Riba

A project management methodology is a set of procedures and techniques that can be modulated and applied to a specific situation. It is methodological process that provides a procedural list of tasks and procedures with aim to attain project completion through the project life cycle. The PMBOK® Guide-Fourth Edition defines the project life cycle (PLC) as a series of consecutive project phases, which are developed from the need of the organization. The aim the project life cycle is to establish a line of logical phases that must be properly completed before moving to the next one. This in turn provides better control over the project as it moves on. For the purpose of this article the RIBA Plan of Work 2013 will be critically assessed as a project management methodology for the design team. 2.0 Analysis of the Methodology 2.1 RIBA Plan of Work 2013 RIBA Plan of work 2013 defines each stages; tasks and outcome, from the initiation of the project to its handing over and use. RIBA Plan of Work 2013 provides a framework to the PLC that splits a project into predefined contextual phases. The stages are sequential but depend on the project prerequisite and the selected procurement method;

The argument of inflation is often advocated to compensate for the “loss of value” or the “depreciation in money”, and therefore any consideration to offset this damage may well be justified. This approach may find its way fast in conventional organism, and to incorporate such computations may not be a problem in a mere profit driven interest based system rather it can be looked upon as another risk calculating element. However, it can’t and shall not go unchecked without proper evaluation for its Islamic permissibility;
a viewpoint is required to be established off topic.

En los últimos tiempos la edición y el estudio de nuevas obras y documentos han supuesto una importante contribución a la historia de la jurisprudencia musulmana (fiqh) en el Occidente islámico medieval, y un ejemplo de ello es el recientemente editado Kitāb al-ribā, objeto de este estudio en el cual ofrezco la traducción al castellano de esta temprana y -hasta ahora- desconocida obra del fiqh mālikí. La aparición de este texto, que hasta ahora no era más que una mención en los diccionarios bibliográficos, supone una valiosa fuente de información, no sólo para el estudio del derecho económico medieval, sino también del proceso de formación y desarrollo de la jurisprudencia andalusí así como del funcionamiento del zoco y la sociedad andalusí de época temprana, puesto que sirvió de base jurídica para aplicaciones prácticas de la ley islámica como demuestran, por ejemplo, las continuas alusiones del almotacén Ibn ʿAbd al-Raʾūf al Kitāb al-ribā en su tratado de ḥisba.

Abstrak Insurans dan takaful merupakan instrumen kewangan yang telah dikenali secara lazim oleh masyarakat dunia khususnya penduduk Malaysia. Namun, masyarakat sering tersalah anggap bahawa takaful dan insurans merupakan sistem kewangan yang sama. Menurut Malaysian Takaful Association (2016), perkataan Takaful berasal daripada kata kerja bahasa Arab yaitu 'kafala' yang bererti 'untuk menjaga kepentingan seseorang'. Justeru, kerjasama di antara sekurang-kurangnya dua pihak untuk menjamin antara satu sama lain (sekiranya berlaku keilatan) mentakrifkan perkataan Takaful. Manakala menurut Merriam-Webster (t.t.), insurans hayat adalah kontrak perjanjian di antara syarikat penanggung risiko dan pihak yang ditanggung (pelanggan) dengan meletakkan jaminan bahawa syarikat akan membayar sejumlah wang untuk menanggung kos keilatan dengan syarat pelanggan membayar sejumlah wang (premium) dalam tempoh masa yang dipersetujui. Mengikut muamalat Islam, sesuatu instrumen kewangan haruslah bebas daripada unsur riba, judi dan gharar (Ali Mohamaed et al., 2014). Jika ketiga-tiga elemen ini tidak dipenuhi, maka instrumen itu tidak mematuhi syariah dan wajar dihindari oleh muslim.

Kajian ini adalah untuk mengkaji perbezaan di antara Perbankan Islam dan Perbankan Konvensional. Sesungguhnya kita sebagai umat Islam, perlulah mengelakkan diri daripada terjebak dengan unsur-unsur gharar ini (ragu-ragu/ketidakpastian) ketika menjalankan perniagaan mahupun menggunakan perkhidmatan yang terang lagi bersuluh perbuatan yang dilakukan itu adalah riba.

Bahan Ajar ini berisi tentnag: Perkembangan dan Urgensi Ekonomi Islam, Rancang Bangun Ekonomi Islam, Perbedaan Sudut Pandang/ Pemikiran/ Madzhab Ekonomi Islam, Prinsip-prinsip Ekonomi, Metodologi ekonomi Islam, Harta Dan Kepemilikan dalam Islam, Riba dalam Perekonomian, Konsep Zakat, Prinsip Konsumsi dalam Islam, Modal, Bunga, dan Bagi hasil, Mekanisme Pasar Islami, Dinamika Dan Tatanan Sosial-Ekonomi Islam, Uang Dalam Ekonomi Islam, Teori Inflasi Islam, Kebijakan Moneter Islam, Manajemen Moneter Islam, dan Kebijakan Fiskal dalam Islam

Dalam Alquran, riba disebut delapan kali dalam empat surah yang berbeda, yakni satu kali dalam ayat 39 surah al-Rûm, satu kali dalam ayat 161 surah al-Nisâ', satu kali dalam ayat 130 surah Âli 'Imrân, tiga kali dalam ayat 275 surah al-Baqarah, satu kali dalam ayat 276 surah al-Baqarah, dan satu kali dalam ayat 278 surah al-Baqarah. Keempat surah tersebut secara kronologis menggambarkan empat tahapan pengharaman riba dalam Alquran.

Kendati para manusia saat ini mengerti dan memahami akan haramnya riba, tapi mereka hanya menganggap remeh akan riba. Namun mereka senantiasa lebih senang tetap menggunakan sistem-sistem transaksi perekonomian yang mengandung unsur riba. Karena anggapan dari sebagian besar orang bahwa dalam era sekarang ini adalah era dimana manusia harus melangkah cerdik untuk memerangi suatu kerugian, karena semakin ketatnya persaingan dalam hidup. Langkah disini dimaksudkan bahwa, dimana mereka lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri tanpa memperdulikan orang lain menderita atau tidak akibat dari perbuatannya.
Pergulatan intelektual dan perkembangan zaman menimbulkan berbagai perspektif mengenai konsep penghukuman riba. Apakah riba itu dibolehkan atau diharamkan? Apakah riba itu sama dengan bunga bank? Tentu hal ini menimbulkan berbagai kontradiksi dan debatable dikalangan cendekiawan Muslim. Namun secara garis besar pendapat mengenai keharaman bunga bank banyak dilontarkan oleh para ulama atau ahli hukum Islam yang berasal dari kalangan tradisional dan konservatif. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank itu halal, dilontarkan oleh para ulama yang berasal dari kalangan modernis (Tsani, 2009: 4).
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka makalah ini difokuskan kepada hal-hal berikut: Apa definisi dari riba, yang meliputi jenis-jenis riba, hukum riba, dan dampak riba,
Bagaimana implementasi hukum riba di era modern.
Adapun tujuan ditulisnya makalah ini ialah: Untuk mengetahui pengertian riba, jenis-jenis riba, bagaimana hukum dan dampaknya,Untuk mengetahui bagaimana implementasi hukum riba di era modern.
kesimpulan, Riba merupakan kegiatan eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah mengharamkan transaksi yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan menzalimi orang lain dan adanya unsur ketidakadilan (unjustice). Sedang riba menurut pengertian lughawi atau etimologi adalah bertambah. Di dalam pengertian teknik hukum syariah berarti akad yang terjadi dengan penukaran yang tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’ atau terlambat menerimanya. Di dalam praktiknya riba terbagi menjadi empat bagian yaitu riba qard, jahiliyyah, fadhl dan nasi’ah.
Sistem perbankan yang berlaku sekarang ini diterima sebagai realita yang tidak dapat kita hindari. Oleh karenanya umat Islam boleh bermuamalat dengan bank-bank atas dasar keadaan darurat. Di dalam kenyataannya bahwa konsep riba yang tidak identik dengan bunga bank karena bunga sama dengan uang sewa dan sesuai dengan fitrah manusia bahwa bunga tidak merusak kehidupan masyarakat, namun mendorong perekonomian masyarakat. Kendati begitu, persoalan bunga bank sebagai riba pada masa sekarang ini masih sering diperbincangkan sehingga upaya untuk menghindari riba mulai dilaksanakan.

Interest based financing is the bread and butter of the modern economy. It is a common practice in the modern economy to borrow money on interest to buy big ticket items, for example, house or car, or for new ventures. Even big corporations borrow money on interest for their projects and for their expansion.

Interest based economy, however, has become a bone of contention among Muslims. Some accept it as a necessity, some reject it completely, and some take it with a grain of salt. This is because those who are opposed to interest equate it with the term ‘Riba’, which has been declared haram in the Quran. The author, following the methodology articulated in his book titled “A Scientific Approach to the Quran”,  has analyzed the Quranic verses regarding ‘Riba’ and has explored where it falls in the modern financial matrix. His  analysis suggests the following:

• Comparing the Quranic definition of ‘Riba’ with the modern financing tools, interest and usury, suggests that ‘Riba’ is more in line with usury, exorbitant excess charged on loans. As such ‘Riba’ has been banned in the Quran.
• Nominal interest is comparable to the Quranic term ‘Bay’, where markup  is determined by the free market based on the law of supply and demand. Nominal interest financing should be allowed for middle class people who earn enough to pay for the mortgage.
• The poor and needy should not even be charged nominal interest rate. Instead they should be helped through ‘Sadaqah’, Zakah or through ‘Qardh-e-Hasana’ (benevolent loan).
• If due to unforeseen circumstances, an individual in the middle class falls below the poverty level, he/she should be accommodated.

The explanation given above seems to be consistent with the Quranic verses about ‘Riba’ (usury), ‘Bay’ (trade), and ‘Sadaqah’ (charity).

Muslim scholars generally equate riba with interest. They fail to see a vital distinction that needs to be drawn between riba declared forbidden in the Quran and interest that has come to play a necessary and very useful role in modern finance and economic policymaking. As some modernist scholars, notably Fazlur Rahman, have shown, interest used in modern finance is substantively different from riba and works like any other economic price. I also argue that riba forbidden in the Quran applies only for those who deserve humanitarian treatment – who need concessional or interest-free loans (qard-hasana) or outright grants (sadaqa). Thus though there is no epistemological ground to think that receiving and paying interest in modern financial transactions is a forbidden thing, Islamic finance institutions are based on the very notion that interest is taboo. However, these institutions are found to have largely failed to get rid of interest, in part, because the interest-free principle is hard to realistically apply except in equity (as in mudaraba and musharaka) financing, which is only marginally used by these institutions due to difficulties and risks involved in such financing and, also in part, because just equity financing does not work for a stable banking industry.

Seiring dengan berjalannya waktu maka globalisasi pun kini hadir di tengah masyarakat kita, globalisasi ini melahirkan berbagai sistem tatanan hidup yang semakin berkembang, teknologi yang semakin canggih, dan gaya hidup masyarakat yang semakin modern.

Dengan kecanggihan teknologi maka banyak dampak positif yang di dapat oleh masyarakat, namun sisi negatif pun tetap mengiringi perjalanan dari sebuah kemajuan teknoligi.

Terdapat berbagai kemajuan dalam gaya hidup masyarakat modern mulai dari gaya hidup menabung yang sudah beralih ke bank-bank konvensional,cara menjual dan membeli barang yang haram, hal ini memiliki dampak yang negatif yang sangat dikhawatirkan oleh setiap umat karena bertentangan dengan al-quran dan sunnah.

Sistem bunga yang ada di bank konvensional, jual beli barang yang tidak jelas, gaya hidup yang suka berjudi, dan penipuan yang marak terjadi di tengah masyarakat saat ini sungguh menjadi hal yang patut di perangi.

Salah satu cara nya adalah dengan mensosialisasikan apa saja hal-hal yang bertentangan itu. Mulai dari menjelaskan sistem bunga yang ada di bank itu seperti apa, jual beli apa saja yang diperbolehkan dan diharamkan dalam islam, hingga mengapa berjudi dan riba itu diharamkan, permasalahan seperti ini patut untuk dijelaskan kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan sadar akan imbas negatif yang akan didapat.

Dalam kegiatan ekonomi kaidah yang berlaku adalah "asal dari muamalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya". Berangkat dari kaidah tersebut maka penulis mencoba menguraikan secara singkat transaksi-transaksi yang dilarang (haram) menurut syariat islam, walaupun nantinya tidak semua transaksi yang dilarang termuat dalam tulisan ini karena keterbatasan ilmu dan bacaan, akan tetapi tidak akan mengurangi pemahaman umum yang akan didapatkan oleh pembaca.

Prinsip dasar mu’a>malah dalam Islam ialah memperbolehkan untuk melakukan segala sesuatu selama tidak ada dalil yang melarangnya. Islam sendiri menghalalkan jual beli dan melarang riba. Riba dianggap lebih banyak menimbulkan masalah daripada menyediakan solusi dalam mengatasi persoalan finansial, bahkan dianggap malapetaka besar (mus}i>bah ‘uz}ma)

Tulisan ini merupakan studi pustaka di mana penulis mencoba mengelaborasikan dari berbagai kajian tentang konseptualisasi pelarangan riba sebagai transasksi yang dilarang oleh agama.

Terdapat beberapa perbedaan pendapat terutama tentang bunga bank (interest). Setidaknya terdapat tiga pendekatan yang digunakan oleh para ahli hukum Islam ketika memahami masalah ini. Sebagian menggunakan pertimabangan mas}lah}ah, pengharaman bunga karena bertentangan dengan prinsip mas}lah}ah. Adapula yang menggunakan qiya>s,  di mana bunga bank dianalogikan dengan riba karena adanya persamaan illat (kausa hukum) pada keduanya (riba dan interest). Sebagian kalangan NU mengharamkan bunga bank lebih karena pertimbangan sadduz-zari’ah, kehati-hatian untuk menutup jalan terjadinya mafsadat.

KULIAH PENDALAMAN RIBA Kuliah Pendalaman ditujukan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Riba yang telah menjerat dan menyesengsarakan kehidupan perekonomian umat manusia yang beragama Islam pada khususnya dan beragama lain pada umumnya. Banyaknya masyarakat yang terjerat Riba, berusaha keluar dari permasalahan dengan melepaskan diri dari ikatan yang telah dibuat karena terbukti telah membuat kesengsaraan bagi individu, perusahaan dan Negara. Sementara disisi lain, banyak anggota masyarakat karena kondisi perekonomian yang sedang menghimpitnya berusaha untuk mengikatkan diri dengan Riba karena ketidak tahuan dan adanya iming-iming dari lembaga keuangan, seperti perbankan baik konvensional dan syariah, perusahaan pembiayaan, asuransi dan lembaga keuangan lainnya. Kuliah pendalaman riba berisikan tentang berbagai tulisan, artikel, presentasi dan diskusi dari berbagai sumber yang dimiliki oleh penulis, dengan terlebih dahulu melalui evaluasi tentang kebenaran dari isi yang dituangkan dengan cara melakukan riset, studi banding dan kajian mendalam. Kuliah pendalaman riba terdiri dari 7 bagian besar, yaitu: 1. Dosa riba 2. Pemahaman tentang riba 3. Praktek riba dalam kehidupan sehari-hari 4. Multi level marketing 5. Asuransi 6. Bank syariah yang masih menjalankan praktek riba 7. Transaksi mata uang asing Dengan adanya panduan ini, maka diharapkan kepada masyarakat, pejabat pemerintah, pelaku usaha, ulama, pemuka agama, tokoh masyarakat dapat lebih memperhatikan tentang praktek riba yang terjadi dan dapat menghindari dari jeratan Riba yang menyengsarakan. Penyusun

The conventionally defined concept of Spending in God's Way or Zakat has a very narrow focus. It is deemed to be a charity to poor and needy people and for some shariah-defined purposes at a measly rate of 2.5% of wealth. If we, however, carefully analyze what the Quran directs us to do in this regard, we find that Zakat is a much broader concept not only in terms of the amount in which it needs to be paid, but also  in terms of the range of its coverage of targeted people and purposes and the ways in which it needs to be dovetailed with public taxation and spending for a host of welfare activities. The essential purpose of the Zakat system is not to perpetuate a beggars' class in society, but to bring about an egalitarian balance in the distribution of material and financial resources.

Bagaimana pun juga, terjadi silang pendapat di kalangan ulama menyangkut illat (kausa legal) riba dengan dua varian pokoknya. Ada yang berpendapat bahwa illat keharaman riba fadhl adalah kelebihan barang atau harga dari benda sejenis yang diperjualbelikan melalui alat ukur al-wazn dan al-kail. Dengan kata lain, riba fadhl hanya berlaku dalam timbangan (al-wazn) atau takaran (al-kail) harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Kelompok ulama yang lain berpandangan bahwa illat keharaman riba fadhl, khususnya emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk menjadi cincin, kalung atau yang lainnya, maupun belum (emas batangan). Di sisi lain, ada juga ulama yang berpendapat bahwa riba sama sekali tidak memiliki illat. Dengan begitu, maka tidak ada riba kecuali dalam enam komoditas yang telah dinyatakan secara jelas dalam hadits, yakni emas, perak, gandum, anggur, kurma, dan garam. (selengkapnya...klik link di atas atau kunjungi http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/elhikam)

In recent years, months, and days, Muslim “fundamentalists” or extremists excel in one thing – terrorism and violence. The recent spate of terrorist attacks and sectarian violence and atrocities has probably no parallel in modern history. Hardly a day passes by when we do not hear of a bomb blast or some form of violence taking place in some corner of the globe – Pakistan, Afghanistan, Iraq, or some part of the developed world - with a toll of human life and immense human suffering. It is lamentable but undeniable that Muslim extremists are orchestrating much of this violence. This violence is due to the rise of religious fanaticism or fundamentalism among Muslims. But how do we combat this growing menace? How can we have real Islamic revival where there is peaceful religious co-existence and harmony? This article is an attempt to shed some light on this critical question.

In siyasah shar„iyyah perspective, the rulers have to administer shari„ah
principles to get beneficence (salah) and to prevent from any form of harm or corruption (fasad). Thus, any muamalah activities are allowed providing that no substantive shari„ah principles are violated, including any activities in Islamic banking. Islamic banking products have
enhanced their popularity since the last two decades, have taken more attention in sector of banking and financing due to its characteristics and differences compared with conventional bank and have been trusted as a solution for the current crisis as well. Many banks have created and
adapted the system of Islamic Banking based on the shariah principles which are the Quran and the Sunnah followed by the consensus of the jurists and interpreters of Islamic law. The main difference between
Islamic Banking and its counterpart is particularly prohibition of riba.

Dalam perekonomian modern pada saat sekarang ini, lembaga perbankan pada dasarnya telah menjadi perantara antara pihak pemberi dana dan pihak yang membutuhkan dana atau lebih dikenal dengan istilah financial intermediary. Dengan kata lain, Bank berperan sebagai lembaga yang menerima simpanan dan pinjaman. Sesuai dengan kebutuhan masyarakat, layanan yang diberikan oleh perbankan bukan saja berkaitan dengan simpan pinjam, melainkan juga adanya pertukaran uang (valuta asing)l, transfer, dan menerbitkan serta mengedarkan uang. Dengan banyaknya peranan lembaga perbankan diharapkan dapat memperlancar transaksi perdagangan dan pembayaran dan memberikan perlindungan keamanan bagi masyarakat. Berbicara mengenai lembaga perbankan, khususnya lembaga perbankan syariah, pada umumnya masyarakat menganggap bahwa sistem yang diterapkan oleh bank syariah masih sama dengan sistem yang diterapkan oleh bank konvensional, dan justru juga menjadi topik perdebatan yang masih gencar hingga saat sekarang khususnya dikalangan ulama. Padahal jika ditelisik lebih jauh lembaga perbankan syariah adalah lembaga keuangan yang bebas dari unsur bunga atau riba. Persoalan mengenai bunga yang dipersamakan dengan riba sudah menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dengan image perbankan syariah. Padahal sudah jelas didalam Alquran dan sebagian pandangan ulama juga menyatakan bahwa bunga yang dipersamakan dengan riba termasuk dalam kategori haram. Perdebatan tentang bunga bank termasuk dalam kategori riba sudah ada dan sejak lama hingga masih menjadi bahan diskusi yang memanas, nyatanya ada pro dan kontra di segala aspek di kalangan muslim. Jika kita menelisik lebih lanjut, bahwasannya secara bahasa Riba berarti az-ziyadah yang bermakna tambahan, yang dimaksud di sini adalah tambahan atas modal secara bathil, baik penambahan itu sedikit ataupun dalam jumlah yang banyak.. Jika kita lihat pada masa sekarang, masih banyak masyarakat yang masih terikat dengan bank konvensional bahkan juga tidak bisa menghindari diri dari lembaga perbankan ini baik itu urusan aktivitas perekonomian seperti pinjman sampai kepada urusan keagamaan pun masih terikat dengan bank konvensional, seperti dalam pelaksanaan ibadah haji, kebanyakan masyarakat masih menggunakan bank 1

Presenting a background of historical context, “Toward a Sustainable Future” offers an overview in the ascendancy of neoliberal/neoconservative viewpoints constituting the world’s dominant socioeconomic ideology today. An AQAL framework is then introduced and subsequently examined as an aid to envisioning and ultimately adopting Integral approaches capable of better supporting value(s) of human relatedness. In so doing, the article’s content aspires to empower today’s leaders to pioneer practical, sustainable, transformations in community living and lifestyles.

Abstrak Perekonomian yang baik dan benar adalah perekonomian yang mengikuti sesuai syariat yang ada, dan selalu melakukannya dengan jujur. Konsep riba dan gharar sangat jauh dari sistem ekonomi Islam, dimana konsep ekonomi Islam selalu memegang kuat keadilan dan kesetaraan. Riba dan gharar sangat melemahkan perekonomian masyarakat menengah kebawah. Karena mereka sangat merasa tertekan dengan adanya riba dan gharar ini. A. Pendahuluan Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang membahas tentang perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Inti masalah ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan manusiia yang terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang secara umum berarti keluarga atau rumah tangga, dan Nomos yang berarti aturan atau hukum. Ekonomi terbagi menjadi beberapa bagian dari ekonomi kapitalis, ekonomi liberal, dan ekonomi islam. Sebagai seorang muslim ada baik nya mengikuti atau menjalankan perilaku ekonomi sesuai dengan syariat dan ketentuan yang sudah ada dalam Al-Qur'an dan Hadist. Banyak sekali permasalahan yang sering dibahas dalam dunia perekonomian ini apalagi dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Adanya perbedaan yang lebih menonjol dari kedua cabang ekonomi tersebut maka perlunya penyelesaian masalah. Disini permasalah yang akan dibahas ialah konsep riba dan gharar, dimana konsep tersebut sangat sering terjadi perbedaan pendapat antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam. Pertama konsep riba, konsep ini lebih identik dibahas dalam perbankan yang disebut dengan bunga bank. Yang dimana dalam konvensional bunga bank tersebut diperbolehkan,

The Economic Analysis of Ribā al-Fadl and its Maqāṣid : Between Modeling and Interdisciplinarity

This article discusses a paper written by Sami Al-Suwailem on the ‘Economics of Ribā al-Fadl’. Proceeding from the idea that Ribā is one of the general issues that encompasses many secondary ones, the article sheds light on the epistemological posture of the paper and the limits of using mathematical modeling, thus revealing the importance of openness to the different fields of knowledge that will deepen the understanding of economic phenomena beyond the fields of economy and jurisprudence and what they offer in terms of analytical tools. Among the main results of the paper according to the mathematical model used: The need to differentiate between the prohibition of usury and the abolition of interest; Ribā al-Fadl includes exchanging what is vital in return for what is not really necessary; and contributes to the unequal distribution of wealth and its concentration in the hands of a few. Among the most important proposals that emerged from the discussion: i) The need to take into account the fact that the economic exchanges that are 'embedded' in social relations are ultimately what defines the origin of human life. This means that Ribā al-Fadl is the original (historically speaking), while Ribā an-Nassīah is the follower. This prevents a developmental reading in which barter is said to have been simply a specific method of approach by which primitive societies interacted before the emergence of currency. This claim supports the validity of such a reading: the return of people to barter in various regions of the world, especially through digital platforms; ii) The difference in weight between Ribā al-Fadl and Ribā an-Nassīah all according to the angle of analysis, which reveals a complementary relationship between the two concepts; iii) The decline in the pivotal role of Ribā an-Nassīah based on positive interest after the appearance of the zero interest-rate policy and the negative interest rate policy as a result of the global financial crisis. Hence the necessity to reassess the claim that “Ribā an-Nassīah is more clear than Ribā al-Fadl”. The issue between these two concepts is not a question of ambiguity and clarity as it is a matter of the scientific rooting of a social phenomenon, where any aspect involved cannot be overlooked.

Öz İslam dini içerisinde önemli bir yeri olan riba kavramı kapsamında, İslam ile iktisat arasındaki ilişki ekonomik işlem üzerinden değerlendirilmektedir. İlk önce riba kavramının ekonomik işlem içindeki yeri ortaya konulmaktadır. Daha sonra ise İslam' da ekonomik ilişkilerin devamlılığı için önemli bir kavram olan " rehin " konusunun yeri tartışılmaktadır. Dolayısıyla rehinden doğan işlem şeklinin riba kapsamında değerlendirilip değerlendirilmediğinin, yani rehin alan ile veren açısından oluşacak hizmet üretiminin riba ile benzer ve farklı yönlerinin olup olmadığının gösterilmesi amaçlanmaktadır. Kısaca, teorik bir yapıda şekillendirilen bu çalışmada, rehin konusu riba kavramı çerçevesinde araştırılarak ekonomik işlem noktasında değerlendirilmektedir. Abstract Within the framework of the concept of interest that has an important place in Islam, the relation between Islam and economy is evaluated in terms of economic process. Initially, the place of the concept of interest within economic process is asserted. Then the place of the pledge issue which is a crucial concept for continuity of economic relations is discussed. Therefore, the aim is to show whether the type of process that stems from pledge is included in interest or not, so whether the production of service realised by pledgee and pledger has similar or different qualities with interest or not. Briefly, in this study which is shaped in a theoretical structure, pledge issue is evaluated at the point of economic process by being explored within the framework of the concept of interest.

Abstrak: Dari beberapa aspek pembuktian, dinyatakan bahwa riba dengan segala macam bentuknya termasuk bunga dalam sistem perbankan modern adalah haram. Allah jelas telah membedakan antara jual beli dan riba, yang dianggap oleh para kaum kafir adalah sebuah kesamaan transaksi. Praktik riba dalam kehidupan masyarakat, terselubung dalam berbagai macam bentuk yang secara garis besar dibedakan menjadi dua macam yaitu riba utang piutang dan jual beli. Dan dampak buruk praktik riba ini telah dirasakan oleh masyarakat luas dari berbagai aspek, baik dari aspek moral, sosial maupun ekonomi. Oleh karenanya perlu dilakukan pemerangan terhadap praktik-praktik yang mengandung unsur ribawi. Dan pada ketentuan yang telah termaktub dalam Al-qur'an perlu dianalisis sebagai dasar kerangka pemikiran para ulama dan ekonom muslim dengan corak kajian tematik linguistik. Kata kunci: riba, al-qur'an, tematik linguistik, perekonomian. A. Pendahuluan Riba merupakan permasalahan klasik yang tidak asing lagi bagi umat Islam dan juga umat-umat terdahulu. Bahkan filusuf Yunani kuno Plato dan Aristoteles pun telah mengecam tentang praktik riba. Karena menurutnya, sistem riba telah mengakibatkan perpecahan dan menjadi alat untuk pengeksploitasian golongan kaya terhadap kaum miskin. Namun dewasa ini, pembicaraan mengenai riba telah mengundang polemik di kalangan para ulama. Sebab status keharaman hukumnya sudah sangat jelas. Tetapi dengan kemunculan persoalan riba yang dipersepsikan sebagai bunga bank masih menjadi kontroversi antara ulama. Dan masing-masing tetap berikeras pada pendiriannya. Maka penulis disini ingin mengungkap konsep riba yang telah termaktub dalam Al-qur'an dan implikasinya bagi dunia perekonomian.

In this study, the gradual prohibition of interest (riba) in the Holy Qur'an, reasons, the specific language and wording, and outcomes are discussed. Prohibition of interest in Qur'an became gradually true as it happened in some other issues. In fact, there exist thirteen verses in total regarding the issue of interest in the Holy Qur'an. Three of them are the verses which recommend Muslims not to end up like others instead of prohibiting interest strictly by decrying the usage of interest, rather advising zakat, and expressing the disasters that Jews had experienced since they violated this rule in the past. On the other hand, the other ten verses prohibit interest strictly and were revealed later towards the end of revelation. Moreover, it is a widely known narration that the verses regarding interest in surah al-Baqarah were revealed in the last days of revelation. Some of the verses prohibiting interest, directly declare the ban while others are related to awards and sanctions as a kind of remuneration for following or not following the commands. Some of the important characteristics of the verses prohibiting interest are as follows: Following a gradual course in terms of time, extension of the prohibition of an old practice over a period of time, that the revelation of the prohibited verses occurred towards the end of revelation, that the language used is very harsh compared to other practical prohibitions, and that the sanctions for violators are valid for both this world and the hereafter. The reason is that the use of interest has significantly been differentiated from other prohibitions by plugging the issue into the obedience to Allah and his Prophet as well as considering the subject as a matter of faith in Islam. The Holy Qur'an states this reasoning as " … that is because they say: 'Trade is like usury' But Allah has permitted trade and forbidden usury… " in surah al-Baqarah (275). Keywords: Riba/interest/usury prohibition in Holy Qur'an, verses on interest, riba/interest in Islamic finance and banking.

Debt is a wealth obligation upon another person as a result of a contract of exchange, a loan or damages made on the other`s wealth. It is also normally related to wealth that is associated with interest or riba which has its own specific governing rules. Both of these features of debt has attracted persistent emphasis among the Muslim jurists in explaining the law of debts including its sale. In fact, the illegality of sale of debt and its vast implications upon monetary transactions has made it as one of the most frequently discussed subject among the jurists who have put an emphasis on the laws govering the sale of debts to prevent people from an indulgement in riba. Unfortunately, there are some Islamic financial institutions which has freely adopted it and have developed many financial products that contains features of this non-permitted sale. The applications were justified by the view of some jurists who has allowed it, the detachment between debts, and modern adaptation of the sale of debt. This article attempts to discuss the harmlessness of these justifications and see whether they authorize the usage of sale of debt in the modern Islamic financial institutions or better for them to abandon it in order to maintain their Islamicity.

Islam telah melarang adanya riba. Allah Subhanahu Wa Ta'ala melaknat hamba-hambanya bagi yang melakukan perbuatan riba. Perlu adanya pemahaman yang luas, agar tidak terjerumus dalam Riba. Karena Riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Dalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam telah memberi ketetapan bahwa riba hukumnya adalah haram. Seperti sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: "Rasulullah melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah), penulis transaksi (sekretaris) dan 2 saksi yang menyaksikan. Mereka semuanya sama dalam dosa." (HR. Muslim). Ingatlah, bahwa harta benda sebanyak apapun yang kita miliki, jika diperoleh dengan cara-cara yang haram atau tercampuri dengan harta hasil Riba, maka akan menjadi bencana bagi diri kita baik di dunia maupun dan akhirat.

The central thrust of this paper is an examination of the development and applications of usury law within the main three Abrahamic religions (Judaism, Christianity and Islam). It aims to throw useful light on the relationship between laws on lending and credit on the one hand, and actual commercial practices, on the other; and to present a number of hypotheses regarding the following questions: How ‘Islamic’ is Islamic banking today? Is its modus operandi interest free or interest based? Does it offer a viable alternative to banking capitalism or is it merely a variant of conventional banking?

Starting in the twelfth century, usury became one of the immoral activities attributed to the Jews in Christian anti-Jewish propaganda. Jews became so commonly associated with usury in the Latin-Christian world that the word “Jew” itself became a synonym for “usurer”, mainly in the texts of the Christian exegetes. While this trope spread over space and time, it does not seem to have existed in al-Andalus.
In Islamic texts, while some examples associate ribā (usury) with Jews, it is equally attributed to Christians. Moreover, the practice of usury does not seem to have been used as an argument against the Jews in Muslim polemical literature. This paper focuses on the Andalusi context, showing how the trope of the Jewish usurer did not take root in Muslim Iberia as it did among the Christians of the Peninsula. Of special interest are developments that took place in the Naṣrid kingdom, where several legal opinions (fatāwā) issued between the eighth/fourteenth and the ninth/fifteenth centuries reveal a concern among the population about loans at interest issued by Jews. The Naṣrid jurists, however, appear to have tolerated these interfaith activities.
There are 50 free online copies of this article. If you are really interested, you can download it here: https://www.tandfonline.com/eprint/GBMNRTSBQPJPQTS8Y3NM/full?target=10.1080/09503110.2021.2024784

The review is an unintended shot triggered by remarks of an eminent scholar on Islamic Banking,
and therefore a must read for those who are linked to Islamic Banking & Finance industry in a way.
An attempt as well to draw the attention towards widespread misconceptions in money-for-money
or pure money matters. Although the start of the article is very simple and straightforward but if you
go through it, you may find some sense making out there down the lines.
The argument of IBF infancy is normally presented to defend different allegations; however, I don’t
see the basis of allegations in the immaturity of industry but the faults are located somewhere in
fundamental concepts and unless these mistakes are not removed, it will be vulnerable and will not
be possible to defend allegations even after several hundred years of infancy.