haryanto, 1997). Tunas akar tersebut
akan tumbuh menjadi individu-individu baru yang masih dekat dengan induknya, sehingga membentuk koloni
langkap. Penyebaran biji langkap di habitat alaminya dibantu oleh musang (Paradoxurus hermaphroditus),
badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan banteng (Bos javanicus) (Haryanto, 1997). Biji tersebut akan keluar
dari tubuh satwa tersebut melalui feses dan akan berkecambah di area yang tidak jauh dari habitat langkap
tersebut. Sedangkan berdasarkan faktor lingkungan, hasil pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa
langkap ditemukan pada lokasi yang mempunyai naungan yang tinggi dan rapat, namun langkap tidak
ditemukan pada lokasi yang berdekatan dekat pantai atau lokasi dengan penutupan tajuk yang sangat terbuka.
Kecenderungan dominasi langkap di blok penelitian diketahui dari rasio kerapatan langkap dibandingkan
dengan kerapatan total atau kerapatan relatifnya pada berbagai tingkat pertumbuhan. Diketahui bahwa semakin
besar kerapatan langkap pada tingkat pertumbuhan pancang, semakin besar pula kerapatan langkap pada
tingkat pertumbuhan semai. Kondisi tersebut menunjukkan tingginya stabilitas regenerasi langkap di blok
penelitian.

SIMPULAN
Pola penyebaran langkap pada tingkat pertumbuhan semai (langkap anakan) dan pancang (langkap
dewasa) memiliki pola penyebaran mengelompok (Ip>0), dengan kisaran nilai koefisien Morisita standar (Ip)
0.32-0.51. Pola penyebaran langkap yang mengelompok diindikasikan adanya pengaruh faktor
perkembangbiakan dan faktor lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Gunawan W, Basuni S, Indrawan A, Prasetyo LB, Soedjito H. 2011. Analisis komposisi dan struktur vegetasi
terhadap upaya restorasi Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. (1) 2 : 93-105.
Hariyadi ARS. 2012. Model Pengelolaan Populasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) Berdasarkan Analisis
Nutrisi dan Tingkat Cekaman sebagai Parameter Kesehatan. [Disertasi]. Bogor (ID):Institut Pertanian
Bogor.
Istomo dan Sari PN. 2018. Penyebaran dan karakteristik habitat jenis rasamala (Altingia excelsa Noronha) di
Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 9(3):
608-625. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.3.608-625.
Krebs JC. 1989. Ecological Methodology. New York (USA): Harper Collins Publisher, Inc.
Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology, A Primer on Methods and Computing. New York (USA):
John Willey and Sons.
Magurran. 2004. Measuring Biological Diversity. Oxford (UK): Blackwell Science Ltd.
64
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 52-65

Misra, K.C. 1980. Manual of Plant Ecology. 2nd ed. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.
Mueller-Dumbois, D. and D. H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. New York (USA):
John Wiley & Son.
Putro HR. 1997. Invasi langkap dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati di Taman Nasional Ujung
Kulon, Jawa Barat. Media Konservasi Edisi Khusus. 95-100.
Putro HR. 1997. Heterogenitas habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus, Demarest 1822) di Taman Nasional
Ujung Kulon, Jawa Barat. Media Konservasi Edisi Khusus. 17-40.
Putro HR, Siswoyo. 1997. Sifat-sifat Morfologis dan Anatomis Langkap (Arenga obusifolia Blumme ex Mart).
Media Konservasi Edisi Khusus. 105-109.
Rahmat UM. 2012. Sebaran Spasial dan Model Kesesuaian Habitat Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus,
Demarest 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Soerianegara I, Indrawan A. 2015. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor (ID): Laboratorium Ekologi Hutan.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Supriatin. 2000. Studi kemungkinan adanya pengaruh alleopati langkap (Arenga obtusifolia Blume ex Mart.)
terhadap pertumbuhan semai tumbuhan pakan badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Usmadi, D. 2015. Autekologi dan Kesesuaian Habitat Langkap (Arenga obtusifolia Mart.) di Cagar Alam
Leuweung Sancang, Jawa Barat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

65
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 66-76

Journal of Natural Resources and Environmental Management


10(1): 66-76. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.66-76
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Di Lahan Gambut Berdasarkan Pola


Sekuens Titik Panas Di Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah

Mapping of Risk Fire in Peat Land based on Hotspot Sequential Pattern Mining in District of
Pulang Pisau, Kalimantan Tengah

Anissa Rezainya, Lailan Syaufinab, Imas Sukaesih Sitanggangc


a Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarja, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Baranangsiang Bogor
b Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga Bogor 16680
c Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga

Bogor 16680

Article Info: Abstract: Land and forest fire is one of the major causes of Indonesia’s
Received: 27 - 02 - 2020 deforestation, who has a significant impact to the environment, loss of
Accepted: 17 - 07 - 2018
conservation, air pollution and economic loss. This research develop a
Keywords: spatial modelling of factors that can drive the forest fire. Spatial model of
Composite mapping analysis, vulnerability of land and forest fire is developed by the composite mapping
land and forest fire, sequential analysis method. Hotspot datasets used in this research is the results of data
pattern mining, hotspot.
mining processing, with sequential pattern mining technique which to find
Corresponding Author: the relationships between the occurances of sequential event and its pattern
Anissa Rezainy that often appear. From the six variables influences land and forest fire
Program Studi Ilmu Pengelolaan there are four variables that have significant impacts in the study area, as
Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Sekolah Pascasarja, follows: forest zone, depth of peatland, distance of irrigation, and distance
Institut Pertanian Bogor; of road. The fire in the area of study occurs many times in the peatland area
Email: with the depth of 400-800 cm. Land and forest fire occurs frequently in 100-
anissarezainy@yahoo.co.id 900 meters from irrigation and land and forest fire also occurs frequently in
1-4 km form the road. Land and forest fire occurs frequently in protected
forest.
How to cite (CSE Style 8th Edition):
Rezainya A, Syaufina L, Sitanggang IS. 2020. Pemetaan daerah rawan kebakaran di lahan gambut berdasarkan pola sekuens titik
panas di Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. 10(1): 66-76. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.66-76.

PENDAHULUAN

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di Indonesia dilatarbelakangi adanya kebutuhan
penggunaan lahan yang terus bertambah untuk pertanian dan permukiman. Kebakaran hutan dan lahan bukan
merupakan fenomena baru pada hutan hujan tropis (Hoscilo et al., 2011). Bertambahnya kejadian kebakaran
hutan dan lahan dibuktikan dengan semakin meluasanya wilayah yang terbakar dan frekuensi kejadian
kebakaran dalam beberapa dasawarsa terakhir (Cattau et al., 2016). Menurut Wooster et al. (2012); Hoscilo
et al. (2011) kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan sebagian besar merupakan hasil aktivitas kegiatan
manusia yang berkaitan dengan deforestasi hutan (perkebunan kelapa sawit, pulp dan kertas), perubahan
penggunaan lahan, persiapan produksi pertanian yang dilakukan masyarakat dengan cara membakar lahan.
66
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 66-76

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015, merupakan kejadian terburuk dalam periode
dua dasawarsa terakhir, dengan predikasi besaran lahan yang hilang sebesar 2.61 juta hektar (Tacconi, 2016).
Tingginya kejadian kebakaran yang berulang setiap tahun diketahui menimbulkan kerugian pada bidang
ekonomi, kesehatan dan ekologi sehingga diperlukan sistem pengelolaan untuk mengendalikan kejadian
kebakaran. Secara umum sistem pengelolaan pengendalian kebakaran dibagi menjadi tiga komponen yaitu,
pencegahan, pemantauan dan penanggulangan. Komponen terpenting adalah pencegahan kejadian
kebakaran. Menurut Cortez dan Morais (2007) sistem peringatan dini merupakan elemen kunci untuk
mencegah kebakaran hutan dan lahan. Pengembangan sistem peringatan dini (early warning sistem) dan
kajian evaluasi resiko kebakaran, cukup efektif dalam mencegah munculnya kebakaran (Chuvieco et al.,
2014).
Penentuan tingkat kerawanan daerah kebakaran merupakan salah satu cara dalam mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Tingkat kerawanan kebakaran hutan pada suatu wilayah dapat didekati dengan
pemodelan matematik yang menghubungkan kejadian kebakaran dengan faktor-faktor yang dapat
memengaruhi kejadian kebakaran (Mukti et al., 2016; Mapilata et al., 2013; Setiawan et al., 2004; Samsuri
2008).
Titik panas merupakan indikasi yang memungkinkan terjadinya kebakaran yang merupakan rekaman
dari sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) yang dapat diakses oleh masyarakat.
Pada penelitian Prasasti et al (2012) mengungkapkan bahwa dengan banyaknya jumlah titik panas tidak
selalu menggambarkan makin luas area yang terbakar. Pembaharuan pada penelitian kali ini adalah
penggunaan titik panas yang diperoleh dari hasil data mining. Penelitian mengenai titik panas berdasarkan
pola sekuens dalam menganalisis faktor-faktor yang dapat memengaruhi kebakaran hutan belum banyak
dilakukan. Pola sekuens titik panas merupakan hasil pengolahan data mining dengan menggunakan metode
Sequence Pattern Mining. Pola sekuens digunakan pada data yang jumlahnya besar dan bertujuan untuk
menemukan hubungan yang menarik antara kejadian peristiwa yang berurutan dan pola yang sering muncul
(Zhao dan Bhowmick, 2003). Pola sekuens diharapkan dapat menemukan pola-pola berurutan dalam
kumpulan urutan data kejadian (Nurulhaq dan Sitanggang, 2015). Adanya pola titik panas yang berurutan,
menjadi indikator kuat dilapangan yang mengindikasikan terjadinya kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Diharapkan model spasial kebakaran pada daerah penelitian yang terbentuk dapat berguna sebagai upaya
pencegahan kebakaran dan informasi dalam membuat keputusan dan pengelolaan kebakaran lahan gambut di
Indonesia.
Penelitian ini, bertujuan untuk melakukan pemetaan daerah rawan kebakaran pada lahan gambut
berdasarkan faktor-faktor yang dapat memengaruhi kebakaran dengan data pola sekuens titik panas.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Wilayah studi penelitian ini adalah Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 1).
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa citra landsat 8 tahun 2015, peta rupa bumi indonesia dari
Badan Informasi Geospasial (BIG) skala 1 : 250 000 Kabupaten Pulang Pisau, dan peta sebaran lahan
gambut Provinsi Kalimantan Tengah dari Wetland International tahun 2002. Perangkat lunak yang
digunakan pada penelitian ini yaitu ArcGIS 10.2, Quantum GIS, dan SPSS.

Analisis Data

Analisis spasial yang dilakukan meliputi proses overlay, manipulasi, pengkelasan, penyusunan skor,
pembobotan, dan pembuatan model sehingga menghasilkan peta kerawanan kebakaran hutan. Faktor – faktor
penyebab kebakaran hutan dan lahan disajikan pada Tabel 1. Data pola sekuens titik panas diperoleh dari
penelitian Istiqomah pada tahun 2015, dengan bantuan perangkat lunak ArcGIS, dikonversi menjadi data

67
Rezainya A, Syaufina L, Sitanggang IS

shapefile. Peta sebaran pola sekuens titik panas diolah dengan fasilitas density tools untuk membuat peta
kepadatan titik panas yang akan digunakan untuk membangun model spasial tingkat kerawanan kebakaran
hutan dengan metode CMA (Composite Mapping Analysis).

Gambar 1 Peta Area Penelitian.

Tabel 1 Faktor – faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan.


Faktor Sub Faktor
Area Penggunaan Lain
Kawasan Suaka Alam
Hutan Lindung
Fungsi Kawasan
Hutan Produksi Terbatas
Hutan Produksi Tetap
Hutan Produksi yang dapat dikonversi
Perkebunan
Ladang
Tutupan Lahan
Hutan
Semak Belukar
Jangkauan Jarak jalan Analisa multiple ring buffer dengan interval 1 km
Jangkauan jarak kanal Analisa multiple ring buffer dengan interval 100 meter
Jangkauan jarak sungai Analisa multiple ring buffer dengan interval 1 km
50-100 (20/80)
Kedalaman Gambut
50-100 (60/40)

68
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 66-76

Faktor Sub Faktor


50-100 (80/20)
100-200 (60/40)
200-400 (60/40)
400-800 (60/40)
800-1200 (60/40)

Nilai skor pada masing-masing sub faktor dapat dihitung menggunakan formula Jaya et al., (2007) dengan
menggunakan formula (1) dan (2)

𝑂𝑖 100
Xi:[𝐸𝑖 ]x 𝑂𝑖 (1)

𝐸𝑖
𝑇𝑋𝐹
Ei:[ 100 ] (2)

dimana : xi = skor kelas (sub faktor) pada masing–masing variable, Oi = jumlah titik panas yang ada pada
masing–masing kelas (observed titik panas), Ei = jumlah titik panas yang diharapkan pada masing–masing
kelas (expected titik panas), T = total jumlah titik panas, F = persentase luas pada masing–masing kelas
Rescalling score adalah cara untuk menstandarkan nilai skor pada masing–masing variabel pada rentang
nilai tertentu. Salah satu cara melakukan standarisasi skor skala menggunakan formula Jaya et al. (2007),
dimana masing–masing kelas diberi skor pada rentang 10 sampai dengan 100 dengan persamaan berikut ;

ScoreE input -ScoreE min


scoreR.out = ( ) *(ScoreR Max -ScoreR Min )+ScoreR min
ScoreE Max -ScoreE min

dimana :
Score Rout : nilai skor hasil rescalling
Score Einput : niai skor dugaan
Score Emin : nilai minimal skor
Score Emax : nilai maksimal skor dugaan
Score Rmax : nilai skor tertinggi hasil rescalling
Score Rmin : nilai skor terendah hasil rescalling

Pada analisis ini bobot setiap peubah untuk mengindentifikasi derajat pengaruhnya terhadap kerawanan
kebakaran hutan dan lahan dilakukan dengan pendekatan kuantifikasi dengan menggunakan metode analisis
pemetaan komposit (Composit mapping analysis/CMA). Hubungan antara jumlah titik panas per km2
dengan faktor-faktor penyusun kerawanan kebakaran hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor
masing-masing faktor. Faktor-faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
faktor lain dipilih dan digunakan untuk menyusun model regresi linear berganda. Model regresi dinyatakan
bagus apabila model yang terbentuk memiliki signifikansi < 0.005.

Uji Kelayakan Model

Uji validasi terhadap model spasial yang telah dibangun dilakukan dengan menggunakan data pola
sekuens titik panas pada tahun 2015 sebanyak 187 titik. Data kebakaran tersebut dilakukan uji akurasi pada
peta kerawanan kebakaran yang telah diperoleh dari model yang berhasil dibuat. Jika model dapat
memplotposisikan daerah hasil kerawanan kebakaran pada kelas kerawanan yang sangat tinggi lebih dari
75% maka model dapat diterima sebagai model spasial kerawanan kebakaran pada Kabupaten Pulang Pisau.

69
Rezainya A, Syaufina L, Sitanggang IS

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis hubungan skor setiap variabel dengan kepadatan titik panas dilakukan melalui proses spasial
dan statistik. Data tabel hasil intersect antara kepadatan titik panas (variabel tidak bebas) dengan variabel-
variabel yang memengaruhi kebakaran dilakukan analisis regresi linear. Analisis regresi dilakukan untuk
mendapatkan model dengan nilai koefisien determinasi (R2) terbaik. Nilai skor komposit disusun
berdasarkan semua peubah yang memiliki R2 tertinggi. Beda nyata antar kelas dapat diketahui dengan
melihat nilai signifikansi setiap kelas terhadap kelas pembanding dimana dua kelas dinyatakan berbeda nyata
apabila kelas-kelas tersebut memiliki nilai signifikansi < 0.005. Tabel 2 menujukkan nilai koefisien dan
signifikansi hasil intersect skor rescalling terhadap kepadatan titik panas.
Tabel 2 Hasil regresi linear pada skor rescalling terhadap kepadatan titik panas pola sekuens.
Variabel – variabel yang memengaruhi
Coefficients Sig.
kebakaran hutan
Fungsi Kawasan (X1) 0.050 0.000(a)
Kedalaman Gambut (X2) 0.180 0.000(a)
Jarak Jalan (X3) 0.073 0.000(a)
Jarak Kanal (X4) 0.047 0.000(a)
Jarak Sungai (X5) 0.018 0.082
Tutupan Lahan (X6) 0.025 0.011
a
Signifikan pada taraf 0.5%

Berdasarkan hasil uji model terbaik yang terdapat pada tabel 2, variabel yang signifikan memiliki
pengaruh terhadap kepadatan titik panas pada taraf nyata 0.5%, yaitu fungsi kawasan, kedalaman gambut,
jarak jalan, dan jarak kanal. Persamaan skor komposit yang diperoleh adalah y = 0.050 X 1 + 0.180X2 +
0.073X3+ 0.047 X4. Penyusunan bobot masing‐masing variabel disusun berdasarkan proporsi masing-masing
koefisien korelasi dari regresi linear terhadap total seluruh koefesien regresinya. Nilai bobot dapat dilihat
pada Tabel 3. Skor komposit kerawanan kebakaran berada pada interval 3.498 sampai 77.652. Terdapat 3
kelas kerawanan kebakaran di wilayah studi. Nilai interval skor komposit dan jumlah titik panas validasi tiap
kelas kerawanan ditampilkan pada Tabel 4.
Kabupaten Pulang Pisau memiliki tingkat kerawanan kebakaran dengan proporsi kelas kerawanan
tertinggi pada kelas tinggi. Kelas kerawanan tertinggi sebesar 76% dari seluruh total area kajian dengan
jumlah pola sekuens titik panas sebanyak 143 titik. Proporsi kelas kerawanan rendah pada kelas rendah
sebesar 4% dari seluruh total area kajian dengan jumlah pola sekuens titik panas sebanyak 7 titik. Peta kelas
kerawanan kebakaran pada Kabupaten Pulang Pisau ditunjukkan pada Gambar 2.
Tabel 3 Nilai koefisien dan bobot penyusun untuk skor komposit model.
Variabel Coefficients Bobot
Fungsi kawasan (X1) 0.050 0.142
Kedalaman Gambut (X2) 0.180 0.514
Jarak jalan (X3) 0.073 0.208
Jarak kanal (X4) 0.047 0.134

Tabel 4 Data kelas kerawanan kebakaran di Kabupaten Pulang Pisau.


Kelas Kerawanan
Interval Skor Komposit Oi(a) Persentase Akurasi Model
Kebakaran
Rendah 3.498 – 28.216 7 4%
Sedang 28.217 – 52.935 37 20%
Tinggi  52.936 143 76%
a
Oi :Jumlah pola sekuens titik panas

70
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 66-76

Gambar 2 Peta kelas kerawanan hutan dan lahan di Kabupaten Pulang Pisau Tahun 2015.

Kedalaman gambut merupakan variabel yang berpengaruh terhadap kebakaran di Kabupaten Pulang
Pisau. Persentase dan luas daerah kerawanan pada area studi digambarkan pada Tabel 5. Persentase
kerawanan paling tinggi pada kelas kerawanan tinggi berada pada kedalaman gambut 400-800 cm, dengan
persentase sebesar 64% dari seluruh total kejadian kebakaran di area studi. Persentase kerawanan kebakaran
paling rendah pada kelas rendah berada pada tanah Gambut dengan kedalaman 800-1200 cm, dengan
persentase sebesar 3% dari seluruh total kajian kebakaran. Kejadian kebakaran pada area studi banyak terjadi
pada gambut dengan kedalaman 400-800 cm, apabila dibandingkan dengan kelas kedalaman yang lain.
Kebakaran pada gambut dalam merupakan ciri kebakaran di lahan gambut, karena kebakaran tidak dapat
diprediksi dan bergerak lambat karena tidak diakibatkan oleh angin. Praktek pengaliran air pada lahan
gambut (seperti perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, pembukaan untuk lahan pertanian, dan
penebangan tebang pilih) berkontribusi tinggi menyebabkan daerah tersebut gampang terbakar oleh api jika
tidak dilakukan pengelolaan yang baik (Sumarga, 2017). Pada musim kering lahan gambut yang kering,
cenderung lebih sensitif terhadap api dikarenakan materialnya yang mudah terbakar (Sumarga, 2017).
Kebakaran di lahan gambut memiliki resiko sulit dideteksi dan sulit dikendalikan dibandingkan
kebakaran pada jenis tanah lain. Kebakaran di lahan gambut menembus lapisan bawah dan membentuk
lubang corong, kemudian api akan menyebar secara horizontal (Syaufina, 2008). Gambut yang mengalami
konversi pada temperatur yang tinggi, sedikit kelembapan, menyebabkan meningkatnya evaporasi gambut
selama musim panas sehingga menyebabkan kandungan air gambut menurun pada tingkat terendah (Dohong

71
Rezainya A, Syaufina L, Sitanggang IS

et al., 2017). Gambut yang terbakar cenderung berlangsung secara terus menerus bahkan sampai berbulan-
bulan, terutama pada musim kering (Shi et al., 2014). Akibat kadar air gambut menurun menyebabkan
terjadinya oksidasi gambut dan mempercepat dekomposisi dan mineralisasi yang menyebabkan subsiden
gambut, kebakaran dan meningkatnya emisi karbon (Dohong et al., 2017).
Hasil penelitian pada Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase jarak dari kanal dengan tingkat kerawanan
yang paling tinggi pada kelas kerawanan tinggi berada pada jarak antara 200-900 meter dari kanal dengan
persentase antara 8%-11% dari kejadian kebakaran pada area studi. Persentase jarak dari kanal dengan
tingkat kerawanan rendah pada kelas kerawanan rendah pada semua jarak tidak memiliki pengaruh berarti
terhadap kelas kerawanan kebakaran. Penelitian ini membuktikan bahwa jarak kanal memengaruhi kejadian
kebakaran hutan. Hasil penelitian sesuai dengan pendapat Hooijer et al., (2014) bahwa pada jarak 200-600
meter dari kanal memiliki hubungan yang kuat dengan kejadian kebakaran. Semakin dekat dengan kanal
maka gambut yang terbakar semakin dalam, menurut Hooijer et al., (2014) rata-rata kedalaman gambut yang
terbakar pada jarak kanal 200-900 meter sedalam 0.38 meter, sedangkan rata-rata kedalaman gambut yang
terbakar dengan jarak lebih dari 600 meter memiliki kedalaman 0.20 meter.

Tabel 5 Luas kerawanan kebakaran pada kedalaman gambut dan luas berdasarkan tingkat kerawanan
kebakaran
Kelas kerawanan Kelas kerawanan Kelas kerawanan
Kedalaman rendah sedang tinggi
Jenis Gambut
Gambut (cm)
% Luas(a) % Luas(a) % Luas(a)
50 – 100 (20/80) Hemist/mineral 0 624 1 50,648 0 57,110
50 – 100 (60/40) Hemist/Fibrist 0 7,839 0 4,293 0 143
50 – 100 (80/20) Hemist/mineral 1 40,037 7 23,350 0 1,579
100 - 200 Hemist/fibrist 0 2,968 6 58,738 1 10,590
200 - 400 Hemist/Fibrist 0 846 0 683 2 11,042
400 - 800 Hemist/Fibrist 1 4,761 5 54,068 64 272,052
800 – 1,200 Hemist/fibrist 3 99,017 0 1,734 0 1,529
a
Luas dalam hektar

Tabel 6 Luas kerawanan kebakaran di jarak terhadap kanal dan luas berdasarkan tingkat kerawanan
kebakaran

Kelas kerawanan rendah Kelas kerawanan sedang Kelas kerawanan tinggi


Jarak kanal (meter)
% Luas(a) % Luas(a) % Luas(a)
100 0 3,658 0 867 3 5,755
200 0 3,712 0 859 13 5,717
300 0 3,720 0 905 8 5,721
400 0 3,735 0 955 8 5,719
500 0 3,714 0 964 8 5,733
600 0 3,467 0 980 10 5,460
700 0 3,381 0 1,000 8 5,406
800 0 3,328 0 1,002 10 5,413
900 0 3,257 0 999 10 5,359
1,000 0 3,036 0 920 8 5,306
1,100 0 2,806 0 835 5 5,274
1,200 0 2,731 0 795 5 5,204
1,300 0 2,769 0 763 5 5,119
a
Luas dalam hektar

72
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 66-76

Hasil penelitian pada Tabel 7 menunjukkan bahwa persentase kerawanan tertinggi pada kelas kerawanan
tinggi berada pada fungsi kawasan hutan lindung sebesar 40% dari kejadian kebakaran pada daerah area
studi. Persentase kelas kerawanan rendah pada kelas kerawanan rendah berada pada fungsi kawasan
Kawasan Suaka Alam (KSA) sebesar 3% dari kejadian kebakaran pada daerah studi. Tingginya kelas
kerawanan kebakaran pada fungsi kawasan hutan sejalan dengan penelitian Febriani et al., 2017 yang
mengungkapkan bahwa luasan hutan yang hilang sejak tahun 2000 sampai 2015 di dominasi perubahan
hutan menjadi semak belukar dan rumput serta perkebunan. Perubahan hutan menjadi semak belukar dan
rumput memiliki presentase terbesar dalam perubahan penggunaan lahan hal tersebut mengindikasikan area
deforestasi dibiarkan saja setelah diambil kayunya (Febriani et al., 2017). Fungsi kawasan hutan lindung
perlu mendapatkan perhatian dalam pengendalian kebakaran hutan untuk menghindari dampak kerusakan
ekologis khususnya spesies yang terancam punah.

Tabel 7 Luas kerawanan kebakaran terhadap fungsi kawasan dan luas berdasarkan tingkat kerawanan
kebakaran.
Kelas kerawanan rendah Kelas kerawanan sedang Kelas kerawanan tinggi
Fungsi Kawasan
% Luas % Luas % Luas
APL(a) 0 110,758 3 29,592 8 29,047
(b)
HL 0 29,509 2 31,806 40 156,061
(c)
HP 1 101,336 11 38,663 8 95,643
(d)
HPK 0 42,016 3 21,825 0 1,634
HPT(e) 0 5,792 0 2,245 1 1,519
(f)
KSA 3 104,692 3 21,249 24 103,254
a
APL = Area Penggunaan Lain, dHPK = Hutan Produksi yang dapat dikonversi,
c
HP = Hutan Produksi tetap, eHPT = Hutan produksi terbatas, fKSA = Kawasan Suaka Alam,
b
HL = Hutan Lindung. Luas dalam hektar

Tabel 8 Luas kerawanan kebakaran terhadap jarak jalan dan persentase luas berdasarkan tingkat kerawanan
kebakaran
Kelas kerawanan rendah Kelas kerawanan sedang Kelas kerawanan tinggi
Jarak jalan (km)
% Luas(a) % Luas(a) % Luas(a)
1 0 73,256 35 54,222 12 54,307
2 0 55,609 16 24,853 12 32,047
3 50 44,164 8 14,969 12 24,922
4 0 32,929 30 8,886 22 23,065
5 50 24,418 5 5,081 4 22,215
6 0 19,197 0 2,521 3 22,413
7 0 14,784 3 2,077 1 22,432
8 0 11,530 3 3,713 2 20,048
9 0 9,191 0 4,198 4 18,427
10 0 8,473 0 4,829 4 16,438
11 0 7,891 0 4,767 3 15,132
12 0 6,933 0 4,389 7 14,171
13 0 5,637 0 3,721 8 12,730
14 0 4,573 0 3,539 9 11,232
a
Luas dalam hektar

73
Rezainya A, Syaufina L, Sitanggang IS

Tingginya persentase luas hutan lindung yang tergolong kelas kerawanan tinggi karena kawasan
tersebut mengalami perubahan penggunaan lahan menjadi perkebunan dan ladang pada data riil
lapangan.Hutan produksi juga memiliki persentase tinggi pada kelas kerawanan sedang dan tinggi.
Hutan produksi merupakan daerah yang open access dimana kepemilikan lahan dikuasai oleh
pemerintah, namun secara de facto di lapangan keberadaannya dimiliki oleh non-pemerintahan,
keadaan seperti ini menyebabkan daerah tersebut lebih rentan terhadap kejadian kebakaran.
Hasil penelitian pada Tabel 8 menunjukkan bahwa persentase jarak jalan dengan tingkat
kerawanan tinggi pada kelas kerawanan tinggi berada pada jarak antara 1-4 km dari jalan, dengan
besar persentase sebesar 12-22% dari kejadian kebakaran di area penelitian. Persentase pada kelas
kerawanan rendah pada kelas kerawanan tinggi berada pada jarak 6-10 km dari jarak jalan
Tingginya persentase kebakaran pada jarak 1-4 km merupakan jarak yang ideal bagi masyarakat
untuk melakukan aktivitas pembakaran lahan. Menurut Prayoto et al., (2017) pada jarak 1-5 km dari
jalan banyak ditemukan kejadian kebakaran dibandingkan dengan jarak >20 km dari jalan. Hughes
(2018) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa, kurangnya kontrol pada pembukaan jalan
merupakan faktor utama terhadap deforestasi di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini di
Indonesia dan Malaysia menurut Hughes (2018) banyak daerah yang mengalami deforestasi dengan
adanya pembukaan jalan baru untuk kemudian dibuat perkebunan kelapa sawit.
Variabel seperti jarak jalan, jarak kanal merupakan variabel yang terjadi akibat perbuatan
manusia yang berpengaruh terhadap kebakaran hutan lahan. Manusia menggunakan api untuk
membuka area hutan, yang kemudian digunakan untuk membersihkan lahan untuk pertanian dan
memenuhi kebutuhan hidupnya (Prayoto et al., 2017; Hooijer et al., 2014; Dohong et al., 2017).
Pengolahan data mining dengan metode sequence pattern mining memengaruhi hasil akhir
variabel penyebab kebakaran hutan di area studi. Titik panas yang diolah memiliki predikasi tinggi
terhadap kejadian kebakaran, menurut (Wang dan Cheng 2008), data mining merupakan strategi yang
cerdas untuk digunakan untuk memadamkan kejadian kebakaran sehingga dapat menentukan sebuah
keputusan.

KESIMPULAN

Pengujian terhadap enam variabel yang diduga dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan
pada area studi, diperoleh empat variabel yang signifikan mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan,
yaitu : kedalaman gambut, jarak kanal dan fungsi kawasan dan jarak jalan.
Pemodelan spasial yang dibuat pada penelitian terbentuk dari 3 kelas kerawanan (rendah, sedang,
dan tinggi) kebakaran yang diperoleh dari variabel-variabel penyebab kebakaran dan kepadatan pola
sekuens titik panas. Hasil pemodelan spasial pada lahan gambut diketahui bahwa kejadian kebakaran
banyak terjadi pada area gambut dalam pada kedalaman 400-800 cm. Hasil pemodelan spasial pada
jarak kanal diketahui bahwa jarak 100-900 meter dari kanal memengaruhi kebakaran. Fungsi kawasan
hutan benyak terjadi kejadian kebakaran, dibandingan fungsi kawasan lain. Kejadian kebakaran
terhadap jarak jalan banyak terjadi pada jarak 1-4 km dari jalan.

74
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 66-76

DAFTAR PUSTAKA

Cattau ME, Harrison ME, Shinyo I, Tungau S, Uriarte M, DeFries R. 2016. Source of antropogenic
fire ignitions on the peat-swamp landscape in Kalimantan, Indonesia. Journal of Global
Environmental Change. 39(2016): 250 – 219.
Cortez P, Morais A. 2007. A Data Mining Approach to Predict Forest Fires Using Meteorogical Data.
Proceedings of the 13th EPIA Portuguese Conference on Artificial Inttelegence. 512 – 523
Chuvieco E, Aguado I, Jurdao S, Pettinari ML, Yebra M, Salas J, Hantson S, Riva JDL, Ibarra P,
Rodrigues M, Echeverria M, Azqueta D, Roman MV, Bastarrika A, Martinez S, Recondo C,
Zapico E, Martinez-Vega FJ. 2014. Integrating geospatial information into fire risk
assessment. International Journal of Wildland Fire. 23(5): 606 – 619.
Dohong A, Aziz AA, Dargusch P. 2017. A review of the drivers of tropical peatland degradation in
South-East Asia. Journal of Land Use Policy. 69(2017): 349-360.
Hooijer AL, Page S, Navratil P, Vernimmen R, Van der vat M, Tansey K, Konecny K, Siegert F,
Ballhorn U, Mawdsley N. 2014. Carbon emssion from drained and degraded peatland in
Indonesia and emission factor for measurement, reporting and verification (MRV) of peatland
greenhouse gas emissions. [Scientific Paper] Indonesia (ID): Indonesia – Australia Kalimantan
Forest Carbon Partnership.
Hoscilo A, Page SE, Tansey KJ, Rieley JO. 2011. Effect of repeated fires on land-cover change on
peatland in southern Central Kalimantan, Indonesia, from 1973 – 2005. International Journal
of Wildland Fire. 578-588.
Hughes AC. 2018. Have indo – malaysian forests reached the end of the road? Journal Biological
Conservation. 223(2018): 129 – 137.
Indriani F, Prasetyo LB, Dharmawan AH. 2017. Analisis deforestasi menggunakan regresi logistik
model di Tahura sekitar Tanjung Provinsi Jambi. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. 7(3): 195-203.
Jaya INS, Purnama ES, Arianti I, Boonyanuphap, J. 2007. Forest fire risk assessment model and post
– fire evaluation using remote sensing and gis : a case study in Riau, West Kalimantan, and
East Kalimantan Provinces, Indonesia. [Project Research]. Finlandia (FI) : University of
Helsinki.
Mapilata E, Gandasasmita K, Djajakirana G. 2013. Analisis daerah rawan kebakaran hutan dan lahan
dalam penataan ruang di kota Palangka Raya provinsi Kalimantan Tengah. Majalah Ilmiah
Globe. 15(2):178 – 184.
Mukti A, Prasetyo LB, Rushayati SB. 2016. Mapping Fire Vulnerability in Alas Purwo National
Park.Procedia Environmental Science (33): 290 – 304.
Nurulhaq NZ, Sitanggang IS. 2015. Sequential pattern mining on titik panas data in Riau Province
using the Prefixspan algorithm. International Conference on Adaptive and Intelligent
Agroindustri (ICAIA) 2105 3rd International Conference pp. 257 – 250. [terhubung berkala].
https://www.researchgate.net/ [2016 July 23]. 10.1109/ICAIA.2015.7506517.
Prasasti I, Boer R, Ardiansyah M, Buono A, Syaufina L, Vetrita Y. 2012. Analisis hubungan kode –
kode SPBK (sistem peringkat bahaya kebakaran) dan hotspot dengan kebakaran hutan dan
lahan di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengelolaan Sumbberdaya Alam dan Lingkungan. 2(2):
91 – 101.
Prayoto, Ishihara MI, Firdaus R, Nakagoshi N. 2017. Peatland fires in Riau, Indonesia, in relation to
land cover type, land management, landholder, and spatial management. Journal of
Environmental Protection. 8(2017): 1312 – 1332.

75
Rezainya A, Syaufina L, Sitanggang IS

Samsuri. 2008. Model spasial tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan (studi kasus di wilayah
Propinsi Kalimantan Tengah). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Bogor(ID): Institut Pertanian
Bogor.
Shi Y, Sasai T, Yamaguchi Y. 2014. Spatio-temporal evaluation of carbon emission from biomass
burning in Southeast Asia during period 2001 – 2010. Journal Ecological Modelling.
272(2014): 98 – 115.
Setiawan I, Mahmud AR, Mansor S, Shariff ARM, Nuruddin AA. 2004. GIS-grid based and multi
criteria analysis for identifying and mapping swamp forest fire hazard in Pahang, Malayasia.
Disaster and Prevention Management. 13(5): 379 – 386.
Sumarga E. 2017. Spatial indicators for human activities may explain the 2015 fire hotspot
distribution in central kalimantan Indonesia. SAGE Publication Journal Tropical Conservation
Science. 10: 1-9.
Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia: Perilaku api, penyebab dan dampak
kebakaran. Malang (ID): PT Bayu Media.
Tacconi L. 2016. COMMENTARY: Preventing fires and haze in southeast asia. Nature Climate
Change. 6(7): 640-643.
Wooster MJ, Perry GLW, Zoumas A. 2012. Fire, drought and el-nino relationship to borneo
(southeast – asia) in the pre-MODIS era (1980 – 2000). Biogeosciences 9(1): 317-340.
Zhao Q, Bhownick SS. 2003. Sequential pattern mining: a survey. ITechnical report CAIS Nanyang
Technological UniversitySingapore (1).

76
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 77-88. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 77-88
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Analisis Teknis dan Ekonomis Penerapan Lampu Penerangan Jalan Umum


Panel Surya di Kota Sukabumi
Techno-economic Analysis of The Public Street Light with Solar Cell Power Implementation in
Sukabumi City

Dion Sanahaa, Irzamanb, Sri Mulatsiha


a SekolahPascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Dramaga Bogor 16680, Indonesia
b Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Darmaga Bogor, 16680, Indonesia
c Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB

Darmaga Bogor, 16680, Indonesia

Article Info: Abstract. Public Street Light (PSL) with Solar Cell Power has good prospects
Received: 03 - 10 - 2018 to be developed in the equator. PSL design must provide reliable service. The
Accepted: 05 - 09 - 2019
aims of tAhis research are to know how the design of PSL with Solar Cell
Keywords: Power can provide a reliable service of The PSL. Besides that, monitoring of
Batteres, LED, NPV, sollar cell, the performance of PSL is expected to be carried out centrally, this is to
PSL. facilitate employees in observing the performance of the lights, also to
Corresponding Author:
anticipate damage PSL components. The design of PSL are expected to meet
Dion Sanaha these expectations. This PSL designed can provide data on the performance
Sekolah Pascasarjana, Institut of the main components of the PSL with Solar Cell Power, namely: Solar Cell,
Pertanian Bogor; Batteries and LEDs. Descriptive analysis is used to analyze PSL technically,
Email: d_sanaha@yahoo.com.
and economic feasibility analysis to PSL economically. Solar panels and
lights work according to the technival spesifications, while the battery does
not work according to technical spesifications, when the light is on less than
specified, which is less than 12 hours. Economic analysis is taken into account
of the design of this PSL. Net Present Value (NPV) are used in analyzing the
Smart Design of PSL, which is by adding up all cash flow and investment
costs. PSL is not an economics investment project carried out by the private
sector. NPV Value with 10 % discount rate indicates that PSL is not feasible
for business. Calculation of 0% discount rate, economic analysis is obtained
if the price of electricity per KWH reaches of value of Rp. 11 027, which is
more than seven times the price of PLN electricity per KWH without subsidies.
How to cite (CSE Style 8th Edition):
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S. 2020. Analisis teknis dan ekonomis penerapan lampu penerangan jalan umum panel surya di Kota
Sukabumi. 10(1): 77-88. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 77-88.

PENDAHULUAN

Lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) di Kota Sukabumi, berdasarkan sumber daya listriknya, dibagi
dalam dua jenis, yaitu: lampu PJU yang bersumber dari daya listrik yang dihasilkan oleh Perusahaan Listrik
Negara (PLN) dan yang bersumber dari cahaya matahari melalui daya listrik yang dihasilkan oleh panel surya
atau cahaya matahari.

77
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S

Penggunaan Lampu PJU bersumber dari cahaya matahari memiliki prospek yang baik mengingat
ketersediannya energinya yang berlimpah dan terus menerus karena posisi Indonesia di Kawasan tropis yang
mendapatkan cahaya matahari sepanjang tahun. Potensi inilah yang dilihat Kota Sukabumi sebagai peluang
untuk memanfaatkan energi yang besar ini sebagai sumber cahaya penerangan jalan. Kehandalan layanan
lampu PJU juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Lampu PJU diperlukan terutama pada malam hari
dimana jika terdapat gangguan listrik oleh PLN yang berdampak pada pemadaman, maka lampu PJU harus
tetap menyala.
Pemantauan teknis kinerja lampu diharapkan dapat dilakukan secara terpusat. Jumlah titik lampu yang
banyak dan terus bertambah memerlukan desain lampu PJU yang memungkinkan pemantauan secara
menyeluruh terhadap keadaan lampu PJU yang ada. Sistem pemantauan terkait lampu diharapkan dapat
dilakukan dari suatu lokasi tertentu yang memberikan data dan informasi teknis mengenai kondisi lampu PJU
terpasang, sehingga memudahkan monitoring dan membuat kegiatan pemeliharaan lebih efisien dan
mempermudah perawatan.
Selain secara teknis, perlu dilakukan analisis secara ekonomis mengenai desain yang akan dikembangkan.
Analisis ekonomis yang digunakan adalah dengan menghitung kelayakan investasi. Selanjutnya Gambar 1
menyampaikan kerangka pemikiran dari penelitian yang dilakukan.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran.

Kondisi eksisting Lampu PJU di Kota Sukabumi yang masih tergantung pada listrik PLN menyebabkan
adanya pemikiran untuk melakukan alternatif Lampu PJU Panel Surya. Secara teknis Lampu PJU Panel Surya
ini harus dapat memonitoring status Lampu PJU, keadaan komponennya dan ramah lingkungan. Selain secara
teknis, lampu PJU Panel Surya juga dievaluasi kelayaannya secara ekonomis.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanalan pada periode Juli 2018 sampai dengan September 2018 di 11 titik lokasi di
Jalan Merdeka Kelurahan Cikundul Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapat dari hasil
pengukuran langsung peralatan terpasang, sedangkan data sekunder merupakan data pendukung yang didapat
dari sumber-sumber lain. Rangkaian peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lampu LED, panel
surya, baterai lithium, Solar Charge Controller (SCC), Smart Controller Module (SCM), dan Gateway.

78
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 77-88

Lampu LED
Lampu LED atau kepanjangannya Light Emitting Diode awalnya adalah suatu lampu yang digunakan
sebagai indikator dalam perangkat elektronika, yang biasanya memiliki fungsi untuk menunjukkan status dari
perangkat elektronika tersebut. Lampu ini sangat popular untuk lampu indikator yang memiliki lumens kecil.
Pada perkembangannya lampu LED yang memiliki lumens lebih besar, sehingga popular dipakai untuk
penerangan area yang lebih luas seperti penerangan ruangan atau bahkan penerangan jalan umum.
Lampu LED banyak di pilih untuk digunakan sebagai Penerangan Jalan umum dikarenakan daya yang
digunakan oleh lampu LED ini lebih sedikit dibandingkan oleh lampu jenis lainnya. Spesifikasi Lampu LED
yang digunakan untuk penerangan jalan umum berbeda dengan yang dipakai untuk area penerangan ruangan,
karena cakupan pencahayaan penerangan jalan umum ini sangatlah luas di bandingan dengan penerangan
ruangan. Lampu LED yang digunakan pada penelitian ini adalah Lampu LED bermerk Solarens, tipe SL0202-
MT yang memiliki spesifikasi teknis:
Rated Power (+10%) : 40 W DC
Rated Fluks (lm) : 6480
System Efficacy (lm/W) : 162
Input Voltage : 12/24 VDC
Power Factor : 0.91
Harga : Rp. 3 440 000

Panel Surya
Panel Surya merupakan satu peralatan yang digunakan untuk menyediakan sumber daya pada lampu
penerangan jalan umum. Pada penelitian ini, penggunaan panel surya terutama dengan pertimbangan bahwa
lokasi penelitian berada di daerah khatulistiwa dimana ketersedian cahaya matahari tersedia sepanjang tahun
sebagai sumber energy yang tersedia secara gratis untuk jangka waktu yang sangat lama. Selain itu,
pertimbangan bahwa pelayanan lampu penerangan jalan umum pada malam hari tidak boleh terhenti jika
terjadi pemadaman akibat gangguan listrik PLN.
Prinsip kerja dari surya panel adalah mengubah energi radiasi surya menjadi arus listrik searah dengan
menggunakan lapisan-lapisan tipis dari silicon (Si) murni atau bahan semikonduktor lainnya. Pada saat ini
silicon merupakan bahan yang terbanyak dipakai. Silikon merupakan suatu unsur yang banyak terdapat di
alam. Untuk pemakaian sebagai semikonduktor, silicon harus dimurnikan hingga suatu tingkat pemurnian yang
tinggi sekali: kurang dari satu atom pengotoran per 10 10 atom silicon.Panel Surya yang digunakan pada
penelitian ini adalah Panel Surya bermerk Jembo PV, tipe 150P yang memiliki spesifikasi teknis:
Max Power Point Voltage : 18.68Vmpp
Max Power : 150WP
Max Power Point Current : 8.06Ampp
Power Output Tolerance : 3%
Cell Type : Polycristaline
Modul Efficiency : 15.13%
Harga : Rp. 2 490 000

Baterai Lithium
Baterai ion lithium (biasa disebut Baterai Li-ion atau LIB) adalah salah satu jenis baterai isi ulang
(rechargable battery). Pada penelitian ini, baterai digunakan untuk menyimpan daya listrik yang dihasilkan
dari panel surya pada saat siang hari, dan menyediakan daya listrik untuk menyalakan lampu LED pada malam
hari. Baterai lithium yang digunakan adalah baterai yang dapat diisi ulang. Di dalam baterai ini, ion lithium
bergerak dari elektroda negatif ke elektroda positif saat dilepaskan, dan kembali saat diisi ulang. Baterai
lithium yang digunakan pada penelitian ini adalah Baterai lithium bermerk JYC, tipe LFPxx yang memiliki
spesifikasi teknis:

79
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S

Nominal Voltage : 12.8V Cycle life : >2000 cycles @1C 100%DOD


Nominal Capacity : 50 Ah Harga : Rp. 6 037 500
Energy : 640 Wh

Solar Control Charge(SCC)


Solar Charge Controller (SCC) adalah salah satu komponen pendukung yang sangat penting dalam
Sistem Lampu PJU panel surya. Alat ini berfungsi untuk mengatur proses pengisian (charging) dan pemakaian
baterai (discharging). Alat ini juga digunakan untuk menjaga baterai supaya tidak mudah rusak, dengan
memutus arus baterai jika pengisian baterai sudah terisi penuh dan juga memutus beban/lampu jika baterai
sudah habis. SCC yang digunakan memiliki fasilitas yang sangat membantu kinerja panel surya dan baterai
lithium, dengan fasilitas sebagai berikut sun switch, berguna bagi sistem kerja dari panel surya dan juga baterai
lithium, karena fasilitas ini dapat mengatur kinerja dari lampu LED penerangan jalan umum, serta system
proteksi yang memiliki fungsi untuk pengamanan instalasi terhadap kemungkinan terjadinya hubungan singkat
arus lalu lintas yang berakibat fatal akibat beberapa hal seperti pemasangan kabel positif dan negatif ke
terminal input panel surya terbalik/salah, atau jika pemasangan kabel positif & negatif ke terminal input baterai
terbalik/salah. SCC yang digunakan pada penelitian ini adalah SCC bermerk Epever, tipe 5210 BPL dengan
harga Rp. 3 330 000.

Smart Controller Module (SCM)


Komponen penting dari desain Lampu PJU panel surya Smart ini adalah Smart Controller Module (SCM).
Alat ini terhubung dengan SCC, dan gateway, Fungsi dari SCM ini adalah menerima data dari SCC yang
kemudian mengirimkan data tersebut ke Gateway melalui frekuensi radio. Setiap SCM memiliki alamat (IP
Adress) yang berbeda sehingga Gateway dapat mengenali data yang dikirim oleh masing-masing SCM. SCM
yang dipergunakan pada penelitian ini adalah merk Epever model eBox tipe WL-433M-01dengan harga
Rp. 2 990 000.

Gateway
Gateway (Gerbang Jaringan) adalah suatu perangkat yang menghubungkan jaringan komputer yang satu
atau lebih jaringan komputer dengan media komunikasi yang berbeda. Pada sistem ini, Gateway digunakan
dalam pengumpulan dan pengolahan data lampu PJU panel surya melalui Web-Server, sehingga dapat
melakukan monitoring secara berkala terhadap masing – masing unit Lampu PJU panel surya dengan
memberikan informasi / data yang diperlukan. Pada penelitian ini, gateway terhubung dengan server epever
melalui jaringan internet GSM Telkomsel. Gateway yang digunakan pada penelitian ini adalah merk Epever,
tipe Ebox-CIWL-01 Concentrator dengan harga Rp. 3 120 000.

Metode Pengumpulan Data


Data teknis diambil dari PJU panel surya hasil desain, adapun sumber data teknis diambil dari 11 titik
lampu PJU di Jalan Cikundul Kota Sukabumi, pengambilan data dilakukan dari aplikasi Smart PJU yang dibuat
oleh Epever selama 7 hari yaitu tanggal 20-26 September 2018. Hal ini juga disertai pengamatan di lokasi.
Data teknis ini memuat tentang kondisi lampu dan kondisi komponen yang diambil dari monitoring data di
komputer.

Metode Analisis Data


Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif yang merupakan analisis teknis
dari rangkaian sistem penerangan jalan yang dibuat dan analisis kelayakan ekonomis. Analisis deskriptif
dilakukan untuk mendeskripsikan teknis dalam bentuk tabulasi data rata-rata arus dan tegangan dari komponen
80
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 77-88

lampu PJU. Analisis teknis dilakukan dengan membaca data yang ditampilkan pada Komputer PC/Laptop.
Data-data yang diperoleh adalah 1) Status Lampu LED, 2) Status baterai, dan 3) Status solar panel.
Analisa kelayakan ekonomis menggunakan indikator NPV dan IRR dari cash flow yang berupa biaya
investasi dan biaya operasional serta penerimaan. Data investasi diperoleh dari harga e-katalog, harga on-line
dan hasil lelang pada layanan pengadaan secara elektronik Jawa Barat, data operasional diperoleh dari data
primer berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dan data penerimaan diperoleh dari data primer pengukuran
daya panel surya dan harga yang dihasilkan yaitu harga kwh dari PLN tanpa subsidi. Harga sistem Lampu PJU
panel surya Smart diperoleh dari harga-harga pembelian komponennya. Dari harga tersebut dilakukan
perhitungan analisis mengenai kelayakan ekonomis sistem tersebut.
Nilai Net Present Value (NPV) yang dihitung merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan
yang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan
kata lain merupakan arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat
ini. Untuk menghitung NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan
serta perkiraan manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan. Jadi perhitungan NPV mengandalkan pada
teknik arus kas yang didiskontokan.
Analisa kelayakan ekonomis menggunakan indikator NVP dan IRR dari cash flow yang berupa biaya
investasi dan biaya operasional serta penerimaan. Data investasi diperoleh dari harga e-katalog, harga on-line
dan hasil lelang pada layanan pengadaan secara elektronik Jawa Barat, data operasional diperoleh dari data
primer berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dan data penerimaan diperoleh dari data primer pengukuran
daya panel surya dan harga yang dihasilkan yaitu harga kwh dari PLN tanpa subsidi.
Harga sistem Lampu PJU panel surya Smart diperoleh dari harga-harga pembelian komponennya. Dari
harga tersebut dilakukan perhitungan analisis mengenai kelayakan ekonomis sistem tersebut.
Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara pengeluaran dan pemasukan yang telah didiskon
dengan menggunakan social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor, atau dengan kata lain merupakan
arus kas yang diperkirakan pada masa yang akan datang yang didiskontokan pada saat ini. Untuk menghitung
NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan
manfaat/benefit dari proyek yang direncanakan. Jadi perhitungan NPV mengandalkan pada teknik arus kas
yang didiskontokan.
Menurut Kasmir (2003) NPV atau nilai bersih sekarang merupakan perbandingan antara Present Value
(PV) kas bersih dengan PV investasi selama umur investasi. Sedangkan menurut Ibrahim (2003) NPV
merupakan net benefityang telah didiskon dengan menggunakan social opportunity cost of capital (SOCC)
sebagai discount factor. Arus kas masuk dan keluar yang didiskontokan pada saat ini atau Present Value (PV)
yang dijumlahkan selama masa hidup dari proyek tersebut dapat dihitung dengan rumus:
PVr = Rt / (1+i)t
Rumus di atas digunakan saat proyek dijalankan dalam jangka waktu yang panjang, dimana :
PVr = Present Value dari revenue
Rt = Arus kas bersih (the net cash flow) dalam waktu t
i = Suatu bunga diskonto yang digunakan
t = Waktu arus kas
NPV = C0 + PVr
dimana :
NPV = Net Present Value
C0 = jumlah uang yang diinvestasikan pada awal masa proyek (tahun ke-0). Karena ini pengeluaran, maka
menggunakan bilangan negatif

81
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S

Hal berikut menunjukan perhitungan NPV terhadap keputusan investasi yang akan dilakukan.
NPV> 0, Investasi yang dilakukan memberikan manfaat bagi perusahaan. Maka proyek bisa dijalankan.
NPV = 0, Investasi yang dilakukan tidak membuat perusahaan rugi maupun untung. Sehingga, Kalau proyek
dilaksanakan atau tidak dilaksanakan tidak akan berpengaruh pada keuangan perusahaan. Keputusan harus
ditetapkan dengan menggunakan kriteria lain misalnya dengan dampak investasi terhadap positioning
perusahaan
NPV< 0, Investasi yang dilakukan akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan maka proyek ditolak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis teknis desain lampu PJU panel surya
Data Desain Lampu PJU Panel Surya diambil dari spesifikasi teknis komponen yang digunakan. Untuk
menganalisis desain lampu PJU, maka perhitungan dilakukan dari beban menuju sumber energi. Beban yang
digunakan pada desain Lampu PJU Panel Surya adalah Lampu LED, 40 W DC, dengan faktor daya 0,91.
Hubungan antara daya nyata, tegangan dan arus dinyatakan oleh Mismail (1981) P = VI cosφ, dimana:
P = Daya nyata (Watt)
V = Tegangan (Volt)
I = Arus (Ampere), dan
cosφ = faktor daya
Lampu/beban akan menyala apabila diberikan daya yang bersumber dari baterai. Daya baterai adalah daya
nyata yang memiliki satuan VA. Daya baterai terpasang minimal adalah:
VI = P/ cosφ VA
= 40/0.91 VA
= 43.96 VA.
Baterai tersebut harus dapat memberikan daya sebesar 43,96 VA dalam jangka waktu minimal 12 jam,
maka kapasitas minimal baterai adalah
VIhour = 43,96 x 12 VAh
= 527.52 VAh
Diketahui bahwa spesifikasi teknis baterai adalah 12.8 V, 50 Ah, sehingga kapasitasnya secara
perhitungan teknis
VIhour baterai = 12.8 x 50 VAh
= 640 VAh
Dengan evaluasi desain tersebut, kapasitas baterai lebih besar dari kapasitas minimal baterai yang
diperlukan untuk menyalakan lampu 40 W DC selama 12 jam. Baterai memberikan daya kepada lampu selama
12 jam pada malam hari. Selama lampu tidak menyala pada siang hari, maka baterai akan diisi dayanya dari
energy yang dibangkitkan oleh panel surya. Yuliarto (2017) menyebutkan bahwa kehilangan daya dari energi
yang dihasilkan panel surya adalah sebesar 30% dan di Indonesia asumsi penyinaran matahari pada waktu
optimum untuk menghasilkan listrik adalah 5 jam per hari. Jika kapasitas minimum baterai yang dibutuhkan
527.52 VAh, dengan asumsi daya yang hilang 30%, maka daya yang harus dihasilkan oleh panel surya adalah
1.3 x 527.52 = 685.78 VAh. Dengan asumsi penyinaran per hari 5 jam, maka panel surya yang diperlukan
minimal adalah 685.78/5 = 137.16 VA.

82
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 77-88

Sesuai spesifikasi teknis, panel surya yang dipasang adalah 150 WP, artinya memiliki kapasitas lebih
tinggi dari yang diperlukan, yaitu 137.16 VA. Dengan demikian, secara perhitungan, desain lampu PJU ini
dapat bekerja memenuhi kebutuhan untuk menyalakan lampu selama 12 jam di waktu malam, dan panel surya
dapat mengisi baterai di waktu siang. Berdasarkan data server Epever, yang dapat diunduh secara online
melalui aplikasi Epever, maka sebagai contoh diperoleh data untuk lampu 1 dari tanggal 20 September 2018
sampai dengan tanggal 26-09-2018. Seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Grafik Tegangan, Arus dan Daya pada titik 1.

Gambar 2 menjelaskan hal bahwa awal pemasangan, tanggal 20 September 2018, baterai telah diisi di
pabrikan, sehingga walaupun terdapat tegangan pada array (panel surya), namun tidak terjadi pengisian pada
beterai. Pada pukul 18.40, terjadi discharge pada baterai, yang mengalirkan arus dari baterai ke lampu. Proses
discharge berlangsung sampai dengan pukul 22.40.
Pada tanggal 21 sampai dengan 23 September 2018, beban lampu dilepas, hal ini untuk menguji proses
pengisian baterai dari panel surya, Status lampu mati, Status baterai, terdapat tegangan pada baterai, dan baterai
diisi dari panel surya (array). Status Panel Surya, terdapat tegangan pada dan arus panel surya yang mengalir
dari panel surya ke baterai, hal ini berarti ada proses pengisian pada baterai.
Pada tanggal 24 September 2018, lampu kembali disambungkan. Status lampu menyala pada pukul 19.01
dan mati pada pukul 22.43. Status baterai, terdapat tegangan pada baterai, dan baterai telah diisi dari Panel
Surya/Array. Pada pukul 19.01, terjadi discharge pada baterai, yang mengalirkan arus dari baterai ke lampu.
Proses discharge berlangsung sampai dengan pukul 22.43. Proses ini berulang hingga tanggal 26 September
2018 dengan pola yang relatif sama.
Grafik pada Gambar 2 menunjukan besarnya tegangan dan arus listrik yang mengalir pada lampu telah
sesuai dengan spesifikasi teknis lampu, begitu pula untuk baterai dan panel surya (array). Namun, lamanya
lampu menyala tidak sesuai dengan harapan, yaitu selama 12 jam. Sesuai grafik, hal ini terjadi karena suplai
daya dari baterai tidak mencukupi untuk lampu menyala selama 12 jam.

83
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S

Panel Surya terlihat dapat memberikan suplai daya sampai dengan baterai terisi penuh. Dari grafik
Gambar 2 terlihat bahwa saat panel surya masih dapat menyuplai daya, namun baterai tidak lagi terisi
dikarenakan sudah penuh. Dengan demikian permasalahan sistem PJU ini terdapat pada baterai terpasang.
Membandingkan antara kapasitas baterai terpasang dengan kapasitas baterai yang direncanakan, dapat
dilakukan sebagai berikut:
Spesifikasi kapasitas baterai yang direncanakan adalah 60Ah, 12.8V, sehingga kapasitas energi baterai
adalah 60 Ah x 12.8V = 768 VAh. Beban lampu terpasang dengan faktor daya 0.91 adalah 40W atau 40/0.91
= 43.96VA. Maka seharusnya baterai tersebut dapat menyuplai daya selama 768/43.96 = 17.47 jam.
Kemampuan panel surya menurut spesifikasi teknis adalah = 150Wp.
Dari Gambar 2 juga diketahui bahwa lama penyinaran puncak lebih dari 5 jam, sementara itu menurut
Yuliarto (2017) dengan menganggap lama penyinaran adalah 5 jam, maka energi yang dihasilkan adalah 5 x
150Wh = 750Wh. Dengan menghitung faktor loses energy sebesar 30%, maka energy yang dihasilkan adalah
750/1.3 Wh = 576.92 Wh atau 633.98VAh. Dengan tegangan sebesar 12.8V, maka panel surya dapat
menyuplai baterai sebesar 633.98/12, 8 = 49.53 Ah atau dapat menyalakan lampu selama 633.98/43.96 = 14.42
jam.
Kapasitas baterai terpasang dapat dihitung dari data yang ada, dengan cara menghitung arus dan tegangan
rata-rata baterai saat menyuplai lampu. Contoh hasil perhitungan kapasitas baterai terpasang dengan waktu
lampu menyala untuk baterai 1 adalah 14.16 Ah seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil perhitungan kapasitas baterai pada masing-masing titik.
Komponen I rata-rata (A) V rata-rata (V) Lama waktu lampu menyala Kapasitas Baterai (Ah)
Baterai 1 3.86 11.49 3 jam 31 menit 13.57
Baterai 2 3.73 11.60 7 jam 43 menit 28.78
Baterai 3 3.83 11.60 7 jam 27 menit 28.53
Baterai 4 3.78 11.49 5 jam 03 menit 19.09
Baterai 5 3.86 11.45 3 jam 35 menit 13.83
Baterai 6 3.71 11.62 7 jam 58 menit 29.56
Baterai 7 3.82 11.60 7 jam 27 menit 28.46
Baterai 8 3.79 11.45 3 jam 04 menit 11.62
Baterai 9 3.86 11.56 7 jam 03 menit 27.21
Baterai 10 3.83 11.60 8 jam 03 menit 30.83
Baterai 11 3.87 11.52 3 jam 44 menit 14.45

Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa dari seluruh baterai yang ada, tidak memenuhi spesifikasi teknis
baterai yang telah ditentukan, yaitu 50 Ah. Dengan demikian waktu menyala lampu tidak sesuai yang
diharapkan, yaitu selama 12 jam, untuk itu harus dilakukan penggantian baterai sesuai spesifikasi teknis yang
telah ditentukan.

Hasil Analisis Ekonomis


Analisis ekonomis dilakukan dengan menghitung berdasarkan desain lampu PJU yang dibuat. Umur
investasi adalah 25 tahun, sesuai umur panel Surya. Umur investasi 1 buah baterai adalah 2000 cycles DOD,
artinya baterai dapat digunakan isi ulang selama 2000 kali. Jika satu hari baterai diisi ulang satu kali, maka
satu buah baterai dapat digunakan selama 2000/365 = 5.48 tahun. Karena umur investasi adalah 25 tahun,
maka baterai yang dibutuhkan adalah 25/5.48 = 4.56 buah baterai atau 5 buah baterai.
Umur investasi 1 buah lampu adalah 50 000 jam kerja. Dalam satu hari, lampu bekerja selama 12 jam,
maka lampu dapat digunakan selama 50 000: (12 x 365) = 11.42 tahun. Karena umur investasi adalah 25 tahun,
maka jumlah lampu yang dibutuhkan adalah 25/11.42 = 2.19 buah lampu per titik atau 3 buah lampu. Biaya
investasi didapatkan dari hasil perhitungan adalah sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 2.
84
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 77-88

Tabel 2 Hasil perhitungan biaya investasi.


No Komponen Vol Satuan Harga satuan (Rp.) Jumlah (Rp.)
1 Panel Surya 1 Buah 2 450 000 2 450 000
2 SCC 1 Buah 3 330 000 3 330 000
3 Smart Modular 1 Buah 2 990 000 2 990 000
4 Baterai 5 Buah 6 037 500 30 187 500
5 Lampu 3 Buah 3 440 000 10 320 000
6 Tiang dan instalasi 1 Buah 2 800 000 2 800 000
Jumlah 52 077 500
Untuk 11 titik 572 852 500
Gateway 3 120 000
Komunikasi data @50 rb/bulan 300 Bulan 50 000 15,000,000
Jumlah Total 590 972 500

Data Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun ke-25, baterai dan lampu masih memiliki nilai sisa investasi.
Kemampuan umur baterai adalah 2 000 cycles DOD per buah sehingga 5 buah baterai menghasilkan 5 x 2 000
= 10 000 cycles. Pengisian ulang baterai selama 25 tahun adalah 25 x 365 = 9 125 hari atau 9 125 kali isi ulang.
Kapasitas sisa baterai adalah 10 000 – 9 125 cycles = 875 cycles. Nilai sisa baterai adalah 875/2 000 x Rp. 6
037 500 x 11 titik = Rp. 29 055 468. Perhitungan untuk lampu dilakukan dengan kemampuan umur lampu
adalah 50,000 jam per buah. Penggunaan lampu sebanyak 3 buah menghasilkan 50 000 x 3 = 150 000 jam.
Penggunaan lampu selama 25 tahun dimana setiap hari lampu menyala 12 jam = 25 x 365 x 12 = 109 500 jam.
Kapasitas sisa lampu adalah 150 000-109 500 = 40 500 jam. Nilai sisa lampu adalah 40 500/50 000 x Rp. 3
340 000 x 11 = Rp. 30 640 400.
Nilai sisa baterai pada tahun ke-25, dengan memperhitungkan diskon rate 10% adalah Rp. 2 827 986
sedangkan nilai sisa lampu pada tahun ke-25, dengan memperhitungkan diskon rate 10% adalah
Rp. 2 861 703. Perhitungan untuk pendapatan dengan memperoleh lisrik dari lampu PJU dengan mengalikan
harga per Kwh listrik non-subsidi. Beban lampu 40 W yang menyala selama 12 jam, maka dalam satu tahun,
1 titik lampu akan menghasilan energi sebesar:
Produksi Kwh = (40W x 12jam x 365hari) /1000 KWh
= 175.2KWh
Produksi KWh 11 titik = 175.2 x 11
= 1 927.2 KWh
Harga listrik non Subsidi PLN adalah Rp. 1 647 /KWh
Pendapatan per tahun adalah = Rp. 1 647 x 1 927.2
= Rp. 3 174 098
Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan NPV. Diskon rate (i) ditentukan = 10%, maka
diperoleh hasil perhitungan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil Perhitungan NPV untuk pendapatan KWh dengan diskon rate 10%
No Keterangan Aliran Kas (Rt) Rt/(1+i)t
1 Pendapatan tahun ke 1 3 174 098 2 885 544
2 Pendapatan tahun ke 2 3 174 098 2 623 221
… Pendapatan tahun ke … … …..
25 Pendapatan tahun ke 25 3 174 098 292 956
Total pendapatan KWh selama 25 tahun 28 811 418

85
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S

NPV = Total Pendapatan – Total Investasi


Total Pendapatan = Pendapatan KWh + Nilai sisa lampu + Nilai sisa baterai
= Rp. 28 811 418 + 2 861 703 + Rp. 2 827 986
= Rp. 34 321 107
Total investasi = Rp. 590 972 500
Sehingga NPV = Rp. 88 507 286 - Rp. 590 972 500
= - Rp. 556.651.393
Jika diskon rate (i) ditentukan sebesar 0%, maka diperoleh hasil perhitungan sebagaimana ditunjukkan
pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil Perhitungan NPV untuk Pendapatan KWh dengan Diskon Rate 0%.
No Keterangan Aliran Kas (Rt) Rt/(1+i)t
1 Pendapatan tahun ke 1 3 174 098 3 174 098
2 Pendapatan tahun ke 2 3 174 098 3 174 098
… Pendapatan tahun ke … … …..
25 Pendapatan tahun ke 25 3 174 098 3 174 098
Total pendapatan KWh selama 25 tahun 79 352 460

NPV = Total Pendapatan – Total Investasi


Total Pendapatan = Pendapatan KWh + Nilai sisa lampu + Nilai sisa baterai
= Rp. 79 352 460 + 29 055 468 + Rp. 30 640 400
= Rp. 139 048 328
Total investasi = Rp. 590 972 500
Sehingga NPV = Rp. 139 048 328 - Rp. 590 972 500
= - Rp. 451 924 172
Kelayakan ekonomis PJU Panel Surya dapat dicapai dengan menghitung Kwh yang dihasilkan. Diskon
rate ditentukan 0%, maka perhitungan harga Kwh adalah sebagai berikut:
NPV = 0
Total Pendapatan – Total Investasi = 0
Total Pendapatan = Total Investasi
Pendapatan KWh + Nilai sisa lampu + Nilai sisa baterai = Total Investasi
Pendapatan KWh = Total Investasi - Nilai sisa lampu - Nilai sisa baterai
Pendapatan KWh = Rp. 590 972 500 - 29 055 468 - Rp. 30 640 400
Pendapatan KWh = Rp. 531 276 632
Diskon rate (i) ditentukan 0%, maka dengan umur investasi 25 tahun.
Pendapatan KWh per tahun = Rp. 531 276 632/25 = Rp. 21 251 066
dengan produksi listrik per tahun 1 927.2 KWh
harga keekonomisan listrik PJU Solar Panel per Kwh = Rp. 21 251 066/ 1 927.2
= Rp. 11 027
Hal ini dapat dijelaskan, bahwa pemasangan lampu PJU bukanlah suatu proyek investasi yang layak
secara bisnis dilakukan pihak swasta. Kelayakan secara ekonomis diperoleh jika harga listrik per Kwh
mencapai nilai Rp. 11.027.
Meskipun secara ekonomis tidak menguntungkan, namun bila dibandingkan dengan sumber listrik PLN,
pemasangan PJU Panel Surya lebih menguntungkan dari sisi energi baru terbarukan.

86
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 77-88

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1)Desain Lampu PJU
Panel Surya menggunakan komponen Panel Surya merk Jembo PV, tipe 150P dan Lampu LED merk Solarens
tipe SL020-MT serta Baterai Lithium merk JYV tipe LFPxx. Komponen Panel Surya dan Lampu bekerja
sesuai spesifikasi teknisnya, sedangkan Baterai tidak bekerja sesuai spesifikasi teknisnya, waktu lampu
menyala kurang dari yang telah ditetapkan, yaitu kurang dari 12 Jam, 2) Status hidup atau mati lampu dan
kondisi komponen (panel surya, lampu dan baterai) Lampu PJU Panel Surya dapat dilakukan secara terpusat,
melalui Komputer PC/Laptop menggunakan aplikasi Epever. Pemantauan dilakukan dengan melihat data
teknis berupa tegangan, arus dan daya secara real time, dan 3)Nilai NPV dengan diskon rate 10% menunjukkan
Pemasangan lampu PJU tidak layak untuk bisnis. Perhitungan diskon rate 0%, kelayakan secara ekonomis
diperoleh jika harga listrik per Kwh mencapai nilai Rp. 11.027, sekitar tujuh kali harga listrik PLN per KWh
tanpa subsidi.

DAFTAR PUSTAKA

Bukvic M, Janjic R, Stojanovic B. 2017. Recycling Lithium-Ion Battery. [Internet]. [diunduh 2018 Oktober
14]. Tersedia pada https://www.researchgate.net/publication/321483410_RECYCLING_LITHIUM-
ION_BATTERY.
Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan. Statistik Ketenagalistrikan. 2016. Jakarta (ID): Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Gouthami C, Santosh C, Kumar AP, Karthik A, Ramya KR. 2016. Design and Implementation of Automatic
Street Light Control System using Light Dependent Resistor. International Journal of Engineering
Trends and Technology (IJETT). 35(10).
Harten P Van, Setiawan E. 1995. Instalasi Listrik Arus Kuat 2. Bandung (ID): Binacipta.
Ibrahim Y. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta (ID): Rineka Cipta.
Iorkyaa A, Richard Ar I, Amah AN. 2012.The Efficacy of Light Emitting Diode (LED) Lamps Used in Rural
Communities of Nigeria. Journal Energy and Environment Research. 2.
Irawan FA, Dhofir M, Suyono H. 2013. Analisis Peningkatan efisiensi penerangan jalan umum di Kabupaten
Jember [Internet]. [diunduh pada 2018 Juni 5]. Tersedia pada
http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jteuntan/article/view/8793/8757.
Kadir A. 1995. Energi Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi. Jakarta (ID): Penerbit
Universitas Indonesia.
Kasmir, Jakfar. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta (ID): Kencana.
Khwee KK. 2013. Pengaruh temperatur terhadap kapasitas daya panel surya (Studi Kasus: Pontianak). Jurnal
ELKHA. 5(2): 23-25.
Kosaraju S. tanpa tahun. A Review of ‘The Importance of Recycling Lithium-Ion Batteries for Lithium, in
Vieuw of Impeding Electric Vehicle Industry’. [Internet]. [diunduh 2018 Oktober 14]. Tersedia pada
https://pdfs.semanticscholar.org/6aac/130904896e41a7aafd3ff02283e0f02cf5b6.pdf.
Kushnir D. 2015. Lithium Ion Battery Recycling Technology [Internet]. [diunduh 2018 Oktober 14]. Tersedia
pada http://publications.lib.chalmers.se/records/fulltext/230991/local_230991.pdf.
Mardikaningsih IS, Sutopo W, Astuti RW. Studi Kasus Analisis Teknis dan Ekonomis Penerapan Penerangan
Jalan Umum Bertenaga Sel Surya [Internet]. [diunduh pada 2018 Juni 5]. Tersedia pada
http://idec.industri.ft.uns.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Prosiding2016_ID048.pdf.
Mismail B. 1981. Rangkaian Listrik Jilid Pertama. Malang (ID): PT AAA Tridaya.
Moenir HAS. 2002. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
87
Sanaha D, Irzaman, Mulatsih S

Mudiarso D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta (ID): Penerbit
buku Kompas.
Napitupulu RAM. 2017. Pengaruh Material Monokristal dan Polikristal terhadap karakteristik Panel Surya 20
WP. Jurnal Poliprofesi. 7(1): 61-67.
Nasution AH. 2006. Manajemen Industri. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi.
Rahman A. 2016. Lithium Battery Recycling Management and Policy, Int. J. Energi Technology and Policy,
[Internet]. [diunduh 2018 Oktober 14]. Tersedia pada
https://www.researchgate.net/publication/308063762_Lithium_Battery_Recycling_Management_and_
Policy.
Rojas M, Zea H. 2016. Characterization and Recycling Procedure of Spent Lithium Ion Batteries from Mobile
Phones, Australian Journal of Basic and Applied Sciences. [Internet]. [diunduh 2018 Oktober 14].
Tersedia pada http://www.ajbasweb.com/old/ajbas/2016/Octoper/140-147.pdf.
Rout MK, Meher S, Dhar J, Sahu Y, Das S. 2016. Design of Modern Solar Street Light Intensity Controller:
An Energi Saving Approach. [Internet]. [diunduh 2018 Oktober 14]. Tersedia pada
https://www.researchgate.net/profile/Yashraj_Sahu2/publication/297739074_Design_of_Modern_Sola
r_Street_Light_Intensity_Controller_An_Energi_Saving_Approach/links/56e2a65f08ae4e3e9429df5c/
Design-of-Modern-Solar-Street-Light-Intensity-Controller-An-Energi-Saving-
Approach.pdf?origin=publication_detail.
Saleem AL, Sagar RR, Datta NS, Sachin HS. 2015. Street light monitoring and control system. International
Journal of Engineering and Techniques. 1(2).
Sapiie S, Nishino O. 1994. Pengukuran dan Alat-alat Ukur Listrik. Jakarta(ID): PT Pradnya Paramita.
Sihombing DTB. 2013. Perencanaan Sistem Penerangan Jalan Umum dan Taman di Areal Kampus USU
dengan menggunakan Teknologi Tenaga Surya (Aplikasi Pendopo dan Lapangan Parkir). Medan (ID):
Teknik Elektro USU.
Siregar HB. 2015. Ekonomi Teknik. Yogyakarta (ID): Graha Ilmu.
Standard Nasional Indonesia 7391:2008. 2008. Spesifikasi Penerangan Jalan di Kawasan Perkotaan. Jakarta
(ID): Badan Standardisasi Nasional.
Sudibyo H, Arum A, Gde Dharma A, Wibisono G. 2015. Rancang bangun sistem lampu jalan pintar nirkabel
berbasis teknologi zigbee. Jurnal TESLA, 17(1): 45-51.
Sulisyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Yogyakarta (ID): Penerbit Andi.
Suwandi A, Fardian F. 2016. Analisis Pemakaian Lampu LED terhadap Energi dan Efisiensi Biaya di PT
Total Bangun Persada TBK. [Internet]. [diunduh pada 2018 Juni 5]. Tersedia pada
http://journal.unisla.ac.id/pdf/110122016/jurnal4.pdf.
Utomo YS. 2015. Uji Kinerja Baterai Deep Cycle pada Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Photovoltaik,
Jurnal Material dan Energi Indonesia [Internet]. [diunduh pada 2018 Juni 5]. Tersedia pada
http://lipi.go.id/publikasi/uji-kinerja-baterai-deep-cycle-pada-sistem-pembangkit-listrik-tenaga-
surya-photovoltaik/7680.
Wen TS, Jia SL. 2013. Design and implementation of a smart LED lighting system using a self adaptive
weighted data fusion algorithm. Journal Sensors, [Internet]. [diunduh 2018 Oktober 14]. Tersedia pada
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=10&cad=rja&uact=8&ved=2a
hUKEwiWhOiz_oXeAhVbcCsKHYviCn4QFjAJegQIAhAC&url=https%3A%2F%2Fwww.mdpi.com
%2F1424-8220%2F13%2F12%2F16915%2Fpdf&usg=AOvVaw1YbwLhT7Fn0z8oQqLYuDY0.
Yuliarto B. 2017. Memanen Matahari. Bandung (ID): Penerbit ITB.

88
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 89-97. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 89-97
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Enviromental Quality and Poverty in Indonesia


Wanda Pribadia, Fitri Kartiasihb
a Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo, 96218, Indonesia [+62]-435-881435
b Politeknik Statistik STIS, Jakarta, 13330, Indonesia [+62]-21-8191437, 8508812

Article Info: Abstrak: Poverty is both a cause and a victim of deteriorating environmental
Received: 19 - 03 - 2019 quality. The poor are regarded as very dependent on the environment and
Accepted: 26 - 02 - 2020
natural resources in sustaining their lives so that the environment and natural
Keywords: resources are exploited regardless of their sustainability. On the other hand,
EC2SLS, environmental quality, environmental degradation causes the poor to get out of poverty. This study
poverty, simultaneous model aims to (1) analyze the effect of poverty on the environment, and (2) analyze
Corresponding Author: the effect of environmental quality on poverty along with other supporting
Fitri Kartiasih factors in Indonesia 2012-2014. The analytical method used is simultaneous
Politeknik Statistika STIS, equation with EC2SLS method. The results show that poverty can affect
Jakarta, 13330 ; environmental degradation but not vice versa. Exogenous variables that
Tel. +62-21-8191437, 8508812
Email: fkartiasih@stis.ac.id
significantly affect the quality of the environment are the growth of the number
of poor, economic growth, population density, and literacy rate. Exogenous
variables that have significant effect on poverty are economic growth, wage,
population density, and literacy rate.

How to cite (CSE Style 8th Edition):


Pribadi W, Kartiasih F. 2020. Enviromental quality and poverty in Indonesia. 10(1): 89-97. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 89-
97.

INTRODUCTION
The successful development is not only determined by the conventional development that led high growth
but also concerned a sustainable development that does not damage the social and environmental
circumstances. Therefore, sustainable development is the key to resolve the problem because it has three main
points which are environment, social, and economic (Thomas et al., 2001).
Indonesia's environmental quality has been rapid decline in last decade. According to Emerson et al.
(2010) in Hill and Khan (2012), Indonesia's CO2 emissions in 2005 of 2.1 gigatons are predicted to be 3.3
gigatons by 2030. Index of Environmetal Quality Indonesia was rank 134 of 163 countries in the world and
ranked 12th out of 13 countries in Southeast Asia at 2010. The cost to country due to declining environmental
quality is estimated to be 0.9 percent of total Gross Domestic Product (Leitman et al., 2009 in Hal Hill and
Khan, 2012).
The Environmental Quality Index (EQI) of Indonesia includes environmental quality index of air
pollution, water, and foresty. EQI is already considering the balance indicator of green issues and brown issues
(KLH, 2015). Based on Figure 1, EQI of Indonesia at 2012-2014 is quite alarming because it pertained “less”
environmental quality that revolves around 58≤ EQI<66. On the other side, Indonesia has differences EQI in
33 provinces. The western Indonesia has worse environmental quality than in eastern. Three provinces with
the worst EQI are Jakarta, West Java, and Banten, all located in western Indonesia. The only “very good”
environmental quality province is West Papua, which is located in eastern of Indonesia.

89
Pribadi W, Kartiasih F

2012

2013

2014

Source: Ministry of Environment (KLH)


Figure 1 The Map of Environmental Quality Index of Indonesia at 2012-2014.

World Commission on Environment and Development (WECD, 1987) declare that poverty is the major
cause and effect of environmental problem. The poor is considered highly depends on environment and natural
resources in sustaining their life. As a result, the environment and natural resources are exploited without
considering sustainability. On the other hand, poor environmental quality has made it difficult for the poor to
break the cycle of poverty due to lack of access to clean water and adequate sanitation.. These situation affect
the health and reduce opportunity for poor to earn income. Urban and rural poverty have different
characteristics in relation to poor environmental quality. Rural poor depend directly to environment and natural
resources in sustaining life. They often cause polluted water, indoor air pollution and exposure to toxic
chemicals, and they are very vulnerable to environmental disasters such as flood, drought, and other conflicts
related to environment. On the other hand, the urban poor make the poor environmental quality because they
make a lot of slums in megacity (World Bank, 2002).
Poverty also suggested to be an effect of poor environmental quality. One of the major causes of poverty
is the unsustainable development. Exploitation of natural resources without regard to the environment, directly
or indirectly, can have a negative impact on the continuity of people income and people health conditions. This
is what ultimately worsens the poverty incidence (Irawan, 2004).
The link between poverty and environment are classified into three sections: (1) environmental quality
affects poverty, (2) poverty affects environmental quality,(3) and the environmental quality-poverty will have
a simultaneous (two-way) relationship. The environmental quality affects poverty can be explained based on
study by Pratama (2013) which conclude that there were a significant relationship between environmental
degradation and poverty in Indonesia. Environmental factors that affect poverty are sanitation, solid fuel use,
fires and settlements on slopes, sanitation and solid fuel use in Java, sanitation and settlements in sloping areas
outside Java, sanitation, solid fuel use and settlements in sloping areas in rural and urban sanitation.

90
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 89-97

The study by Ghani et al.(2014) concluded that there are relationship between poverty, population growth,
and agricultural sector simultaneously to environmental degradation. On the other hand, poverty can affects
environmental quality according the study of Hardini (2011). The study also concluded the relationship with
environmental degradation from the most powerful namely economic growth, population growth, and poverty.
In addition, Dariah (2007) uses simultaneous analysis to analyze two-way relationship between the
environmental quality and poverty. The results showed the simultaneous relationship between economic
growth, poverty, income inequality, and environmental degradation. Environmental degradation affects
decreasing economic growth and increasing poverty. Environmental degradation can also be caused by
poverty, income inequality, population, and economic growth.
Two-way relationship between environmental degradation and poverty have also been studied by Hassan
et al. (2015), and Gaeddert and Oerther (2015). Hassan et al. (2015) analyses the relationship between
economic growth, income inequality, poverty, and environment degradation. The results of the study are
classified in the short and long term. In the short run, the relationship among CO2 emissions, economic growth
and poverty are negative, while the relationship between CO2 emissions and Gini Rasio is positive. In the long
run, the relationship among CO2 emissions, economic growth, and Gini Rasio become positive, while the
relationship between CO2 emissions and poverty is negative.
Gaeddert and Oerther (2015) combines several methods such as Structural Equation Modeling (SEM),
Latent Factor Regression (LFR), and Canonical Correlation Analysis (CCorA) to investigate the relationship
between poverty and environment. The study concluded that the link between poverty and environment consist
of multidimensional aspects from social and health indicators. Some health indicators affecting the
environment namely diarrhea, fever, cough while social indicators that affect poverty: education, gender of
household head, age of household head, and age at first marriage.
The reciprocal relationship between poverty and environment is an interesting issue, for several reasons.
First, the relationship is multidimensional. Second, the study of the relationship of the incidence of poverty
with environmental conditions at the same time is still rarely done. Previous studies still use environmental
quality indicators that do not have a direct impact on environmental quality, namely air emissions (CO2
emissions). Third, the study of relationship between poverty and environmental quality can be used as the
policy recommendation as a direction strategies to achieve the 1st and 8th target of Sustainable Development
Goals (SDGs). The 1st SDG’s target is "End poverty in all its forms everywhere" and the 8th SDG’s target is
“Promote sustained, inclusive and sustainable economic growth, full and productive employment and decent
work for all”. Therefore, this study aim to: (1) analyze two-way relationship between poverty and
environmental quality and (2) analyze the determinants of povety and environmental quality in Indonesia
period 2012-2014.

METHOD
The study uses panel data in 33 provinces of Indonesia for period 2012-2014. All variables are obtained
from Indonesian Central Bureau of Statistics (BPS) except Environmental Quality Index from Ministry of
Environment and Forestry Indonesia (KLH). The method of this study uses Error Correction Two Stage Least
Square (EC2SLS) to estimate the parameters in simultaneous panel data (Baltagi, 2005). The model equations
are defined as:
Stuctural Equation I
LnEQIit = β0 + β1 LnGDPit + β2 POP + β3 LnPOVERTY + β4 GINIit + β5 LR +u1it (1)
it it it

Stuctural Equation II
LnPOVERTYit = β6 + β7 LnGDP + β8 LnWAGEit + β9 UNEMPLOYit + β10 POPit + β11 LRit
it
+ β12 LnEQIit + u2it (2)

91
Pribadi W, Kartiasih F

where LnEQI represents The Environmental Quality Index growth, LnGDP represents economic growth, POP
represents population density in 1000 people/km2, LnPOVERTY represents growth of poor people, GINI
represents gini ratio, LR represents literacy rate, LnWAGE represents wage growth, UNEMPLOY represents
percentage of unemployment rate, u1it is error term in the first structural equation, dan u2it is error term in
second structural equation from ith-province in tth-period.
Poverty and EQI is choosen to be endogenous variabel based on a priori information, and Test of
Endogeneity. According to Table 1, 95 percent of confident interval it can be concluded that EQI and poverty
are endogenous variables.
Table 1 Test of Endogeneity.
Endogeneous Exogeneous Variables Coefficient p-value
Variables
Ln EQI The Environment Quality Index
Intercept (*) -35.5070 0.0000
Ln Poverty -0.000000336 0.9050
Ln Poverty_cap (*) 3.3290 0.0000
Unemployment (*) -0.0821 0.0000
Ln Wages (*) 2.8547 0.0000
Literacy Rate (*) 0.0668 0.0000
Gini Ratio (*) 0.0000 0.9680
Population (*) 0.2761 0.0000
Economic Growth (*) -2.3662 0.0000
Ln POVERTY Poor growth
Intercept (*) -8635.7110 0.0000
Ln EQI 0.0159 0.9700
Ln EQI_cap (*) 1798.9420 0.0000
Unemployment -0.0002 0.9870
Ln Wages -0.0121 0.9560
Literacy Rate (*) -2.9015 0.0000
Gini Ratio (*) 202.1941 0.0000
Population (*) 52.3083 0.0000
Economic Growth (*) 113.9278 0.0000
Note: *) significanly with α=5%

Both first and second structural equation are identified from order and rak condition as below:
1. Order Condition: the differences of predetermined variables between model and each equation should
“more than” or “equal” with the amount of endogenous variables in model minus one. k represents
predetermined variables in equation, K represents predetermined variables in model, and M represents
endogenous variables in model.
2. Rank Condition: the rank of matrix should “more than” or “equal” with endogenous variables in model
minus by one. Based on equation (1) and (2) before, the matrix is defined in Table 3.
Table 2 Order condition in each of structural equation.
Equations K-k Sign m-1 Identification
(1) (2) (3) (4) (5)
EQI 6-4 > 2-1 Over identified
POVERTY 6-5 = 2-1 Just identified

92
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 89-97

Table 3 The matrix from equations.


Nu. Coefficient
1 LnGDP POP LnPOV GINI LR LnWAGE UNEMP LnEQI
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)

I -β0 -β1 -β2 -β3 -β4 -β5 0 0 0


II -β6 -β7 -β10 0 0 -β11 -β8 -β9 -β12

According Table 3 above, the rank condition identification can be presented by:

Table 4 Rank condition identification in each of structural equation.


Equations R(A) The sign of rank condition M-1 The sign of order condition Identification
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
EQI 1 = 1 > Over identified
POVERTY 1 = 1 = Just identified

Based on the order and rank condition above, the first structural equation is over identified so it can be
estimated with Two Stage Least Square (2SLS) method. The second structural equation is just identified so it
can be estimated by Indirect Least Square or Two Stage Least Square (2SLS). Estimation method of the study
uses 2SLS because just identified in the first equation identification has the same estimation using 2SLS
(Gujarati, 2003). This study uses error correction to apply 2SLS estimation because the observations are panel
data, or it can be called by EC2SLS (Baltagi, 2005).

RESULT AND DISCUSSION


The estimation method used for both equations using EC2SLS. The first step to apply EC2SLS is using
Ordinary Least Square (OLS) to estimate reduced form. The OLS estimation is defined below:
Stuctural Equation I
̂
LnEQI = 4.5231** – 0.0652** LnGDPit – 0.0284** POPit – 0.1192 GINIit + 0.0015 LRit + 0.0232
it
LnWAGESit – 0.0040** UNEMPLOYMENTit

Stuctural Equation II
̂
LnPOVERTY it = 12.0740 + 0.6871 LnGDPit – 0.0950 POPit + 1.0157 GINIit – 0.0195 LRit – 0.8790
** ** **

LnWAGESit + 0.0250** UNEMPLOYMENTit


EC2SLS can be used after OLS estimation and it is defined below:
Table 5 The estimation result of structural equation I.
Endogeneous Exogeneous Variables Coefficient p-value R-squared
Variables
Ln EQI The Environment Quality Index R-squared 0.61250
Intercept (**) 5.54730 0.0000
Ln Poverty (*) -0.03885 0.0620
Economic Growth (**) -0.04177 0.0220
Population (*) -0.03081 0.0000
Gini Ratio -0.09549 0.7760
Literacy Rate (**) -0.00658 0.0000
Note: *) significanly with α=10%
**) significanly with α=5%
93
Pribadi W, Kartiasih F

Based on Table 5, R-squared from the first structural equation is 0.6125. It means the proportion of EQI
variation can be explained by economic growth, population density, the poor growth, income inequality, and
the literacy rate of 61.25 percent while the rest is explained by other variables outside model.
The estimation result of first structural equation shows that poverty has a negative influence on EQI. The
theory of common property resource explains that the poor have a high dependence on natural resources for
survival and led to worsening environmental quality because environmental management was not paying
attention to sustainability (Hufschmidt, et al., 1983). According Jodha (1998) at World Bank Institute (2000),
there are three assumptions why poor population can lead to environmental degradation, those are:
1. The natural resources exploitation of natural resources and environment are the only income source
that the poor know.
2. Poor people do not know the limitations and consequences in exploiting natural resources and
environment.
3. The poor have little stake in maintaining the natural resources and environment used.
That's what causes poverty negatively affects the EQI.
The relationship between economic growth and environmental quality is negative. According
Environment Kuznets Curve (EKC) hypothesis, there is negative impact of economic growth on environmental
quality, especially in developing countries. In developing countries, economic growth mostly is driven by
industrialization process. The industrialization process produces residual released into environment, causing
environmental degradation (Thomas et al., 2001). Based on World Bank classification in Thomas et al. (2001),
Indonesia include into group of countries which have relatively fast economic growth but little concern for
environmental quality.
The population density is the main cause of the environmental quality deterioration (Ismawan, 1999).
High population density will lead to disasters starvation, exhaustion of natural resources, environmental
damage may not be restored, and ecological destruction (Ehrlich, 1968 in Thomas et al., 2001). In addition,
according to Arifin (2002) population will drive increased demand for agricultural land, which gradually will
be more productive. The result is the land intensification in marginal areas without paying attention to the
environmental conservation aspects. Therefore, the relationship between population density on the quality of
the environment is negative.
Income inequality causes the access to utilize natural resources and the environment has focused on
wealthy residents. Wealthy residents who have high incomes have a high standard of living as well to meet all
their needs. High living standards is demonstrated by the substantial level of consumption to luxury goods
such as cars, motorcycles, and other woes that eventually adds environment quality (World Bank Institute,
2000). On the other hand, the rich have a great power of venture capital that can be used for economic activity.
The economic activity have big impact to declining environment quality. Therefore, income inequality has a
negative correlation to the environment quality (Andrich et al., 2010). The cause of income inequality on model
does not significantly affect the quality of the environment because Indonesia gini ratio years 2012-2014 has
not changed much.
Environmental education is inclusive, which means accessible to all people, all levels and in all channels
of teaching and learning, both formal and non-formal. Environmental education by the government is
disseminated through socialization, mass media, and written policies. However, the estimation results of the
study had a different relationship with the direction of the study hypothesis. The difference was due to direction
of relationship with environmental education is not considered to be successful if the lack of public awareness
and concern the environment (Inoguchi et al., 2003). Although the literacy rates is increasing (it means better
education), not necessarily able to improve the environment quality.

94
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 89-97

Table 6 The estimation result of structural equation II.


Endogeneous Exogeneous Variables Coefficient p-value R-squared
Variables
Ln Poverty The growth of poor people R-squared 0.60180
Intercept 13.02432 0.1040
Ln EQI -0.85171 0.6100
Ln GDP (**) 0.64409 0.0000
Ln Wages (**) -0.62681 0.0160
Unemployment 0.01279 0.7430
Population (*) -0.12061 0.0880
Literacy Rate (*) -0.02030 0.0710
Note: *) significanly with α=10%
**) significanly with α=5%
R-square from the second structural equation estimation is 0.60180. That is, the proportion of poverty
growth variation can be explained by economic growth, wage growth, the unemployment rate, population
density, literacy rates, and Environment Quality Index growth by 60.18 percent while the rest is explained by
other variables outside the model.
Poor environmental quality may affect poverty by influencing population health condition, thereby
reducing their chances of obtaining revenue. Poor environmental quality is reflected in poor access to proper
sanitation, poor access to clean water and poor environmental conditions (WECD, 1987), Thus, the
environmental quality can not directly affect poverty. As a result, EQI does not significant effect on poverty.
In addition, the estimation results explain that poverty affects the environment quality but neither does EQI.
Thus, the relationship of environmental quality and poverty in Indonesia in 2012-2014 is not simultaneous
(two way).
Economic growth will reduce poverty assuming trickle-down effect occurs. Assumptions trickle-down
effect is explained that high economic growth is expected to generate a multiplier effect on the economic
sectors upstream and downstream, causing an increase in employment and labor. Beside that, Tambunan
(2013) also shows that higher wage, the poverty rate began to decline. Increasing labor wages the level of
welfare is also higher so that poverty can be decreased.
The unemployment rate indicates loss of opportunity for someone to gain income to make ends meet. So
the higher unemployment, the increasing levels of poverty. According to Tambunan (2013), one of causes of
unemployment is the lack of jobs that absorb a lot of labor. According to Tambunan (2001), one reason the
unemployment rate did not affect poverty that households do not face liquidity constraints or the current
consumption is not affected by the current income so that unemployment will affect poverty in the long term.
Based on Indonesian Central Bureau of Statistics (BPS, 2015), Indonesia population density have
increased every year followed by the increasing of Human Development Index (HDI). The increase in HDI
shows that the condition of Indonesian human resources are improved. That's what causes the population
density does not fit the theory as a positive influence on growth in poverty. According World Bank (2002), the
poor hard to get out of the poverty cycle because it has a low level of education. Low educational level of the
poor led to low productivity as well. As a result, output and income is also low, causing poverty.

CONCLUSION
All the exogenous variables, namely the poverty growth, economic growth, population density, and
literacy rate has a negative influence on the environmental quality. The variables positive effect on poverty is
economic growth, while the negative effect on poverty are growth of wage, population density, and the literacy
rate. On the other hand, the environmental quality and the unemployment rate did not had significant effect on

95
Pribadi W, Kartiasih F

poverty. Thus, the relationship between the environmental quality and poverty did not happen two ways
because the environmental quality doesn’t effect on poverty.
Based on the study results, the appropriate policies to improve the quality of the environment due to
poverty have a significant effect on the environment, among others: (1) Increase the number of affordable
housing units as cheap flats especially in urban areas; (2) Intensified activities of non-governmental
organizations related to environment, especially to disseminate environmental education, for example
socialization/education awareness of protecting the environment; (3) Applying Happy City program
(improving the system of public space in sinergy with environment); (4) Feature ads or improve socialization
government about caring for the environment to make it more attractive; (5) Procurement event overall
environmental care and are conducted regularly.

REFERENCES
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Arifin B. 2002. Tekanan Penduduk dan Degradasi Sumberdaya Alam di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi.
Dalam B. Arifin, Prosiding Seminar Tekanan Penduduk, Degradasi Lingkungan, dan Ketahanan
Pangan . Bogor: Pusat Studi Pembangunan LP IPB.
Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis for Panel Data- Third Edition. England: John Wiley and Sons Ltd.
Budiman A. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dariah AR. 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan terhadap Degradasi Lingkungan di Jawa
Barat. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Gaeddert LV, D Oerther. 2015. Measuring Multidensional Poverty in a Complex Environment, Identifying the
Sensitive Links. Procedia Engineering-Elsevier. 172 – 180.
Ghani, MU Ghani et al. 2014. Review: Poverty Influence on Environment. Middle East Journal of Scientific
Research. 21(6): 870-874.
Gujarati DN. 2003. Basic Econometrics-Fourth Edition. New York (USA): McGraw-Hill.
Hardini, Ayu D. 2011. Hubungan Antara Pertumbuhan Penduduk, Kemiskinan, dan Pertumbuhan Ekonomi
terhadap Kualitas Lingkungan di Kota Semarang Tahun 2001-2008. [Skripsi]. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Hassan SA, Zaman K, Gul S. 2015. The Relationship between Growth-Inequality Poverty Triangle and
Environment Degradation: Unveiling the Reality. Science Direct - Arab Economics and Business
Journal. 57-71.
Hill Hal dan M.E. Khan. 2012. Diagnosing the Indonesian Economy Toward Inclusive and Green Economy.
Manila (PH): Asian Development Bank.
Hufschmidt MM, James DE, Meister AD, Bower BT, Dixon JA. 1983. Environment, Natural Systems, and
Development – An Economic Valuation Guide. London (UK): The Johns Hopkins University Press.
Inoguchi T, Newan E, dan Paoletto G. 2003. Kota dan Lingkungan - Pendekatan Baru Masyarakat
Berwawasan Ekologi. Jakarta (ID): LP3ES.
Irawan PB. 2004. Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan dan Strategi Penaggulangan
Kemiskinan di Indonesia. Background Paper Round Table Discussion Indonesian Decentralized
Environmental and Natural Resources Management (IDEN) Project-UNDP. Jakarta (ID): UNDP.
Ismawan I. 1999. Risiko Ekologis di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta (ID): Media Pressindo.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Indeks Kualitas Lingkungan Hidup 2014. Jakarta (ID):
Kementrian Lingkungan Hidup.
Pratama, Dicko S. 2013. Pengaruh degradasi lingkungan terhadap kemiskinan Indonesia Tahun 2011
[Skripsi]. Jakarta (ID): Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
96
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 89-97

Tambunan T. 2001. Perekonomian Indonesia. Bogor (ID): Ghalia Indonesia.


Tambunan T. 2013. Perekonomian Indonesia (Kajian Teoretis dan Analisis Empiris). Bogor (ID): Ghalia
Indonesia.
Thomas V, Dailami M, Dhareshwar A, Kaufmann D, Kishor N, Lopez R, et al. 2001. The Quality of Growth
- Kualitas Pertumbuhan. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
World Bank Institute. 2000. Economic Development and Environmental Sustainability. Washington DC
(USA): WBI.
World Bank. 2002. Linking Poverty Reduction and Environmental Management Policy Challenges and
Opportunities. United Kingdom: UNDP.
World Commission on Environment and Development’s (the Brundtland Commission). 1987. Report Our
Common Future. Oxford (UK): Oxford University Press. http://www.un-documents.net.

97
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

Journal of Natural Resources and Environmental Management


10(1): 98-110. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 98-110
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Lingkungan Biofisik Hutan Mangrove di Kota Langsa, Aceh


Environment Biophysical of Mangrove Forest in Langsa City, Aceh

Iswahyudia, Cecep Kusmanab, Aceng Hidayatc, Bambang Pramudya Noorachmatd


a Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB
Darmaga Bogor, 16680, Indonesia
a Dosen Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Samudra, Jalan Meurandeh Langsa, 24416, Indonesia
b Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia
c Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia
d Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680,

Indonesia

Article Info: Abstract: Mangrove ecosystem is an area that serves as a interface between
Received: 06 - 02 - 2019 the land and sea, but at the moment has a lot of damage. The phenomenon of
Accepted: 29 - 07 - 2019
damage to the mangrove forest ecosystem also occurred in Langsa City. This
Keywords: study aims to analyse biophysical conditions of mangrove forest ecosystems
Mangrove ecosystem, spatial in Langsa City. The method used in this study is to combine spatial analysis
analysis, vegetation analysis, and vegetation analysis. Results of the study show that the area of mangrove
mangrove flora.
forest in the study has increased as large as 324.29 ha in the period of 6 years
Corresponding Author: (2007-2013). The mangrove flora in Langsa City consist of a group of true
Iswahyudi mangrove flora and mangrove associates, consisting of 14 families and 25
Program Studi Agroteknologi, species. The criticality of mangrove forests in the research location is
Fakultas Pertanian, Universitas
Samudra; classified as damaged (1 955.96 ha) and severely damaged (2 556.82 ha).
Tel. +62-82164016300
Email:
Iswahyudi@unsam.ac.id

How to cite (CSE Style 8th Edition):


Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP. 2020. Lingkungan biofisik hutan mangrove di Kota Langsa, Aceh. 10(1): 98-
110. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 98-110.

PENDAHULUAN
Mangrove adalah ekosistem penting di wilayah pesisir karena fungsi lingkungannya. Ekosistem ini
penting untuk perlindungan pesisir dan bermanfaat bagi ekonomi lokal di sekitar 123 negara di dunia (Spalding
et al., 2010; Kathiresan, 2012). Secara alami, hutan mangrove adalah rumah bagi mamalia, amfibi, reptil,
burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan hewan lainnya (Kusmana, 2014). Untuk menjaga kelestarian
ekologi, ekonomi dan sosial dari hutan mangrove sebagai sumberdaya lahan yang terbarukan maka fokus
utama yang harus dilakukan adalah pengelolaan hutan mangrove yang lestari dalam rangka memenuhi
kebutuhan generasi masa depan dan tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan fisik dan sosial
(Kusmana, 2015).

98
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 89-97

Mangrove tumbuh di 124 negara tropik dan sub-tropik dengan luas mangrove di dunia sekitar 15.2 juta
ha. Indonesia bersama dengan empat negara lainnya (Australia, Brazil, Nigeria, dan Mexico) mewakili 48%
dari luas hutan mangrove dunia (Lavieren et al., 2015). Secara global, penurunan luasan hutan mangrove sudah
mencapai 1-2% pertahun. Penurunan luasan hutan mangrove terjadi di hampir setiap negara yang memiliki
hutan mangrove, dan penurunannya meningkat lebih cepat di negara-negara berkembang, di mana lebih dari
90% hutan mangrove dunia berada (Carter et al., 2015).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 941/Menhut-II/2013 tentang
Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 42,616 ha, perubahan fungsi kawasan hutan
seluas 130,542 ha dan perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 26,461 ha di Propinsi
Aceh, maka peruntukan kawasan hutan mangrove di Kota Langsa seluas 1,687.76 ha sebagai hutan lindung
mangrove, seluas 3,657.12 ha sebagai hutan produksi, seluas 676.44 sebagai hutan produksi konversi dan
seluas 151.1 ha sebagai area penggunaan lain.
Pada saat ini, hutan mangrove di Kota Langsa telah mengalami kerusakan. Menurut DKPP Kota Langsa
(2013), akibat dari kerusakan hutan mangrove telah menyebabkan deforestasi ekosistem pesisir dan penurunan
kualitas air di Kota Langsa. Pemerintah Kota Langsa dalam mewujudkan keberlanjutan ekosistem hutan
mangrove telah melakukan program rehabilitasi mangrove di wilayah Kota Langsa yang melibatkan
stakeholder terkait. Namun, hasil dari kegiatan tersebut sejauh ini kurang optimal. Berbagai upaya perbaikan
kondisi ekosistem hutan mangrove akan dapat terlaksana dengan baik apabila tersedia informasi obyektif
kondisi hutan dan lahan secara menyeluruh. Penyediaan data dan informasi tersebut sangat diperlukan terutama
dalam menunjang formulasi strategi rehabilitasi yang berdayaguna, sehingga diharapkan dapat menjadi acuan
dalam pengalokasian sumberdaya secara proporsional. Dengan demikian diharapkan tercipta daya dukung
sumberdaya hutan dan lahan yang optimal dan lestari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
perubahan luas dan sebaran mangrove; mengidentifikasi komposisi jenis dan struktur vegetasi mangrove; dan
mengidentifikasi kekritisan hutan mangrove di Kota Langsa.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa Propinsi Aceh. Waktu penelitian mulai bulan Januari sampai
dengan Juli 2016.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun peliputan 2007 dengan akuisisi pada
tanggal 15 Mei 2007 dan tahun peliputan 2013 dengan akuisisi pada tanggal 10 Juni 2013. Peta sistem lahan
skala 1:250 000 (RePPProT, 1976); peta rupa bumi Indonesia/tematik Kota Langsa skala 1:50 000 nomor
lembar peta 0620-14, 23, 42 dan 0621-51 (BIG, 2015); peta jenis tanah skala 1:250.000 (PPT Bogor, 1983);
peta tutupan lahan dan peta kelas lereng Kota Langsa skala 1:50 000 (Bappeda Kota Langsa, 2015).
Adapun alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ERDAS
Imagine 9.1, software ArcGIS ver 10.3, buku panduan pengenalan mangrove, peralatan survey lapangan (form
isian survei, alat tulis menulis, refraktometer, Global Positioning System (GPS), kamera, sarana transportasi,
meteran, baju pelampung, sepatu bot dan perahu).

Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data terdiri atas: studi pustaka dan survei lapangan. Jenis data terdiri atas data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung di lapangan, berupa hasil pengukuran dan
pengamatan. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka (data hasil penelitian sebelumnya serta dokumen-
dokumen ilmiah lainnya dari berbagai instansi terkait yang relevan untuk bahan penelitian).

99
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

Metode Analisis Data


Untuk mengetahui kondisi hutan mangrove di lokasi penelitian, maka perlu dilakukan inventarisasi dan
identifikasi hutan mangrove. Pemetaan kawasan hutan mangrove dengan metode konvensional, memerlukan
waktu yang lama dan biaya yang relatif mahal mengingat kawasan hutan mangrove umumnya berada pada
area yang sulit di akses. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan penggunaan citra satelit
penginderaan jauh sangat diperlukan dalam pemetaan hutan mangrove yang dapat memberikan informasi
mengenai karakteristik hutan mangrove lokasi penelitian. Hasil analisis citra landsat ini digunakan untuk
menentukan titik pengambilan sampel yang dilakukan pada wilayah yang ditumbuhi mangrove. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan sruktur vegetasi mangrove yang terdapat di lokasi penelitian.
Setelah diketahui komposisi jenis dan sruktur vegetasi mangrove, maka dilakukan analisis tingkat kekritisan
hutan mangrove. Hasil analisis ini memberikan informasi tentang kondisi kerusakan hutan mangrove di lokasi
penelitian.

Analisis Perubahan dan Sebaran Mangrove


Peta perubahan dan sebaran mangrove merupakan hasil dari interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+.
Citra yang digunakan adalah citra tahun peliputan 2007 dan tahun 2013. Tujuan dari penggunaan citra ini
adalah untuk melihat perubahan tutupan mangrove setelah dilakukan program rehabilitasi mangrove di Kota
Langsa sejak tahun 2006-2012. Untuk melihat keberhasilan program rehabilitasi mangrove di lokasi penelitian
dapat dilakukan pada saat mangrove sudah berumur 5-8 tahun. Hasil analisis citra kemudian di validasi
dilapangan untuk mengurangi kesalahan penafsiran citra, sehingga data yang didapatkan sesuai dengan kondisi
lapangan.

Analisis vegetasi mangrove


Data kondisi vegetasi diperoleh melalui survei langsung di lapangan. Penentuan titik sampling
berdasarkan peta hasil analisis citra landsat. Lokasi pengambilan sampling dilakukan pada lima lokasi, yaitu:
Alue Tirom, Pulau Pusong, Pulau Tikus, Muara Pulau Tikus dan Pelabuhan Kuala Langsa. Sampling dilakukan
menggunakan kombinasi metode jalur dan garis berpetak. Metode jalur dan garis berpetak adalah metode
pencuplikan contoh suatu populasi dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik pada
wilayah ekosistem tersebut. Dalam metode ini, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan
hutan (semai, pancang, tiang) dengan metode garis berpetak. Desain plot contoh di lapangan dan titik sampel
survey biofisik hutan mangrove disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Pada masing-masing lokasi dibuat tiga titik pengamatan dan pada setiap titik pengamatan dibuat garis
berpetak yang memotong tegak lurus garis pantai ke arah darat (yang ditumbuhi mangrove). Pada jalur-jalur
yang telah dibentuk, dibuat petak ukur bertingkat berbentuk bujur sangkar yang dibuat secara berselang seling
dengan ukuran 2 m x 2 m (tingkat semai), 5 m x 5 m (tingkat pancang), 10 x 10 m (tingkat tiang), dan 20 m x
20 m (tingkat pohon) (Kusmana et al., 2005). Pada setiap plot contoh yang telah ditentukan, determinasi
setiap jenis mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkaran batang setiap pohon
mangrove setinggi dada. Bersamaan dengan pengukuran dilakukan pencatatan pada tally sheet.
Mekanisme pengambilan data vegetasi mangrove dengan cara mengidentifikasi jenis mangrove
menggunakan buku panduan pengenalan mangrove. Stadium pertumbuhan vegetasi mangrove, dibedakan
berdasarkan kriteria sebagai berikut:
(a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai dengan tinggi < 1.5 m.
(b) Pancang : Permudaan dengan tinggi ≥ 1.5 m sampai dengan diameter < 5 cm.
(c) Tiang : Pohon-pohon muda yang mempunyai diameter 5 - < 10 cm.
(d) Pohon : Pohon dengan diameter ≥ 10 cm.

100
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110

Gambar 1 Desain petak contoh vegetasi di lapangan.


Keterangan:
A : Petak contoh untuk semai (2 x 2 m)
B : Petak contoh untuk pancang (5 x 5 m)
C : Petak contoh untuk tiang (10 x 10 m)
D : Petak contoh untuk pohon (20 x 20 m)

Gambar 2 Titik sampel survey biofisik hutan mangrove.

Data yang diperoleh di lapangan digunakan untuk menghitung kerapatan, frekuensi, dominansi, dan
indeks nilai penting. Indeks Nilai Penting (INP) (Cox, 1985), digunakan untuk mengetahui jenis pohon
dominan pada setiap tingkat pertumbuhan. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indeks yang
menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis tumbuhan dalam ekosistemnya. Apabila INP suatu jenis
tumbuhan bernilai tinggi, maka jenis itu sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut.

101
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

Analisis Kekritisan Lahan Mangrove


Analisis kekritisan lahan mangrove dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi
Geografis (SIG), sedangkan untuk parameter tutupan/penggunaan lahan dan tingkat kerapatan mangrove
diturunkan dari data penginderaan jauh. Untuk membedakan jenis penggunaan lahan dari analisis citra landsat,
dilakukan validasi dilapangan pada lokasi-lokasi yang diragukan keakuratan hasil interpretasi citranya. Data
ketahanan tanah terhadap abrasi didapatkan dari hasil analisis tekstur tanah yang dilakukan di Laboratorium
Tanah dan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Samplel tanah diambil pada titik
yang sama dengan pengamatan vegetasi. Sampel diambil sebanyak satu buah pada masing-masing titik,
sehingga jumlah total sampel yang diambil sebanyak 15 sampel.
Analisis kekritisan lahan mangrove mengacu pada Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis
Mangrove (Dephut, 2005). Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan
mangrove disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove.
No. Kriteria Bobot Skor Penilaian
1 Jenis penggunaan lahan 45 3: hutan (kawasan berhutan)
(Jpl) 2: tambak tumpangsari, perkebunan
1: pemukiman, industri, tambak non-tumpangsari, sawah, tanah
kosong
2 Kerapatan tajuk (Kt) 35 3: kerapatan tajuk lebat (70-100%, atau 0.43 ≤ NDVI ≤ 1,00)
2: kerapatan tajuk sedang (50-69%, atau 0.3 ≤ NDVI ≤ 0.42)
1: kerapatan tajuk jarang (< 50%, atau -1.0 ≤ NDVI ≤ 0.32)
3 Ketahanan tanah 20 3: jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung)
terhadap abrasi (Kta) 2: jenis tanah peka erosi (tekstur lempung berpasir)
1: jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir)
Sumber: Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove (Dephut, 2005)
Catatan: skor 1 = jelek, 2 = sedang dan 3 = bagus.

Berdasarkan Tabel 1, maka Total Nilai Skoring (TNS) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
TNS = (Jp1 x 45) + (Kt x 35) + Kta x 20)
Dari total nilai skoring (TNS), selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai
berikut :
a) Nilai 100 – 166 : rusak berat
b) Nilai 167 – 233 : rusak
c) Nilai 234 – 300 : tidak rusak

Hasil analisis tingkat kekritisaan lahan mangrove dengan parameter terkoreksi selanjutnya dipetakan dan
dibuat Tabel Hasil Reskoring.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis luas dan sebaran mangrove


Hasil interpretasi visual terhadap citra Satelit Landsat 7 ETM+, didapatkan informasi luas tutupan lahan
mangrove pada setiap tahun pengamatan. Pada tahun 2007, luas tutupan lahan mangrove di lokasi penelitian
adalah sekitar 4 188.50 ha dan pada tahun 2013 sekitar 4 512.78 ha (Tabel 2 dan Gambar 3).

102
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110

Dari Tabel 2, dapat dilihat pada tahun 2007 tutupan lahan mangrove di Kota Langsa hanya terdapat di tiga
kecamatan. Adapun pada tahun 2013 menyebar di seluruh kecamatan dengan luas yang berbeda-beda.
Kecamatan Langsa Timur merupakan wilayah yang mempunyai luas tutupan lahan mangrove terluas di Kota
Langsa pada kedua tahun pengamatan. Hasil analisis perubahan luas mangrove terlihat dibandingkan dengan
tahun 2007, maka pada tahun 2013 terjadi penambahan luas hutan mangrove sebesar 324.29 ha.
Tabel 2 Luas, sebaran dan perubahan luas hutan mangrove di lokasi penelitian.
Luas Mangrove Luas Mangrove Perubahan
No Kecamatan (2007) (2013) (2007-2013)
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
1 Langsa Timur 2 639.19 63.01 2 851.08 63.18 +211.89 65.34
2 Langsa Lama 0.00 0.00 1.90 0.04 +1.90 0.59
3 Langsa Barat 1 390.52 33.20 1 484.05 32.89 +93.53 28.84
4 Langsa Baro 158.78 3.79 173.36 3.84 +14.58 4.50
5 Langsa Kota 0.00 0.00 2.39 0.05 +2.39 0.74
Jumlah Total 4 188.50 100 4 512.78 100 324.29 100
Sumber: Hasil analisis Citra Satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2007 dan 2013.

Gambar 3 Perubahan luas lahan mangrove.

Menurut DKPP Kota Langsa (2013), luas rehabilitasi mangrove di Kota Langsa sejak tahun 2006-2013
seluas 580 ha. Kegiatan rehabilitasi ini dilakukan oleh berbagai lembaga. Satker BRR-NAD Nias pada tahun
2006 melakukan rehabilitasi mangrove seluas 350 ha. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan mangrove
yang tumbuh hanya seluas 164.5 ha (47%) (Satker BRR-NAD Nias, 2008). Rendahnya keberhasilan
rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Satker BRR-NAD Nias pada awal program ini dijalankan karena
tidak adanya bibit mangrove yang tersedia di Kota Langsa dan kesalahan pemilihan lokasi penanaman. Karena
103
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

tidak tersedianya bibit mangrove pada waktu itu, maka pihak Satker BRR-NAD Nias terpaksa mendatangkan
bibit mangrove dari Kota Banda Aceh yang kondisi biofisik tempat tumbuhnya berbeda dengan di Kota
Langsa, sehingga banyak mangrove yang ditanam mati. Jika dibandingkan dengan hasil analisis citra Satelit
Landsat 7 ETM+ tahun 2013, maka terdapat selisih penambahan luas mangrove sebesar 159.79 ha.
Penambahan luas mangrove ini diduga karena keberhasilan rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Langsa bersama dengan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Propinsi Aceh, Lembaga
Swadaya Masyarakat, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga pendidikan, masyarakat pecinta alam dan pihak swasta
juga melakukan rehabilitasi mangrove di Kota Langsa sejak tahun 2006-2012. Luas areal yang dilakukan
rehabilitasi seluas 280 ha. Lokasi rehabilitasi ini berada pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas
mangrove (DKPP Kota Langsa, 2013). Selain itu juga ada beberapa buah tambak yang terdapat di luar kawasan
hutan mangrove yang tidak produktif lagi dan ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga secara alami ditumbuhi oleh
mangrove.
Berdasarkan hasil analisis citra Satelit Landsat 7 ETM+, sebaran hutan mangrove di lokasi penelitian
sebagian besar menyebar di kiri-kanan sungai, hutan lindung, hutan produksi terbatas dan tepi pantai. Tutupan
lahan mangrove di lokasi penelitian pada tahun 2007 dan 2013 membentuk dua pola, yaitu pola poligon yang
relatif luas dengan bentuk yang teratur dan pola poligon yang relatif memanjang dengan lebar yang sempit.
Poligon-poligon yang relatif luas dengan bentuk yang teratur, ditemukan di kawasan hutan lindung dan hutan
produksi yang dapat di konversi.
Poligon-poligon yang relatif luas ini dari hasil pengamatan langsung di lapangan merupakan wilayah yang
sudah pernah dilakukan program rehabilitasi dan keberhasilan program rehabilitasi yang dilakukan telah menambah
luas mangrove di lokasi penelitian. Sebagian besar areal rehabilitasi ini berada di kawasan hutan lindung mangrove
yang terdapat di Desa Kuala Langsa. Pada tahun 2016, Pemerintah Kota Langsa menjadikan kawasan hutan lindung
mangrove seluas 888,81 ha sebagai kawasan wisata mangrove Kuala Langsa yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana pendukungnya (Qanun Kota Langsa No. 8 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kota Langsa).
Pada wilayah sepanjang aliran sungai dan dekat dengan pemukiman, poligon yang terbentuk relatif
memanjang dan mempunyai lebar yang sempit, pola ini dapat kita asumsikan bahwa hutan mangrove telah
mengalami kerusakan yang disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi tambak maupun penebangan
pohon mangrove untuk bahan baku arang, bahan bangunan maupun kayu bakar. Jenis mangrove yang dijadikan
bahan baku arang adalah famili Rhizophoraceae yang berdiameter minimal 5-7.5 cm.

Komposisi jenis dan sruktur vegetasi mangrove


Hasil inventarisasi flora di lokasi penelitian yang didasarkan pada pengelompokan flora mangrove oleh
Tomlinson (1984), terdapat dua golongan yang menyusun kelompok ini, yaitu kelompok flora mangrove sejati
yang terdiri atas 8 famili dan 19 jenis dan kelompok flora mangrove ikutan yang terdiri atas 6 famili dan 6 jenis
(Tabel 3).
Berdasarkan tingkat pertumbuhannya, jenis-jenis yang dijumpai berada pada tingkat permudaan semai,
pancang, tiang dan tingkat pohon. Jenis mangrove yang dominan pada tiap tingkat permudaan semai, pancang,
tiang dan tingkat pohon pada Alue Tirom berturut-turut yaitu R. apiculat (INP 200%), R. stylosa (INP
133.18%), R. apiculata (INP 103.26%) dan L. racemosa (INP 80.00%). Pada Pulau Pusong, jenis mangrove
yang dominan berturut-turut yaitu B. cylindrica (INP 200%), B. cylindrica (INP 159.53%), B. cylindrica (INP
102.53%) dan C. tagal (INP 152,80%). Pada Pulau Tikus, jenis mangrove yang dominan berturut-turut yaitu
R. stylosa (INP 200%), R. stylosa (INP 230.50%), R. apiculata (INP 300%) dan R. apiculata (INP 181.11%).
Pada Muara Pulau Tikus, jenis mangrove yang dominan berturut-turut yaitu A. officinalis (INP 200%),
A. marina (INP 247.51%), A. officinalis (INP 172.27%) dan A. officinalis (INP 190.40%) dan jenis mangrove
yang memiliki nilai INP dominan pada Pelabuhan Kuala Langsa untuk tiap tingkat permudaan semai, pancang,

104
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110

tiang dan tingkat pohon seluruhnya adalah jenis S. alba dengan nilai INP masing-masing 200%; 210.04%;
237.87% dan 100.78% (Tabel 4).
Secara umum Indeks Nilai Penting (INP) famili Rhizophoraceae memiliki INP tertinggi di semua tingkat
strata pengamatan pada transek Alue Tirom, Pulau Pusong dan Pulau Tikus. Pada transek Muara Pulau Tikus, famili
Avicenniaceae mempunyai nilai INP tertinggi pada seluruh strata pengamatan. A officinalis tumbuh di bagian
pinggir daratan mangrove, khususnya di sepanjang Sungai Krueng Langsa yang dipengaruhi oleh pasang surut dan
mulut sungai. Pada transek Pelabuhan Kuala Langsa, famili Sonneratiaceae mempunyai nilai INP tertinggi pada
seluruh strata pengamatan. S alba tumbuh dibagian yang kurang asin di hutan mangrove, pada tanah lumpur
yang dalam dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
Tingginya INP masing-masing famili mangrove pada masing-masing transek pengamatan diduga karena
kekuatan dan kecocokan dari karakteristik tempat hidupnya. Sebagian besar lahan tersebut kondisinya sesuai
dengan syarat tumbuh mangrove. Tekstur tanah yang berlumpur, tingkat salinitas dan tipe pasang surut yang
sesuai menyebabkan jenis-jenis mangrove tersebut INPnya lebih tinggi dari jenis yang lain. Hossain dan
Nuruddin (2016), menyatakan bahwa sifat tanah yang berbeda mempengaruhi vegetasi, komposisi spesies dan
struktur hutan mangrove.
Hasil pengamatan di lapangan, jenis R. mucronata sesuai tumbuh pada lahan berlumpur dan dipengaruhi
oleh keberadaan sungai. A marina dapat tumbuh dengan subur pada substrat lempung berpasir dan Brugueira
spp. banyak dijumpai tumbuh pada substrat lempung berpasir atau lempung berdebu. Menurut Kusmana et al.,
(2005), jenis Rhizophora spp. dan Avicennia spp. bisa tumbuh dengan baik pada tanah yang lunak (belum begitu
matang) dan berlumpur. Jenis Bruguiera spp., Sonneratia spp. dan Ceriops spp. bisa ditanam di tanah yang lebih
keras/lebih matang (biasanya lebih dekat ke arah daratan).

Tabel 3 Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai di lokasi penelitian.


No. Kelompok Famili Jenis
1 Mangrove sejati 1) Pteridaceae 1) Acrostichum aureum
2) Acrostichum speciosum
2) Avicenniaceae 3) Avicennia marina
4) Avicennia officinalis
3) Rhizophoraceae 5) Bruguiera cylindrica
6) Bruguiera gymnorrhiza
7) Bruguiera parviflora
8) Bruguiera sexangula
9) Ceriops decandra
10) Ceriops tagal
11) Rhizophora apiculata
12) Rhizophora mucronata
13) Rhizophora stylosa
4) Euphorbiaceae 14) Excoecaria aggalocha
5) Combretaceae 15) Lumnitzera littorea
16) Lumnitzera racemosa
6) Arecaceae 17) Nypa fruticans
7) Sonneratiaceae 18) Sonneratia alba
8) Meliaceae 19) Xylocarpus granatum
2 Mangrove Ikutan 1) Malvaceae 1) Hibiscus tiliaceus
2) Euphorbiaceae 2) Ricinus communis
3) Molluginaceae 3) Sesuvium portulacastrum
4) Rubiaceae 4) Morinda citrifolia
5) Asteraceae 5) Wedelia biflora
6) Verbebaceae 6) Stachytarpheta jamaicensis

105
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

Tabel 4 Indeks Nilai Penting (INP) vegetasi mangrove di lokasi penelitian.


Jumlah Jenis INP
Strata/Jenis Famili (%)
Transek 1
Semai (R apiculata) Rhizophoraceae 4 200.00
Pancang (R stylosa) Rhizophoraceae 5 133.18
Tiang (R apiculata) Rhizophoraceae 6 103.26
Pohon (L racemosa) Combretaceae 5 80.00
Transek 2
Semai( B cylindrica) Rhizophoraceae 13 200.00
Pancang (B cylindrical) Rhizophoraceae 6 159.59
Tiang (R mucronata) Rhizophoraceae 7 197.47
Pohon (C tagal ) Rhizophoraceae 6 152.80
Transek 3
Semai (R stylosa) Rhizophoraceae 5 200.00
Pancang (R stylosa) Rhizophoraceae 15 230.50
Tiang (R apiculata) Rhizophoraceae 5 300.00
Pohon (R apiculata) Rhizophoraceae 12 181.11
Transek 4
Semai (A officinalis) Avicenniaceae 3 200.00
Pancang (A marina) Avicenniaceae 9 247.51
Tiang (A officinalis) Avicenniaceae 9 172.27
Pohon (A officinalis) Avicenniaceae 9 190.40
Transek 5
Semai (S alba) Sonneratiaceae 4 200.00
Pancang (S alba) Sonneratiaceae 23 210.04
Tiang (S alba) Sonneratiaceae 8 237.87
Pohon (S alba) Sonneratiaceae 10 100.78

Kemampuan adaptasi masing-masing jenis mangrove terhadap salinitas berbeda-beda. Menurut Hoppe-
Speer et al., (2011), R. mucronata, R. apiculata, R. stylosa dan R. mangle, memiliki pertumbuhan yang optimal
pada salinitas 8-18 ppt. Selanjutnya Perera et al., (2013), menyatakan bahwa A. marina adalah jenis yang
paling toleran terhadap salinitas, diikuti oleh R mucronata, C tagal dan L racemosa. E agallocha adalah spesies
yang paling toleran terhadap garam. Siringoringo et al., (2018), menambahkan bahwa Avicennia lebih adaptif
terhadap air dangkal, sedangkan Rhizophora lebih adaptif pada area yang lebih dekat atau kontak langsung
dengan laut.
Rendahnya INP pada jenis tertentu mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bersaing dengan
lingkungan yang ada disekitarnya serta jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta
besarnya eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut berkurang dari tahun ke tahun. Ketersediaan propagul
diduga lebih berpengaruh dalam proses reproduksi. Mangrove akan bereproduksi jika kondisi lingkungan
cocok atau sesuai. Hal ini berkaitan dengan daya adaptasi mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim,
seperti substrat lumpur yang baru terbentuk akan didominasi oleh jenis mangrove yang propagulnya paling
banyak sampai ketempat tersebut.
Famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae dan Sonneratiaceae diperkirakan akan mendominasi populasi
jenis mangrove pada masa yang akan datang di lokasi penelitian jika tidak ada gangguan terhadap kelestarian
hutan mangrove. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya populasi jenis-jenis mangrove tersebut pada semua tingkat
pertumbuhan di lokasi penelitian. Tingginya Nilai INP menunjukkan bahwa jenis-jenis mangrove tersebut mampu
beradaptasi dengan baik terhadap kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
untuk rekomendasi program rehabilitasi dan sebagai zona penyangga bagi lingkungan pesisir, sebab jenis inilah
yang paling mampu tumbuh dengan baik serta mampu memanfaatkan peluang dan ruang yang lebih luas

106
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110

dibandingkan dengan jenis-jenis mangrove lainnya. Selain itu nilai INP yang tinggi menunjukkan jenis mangrove
tersebut memiliki peranan yang besar terhadap ekosistem mangrove di lokasi penelitian dibandingkan jenis yang
lain.
Hasil identifikasi ini didukung oleh beberapa hasil penelitian yang di lakukan di Kota Langsa pada
beberapa lokasi yang berbeda seperti di lokasi wisata mangrove Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat (Majid
et al., 2014 & Fitrianingsih 2017) dan di Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat (Zurba et al., 2017),
menunjukkan hasil yang sama. Dimana jenis mangrove yang paling mendominasi adalah Rhizophora spp.,
Avicennia spp., dan Sonneratia spp. Ketiga jenis mangrove ini mendominasi di semua kawasan mangrove di
wilayah pesisir Kota Langsa. Hasil penelitian ini juga didukung oleh data yang didapat dari DKPP Kota Langsa
(2013), yang menyatakan bahwa struktur dan komposisi hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Kota
Langsa didominasi oleh jenis Rhizophora spp., pada area pinggir daratan rawa mangrove sepanjang sungai
yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan mulut sungai didominasi oleh jenis A officinalis. Pada bagian
tengah vegetasi mangrove kearah laut didominasi oleh jenis B cylindrica. Pada area yang salinitasnya rendah,
lumpurnya dalam dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut didominasi oleh jenis S alba.

Tingkat kekritisan hutan mangrove

Berdasarkan hasil analisis tingkat kekritisan lahan mangrove di lokasi penelitian didapatkan dua kategori
kerusakan, yaitu rusak dan rusak berat (Tabel 5 dan Gambar 4). Kategori kerusakan yang paling luas yaitu
kategori rusak berat yang tersebar di seluruh kecamatan dengan luas 2 556.82 ha. Kecamatan Langsa Barat
merupakan wilayah yang mempunyai luas hutan mangrove pada tingkat kekritisan paling luas dibandingkan dengan
kecamatan yang lain. Dari 2 896,38 ha luas hutan mangrove yang mengalami kekritisan di Kecamatan Langsa
Barat, seluas 1 488.48 ha termasuk dalam kategori rusak dan seluas 1 407.90 ha termasuk dalam kategori rusak
berat.
Tutupan lahan di lokasi penelitian adalah hutan mangrove (kawasan hutan lindung, areal penggunaan lain,
hutan produksi konversi dan hutan produksi), tambak, kawasan pemukiman, kawasan pelabuhan dan Pusat
Pelelangan Ikan (PPI). Kondisi tutupan ini memberikan gambaran bahwa kondisi ekosistem hutan mangrove
di lokasi penelitian mengalami tekanan yang berat. Tekanan tersebut terutama disebabkan oleh konversi lahan,
pembalakan mangrove untuk bahan baku pembuatan arang dan sedimentasi.
Kawasan hutan mangrove yang terdapat di lokasi penelitian pada saat ini sudah banyak dikuasai oleh
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Berdasarkan penuturan tokoh-tokoh masyarakat dan
tetua kampung, dahulunya tidak ada yang mengklaim kepemilikan lahan-lahan mangrove di wilayah tersebut,
karena sebagian besar masyarakat memiliki profesi sebagai nelayan yang mencari ikan di laut. Budidaya udang
dan ikan bandeng yang mulai berkembang di tahun 1980-an mendorong sebagian masyarakat menguasai lahan
mangrove untuk diusahakan menjadi tambak yang dikelola secara tradisional.
Selain itu, pembalakan pohon mangrove dilakukan oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian maupun
oleh masyarakat yang berasal dari Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Tamiang maupun dari Kabupaten
Langkat Provinsi Sumatera Utara. Pohon mangrove ini merupakan bahan baku industri arang, bahan kayu
bakar maupun sebagai bahan kayu bangunan. Di lokasi penelitian banyak ditemui dapur-dapur arang yang
sudah mulai beroperasi semenjak tahun 1970-an yang mengandalkan bahan baku pembuatan arang dari
pembalakan liar. Sampai dengan tahun 2014, jumlah dapur arang yang masih aktif beroperasi di Kota Langsa
sebanyak 67 buah dapur dengan produktivitas 1.4 ton/dapur/bulan dan produksi total 115.6 ton/bulan (DKPP
Kota Langsa, 2013).

107
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

Tabel 5 Hasil penilaian kekritisan hutan mangrove di lokasi penelitian.


Tingkat Kekritisan Hutan Mangrove
No. Kecamatan Jumlah (ha)
Rusak (ha) Rusak Berat (ha)
1 Langsa Timur 266.62 935.42 1 202.04
2 Langsa Lama 1.90 0.00 1.90
3 Langsa Barat 1 488.48 1 407.90 2 896.38
4 Langsa Baro 196.57 213.50 410.07
5 Langsa Kota 2.39 0.00 2.39
Total (Ha) 1 955.96 2 556.82 4 512.78

Gambar 4 Peta tingkat kekritisan hutan mangrove.

Pengambilan pohon mangrove untuk bahan baku pembuatan arang menggunakan perahu bermesin tempel
yang dilakukan oleh tenaga pengumpul yang bekerja pada pengusaha arang. Kayu yang dapat dikumpulkan
dalam sehari (8 jam waktu kerja) dengan jumlah tenaga kerja 1 orang/perahu sebanyak 100 batang, dengan
panjang 2.5-3 m dan diameter 5-7.5 cm. Bahan baku kayu mangrove yang dibutuhkan untuk dapur arang
sebanyak 67 unit dan produksi total 115.6 ton/bulan adalah 6 817.92m3/tahun, terdiri dari kayu untuk
pembuatan arang sebanyak 5 454.34 m3/tahun dan kayu bakar sebanyak 1 363.58 m3/tahun dengan rendemen
20%. Dampak yang ditimbulkan oleh pembalakan pohon mangrove adalah penurunan kualitas tegakan
mangrove, yang dapat menghambat terjadinya regenerasi tumbuhan mangrove sehingga dalam jangka waktu
panjang hutan mangrovenya menjadi rusak.
Indikasi yang dapat dilihat adalah kerapatan pertumbuhan permudaan tingkat semai dan pancang yang
rendah. Hal ini menunjukkan kondisi hutan mangrove yang rusak. Hutan mangrove yang mengalami tingkat
kerusakan berat di lokasi penelitian berada di dalam kawasan hutan produksi konversi, hutan produksi dan
areal penggunaan lain. Kawasan areal penggunaan lain di lokasi penelitian pada awalnya merupakan kawasan
hutan lindung yang telah dikonversi untuk pembangunan Pelabuhan Kuala Langsa, Hutan Wisata Mangrove,
108
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 98-110

Kawasan Industri Kuala Langsa, Pelabuhan Pendaratan Ikan dan pada tahun 2017 mulai dibangun bandara
perintis Kuala Langsa dengan panjang landasan 1 000 m lengkap dengan sarana dan prasarana pendukungnya.
Secara umum, dilihat dari jenis tanah dan sistem lahan dilokasi penelitian, tingkat kepekaan erosinya
relatif tidak peka erosi. Kecuali pada lokasi yang berada didekat pantai dimana teksturnya adalah lempung
berpasir. Perera et al. (2013), menyatakan bahwa pertumbuhan dan sruktur mangrove sangat dipengaruhi oleh
erosi tanah, laju sedimentasi, input unsur hara dan kualitas tanah pada suatu lokasi. Tingginya sedimentasi
yang dibawa dari hulu oleh sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Langsa menyebabkan terjadinya
pendangkalan di muara sungai.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias (BRR 2007), menetapkan wilayah pesisir timur Provinsi
Aceh merupakan kawasan prioritas pengelolaan karena rawan dan berpotensi sedimentasi, meliputi muara
Sungai Krueng Biruem Puntong, Krueng Bayeun dan Krueng Langsa di sekitar Teluk Langsa. Kondisi yang
terjadi pada saat ini adalah tingginya abrasi yang terjadi di Pulau Telaga Tujuh akibat adanya arus sejajar pantai
yang bergerak menyusuri pantai yang terjadi di muara Sungai Krueng Langsa. Sedimentasi ini menjadi salah
satu penyebab kerusakan ekosistem mangrove di lokasi penelitian. Rusaknya hutan mangrove di lokasi
penelitian juga menyebabkan seringnya pasang purnama (banjir rob) menggenangi pemukiman masyarakat
yang bertempat tinggal di wilayah pesisir terutama warga Desa Pusong Telaga Tujuh dan Desa Kuala Langsa
di Kecamatan Langsa Barat dan warga Desa Alue Beurawe Kecamatan Langsa Kota. Banjir rob merupakan
fenomena yang sudah biasa bagi warga di desa tersebut yang terjadi dua kali dalam sebulan (awal bulan dan
pertengahan bulan).

SIMPULAN
Melalui analisa perbandingan citra satelit landsat tahun 2007 dan 2013, diketahui selama enam tahun telah
terjadi penambahan luas mangrove di Kota Langsa seluas 324.29 ha. Penambahan ini karena adanya kegiatan
rehabilitasi mangrove yang dilakukan di Kota Langsa sejak tahun 2006-2012 dan ada beberapa tambak yang
tidak produktif yang secara alami ditumbuhi oleh mangrove.
Terdapat dua kelompok mangrove yang dijumpai di lokasi penelitian, yaitu kelompok mangrove sejati
yang terdiri atas 14 famili dan 19 jenis dan kelompok mangrove ikutan yang terdiri atas 6 famili dan 6 jenis.
Berdasarkan struktur vegetasinya, jenis-jenis yang dijumpai berada pada tingkat permudaan semai, pancang,
tiang dan tingkat pohon. Berdasarkan Indeks Nilai Penting, maka mangrove dari famili Rhizophoraceae,
Avicenniaceae dan Sonneratiaceae akan mendominasi vegetasi mangrove yang tumbuh di Kota Langsa.
Kekritisan hutan mangrove di Kota Langsa terdiri atas dua kategori kerusakan, yaitu rusak seluas 2 556.82
ha dan rusak berat seluas 1 955.96 ha. Kecamatan Langsa Barat merupakan wilayah yang mempunyai luas hutan
mangrove pada tingkat kekritisan paling luas dibandingkan dengan kecamatan yang lain

DAFTAR PUSTAKA
Badan Informasi Geospasial. 2015. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Kota Langsa Skala 1: 50,000. Bogor
(ID): BIG.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Langsa. 2015. Gambaran Umum Kota Langsa. Langsa.
Carter, HN, Schmidt SW, Hirons AC. 2015. An international assessment of mangrove management:
Incorporation in integrated coastal zone management. Diversity. (7): 74-104. doi:10.3390/d7020074.
Cox GW. 1985. Laboratory Manual of General Ecology. Dubuque, Iowa (USA): WCM Brown.
Departemen Kehutanan. 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta (ID):
Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Kota Langsa. 2013. Sebaran Realisasi Kegiatan Bidang Kehutanan.
Langsa.

109
Iswahyudi, Kusmana C, Hidayat A, Noorachmat BP

Fitrianingsih YR. 2017. Kajian ekowisata untuk konservasi mangrove: Studi kasus di Kecamatan Langsa Barat
Kota Langsa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Journal of Aceh Aquatic Science. 1(1): 83-94.
Hossain MD, Nuruddin AA. 2016. Soil and mangrove: A review. Journal of Environmental Science and
Technology. 9 (2): 198-207. 10.3923/jest.2016.198.207.
Kathiresan K. 2012. Importance of mangrove ecosystem. International Journal of Marine Science. 2(10): 70-
89.
Keputusan Menteri Kehutanan No. 941/Menhut-II/2013 tentang Perubahan peruntukan kawasan hutan
menjadi bukan hutan seluas 42.616 ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 130.542 ha dan
perubahan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 26.461 ha di Provinsi Aceh.
Kusmana C. 2014. Distribution and current status of mangrove forests in Indonesia. Di dalam: Hanum FI,
Latiff A, Hakeem KR, Ozturk M, editor. Mangrove ecosystem of Asia: Status, challenges and
management strategies. Springer. hlm 37-60.
Kusmana C. 2015. Integrated sustainable mangrove forest management. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. 5(1): 1-6. doi.org/10.29244/jpsl.9.1.%15p.
Kusmana C, Wilarso S, Iwan H, Pamoengkas P, Wibowo C. Tiryana T, Triswanto A, Yunasfi, Hamzah. 2005.
Teknik Rehabilitasi Mangrove. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Lavieren HV, Spalding M, Alongi DA, Kainuma M, Godt MC, Adeel Z. 2015. Securing the Future of
Mangroves. Hamilton (CA): Institute for Water, Environment and Health, United Nations University.
Majid AB, Patana P, Lesmana I. 2014. Studi potensi ekowisata di Kuala Langsa Provinsi Aceh.
Aquacoastmarine. 3(2): 44-54.
Qanun Kota Langsa No. 8 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kota Langsa.
Langsa: Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum.
Perera KAR, Amarasinghe MD, Somaratna S. 2013. Vegetation structure and species distribution of
mangroves along a soil salinity gradient in a micro tidal estuary on the North-Western coast of Sri Lanka.
American Journal of Marine Science. 1(1): 7-15. DOI: 10.12691/marine-6-1-3.
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan Macam Tanah di Indonesia untuk Keperluan Survei dan Pemetaan
Tanah Daerah Transmigrasi. Bogor (ID).
Regional Physical Planning Program for Transmigration. 1990. Peta Land System RePPProT Pulau Sumatera.
Jakarta (ID): Official Development Assistance-Bakosurtanal-Departemen Transmigrasi.
Hoppe-Speer SCL, Adams JB, Rajkaran A, Bailey DF. 2011. The response of the red mangrove Rhizophora
mucronata Lam to salinity and inundation in South Africa. Aquatic Botany. (95): 71–76.
DOI: 10.1016/j.aquabot.2011.03.006.
Satuan Kerja Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam-Nias. 2008. Rehabilitasi hutan
mangrove dan hutan pantai di pesisir Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh (ID): Pusat
Pengendalian Lingkungan dan Konservasi BRR NAD-Nias.
Siringoringo HH, Narendra BH, Salim AG. 2018. Kualitas perairan mangrove di Ciasem Pamanukan,
Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 8(3): 301-307.
doi.org/10.29244/jpsl.9.1.%15p.
Spalding MD, Kainuma M, Collins L. 2010. World Atlas of Mangroves. Washington DC (USA). Earthscan
Ltd.
Tomlinson PB. 1986. The Botany of Mangroves. England (UK): Cambridge University Pr.
Zurba N, Effendi H, Yonvitner. 2017. Pengelolaan potensi ekosistem mangrove di Kuala Langsa, Aceh. JITK.
9(1): 281-300.

110
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 111-123. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 111-123
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Sasi Laut Folley dan Dinamika Pengelolaan Berbasis Masyarakat


Sasi Laut Folley and Dynamics of Community Based Management
Fevi Rahma Dwi Putri, Arif Satria, Saharuddin
Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia
[+62-251-8627793]

Article Info: Abstract. Indonesia's natural resources are decline due to excessive use of
Received: 23 - 01 - 2020 natural resources and destructive behavior without the responsibility of
Accepted: 13 - 03 - 2020
various parties. Community-based management (CBM) such as the
Keywords: management of Sasi Laut in Kampung Folley, West Papua is one of the models
Community based management, considered appropriate to mitigates the degradation of the natural resource
institution, management in Indonesia. This study aims to analyze the dynamics of the management of
dynamics, sasi laut.
Kampung Folley Sea Sasi and its impact on strengthening management. The
Corresponding Author: results of this study indicate that there is a management dynamics that
Fevi Rahma Dwi Putri involves at least six momentum changes, namely the formation of the village,
Program Studi Sosiologi
Pedesaan, Sekolah Pascasarjana, the intervention of the role of religion, the introduction of technology, the
Institut Pertanian Bogor, involvement of external parties and the establishment of regulations for Water
fevirahmadwip16@gmail.com
Conservation Area. The management elements that have changed are
territorial boundaries, regulations, authority holders, rights, sanctions, and
monitoring due to internal and external factors. The management dynamics
that occur are leading to the strengthening of Sasi Laut management.

How to cite (CSE Style 8th Edition):


Putri FRD, Satria A, Saharuddin. 2020. Sasi laut Folley dan dinamika pengelolaan berbasis masyarakat. 10(1): 111-123.
http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1. 111-123.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara maritim dengan luas perairan ± 6.315 juta km2 atau setara tiga kali luas wilayah
daratan Indonesia yaitu 1 913 578.68 juta km2 (KKP, 2015; BPS, 2018). Indonesia juga disebut sebagai negara
bahari dan mega-biodieversity karena didominasi ekosistem lautan dan keanekaragaman sumber daya
didalamnya (Dahuri, 2003). Teridentifikasi 6.869 jenis biota laut termasuk tumbuhan laut (mangrove, alga,
dan lamun), terbagi atas 77.87 % fauna, 14.14% alga, 2.08% flora, dan 5.91% mikroba laut (BPS, 2017).
Pengelolaan potensi yang bijaksana dan terpadu seharusnya memberi manfaat optimal bagi kemajuan negara,
kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Realitasnya, Indonesia mengalami penurunan kualitas
dan kuantitas sumber daya alam, khususnya sektor kelautan. Merujuk berita lingkungan Mongabay (2017),
data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (2016) menjelaskan terumbu karang Indonesia dengan
kondisi baik tersisa 5.32%, sementara >30% kondisi kurang baik dari luas ± 2.5 juta Ha. Berpengaruh pada
penurunan ketersediaan biota lain, karena fungsi terumbu karang sebagai ruang hidup berbagai biota yang
terikat rantai makanan (Noviana et al., 2019). Penyebab utama diungkapkan Bappenas (2014) dalam BPS
(2018) adalah pengelolaan perikanan Indonesia belum optimal, kecenderungan prilaku eksploitatif manusia

111
Putri FRD, Satria A, Saharuddin

pada wilayah open acces1 seperti aktivitas Illegal, Unreported, dan Unregulated (IUU) Fishing, overfishing,
belum efektifnya sistem pengawasan, dan konversi lahan tidak sesuai peruntukkannya.
Konservasi menjadi salah satu alternatif pencegahan dan penanggulangan krisis yang terjadi. Berbagai
regulasi diterbitkan untuk mendorong perluasan kawasan tersebut. Realitasnya, konservasi seringkali
cenderung sentralistik dan memicu perbedaan kepentingan antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai contoh
kajian Satria (2009), keputusan pemerintah menetapkan Taman Nasional Wisata Alam Laut (TWAL) telah
menimbulkan konflik dengan masyarakat yang mengklaim wilayah TWAL merupakan wilayah strategis untuk
penangkapan sumber daya pesisir dan laut melalui intepretasi wilayah hak ulayat masyarakat. Benturan
kepentingan juga hadir antara masyarakat dan korporat seperti perusahaan yang mengubah peruntukan wilayah
perikanan tangkap masyarakat menjadi sektor pariwisata atau industri.
Urgensi pengentasan krisis lingkungan yang dibutuhkan adalah pengelolaan yang menyelaraskan tujuan
multipihak. Horowitz (2015) dalam memberikan kontribusi gagasan Local Environment Knowledge (LEK),
sebagai respon banyaknya wacana menyalahkan penduduk lokal atas peristiwa degradasi ekologi akibat
praktik lokal didasarkan pada ketidaktahuan dan tradisi yang irrasional. LEK hadir untuk membongkar
dikotomi pengetahuan “lokal” dan “ilmiah”, sehingga membentuk pengelolaan yang mempersatukan tujuan
keduanya. Rekomendasi Ostrom (1990) terkait dua pilihan model yang dinilai lebih preventif bagi pengelolaan
sumber daya adalah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau community based management (CBM) dan
pengelolaan kolaboratif atau co-management. Penelitian ini fokus mengkaji PBM. Sebagaimana disinggung
khusus oleh Ostrom (1990), kelembagaan masyarakat dapat menjamin berkelanjutan sumber daya, karena
kecenderungan prinsip yang dianut adalah keberlanjutan. Penelitian ini menganalisis pengelolaan Sasi Laut di
Kampung Folley, Distik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Sasi Laut adalah kelembagaan tradisional yang menerapkan prinsip konservasi, yaitu mengatur tentang
masa pemeliharaan dan panen teripang, batulaga, lola dan lainnya dalam jangka waktu tertentu. Menurut
Sztompka (2004), tradisi merupakan segala sesuatu (meliputi adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran dan lainnya)
yang berlangsung secara turun temurun dan melekat dalam kehidupan. Proses konstruksi sosial secara berkala,
menjadikan Sasi Laut berkembang dan mengalami perubahan baik menguatkan atau melemahkan sebagaimana
dinamika sosial. Berita lingkungan Mongabay, 12 Juli 2015 memaparkan Sasi Laut Folley adalah salah satu
kearifan lokal yang masih bertahan, bahkan mengalami peningkatan produksi, pendapatan dan penyokong
pembangunan kampung. Diduga dinamika pengelolaan Sasi Laut Folley mengarah pada penguatan
pengelolaan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk menganalisis dinamika pengelolaan Sasi Laut Folley
sebagai PBM serta pengaruhnya terhadap penguatan pengelolaan.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi
Papua Barat. Penelitian dilakukan pada bulan September 2018 - April 2019.

Metode Pengumpulan Data


Penelitian bertujuan mengkaji dinamika pengelolaan berbasis masyarakat menggunakan paradigma
konstruktivis dan metode penelitian kualiatatif. Paradigma konstruktivis berusaha memahami realitas sosial
dengan mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman individu pada objek kajian (Creswell 2016).
Pengumpulan data kualitatif menitikberatkan kepada interaksi peneliti dan tineliti, karena persepsi, pandangan
dan pemahaman tineliti didalami melalui proses tersebut. Strategi penelitian adalah studi kasus. yaitu
mengarahkan peneliti untuk mengembangkan analisis mendalam suatu kasus, seperti program, peristiwa,

1Tidak berlaku hak kepemilikan sumber daya atau bersifat bebas diakses siapapun tanpa regulasi pemanfaatan (Bromley, 1992).
Wahyuningsih et al. (2019) memaknai status open acces ketika tidak seimbangnya laju pemanfaatan dan laju pemulihan sumberdaya.
112
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 111-123

aktivitas atau proses, dengan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang ditentukan (Stake
1995 dan Yin 2009, 2012 dalam Creswell, 2016).
Subjek penelitian adalah informan yang dipilih secara sengaja, yaitu individu atau kelompok yang
dianggap memahami dan berkaitan dengan pengelolaan Sasi Laut. Populasi penelitian adalah masyarakat
pelaksana kelembagaan Sasi Laut di Kampung Folley. Unit analisis adalah komunitas pelaksana kelembagaan.
Informan terpilih yaitu pemerintah Kabupaten Raja Ampat, pemerintah Distrik Misool Timur, Pemerintah
Kampung Folley, tokoh adat dan agama, anggota marga pemilik wilayah adat, kelompok masyarakat terkait,
Pihak Unit Pelaksana Teknis Kawasan Konservasi Perairan (UPT KKP), LSM The Nature Conservancy
(TNC), masyarakat Matbat dan pendatang.
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder (Sugiyono 2013). Data primer adalah sumber
data yang langsung didapatkan oleh peneliti dari hasil observasi (pengamatan), wawancara mendalam (indepth
interview), dan Focus Group Discussion (FGD). Data sekunder diperoleh dari dokumen yang berkaitan dengan
penelitian, seperti dokumen di kantor pemerintahan, data kawasan konservasi dan pengelolaan Sasi Laut Raja
Ampat dari kantor LSM dan Unit Pelayanan Teknis Kawasan Konservasi Perairan (UPT KKP), dokumen
penunjang kekayaan teori, regulasi dan fakta empiris dari dokumen cetak dan elektronik, seperti data Badan
Pusat Statistik (BPS), laporan akhir dan jurnal penelitian.
Alat yang digunakan saat wawancara mendalam yaitu panduan pertanyaan mengacu parameter yang
ditentukan melalui kajian literatur. Analisis perkembangan pengelolaan berbasis masyarakat (PBM)
berdasarkan parameter Ruddle (1999) terkait unsur-unsur pengelolaan yaitu batas wilayah, aturan, hak,
pemegang otoritas, sanksi, pemantauan dan evaluasi. Faktor-faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
disintesis dari kajian teoritis dan fakta empiris tulisan Berkes (2000), Alkausar (2011), Khoirunnisak dan Satria
(2016). Faktor internal merupakan faktor di dalam masyarakat, berupa; 1) sejarah pengelolaan lokal; 2)
pengaruh kepemimpin dan sosialisasi hukum adat; dan 3) kompleksitas masyarakat yang terdiri dari
perkembangan livelihood dan identitas etnik, agama, dan perbedaan kepentingan/kebutuhan pribadi. Faktor
eksternal merupakan faktor pendorong pelaksanaan di luar masyarakat yaitu; 1) dimensi regulatif; 2) intervensi
multipihak; dan 3) globalisasi.

Metode Analisis Data


Data yang diperoleh berupa catatan harian, dokumen, gambar, dan audio-visual, dianalisis dengan tiga
alur kegiatan bersamaan yaitu reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Pertama,
tahap reduksi yaitu mengelompokan data menjadi kelompok-kelompok catatan kategori sesuai tujuan
penelitian. Kedua, tahap penyajian yaitu menyusun informasi dan data yang dikelompokkan menjadi rangkaian
kata-kata, bagan, gambar dan tabel. Terakhir, tahap penarikan kesimpulan dari hasil pengolahan data dan dapat
dilakukan verifikasi lapangan (Miles dan Huberman, 1992 dalam Idrus, 2009). Ketiganya merupakan kegiatan
yang jalin-menjalin dilakukan saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sasi Laut Folley: Pengelolaan berbasis Masyarakat (PBM)


Sasi merupakan sebuah kelembagaan adat di Maluku hingga Papua yang diterapkan untuk mengatur
proses pemanfaatan sumber daya (Soekanto 2002). Terdapat dua macam Sasi yaitu Sasi Darat dan Sasi Laut.
Penelitian ini fokus mengkaji Sasi Laut di Kampung Folley. Masyarakat adat mengatur pemanfaatan biota laut
seperti teripang (holothuria scabra, holothuria nobilis, holothuria fuskogilfa, dan thelenota ananas dan
bohadschia argus), kerang batu laga, siput lola, dan lainnya dengan sistem jangka waktu. Dilarang ditangkap
saat masa pemeliharaan (Tutup Sasi) dan dimanfaatkan bersama saat masa panen (Buka Sasi). Alat tangkap
dan teknis penangkapan juga diatur agar memenuhi standar keberlanjutan. Cooley (1987) menjelaskan Sasi
menerapkan aturan dan sanksi adat yang membudaya dan diputuskan oleh para elit setempat.
113
Putri FRD, Satria A, Saharuddin

Bagi masyarakat, Sasi sebagai bentuk menabung sumber daya alam untuk dipanen diwaktu yang tepat.
Selain produktivitas maksimal (berukuran besar/dewasa) dan memberikan keuntungan finansial, nilai utama
Sasi adalah agar sumber daya dapat terus menjamin kehidupan generasi mendatang. Kebutuhan praktik Sasi
semakin kuat karena peningkatan krisis sumber daya dan lingkungan. Sebagai contoh, pengaruh perkembangan
teknologi meningkatkan eksploitasi sumber daya dan illegal fishing yang merusak. Oleh karena itu, Sasi
merupakan bentuk konservasi berbasis masyarakat. Satria (2009) menjelaskan masyarakat Maluku dan Papua
memiliki bentuk konservasinya sendiri atau konservasi konstruktivis.
Merujuk analisis property right, Ostrom et al. (1994) menjelaskan tingkat kekuasaan manusia
memanfaatkan sumber daya berdasarkan tingkat subtractability dan excludability. Subtractability merupakan
asumsi ketika sumber daya diklaim milik pribadi/kelompok, maka peluang orang lain mengambil manfaat
semakin menurun. Excludability mengasumsikan kemampuan individu melarang orang lain memanfaatkan
suatu sumber daya. Wilayah Sasi Laut Folley termasuk tipe common-pool resources berdasarkan teori Ostrom
et al. (1994) yaitu sumber daya dimiliki bersama oleh sekelompok masyarakat dengan tingkat subtractability
tinggi tetapi excludabilty rendah. Relevan dengan rezim kepemilikan oleh Bromley (1992), wilayah Sasi Laut
Folley termasuk rezim common property yaitu dikuasai sekelompok masyarakat. Hak kepemilikan tidak
bersifat ekslusif, keputusan dibuat bersama untuk kesejahteraan anggota dan keberlanjutan sumber daya.
Ulasan diatas membuktikan Sasi Laut Folley termasuk kategori PBM, relevan dengan definisi Gorris (2016),
PBM adalah pengelolaan sumber daya milik bersama menerapkan penatagunaan secara informal berdasarkan
pengetahuan lokal/tradisional. Analisis pengelolaan PBM menggunakan enam unsur pengelolaan menurut
Ruddle (1999) untuk melihat apakah kelembagaan Sasi Laut dapat memenuhi standar PBM.

Batas Wilayah
Secara turun-temurun, masyarakat telah mengetahui pembagian wilayah adat di Pulau Misool, terutama
di Kampung sendiri. Marga Fadimpo dan Moom yang diakui memiliki hak ulayat laut di Kampung Folley,
sehingga kedua marga melaksankan kelembagaan Sasi Laut. Luas wilayah adat Marga Fadimpo yaitu dari
jembatan dermaga depan kampung kearah timur sepanjang ± 2.5, dan Marga Moom sepanjang ±1 km kearah
barat. Batas wilayah Sasi Laut diperjelas dengan batas-batas alam. Marga Fadimpo dari Tanjung Vagita,
hingga ke Kali Mebel, sedangkan Marga Moom dari jembatan dermaga hingga Teluk Nukari. Pelibatan peran
agama kristiani sejak tahun 1976 berkontribusi menambah kejelasan batas wilayah melalui simbol keagamaan,
yaitu penancapan papan “Sasi Gereja” di beberapa titik kawasan Sasi.
Sasi Laut termasuk dalam Kawasan Konservasi berdasarkan ketetapan Perbub No 66 tahun 2007 tentang
Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab. Raja Ampat (kini Kawasan Konservasi Perairan
Daerah/KKPD) hingga dikeluarkannya Kepmen KP RI No 36/Kepmen-KP 2014 tentang rencana pengelolaan
Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat yang melampirkan Peta Zonasi Jejaring Kawasan
Konservasi Perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Wilayah Sasi Laut Folley termasuk dalam
Subzona Sasi dan Pemanfaatan Tradisional Masyarakat (Gambar 1).

Hak Kepemilikan
Merujuk analisis kesatuan hak (bundle of rights), terdapat lima status kepemilikan berdasarkan hak2 yang
dimiliki aktor, antara lain authorized entrant, merupakan pihak yang hanya memiliki hak akses. Kedua,
authorized user yaitu memiliki hak akses dan hak pemanfaatan. Ketiga, claimant, memiliki hak akses, hak
pemanfaatan dan hak pengelolaan. Keempat, propriertor, memiliki hak akses, hak pemanfaatan, hak

2
Ostrom dan Schlager (1996) menguraikan lima tipe hak, yaitu; 1) Hak akses (access right), hak untuk masuk ke wilayah
sumber daya, 2) Hak pemanfaatan (withdrawl right), hak untuk memanfaatkan sumber daya atau hak berproduksi; 3) Hak
pengelolaan (management right), hak menentukan aturan operasional pemanfaatan sumber daya; 4) Hak eksklusi
(exclussion right), hak menentukan pihak mana yang diperbolehkan untuk mengakses; 5) Hak pengalihan (alienation
right), hak untuk menjual atau menyewakan sumber daya.
114
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 111-123

pengelolaan hingga hak ekslusi. Kelima, owner, pihak yang memiliki seluruh hak termasuk hak pengalihan.
Tabel 1 menjelaskan tipe hak dan status kepemilikan sumber daya alam.

Gambar
. 1 Peta Zonasi Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

Keterangan: : Subzona Sasi dan Pemanfaatan Tradisional


: Kawasan Sasi Laut Folley

Tabel 1 Tipe Hak dan Status Kepemilikan Sumber Daya menurut Ostrom dan Schalager (1996).
Status
Authorized
Tipe Hak Owner Proprieter Claimant Authorized User
Entrant
Akses X X X X X
Pemanfaatan X X X X
Pengelolaan X X X
Eksklusi X X
Pengalihan X

Analisa hak kepemilikan sumber daya di Kabupaten Raja Ampat sebagian besar akan memberikan dua
sudut pandang, yaitu secara de facto dan de jure. Hak kepemilikan wilayah Sasi Laut Marga Fadimpo dan
Moom atas dasar pengetahuan lokal dan ketetapan adat (de facto) adalah sebagai propriertor. Masyarakat
memiliki hak akses, pemanfaatan, pengelolaan hingga ekslusi atau menentukan peruntukan kawasan dan
membatasi pihak lain memanfaatkan sumber daya saat Tutup Sasi. Masyarakat di luar marga tersebut baik
dalam maupun luar kampung diperbolehkan melewati kawasan dan memanfaatkan hasil Sasi Laut. Kelompok
ini berstatus authorized user. Secara de jure melalui kebijakan KKPD, pemerintah mengakui wilayah adat
masyarakat dan memberikan kewenangan sah bagi masyarakat untuk mengelola kawasan tersebut. Status yang
dimiliki masyarakat secara formal bagi negara adalah claimant.
Pemegang Otoritas

115
Putri FRD, Satria A, Saharuddin

Menurut masyarakat, kelembagaan Sasi Laut merupakan kearifan lokal yang telah terbentuk jauh sebelum
pemerintahan Raja Ampat berdiri. Tokoh adat sebagai pemimpin dan pembina masyarakat sejak dulu,
dipercaya menjadi pemegang otoritas kelembagaan Sasi. Era kini, aktor-aktor lain mulai dilibatkan dalam
pengelolaan mengikuti perkembangan zaman. Masyarakat menyebutnya sebagai tiga tungku tak terpisah, yaitu
tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah. Tabel 1 memetakan aktor-aktor dan peranannya terhadap
pengelolaan Sasi Laut.

Tabel 2 Pemetaan Aktor dan Peranan.


Kategori Aktor/Kelompok Peranan
Adat Tokoh Adat Penginisiasi, pengambil keputusan, dan pemimpin upacara adat
Agama Pendeta, Majelis Memberikan saran, melaksanakan prosesi doa gereja, penancapan
papan sasi dan mengatur pajak persepuluhan
Pemuda Gereja Mambantu kegiatan monitoring, acara Tutup dan Buka Sasi,
memanen hasil untuk keperluan bersama.
Pemerintah Pemerintah Memberi saran, menghadiri acara adat, penghubung pihak eksternal,
Kampung penugasan Babinsa Hansip untuk pengawasan.
Pemerintah Menghadiri upacara adat, penghubung pihak eksternal seperti Pemda,
Distrik Pusat, serta pihak media promosi.
Pemerintah Menghadiri upacara adat, menugaskan UPT KKP dan LSM TNC
Daerah dan Pusat untuk pendampingan, mengakui kawasan Sasi Laut dalam KKPD
UPT KKP Monitoring kawasan KKPD
LSM TNC Mendampingi masyarakat dengan memberikan edukasi keberlanjutan
lingkungan, pengetahuan penunjang hasil Sasi, meningkatkan
keberdayaan masyarakat, meningkatkan publikasi.
Fasilitator Monitoring, perantara masyarakat dan LSM, fasilitator kegiatan
Kampung pendidikan lingkungan termasuk Sasi Laut
Masyarakat Lokal dan Mengakui, mematuhi, dan mengawasi pelaksanaan Sasi Laut
pendatang

Peraturan
Peraturan kelembagaan Sasi Laut terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Peraturan yang
ditetapkan dalam praktik Sasi Laut Folley kini adalah sebagai berikut:
1. Penentuan waktu Tutup dan Buka Sasi didasarkan berbagai pertimbangan, seperti ditutup selama satu
musim/tahun, dibuka saat hari raya atau peristiwa genting misalnya masa masuk sekolah, pembangunan
fasilitas umum, memperhitungkan jumlah serta ukuran biota siap dipanen melalui hasil monitoring.
2. Dilarang mengambil biota-biota laut yang sepakat di Sasi dalam jangka waktu yang ditentukan.
3. Pada saat Buka Sasi, masyarakat dilarang berjalan kaki dan memanen hasil dengan tangan kosong.
Diwajibkan memakai perahu dan penikam agar tidak merusak karang dan mendapatkan hasil merata.
4. Dilarang menggunakan peralatan merusak, seperti bom dan kompresor baik saat Tutup atau Buka Sasi.
5. Setiap pihak tanpa terkecuali diperbolehkan mengambil hasil saat Buka Sasi, namun dibebankan
persepuluhan (pajak amalan 10%) yang akan dipersembahkan untuk gereja. Ini merupakan kepercayaan
kaum kristiani tentang kewajiban umat memberikan 10% dari penghasilannya pada gereja.
6. Memberlakukan biaya Rp 100,000 di wilayah adat Moom, dan Rp 200,000 di wilayah Fadimpo bagi
perahu pemanen. Pembayaran hanya satu kali untuk Buka Sasi (biasanya 2 minggu). Pajak tersebut
dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan gereja, kegiatan agama, dan lainnya.
Sanksi

116
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 111-123

Terdapat berbagai golongan sanksi yaitu sanksi adat, agama, sosial, ekonomi, fisik dan formal. Semula
sanksi yang berlaku hanya sanksi adat dan sosial. Masyarakat percaya bahwa keberadaan leluhur dapat
melindungi kawasan Sasi Laut. Tidak sedikit kasus pelanggaran berdampak buruk pada kesehatan seperti buta,
lumpuh, hingga meninggal. Hukuman ini dipercaya datang dari para leluhur karena diluar kendali manusia.
Sanksi sosial berupa pelabelan negatif, seperti masyarakat Kampung Wejim, Distrik Kepulauan Sembilan
dipandang sebagai kampung pencuri karena banyaknya pelanggaran pada Sasi Laut Folley.
Saat ini telah berlaku sanksi agama, ekonomi, fisik dan seharusnya formal. Hukuman yang irrasional
dipercaya juga hadir dari Tuhan. Ketika pihak UPT KKP sedang patroli dan menemukan pelanggaran di
wilayah Sasi Laut, maka hanya dikenakan sanksi fisik (push up, mengangkat beban berat memutari lapangan)
dan penyitaan peralatan oleh pihak berwenang seperti Babinsa, UPT KKP, Hansip, dan Kepolisian (sanksi
ekonomi). Proses hukum positif yang berlaku terhadap pelanggaran Sasi belum pernah dilakukan karena
beberapa alasan, yaitu belum terdapat petunjuk teknis dan disposisi khusus terkait pengawasan dan sanksi
kawasan Sasi Laut, serta keterbatasan akses transportasi menuju pusat pemerintahan untuk memproses
pelanggaran.

Monitoring dan Evaluasi


Kegiatan monitoring dilakukan rutin oleh kelompok pemuda gereja/pemuda Sasi, fasilitator kampung dan
didampingi oleh LSM TNC. Meskipun ketetapan waktu Tutup Sasi sudah disepakati, namun melalui
monitoring dapat terlihat hasil Sasi telah mencapai standard siap panen atau sebaliknya. Ada kemungkinan
penundaan proses Buka Sasi hingga menunggu teripang siap dipanen. Evaluasi dilaksanakan setelah praktik
Buka Sasi selesai dilakukan (biasanya 2 (dua) minggu). Proses evaluasi dilakukan secara bersamaan dengan
kegiatan perencanaan Tutup Sasi selanjutnya. Bahan evaluasi berupa pengalaman dari proses Tutup dan Buka
Sasi sebelumnya yang menjadi rekomendasi perbaikan bagi pelaksanaan periode selanjutnya.

Dinamika Pengelolaan Sasi Laut di Kampung Folley, Kab. Raja Ampat, Papua Barat
Novaczek et al. (2001) yang dikutip Pical (2008) menyatakan Sasi sebagai suatu kelembagaan tidak
bersifat statis, namun mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kelembagaan sendiri didefinisikan sebagai
nilai-nilai dan norma-norma yang membentuk seperangkat pengaturan masyarakat dalam mengatur prilaku
hidup tertib masyarakat terutama dalam proses pemenuhan kebutuhannya. Tulisan ini menguraikan analisis
dinamika pengelolaan Sasi Laut Folley berupa perubahan unsur pengelolaan dalam beberapa periode waktu
melalui pengkajian momentum-momentum perubahan penting masyarakat, sehingga mendapatkan data
komprehensif. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi menggunakan parameter yang disintesis dari
Berkes (2000), Alkausar (2011), Khoirunnisak dan Satria (2016).
Momentum perubahan di Kampung Folley berkaitan dengan perkembangan pembangunan dan
kompleksitas masyarakat yang berpengaruh terhadap pengelolaan Sasi Laut hingga kini yang dapat dibagi
menjadi enam periode. Pertama, Kampung Folley dibangun tahun 1972 setelah migrasi penduduk dari
Tanjung Vagita dan Pulau Holl. Masyarakat asli Suku Matbat dan pendatang dari Buton bekerjasama
membangun Kampung dalam semua aspek. Sasi Laut masa ini telah dilaksanakan oleh Marga Fadimpo Suku
Matbat dan masih murni berdasarkan pengetahuan adat yang diturunkan nenek moyang. Faktor internal
berperan dalam masa ini, yaitu sejarah pengelolaan lokal, pengaruh pemimpin dan hukum adat, serta
homogenitas.
Kedua, mayoritas masyarakat telah menganut agama dan Suku Matbat beragama kristiani. Tahun 1976,
dibangun gereja pertama yang memperkokoh keimanan, karena ibadah menjadi rutin dan semua kegiatan
melibatkan peran agama, termasuk Sasi. Masyarakat percaya tidak hanya leluhur yang menjaga keselamatan
masyarakat dan sumber dayanya, namun Tuhan sang pencipta. Oleh karena itu, peran adat dan agama mulai
berdamping dalam praktik Sasi Laut, diantaranya; 1) menambah prosesi berdoa bersama dipimpin

117
Putri FRD, Satria A, Saharuddin

pendeta/majenlis pada ibadah besar minggu; 2) ketentuan persepuluhan, dan; 3) pelibatan panitia gereja. Dapat
dianalisis faktor yang mempengaruhi adalah kompleksitas keyakinan masyarakat (adat dan agama).
Ketiga, tahun 1980an merupakan momentum semakin kompleksnya masyarakat. Perpindahan penduduk
mulai meningkat akibat faktor perkawinan, pekerjaan dan intervensi program pemerintah yaitu perkebunan,
pembangunan sekolah, dan sebagainya. Keberagaman identitas masyarakat meningkat, seperti bertambahnya
tiga marga dari suku Matbat, yaitu Marga Faloy, Marga Mjam, dan Marga Mlui yang mayoritas karena
perkawinan. Program internalisasi perkebunan dari pemerintah daerah tahun 1982, banyak membawa pekerja
dari Maluku, Jawa, dan Bugis. Realitasnya, momentum ini tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan
pengelolaan Sasi Laut. Pendatang tidak dilibatkan dalam pengelolaan, namun diperbolehkan ikut
memanfaatkan hasil saat Buka Sasi. Disamping itu, mayoritas pendatang dari luar Papua bertujuan untuk
bekerja formal atau memilih bercocok tanam memanfaatkan daratan rendah Kampung Folley yang luas dan
subur. Keterbatasan skill dan sarana melaut juga membatasi pendatang tidak melakukan kegiatan di laut,
sehingga praktik Sasi Laut tidak menjadi penghalang bagi pendatang mencari nafkah.
Keempat, tahun 1991 momentum diresmikan Kampung Folley sebagai desa administratif. Pemerintah
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan masyarakat, meskipun pada pengelolaan Sasi tidak berwenang
sebagai pengambil keputusan. Peran pemerintah yaitu menyetujui, menghadiri dan mengawasi pelaksanaan,
serta penghubung pihak eksternal (pemerintah daerah, pusat dan pembeli hasil). Transformasi kampung
terpencil menjadi desa membuka jalan pengembangan teknologi, seperti mesin listrik, mesin kapal, lampu
penerang, dan berbagai alat tangkap. Teknologi dapat memudahkan aktivitas masyarakat, namun di sisi lain
beberapa pihak melakukan kegiatan perikanan tangkap merusak seperti pemboman liar. Pengembangan
peraturan dilakukan masyarakat untuk memanfaatkan intervensi teknologi sekaligus meminimalisir kerusakan.
Pemanen Sasi Laut dilarang mengambil biota dengan tangan dan berjalan kaki diatas karang, wajib
mengendarai perahu dan alat penikam untuk mengurangi kerusakan karang dan distribusi hasil merata.
Kelima, tahun 2001 menjadi momentum perubahan yang signfikan pengelolaan Sasi karena faktor
intervensi pihak eksternal yang bertujuan memperluas pendidikan lingkungan. LSM TNC hadir melakukan
pendampingan masyarakat hingga saat ini. TNC membentuk fasilitator kampung yang dilatih menjadi pelopor
kegiatan pelestarian lingkungan, inovasi pertanian dan perikanan, hingga membantu pengelolaan Sasi Laut
mulai tahun 2010. TNC memberikan pengetahuan ilmiah yang menunjang produktivitas Sasi Laut dan dapat
membuat pengetahuan lokal dan ilmiah diaplikasikan bersamaan. Masa ini mengubah unsur batas wilayah,
peraturan dan monitoring. Sebelumnya, hanya marga Fadimpo yang melaksanakan kegiatan Sasi. Mulai tahun
2012, Marga Moom turut melaksanakan Sasi Laut di wilayah adatnya karena terpacu dengan peningkatan
signifikan hasil produksi Sasi Laut marga Fadimpo, serta kebutuhan revitalisasi wilayah. Pada unsur peraturan,
TNC menyarankan batas ukuran minimal teripang mencapai 15 cm (teripang dewasa) untuk mengurangi resiko
kegagalan Buka Sasi periode berikutnya dan kepunahan sumber daya. TNC juga memfasilitasi kebutuhan
sarana monitoring dan melaksanakan monitoring rutin bersama masyarakat.
Terakhir, tahun 2006-2014 perubahan dilatarbelakangi faktor eksternal dimensi regulasi dan pengakuan
formal, yaitu momentum penetapan KKPD di Raja Ampat. UPT KKP dibentuk untuk mengelola program dan
keuangan KKPD. Salah satu kegiatan utama adalah melakukan patroli kawasan, termasuk kawasan Sasi.
Bantuan monitoring yang dilakukan sedikit membantu masyarakat meminimalisir pelanggaran. Pengakuan
yang sah kawasan Sasi di ranah hukum, memperlebar pemberlakuan sanksi yaitu sanksi ekonomi, fisik dan
bisa masuk ke sanksi formal. Dua periode terakhir memberikan dampak cukup signifikan terhadap hasil
produksi. Unsur yang paling berpengaruh yaitu monitoring kawasan dan penambahan pemberlakuan sanksi
yang meminimalisir pelanggaran Sasi. Gambar 2 menunjukan produktivitas teripang hasil penerapan Sasi Laut
Folley dari tahun 2003-2017.

118
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 111-123

Data Produksi Teripang pada Sasi Laut Kampung Folley Tahun


2013-2017
8000
7000 6680

6000
5000
4000 3522 3235
3181
3000
2000 1175
1000
0
2013 2014 2015
Tahun 2016 2017
2013 2014 2015 2016 2017

Gambar 2 Data Produktivitas Teripang Hasil Penerapan Sasi Laut di Kampung Folley tahun 2013-2017
menurut Laporan TNC (2017).

Data grafik diatas menunjukan adanya kecenderungan peningkatan produksi teripang dari tahun 2013-
2017. Peleburan ilmu pengetahuan ilmiah dan lokal setelah masuknya pendampingan TNC, seperti Buka Sasi
dilakukan mempertimbangkan hasil produksi maksimal, rata-rata ukuran teripang mencapai 15 cm. Bantuan
fasilitas monitoring dari TNC dan UPT KKP serta sanksi fisik dan ekonomi bagi pelanggar oleh pihak
berwenang. Pada tahun 2017, produktivitas mengalami penurunan akibat intensitas monitoring mulai menurun.
Masyarakat cenderung bergantung pada bantuan sarana monitoring pihak eksternal. Diperlukan peningkatan
kemandirian masyarakat pada unsur ini agar produksi Sasi Laut tetap stabil meskipun pendampingan telah
selesai dilaksanakan. Pengelolaan keuangan hasil pajak Buka Sasi sebagian dapat dianggarkan untuk kegiatan
monitoring. Gambar 3 menjelaskan secara ringkas perubahan unsur-unsur pengelolaan serta faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan berdasarkan momentum-momentum penting dalam masyarakat.

Proses Perkembangan Pengelolaan Sasi Laut


Kampung Folley

2001 (Intervensi
eksternal – TNC)
1976 (Keterlibatan
peran agama)
2006-
1991 (Peresmian 2014
Desa Penetapa
Administratif, nKKPD
1972 introduksi
(Pembentukan teknologi)
Kampung)
Gambar 3 Proses perkembangan pengelolaan Sasi Laut di Kampung Folley, Distrik Misool Timur,
Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.

119
Putri FRD, Satria A, Saharuddin

Keterangan Perubahan:
o Murni pengetahuan adat.
Faktor : sejarah pengelolaan lokal, pengaruh pemimpin dan hukum adat, serta homogenitas.
o Unsur : otoritas pelibatan tokoh agama, peraturan persepuluhan, sanksi agama.
Faktor : kompleksitas masyarakat.
o Unsur : otoritas Pemerintah Kampung, peraturan alat dan teknik memanen.
Faktor : dimensi regulatif dan globalisasi
o Unsur : otoritas TNC, perluasan wilayah, peraturan waktu dan ukuran biota, peningkatan monitoring.
Faktor : intervensi multi pihak
o Unsur : otoritas pihak berwenang, monitoring UPT KKP, sanksi (fisik, ekonomi), hak Claimant.
Faktor : Dimensi regulatif dan pengakuan formal

Gambar 3 menunjukan hanya lima momentum perubahan yang berkenaan langsung dengan dinamika
pengelolaan Sasi Laut. Masuknya pendatang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengelolaan.
Masyarakat lokal dan pendatang saling menghargai dan tidak merugikan satu sama lain.

Penguatan Pengelolaan Sasi Laut Folley


Proses perubahan pengelolaan Sasi Laut dalam setiap periode memiliki dua kemungkinan yaitu kemajuan
atau kemunduran. Analisis sekunder beberapa kasus menunjukan hal tersebut, sebagai contoh penetapan
regulasi pengakuan formal bagi sumber daya milik adat sangat diperlukan untuk mencapai keadilan distribusi
(distributive justice) dan keadilan pengakuan (justice of recognation) agar terhindar dari berbagai gangguan
eksternal merugikan. Tanpa adanya pengakuan hak tradisional resmi, masyarakat lambat laun bisa
termarjinalisasi dari wilayah adatnya (Satria, 2009). Kasus lain menunjukan sisi berbeda, merujuk Satria
(2009) sepanjang rezim sentralisme, pemerintah memiliki kekuasaan mutlak mengatur pengelolaan. Tak jarang
sumber daya dikelola dengan tujuan pragmatis menjaga pelestarian lingkungan, dan menciptakan penerimaan
bagi negara, namun kurang memperhatikan bagian masyarakat.
Masa awal pengelolaan Sasi yang dibatasi pada awal pembentukan Kampung tahun 1972 menghimpun
masyarakat yang homogen. Mayoritas Suku Matbat yang memegang erat budaya Sasi sejak dulu. Sosok
pemimpin yang terus menginisiasi penerapan Sasi, menjadikan Sasi tidak ditinggalkan meskipun masyarakat
pindah dari satu wilayah ke wilayah lain. Masa perkembangan pendidikan dan fasilitas agama menyebabkan
internalisasi peran agama dalam pengelolaan. Penambahan doa dan sanksi agama menjadikan masyarakat
semakin patuh terhadap aturan Sasi, artinya intervensi agama memperkuat pengelolaan. Namun, meski sedikit
juga berpengaruh melemahkan praktik adat. Beberapa sarana adat mulai ditinggalkan, seperti pakaian adat
cawat saat kegiatan berdoa.
Kompleksitas masyarakat meningkat di tahun 1980an, terutama perbedaan etnisitas dan pilihan kegiatan
ekonomi. Banyaknya migrasi dari luar Papua menjadikan masyarakat kurang memahami kelembagaan Sasi.
Hal ini dapat meningkatkan resiko pelanggaran Sasi akibat ketidaktahuan ataupun penolakan. Realitasnya
perbedaan identitas tidak berpengaruhi signifikan melemahkan pengelolaan, karena mayoritas pendatang dari
luar Papua tidak bekerja di sektor perikanan tangkap, sehingga resiko pelanggaran dan penolakan menjadi
rendah. Meningkatnya pilihan mata pencaharian sektor perkebunan, pertanian, pekerjaan formal, dan
perikanan tidak menyurutkan semangat penerapan Sasi Laut oleh masyarakat, karena pada dasarnya Sasi Laut
tidak mengganggu kegiatan sehari-hari masyarakat.
Pemerintah Kampung Folley yang diresmikan tahun 1991 turut berkontribusi menguatkan pengelolaan.
Peran pemerintah menyetujui, ikut mengawasi dan menghubungkan dengan pemerintah pusat dan pembeli
hasil, membantu mendorong kesuksesan praktik Sasi Laut. Disisi lain, perkembangan teknologi yang
terintegrasi pengembangan desa membuka celah oknum untuk melanggar peraturan Sasi Laut, seperti mencuri

120
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 111-123

hasil saat Tutup Sasi menggunakan alat bantu kompresor dan alat lainnya. Pelemahan pengelolaan ini diatasi
masyarakat adat dengan menambah peraturan terkait sarana dan teknik panen ramah lingkungan.
Kepercayaan pemerintah pusat dan daerah kepada LSM TNC dalam mendampingi masyarakat berhasil
menciptakan peleburan pengetahuan lokal dan ilmiah yang menguatkan pengelolaan Sasi Laut mulai tahun
2010. Sebagai contoh, pertimbangan jangka waktu Tutup Sasi sebelumnya mengikuti perhitungan musim atau
kebutuhan mendesak masyarakat. Dekade terakhir, waktu Tutup dan Buka Sasi juga mempertimbangkan hasil
produksi maksimal melalui proses monitoring rutin. Pelaksanaan monitoring juga bertujuan menangkap
pelanggar/pencuri hasil, sehingga kegagalan Buka Sasi terminimalisir. Merujuk berkembangnya publikasi
media massa inisiasi TNC, perlu dipertimbangkan terbukanya pengembangan wisata dan resiko komodifikasi
budaya yang akhirnya dapat melemahkan nilai dasar pengelolaan Sasi Laut.
Pengakuan formal dari pemerintah melalui KKPD menjadi satu hal terpenting dalam menguatkan
pengelolaan, karena; 1) meminimalisir resiko pengalihan fungsi wilayah atau perampasan hak ulayat
masyarakat; 2) mendorong intervensi dukungan eksternal (TNC, pemerintah, UPT KKP) yang turut membantu
mensukseskan pengeloloaan. Uraian diatas menunjukan perubahan unsur-unsur pengelolaan berpengaruh pada
pelemahan atau penguatan pengelolaan. Tabel 3 menjelaskan dinamika pengelolaan secara komprehensif.

Tabel 3 Dinamika Pengelolaan Sasi Laut Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat,
Provinsi papua Barat.
Faktor
Momentum Perubahan Unsur Pelemahan Penguatan
Perubahan
1972 Internal Murni pengetahuan Hukum adat serta
(pembangunan • Sejarah adat. kepemimpinan
kampung) • Homogenitas mendorong Sasi
• Kepemimpinan dan
hukum adat
1976 Eksternal Otoritas tokoh agama, Sarana adat Peran dan sanksi
(Perkembangan • Kompleksitas peraturan persepuluhan, sebagian agama memperkokoh
peranan Agama) masyarakat sanksi agama ditinggalkan pengelolaan
1980 Internal Peraturan Memungkinkan Mayoritas pendatang
(Perkawinan • Kompleksitas memperbolehkan resiko menghargai dan
antar etnik dan Masyarakat (multi marga, agama dan etnik pelanggaran Sasi mematuhi Sasi Laut.
migrasi) etnik, agama dan lain memanfaatkan.
mata pencaharian)
1991 (Adms Eksternal Otoritas pemerintah Meningkatkan Dukungan
Kamp. Folley, • Dimensi regulatif kampung, peraturan alat resiko Pemerintah,
introduksi • Globalisasi dan teknik memanen. pelanggaran Sasi Penggunaan API
teknologi) (teknologi) (alat merusak) ramah lingkungan.
2001 (intervensi Eksternal Otoritas TNC, perluasan Memungkinkan Dukungan TNC
eksternal) • Intervensi pihak wilayah, peraturan keterbukaan (bantuan sarana,
TNC. waktu dan ukuran biota, wisata dan promosi, transfer IP
peningkatan komodifikasi ilmiah, minim
monitoring. budaya pelanggaran)
2006-2014 Eksternal Otoritas pihak Pengakuan hak adat
Penetapan • Dimensi regulatif berwenang, monitoring meminimalisir
KKPD dan pengakuan UPT KKP, sanksi (fisik, pengalihfungsian
formal ekonomi, formal), wilayah dan
• Intervensi pihak pengakuan hak pelanggaran Sasi
UPT KKP. Claimant. Laut.

Tabel 3 menunjukan proses perkembangan pengelolaan Sasi Laut Folley berpengaruh terhadap penguatan
dan pelamahan pengelolaan, namun praktik sosial yang melemahkan tidak berpengaruh signifikan terhadap

121
Putri FRD, Satria A, Saharuddin

hasil produksi dan dapat diorganisir melalui revitalisasi unsur-unsur pengelolaan oleh masyarakat. Hasil
penelitian menunjukan dinamika pengelolaan Sasi Laut Folley mengarah pada penguatan pengelolaan.

SIMPULAN

Pengelolaan Sasi laut Kampung Folley merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumber daya berbasis
masyarakat dan memuat enam unsur pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat, yaitu memiliki batas
wilayah yang jelas, hak kepemilikan untuk mengelola dan menentukan peruntukan wilayah, pemegang otoritas
oleh tokoh adat, peraturan yang dibuat secara mandiri, sanksi yang berlaku, serta menjalankan monitoring dan
evaluasi.
Terdapat lima periode masa yang mempengaruhi perkembangan pengelolaan Sasi Laut, terutama pada
batas wilayah, hak, peraturan dan monitoring. Faktor yang melatarbelakangi adalah faktor internal sejarah
pengelolaan Sasi dan homogenitas masyarakat Matbat, kekuatan pemimpin dan hukum adat, serta
kompleksitas identitas dan ekonomi. Faktor eksternal yaitu regulasi Kawasan Konservasi, regulasi penetapan
desa dan penyaluran program, intervensi peran stakeholders eksternal serta globalisasi melalui introduksi
teknolog dan pendidikan. Perubahan dapat diorganisir dengan baik oleh masyarakat lokal dibantu peran
multipihak, sehingga dinamika pengelolaan dapat menjadi input terhadap penguatan pengelolaan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset dan Teknologi / Badan Riset dan Inovasi
Nasional Republik Indonesia atas sumbangan dana penelitian melalui beasiswa Program Magister menuju
Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) berdasarkan Surat Keputusan Nomor 25/E/KPT/2018 dan Perjanjian
/ Kontrak Nomor 4393/IT3.11/PN/2018.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2017. [diunduh pada 2018 Juli 20].
Tersedia pada: https://www.bps.go.id/publication/2017/12/21/c2451f58814e91d71124d541/statistik-
sumber-daya-laut-dan-pesisir-2017.html.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir 2018. [diunduh pada 2018 Juli 20].
Tersedia pada: https://www.bps.go.id/publication/2018/12/07/93a0fd8885fe2ac14201e71a/statistik-
sumber-daya-laut-dan-pesisir-2018.html.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2015. Laporan Kinerja Kementrian Kelatan dan Perikanan.
[diunduh pada 2018 Juli 20]. Tersedia pada:
https://www.google.com/url?q=http://kkp.go.id/kategori/179LAKIP%20KKP&sa=U&ved=0ahUKEwj
q4L7nyNLaAhXCa7wKHdPmB_oQFggcMAE&usg=AOvVaw0DhxO29wss1dJWBKpr1LgD.
[TNC] The Nature Conservancy. 2017. Implementasi “Sasi Laut” di Kampung Folley - Raja Ampat. Indonesia
Coastal and Ocean Program Report. 17.
Alkausar A. 2011. Model Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam Masyarakat Nelayan Etnik Mandar
Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara [Tesis]. Denpasar (ID): Universitas Program Pascasarjana
Universitas Udayana Denpasar.
Berkes F. 2000. Cross-Scale Institutional Linkages: Perspectives from the Bottom Up. IASCP. Conference
Indiana University.
Bromley DW. 1992. Making The Commons Work. (Ed). San Francisco (CA): Institute for Contemporary
Studies.
Cooley FL. 1987. Mimbar dan Tahta Hubungan Lembaga-Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku
Tengah. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan.

122
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 111-123

Creswell JW. 2016. Research Design Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Fawaid A,
Pancasari RK, penerjemah. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Dahuri R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta (ID): PT
Gramedia Pustaka Utama.
Gorris P. 2016. Deconstructing the Reality of Community Based Management of Marine Resources in a Small
Island Context in Indonesia.. Front. Mar. Sci. 3 (120): 1-15.
Horowitz LS. 2015. Local Environmental Knowledge dalam The Routledge Handbook of Political Ecology.
Perreault T, Bridge G, McCarthy (ed). London (UK): Routledge.
Idrus M. 2009. Metode penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta (ID): PT. Gelora Akasara Pratama.
Khoirunisak, Satria A. 2016. Kelembagaan dan keberlanjutan eha laut dan mene’e sebagai model pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat di Desa Kakorotan, Kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan
Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. 23-37.
Mongabay. 2015. Sasi, Konservasi berbasis Kearifan Lokal di Raja Ampat. [diunduh pada 2018 Januari 11].
Tersedia pada: http://www.mongabay.co.id/2015/07/12/sasi-konservasi-berbasis-kearifan-lokal-di-raja-
ampat/.
Mongabay. 2017. Terumbu Karang di Nusantara Membaik, Namun. [diunduh pada 2018 Februari 28].
https://www.mongabay.co.id/2017/07/17/terumbu-karang-di-nusantara-membaik-namun/.
Noviana L, Arifin HS, Adrianto L, Kholil. 2019. Studi ekosistem terumbu karang di Taman Nasional
Kepulauan Seribu. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 9(2): 352-365. [Internet].
[diunduh pada 2019 November 23]. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.2.352-365.
Ostrom E, Gardner R. Walker J. 1994. Rules, Games, and Common-Pool Resources. Ann Arbor (US):
University of Michigan Press.
Ostrom E, Schlager E. 1996. The Formation of Property Rights in Hanna S, Folke C, Mäler KG. 1996. Rights
to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment
[Editor]. Washington DC (USA): Island Press.
Ostrom E. 1990. Governing the commons: the evolution of institutions for collective actions. Cambridge (US):
Cambridge University Press.
Pical VJ. 2008. Pengaruh perubahan sistim pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumber daya perikanan
berbasis masyarakat di Pedesaan Maluku. Ichthyos. 7(2): 71-78.
Ruddel K. 1999. The role of lokal management and knowledge systems in small-scale fisheries. The Journal
of Policy Studies. 7: 101-108.
Satria A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor (ID): IPB Press.
Soekanto S. 2002. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta (ID): Raja Persada.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID): Alfabeta.
Sztompka P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta (ID): Prenada Media
Wahyuningsih SM, Angggoro S, Hartoko A. 2019. Evaluasi Efektifitas Pengawasan dalam Pengelolaan
Kawasan Konservasi di Pulau Menjangan, Bali. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
9(2): 264-275.

123
Journal of Natural Resources and Environmental Management
10(1): 124-137. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.124-137
E-ISSN: 2460-5824
http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl

Keragaman genetik mimi (Carcinoscorpius rotundicauda dan Tachypleus gigas)


di perairan Demak, Madura dan Balikpapan berdasarkan penanda Random
Amplified Polymorphic DNA
Genetic diversity of horseshoe crabs (Carcinoscorpius rotundicauda and Tachypleus gigas) in
Demak, Madura and Balikpapan waters based on Random Amplified Polymorphic DNA marker

Naila K. Ainia, Ali Masharb, Hawis H. Madduppac, Yusli Wardiatnobd


a Mahasiswa Pascasarjana Prodi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor,
Kampus IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia [+62 82213739330]
b Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB

Darmaga Bogor, 16680, Indonesia


c Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga

Bogor, 16680, Indonesia


d Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Kampus

IPB Darmaga Bogor, 16680, Indonesia

Article Info: Abstract. Horseshoe crab is an exotic and protected marine organism in
Received: 12 - 03 - 2020 Indonesia and is considered as the living fossil animal in the world. IUCN
Accepted: 31 - 03 - 2020
conservation status of Carcinoscorpius rotundicauda and Tachypleus gigas is
Keywords: still Data Deficient, and in Indonesia research on genetic population is
Adaptation capability, lacking, if any. This study aims to reveal genetic diversity of C. rotundicauda
heterozygosity, Limulidae, and T. gigas populations in northern (Demak and Madura) and Balikpapan
Xiphosura
waters. This research was conducted by using molecular analysis with genetic
Corresponding Author: markers Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). The primers used in
Yusli Wardiatno this study were OPB 06, OPG 10, and OPX 03. The results showed that the
Departemen Manajemen highest polymorphism of C. rotundicauda was found in Demak (74.6667%)
Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan,
and heterozygosity was 0.2669. Furthermore, T. gigas had the highest
Institut Pertanian Bogor; polymorphism in Madura (74.3590%) and heterozygosity was 0.25551. Based
Tel. +628128608966 on pairwise comparison tests, populations of C. rotundicauda and T. gigas in
Email: Demak, Madura, and Balikpapan were significantly different (p<0.05). The
yusli@apps.ipb.ac.id difference is believed due to the limitation movement of horseshoe crabs from
and into the three locations, as well as the presence of natural geographic
barrier. Thus,it can be concluded that horseshoe crabs in northern Java and
Balikpapan waters has different genetic diversity. Genetically, horseshoe crab
in northern Java or Balikpapan had relatively moderate diversity and low
adaptation capability.

How to cite (CSE Style 8th Edition):


Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y. 2020. Studi awal pada keragaman genetik mimi (Carcinoscorpius rotundicauda dan
Tachypleus gigas) di perairan Demak, Madura dan Balikpapan berdasarkan penanda Random Amplified Polymorphic DNA.
JPSL 10(1): 124-137. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.10.1.124-137.

124
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

PENDAHULUAN
Mimi atau belangkas (horseshoe crab) merupakan salah satu hewan yang berasal dari famili
Limulidae. Mimi adalah biota perairan yang eksotik dan merupakan salah satu living fossil animal yang ada di
dunia (Eldredge dan Stanley, 1984). Hewan ini ditemukan sejak zaman Paleozolitikum periode Ordovician
dan diduga nenek moyangnya berasal dari zaman Mesozolotikum. Hingga saat ini, di dunia terdapat empat
jenis mimi. Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille, 1802), Tachypleus gigas (Müller, 1785), dan Tachypleus
tridentatus (Leach, 1819) ditemukan hidup di sekitar kawasan pantai Asia termasuk Indonesia dan biasa
disebut dengan Asian horseshoe crab. Selanjutnya, Limulus polyphemus atau biasa dikenal sebagai Atlantic
horseshoe crab hanya ditemukan di pantai Atlantik Amerika Utara (Walls et al., 2002).
Mimi adalah hewan yang dilindungi di Indonesia, namun penelitian terhadap hewan ini tidak sebanyak
hewan yang dilindungi lainnya, misalnya seperti penyu (Ismane et al., 2018) atau gajah Sumatera (Febryano
dan Rusita, 2018). Status konservasi setiap jenis mimi berbeda satu sama lain. Jenis C. rotundicauda dan T.
gigas berstatus konservasi data deficient (World Conservation Monitoring Centre 1996a). Makna dari status
tersebut adalah informasi yang ada saat ini belum memadai untuk menentukan resiko kepunahan dari kedua
jenis mimi ini. T. tridentatus mempunyai status perlindungan endangered (EN) atau terancam punah (Laurie
et al., 2019). Status konservasi T. tridentatus diperbarui pada bulan April 2019, status konservasi sebelumnya
adalah data deficient (World Conservation Monitoring Centre, 1996b). Mimi jenis L. polyphemus mempunyai
status IUCN lower risk / near threatened atau rentan (Smith et al., 2016).
Mimi mempunyai persebaran yang luas. Persebaran mimi terbagi menjadi dua wilayah yang besar
yaitu di wilayah Atlantik Utara dan Asia. Persebaran mimi di Atlantik Utara terdapat di sepanjang pantai
Atlantik dan Teluk Mexico dengan kelimpahan terbesar dapat ditemukan di antara Virginia dan New Jersey
(Shuster, 1982). Persebaran mimi di wilayah perairan Asia mulai dari India hingga Jepang termasuk sekitar
Indonesia dan Filipina (Walls et al., 2002). Persebaran mimi di perairan berkaitan dengan kondisi arus dan
fase larva (planktonik) (Shanks, 2009). Mimi dewasa cenderung akan melakukan migrasi ke pantai untuk
proses pemijahan dan meletakkan telur. Telur tersebut akan menetas setelah masa inkubasi selama kurang
lebih dua hingga empat minggu (Sekiguchi et al., 1982). Setelah menetas menjadi larva, mimi akan bergerak
menuju ke perairan terbuka untuk tumbuh dan berkembang. Larva mimi akan berenang bebas kurang lebih
selama enam hari sebelum menetap (settle) di dasar perairan. Kondisi lingkungan perairan menentukan
pergerakan larva mimi sebelum akhirnya menetap di dasar wilayah lokasi tertentu. Keterkaitan antara populasi
di lokasi satu dengan lainnya dapat diketahui melalui penanda genetik.
Penanda genetik merupakan urutan DNA yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Urutan basa nukleotida yang beragam antar spesies dapat digunakan sebagai penanda spesifik yang
memberikan pengetahuan mengenai hubungan filogenetik untuk mengatasi keraguan dalam sistematika.
Penanda genetik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) merupakan amplifikasi genom DNA
berdasarkan teknik PCR (Williams et al., 1990). Analisis ini menggunakan primer tunggal dengan panjang
urutan basa nukleotida sebanyak 10 basa. Analisis RAPD digunakan untuk melihat keragaman genetik
berdasarkan tingkat polimorfisme. Ruas penempelan dengan perbedaan panjang fragmen DNA diasumsikan
mengikuti pola pewarisan Mendel (Chauhan dan Rajiv, 2010). RAPD DNA fingerprint dapat memberikan
penjelasan secara global jumlah urutan DNA dalam suatu populasi, walaupun terbatas oleh sifat anomin dari
poliorfisme genetik yang diperoleh. Penanda RAPD mempunyai kelebihan tidak memerlukan informasi urutan
basa nukleotida untuk melakukan pembacaan (Iyengar et al., 2000; Nebauer et al., 2000). Teknik ini lebih
murah dan cepat untuk dilakukan. Kekurangan dari RAPD yaitu belum mampu membedakan antara lokus
homozigot dan heterozigot sehingga memerlukan analisis urutan basa nukleotida dengan teknik yang
beresolusi tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap keragaman genetik pada populasi mimi jenis C.
rotundicauda dan T. gigas di perairan Demak, Madura, dan Balikpapan.

125
Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y

Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan pada dua pertimbangan. Pertama pesisir Balikpapan mewakili
lokasi habitat mimi dengan kondisi ekosistem mangrove yang masih baik. Selain itu, mimi yang ditemukan di
Balikpapan mempunyai ukuran yang lebih besar (Hery Seputro dari Dinas Pangan Pertanian dan Perikanan
Kota Balikpapan, komunikasi pribadi 2019). Mangrove di Balikpapan terdapat di Kelurahan Teritip dengan
luasan ± 61.35 ha (Noor dan Helminuddin, 2009). Mimi yang ditemukan sekitar pesisir utara Jawa mempunyai
ukuran yang lebih kecil jika dibandingkan dengan mimi yang berasal dari pesisir Balikpapan (Mashar et al.,
2017). Kedua, sebagai pembanding dipilih lokasi pesisir utara Jawa khususnya Demak dan Madura sebagai
ekosistem dengan kondisi sudah banyak terjadi kerusakan (Faturrohmah dan Majuki, 2017), tetapi masih
terdapat ekosistem mangrove walaupun tidak sebaik di Balikpapan. Luasan mangrove di Demak (daerah
Betahwalang) mencapai 37.41 ha (Faturrohmah, 2017) sedangkan di Madura (daerah Kalianget, Sumenep)
adalah 39.4 ha (Muhsoni et al., 2011). Selain itu tekanan penangkapan terhadap sumberdaya mimi di kedua
daerah tersebut cukup tinggi.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Desember 2019 di Laboratorium Biologi Molekuler,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Pengambilan sampel dilakukan di tiga lokasi yaitu Demak (daerah Betahwalang), Madura (daerah
Kalianget, Sumenep), dan Balikpapan (Gambar 1).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian yang memperlihatkan titik pengambilan contoh kedua jenis mimi (bulatan
merah), yakni C. rotundicauda dan T. gigas.

Metode Pengumpulan Data


Pengambilan contoh dilakukan dengan menggunakan teknik acak sederhana. Contoh mimi didapatkan
dari jaring yang dijalankan oleh kapal nelayan atau diambil menggunakan tangan secara langsung. Contoh
yang diambil adalah mimi jenis C. rotundicauda dan T. gigas. Dilakukan pengukuran mimi contoh yang
didapatkan dalam kondisi hidup diambil darahnya masing-masing sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan ke
dalam tube berukuran 2 mL yang telah berisi alkohol absolute (100%) sebanyak 1 mL (Dillon et al., 1996;
Quicke et al., 1999).

126
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

Ekstraksi DNA
Sampel darah yang berasal dari Demak, Madura, dan Balikpapan akan diisolasi dan diekstraksi, tetapi
sebelumnya dilakukan pencucian terlebih terlebih dahulu untuk menghilangkan kandungan alkohol yang
digunakan sebagai pengawetnya. Tahap pencucian dilakukan dengan menggunakan akuades. Sampel darah
sebanyak 400-500 µL dipindahkan kedalam microtube 1.5 ml kemudian disentrifius selama 1.5 menit dengan
kecepatan 14000 rpm. Supernatan dihilangkan dan setiap tube diisi dengan akuades sebanyak 400 µL dan
disentrifius. Pencucian dilakukan sebanyak tiga kali. Setelah itu dilakukan isolasi dan diekstraksi untuk
memperoleh total genom sesuai dengan arahan protokol GeneAID Kit.

Amplifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) dengan metode RAPD


Screening 13 jenis primer dilakukan sebagai tahap awal dalam analisis RAPD. Primer yang dipilih untuk
analisis adalah primer yang mampu menghasilkan pitapolimorfik. Hasil pengujian tahap awal primer yang
menghasilkan pita tersebut diantaranya adalah OPB 06, OPG 10, dan OPX 03. PCR dilakukan dengan
menggunakan thermocyler gradient (AB) dengan tujuan pengaturan suhu annealing dapat dilakukan sesuai
dengan temperature melting (TM) masing-masing primer. Komponen bahan yang diginakan dalah PCR terdiri
atas 12.5 µL Dream Taq Master Mix 2x (Thermo Scientific, USA), 1 µL primer RAPD, 3 µL DNA, dan
ditambahkan free water sampai dengan total volume 25 µL. Tahapan PCR yang dilakukan diataranya
denaturasi awal pada suhu 94ºC selama dua menit, denaturasi 94ºC selama satu menit, annealing dilakukan
sesuai dengan TM masing-masing primer (OPB 06 39.8ºC, OPG 10 41.2ºC, OPX 03 41.8ºC) selama satu
menit, dan elongasi 72ºC selama dua menit, dan post elongasi 72ºC selama satu menit (modifikasi dari
Williams et al., 1990).

Elektroforesis dan Visualisasi


Produk PCR kemudian dielekroforesis. Produk tersebut dimasukkan kedalam sumur pada gel agarose
1.5% sebanyak 6 µL (sudah termasuk dye) (modifikasi dari Williams et al., 1990). Media yang digunakan
adalah larutan 1x TBE (Tris Borate EDTA) (Lee dan Cowman 1994). Elektroforesis dilakukan bersama dengan
marker 100 bp pada tegangan listrik sebesar 100 volt selama 60 menit menggunakan PowerPac Basic (Bio-
Rad). Visualisasi dilakukan dengan menggunakan bantuan sinar UV (Gel documentation –UV transiluminator
Alphalmager).

Metode Analisis Data


Scoring kemunculan fragmen DNA dilakukan pada hasil elektroforesis yang telah diperoleh. Kemunculan
fragmen tersebut akan bergantung pada berat molekul yang dihasilkan. Prediksi berat molekul produk
amplifikasi dilakukan dengan menggunakan bantuan software AlphaView SA. Scoring dilakukan dengan cara
memberikan nilai 1 untuk fragmen DNA yang mucul dan nilai 2 untuk fragmen DNA yang tidak muncul
(mengubah menjadi data biner). Hasil scoring yang berupa data biner dianalisis dengan menggunakan software
TFPGA (Tools for Population Genetic Analyses). Software tersebut digunakan untuk menentukan nilai derajat
polimorfisme, heterozigositas, serta jarak genetik. Pembuatan dendrogram digunakan untuk melihat
pengelompokan hirarki mimi yang berada di Demak, Madura, dan Balikpapan serta koefisien nilai 𝐹𝑆𝑇
digunakan untuk melihat kemampuan migrasi individu. Kedua analisis tersebut dilakukan berdasarkan
UPGMA (Unweighted Pair Group Arthimatic Average) (Miller, 1997).

127
Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Hasil amplifikasi menggunakan primer OPB 06, OPX 03, dan OPG 10 pada 70 contoh mimi yang terdiri
atas 30 individu C. rotundicauda dari ketiga lokasi penelitian masing-masing 10 individu (Demak, Madura,
dan Balikpapan), 30 individu T. gigas juga dari lokasi yang sama (Gambar 2).

Carcinoscorpius rotundicauda

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa setiap primer memiliki profil jumlah fragmen yang berbeda
karena memiliki daerah penempelan yang berbeda-beda disetiap individu. Total jumlah lokus yang muncul
dengan menggunakan tiga jenis primer (OPB 06, OPG 10, OPX 03) pada jenis C. rotundicauda di tiga lokasi
adalah 75 lokus (Tabel 1). Jumlah lokus paling banyak berada pada primer OPG10 sebanyak 29 lokus,
sedangkan jumlah paling sedikit pada primer OPB 06 sebanyak 19 lokus. Jumlah kisaran fragmen yang paling
banyak ditemukan pada populasi C. rotundicauda di Balikpapan, sedangkan jumlah kisaran fragmen yang
paling sedikit ditemukan di populasi Madura.
Hasil analisis ukuran fragmen pada jenis C. rotundicauda di masing-masing lokasi berbeda satu sama
lain. Ukuran fragmen C. rotundicauda paling panjang diantara ketiga lokasi tersebut terdapat di Balikpapan
dengan kisaran 200 hingga 2900 pb. Kisaran ukuran terpanjang C. rotundicauda di Balikpapan pada primer
OPG 10 dan terpendek pada primer OPB 06. Kisaran ukuran fragmen C. rotundicauda di Madura paling rendah
dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu pada kisaran ukuran 200 hingga 2400 pb. Pajang fragmen dengan
ukuran terpanjang terdapat pada primer OPX 03 dan terpendek pada OPG 10. Ukuran fragmen C. rotundicauda
di Demak berkisar antara 200 hingga 2500 pb, dengan ukuran terpanjang pada primer OPX 03 yaitu 400-2400
pb dan ukuran terpendek 200-1500 pb (Tabel 1).
Variasi keragaman genetik berdasarkan derajat polimorfisme dan heterozigositas C. rotundicauda di
Demak, Madura, dan Balikpapan terdapat di Tabel 2. Berdasarkan hasil analisis, derajat polimorfisme tertinggi
pada C. rotundicauda terdapat di Demak dengan nilai persentase sebesar 74.6667%. Keragaman genetik
terendah berdasarkan nilai derajat polimorfisme terdapat pada C. rotundicauda di Madura dengan nilai sebesar
58.6667%. Selain derajat polimorfisme terdapat nilai heterozigositas yang dapat menggambarkan keragaman
genetik. Nilai heterozigositas tertinggi pada C. rotundicauda terdapat di Demak sedangkan nilai
heterozigositas terendah terdapat di Balikpapan yaitu 0.2669 dan 0.1885. Sementara itu, nilai derajat
polimorfisme antar populasi di ketiga lokasi tersebut adalah 76% dengan nilai heterozigositas 0.2678.
Hasil uji FST berpasangan ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa
antara ketiga populasi C. rotundicauda di Demak, Madura, dan Balikpapan pada ketiga spesies mempunyai
karakter genotype yang berbeda secara signifikan satu sama lain (p<0.05). Perbedaan terjauh terdapat di antara
Madura dan Balikpapan sedangkan perbedaan terdekat derdapat diantara Demak dan Madura.

Tachypleus gigas
Berdasarkan hasil analisis RAPD diperoleh bahwa setiap jenis primer yang digunakan menampilkan
jumlah dan ukuran fragmen yang disetiap individu. Jumlah lokus yang diperoleh dengan menggunakan primer
OPB 06, OPG 10, OPX 03 pada jenis T. gigas di tiga lokasi adalah 78 lokus (Tabel 5). Jumlah lokus paling
banyak berada pada primer OPG10 sebanyak 32 lokus, sedangkan jumlah paling sedikit pada primer OPB 06
sebanyak 19 lokus. Jumlah kisaran fragmen T. gigas di masing-masing lokasi hampir sama yaitu Demak
sebanyak 2 hingga15, Madura 2 hingga16, dan Balikpapan 3 hingga14.
Jarak genetik yang diperoleh digambarkan dengan menggunakan dendogram (Gambar 3). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa jarak genetik C. rotundicauda di Demak dan Madura lebih dekat dibandingkan dengan
Balikpapan yaitu (Tabel 4). Jarak genetik terjauh C. rotundicauda terdapat di antara Madura dan Balikpapan
yaitu 0.3604.
128
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

Gambar 2 Sebagian dari hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPB 06, OPX 03, dan OPG 10 pada
C. rotundicauda dan T. gigas.
Tabel 1 Kisaran jumlah fragmen pada populasi C. rotundicauda yang diambil dari perairan utara Jawa
(Demak dan Madura) dan Balikpapan.
Kisaran Jumlah Fragmen Kisaran Ukuran Fragmen (pb) Jumlah
lokus per
Demak Madura Balikpapan Demak Madura Balikpapan
primer
OPB 06 0-12 5-12 7-12 300-1500 300-1800 300-1700 19
OPG 10 0-16 3-11 6-11 200-2500 200-1500 200-2900 29
OPX 03 0-14 1-12 5-12 450-2400 400-2400 450-2800 27
Total 0-16 3-12 5-12 200-2500 200-2400 200-2900 75

129
Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y

Tabel 2 Heterozigositas dan polimorfisme pada populasi C. rotundicauda yang diambil dari perairan utara
Jawa (Demak dan Madura) dan Balikpapan.
Heterozigositas Polimorfisme (%)
Demak 0.2669 74.6667
Madura 0.1921 58.6667
Balikpapan 0.1885 64
Antar populasi 0.2678 76

Tabel 3 Nilai FST populasi C. rotundicauda yang diambil dari perairan utara Jawa (Demak dan Madura) dan
Balikpapan
Demak Madura Balikpapan
Demak -
Madura 0.0004 -
Balikpapan 0.0001 0.0000 -

Tabel 4 Jarak genetik pada populasi C. rotundicauda yang diambil dari perairan utara Jawa (Demak dan
Madura) dan Balikpapan
Demak Madura Balikpapan
Demak -
Madura 0.2874 -
Balikpapan 0.2963 0.3604 -

Gambar 3 Visualisasi jarak genetik pada populasi C. rotundicauda yang diambil dari perairan utara Jawa
(Demak dan Madura) dan Balikpapan

Hasil analisis ukuran fragmen pada jenis T. gigas di setiap lokasi penelitian berbeda satu sama lain.
Ukuran fragmen T. gigas di Balikpapan lebih panjang dibanding dengan lokasi lainnya yaitu kisaran 400
hingga 3000 pb. Kisaran ukuran terpanjang T. gigas di Balikpapan terdapat pada primer OPG 10 dan terpendek
pada primer OPB 06. Berbeda halnya dengan T. gigas Demak yang mempunyai kisaran ukuran fragmen lebih
rendah dibandingkan dengan lokasi lainnya yaitu 200 hingga 2500 pb. Populasi T. gigas di Demak ini
mempunyai kirasan ukuran fragmen terpanjang terdapat pada primer OPX 03 dan terpendek pada OPG 10
(Tabel 5).

130
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

Hasil analisis RAPD pada T. gigas di Demak, Madura, dan Balikpapan menunjukkan derajat
polimorfisme dan nilai heterozigositas yang berbeda-beda (Tabel 6). Derajat polimorfisme tertinggi pada jenis
T. gigas terdapat di Madura dengan nilai persentase sebesar 74.3590%. Keragaman genetik terendahnya
terdapat di Demak dengan nilai persentase sebesar 51.2821%. Selain derajat polimorfisme terdapat nilai
heterozigositas. Nilai heterozigositas tertinggi pada T. gigas terdapat di Madura sedangkan nilai
heterozigositas terendah terdapat di Balikpapan yaitu 0.2551 dan 0.1864. Sementara itu, nilai derajat
polimorfisme antar populasi di ketiga lokasi tersebut adalah 89.7436% dengan nilai heterozigositas 0.2938.
Uji FST berpasangan dilakukan untuk mengetahui kemampuan migrasi suatu individu. Berdasarkan hasil
yang diperoleh pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ketiga populasi T. gigas di Demak, Madura, dan Balikpapan
berbeda secara signifikan (p<0.05). hal tersebut mengartikan bahwa pola perpindahan T. gigas dari satu lokasi
ke lokasi lainnya cenderung rendah. Selain itu, hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa populasi T.
gigas di ketiga lokasi mempunyai karakter genotype yang berbeda satu sama lain.
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai jarak genetik yang menunjukkan bahwa jarak genetik T. gigas
di Demak dan Madura lebih dekat dibandingkan dengan T. gigas Balikpapan yaitu 0.3232 (Gambar 4). Jarak
genetik terjauh T. gigas terdapat di antara Demak dan Balikpapan yaitu 0.4631 (Tabel 8).

Tabel 5 Kisaran jumlah fragmen pada populasi T. gigas yang diambil dari perairan utara Jawa (Demak dan
Madura) dan Balikpapan
Kisaran Jumlah Fragmen Kisaran Ukuran Fragmen (pb) Jumlah
lokus per
Demak Madura Balikpapan Demak Madura Balikpapan
primer
OPB 06 2-9 2-11 11-14 400-1900 400-1900 400-1600 19
OPG 10 12-15 6-16 8-14 200-2100 300-2900 400-2900 32
OPX 03 4-13 7-13 3-9 300-2500 300-2500 650-3000 27
Total 2-15 2-16 3-14 200-2500 300-2900 400-3000 78
Tabel 6 Heterozigositas dan polimorfisme pada populasi T. gigas yang diambil dari perairan utara Jawa
(Demak dan Madura) dan Balikpapan
Heterozigositas Polimorfisme (%)
Demak 0.1950 51.2821
Madura 0.2551 74.3590
Balikpapan 0.1864 52.5641
Antar populasi 0.2938 89.7436
Tabel 7 Nilai FST pada populasi T. gigas yang diambil dari perairan utara Jawa (Demak dan Madura) dan
Balikpapan
Demak Madura Balikpapan
Demak -
Madura 0.0000 -
Balikpapan 0.0000 0.0000 -

Tabel 8 Jarak genetik pada populasi T. gigas yang diambil dari perairan utara Jawa (Demak dan Madura) dan
Balikpapan
Demak Madura Balikpapan
Demak -
Madura 0.3232 -
Balikpapan 0.4631 0.3847 -

131
Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y

Gambar 4 Visualisasi jarak genetik pada populasi T. gigas yang diambil dari perairan utara Jawa (Demak dan
Madura) dan Balikpapan

Pembahasan

Ukuran mimi yang ditemukan di Balikpapan cenderung lebih besar (Hery Seputro dari Dinas Pangan
Pertanian dan Perikanan Kota Balikpapan, komunikasi pribadi 2019) diantaranya karena tekanan tangkapan
mimi di Balikpapan lebih rendah. Hal tersebut dikarenakan mimi di Ballikpapan cenderung tidak dikonsumsi
oleh masyarakat setempat. Kondisi mangrove di Balikpapan lebih luas dibandingkan dengan Demak (daerah
Betahwalang) dan Madura (daerah Kalianget). Berbeda halnya dengan di Demak dan Madura, mimi di kedua
daerah tersebut masih dikonsumsi oleh masyarakat khususnya betina yang bertelur (komunikasi pribadi 2019
dengan nelayan Betahwalang, Kabupaten Demak dan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Madura). Ancaman
keberadaan mimi menjadi serius dengan adanya budaya festival dugderan di Kendal, Jawa Tengah. Telur mimi
di festival tersebut menjadi menu makanan yang sangat diminati, sehingga permintaan mimi betina bertelur
menjadi meningkat. Tidak hanya di Indonesia, mimi betina bertelur juga menjadi salah satu menu makanan
eksklusif di beberapa restoran mahal di Thailand dan Malaysia (Christianus dan Saad, 2007). Hal lain yang
menjadi ancaman mimi adalah perlakuan nelayan terhadap mimi. Sebagian besar nelayan menyatakan bahwa
mimi adalah hama yang bersifat merusak jaring nelayan apabila tertangkap, sehingga cenderung melakukan
pelepasan paksa dari jaring. Selain itu, mimi juga dimanfaatkan secara komersil sebagai umpan penangkapan
ikan sidat (Anguilla rostrata) (Kreamer dan Michels 2009), di Jambi (Kuala Tungkal) digunakan sebagai
umpan ikan sembilang (Euristhmus microceps) (Rubiyanto 2012) dan beberapa juga di impor ke Amerika utara
untuk digunakan sebagai umpan penangkapan (Smith et al. 2016).
Analisis kisaran ukuran dan jumlah fragmen yang menempel pada setiap induvidu berdasarkan primer
masing-masing cenderung berbeda. Pemilihan primer dalam analisis RAPD berpengaruh karena setiap primer
mempunyai situs penempelannya masing-masing. Hal tersebut mengakibatkan adanya perbedaan kemunculan
pita polimorfik yang dihasilkan. Keberhasilan suatu primer dalam mengamplifikasi DNA template ditentukan
oleh ada tidaknya kesamaan (homologi) antara sekuen nukleotida primer dan sekuen nukleotida DNA
template. Hal lain yang juga dapat mempengaruhi perbedaan tersebut diantaranya suhu annealing, enzim Taq
DNA polimerase, dan kualitas serta kuantitas DNA (Panner et al., 1999). Kontaminasi adanya senyawa lain
saat ekstraksi juga dapat menurunkan kualitas pita dan konsentrasi DNA sehingga mempengaruhi kemunculan
pita menjadi tidak jelas (Wedden et al., 1992). Sebelum melakukan analisis RAPD sebaiknya melakukan
proses screening primer terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh primer yang
sesuai untuk dapat menghasilkan pita polimorfik.

132
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

Keragaman genetik penelitian ini didasarkan derajat polimorfisme dan heterozigositas. Polimorfisme
merupakan ukuran keragaman genetik berdasarkan proporsi lokus polimorf terhadap total lokus yang
teridentifikasi, sedangkan heterozigositas adalah ukuran keragaman genetik berdasarkan proporsi jumlah
individu heterozigot dalam populasi (Soewardi, 2007). Keragaman genetik C. rotundicauda berdasarkan
derajat polimorfisme di Demak, Madura, dan Balikpapan masih tegolong sedang, namun dari ketiga lokasi
tersebut C. rotundicauda di Demak mempunyai keragaman tertinggi. Hal tersebut juga didukung dengan nilai
heterozigositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Berbeda halnya dengan T. gigas
keragaman tertinggi terdapat di Madura dengan nilai derajat polimorfisme dan heterozigositas masing-masing
adalah 74.3590% dan 0.2551. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan polimorfisme T. gigas di
Cherating, Malaysia yaitu 83.33%, akan tetapi nilai tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan T. gigas
yang berasal dari Tanjung Dawai, Malaysia yaitu sebesar 44.44% (Ismail et al., 2011).
Perbedaan nilai derajat polimorfisme terjadi karena perbedaan variasi genetik intrapopulasi dan pola
diferensiasi populasi dalam penanda genetik seperti allozymes, DNA mitokondria, dan mikrosatelit (Selander
et al., 1970; Saunders et al., 1986; King et al., 2005). Penelitian Primer RAPD pada dasarnya didesain untuk
mendeteksi polimorfisme yang disebabkan oleh adanya mutasi poin (Smith, 2005). Kemunculan pita
polimorfisme pada penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat bentuk mutasi insersi dan delesi yang terjadi
saat amplifikasi (Clark dan Lanigan, 1993). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai derajat polimorfime
intrapopulasi dan interpopulasi pada spesies C. rotundicauda dan T. gigas masih tergolong sedang.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai heterozigositas C. rotundicauda dan T. gigas intrapopulasi tergolong
rendah dan cenderung homogen. Penurunan heterozigositas suatu populasi dapat menghilangkan keberadaan
alel potensial, misal yang berkaitan dengan ketahanan terhadap penyakit, timbulnya abnormalitas, serta
gangguan pertumbuhan (Slamat, 2009). Nilai heterozigositas dalam keragaman genetik menunjukkan tingkat
potensi adaptasi terhadap lingkungan. Semakin rendah nilai heterozigositas maka semakin sedikit gen yang
terlibat dalam menyumbangkan tingkat kebugaran suatu populasi yang artinya spesies tersebut mempunyai
kemampuan adaptasi yang lemah (Tave, 1993). Secara umum, rendahnya keragaman genetik intrapopulasi
akan memberikan efek terhadap rendahnya daya adaptasi suatu spesies dalam populasi untuk mempertahankan
kelangsungan hidup jangka panjang (Schemske et al., 1994).
Uji perbandingan berpasangan (FST) digunakan untuk melihat keterkaitan antara populasi. Hasil
pengukuran keragaman antar populasi berdasarkan pada uji FST menunjukkan bahwa populasi C. rotundicauda
dan T. gigas di Demak, Madura, dan Balikpapan berbeda secara signifikan (p<0.05). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa ketiga populasi C. rotundicauda dan T. gigas berasal dari stok dengan keragaman alel
terfiksasi yang berbeda antar populasinya. Selain itu, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa aliran gen (gene
flow) yang terjadi antara ketiga populasi tersebut cenderung rendah. Perbedaan populasi tersebut diduga karena
kemampuan mimi dalam melakukan perpindahan (movement) dari lokasi satu ke lokasi lainnya cenderung
terbatas. King et al. (2005) menjelaskan bahwa secara genetik bahwa pergerakan mimi terbatas di beberapa
bagian dari wilayah jelajahnya. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Moore dan Perrin (2007) terkait
dengan penggunaan ruang dan pola pergerakan mimi (L. polyphemus) berdasarkan musim. Penelitian lain yang
mendukung keterbatasan wilayah jelajah mimi pernah dilakukan di Taiwan untuk jenis T. tridentatus.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa antar populasi terjadi aliran gen pada jarak 15 km dimana jarak tersebut
dianggap sebagai jarak pendek antara dua populasi, aliran gen tidak ditemukan di antara dua populasi ketika
jarak geografisnya melebihi 150 km (Yang et al., 2007). Jarak maksimum yang tercatat pada penelitian terkait
pola pergerakan dan perpindahan L. polyphemus di teluk Great, New Hampshire (AS) adalah 9,2 km (Schaller
et al., 2010). Studi populasi yang dilakukan di perairan Atlantik Utara mulai dari New York hingga teluk
Delaware dan Chesapeake mencatat sebanyak 14 individu mimi yang melakukan pergerakan atau perpindahan
pada kisaran jarak 104 - 265 km (Swan, 2005). Grogan (2004) berhasil mengungkap bahwa mimi mempunyai
jarak perpindahan maksimum yang berbeda antara jantan dan betina. Mimi betina mampu menempuh jarak
hingga 493.74 km sedangkan mimi jantan hanya mampu menempuh jarak maksimum 363.7 km. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa mimi betina mempunyai wilayah jelajah yang lebih luas dibandingkan dengan
133
Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y

mimi jantan. Hal tersebut menjelaskan bahwa tidak cukup hanya jarak geografis yang menjadi pembatas antar
populasi, akan tetapi terdapat faktor lain yang juga berperan penting salah satunya adalah adanya natural
barriers (Pierce et al., 2000; Grogan, 2004).
Jarak genetik populasi mimi jenis C. rotundicauda dan T. gigas di ketiga lokasi penelitian terlihat bahwa
hubungan kekerabatan mimi di Demak dan Madura lebih dekat dibandingkan dengan mimi yang berada di
Balikpapan. Hal tersebut dapat terjadi karena mimi di Demak dan Madura masih berada dalam wilayah yang
sama yaitu pantai utara Jawa. Berdasarkan siklus hidupnya, mimi dewasa cenderung berdiam di dasar dan
melakukan perpindahan ke daerah pantai untuk melakukan proses reproduksi (Sekiguchi, 1988). Larva mimi
jenis L. polyphemus cenderung akan bersifat planktonik selama periode waktu yang singkat sebelum akhirnya
menerap didasar perairan (Shuster, 1982). Berbeda halnya dengan T. tridentatus, larva jenis ini setelah menetas
akan mendiami daerah yang dekat dengan tempat menetasnya (natal beach) (Sekiguchi, 1988; Chen et al.,
2004). Pada dasarnya mimi mempunyai wilayah jelajah yang terbatas (Pierce et al., 2000) terlebih untuk jenis
C. rotundicauda yang habitatnya di mangrove, akan tetapi di daerah utara Jawa mimi menjadi salah satu
komoditas makanan yang populer, sehingga terdapat kemungkinan adanya intervensi serta peran manusia
(Chiu dan Morton, 1999).

KESIMPULAN
Mimi (C. rotundicauda dan T. gigas) di perairan Demak, Madura, dan Balikpapan berasal dari satu nenek
moyang yang sama. Persentase nilai keragaman genetik cenderung sedang dan beresiko mengarah ke rendah.
Kedua jenis spesies tersebut di masing-masing lokasi berpeluang membentuk spesies yang berbeda
berdasarkan rendahnya tingkat adaptasi. Prediksi populasi mimi di Demak, Madura, dan Balikpapan
kedepannya akan cenderung homogen secara genetik.

UCAPAN TERIMA KASIH


Penelitian ini didanai oleh Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPO-
LIPI) melalui Demand-Driven Research Fund (DDRF) No. B-5063/IPK.2/KS.02/III/2019 untuk YW dan IPB
melalui skema PMDSU No. 6623/IT3.L1/PN/2019 ke YW (mengikuti kontrak antara Universitas IPB dan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 261/SP2H/LT/DRPM/ 2019). Para penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada mereka yang membantu dalam pengumpulan sampel dan pekerjaan
laboratorium: Heri Seputro, Rani Nuraisah, Agus Alim Hakim, dan Ananingtyas Septia Darmarini.

DAFTAR PUSTAKA
Chauhan T, Rajiv K. 2010. Molecular markers and their applications in fisheries and aquaculture. Advances in
Bioscience and Biotechnology. 1: 281-291.
Chen C-P, Yeh H-Y, Lin P-F. 2004. Conservation of horseshoe crabs in Kinmen, Taiwan: strategies and
practices. Biodiversity and Conservation. 13: 1889–1904.
Chiu HMC, Morton B. 1999. The distribution of horseshoe crabs Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius
rotundicauda in Hong Kong. Asian Marine Biology. 16:185-196.
Christianus A, Saad CR. 2007. Horseshoe crabs in Malaysia and the world. Fishery Mail. 16: 8-9.
Clark AG, Lanigan CMS. 1993. Prospects for estimating nucleotide divergence with RAPDs. Molecular and
Biological Evolution. 10: 1096-1111.
Dillion N, Austin AD, Bartowsky E. 1996. Comparison of preservation techniques for DNA extraction from
hymenopterous insects. Insect Molecular Biology. 5(1): 21-24.
Eldredge N, Stanley SM. 1984. Living Fossils. Berlin (BE): Springer.

134
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

Faturrohmah S, Marjuki B. 2017. Identifikasi dinamika spasial sumberdaya mangrove di wilayah pesisir
Kabupaten Demak Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia. 31(1): 56-64.
Febryano IG, Rusita. 2018. Persepsi wisatawan dalam pengembangan wisata pendidikan berbasis konservasi
gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. 8(3): 376-382.
Grogan WN. 2004. A mid-Atlantic study of the movement patterns and population distribution of the American
horseshoe crab, L. Polyphemus. [master thesis]. Virginia (USA): Virginia Polytechnic Institute dan
State University.
Ismail N, Taib M, Shamsuddin AA, Shazani S. 2011. Genetic variability of wild horseshoe crab, Tachypleus
gigas (MÜller) in Tanjung Dawai, Kedah and Cherating, Pahang, Peninsular Malaysia. European
Journal of Scientific Research. 60 (4): 592-601.
Ismane MA, Kusmana C, Gunawan A, Affandi R, Suwardi S. 2018. Keberlanjutan pengelolaan kawasan
konservasi penyu di pantai Pangumbahan, Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya
Alam dan Lingkungan. 8(1): 36-43.
Iyengar A, Piyapattanakorn S, Stone DM, Heipel DA, Howell BR, Baynes SM, Maclean N. 2000.
Identification of microsatellite repeats in turbot (Scophthalmus maximus) and dover sole (Solea solea)
using RAPDbased technique: characterization of microsatellite markers in dover sole. Marine
Biotechnology. 2: 49-56.
King TL, Eackles MS, Spidle AP, Brockmann HJ. 2005. Regional differentiation and sex-biased dispersal
among populations of the horseshoe crab Limulus polyphemus. Transactions of the American Fisheries
Society. 134: 441-465.
Kreamer G, Michels S. 2009. History of horseshoe crab harvest on Delaware Bay. Di dalam: Biology and
conservation of horseshoe crabs. Tanacredi JT, Botton ML, Smith DR, editor. New York (NY):
Springer. hlm 299–313.
Laurie K, Chen CP, Cheung SG, Do V, Hsieh H, John A., Mohamad F, Seino S, Nishida S, Shin P, Yang M.
Tachypleus tridentatus (errata version published in 2019). The IUCN Red List of Threatened
Species 2019 [Internet]. 2019 [cited 2020 Jan 18]. Available from:
https://www.iucnredlist.org/species/21309/149768986.
Leary RF, Allendrof FW, Knudsen KL. 1985. Development instability and high meristic counts in interspecific
hybrid of salmonid fishes. Evolution. 39: 318-326.
Mashar A, Butet NA, Juliandi B, Qonita Y, AA Hakim, Wardiatno Y. 2017. Biodiversity and distribution of
horseshoe crabs in northern coast of Java and southern coast of Madura. IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science. 54: 012076.
Meilana L, Wardiatno Y, Butet NA, Krisanti M. 2016. Karakter morfologi dan identifikasi molekuler
dengan marka gen CO1 pada mimi (Tachypleus gigas) di Perairan Utara Jawa. Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis. 8: 145-158.
Miller MP. 1997. Tools for population genetic analysis (TFPGA) 1.3: A windows program for the analysis of
allozyme and molecular population genetic data. Software didistribusikan oleh penulis. Tersedia di:
http://www.marksgeneticsoftware.net/.
Moore S, Perrin S. 2007. Seasonal Movement and Resource-Use Patterns of Resident Horseshoe Crab
(Limulus polyphemus) Populations in a Maine, USA Estuary. Estuaries and Coasts. 30 (6): 1016–1026.
Muhsoni FF, Syarief M, Effendi M. 2011. Inventarisasi data potensi sumberdaya wilayah pesisir Kabupaten
Sumenep. Jurnal Kelautan. 4(1): 96 - 201.
Nebauer SG, del Castillo-Agudo L, Segura J. 2000. An assesment of genetic relationships within the genus
Digitalis based on PCR-generated RAPD markers. Theoretical and Applied Genetics. 100:1209-1216.
Noor P, Helminuddin. 2009. Valuasi ekonomi pemanfaatan hutan mangrove di kelurahan Teritip kota
Balikpapan. Jurnal Kehutanan Tropika Humida. 2 (1): 69-80.

135
Aini NK, Mashar A, Maduppa HH, Wardiatno Y

Penner GA, Bush A, Wise R, Kim W, Domier L, Kasha K, Laroche A, Scoles G, Molnar SJ, fedak G. 1993.
Reproducibility of random amplified polymorphic DNA (RAPD) analysis among laboratories. PCR
Methods Applications. 2(4): 341–345. doi:10.1101/gr.2.4.341.
Pierce JC, Tan G, Gaffney PM. 2000. Delaware bay and Chesapeake bay populations of the horseshoe crab
Limulus polyphemus are genetically distinct. Estuaries. 23: 690-698.
Quicke DLJ, Belshaw R, Lopez-Vaamonde C. 1999. Preservation of hymenopteran specimens for subsequent
molecular and morphological study. Zoologica Scripta. 28(1-2): 261-267.
Rubiyanto E. 2012. Studi Populasi Mimi (Xiphosura) di Perairan Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Jambi [tesis]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Saunders NC, Kessler LG, Avise JC. 1986. Genetic variation and geographic differentiation in mitochondrial
DNA of the horseshoe crab, Limulus polyphemus. Genetics. 112(3): 613-627.Schaller YS, Chabot CC,
Watson III WH. 2010. Seasonal movements of American horseshoe crabs L. polyphemus in the Great
Bay Estuary, New Hampshire USA. Current Zoology. 56(5): 587-598.
Schaller YS, Chabot CC, Watson III WH. 2010. Seasonal movements of American horseshoe crabs L.
polyphemus in the Great Bay Estuary, New Hampshire USA. Current Zoology. 56(5): 587-598.
Schemske DW, Husband BC, Ruckelshaus MH, Goodwillie C, Parker IM, Bishop JG. 1994. Evaluating
approaches to the conservation of rare and endangered plants. Ecology. 75: 584–606
Sekiguchi K, Yamamichi Y, Costlow JD. 1982. Horseshoe crab development studies I. Normal embryonic
development of Limulus polyphemus compared with Tachypleus tridentatus. Di dalam: Boneventura J,
Bonaventura C, Tesh S, editor. Physiology and Biology of Horseshoe Crabs: Studies on Normal and
Environmentally Stressed Animals. New York (NY): Alan R. Liss, Inc. hlm 53-73.
Sekiguchi K. 1988. Biology of Horseshoe Crabs. Tokyo (JPN): Science House.
Selander RK, Yang SY, Lewontin RC, Johnson WE. 1970. Genetic variation in the horseshoe crab (Limulus
polyphemus), a phylogenetic "relic". Evolution. 24: 402-414.
Shanks AL. 2009. Pelagic larval duration and dispersal distance revisited. Biological Bulletin. 16: 373-385.
Shuster CN Jr. 1982. A pictorial review of the natural history and ecology of the horseshoe crab, Limulus
polyphemus, with reference to other limulidae. pp. 1–52. In: Physiology and Biology of Horseshoe
Crabs: Studies on Normal and Environmentally Stressed Animals. (Bonaventura JC. Bonaventura, dan
S. Tesh, Eds. New York (NY): Alan R Liss, Inc.
Slamat. 2009. Keanekaragaman genetik ikan betok (Anabas testudineus Bloch) pada ekosistem perairan rawa
di Provinsi Kalimantan Selatan [master tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Smith DR, Beekey MA, Brockmann HJ, King TL, Millard MJ, Zaldívar-Rae JA. 2016. Limulus polyphemus.
The IUCN Red List of Threatened Species 2016. e.T11987A80159830. Available online at: http://www.
iucnredlist.org/details/11987/0.
Smith JP. 2005. Random amplified polymorphic DNA (RAPD). Stock Identification Methods. 5(18): 371-388.
Soewardi K. 2007. Pengelolaan Keragaman Genetik Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Swan BL. 2005. Migrations of adult horseshoe crabs, Limulus polyphemus, in the Middle Atlantic Bight: a 17-
year tagging study. Estuaries. 29(1): 28-40.
Tave D. 1993. Genetic for fish hatchery managers. Netherland (EU): Kluwer Academic Publishers.
Walls EA, Berkson J, Smith SA. 2002. The horseshoe crab, Limulus polyphemus: 200 million years of
existence, 100 years of study. Reviews in Fisheries Science. 10(1): 39-73.
Weeden NF, Timmerman GM, Hemmat M, Kneen BE, Lodhi M.A. 1992. Inheritance and reliability of RAPD
markers. In: Applications of RAPD Technology to Plant Breeding. Joint Plant Breeding Symposia
Series, November 1, 1992, Minneapolis, MN. Crop Science Society of America, Madison, WI.
Williams JG, Kubelik AR, Lival KJ, Rafalski JA, Tingey SV. 1990. DNA polymorphisms amplified by
arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acids Research. 18: 6531-5.

136
Jurnal Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan 10(1): 124-137

World Conservation Monitoring Centre. 1996b. Tachypleus Tridentatus, The IUCN Red List of Threatened
Species [Internet]: [diunduh 28 Maret 2020] e. T21309A9267047. Tersedia pada: https://doi.org/
10.2305/ IUCN.UK.1996.RLTS.T21309A9267047.en
World Conservation Monitoring Centre. 1996a. Tachypleus gigas. The IUCN Red List of Threatened Species
[Internet]. [diunduh 18 Januari 2020]. Tersedia pada: https://www.iucnredlist.org/species/21308/
9266907.
Yang MC, Chen CA, Hsieh HL, Chen CP. 2007. Population Subdivision of the tri-spine horseshoe crab,
Tachypleus tridentatus in Taiwan Strait. Zoological Science. 24: 219-224.Yang MC, Chen CA, Hsieh
HL, Chen CP. 2007. Population Subdivision of the tri-spine horseshoe crab, Tachypleus tridentatus in
Taiwan Strait. Zoological Science. 24: 219-224.

137

You might also like