AKS4D - Makalah K5 Tasawuf
AKS4D - Makalah K5 Tasawuf
AKS4D - Makalah K5 Tasawuf
Disusun Oleh:
1. Ratna Wijayanti K.D (195221126)
2. Estri Navaranti (195221127)
3. Devy Harsanti (195221128)
AKUNTANSI SYARIAH 4D
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................4
A. Latar Belakang.................................................................................................4
B. Rumusan Masalah............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................6
A. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam.......................................................6
B. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fikih.........................................................7
C. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat......................................................9
D. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa.........................................................14
E. Persamaan dan Perbedaan antara Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat,
fiqih, dan Ilmu Jiwa...............................................................................................16
BAB PENUTUP.........................................................................................................19
A. Kesimpulan......................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf dalam kajian dan pemahaman Islam tidaklah dapat
dipisahkan dari tauhid dan fiqih itu sendiri. Artinya, Tasawuf harus senantiasa
berjalan berkelindan dengan tauhid. Begitu juga tauhid harus diletakkan pada
posisi sebagai basis dari kajian keilmuwan lainnya dan fikih sebagai bagian
integral dari kajian Islam juga harus mendapatkan tempat yang sama dalam
kajian dan pemahaman. Tasawuf adalah pencarian jalan rohani, kebersatuan
dengan kebenaran. Mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan dan sunnah.
Sementara filsafat tidak dimaksudkan hanya filsafat peripatetic yang
rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kultur Islam yang telah
berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya intelek.
Pembahasan fikih tentang thaharah ata yang lainnya, akan berbicara
diseputar syarat, rukun, yang boleh dan tidak boleh, dan seterusnya.
Pembahasan tentang hal ini akan terkesan sangat rigid (kaku), jika tidak
dibarengi dengan suasana kebatinan yang mendalam, di mana aktivitas
bersuci adalah dalam rangka membersihkan sesuatu yang kotor dari sisi
lahiriah/badaniah. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha
untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada
Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa dirasakan secara sadar dalam
kehidupan. Pentingnya kajian tasawuf dalam keilmuwan Islam, kiranya tidak
berlebihan jika diulangi penjelasan mengenai posisi tasawuf di antara tauhid
dan fiqih tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami dapat merumuskan
masalah yang akan diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam?
2. Bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqih?
3. Bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat?
4. Bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa?
5. Apa Persamaan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat, Fiqih, dan Jiwa?
C. Tujuan Penyusunan
Berdasarkan dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian
yang akan dicapai adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam.
2. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fiqih.
3. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat.
4. Untuk mengetahui bagaimana Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa.
5. Untuk mengetahui apa Persamaan Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat,
Fiqih, dan Jiwa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam adalah nama lain dari sebagian nama lain dari sebagian
ilmu yang menjadi dasar kepercayaan atau keimanan dalam Islam. Nama yang
sering disebut adalah ilmu tauhid, ilmu aqaid, ilmu ushuluddin, ilmu kalam
dan teologi Islam1. Ilmu Kalam sendiri dapat dipahami sebagai suatu kajian
ilmiah yang berupaya untuk memahami keyakinan-keyakinan keagamaan
dengan didasarkan pada argumentasi yang kokoh.2 Tasawuf secara sederhana
dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam
usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya senantiasa
dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Ibn alKhaldun pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat
bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan
tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau halhal sejenisnya yang diburu oleh
para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah
ittiba' dan iqtida' (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi. Islam sekalipun
mengajarkan tentang ketakwaan, qana'ah, keutamaan akhlak dan juga
keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban,
pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agama-
agama lainnya3.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf mempunyai fungsi
sebagai berikut4:
1. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam.
Penghayatan yang mendalam lewat hati terhadap ilmu kalam menjadikan
1
Dr. H. Jamaluddin, Dr. Shabari. “ILMU KALAM Khazanah Intelektual Pemikiran dalam Islam”
(Indragiri Hilir: Indragiri Dot Co, 2020), hlm-2.
2
Nyong Eka. “Fenomena Pemikiran Islam” (Sidoarjo:UruAnna Books, 2015), hlm-1
3
Nyong Eka. “Fenomena Pemikiran Islam” (Sidoarjo:UruAnna Books, 2015), hlm-64
4
Andi, “TASAWUF, ILMU KALAM, DAN FILSAFAT ISLAM(Suatu Tinjauan Tentang
Hubungan Ketiganya)” (Al-AdYan Vol. VII, No.2 Juli-Desember 2012) hlm-98
ilmu ini lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku. Dengan
demikian, ilmu tasawuf merupakan penyempurna ilmu kalam.
2. Sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran
yang bertentangan dengan akidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, hal itu merupakan
penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah
diriwayatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, atau belum pernah
diriwayatkan oleh ulamaulama salaf, hal itu harus ditolak.
3. Sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatanperdebatan kalam.
Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung
menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional di samping
muatan naqliyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih bebas. Di
sinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniah sehingga ilmu
kalam terkesan sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari
kesadaran penghayatan atau sentuhan hati.
B. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Fikih
Pembahasan fikih tentang thaharah ata yang lainnya, akan berbicara
diseputar syarat, rukun, yang boleh dan tidak boleh, dan seterusnya.
Pembahasan tentang hal ini akan terkesan sangat rigid (kaku), jika tidak
dibarengi dengan suasana kebatinan yang mendalam, di mana aktivitas
bersuci adalah dalam rangka membersihkan sesuatu yang kotor dari sisi
lahiriah/badaniah. Padahal ada tuntutan yang harus dilaksanakan oleh setiap
Muslim, yaitu munculnya niat untuk menghadapkan diri ke Hadirat Allah
Swt. Jika bersuci tersebut tidak dibarengi dengan niat untuk menghadapkan
diri kepada Allah Swt. Nilai bersuci hanya aktivitas pembersih lahir, yang
menurut kaidah fikih sah dan tidak berdosa, tetapi di hadapan Allah akan
terasa kosong makna. 5
5
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 96
Oleh karena itu, tasawuf akan dapat menjawab kegelisahan tersebut
dengan memberikan nuansa keruhanian untuk membangkitkan suasana batin
yang langsung dapat menyampaikannya kepada Allah Swt. Karena pada
dasarnya, dalam perspektif Islam, semuan aktivitas yang dilakukan setiap
hamba Allah Swt, adalah semata-mata untuk beribadah, dan dalam konteks
tasawuf, untuk mengabdikan diri kepada-Nya secara khusyuk, tulus, dan
ikhlas. Dengan demikian, ilmu fikih aksentuasi pembahasannya kepada hal-
hal legal-formal dan regulative praktis, namun ilmu tasawuf akan memberikan
nuansa keruhanian untuk dapat menyampaikan kepada Tuhan secara intuitif
(dzawqi). Di sinilah esensi ilmu tasawuf dalam kajian ilmu fikih.
Contoh lain, misalnya pada pembahasan tentang shalat. Menurut ilmu
fikih, shalat harus mengikuti syarat, rukun, sah, dan wajibnya. Jika ketentuan
tersebut tidak dilakukan dengan baik, shalatnya dianggap tidak sah.
Sebaliknya, jika ketentuan-ketentuan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik,
shalatnya dianggap sah. Persoalannya adalah apakah cukup shalat dengan
hanya memenuhi syarat, rukun, sah dan tidaknya shalat tersebut, sementara
tidak dibarengi dengan suasana keruhanian mendalam akan berhadapan
dengan Tuhan? Ilmu fikih tidak akan dapat menjawabnya, dan yang dapat
menyelesaikan adalah ilmu tasawuf. Sebab, tasawuf berbicara tentang
bagaimana sesorang bisa khusyuk, ikhlas, dan cara berkomunikasi dan
berkontemplasi dengan Tuhan secara baik. Di sinilah lagi-lagi kerja sama
yang baik antara ilmu fikih dan tasawuf sangat diperlukan.
Pendapat di atas kiranya telah disepakati oleh sebagian besar ulama
fikih dan tasawuf, dengan mengatakan "Barang siapa mendalami fikih, tetapi
belum bertasawuf, berarti ia fasik. Barang siapa bertasawuf, tetapi belum
mendalami fikih, berarti ia zindiq. Dan barang siapa melakukan kedua-
duanya, berarti ia melakukan kebenaran". Tasawuf dan fikih adalah dua
disiplin ilmu yang saling mengisi dan menyempurnakan. Jika terjadi
pertentangan antara keduanya, berarti di situ terjadi kesalahan dan
penyimpangan. 6 Maksudnya, boleh jadi seorang sufi berjalan tanpa fikih, atau
seorang ahli tidak mengamalkan ilmunya. Jadi, seorang ahli sufi harus
bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fikih. Tegasnya,
seorang fikih hars mengetahi hal-hal yang berhubungan dengan hukum dan
yang berkaitan dengan tata cara pengalamannya. Seorang sufi pun harus
mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus mengamalkannya sesuai
dengan ketentuan tasawuf.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf dengan fikih harus
senantiasa berjalan bergandeng bersama. Status seorang sufi tidak akan
menjadi sempurna jika dalam proses perjalanannya mengabaikan fikih.7
Demikian juga sebaliknya, status seorang faqih (ahli fikih) tidak akan
sempurna dalam pengamalan dan pengalaman ke-fikih-annya, jika dia tidak
menghiasinya dengan pengamalan dan pengalaman tasawuf. Oleh karena itu,
seorang Mslim sejati adalah seorang yang melekat pada dirinya sebagai
seorang faqih dan juga sufi.
C. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Filsafat
Banyak pendapat bahwa tasawuf dan filsafat tidak bisa dipertemukan.
Ada juga anggapan bahwa pencarian jalan tasawuf mengharuskan menjauhi
filsafat, tidak hanya berupa timbal balik dan saling memengaruhi, bahkan
asimilasi (perpaduan) dan hubungan ini sama sekali tidak terbatas pada
kebencian dan permusuhan. Tasawuf adalah pencarian jalan rohani,
kebersatuan dengan kebenaran. Mutlak dan pengetahuan mistik menurut jalan
dan sunnah. Sementara filsafat tidak dimaksudkan hanya filsafat peripatetic 8
yang rasionalistik, tetapi seluruh mazhab intelektual dalam kltur Islam yang
6
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 97.
7
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 98.
8
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 92.
telah berusaha mencapai pengetahuan mengenai sebab awal melalui daya
intelek. Filsafat terdiri dari filsafat diskursif (bahtsi) maupun intelek intitif
(dzawqi).
Oleh karena itu, kedua hal di atas tasawf dan filsafat sebenarnya dapat
dipertemkan saling mengisi dan memengaruhi. Sebab, sepanjang sejarah
kajian filsafat Islam dan tasawuf, telah banyak ditemukan persinggungan dua
kutub tadi-filsafat dan tasawuf. Bentuk-bentuk hubungan tersebut misalnya
dapat dilihat sebagai berikut. 9
1. Bentuk hubungan yang paling luas antara tasawuf dan filsafat tentu saja
adalah pertentangan satu sama lain, sebagaimana tampak dalam karya-
karya Al-Ghazali bersaudara, Abu Hamid, dan Ahmad. Juga penyair sufi
besar seperti Sana'i, Fariduddin Athar, dan Jalaluddin Rumi. Kelompok
sufi terakhir memang terkesan hanya memerhatikan aspek rasional dari
filsafat, dan setiap kali berbicara tentang intelek, mereka tidak
mengartikan inteleki dalam arti mutlaknya, tetapi mengacu kepada aspek
rasional intelek (akal). Athar dalam memahami filsafat juga terkesan
cenderung kepada filsafat peripatetic yang rasionalistik, dan menekankan
bahwa hal itu tidak boleh dikelirukan dengan mistri ilahiah dan
pengetahuan ilahiah, yang merupakan usaha puncak pensucian jiwa di
bawah bimbingan spiritual para guru sufi. lntelek tidak sama dengan
hadis Nabi dan filsafat tidak sama dengan teosofi (hikmah) dalam makna
Quraninya.
Kitab Matsnawi Rumi adalah sebuah Master Piece filsafat. Akan
tetapi, baik kelompok Al-Ghazali (Abu Hamid-Ahmad) dan Sanii, Athar,
dan Rumi, adalah sama-sama dikenal tokoh sufi par-excellent pada
masanya, bahkan dikenang hingga kini. Walaupun jalan yang
9
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 93.
ditempuhnya adalah berbeda, puncak pencarian Tuhan, akhirnya juga
berada pada titik dan tjuan yang sama, yaitu bertemunya dengan Tuhan
Yang Maha Mutlak, Allah swt.
2. Berbeda dengan di atas, As-Suhrawardi telah memadukan dua aliran
pemikiran untuk mempertemukan antara tasawtif dan filsafat. As-
Suhrawardi dengan konsepsi Isyraqiyah-nya mencoba untuk
menunjukkan ketidakmampuan akal murni untuk menemukan hakikat
kebenaran, dan di sisi lain, ia juga mengkritik teori tasawuf Al-Ghazali
yang terlalu menonjolkan intuisi.10 Dia menawarkan konstruksi pemikiran
baru dengan menyatukan kebenaran agama dan metafisika yang diserap
dari filsafat Persia kuno, tradisi Iran, filsafat Yunani serta filsafat Islam
dengan pendekatan rasional (diskursif) dan mistisisme (intuitif) untuk
menemukan hakikat kebenaran.
Pemikiran utama Isyraqiyyah merupakan simbol-simbol yang
memadukan pemikiran tradisional dengan Hermetisme serta filsafat
Pytagoras, Plato, Aristoteles, dan Zoroaster, serta unsur-unsur lainnya.
Inti dari ajaran Isyraqiyah terfokus pada sifat dan penggambaran cahaya
(nur). Cahaya dalam Isyraqiyyah tidak bersifat material dan juga tidak
dapat didefinisikan. Semua realitas terdiri dad tingkatantingkatan cahaya
dan kegelapan. As-Suhrawardi menyebutnya sebagai realitas absolut,
yaitu realitas ketuhanan yang tidak terbatas dan tidak dibatasi, cahaya
segala cahaya (Nur al-Anwar). Isyraqiyyah memberi kesempatan pada
akal untuk menyelami kebenaran, juga menawarkan agama, filsafat, dan
tasawuf sebagai sarana untuk memperoleh kebenaran spiritual.
3. Hubungan antara tasawuf dan filsafat juga tampak dalam munculnya
bentuk khusus yang terjalin erat dengan filsafat. Meskipun bentuk tasawuf
10
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 94.
ini tidak menerima filsafat peripatetic dan mazhab-mazhab filsafat lain
yang seperti itu, namun ia sendiri tercampur dengan filsafat atau teosofi
(hikmah) dalam bentuknya yang paling luas. Dalam mazhab tasawuf itu,
intelek sebagai alat untuk mencapai realitas tentang yang Mudak dengan
memperoleh kedudukan yang tinggi.
Dengan demikiah, dalam tasawuf berkembang satu jenis teosofi
(ilmu Ilahi) yang tidak hanya datang untuk menggantikan filsafat di dunia
Arab, tapi di Persia ia juga amat memengaruhi jika bukan menggantikan
filsafat dan kemudian secara amat efektif menggabungkan filsafat dan
tasawuf, bahkan mengganti nama tasawuf menjadi 'irfan (gnosis,
makrifat) pada periode safawi. Penentangan terhadap filsafat masih tetap
tampak, tapi penentangan ini sebenarnya muncul dalam kaitannya dengan
istilah folsafoh dan rasionalisme. Hubungan tasawuf dan filsafat berbeda
dari apa yang diamati dalam tasawuf yang didominasi cinta, seperti pada
Athar dan lainnya.
4. Hubungan antara tasawuf dan filsafat ditemukan dalam karya-karya para
sufi yang sekaligus juga filsuf, yang telah berusaha untuk merujuk
tasawuf dan filsafat. Afdhaluddin Kasyani, Quthbuddin Syirazi, Ibn
Turkah al-Isfahani, dan Mir Abul Qasim Findiriski, orang-orang ini
seluruhnya adalah sufi yang berjalan pada jalan spiritual dan telah
mencapai maqam spiritual, dan beberapa di antara mereka terdapat para
wali, tetapi pada saat yang sama secara mendalam memahami filsafat dan
cukup mengherankan, beberapa di antara mereka lebih tertarik pada
filsafat peripatetic dan rasionalistik daripada filsafat intuitif (dzawqi),
sebagaimana dapat diamati dalam kasus Mir Findiriski yang amat
mendalami asy-Syifa-nya Ibnu Sina.11
11
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 95.
Di antara kelompok ini, Afdhaluddin Kasyani memegang
kedudukan yang unik. Ia tidak hanya salah satu sufi terbesar yang hingga
hari ini mouseleumnya di Maqam Kasyani menjadi tempat ziarah, baik
orang-orang yang awam maupun orang-orang terpelajar, tetapi ia juga
dianggap sebagai salah satu filsuf Persia terbesar yang sumbangannya
bagi pengembangan bahasa filsafat Persia tak tertandingi.
Karya-karya filsafatnya dalam logika, teologi, ataupun dalam
ilmu-ilmu alam ditulis dalam bahasa Persia yang jelas dan fasih, dan
merupakan Masterpiece dalam bahasa ini. Ia tidak hanya menunjukkan
dengan jelas wawasan tasawuf dalam syair-syairnya, namun dalam hal
logika dan filsafat yang paling ketat sekali pun. Figur besar lain seperti
Quthbuddin asy-Syirazi, yang dalam masa remajanya bergabung dengan
para sufi dan juga menulis karya besar dalam filsafat peripatetic dalam
bahasa Persia, Durrat at-Tajj, lalu bin Turkah Isfahani, dengan Tamhid al-
Qawaid-nya merupakan Masterpiece filsafat sekaligus tasawuf, dan Mir
Abul Qasim Findiriski, yang menjadi komentator karya metafisika Hindu
penting, Yoga Vaisithsa adalah sufi dan ahli makrifat yang kepadanya
banyak mukjizat dinisbatkan. Mereka semua adalah para pengikut
mazhab Afdhaluin Kasyani, sejah menyangkut upaya pemantapan
hubungan antara Tasawuf dan Filsafat.
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa hubungan tasawuf dan
filsafat sebenarnya tidak dapat dipertentangkan. Jika kemdian ditemukan
pertentangan atau tampak ada konflik, hal itu dianggap hal biasa. Hal itu
terjadi tidak lebih dari cara pandang dan pendekatan yang dipakai
memang tidak sama. Akan tetapi, tujuan akhir dari perjalanan dalam
pencarian kebenaran dari kedua pendekatan tersebut adalah sama, yaitu
Yang Maha Mutlak, Allah Swt. Mereka adalah tokoh-tokoh filsuf dan sfi
ternama sepanjang zaman. 12
D. Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Ilmu Jiwa mengkaji tentang gejala kejiwaan manusia, misalnya
tentang motivasi, ingatan, presepsi, bakat, minat, dan berbagai hal yang
melingkupinya. Semua gejala kejiwaaan yang ditimbulkan dari diri manusia
tersebut pada dasarnya bersumber dari alam sadar manusia, yang dalam kajian
tasawuf seperti yang disebutkan di atas tadi, yaitu an-nafi, ar-ruh, al-qalb,
dan as-sirr. Oleh karena itu, studi tentang tasawuf dan ilmu jiwa sangat
bersinggungan satu sama lain.13
Para pengkaji dan pengamal tasawuf juga bisa dianggap sebagai ahli
dan pakar psikologi dalam Islam. Sebab, tidak sedikit tasawuf telah dijadikan
terapi psikis dalam penyembuhan jiwa yang terganggu atau jiwa yang tidak
sehat. Di era modern ini ditemukan banyak klinik-klinik pengobatan
alternative yang berbasis pada pelatihan mental-spiritual melalui wirid-dzikir
dalam bentuk yang beraneka macam. Dari sini dapat ditarik benang merah
bahwa persinggungan antara tasawuf dan ilmu jiwa telah ditemukan
signifikansinya. Demikian juga tokoh-tokoh sufi juga dapat dianggap sebagai
psikolog-psikolog Muslim sejati.
Di antara contoh yang dapat dikemukakan adalah ilmu jiwa agama
sebagai suatu cabang ilmu jiwa yang menitikberatkan penyelidikannya pada
kesadaran agama (religious conciousness) dan pengalaman agama (religious
experiences); di mana kesadaran agama lebih banyak menyangkut soal
amaliyah yang lahir. Sementara pengalaman agama lebih menitikberatkan
kepada perasaan beragamaa yang timbul dari amaliyah. Pengalaman agama
12
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 96.
13
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 98.
ini lebih banyak dirasakan oleh para sufi yang selalu meresapkan segala
amaliah agama ke dalam perasaan batinnya yang suci. Oleh karena itu, para
sufi tersebut menjadi sasaran utama untuk mendapatkan data tentang
pengalaman agama. Perasaan lega, tenang, dan tenteram setelah melaksanakan
ibadah shalat, tilawat Al-Quran, berdoa, berdzikir, dan bermacammacam
emosi yang menjalar di luar kesadaran merupakan lapangan penelitian ilmu
jiwa agama. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa antara ilmu jiwa
dengan tasawuf saling berhubungan.14
Lebih lanjut dapat dikatakan, di dalam kajian tasawuf dibicarakan
tentang hubungan jiwa dengan badan. Yang dikehendaki dari uraian tentang
hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuftersebut adalah terciptanya
keserasian antara keduanya. Pembahasan tentang jiwa, dan badan ini
dikonsepsikan para sufi dalam rangka melihat sejauh mana hubungan perilaku
yang dipraktikkan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya
sehingga perbuatan itu dapat terjadi. Dari sini, barn muncul kategori-kategori
perbuatan manusia, apakah dikategorikan sebagai perbuatan jelek atau
perbuatan baik. Jika perbuatan yang ditampilkan seseorang baik, ia disebut
orang yang berakhlak baik. Sebaliknya, jika perbuatan yang ditampilkannya
jelek, ia disebut sebagai orang yang berakhlak jelek.
Dalam pandangan kaum sufi, akhlak dati sifat seseorang bergantung
pada jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. Jika yang berkuasa dalam
tubuhnya adalah nafsunafsu hewani atau nabati, yang akan tampil dalam
perilakunya adalah perilaku hewani atau nabati pula. Sebaliknya, jika yang
berkuasa adalah nafsu insani, yang akan tampil dalam perilakunya adalah
perilaku insani pula. Orang yang sehat mentalnya .adalah yang mampu
merasakan kebahagiaan dalam hidup karena orang-orang inilah yang dapat
merasakan bahwa dirinya berguna, berharga, dan mampu menggunakan
14
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 99.
segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin dengan cara membawa
kebahagiaan dirinya dan orang lain. Di samping itu, ia mampu menyesuaikan
diri dalam arti yang luas, terhindar dari kegelisahan-kegelisahan dan
gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Dengan demikian, hubungan ilmu tasawuf dan ilmu jiwa sangat
memengaruhi· dan saling mendukung dalam pencarian jati diri manusia
sebagai hamba Allah yang harus senantiasa menyadari clan merasa bahwa
dirinya adalah seorang hamba yang tidak hanya terbuat dari sesuatu yang
hina, tetapi juga memahami akan potensi yang dimilikinya, baik potensi baik
maupun buruk. Selanjutnya, dapat terimplementasikan dalam kehidupan
keseharian. Sebagaimana ungkapan Al-Ghazali, yang mengutip sebuah hadis
populer di kalangan sufi "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu
(Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan dapat mengenal
Tuhannya)".15
E. Persamaan dan Perbedaan antara Tasawuf dengan Ilmu Kalam, Filsafat,
fiqih, dan Ilmu Jiwa
Dari uraian di atas, kiranya dapat diambil suatu pemahaman tentang
persamaan dan perbedaan antara Ilmu Kalam Filsafat, Tasawuf, fikih, dan
ilmu jiwa. Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang
dianggap sebagai kebenaran terjauh di mana tidak semua orang dapat
melakukannya dan dari ketiganya berusaha menemukan apa yang disebut
Kebenaran (al-Haq). Sementara perbedaannya terletak pada cara menemukan
kebenarannya. Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya
(kasya/Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan
kebenaran dengan melewati beberapa jalan, yaitu maqomat,hal (state)
kemudian Jana'. Sementara kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa
15
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 100.
diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan
kepada nash (Al-Quran & Hadis). 16
Kebenaran dalam Filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala
yang ada (wujud), yakni tidak dapat dibuktikan dengan riset, empiris, dan
eksperimen. Filsafat menemukan kebenaran dengan menuangkan akal budi
secara radikal, integral, dan universal. Kebenaran dalam fikih diperoleh
melalui penalaran manusia yang disebut proses ijtihad sehingga kebenaran
yang diperoleh terkesan relative (nisby). Sementara kebenaran dalam ilmu
jiwa diperoleh melalui gejala-gejala psikis yang dialami oleh manusia dalam
perilaku lahirnya sehingga kebenaran yang diperoleh juga terkesan relatifdan
tidak mudak. Oleh karena itu, dari masing-masing kebenaran yang didapat
oleh masingmasing kajian ilmu tersebut sebenarnya tidaklah menjadi jaminan
untuk dominan di dalam penemuan kebenaran abadi yang menjadi tujuan
akhir dari perjalanan masing-masing aspek kajian tersebut. Di sinilah
diperlukan ilmu lain dalam menunjang penemuan kebenaran hakiki (mudak)
tersebut, di antara ilmu tersebut adalah ilmu tasawu£ Untuk memperjelas
deskripsi di atas, dapat dilihat dari aspek jenis kajian, sumber, objek, dan
tujuan dari masing-masing jenis ilmu tersebut. 17
16
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 101.
17
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 102.
Tabel 2.118
18
Dr. H. Syamsun Ni’am.”Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf” (Sleman: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 103.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf mempunyai fungsi
sebagai berikut:
a. Sebagai pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam.
b. Sebagai pengendali ilmu tasawuf.
c. Sebagai pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatanperdebatan
kalam.
2. Tasawuf dan fikih adalah dua disiplin ilmu yang saling mengisi dan
menyempurnakan. Jika terjadi pertentangan antara keduanya, berarti di
situ terjadi kesalahan dan penyimpangan. Seorang ahli sufi harus
bertasawuf (sufi), harus memahami dan mengikuti aturan fikih. Seorang
sufi pun harus mengetahui aturan-aturan hukum dan sekaligus
mengamalkannya sesuai dengan ketentuan tasawuf.
3. Hubungan tasawuf dan filsafat sebenarnya tidak dapat dipertentangkan.
Jika kemdian ditemukan pertentangan atau tampak ada konflik, hal itu
dianggap hal biasa. Hal itu terjadi tidak lebih dari cara pandang dan
pendekatan yang dipakai memang tidak sama. Akan tetapi, tujuan akhir
dari perjalanan dalam pencarian kebenaran dari kedua pendekatan tersebut
adalah sama, yaitu Yang Maha Mutlak, Allah Swt.
4. Hubungan ilmu tasawuf dan ilmu jiwa sangat memengaruhi· dan saling
mendukung dalam pencarian jati diri manusia sebagai hamba Allah yang
harus senantiasa menyadari clan merasa bahwa dirinya adalah seorang
hamba yang tidak hanya terbuat dari sesuatu yang hina, tetapi juga
memahami akan potensi yang dimilikinya, baik potensi baik maupun
buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Andi. 2012. TASAWUF, ILMU KALAM, DAN FILSAFAT ISLAM(Suatu Tinjauan
Tentang HubunganKetiganya). Al-AdYan Vol. VII, No.2 Juli-Desember.
Dr. H. Syamsun Ni’am, M.Ag. 2014. Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf.
Sleman: Ar-Ruzz Media.